kunamaibintangitunamamu
kunamaibintangitunamamu
Now You Read Me!
5K posts
Put some melancholic, wise quotes, song lyrics, and whatever here.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Indomie
Sekarang akhir bulan Juli. Dan sore ini adalah mangkuk Indomie ke-4 yang aku masak bulan ini.
Aku masak Indomie lagi sore ini. Rasa kari ayam, dua telur, dan sambal cabe rawit yang kamu suka—yang katanya “pas banget” buat nemenin obrolan kita, dulu.
Kupikir, mungkin kalau aku masakin yang kamu paling suka, kamu bakal duduk di meja, senyum, lalu bilang: “Wangi banget, Beb." Mungkin kamu bakal inget gimana semua ini mulai. Dari mie instan hingga obrolan yang gak instan berakhir.
Tapi aku tetap siapkan dua mangkuk. Dua pasang sumpit. Aku rebus air, pecahin telur di waktu yang pas, dan aduk bumbunya dengan hati-hati. Bahkan aku masih pakai mangkok lebar kesukaanmu—yang kamu bilang, “Biar makannya puas.” Padahal aku tahu... kamu udah gak akan datang ke meja itu lagi.
Ternyata, Telurnya kematengan. Mienya agak lengket. Tangan aku gemeteran waktu angkat dari panci. Mungkin karena panas. Mungkin karena kepenuhan.
Kamu lewat depan meja makan tanpa lihat aku. Tanpa tanya, tanpa sapa. Tanpa lirikan ke aroma mie yang pernah kamu sebut sebagai “makanan surga.”
Kamu cuma bilang, “Aku nggak lapar.” Dan aku cuma bisa diem, sambil megang gagang panci dan menahan ratusan kalimat yang numpuk di dada, tapi gak pernah jadi suara.
Apa yang harus kita lakukan kalau orang yang kita sayang berhenti lapar… akan kebersamaan?
Kamu gak lagi nanya, “Mie-nya super pedas gak?” Gak lagi rebutan telur setengah mateng. Gak lagi ngeluh airnya kurang. Semuanya perlahan hilang.
Dan aku berusaha keras bikin semuanya tetap sama, padahal yang berubah itu...kamu.
Dan di sinilah aku. Melipat diri jadi seseorang yang mungkin masih bisa kamu temani sampai mie-nya abis. Aku bohongin diri sendiri, bilang mungkin kamu lagi capek kerja, mungkin cuma bad mood. Padahal aku gak butuh apa-apa yang mewah. Cuma pengen kamu duduk di sebelahku, sruput kuahnya bareng, dan milih aku lagi... meskipun cuma lewat satu suapan mie hangat di jam sembilan malam.
Tapi kamu lebih milih tidur lebih awal. Dan aku cuma bisa mandang mangkuk yang gak disentuh itu.
Ternyata dari awal bukan soal Indomie. Emang... bukan. Ini tentang aku yang terus milih kamu, bahkan saat kamu udah berhenti milih aku. Tentang aku yang masih bertahan di versi kita yang ketawa karena kepedesan, yang rebutan telur, yang makan bareng sambil nonton podcast kocak.
Tapi kayaknya versi itu cuma hidup di kepalaku sekarang. Dan aku satu-satunya yang masih ngasih makan kenangan itu.
Jadi, inilah aku, bersama... Satu mangkuk mie yang dingin. Satu hati yang kebanyakan bumbu tapi gak pernah cukup buat bikin kamu tinggal.
Kupikir cuma mie-nya yang overcooked. Tapi ternyata... mungkin akulah yang udah terlalu lama direbus dalam hubungan yang udah gak kamu nikmatin lagi.
Dan di dasar mangkuk itu, saat kuahnya tinggal sedikit, aku cuma bisa nanya dalam hati:
“Gimana kalau selama ini aku udah ngasih semua rasa, tapi kamu... ternyata dari awal cuma numpang kenyang?”
5 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 2 days ago
Text
Ya. Kita berdua seperti hujan tiba-tiba di tengah malam.
Untuk sesaat, tercipta kisah yang indah—bahkan terlalu indah untuk dilupakan.
Kita jatuh. Dan, entah kenapa aku masih meratapi kejatuhan itu; karena aku masih percaya jauh setelah langit mendung, kita pasti akan mekar sehabis hujan itu.
Tapi… mungkin hujannya terlalu deras.
Sampai-sampai kita tak sanggup bertahan… untuk menunggu matahari terbit esok pagi.
18 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 18 days ago
Text
Aku ngga pernah bilang selamat tinggal, aku cuma berhenti bilang hai.
61 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 21 days ago
Text
Dan mungkin itu bagian yang paling menyakitkan—bukanlah kehilanganmu, melainkan bagaimana semuanya jadi terasa wajar. Bagaimana diam menggantikan percakapan, bagaimana kenangan menggantikan kehadiran, bagaimana kamu, yang dulu jadi satu bab penuh, kini cuma jadi daftar pustaka yang nggak pernah dibaca.
