Tumgik
pacar-merah-blog · 8 years
Text
Bagaimana Islam Melihat Dunia?
“Jika Kau Ingin Menguasai Orang Bodoh Bungkuslah Segala Suatu Yang Batil Dengan Kemasan Agama” Ibnu Rushd
Anggaplah kalian pernah berpergian, naik gunung mungkin atau ke daerah-daerah terpencil. Pada saat itu kalian tentunya tidak mengetahui jalan yang akan dilewati. Tentunya lain soal kalau kalian mempunyai ilmu kanuragan melihat arah mata angin warisan eyang dan mbahmu. Pasti kalian setidaknya membawa sebuah alat sebagai pegangan petunjuk arah, biasanya alatnya bernama Kompas.
Kompas inilah yang bisa saya sebut sebagai syariat bagi masyarakat Muslim, sebuah petunjuk jalan dari perjalanan nan panjang. Kompas akan menunjuki manusia disaat gamang jalan mana yang akan mereka lalui. Tentunya bagi para traveler, mereka mau tidak mau haruslah mengikuti arah Kompas tersebut. Kalau tidak, apesnya mereka akan memutar dua kali atau paling buruknya tersesat tidak bisa kembali. Bagi saya itulah guna syariat bagi masyarakat Muslim kurang lebih.
Tapi mengapa tidak Peta yang digunakan? toh kita pun akan mahfum bahwa letak geografi bumi selalu berubah, semakin memanjang atau memendek. Apalagi bagi tukang babat alas daerah terpencil, peta tentunya semakin tidak berguna, bahkan sekaliber google map pun belum medeteksi wilayah tersebut. Yang ada tentunya kita melakukan berbagai cara untuk bisa membaca wilayah tersebut, dengan akal ataupun alat bantu seperti kompas. Inilah yang sering digunakan oleh para ulama dan cendekiawan muslim dahulu kala dengan metode ijtihad, yang melahirkan berbagai macam rupa bentuk baik hukum, filsafat, hingga ilmu pengetahuan. 
Peta Yang Sudah Lapuk Di Abad Modern
Pada saat mudik lalu, sehabis halal bihalal dengan keluarga besar dan menyantap sajian lebaran. Anda coba membongkar-bongkar lemari-lemari eyang dan mbahmu yang se zaman dengan Jendral Sudirman. Tak tau apa-apa anda pun menemukan peta yang begitu lapuk, mengambarkan wilayah Jawa dan sekitarnya. Tapi semakin anda baca-semakin puyenglah anda, bukan karena tidak mengerti perkara geografis. Namun, karena begitu banyaknya hal yang berbeda baik nama wilayah hingga rute perjalanan, apalagi setelah anda tahu kalau peta itu ternyata dibuat saat perang diponegoro.
Masalah Teologi, Hukum sampai praktek ritual menjadi salah satu masalah umat Islam yang melanda belakangan ini. Tidak sedikit hal ini memberikan gesekan bagi internal umat Islam sendiri, baik menimbulkan pelabelan hingga saling bunuh satu sama lain. Belum lagi masalah eksternal umat Islam yang dikepung oleh kapitalisme, neo-imprialisme, bahkan zionisme. seperti kejadian yang dicontohkan di atas, apakah umat Islam masih tetap dengan total menggunakan peta yang sudah lapuk ini, walau terbentur sana-sini? atau meninggalkannya?
Salah satu pemikir kontemporer islam, Hasan Hanafi pernah mengungkapkan kegelisahan ini. Bagi pemikir asal Kairo ini masyarakat muslim terbagi menjadi dua saat menghadapi tantangan modernitas. Ada mereka yang masih tetap teguh memegang tradisi yang mengatakan bahwa pemikiran klasik sudah memberikan solusi, baik masa lalu, sekarang hingga masa depan, mereka pun kerap disebut kaum tradisional. Ada juga kaum modern yang menganggap “bangunan lama” sudah harus ditinggal, karena tidaklah bermakna apa-apa. Tapi Hanafi sendiri lebih memilih pendekatan ketiga, bagaimana menggabungkan antara tradisi dan perubahan, lalu mengindentifikasi sehingga menemukan hal yang relevan dengan zamanya.
