Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Langkah
Oleh; Gemilang Muttaqien
Melangkah cepat kaki sang pemuda menuju tempat bersua, kakinya tangguh mendaki belasan gunung, lincah menggocek bola sana sini, tapi rasa-rasanya sangat berat menggerakan kaki tuk melangkah ke masjid di sebelah rumahnya, apa gerangan yang menjadi sebab? tenagakah? kekuatan? atau memang hati yang keras?. Karena memang bukan kekuatan jasmani yang mendorong seseorang berjalan menuju masjid, tetapi hati yang dibalut keimananlah yang menarik jiwa tuk bergegas mendatanginya.
Rumah Allah, pusat peradaban Islam, tempat beribadah, tempat rehat tuk melepas penat dari segala syahwat dunia. Sepertinya terlalu banyak kalimat untuk mendeskripsikan tempat yang syahdu tuk melepas rindu kepada Rabb sang pemilik hati. Di dalamnya berdiri tegar orang-orang beriman, berbaris bersama menghadap satu Tuhan, Pencipta mereka yang begitu mereka agungkan, urusan yang lainpun mereka kesampingkan.
Terdengar indah lantunan adzan sang muadzin, memanggil seluruh manusia dengan suara yang lantang, sayang, hanya sebagian kecil manusia yang merasa terpanggil dan kemudian mendatanginya, sebagian kecil yang lain mendengar tapi masih sibuk dengan urusannya, sebagian yang lain? Abai, sambil menunggu hidayah datang kepada mereka. Kadang terlihat lucu apabila perut mereka kosong seketika mereka menjemput hidangan, tetapi ketika hati mereka kosong kenapa justru menunggu hidayah? kapan mereka menjemputnya?.
Sibuk, sibuk sekali mengurusi perkara duniawi yang rumit, kata “nanggung” pun jadi perisai menolak ajakan tuk menuju panggilan agung, padahal di tangan Allah-lah seluruh urusan, membolak-balikkan ke kiri dan ke kanan, sekiranya Allah berkehendak menjadikan perkara mereka menjadi mudah tentu itu mudah bagi-Nya dan sekiranya berkehendak membuatnya lebih rumit itupun mudah bagi-Nya, hanya saja logika manusia yang dangkal belum bisa memahaminya.
”Sholat kok dinomorduakan?” kiranya seperti itu perkataan orang-orang yang merasa beriman, tetapi yang harus terus diperhatikan adalah yang datang hari ini belum tentu datang besok, begitupun yang tidak datang hari ini bisa jadi datang besok, entah untuk sholat atau untuk disholatkan.
Tidak ada yang bisa menentukan siapa gerangan yang berada pada barisan awal, tetapi dia yang bergegaslah yang pantas mendapatkan, yang meninggalkan seluruhnya tatkala dipanggil menghadap Rajanya, berlomba-lomba bak pelari yang menginginkan garis finish, indah! Selain mereka tidaklah merasakan nikmatnya perlombaan ini. Mungkin sebagian bertanya “apa hadiahnya?” ”apa iming-imingnya?” hanya satu jawabannya, surga, memang sulit mengejar hal yang tak pernah dilihat mata,tidak pula didengar telinga,dan mungkin belum tergambar dalam benak mereka, tetapi janji Rabb merekalah yang dinanti, janji abadi yang meyakinkan hati dan itulah manisnya keimanan.
6 notes
·
View notes
Text
Besok: Hisab tanpa Amal
Ditulis oleh Gilang Eksa Gantara
"Dunia berjalan pergi dan akhirat berjalan menghadap. Masing-masing memiliki anak-anak (pengikut). Jadilah pengikut akhirat dan jangan menjadi pengikut dunia. Pada hari ini kita bisa beramal tanpa hisab, sedangkan besok hanya ada hisab tanpa bisa beramal," kata 'Ali ibn Abi Thalib sebagaimana dikutip dalam tarjamah salah satu bab dalam kitab Shahih al-Bukhari. Beliau mengingatkan kita bahwa dunia bukan rumah kita yang sesungguhnya, karena pada akhirnya kita akan meninggalkannya juga. Akhirat sebagai tujuan akhir perjalanan, adalah tempat tinggal yang sebenarnya.