Dan entah bagaimana, setelah semuanya, aku masih berharap kamu baik-baik saja—meski aku tahu, aku tak akan pernah benar-benar bisa tahu lagi tentang keadaanmu.
76 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 21 days ago
Text
Kamu boleh gak sayang aku lagi—tapi bisakah kamu berhenti hidup di dalam aku?
12 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 21 days ago
Text
Kamu tau, aku mau apa?
Bukan, aku nggak mau kamu balik.
Nggak mau juga kamu cintai aku lagi.
Aku cuma mau kamu… berhenti menghantui aku.
16 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 21 days ago
Text
“Jangan sengaja bikin jatuh cinta dengan cara-cara yang memaksa. Tapi, dekatilah dia, bikin dia senyum dengan hal-hal sederhana, hingga jatuh cinta adalah akibat yang paling indah.”
— @cindyjoviand (via kunamaibintangitunamamu)
611 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 29 days ago
Text
In-Yun (인연)
“There is a word in Korean. In-Yun (인연). It means “providence” or “fate”. But it’s specifically about relationships between people. I think it comes from Buddhism and reincarnation. It’s an In-Yun if two strangers even walk by each other in the street and their clothes accidentally brush. Because it means there must have been something between them in their past lives.” — Nora, Past Lives (2023) Terjemahan: “Ada satu kata dalam bahasa Korea. In-Yun (인연). Artinya ‘takdir’ atau ‘keberadaan yang ditentukan’. Tapi ini spesifik tentang hubungan antar manusia. Katanya sih dari ajaran Buddhisme dan reinkarnasi. Kalau dua orang asing lewat di jalan dan baju mereka saling bersentuhan sedikit saja—itu sudah termasuk In-Yun. Artinya, di kehidupan sebelumnya, pasti mereka pernah punya keterikatan.” — Nora, Past Lives (2023)
Aku pertama kali tahu kata In-Yun, hari ini, lewat film Past Lives yang berkonsep bahwa manusia yang memang ditakdirkan bertemu akan saling bersinggungan dalam satu garis waktu yang entah kapan, di tempat yang tak bisa diprediksi, dan mungkin lewat cara yang tak selalu masuk akal.
Aku juga punya satu In-Yun itu.
Dan begini ceritanya…
***
Semua berawal dari satu momen random sekaligus paling sinematik yang pernah terjadi dalam hidupku. Sumpah, aku tidak mengada-ngada, rasanya kayak adegan film—lengkap dengan slow motion, di bawah langit kuning keemasan, dan lagu Hati-Hati di Jalan yang menjadi soundtrack-nya.
Entah Lullaby, entah Memories—pikiranku terbelah antara buku mana yang akan aku beli untuk kubawa bersama penerbanganku ke Adelaide besok pagi. Waktu itu aku sedang dalam perjalanan ke Dymocks, dari arah Bridge Street, setelah acara perpisahan kecil dengan temanku. Di Google Maps tertulis: 8 menit berjalan kaki. Aku melirik ponsel. Lima kosong lima. Harusnya masih sempat, sebelum toko bukunya tutup.
Aku menggosok kedua telapak tanganku. Karena tadi siang masih hangat dan aku terlalu yakin langit secerah itu akan bertahan lebih lama, aku mulai menyesali keputusanku tidak memakai cardigan. Ini sudah pertengahan Mei—musim gugur sedang cantik-cantiknya di Sydney. Angin mulai menggigit, tapi langit sore itu terlalu cantik untuk diabaikan. Aku terhenti di persimpangan. Tepat saat itu, muncul pelangi di atas gedung-gedung yang sibuk. Jadi aku ambil ponsel, mengangkatnya setinggi mata, dan mengarahkan kamera ke atas.
Klik. Klik. Klik.
Tumblr media
Dan saat aku menurunkan tangan, satu suara memanggilku dari belakang.
“Hey—sorry, excuse me?” Suaranya terdengar samar—hampir tenggelam di antara lagu SZA yang mengalun di earphone-ku.
Seorang cowok. Mungkin awal 30-an. Rambutnya cepak dan rapi, wajahnya sedikit lelah. Ia mengenakan jaket hitam—aku cukup yakin itu Uniqlo—dengan lengan yang digulung hingga siku. Nada suaranya tenang, pelan, tapi cukup percaya diri untuk mencegah aku pergi.
Aku mencabut satu earphone. Setengah siap untuk memberi tahu arah jalan. Atau mungkin menolak brosur yang akan disodorkan.
Tapi, ternyata bukan itu.
“You look gorgeous… and you smell really nice, by the way!” Demikian kalimat keduanya.
Aku terdiam. Sedikit terkesiap. Bingung. Sepertinya aku bukan tipe orang yang memiliki efek pengisap perhatian di jalanan seramai Sydney ini.
Tumblr media
Dan pakaianku juga hanya sesederhana kaos pink dan celana kulot hitam. Standar dan biasa. Itu yang membuatku refleks menoleh ke sekeliling, memastikan mungkin dia sedang bicara pada orang lain. Tapi tidak ada siapa-siapa di sekitarku. Dan tatapannya... jelas tertuju padaku.
