Tumgik
masisibal-blog · 7 years
Quote
Dulu aku bilang sama kamu, kalau ada yang ngecewain kamu, dia bakal dicoret dari daftar calon menantu ibumu. Dan aku percaya dia nggak seperti itu. Selamat menikah, Nabila
Kukuh
2 notes · View notes
masisibal-blog · 7 years
Text
Shifa Part 1
-Gibran
Di stasiun besar Manggarai siang terik hari ini, gue yang baru aja selesai kerja dan sekarang mau pergi ke kampus yang terletak di daerah Palmerah.
Oh iya, nama gue Gibran. Bukan Kahlil Gibran yang sering dimaksud banyak orang yang baru mengenal gue. Gue nggak suka puisi, gue lebih suka ilmu pasti. Gue adalah mahasiswa arsitektur di salah satu kampus swasta di Jakarta.
Saat ini gue memutuskan naik commuter line dari stasiun Manggarai ke stasiun Palmerah yang nantinya disana gue dijemput sama sahabat sekaligus teman satu kosan gue -namanya Alvian, buat nebeng bareng dia ke kampus.
Setelah tap in menggunakan kartu/uang elektronik yang gue punya sebagai tiket masuk stasiun di tripod gate, gue jalan diantara puluhan orang yang sibuk dengan tujuannya masing-masing.
“Sorry, mas,” kata gue ke seorang PKD(petugas keamanan dalam) stasiun yang lagi mengatur para calon penumpang buat menyebrang setiap melewati jalur kereta.
“Ya, ada yang bisa dibantu?” tanya dia.
“Tolong kalo bisa ibu yang pake baju merah dan bawa tote bag warna kuning itu jangan sampai naik kereta,” pinta gue sambil memandang ke arah orang yang gue maksud.
“Loh, kenapa, pak?”
“Udah, cegah aja dia,” jawab gue dan langsung meninggalkan petugas PKD tadi setelah berkata, “bisa bahaya kalau udah di dalem kereta.”
Kereta di jalur 5 yang sudah menunggu buat berangkat akhirnya gue naiki.
Tapi, sebelum gue naik, gue lihat ke arah lain, yaitu ke arah seorang ibu baju merah tadi yang tinggal beberapa langkah lagi masuk ke dalam pintu kereta tiba-tiba berhenti.
Dan kemudian…
“EH.. EH, YA AMPUN!” teriak seorang cowok berusia 40 tahunan di dekat situ.
“Aaaak!” disusul teriakan cewek.
Beberapa detik kemudian ibu baju merah tadi pingsan. Untungnya di belakang ada petugas PKD yang barusan ngobrol bareng gue yang berhasil menahannya supaya nggak jatuh ke lantai.
Semua orang memandang ke arah sana, tapi gue lebih memilih masuk ke kereta dan duduk sambil mencoba memejamkan mata.
Bukan. Ibu itu bukan meninggal karena diracun, pura-pura pingsan karena bawa senjata tajam, atau barang yang dilarang. Tapi, karena penyakit asmanya udah cukup parah.
Gue tau itu karena setelah tap in di tripod gate, gue mengamati ibu tadi yang berjalan di sampingnya. Ibu tadi terlihat sering menyentuh bagian lehernya yang kemungkinan iritasi di bagian tenggorokan.
Lalu tangan kanannya memegang dada bagian atas yang gue liat napasnya cukup berat.
Dan yang terakhir, yaitu ketika ibu itu membuka mulutnya, ingin mengucap sesuatu tapi sepertinya nyeri dan malah batuk karena dipaksa.
Gue bukan seorang dokter, gue juga bukan terobsesi menjadi dokter. Gue sejak kecil sangat suka mengamati sekitar. Sekitar jangkauan radar kedua mata gue. Membaca dengan cermat baik itu tulisan, daily expression, dan body language setiap orang.
Dengan gue menguasai microexpression stuff ini juga, gue suka disebut-sebut bisa membaca pikiran.