Bagi Hanafi sendiri masyarakat Muslim sedang mengalami permasalahan baik di luar dirinya (eksternal) juga dalam dirinya (internal). Mereka (baca : umat Islam) masih mengalami kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan. Lalu dari luar pun ada tiga ancaman yaitu Imperialisme, Kapitalisme, juga Zionisme. Kondisi ini haruslah ditanggapi sebagai prioritas bagi masyarakat muslim. Bila tidak tentunya arus dominan yang muncul adalah stereotip baik yang menyudutkan Islam sebagai ‘terbelakang”. Atau pembalasan berupa martir-martir yang bergeriliya di seluruh dunia?
Peta Muslim Masa Depan
Seperti yang sudah saya ungkapkan dalam tulisan bagian pertama , bagaimana mayoritas muslim dibeberapa negara tidak begitu bermasalah dengan demokrasi. Tentunya hal ini bisa terjawab dengan pendekatan pemikiran Hasan Hanafi dan juga pemikir islam kontemporer lain, macam Ali Syariati ataupun Sayyid Qutb. Mereka pun tidak setuju dengan pemerintah otoriter yang menggunakan selubung agama, untuk melegitimasi kekuasaan dan penderitaan terhadap rakyat. Sayangnya hingga sekarang masih begitu lazim terlihat di negara-negara mayoritas muslim.
Hasan Hanafi sendiri memaparkan beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat muslim untuk membuat peta masa depannya. Seperti ungkapan seorang Ali Syariati bahwa untuk melawan modernitas tidaklah perlu menjadi barat, atau kalau ingin menunjukan keislaman tidaklah perlu menjadi Arab. Tapi Islam sendiri bisa memberikan jawaban atas solusi tersebut. seperti diungkapkan oleh Hanafi bahwa ada dua metode untuk menafsirkan khazanah islam klasik
Cara pertama adalah dengan melakukan reformasi bahasa. Bahasa sendiri adalah alat untuk mengekspresikan ide-ide sehingga perlu dilakukan reformasi. Sehingga memenuhi fungsinya sebagai media ekspresi dan komunikasi. Reformasi ini dapat dilakukan secara otomatis ketika kesadaran berpaling dari bahasa lama kepada makna dasarnya, kemudian berusaha untuk mengekspresikan kembali makna dasar ini dengan menggunakan bahasa-bahasa yang sedang berkembang. Dengan demikian, makna yang dipegang adalah makna tradisi, sedang bahasanya adalah bahasa yang telah direformasi.
Sebagai contoh tentang makna dari istilah “Islam’ yang biasanya secara umum diartikan sebuah agama tertentu. Menurut Hassan Hanafi sebaiknya istilah ini diganti dengan “pembebasan” sebagaimana disimbolkan dalam syahadat. Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hassan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam memiliki makna ganda. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan-pergolakan.
Kemudian setelah melakukan reformasi terhadap istilah Islam itu sendiri. Tentunya masyarakat Muslim membutuhkan penyegaran kembali terhadap khasanah ilmu-ilmu klasik. Seperti halnya ilmu tentang Teologi, Ushul Fiqih/hukum dan juga pokok-pokok agama islam. Salah satu yang menjadi wacana dari Hanafi sendiri adalah merubah tujuan yang dari membela keesaan Tuhan, menjadi pembebasan terhadap manusia. Apalagi dengan adanya ancaman yang sudah disebut diatas, terntunya umat Islam butuh rekontruksi agar bisa menjawab tantangan zamanya.  