Perihal itu pula yang dimaksud dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibn 'Umar; bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
كُنْ فِي الدُنْيَا كأنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
"Jadilah di dunia ini seolah-olah engkau adalah orang asing atau penyintas jalan."
Ibn Hajar al-Asqalani menjelaskan perbedaan antara orang asing dan penyintas jalan dengan menyatakan bahwa penyintas jalan lebih mengena terhadap permisalan manusia di kehidupannya. Orang asing bisa saja tinggal di tempat tersebut dengan predikat 'asing'-nya, namun penyintas jalan adalah orang yang sedang menuju tempat tertentu, sehingga tidak memiliki kepentingan untuk berlama-lama singgah di tempat lain.
Kita adalah musafir selama kita hidup, melewati ladang-ladang kehidupan. Di antara ladang itu ada yang merupakan tempat beristirahat dan mengambil bekal untuk melanjutkan perjalanan. Tapi ada juga ladang-ladang terlarang untuk dimasuki, itu yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai maharim Allah. Ketika kita mengetahui hakikat diri sebagai seonggok mayit suatu saat nanti, ketika itu pula kita paham apa yang dikatakan Ibn 'Umar, "...dan anggaplah dirimu penghuni kubur."
Kalau begitu, lalu apa makna kehidupan fana kita di dunia? Apa arti 'absurditas' hidup lalu mati seperti kata Albert Camus? Apa karena hakikat semua orang sebagai mayit lalu kita bisa membiarkan diri beserta orang-orang lain tidak hidup?
Di sini adalah titik simpang dengan kaum sufi yang meninggalkan dunia. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam halaman pertama Prolegomena-nya sudah menyatakan tidak ada dikotomi antara dunia dan akhirat. "The dunya-aspect is seen as a preparation for the akhirah aspect," tulisnya. Singkatnya kita hidup memang untuk mati, tapi mati seperti apa, itu tergantung hidup itu sendiri.
Konsep pahala di akhirat yang dikaitkan dengan kehidupan dunia secara keseluruhan, harus membuat kita tersadar bahwa kehidupan religius Islam tidak selalu berada di mesjid, seperti ucapan Ali ibn Abi Thalib "Kehidupan kita seluruhnya adalah ibadah". Ia memang berawal dari mesjid namun tidak selesai di situ. Perjuangan Islam tidak selesai dalam menjadikan Allah berada di hati secara individual, tapi juga menjadikan Allah sebagai al-Hakim secara kolektif dengan mengerahkan seluruh potensi kehidupan.
Allah SWT ber-Firman menjelaskan sikap kita terhadap dunia dan akhirat:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi."
1 note
·
View note
Text
Mengadili Si Ahli Maksiat
Kesalahan adalah hal yang biasa dilakukan manusia. Manusia, meski sebagai ciptaan terbaik Allah, dibuat tidak lepas dari yang namanya kesalahan. Maka dari itu, tidak mengherankan Allah dengan seluruh kasih sayang-Nya akan mengampuni segala kesalahan kecuali syirik, sebagaimana Firman-Nya:
قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
"Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. az-Zumar: 53)
Di era global seperti sekarang, kabar seseorang berbuat salah juga bisa menyebar dengan cepat. Kesalahan tutur kata atau tingkah laku, sering membuat pelakunya dijatuhi sanksi sosial melebihi apa yang harusnya dia terima. Terlepas dari menyesal atau tidaknya, khalayak umum bisa membuat situasi meja hijau dimana ribuan orang menjadi hakimnya sekaligus jaksa penuntut. Seringkali objektifitas menjadi barang langka ketika massa bersuara. Suara kicauan para hakim juga seringkali hanya mencaci deviasi tanpa menghadirkan solusi.
Hal ini menimpa para pelaku kesalahan, baik salah secara agama ataupun di luar dari itu. Mulai dari kesalahan Asy'ariyyah (dari sudut pandang Ahl al-Hadits), kesalahan Salafiyyah (dari sudut pandang Asy'ariyyah), kesalahan fiqhiyyah, sampai yang berbentuk permasalahan sosial seperti pembunuhan, pencurian atau pelacuran; kita bisa melihat pola-pola ini.