Aku tertawa canggung, tak yakin harus menjawab apa. “Huh? Me? Sorry, what?” Seketika, aku gelagapan.
“You,” katanya sambil tersenyum. “I mean—yeah. I saw you taking pictures at the crossing. You looked... kind of magical.”
Sial, dia berhasil membuatku tersipu. Tapi aku tetap berusaha memasang wajah normal. Aku menatap matanya yang jernih dan… tulus, tapi caranya bicara membuatku setengah ragu: siapa sih orang ini?
Dia buru-buru menambahkan, “I don’t mean to be weird, okay?” Nada suaranya bersahabat, seperti berusaha mencairkan suasana. “What are you doing here? Just finish work?”
Aku menggeleng pelan. “Not really, just walking around here.” Aku tak merasa perlu menjelaskan lebih jauh. Lagipula... aku memang cuma mau ke toko buku sehabis ini.
Dia mengangguk, menatapku seperti seseorang yang baru saja menemukan hal tak terduga di tengah jalan pulang. “Well, that’s beautiful,” katanya. “You made this street look better today.”
Sial! Ada degup kencang yang menggedor jantungku tiba-tiba. Belum pernah aku sebegini gugup ini karena orang asing. Ada bagian dalam diriku yang curiga: jangan-jangan ini cuma untuk konten di media sosial? Tapi sejauh aku mengitari pandanganku, tidak ada tanda-tanda itu.
Sepertinya dia menangkap gelagatku yang mulai tidak nyaman. Ada jeda sebelum ia bicara lagi—lebih pelan, lebih hati-hati. “Can I ask something stupid?”
“Su…re,” jawabku canggung. Itu satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulutku—refleks khas orang yang sulit bilang tidak.
“Can I see you again? Tomorrow? A walk, coffee, anything. I just... want to see you again.” Ditantangnya mataku—seolah berharap agar aku tidak sanggup untuk menolak ajakannya.
Demi apa pun, semakin aku merasa diriku tersobek jadi dua. Satu sisi ingin kabur, menjauh, menepis peristiwa ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal atau mungkin aku sedang bermimpi. Tapi di sisi lainnya… juga ingin bertanya balik jam berapa, di mana, ingin tahu, bagaimana jika ternyata ini awal dari segalanya?
Ada sesuatu dalam vibe dirinya yang tidak berbahaya. Justru tenang. Kalem. Sedikit puitis malah. Mungkin itu yang membuatku menjadi…lumpuh. Dua-duanya adalah pilihan yang sama kuat—tapi juga sama-sama menyakitkan untuk dilepas.
Tapi… Ini kayak too sweet to be true, tidak sih?
Sesuatu seperti ini cuma terjadi di film-film, kan? Atau fiksi remaja Wattpad yang terlalu mudah membuat kita percaya bahwa pertemuan singkat bisa mengubah segalanya.
Padahal, aku tahu… hidup jarang seindah itu.
Tapi, beneran, aku sedang tidak mengarang indah di sini.
Lidahku terasa kelu. Susah payah aku harus menjawabnya. Otakku berpikir dan berputar. Aku tidak bisa menolak dan tidak bisa mengiyakan tawarannya karena, “I’m moving away tomorrow…” menjadi jawabanku untuknya.
Dia terdiam, seakan otaknya butuh beberapa detik untuk benar-benar mencernanya. “Are you serious?” tanyanya dengan nada nyaris panik. “Wait… you’re not avoiding me, are you?” Keningnya berkerut setelah mendengarnya.
Aku hanya mengangguk—pelan, ragu. Dan sepertinya itu justru membuatnya makin bingung. Mungkin dia tak tahu pasti, apakah anggukan itu berarti “ya, aku benar-benar akan pergi,” atau “ya, aku memang mau menghindarimu.”
Dia menarik napas. Mengusap ujung hidungnya yang memerah karena dingin. “Well... fuck.” Lalu dia mengoreksi, “Sorry—I didn't mean to. I just… You know that feeling when you meet someone interesting, but the universe goes, ‘Nope, she's not for you.’”
Tiba-tiba kami serempak tertawa, mungkin untuk dua alasan yang berbeda. Seketika sorot matanya menangkapku, bersama kami tenggelam dalam sebuah pusaran misterius.
Aku jadi teringat konsep cosmological coincidence yang ditulis dalam bukunya Raditya Dika—bahwa masing-masing dari kita punya garis kehidupan yang telah digambarkan, dan masing-masing dari kita, kalau diizinkan, akan saling bersinggungan. Atau lebih random-nya lagi, teori butterfly effect—satu kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan tornado di Texas—bahwa setiap peristiwa adalah hasil dari rangkaian peristiwa, sekecil apapun itu, sebelumnya.
Kalau saja aku tidak bertemu dengan temanku di Bridge Street saat itu, mungkin aku tidak akan melihat pelangi sore itu, dan dia tidak akan melihatku yang sedang asyik memotret langit hari itu. Kalau saja dia tidak ada rencana pergi ke gym saat itu, mungkin aku tidak akan berpapasan dengan dia, dan tentu saja… cerita ini tidak akan pernah ada.