Bahkan ada yang menyebut gue dukun asal Jombang. Padahal sederhananya, gue cuma terbiasa melakukan hal kayak di atas. Setiap orang pun bisa melakukannya. Cuma dari itu semua, ada seseorang yang nggak bisa gue ‘baca’ pikiran, kemauan, bahkan perasaannya. Seseorang yang untuk gue liat matanya aja sangat sulit. Seseorang yang sering menularkan kebahagiaan ketika dia lagi senyum.
Ya, dia namanya adalah Shifa, hal ini udah terjadi udah cukup lama –dari saat kita satu SMA. Daripada ingin mengetahui semua hal tentangnya, apa isi dari pikirannya selama ini, akhirnya gue lebih memilih mencoba menyibukkan diri dengan hal lain.
Setelah kereta jalan, gue membuka mata dan melihat di depan gue ada seorang cewek yang lebih muda dari gue yang berdiri karena kursi kereta saat itu udah penuh. Gue tau dia lebih muda karena dilihat ada gantungan berbentuk wajah Anjing dengan motif aksara China, atau disebutnya Han Zi(汉字), yang gue tau itu adalah sebuah lambang shio-nya.
“Mba,” sahut gue sambil mencoleknya, “duduk, biar saya yang gantian berdiri.”
“Nggak usah, mas. Saya deket ini kok,” jawabnya.
“Stasiun Duri lebih jauh dari stasiun saya turun,” ucap gue sambil menjelaskan gue akan turun di stasiun Tanah Abang yang lebih dulu sampai daripada stasiun dia turun dan nantinya gue akan transit lagi ke stasiun Palmerah.
“Loh, kok tau saya mau ke stasiun Duri?”
“Yauda, duduk dulu aja, mba,” jawab gue yang akhirnya berdiri. Dia pun menuruti dan duduk.
“Kok, mas bisa tau?” tanyanya lagi ke gue.
“Jadi gini, abis mba beli THB(tiket harian berjamin) di loket, mba langsung nanya ke PPK(petugas pelayan KRL) soal kereta jurusan stasiun Grogol kan?” ucap gue. Dia mengiyakan ucapan gue, tapi wajahnya masih bingung, “terus tadi mba juga nanya lagi ke petugas PKD buat memperjelas lagi. Dan keliatan mba juga baru pertama kali naik kereta, bukan?”
“I-iya, mas.”
“Kalo orang yang udah biasa naik kereta mungkin dia pake kartu multi-trip atau kartu semacam Flazz, E-money, Brizzi, atau semacamnya, dan kalau beli tiket biasa juga nggak sedetail nanya dimana jalur kereta jurusan yang mba tuju yang padahal udah diberi tau pengeras suara oleh bagian informasi atau layar LCD tiap jalur.”
Dia pun terdiam. Sepertinya udah paham dengan apa yang udah gue jelasin. Tapi, nggak lama gue ajak dia ngobrol lagi.
“Mba..”
“Ya, mas?” jawabnya yang gue pastiin dia masih fokus.
“Mba mending usaha buat punya pikiran positif ke suaminya deh. Terlalu curiga itu sama kayak nyakitin diri sendiri.”
“M-maksudnya?“
“Ekspresi mba keliatan kok,” jawab gue, dia langsung membuang wajahnya, “orang yang cemas itu keliatan dari ekspresinya yang selalu bingung, mba juga keringetan padahal kereta ini kan ber-AC, mulut mba keliatan kering, dan keliatan lebih banyak tangannya nggak bisa diam, mba ngelakuinnya dengan mainin handphone mulu.”
Dia lagi-lagi nggak bisa jawab.
“Saya saranin, kalau mba udah ketemu suaminya dan ternyata nggak terbukti selingkuh, mba jangan malah membuat sesuatu yang sebenernya itu cuma ada di dalam pikiran buruknya mba yang direalisasikan,” ucap lagi gue dengan pelan.
“Tapi….”
“Sebentar lagi suaminya mba nelfon. Omongin baik-baik. Kalau memang mba bener-bener gak mau kehilangan suaminya,” potong gue.