Lah kok kita mau merecoki Teologi? Kafirkamu... Pasti banyak yang berpikir seperti itu. Tapi pertanyaannya apakah Teologi yang kita ketahui itu merupakan Tuhan itu sendiri? Apakah kita benar-benar mengenal tentang “Tuhan”?Ataukah itu cara para pemikir Islam masa lalu untuk mendefinisikan tentang Tuhan? Karena kalau Teologi merupakan salah satu ilmu tentunya dia akan bergerak secara dinamis, sesuai waktu, tempat dan zaman. Akhirnya setiap zaman harus merekontruksi hal tersebut terutama masyarakat Muslim sendiri.
Pada zamanya ilmu Teologi mampu menjawab tantangan-tantangan yang menyerang akidah masyarakat Muslim. Tapi pada masa kini tantangan itu berubah saat masyarakat Muslim terus menerus menjadi objek serangan, diekspolitasi oleh kapitalisme dan imprealisme. Karena bila kita tidak sadar dan hanya membahas masalah bahwa bumi itu datar? berjenggot atau tidak? repot ngurusi yang produk halal? Karena kalau tidak, kita hanya mencari dan mengejar sesuatu yang tidak nyata, kayak itu tuh yang lagi hits, Khalifah *ehh Pokemon Go.
0 notes
pacar-merah-blog · 8 years
Text
Bagaimana Islam Melihat Dunia?
“Jika Kau Ingin Menguasai Orang Bodoh Bungkuslah Segala Suatu Yang Batil Dengan Kemasan Agama” Ibnu Rushd
Ledakan demi ledakan terjadi, dari mulai Turki, lalu Irak, bahkan kota suci Madinah, juga menyasar ke Indonesia ujung jauh Timur Tengah. Dentuman Bom, lalu diiringi teriakan korban hingga histeris-nya keluarga melihat mayat-mayat kerabatnya,  bergelempangan tanpa daya. Udara pun penat saat manusia ber talu-talu tan, yang (ironinya) kontras, Saat Takbir bersaut-saut an, menyambut hari fitri, suara jeritan, tangisan, kutukan, pun tak pantas ditulikan, di dunia yang tidak hanya hitam-putih.
Teror sebagai filsafatnya tidak hanya menyerang untuk bertujuan membunuh seseorang atau sesekaum. Tapi lebih dari itu, serangan teror lebih mengarah kepada mereka yang hidup. Memberikan sebuah pesan “kalau mereka ada”, dan “terus berlipat ganda”. Terlepas apapun tujuanya?
Tapi karena dunia sudah begitu bising memang untuk dimasuki kaum-kaum teror, yang pantasnya hidup di zaman Troya. Membelah masyarakat dunia, terus membelah hingga memunculkan Islamofobia, masyarakat Islam pun terbelah pro dan kontra. Dunia pun terus bising tanpa solusi selain teror-teror dalam bentuk lain, sosial media. 
Pada moment ini kita pun mahfhum belaka, bila kaum-kaum atau “karakter”, layaknya Donald Trump, ISIS, atau FPI di Indonesia, begitu laku di pasaran. Atau gaya-gaya-an Pluralisme Liberalisme, yang begitu daring di media dengan kutubnya masing-masing, dianggap mewakili pemikiran Islam. Tapi bagaimana “Islam” itu sendiri melihat dunia? apakah “se-ekstrim” itu? atau malah demokratis? 
Dunia dan Islam, begitu tak akurkah?
Tumblr media
Ledakan bom terjadi di Bahdad (2/7/2016), bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, menewaskan 79 orang serta lebih dari 131 orang terluka. Lalu, menjelang Idul Fitri (4/7/2016), bom meledak di Madinah kota suci. Selang beberapa hari kemudian, Bangladesh (7/7/2016) mengalami hal serupa dengan korban satu orang polisi, kejadian ini menjadi rentetan teror yang melanda negara dengan hutan bakau terbesar di dunia itu. Semua pandangan pun mengarah kepada ISIS sebagai pelaku dengan tujuan sucinya, mendirikan kekhalifah-an.