Dan kalau dipikir-pikir, betapa kecil kemungkinan kita bertemu seseorang—bahkan hanya sekadar bersenggolan di jalan. Dunia ini diisi oleh bermiliar-miliar manusia. Kita hidup di zaman yang sama, di abad, dekade, tahun, bahkan jam yang sama. Kita berjalan di kota yang sama, di jalan yang sama, dan secara tidak sengaja—berpapasan. Itu saja sudah ajaib bagiku.
Lalu dari momen itu, kita bisa saling mengenal, saling ngobrol, menemukan bahwa masing-masing dari kita eksis di dunia ini. Dari satu pandangan, menjadi cerita manis. Meski pada akhirnya, dalam konteks ini, berakhir juga. Dan aku belajar… peluang kehilangan seseorang ternyata sama besarnya dengan peluang untuk bertemu.
Selama hampir tiga puluh tahun itu, kami menjalani hidup yang berbeda, dan tak pernah benar-benar bersinggungan. Mungkin dulu, kami pernah bertemu di Singapura—btw, dia orang Singapura yang lahir dan tumbuh besar di Sydney. Mungkin bisa saja kami pernah berpapasan di tram Wynyard yang sibuk dan lengan kami bersenggolan. Ternyata, aku harus lebih dulu ke Sydney agar bisa bertemu dengan dia di sini. Sampai akhirnya setelah timing-nya tepat, kami baru benar-benar saling bertemu dan menyapa.
Kalau menurut logika, semua itu cuma kebetulan. Tapi menurut In-Yun, itu takdir.
Ada satu cerita lama tentang In-Yun, dan kurasa itu juga mirip dengan Red String Theory. Konon, peri takdir akan mengikatkan seutas benang merah di jari setiap bayi yang lahir. Benang itu berputar, berkelok, dan melintasi waktu—menghubungkanmu pada setiap orang yang akan kamu temui sepanjang hidup. Sampai akhirnya… benang itu berhenti di jari orang yang akan kamu cintai selamanya.
Mendadak, aku sempat membayangkan bahwa benang di jariku akhirnya berhenti. Tepat di jarinya.
Tapi, lagi-lagi mungkin konsep In-Yun bukan cuma soal bagaimana kita bertemu seseorang. Tapi juga tentang bagaimana kita melepaskannya—bahwa keajaiban itu tetap sah walau kisahnya telah usai.
Mungkin itu artinya, kita sedang diarahkan menuju In-Yun yang lebih kuat. Mungkin ada jiwa-jiwa lain yang sedang menunggu kita di tikungan waktu berikutnya.
Entahlah.
Dia melirik ponselnya, lalu menatapku lagi. “Well... if we don’t meet again… I’m glad I saw you today, Cindy.”
Senyumku mengembang pelan. “Well, I still don’t know your name.” protesku.
Tawanya sumringah ketika mendengarku berkata begitu. Lalu, sambil sedikit mencondongkan badan ke arahku, dia menggoda, “Why? You wanna marry me?”
Untuk pertama kalinya hari itu—dan mungkin juga untuk beberapa minggu terakhir itu—aku tertawa lepas. Bukan tawa basa-basi. Bukan tawa palsu. Tapi tawa yang jujur. Tawa yang hangat. Yang keluar begitu saja tanpa bisa dicegah.
"Where are you going? You don’t like Sydney?" tanyanya kemudian.
"Adelaide. Mmm—I really love Sydney… so much that I don’t want to leave. But I have to…" jawabku terbata.
��Will you miss it?” lanjutnya.
“I will… every single day,” jawabku pelan. “…maybe more than I can even imagine.”
“And I will miss you too…” katanya pelan, seolah kalimat itu keluar tanpa sempat disaring.
Aku sedikit kaget. “Do you?” tanyaku, setengah ragu, setengah berharap.
Dia mengangguk kecil, tidak menjawab, tapi cukup untuk membuatku paham. Sejenak, semuanya terasa hening—suara orang yang berlalu-lalang, suara burung gagak yang berisik, suara klakson mobil dan bis yang beradu di persimpangan lampu merah. Selebihnya, hanya suara degup jantung kami berdua.
Napasku semakin tidak beraturan ketika mendapati tubuhnya mendekati tubuhku, semakin kaget lagi saat dia memelukku halus dan membisikkan, “Take care of yourself… for me.” Ujarnya secepat ia melepaskan pelukannya.
Sore itu berlalu dengan sebuah perasaan yang terlalu singkat untuk dinamai, tapi juga terlalu bermakna hanya untuk disebut kebetulan.
“Goodbye then,” ucapku.
“Not goodbye laaah,” ujarnya cepat dengan aksen Singlish yang sudah lama tidak kudengar. “Let’s say... see you when the city wants us to meet again.”
Delapan menit yang diprediksikan Google Maps ternyata berubah menjadi cerita panjang yang akan kuingat sangat lama. Dan sebelum dia menghilang seluruhnya, dia menatapku sekali lagi dan berkata, “I hope Adelaide is kind to you.” Lalu dia mengangkat tangannya—memperlihatkan tato matahari di lengan kanannya—melambai, membalikkan badannya, dan berbaur dengan keramaian.