Dan nggak lama, ada telfon bergetar tanda ada telfon di handphone-nya. Dia angkat sambil memandang gue dengan ekspresi buat meyakinkan ucapan gue barusan.
Setelah menutup telfonnya, dia langsung menyender di bangkunya yang merefleksikan bahwa perasaannya sudah tenang.
“Mas?”
“Gimana?” gue tanya balik.
“Mas ini cenayang, ya?”
Pertanyaan gue nggak dijawabnya. Dan malah gue yang jawab pertanyaannya, tapi dengan senyuman.
Nggak kerasa akhirnya gue udah sampai di stasiun Tanah Abang buat transit, gue pun turun. Karena kereta jurusan akhir sampai stasiun Serpong di jalur 1 yang nanti melewati stasiun Palmerah mau berangkat, gue pun berjalan cepat supaya nggak ketinggalan.
Hap!
Untungnya keburu. Setelah beberapa detik kemudian pintu kereta tertutup. Calon penumpang lain yang dari jauh sudah berlari mengejar tapi ternyata nggak keburu pun mempelihatkan kekecewaannya. Saat ini gue lagi beruntung dan merasa senang, tapi hidup juga tentang disana yang masih ada yang terus berjuang tapi malah kurang beruntung dan kecewa, begitu bukan?
Stasiun pemberhentian pertama adalah stasiun Palmerah, gue langsung bersiap-siap turun. Gue yakin Alvian udah nungguin gue.
Gue jalan ke pintu keluar dengan menaiki tangga dan berada di area gedung stasiun yang sangat luas dan ada suara dari pengeras suara mengatakan, ‘selamat datang di Stasiun Palmerah’.
Setelah tap out di tripod gate dari Stasiun Palmerah dan keluar lewat exit-door sebelah kanan yang sudah terhubung dengan jembatan penyebrangan jalan.
Gue turun dan sudah keliatan juga Alvian dengan motornya di pinggir jalan.
“Yuk, let’s go!” kata gue langsung di sampingnya.
“Eh astagfirullah. Kaget gue,” jawab Alvian dengan mata yang terbuka lebar, “njir… gue baru aja matiin motor.”
“Yauda ambil napas dulu.”
“Lo udah lama?” tanya Alvian.
“Baru aja keluar stasiun, cuy.”
“Kok bisa pas sih?”
“Pas gimana?”
“Kereta kan sering telat. Tadi lo chat gue jam 1 lewat 4 menit dan sekarang jamnya pas banget!”
“Hitung pake rumusnya Girolamo Cardano lah.”
“Rumus apaan tuh?”
“Aelah, apa ya. Em.. Feeling. Ngerti kan?”
“Baper lu~”
“Dijelasin juga pasti lo bakal gumoh,” kata gue.
“Yauda cabut gak nih?”
“Yauda, mana helmnya?” pinta gue, ”oh iya, kita jangan lewat Jalan Palmerah Barat. Motong jalan aja lurus terus.”
“Lah, motong jalan dari mana, crot? Itu kan malah muter jauh?”
“Disana ada mobil kebakar, bakal macet dan malah makin lama nyampe kampus.”
“Hah?”
“Udah nanti gue jelasin.”
“Oke deh.”
“Good!” Sejak awal masuk kuliah, gue sama Alvian udah sahabatan. Selain kita satu kosan, kita juga satu kelas.
Alvian ini adalah salah satu spesies jomblo juga, mungkin karena dia lebih sering natap layar laptopnya daripada natap cewek. Punya badan yang tinggi karena dia juga dulu mantan atlet basket yang kini udah pensiun dan lebih memilih ngabisin waktunya sama dunia komputer, game, dan program.
Terbukti dia memang jago, terakhir kali, Alvian nunjukin juga ke gue kalau dia bisa hack salah satu start up lokal yang cukup besar.
Kadang gue juga selalu minta bantuan dia setiap kerjaan gue yang mengharuskan melacak data. Oh iya, gue belum ngasih tau kalau gue kerja apa. Gue bekerja sebagai analisis, atau konsultan, atau kalau kalian belum paham, gue adalah pembantu tim kepolisian dalam memecahkan kasus.