Perlu cara pandang yang adil dalam menyikapi kesalahan orang lain, supaya timbangan keadilan kita tidak timpang dan hanya menjadi wajan kebencian. Cara yang kita perlukan mesti bisa memahami kesalahan tersebut, tanpa membiarkan kebencian menjadi landasan dasar, juga tanpa mengurangi ketegasan akan tatatan wilayah syari'at-nya.
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِٱلْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ٱعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَٱتَّقُوا ٱللَّهَ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Ma'idah: 8)
Ide-ide kebaikan yang acap kali tidak terealisasi, menyebabkan kita membagi sering membagi sikap kita terhadap ide dan realita, sampai menjadi berbeda satu sama lain. Gap of the idea and reality, menjadikan hidup layaknya panggung sandiwara. Di atas panggung kita berbicara tentang keindahan, tapi di balik panggung hanya ada kegelapan, barang-barang lusuh dan tikus. Tanpa disadari, ide-ide kita yang dulu dipegang erat, semakin rapuh ketika kita mengetahui jurangnya dengan realita. Ya, kita tumbuh menjadi munafik.
Secara mendasar, dualisme hal ini yang memengaruhi sikap kita terhadap pelaku kesalahan. Ide-ide syari'at tentang bagaimana kesalahan tersebut tidak layak dilakukan, tanpa mengurangi kesucian syari'at, menjadi alasan bagi para hakim tanpa mengerti realitas seperti apa yang mengungkung si ahli maksiat tersebut. Di sisi lain, realitas duniawi juga menyebabkan kita hanya cukup memaklumi mengapa suatu kesalahan terjadi, tanpa memerhatikan hukum agamanya seperti apa.
asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-'Utsaimin menyebutkan dua perspektif yang harus ditinjau ketika melihat ahl al-ma'ashi; yaitu 'ayn asy-syar'i dan 'ayn al-qadr.
'Ayn asy-syar'i berarti bagaimana kita melihat mereka dari sudut pandang hukum; maka perlu peninjauan secara ilmiah tentang apa yang mereka lakukan dan apa hukumnya. Ini melibatkan pencarian jawaban dari 'apa' dengan menyelidiki nash-nash agama.
Sisi koin sebelahnya, 'ayn al-qadr menurut asy-Syaikh adalah melihat maksiat tersebut sebagai qadar Allah untuk membiarkan syaitan menggoda mereka. Sehingga rasa kasih-sayang akan timbul terhadap mereka dan kebencian teralih kepada syaitan yang menjerumuskan pelakunya. Tapi, perlu pendekatan baru bagi kita, untuk melihat lebih jauh sebab-sebab apa saja yang menyebabkan syaitan sampai bisa menggodanya; disini peninjauan sosial dan emosional berlaku untuk menjawab 'mengapa'.
Lalu dari kedua jawaban yang kita dapat; apa hukumnya dan mengapa terjadi, baru kita bisa melebur keduanya dan menarik sebuah simpulan mengenai 'bagaimana' yang harus kita lakukan bersama.
Inilah bagaimana seharusnya cara pandang kita terhadap orang-orang yang terjerumus pada kesalahan agar kita bisa adil tanpa membenci sebagaimana akar kata kerja meng-adil-i, bukan hanya mencibir apalagi mencaci.
2 notes
·
View notes
Text
Mengapa Harus Mengaji dari Sejak Dini?
Alquran ialah pedoman kehidupan umat islam. Setiap yang berstatus Islam wajib untuk mempelajari Alquran, baik dari segi cara bacanya maupun isinya. Usia dini merupakan waktu yang paling tepat untuk membangun kepribadian yang cinta Alquran; sebuah waktu emas untuk menancapkan pondasi pertama sebelum si anak mempelajari hal lainnya.
Pada masa ini, pikiran anak masih sangat bersih. Anak-anak dengan cepat bisa menirukan apa yang mereka dengar dan lihat. Bukan suatu kemustahilan, jika ada anak berumur 5 tahun yang hafal Alquran 30 juz. Akal kita menyangkal hal tersebut, tapi itulah iman yang harus kita percayai. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan kepada seseorang, pasti ia akan mendapatkan kebaikan itu.