Dia… menjadi asing, sekali lagi.
Pada akhirnya, aku membeli buku Memories, dan tetap terbang ke Adelaide keesokan harinya.
Tumblr media
Sore itu, langkahku terasa lebih ambigu dari sebelumnya—seolah tubuhku ingin memastikan bahwa momen tadi benar-benar terjadi. Rasanya seperti mimpi. Di dunia sebesar ini, di kota seramai ini, di antara ribuan wajah asing… dia memilih untuk menyapaku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantung yang entah kenapa masih belum bisa kembali ke ritme normalnya. Sambil berjalan balik ke kehidupanku, aku merasa seperti baru keluar dari sebuah adegan film yang belum sempat ditulis ending-nya.
Jadi begitulah ceritanya…
***
Sejujurnya, butuh waktu yang lama sebelum akhirnya aku memutuskan untuk benar-benar menuliskan cerita ini. Karena aku takut terlalu dikira mengada-ngada dengan pertemuan yang terlalu klise ini. Tapi pas hari ini, setelah menonton film Past Lives, aku jadi tergugah untuk menuliskannya. Dan ternyata, menulis cerita ini adalah cara paling jujur yang bisa kulakukan, untuk bilang: In-Yun itu ternyata ada.
If two people get married, they say it’s because there have been 8,000 layers of In-Yun over 8,000 life times. Mengutip di film-nya: kalau dua orang akhirnya menikah, itu karena mereka telah melalui 8.000 lapisan In-Yun selama 8.000 kehidupan. Lalu aku bertanya dalam hati: apakah aku sudah membentuk 8.000 lapisan In-Yun dengan seseorang? Mungkinkah kehidupan ini adalah yang ke-8.000 itu? Indah sekali membayangkan bahwa konsep In-Yun berarti kita sebenarnya tak pernah benar-benar asing. Kita dan seseorang adalah dua jiwa yang pernah saling mengenal, pernah berbagi kehidupan, menangis bersama, dan memimpikan hidup bersama—entah di kehidupan yang mana.
Mungkin kehidupan ini belum jadi yang ke-8.000 untukku dan dia. Mungkin ini hanyalah satu dari sekian banyak kehidupan lalu kami. Mungkin, di kehidupan lain, dia adalah In-Yun ke-8.000-ku. Dan kehidupan itu, adalah kehidupan ke-8.000 kami.
But, whatever it maybe right now, I’m still grateful for our In-Yun.And, nice to meet you in my life, Jay.
Tumblr media
—Sinjof ⋆˙⟡
12 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 1 month ago
Text
Siap
Aku tahu aku sudah bilang ini ke diriku sendiri entah untuk keberapa kalinya. Tapi setelah mengingat-ingatmu lagi… kali ini aku benar-benar yakin: ini adalah tulisan terakhirku tentang kamu.
Hai.
Kita nggak pernah benar-benar ngobrol lagi sejak awal tahun, sejak semuanya berubah jadi asing. Tapi anehnya, sampai sekarang masih ada sudut kecil di pikiranku—dan kadang di tindakanku—yang masih nyangkut. Di kamu.
Sudah lima bulan tanpa kontak berarti. Bahkan nonton story-mu pun nggak, oh iya lupa kan kamu yang remove follower dariku. Tapi tetap saja, setiap kali aku lihat nama yang sama denganmu muncul, aku refleks terlempar ke masa lalu—ke hari itu, saat kamu pakai kemeja putih di pertemuan pertama kita, ke janjimu yang bilang akan ngajarin aku nyetir kalau weekend-mu kosong, ke senyummu yang malu-malu tapi hangatnya nyata.
Aku masih saja suka ngebatalin rencana sendiri, seolah-olah kamu bakal muncul lagi tiba-tiba, ngajak ngopi santai dan update kehidupan seolah nggak ada yang berubah.
Awalnya aku marah waktu kamu pergi gitu aja, tanpa kata pamit, tanpa penjelasan. Rasanya kayak ditinggal pas lagi berbunga-bunganya. Tapi semakin lama kupikir, semakin aku sadar: mungkin itu caramu menyelamatkanku. Karena kamu tahu, aku nggak akan pernah punya cukup keberanian buat bilang “cukup” duluan.
Melepaskan sepenuhnya itu memang sakit, tapi ternyata perlu. Apalagi setelah kita berkali-kali pura-pura sepakat jadi “teman aja”, padahal kita sendiri nggak ngerti apa yang sebenarnya kita rasakan. Tatapan jadi dingin, punggung saling menjauh, dan chat yang dulunya pakai stiker hati sekarang pelan-pelan menghilang. Kamu yang dulu selalu ada di notifikasi teratas, sekarang tenggelam jauh ke bawah.
Titik baliknya datang kemarin.
Aku buka WhatsApp lamaku. Masuk ke grup yang dulu kamu ajak aku masuk. Dan kulihat notifikasi: kamu ganti nomor. Kalau dulu, aku pasti langsung cari alasan buat nge-chat. Iseng, basa-basi, apa pun. Sekadar nanya kabar, atau berharap kamu masih mau buatku tertawa.