Tapi apakah itu merupakan representatif dari seluruh umat Islam? Apakah “kekhalifah-an” merupakan ujung dari “jihad suci” ini? Lalu bagaimana khalifah itu sendiri? Benarkah itu yang disebut “jihad”?
Jawaban itu semua mungkin ada di ujung langit, berharap turun di ubun-ubun kepala saat sujud atau saat rapel zikir malam hari. Hingga akhirnya yang kita “cari” rupa-rupanya hanya gaya-gaya an ala Hollywood, karena itu yang kita tunggu hanya pandangan ekstrim dengan perwakilan ISIS dan sejenisnya, pada satu sudut. lalu satu lagi para pluralis liberalis yang terlalu toleranya hingga mencerabut akar-akar. Bak gaya berkoboi-koboi, saling serang satu sama lain.  
Lalu apakah anak-anak korban bom Bangladesh tidak punya hak suara dengan keislamanya? Bagaimana dengan para imigran-imigran Suriah? kalau begitu, bagaimana dengan manusia perahu dari Rohingya, tidak bolehkah mereka bermimpi ke mana agamanya akan di bawa?
Survei Gallup World Poll sepertinya membantah beberapa hal yang berkembang saat ini. mensajikan dalam sebuah buku dengan judul Saatnya Muslim Bicara!  Gallup World pun membahas hal-hal yang biasanya begitu asing dipertanyakan di dunia muslim. Seperti sistem demokrasi, pendapat muslim tentang terorisme dan kekhalifahan, hingga masalah perempuan muslim yang begitu sensitif di dunia barat. Melibatkan hampir 1,3 Milyar muslim di seluruh dunia, walau survei ini sudah dilakukan 10 tahun lalu, bagi saya sendiri analisa ini masih cukup relevan dengan konteks umat islam.
Memliih Gurun Pasir atau Lampu Terang Benderang?
Ada banyak hal yang menjadi benturan antara dunia barat dan Islam, baik masalah sosial, ekonomi, hingga budaya. Namun salah satu yang menjadi back bone dari serangan-serangan yang terjadi belakangan ini, merupakan masalah politik. pada satu sisi barat sebagai perwakilan modernitas begitu menjunjung demokrasi sebagai falsafah hidup. Tidak segan hal ini pun dipaksakan kepada negara-negara dunia ke-tiga, baik Asia, Amerika Selatan ataupun Afrika. Salah satu yang begitu teringat dibenak umat Islam adalah peristiwa invasi Irak, atau yang belakangan ini terjadi di Suriah.
Tapi apakah umat Islam sendiri sangat anti kepada “demokrasi” itu sendiri? Seperti yang berhari-hari di analisiskan oleh pakar Timur Tengah barat, hingga melahirkan stereotip “Islam Radikal”.
Pendapat barat prihal Islam sepertinya masih terpaku dengan beberapa pemikir seperti Francis Fukuyama, Samuel Huntington, atau Bernard Lewis. Salah satu yang pernah di ungkap Fukuyama
“Bukan kebetulan bahwa demokrasi liberal modern muncul pertama kali pada masyarakat barat yang kristen. Karena universalisme hak-hak demokrasi dapat dilihat sebagai bentuk sekuler dari universalisme kristen.... Tetapi, tampaknya memang ada sesuatu mengenai Islam, atau setidaknya Islam Fundamentalis yang mendominasi pada tahun-tahun terakhir ini, yang membuat masyarakat Muslim sangat menentang kemodern-nan”.  