Tadi juga sebenarnya gue habis menyelidiki satu kasus yang terjadi di Manggarai. Dulu gue direkrut oleh seorang kepala kepolisian daerah Jakarta Pusat setelah gue pernah nggak sengaja terlibat dalam sebuah insiden di sebuah mall.
Ok, balik lagi soal Alvian. Gue dan Alvian adalah seorang perantau yang menjadi mahasiswa di Jakarta. Gue berasal dari Bandung, sedangkan Alvian dari Jogja.
Alvian ini mungkin adalah salah satu orang yang masuk salah jurusan kuliah. Di kampus padahal ada jurusan IT, tapi entah kenapa dia malah memilih arsitek. Tapi, akhirnya gue tau ketika melihat gerak-gerik Alvian saat sedang menelfon orang tuanya, ada sebuah ‘paksaan’ disana.
“Al, berhenti dulu di warung depan, ya?!” pinta gue dan Alvian pun memberhentikan motornya di depan warung yang gue maksud.
“Ngapain?”
“Beli sesuatu.”
“Jangan lama lu!”
“Paling sejaman.”
“Kampret.”
“Sejaman es, jaman batu, jaman kesepian.”
“ITU MAH ZAMAN, KUTIL TAPIR!” jawab Alvian kesal.
Gue pun akhirnya masuk ke warung itu menemui pemiliknya. Gue nemu seorang ibu paruh baya di dalam warung yang kayaknya lagi sibuk menghitung belanjaan dari distributor produk tertentu yang terlihat di depan warungnya sedang menurunkan barang.
“Bu, susu kental manis coklat, ada?”
“Ada. Sebentar ya, dek,” jawabnya yang masih dengan buku berisi tulisan angka, tabel dan juga kalkulator yang dipegangnya.
“495.000,” ucap gue yang saat itu yang masih menunggunya.
“Hah?”
“Itu totalnya empat ratus sembilan puluh lima ribu rupiah, bu.”
Si ibu masih nggak percaya dan menghitung dari awal. Gue akhirnya mencari susu kental manis coklat itu sendiri. Dan menemukannya diantara tumpukan sachet berbagai merk susu dan minuman di bagian pojok warung.
“Loh, kok bener yah?” ucap ibu itu setelah selesai menghitungnya sambil menggaruki kepalanya.
“Haha. Ibu kan beli produk itu 2 kilogram yang harganya Rp. 5.500/pcs sedangkan dikardusnya barusan saya baca kalo 1000 gram alias 1 kilogram ada 50 pcs. Dan saya liat ibu megang browser itu yang tulisannya tiap pembelian 1 kilogram dapat diskon 10%, jadi totalnya Rp. 495.000.”
“Ng…”
“Oh iya, ibu juga nanti bakal bayar Rp. 500.000, dan bapak itu bakal bilang nggak punya recehan, jadi ibu bakal ngasih kembaliannya buat dia aja.”
“….”
“Yauda, bu. Ini saya beli 3 sachet. Kembaliannya ambil aja, soalnya saya buru-buru,” ucap gue.
Si ibu akhirnya mengambil uang sepuluh ribu yang gue kasih dengan muka bingungnya, yang nggak tanya dulu berapa jumlah harga yang gue harus bayar.
“Saya tau harganya dari kertas yang ibu tempel di bagian belakang sebelah kanan ibu, itu daftar harga buat ngasih tau anggota keluarga ibu yang lain kalau mereka jaga warung, bukan? Saya liat harga susu ini kalo 3 biji jadi Rp. 7500, jadi kembalinya ambil aja,” kata gue yang bermaksud kalo sebenernya gue punya penjelasan atas apa yang gue omongin tadi.
Setelah itu gue langsung bergegas pergi meninggalkan warung dan lanjut pergi ke kampus.
“Duh bu, gak ada recehan buat kembalinya nih,” ucap seorang bapak-bapak yang masuk ke warung setelah gue keluar.