Tapi kemarin, aku tutup saja halaman chat itu. Dan buatku, itu bukan hal kecil.
Kamu dulu yang selalu cari aku duluan. Yang selalu dukung rencana-rencanaku. Yang selalu tahu harus bilang apa saat aku nyaris menyerah. Tapi sekarang… kamu bukan lagi orang itu. Dan untuk pertama kalinya, aku bisa menarik napas panjang tanpa sesak. Aku memilih untuk nggak menyapa. Nggak menanyakan kabar. Dan ternyata, aku baik-baik saja.
Tapi tetap saja, kenangan tentangmu berputar lagi saat aku pelan-pelan menutup WhatsApp. Entah kenapa, aku merasa... ini benar-benar akhir dari kisah kita. Dan kalau memang iya, aku sudah siap.
Karena kemarin, akhirnya aku lulus dari ujian yang selalu gagal kulalui. Untuk pertama kalinya, aku tidak memilihmu. Aku memilih diriku sendiri.
Kalau saja hari itu adalah interaksi terakhir kita, jujur… ada sedikit kecewa arena kamu meninggalkan semuanya tanpa closure. Tapi kalau senyum terakhirmu waktu kita ketemu itu memang tulus, aku bersyukur. Dan semoga senyumku juga cukup jadi penanda: aku sudah tidak menyimpan apa-apa, selain doa yang baik.
Mungkin suatu hari nanti kita akan bertemu lagi, saat luka-luka ini sudah sembuh dan hati sudah selesai tumbuh. Tapi kalaupun tidak… nggak apa-apa.
Yang penting aku ingin bilang: terima kasih sudah pernah hadir—meski sebentar. Dan maaf, karena dulu aku sempat membencimu. Sempat menjadikanmu tokoh antagonis dalam cerita yang kutulis sendiri.
Dulu aku kira kisah kita bikin kamu jadi orang jahat. Tapi sekarang aku tahu, aku cuma sedang bingung mencari akhir dari sesuatu yang mungkin, sejak awal, memang tidak dimaksudkan untuk bersama.
Kamu tidak salah. Kita hanya... nggak cocok. Itu saja :)
Ini akan jadi tulisan terakhirku tentang kamu. Dan terakhir kalinya kamu mendengar tentang aku. Dengan cara terbaik, aku harap kita tidak bertemu dulu… sampai kita memang siap bertemu lagi.
34 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 1 month ago
Text
Sisa
Kadang, berakhirnya cerita dua orang itu nggak kayak di film—nggak ada pelukan selamat tinggal, nggak ada pintu yang dibanting, nggak ada kata-kata menyakitkan.
Enggak.
Justru, kita selesai kayak gerimis yang pelannnnn banget redanya, sampai-sampai kita baru sadar udah nggak hujan lagi pas langitnya terang.
Satu waktu kita masih merasa “kita”, tapi besoknya udah kayak dua orang asing yang lupa gimana caranya ngobrol. Nggak ada perpisahan yang formal. Nggak ada kopi terakhir sambil cari penjelasan.
Kita cuma... berhenti aja—pelan-pelan, benang demi benang, terurai kayak baju sweater yang mulai lepas jahitannya melonggar tapi terlalu halus untuk disadari sejak awal.
Yang lucu, yang paling sering kita inget bukanlah bagian akhirnya. Tapi bagian di antaranya.
Yang nggak penting, tapi kok ya justru nyisa.
Cara kamu manggil nama aku sambil senyum kecil. Cara kamu hafal aku suka Earl Gray Milk Tea with extra caramel pudding. Tawa kamu yang nggak ikhlas tapi tetap kamu keluarin pas aku maksa ngelucu.
Nggak ada yang megah dari itu semua. Tapi... ada.
Kamu juga begitu. Nggak pernah jadi segalanya, tapi pernah jadi cukup.
Tapi, kayaknya dari awal kita udah sama-sama tahu, deh: hubungan ini nggak akan selamanya.
Seperti yang aku bilang, kita tuh kayak hujan sore yang turun cepet, heboh sebentar, lalu hilang secepat datangnya. Tapi meskipun gitu, rasanya tetap nyaman. Hangat. Nggak lama, tapi cukup buat bikin kita sadar bahwa ternyata kita masih bisa merasa. Masih bisa sayang. Masih bisa nyimpen kangen, walau cuma sementara.
Sekarang kita udah jalan masing-masing. Nggak ada yang jahat. Nggak ada yang salah. Cuma dua orang yang tumbuh ke arah yang beda. Tapi nggak apa-apa. Karena meski akhirnya nggak ke mana-mana, perasaan itu pernah ada. Dan itu cukup.
Kadang cinta tuh emang nggak harus dibungkus dengan janji atau dirayakan pakai pesta. Cukup dikenang dalam diam. Disimpan rapi dalam hati, kayak surat yang nggak pernah dikirim—tapi kamu tahu isinya berarti.
Tapi hei, menyenangkan juga, ya, selama momen itu masih ada.