Tapi apakah masyarakat muslim begitu membenci demokrasi? Hal ini terbantahkan dalam survei, sejumlah negara mayoritas muslim seperti Indonesia (90%), Mesir (94%), Iran (93%) ternyata cukup mengagumi beberapa aspek demokrasi ala barat. Diungkapkan disitu bahwa “mereka akan memperbolehkan warga untuk mengungkapkan pendapat, mengenai permasalahan polituk, sosial, hingga ekonomi masa itu”
Namun, kenapa sistem demokrasi begitu sulit tumbuh di negara-negara mayoritas muslim? Jawabanya ternyata bukan karena agama, tapi lebih kepada sejarah. Barat membutuhkan waktu berabad-abad untuk merubah sistem monarki mereka menjadi seperti sekarang. Sedangkan umat Islam sejak ratusan tahun dijajah oleh kolonialisme. lebih parahnya beberapa negara seperti India, Hijaj (yg sekarang bernama Arab Saudi) dan sekitarnya, sampai Mesir. Merupakan wilayah yang kemerdekaanya diberikan oleh pihak kolonial. Sehingga kuku-kuku imprealisme pun masih tertanam kuat.
Tentu saja selain itu proses transisi yang masih terhitung jari (puluhan tahun), pun membuat benih-benih intrik masih terdapat dalam sistem “demokrasi’ mayoritas negara-negara muslim. Tapi kita pun tidak bisa menutup mata dari sikap standar ganda barat dalam hal ini. Saat beberapa pemilu yang berhasil secara demokratis, malah “dibubarkan”. Karena tidak sesuai selera barat itu sendiri. Kejadian Hamas yang memenangi pemilu Palestina atau kejadian Mursi beberapa tahun lalu bisa menjadi contoh. Lalu toh barat tetap santai-santai saja melihat “feodalisme” masih tertanam di negara yang notabene masih sekutunya, ya seperti Arab Saudi.
Selain itu masyarakat Muslim tidaklah mau menelan bulat-bulat sistem demokrasi barat. Mereka pun berkeinginan adanya syariat-syariat Islam yang menjadi rujukan dalam masalah hukum, ekonomi, maupun politik. Hal ini didasari bahwa dalam agama Islam tidaklah menganut paham sekuler, yang memisahkan antara negara dan agama. Tentulah banyak kontra dari keinginan masyarakat muslim tersebut, terutama dalam masalah pelaksanaan hukum. 
Walau tidak bisa dipungkiri banyaknya tafsir yang berbeda mengenai hukum terutama, juga banyaknya nash-nash yang di “bajak” untuk kepentingan satu golongan. Tidaklah begitu saja membuat barat, sebagai arus dominan, melarang sistem ini berlaku. Karena layaknya udara, yang membuat manusia bisa selalu hidup,syariat adalah daya hidup umat Islam. Lalu bila mayoritas masyarakat Muslim mendukung penerapan syariat, haruskah barat panik? 
0 notes
pacar-merah-blog · 8 years
Text
Kepada yang Suka Tidur Berjalan Sambil Mayah-Mayah
“Hidup adalah kisah yang dituturkan oleh seorang bodoh, penuh bising dan kemarahan, Tidak Bermakna Apa-Apa” Shakespeare
Apa makna kata Jahiliyah? mungkin bagi sebagian umatan menganggap kata itu bermakna kegelapan, beberapa persen lagi bermakna kebodohan, atau ya biar kompak kita ambil saja bahwa kata itu selalu bermakna negatif. Lalu beragam hal “tentang dia”, mulai kita lupakan hingga mengagapnya sebagai mimpi buruk, siang bolong. Kita kemudian kembali berjalan santai, pelan-pelan melupakan, pelan-pelan memonumen kan nya, jadi lah sejarah !!
Saya pun sering melakukan hal seperti itu, diam-diam melupakan karena toh apa yang berarti bagi ingatan, kecuali kenangan. 
Mimpi-mimpi pun punya kenanganya tersendiri, kenangan yang pertama adalah angan-angan, kedua adalah khayalan, ketiga adalah ilusi, tidak semuanya menjadi nyata dalam mimpi.