“Yauda gapapa, ambil aja gocengnya, pak.”
Di kampus gue dan Alvian memutuskan sebelum masuk kelas buat mampir dulu ke kantin.
“Hola, Chef Juna!” sapa gue ke penjual stand minuman yang berbadan cukup kekar dengan kulit gelap. Gue manggil dia chef Juna bukan karena mirip. Uuuh.. beda jauh banget, ibarat lobster sama biji salak. Gue manggil dia karena nama aslinya memang Juna –Junaedi. Dia juga punya tatto layaknya chef Juna asli, Junaedi punya tatto di bagian bahu kanannya bergambar alien yang memakai mukena. Tapi, gue lebih menilai tatto itu bergambar jamban.
“Iya? Mau pesen apa, bos?”
“Mau susu kental manis coklat pake es dong,” pesan gue ke Junaedi sambil melihat jenis-jenis minuman sachet yang tertumpuk di belakannya.
“Oke, bos!” jawabnya sambil mencari, “E-tapi bos, susu coklatnya abis tuh. Susu putih aja gimana? Apa susu perawan aja, bos?”
“Bokep lu~” kata gue.
“Ya, kenyataannya memang abis bos, gimana atuh?”
“Coba gue yang cari sini.”
“Yauda kalo nggak percaya mah sok aja cari, bos.”
Dan nggak lama gue ikut nyari,
“Ng… ini apaan?” ucap gue sambil menunjukkannya ke Junaedi.
“Loh? Kok tadi mah kagak ada ya?”
“Makanya nyari yang teliti pake mata, jangan pake otot.”
“Haha si bos, bisa aja.”
“Eh, Al. Lo mau minum apaan?” tanya gue ke Alvian yang sedari tadi udah duduk.
“Samain aja,” jawab Alvian.
“Oke, dua yah, chef!” pinta gue ke Junaeadi.
“Siap, laksanakan, bos!”
Sebenernya susu tadi adalah susu yang gue beli di warung. Cuma gue melakukan trik misdirection yang biasa pesulap lakuin buat mengalihkan perhatian dengan cara ikut mencari di tempat yang sama, tapi saat gue lagi mencari juga, gue suruh si chef Juna nyari di tempat yang gue tunjuk asal dan abis itu gue keluarin 3 sachet susu sedari tadi yang gue selipkan di dalam lengan kiri gue yang saat di parkiran kampus gue sengaja memakai jaket lengan panjang. Alvian sempat heran juga kenapa di motor gue nggak pakai jaket, tapi pas turun malah make jaket. Untungnya dia nggak bawa termometer buat mastiin badan gue nggak panas atau gue nggak lagi sakit karena otak kebalik.
Nggak lama, dari jauh, Shifa datang ke arah gue. Cantik seperti hari-hari biasanya.
“Shifa!” ucap seorang cewek di belakangnya sambil berjalan cepat menghampiri Shifa.
“Pulang sama siapa?”
“Sendiri, tapi nanti aku mau ke kantor bokap dulu.”
“Oh gitu, nanti bareng ya. Kantor bokap kamu kan searah juga.”
“Ok.”
Gue saat itu masih duduk di meja depan stand jualannya Junaedi. Alvian masih sibuk dengan laptopnya.
“Eh, Gib. Yang lo bilang tadi bener.”
“Yang mana?”
“Ini loh…” ucap Alvian sambil menunjukkan laptopnya ke gue dan gue langsung membaca judul artikel yang ada di dalam layar laptopnya.
“Tuhkan.”
“Lo kok bisa tau sih?” tanya Alvian penasaran.
“Ng.. ya gitu,” jawab gue.
Nggak sadar, Shifa udah ada di depan gue. Ternyata bukan buat nyamperin gue, tapi dia mau beli minuman maha karya-nya Junaedi.
“Gitu apaan?”
“Pesen nih.” ucap gue pelan memandang ke arah Shifa.
“Hah?” ucap Alvian nggak paham.
“Eh?” Gue memfokuskan lagi ke Alvian.