250 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 2 months ago
Text
Dari segala jenis nangis, nangis diam-diam di toilet semenit yang paling menyedihkan sih.
44 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 3 months ago
Text
Apa mungkin memang begitulah cara semesta bekerja?
Beberapa orang hadir, hanya untuk lewat, meninggalkan kesan, lalu pergi.
Seperti jeda yang...
terlalu pendek untuk jadi kenangan,
tapi juga terlalu disayangkan jika benar-benar dilupakan.
51 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 3 months ago
Text
30
Tiga puluh. Kelihatannya cuma angka—kecuali kalau kamu sadar: ini artinya kamu benar-benar kehilangan usia dua puluhan-mu. Usia yang sudah cukup tua untuk ‘main-main’. Tapi terlalu muda untuk benar-benar mengerti: hidup ini sebenarnya mau ke mana.
Aku masih ingat, 13 tahun lalu... aku baru 17.
Pukul 10 pagi, dua hari setelah ulang tahunku, teman-teman ngasih kejutan di kantin. Rainbow cake—yang waktu itu lagi viral. Dan betapa ringannya dunia saat itu, saat hal paling berat yang kupikirkan cuma: “Duh, besok ulangan sejarah tiga bab,” atau bolak-balik login Facebook cuma buat ngecek: “Dia udah accept friend request belum ya?”
Dan sekarang... 30.
Banyak yang berubah. Aneh ya?
Dulu, waktu terasa lambat. Kayak nunggu jemputan yang nggak datang-datang.
Sekarang? Semuanya lewat kayak mimpi semalam: cepat, kabur, nggak pamit, nggak kasih jeda, nggak ada pertanda.
Dan… ini beneran aku sudah 30?
Dulu, aku pikir tiga puluh itu artinya stabil. Punya kerjaan mapan, sibuk dengan hobi keren, bebas liburan kapan aja, dan benar-benar menikmati hidup.
Tapi lucunya... versi kecilku yang naif itu, kayaknya malah lebih paham hidup daripada aku yang sekarang.
Dan, tahu nggak apa yang paling ironis?
Dulu aku yakin, bahwa menjadi dewasa itu berarti semuanya jadi lebih masuk akal, lebih mudah, lebih tertata.
Ternyata enggak. Ternyata... jadi dewasa justru bikin kita makin banyak mikir, makin sering nanya ke diri sendiri: “Ini bener nggak sih jalan yang aku pilih?”
Dan dari semua hal yang aku coba pahami, yang paling ingin aku tahu—cuma satu: "Kenapa jadi dewasa rasanya kayak dihukum, cuma karena kita bertumbuh?"
Tapi ya, biar gimana juga, aku pengen mulai bab 30 ini... dengan cukup saja.
Di tengah rasa bingung dan takjub yang belum selesai juga, aku nulis ini—dengan jantung yang deg-degan, dan pikiran yang bercabang kayak tab Google Chrome: semuanya kebuka, nggak ada yang bisa ditutup, karena semuanya kerasa penting.
Mungkin karena kopi. Mungkin karena anxiety. Atau mungkin karena... aku sadar, hari ini, aku tiga puluh.
Serius? Sekali lagi... ini aku? Udah 30?
Setelah ini apa? Beneran dewasanya? Siap nggak? Ayo?
Hidup kadang selucu itu. Kadang, kita cuma pengen punya lebih banyak jawaban, tapi yang datang malah pertanyaan-pertanyaan baru. Dan lebih kejamnya... hidup nggak pernah ngasih reminder: “Hei, kamu sekarang harus ngerti semuanya.” Padahal... aku belum mengerti apa-apa.
Dan mungkin... kalau semuanya ini harus kujawab dengan satu kalimat aja, itu adalah: “Boleh gak... aku balik ke waktu dulu?”
Bukan karena saat itu tanggung jawabnya belum besar. Tapi karena dulu aku… belum terlalu takut.
Dulu, keinginanku sederhana: pulang sekolah, makan es krim, nunggu film yang ada Morgan-nya.
Dulu, angka ‘tiga puluh’ terdengar seperti milik orang dewasa. Jauh. Matang. Sampai.
Sekarang? Itu aku.
Dan sudahkah aku sampai?—Itu menjadi pertanyaan yang bikin kepalaku migrain…setiap harinya.
Lalu, katanya, kadang keindahan baru bisa dilihat dari kejauhan. Mungkin nanti, di hari yang biasa banget—waktu aku bengong nunggu tram atau antri beli matcha di Edition Roasters—aku bakal sadar:
Umur tiga puluh itu sebelas dua belas dengan matahari jam lima tiga puluh. Nggak langsung indah, tapi semua orang ngerti... kenapa butuh waktu segitu lama.
Tapi hari itu? Aku harap bukan hari ini. Belum. Belum dulu.
88 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 3 months ago
Text
Bagian paling nyesek dari di-ghosting adalah… ketika si pelaku dengan percaya dirinya kembali seolah-olah merasa dia masih pantas disambut.
—Gitu, ya?
