lelakimu
lelakimu
Tanpa judul
4 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
lelakimu · 6 days ago
Text
Jarak di Antara Kita
Laut bergumam pelan malam itu, ombaknya menyapu pasir pantai di kejauhan. Di dalam kafe kecil bernama Bintang Laut, lampu temaram memantul di meja kayu yang sudah usang. Rian berdiri di balik mesin kopi, tangannya sibuk menggosok cangkir meski tak ada pelanggan lain. Malam ini adalah malam terakhirnya di kafe, di kota kecil ini, sebelum ia pindah ke kota besar untuk mengejar mimpinya jadi arsitek. Dua hari lagi, ia akan pergi.
Pintu kafe berderit pelan. Lia masuk, rambutnya sedikit acak-acakan oleh angin malam. Ia membawa sketsa buku di tangan, seperti biasa, dan senyum kecil yang selalu membuat Rian merasa dunia sedikit lebih ringan.
“Masih buka, Ri?” tanya Lia, suaranya lembut tapi ada nada ragu yang tak biasa.
Rian mengangguk, menyeka tangan di celemeknya. “Buat kamu, selalu buka. Kopi biasa?
”Lia mengangguk, lalu duduk di sudut dekat jendela, tempat favoritnya yang menghadap laut. Rian mulai menggiling biji kopi, suara mesin memecah keheningan. Ia mencuri pandang ke arah Lia, yang kini membuka buku sketsanya, jari-jarinya memainkan pensil dengan gugup.
“Besok udah ga di sini, ya?” Lia berkata tanpa menatap, matanya tertuju pada kertas di depannya. “Kota besar, Ri. Ga takut kesepian?”
Rian menuang air panas ke dalam cangkir, uap kopi naik perlahan. “Mimpi kan ga dateng sendiri, Li. Harus dikejar.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Kamu juga tahu itu.”
Lia tersenyum kecil, tapi matanya tak ikut tersenyum. Ia menggambar sesuatu di kertasnya, garis-garis lembut yang tampak familier. Rian membawa kopi ke mejanya dan melirik sketsa itu. Jantungnya seperti terhenti sejenak. Itu dia—Rian—dalam garis pensil Lia, berdiri di balik mesin kopi, dengan laut dan bintang di latar belakang.
“Kenapa aku?” tanya Rian, suaranya serak. Ia menarik kursi dan duduk di depan Lia, cangkir kopi di antara mereka seperti batas tak terucap.
Lia berhenti menggambar. Jari-jarinya mencengkeram pensil lebih erat. “Karena kamu… kamu bikin tempat ini berarti, Ri.” Ia menunduk, rambutnya jatuh menutupi wajah. “Tapi dua hari lagi, kamu pergi. Dan aku… aku cuma takut.”
“Takut apa?” Rian mencondongkan tubuh, nadanya lembut tapi penuh desakan.
Lia menghela napas, akhirnya menatapnya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tersenyum. “Takut gagal. Pameran seni pertamaku minggu depan, Ri. Kalau orang bilang lukisanku jelek, kalau aku ga cukup bagus… aku ga tahu apa lagi yang aku punya.” Ia menjeda, lalu menambahkan pelan, “Dan kalau aku bilang aku suka ngeliat kamu di sini, apa itu cukup buat kamu tinggal?”
Udara terasa berat. Rian menatap Lia, kata-kata itu seperti pisau yang lembut tapi tajam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokannya terasa kering. “Li,” katanya akhirnya, “kalau aku bilang aku suka ngeliat kamu ngegambar di sini, apa itu cukup buat kamu stay?”
Mereka terdiam. Ombak di luar kafe terus bergumam, seperti mengisi kekosongan antara mereka. Lia menggeleng pelan. “Buat apa bilang cinta kalau besok kita di jalan yang beda?”
Rian merasa dadanya sesak. Ia bangkit, berjalan ke jendela, menatap laut yang gelap. “Aku takut, Li. Takut kalau aku pergi, aku bakal nyesel ninggalin… ini.” Ia menoleh ke Lia, matanya penuh keraguan. “Tapi kalau aku ga pergi, aku takut aku ga akan pernah tahu siapa aku sebenarnya.”
Lia bangkit, membawa buku sketsanya. Ia membuka halaman terakhir dan menunjukkan lukisan yang sudah selesai. Itu Rian, dengan laut dan bintang, tapi kini ada tulisan kecil di sudut: Jangan lupa pulang. “Aku ga minta kamu tinggal, Ri,” katanya, suaranya bergetar. “Aku cuma minta… kalau kamu nemu mimpimu, jangan lupa jalan pulang.”