“Pesen apaan? Lo kok bisa tau itu ada mobil kebar di Palmerah Barat?”
“Iya, tadi di jalur sebrang gue liat driver ojek online ngobrol sama temennya, doi meragain kayak ada yang meledak atau kebakar gitu.”
“Gitu doang?”
“Iya.”
“Hmmm,” ucap Alvian sambil mengarahkan laptopnya lagi padanya.
“Mau jus alpuket dong, mang,” ucap cewek yang sedari tadi bareng Shifa.
“Siap neng! Kalo neng satu-nya?” ucap Junaedi ke Shifa.
“Nggak ada susu coklat ya?”
“Eh tadi kemana ya,” ucap Junaedi bertanya ke dirinya sendiri lalu mengecek ke bagian beakangnya.
“Mau ngapain ke kantor bokap, Fa?” tanya temannya Shifa.
“Ini cuma nganterin bekel buat bokap yang tadi pagi aku masak sendiri.”
“Nah nemu nih, neng. Tinggal satu lagi,” kata Junaedi.
“Alhamdulillah. Yauda itu aja, mang,” ucap Shifa.
Gue tersenyum.
4 notes · View notes
masisibal-blog · 7 years
Text
Terima Kasih atas Kebohongan Itu
Teruslah begitu. Teruslah kau lubangi hati dan perasaan ini dengan peluru-peluru kebohonganmu. Hingga pada saatnya kepercayaanku tak berdetak maupun bernapas lagi. Teruslah cakar fisikku dengan perkataanmu. Teruslah campakkan kulit tubuh ini dengan ego, amarah, dan nafsumu. Hingga gendang telinga ini trauma akan getaran khas suaramu. Hingga lebam air mata ini tumpah membanjiri anganku. Entah kenapa rasa rindu berenkarnasi menjadi rasa hambar. Rasa nyaman berubah menjadi gundah. Dan rasa sayang menyublin menjadi kehampaan hati. Aku tak sejahat itu. Membiarkanmu juga merasakan ini. Aku hanya ingin perasaanku menjadi sore dengan dihiasi pelangi lagi. Hanya ingin waktu malamku diselimuti kata-kata hangatmu. Jika tak bisa lagi. Aku harus merelakan sosok dirimu kutulis saja dalam makna sejarah yang baik untuk senyumku di depan nanti. Terima kasih telah memberikan rasa perih tak tampak ini. Tak tersentuh dan hanya terhirup pikiran. Mungkin akan menjadi bayangan pada kegelapan. Selamat tinggal, yang pernah menjadi senyum lebarku. Pelaju cepat jantungku. Dan sosok terindah yang pernah.
1 note · View note
masisibal-blog · 8 years
Quote
Kadang sebagain orang cuma pengen tau, bukan peduli.
Muhammad Iqbhal
0 notes
masisibal-blog · 8 years
Quote
Kadang kita gak rela kawan yang sudah tidak pernah lagi berkumpul karena memutuskan untuk jatuh cinta. Atau juga yang menjadi dewasa dan bijaksana karena agama, tapi memaksa.. Karena sesungguhnya kita cuma butuh tawa, bukan wacana.
Muhammad Iqbhal
0 notes
masisibal-blog · 8 years
Photo
Tumblr media
Bogor bagiku adalah segalanya, sedangkan kau adalah pelengkap untuk menjadikannya segalanya.
3 notes · View notes
masisibal-blog · 8 years
Photo
Tumblr media
2 notes · View notes
masisibal-blog · 8 years
Photo
Tumblr media
1 note · View note
masisibal-blog · 8 years
Photo
Tumblr media
0 notes
masisibal-blog · 8 years
Quote
Sesungguhnya hal yang paling menyakitkan dari diselingkuhin itu bukan hanya tidak diprioritaskannya lagi. Tapi, tentang dibohonginya itu.
Muhammad Iqbhal
0 notes
masisibal-blog · 8 years
Photo
Tumblr media
0 notes
masisibal-blog · 8 years
Photo
Tumblr media
1 note · View note