Dahulu kerap kita mendengar cerita dari para ayah, jika mereka tidak bisa melafalkan satu huruf dengan benar, maka bersiaplah rotan yang akan melayang dari Pak Kiai. Bisa jadi terlintas dibenak kita, bahwa itu merupakan sebuah unsur kekerasan, dan hasilnya kita juga melihat banyak murid-murid Pak Kiai yang sukses karena sabetan rotan yang mendidik itu.
Alangkah sayangnya zaman itu telah berubah. Banyak kalangan kita yang belum bisa mengaji, padahal umurnya bisa dibilang telah berkepala empat. Ini adalah suatu tamparan keras bagi kedua orang tua yang menginginkan anaknya pandai mengaji dan hafal Alquran. Karena jika tidak dimulai dari orang tuanya terlebih dahulu, akan sulit untuk mewujudkan anak yang seperti ini.
Orang tua memiliki peran yang sangat berpengaruh untuk mewujudkan impian sang anak. Jika impiannya adalah untuk menjadi penghafal Alquran, maka orang tua harus mengetahui apa saja penopang dan penghambat bagi si anak dalam mewujudkan hal itu. Terutama mengetahui penghambatnya, sebab mencegah itu lebih baik daripada mengobati.
Salah satu penghambatnya ialah gadget, kebiasaan anak sekarang adalah bermain game. Game sangat membuat pemainnya mencadi kecanduan. Jika sudah kecanduan akan berdampak negatif pada psikis si anak.
Terlalu banyak bermain game bisa meningkatkan risiko masalah kesehatan pada organ mata, terutama penurunan penghilatan, bermain game juga bisa mengganggu konsentrasi dalam belajarnya. Yang paling parah adalah radiasi pada otak si anak.
Terdapat suatu kisah dari seorang ibu yang luar biasa yang bisa mendidik 10 anaknya menjadi penghafal Alquran. Cerita ini nyata, dan terjadi di negeri kita Indonesia. Beliau mempunyai cita-cita; sebelum seluruh anaknya beranjak usia baligh, mereka harus bisa membaca, menulis dan mengaji di tangan ibunya sendiri.
Ibu ini takut jika anaknya sudah berusia tujuh tahun tapi belum bisa mengaji. Beliau juga berikrar kepada Allah; jangan sampai anak-anaknya bisa membaca Alquran dengan perantara orang lain, sebelum ditempa oleh ibunya sendiri.
Lihatlah betapa mulianya usaha Sang Ibu dalam mencetak anak-anak yang sangat luar biasa. Tidaklah gampang mendidik anak-anak bisa hafal quran 30 juz secara keseluruhan. Berikut ini tips dari Ibu Wirianingsih yang melahirkan sepuluh anaknya hafizh Alquran tersebut:
1. Menyandarkan diri kepada Allah bahwa anak adalah titipan dari Allah semata, serta memohon doa kepada Allah agar anak kita menjadi anak yang saleh-salehah.
2. Bekerjasama dengan suami dan memiliki visi-misi yang sama dalam mendidik anak. Di sini bapak mempunyai peran yang sangat penting dalam masa depan anaknya.
3. Membuat kurikulum sendiri, misalnya membuat target di umur 6 tahun, anak harus pandai mengaji dengan benar dan hafal Alquran sekian juz.
4. Tidak ada televisi, tidak ada musik, dan tidak ada perkataan kotor di rumah.
5. Istiqamah dan sabar dalam menghadapi semua hambatan.
Inilah kisah inspiratif dari seorang Ibu yang berani berkorban demi masa depan anaknya. Orang tua mana yang tidak bangga kalau anaknya juara 1 matematika se-nasional. Tapi, apakah dengan juara itu bisa menyelamatkan orangtuanya ketika nanti diakhirat?
Hanya anak-anak yang saleh lah yang bisa memberi orangtuanya syafa’at di akhirat kelak, karena berkat orangtuanya sewaktu di dunia selalu menuntun anaknya untuk belajar Alquran. Oleh sebab perantara Alquran itulah, orangtuanya bisa selamat dunia dan akhirat.
8 notes
·
View notes