Rian menatap lukisan itu, lalu menatap Lia. Tanpa kata, ia melangkah mendekat dan memeluknya. Pelukan itu hangat, penuh hal-hal yang tak terucapkan. Lia memeluknya balik, tapi tak ada air mata, hanya keheningan yang penuh makna.
Kafe harus ditutup. Lia berjalan keluar, buku sketsanya di dadanya. Rian mengunci pintu, lalu berdiri di jendela, menatap laut yang berkilau di bawah bintang. Mereka tak tahu apakah jalan mereka akan bertemu lagi. Tapi malam ini, mereka belajar bahwa cinta tak selalu tentang memiliki—kadang, cinta adalah membiarkan satu sama lain mengejar bintang masing-masing, meski jarak di antara mereka terasa seperti lautan.
TAMAT
12 notes · View notes
lelakimu · 14 days ago
Text
TENTANG PERTANYAAN
Ketika kita mencintai seseorang tanpa syarat, apakah itu berarti kita melihat esensi sejati mereka, atau justru proyeksi dari harapan terbaik kita pada mereka?
Jika cinta sejati tidak menuntut balasan, apakah itu bentuk tertinggi dari kebebasan, atau justru beban yang tak terlihat bagi yang dicintai?
Mungkinkah cinta murni itu lebih tentang bagaimana kita memberi, bukan tentang apa yang kita rasakan?
Apakah cinta yang paling tulus muncul saat kita menerima seseorang sepenuhnya, termasuk semua "kekurangan" mereka, atau saat kita melihat potensi terbaik dalam diri mereka?
Dalam kesibukan hidup sehari-hari, bagaimana kita tahu bahwa momen-momen kecil yang kita bagikan adalah ekspresi cinta murni, bukan sekadar kebiasaan atau kenyamanan?
15 notes · View notes
lelakimu · 29 days ago
Text
Tentang Kopi, Piringan Hitam, dan Sebuah Ruang yang Tak Perlu Nama
Ada pagi di mana kopi tak lagi terasa seperti keharusan, tapi sebuah ritual sunyi. Seperti pagi ini. Uapnya menari, membawa aroma yang terasa seperti memori—bukan memori spesifik tentang tanggal atau kejadian, melainkan semacam gema dari percakapan yang pernah ada. Mungkin ini yang dimaksud Murakami saat ia menulis tentang sumur yang dalam: kau tidak tahu apa yang ada di dasarnya, tapi kau tahu itu ada.
Kita selalu salah mengira cinta sebagai sebuah proklamasi besar. Sebuah penaklukan puncak gunung, seperti yang Fiersa tuliskan dalam perjalanannya. Kita pikir ia adalah deklarasi di bawah senja jingga atau janji yang terucap di tengah riuh konser.
Padahal, setelah semua riuh itu reda, apa yang tersisa?
Di sinilah Gunawan Mohamad seakan berbisik lewat celah jendela yang terbuka: esensi seringkali bersembunyi di "catatan pinggir". Cinta bukanlah judul bab yang ditulis dengan huruf kapital. Ia adalah kalimat-kalimat kecil di catatan kaki; coretan pensil di halaman 137 sebuah novel yang kau pinjam darinya; jeda di antara dua lagu dalam sebuah piringan hitam jazz yang berputar pelan.
Cinta yang tulus, barangkali, adalah sebuah paradoks. Ia adalah kehadiran yang paling terasa justru saat tidak ada kata-kata yang diucapkan. Seperti saat bermimpi suatu hari kau membuatkan aku kopi pagi itu, dan aku hanya melihat punggungmu yang menghadap jendela. Tidak ada dialog. Tidak ada pertanyaan. Hanya ada pemahaman bahwa kau tahu aku butuh kafein sebelum dunia memaksaku untuk berpikir.
Dan seperti seekor kucing yang tiba-tiba melompat ke pangkuanmu tanpa alasan, cinta yang sebenarnya tidak butuh justifikasi. Ia tidak datang dengan proposal atau daftar kelebihan dan kekurangan. Ia hanya datang, duduk dengan nyaman di ruang kosong antara dirimu dan diriku, dan mendengkur pelan.