53 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 3 months ago
Text
Dilema
kamu pernah gak sih...
jadi terlalu akrab sama satu orang, sampai kamu mikir, “kayaknya ini bakalan lama.” tapi ternyata yang ‘lama’ itu bukan kisahnya—tapi lukanya.
dia pernah bilang dia bahagia banget sama kamu, tapi kamu malah ngerasa dilema tiap kali berada di dekatnya. dan anehnya, kamu masih keukeh yakin, “mungkin cinta banyak bentuknya.” karena di pikiranmu, cinta gak selamanya manis dan mulus.
tapi waktu semuanya berubah, dan kalian sama-sama sepakat mau berhenti, dia bilang, “kita masih bisa jadi temen baik, kan?” dan jujur… kamu seneng kalau ini resmi selesai, sekaligus dilema... karena yang bikin kamu gak siap itu bukan cara putusnya— tapi cara dia ngilangin kamu dari hidupnya.
semua percakapan, semua ketawa, semua cerita yang kamu kira akan selamanya diingat, dan janji untuk berteman baik—diganti dengan nomor yang diblokir dan akun media sosial yang di-unfollow.
itu— itu yang bikin kamu dilema; “aku gak butuh kamu lagi kok, tapi bisa gak kamu gak perlu sejahat ini melenyapkan aku dalam hidupmu?”
padahal kamu gak marah karena dia memilih pergi. kamu marah karena dia memutuskan untuk menganggap kamu gak pernah jadi bagian dari hidupnya... sama sekali.
meski hanya sepenggal saja.
40 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 3 months ago
Text
Candu
kamu pernah gak sih...
ngerasa diingkari sama seseorang yang kamu yakini satu-satunya yang gak akan nyakitin kamu?
kamu bingung kalau kamu gak kecewa, karena...gimana bisa tangan yang dulu kamu genggam adalah tangan yang sama yang mengacak-acak hidupmu sekarang.
semua yang dia kasih dulu—kata-kata manis, pelukan hangat, janji-janji kecil yang kelihatannya tulus—ternyata cuma perban cadangan buat luka yang dia tau akan dia ciptain nanti.
dan sekarang, kamu sendiri berdiri di antara reruntuhan hubungan itu, memegang potongan-potongan yang udah gak bisa disatuin lagi, yang bahkan pengen kamu buang semuanya, tapi entah kenapa kamu gak tau gimana caranya.
tapi lucunya kamu tau. ini bukan cinta. ini cuma candu. dia pernah jadi “obat” —sesaat. tapi sekarang, dia hanya menambah bekas luka yang ada.
dan kamu cuma pengen balik. bukan ke dia—tapi ke dirimu sendiri. minta dikembalikan semua hal yang dia ambil: ketenanganmu, pikiranmu, hatimu yang dulu gak sekacau ini.
kamu capek harus terus merasakan kemalangan ini, sementara dia bahkan gak pernah benar-benar hadir lagi. dan malam pun terasa jadi satu-satunya ruang buat berharap: semoga gelap bisa bantu kamu menutup memori tentang dia.
dan akhirnya kamu belajar; jatuh cinta seharusnya berdua, tapi hanya kamu yang terus jatuh, dia tidak lagi.
29 notes · View notes
kunamaibintangitunamamu · 3 months ago
Text
Bosan
kamu pernah gak sih...
sayang sama seseorang, tapi tiap kamu ngasih semuanya... yang kamu dapet cuma sisa?
kayak kamu terus berusaha nyenengin dia, bahagiain dia, nurutin apa yang dia mau, padahal dalam hati kamu udah capek—
bukan, bukan capek karena benci, tapi capek karena—kamu gak lagi dilihat sebagai seseorang yang dia butuh, tapi cuma sebagai orang yang cukup untuk sementara sampai dia ketemu orang yang lebih baik dari kamu.
kamu ngirain, kalau kamu terus patuh, dia bakal sadar. kalau kamu sabar, semuanya bisa jadi kayak dulu lagi.
tapi ternyata dia cuma datang pas dia butuh kamu, dan pergi dengan gampangnya pas kamu butuh.
dan lama-lama... kamu berhenti nangis. kamu berhenti nunggu. karena yang tersisa cuma hampa dan rasa... bosan. bosan dicuekin. bosan ditinggalin. bosan dianggap "sekadar".
kamu ngerasa kayak rumah gak berpenghuni, sementara dia entah di mana dan ke mana, dan dia... gak pernah ngerasa bersalah sama sekali. padahal kamu udah ngasih semuanya—semua bagian dari dirimu yang bahkan kamu aja gak tahu apa kamu masih punya.
dan sampailah kamu di bagian— kamu gak pengen balas dendam. kamu gak pengen penjelasan panjang lebar. kamu cuma pengen dilepas, biar bisa bebas. biar bisa sembuh tanpa harus pura-pura lupa.
karena yang paling menyakitkan itu bukan ditinggal atau dicuekin... tapi diajarin gimana caranya hidup tanpa seseorang yang dulu kamu kira gak bisa kamu lepasin.
dan sekarang, kamu bukan lagi takut. kamu cuma… bosan.
44 notes · View notes