Kita tidak sedang mendaki gunung untuk menancapkan bendera. Kita hanya sedang berjalan pulang, menyusuri jalan setapak yang sama, kadang di bawah hujan gerimis. Kau tidak berjanji akan menghentikan hujannya, kau hanya membuka payung. Dan itu lebih dari cukup.
Mungkin cinta bukanlah tentang menemukan seseorang yang melengkapimu. Mungkin ia adalah tentang menemukan seseorang yang memberimu ruang untuk menjadi dirimu sendiri secara utuh—dengan segala kerumitan, keheningan, dan secangkir kopi pagimu yang kadang terasa sedikit pahit.
Dan di ruang tanpa nama itulah, segalanya terasa pas. Tanpa perlu dijelaskan.
16 notes · View notes
lelakimu · 1 month ago
Text
Filosofi Kopi
Di balik uap mengepul dari cangkir kopi yang baru diseduh, tersembunyi sebuah semesta. Semesta yang, entah bagaimana, terasa familiar namun juga asing. Seperti mimpi yang perlahan memudar saat fajar menyingsing, namun meninggalkan jejak kegelisahan yang tak terucapkan.
Harapan dalam Secangkir Kopi yang Pudar
Aku duduk di sudut kafe, tempat yang biasanya ramai, kini terasa seperti ruang tunggu yang luas dan kosong. Aroma kopi robusta memenuhi udara, pekat dan mendalam, seperti ingatan yang tak kunjung terhapus. Di tanganku, secangkir kopi hitam mengepul. Setiap tetesnya adalah janji, sebuah harapan akan kejernihan yang seringkali tak pernah tiba.
Kopi, bagi sebagian orang, adalah rutinitas. Bagi yang lain, sebuah ritual. Bagiku, malam itu, kopi adalah sebuah pertanyaan. Apakah esensinya ada dalam biji yang digiling, dalam air panas yang merasuk, atau dalam keheningan yang menyertai setiap tegukan? Setiap teguk, terasa seperti langkah kaki di koridor panjang dan tak berujung, mencari sebuah pintu yang mungkin tidak ada.
Seperti karakter dalam novel yang mencari makna di antara tumpukan piring kotor atau irama musik jazz yang melankolis, aku mencari sesuatu dalam cangkir ini. Mungkin sebuah jawaban, mungkin sekadar konfirmasi bahwa aku tidak sendirian dalam absurditas eksistensi ini. Namun, yang kudapati hanyalah rasa pahit yang perlahan menjalar, meninggalkan jejak kekosongan.
Eksistensi yang Mengepul: Gugatan atas Rutinitas
Lalu, sebuah pikiran merayap masuk, dingin dan tak terelakkan, seperti bayangan di balik tirai yang bergerak karena hembusan angin yang tak terlihat. Kopi, rutinitas ini, bukankah ia hanyalah sebuah mesin yang terus berputar? Biji yang digiling, air yang dipanaskan, bubuk yang diseduh—semuanya adalah bagian dari sistem yang lebih besar, sebuah mekanisme yang tidak pernah berhenti, bahkan saat kita merasa lelah, bahkan saat kita ingin berhenti.
Pagi, siang, malam, kopi selalu ada. Ia adalah pengingat konstan akan tugas, akan kewajiban yang tak terucap. Apakah kita benar-benar menginginkannya, ataukah kita hanya sekadar menjalankan peran yang telah ditetapkan untuk kita?
Dan saat aku menatap ampas kopi di dasar cangkir, sebuah kegelisahan kecil muncul. Ampas itu, sisa dari segalanya, apakah ia tahu tujuannya? Atau hanya sekadar ada, menunggu untuk dibuang, dilupakan, seperti dokumen-dokumen yang tak pernah dibaca, atau surat-surat yang tak pernah terkirim? Apakah filosofi kopi, pada akhirnya, hanya sebuah refleksi dari absurditas eksistensi kita sendiri, di mana kita terus berputar dalam siklus yang sama, berharap menemukan makna di setiap tegukan, padahal yang ada hanyalah sisa-sisa yang tak berarti?
Mungkin, pada akhirnya, kopi bukan tentang rasanya, bukan tentang aromanya, melainkan tentang ruang yang diciptakannya. Ruang untuk merenung, ruang untuk mempertanyakan, ruang untuk menghadapi keheningan yang menakutkan, atau mungkin, sekadar ruang untuk melanjutkan, terlepas dari segala kegelisahan yang mungkin tak akan pernah terjawab.
23 notes · View notes