Lalu layaknya orang tua yang biasa mengkhayal-khalayalkan tahayul, kita pun mengkhayal-khayalkan Jahiliyah, Orde Baru, Zaman Kegelapan, Zaman Sodom dan Gemorah, Fir’aun dan sekutunya jadi kenangan, masa lampau. Padahal ya apa mau dikata, suka atau tidak itu bukanlah kenangan, itu bukan masa lalu. Itulah kita, suka atau tidak, Jahiliyah ya dan semuanya itu, kita sekarang.
Jahiliyah abad 21
Wes lah tulisan kok muter-muter enggak genah, bisa-bisa jauh panggang daripada api. Wes kita bahas aja historisnya atawa sajarahnya,bagaimana Jahiliyah itu hadir dan katanya konon dah selesai sejak zaman Nabi Muhammad. S.A.W. Jahiliyah berasal dari kata Jahala secara arti sesuatu yang diketahui tapi tidak ditempatkan dengan semestinya, bisa juga berarti kebodohan, atau ya bersikap tidak peduli. 
Tapi janganlah kita bayangkan saat zaman Jahiliyah, orang-orang Arab itu tinggal di gua-gua atau layaknya kartun Spongebob, saat baru menemukan api, atawa primitive. Malahan kabilah Arab mengalami zaman kemajuan dalam perdagangan, budaya, dan kesenian. Dalam bidang ekonomi, bangsa Arab telah mencapai perkembangan pesat. Mekkah bukan hanya menjadi pusat perdagangan lokal tapi juga menjadi pusat perdagangan dunia pada masa itu. Apalagi posisinya juga menghubungkan antara jalur utama (Syam), Selatan (Yaman), Timur (Persia), dan Barat (Mesir dan Abbessina). 
Lalu pada bidang kesenian dan juga budaya, kabilah Arab menempatkan syair pada posisi yang sangat penting. Beberapa perlombaan pun dilakukan dan bagi yang memiliki syair bagus, ia akan mendapatkan hadiah, dan mendapatkan kehormatan bagi kabilahnya lalu syairnya akan dipajang di Ka’bah. 
Namun bukan karena kemajuan dalam bidang ekonomi dan budaya yang menjadikan kabilah Arab, telepas dari kejahiliyaannya. Tapi lebih karena kebodohan terutama masih banyaknya masyarakat yang buta huruf, serta di tambah buruknya moral. Pembunuhan dan penguburan perempuan hidup-hidup, poligami yang tidak ada batasnya, ditambah kepecayaan akan tahayul karena dongeng-dongeng.
Berbicara akan dongeng-dongeng, masyarakat kabilah Arab sangat sedikit yang memiliki kemampuan membaca atau menulis, Hal inilah yang membuat Allah S.W.T menurunkan kerasulan di tengah-tengah mereka, “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Qs Al Jum’ah 62 : 2)
Loh, Pan itu di zamannya Nabi? Konteksnya beda to?
Lah, mangnya kita tak sebuta huruf apa? Seberapa besar kita percaya-percaya tahayul, hanya karena di dengungkan “sang penguasa”? Kita sambil merem pun udah mafhum dengan kelakukan umatan Indonesia, pesatnya kemajuan teknologi dengan banjirnya informasi, malah menambah bebalnya akal sehat mereka, toh perkaranya apalagi kalau kurangnya literasi, komperhensif dari berbagai aspek,dan data. Parahnya bebalnya akal sehat itu tak mengurangi bisingnya para umatan, layaknya dicocok hidung lalu “sikat” bagai kerbau.
“kebisingan” ini pernah begitu menggelisahkan pemuda di Timur-Tengah, ber alamat di Mekkah. Pemuda yang kelak menjadi nabi ini memang Ummi (tidak bisa baca), tapi hatinya di anugerahi cahaya untuk membaca bahwa masyarakatnya berada dalam kebebalan tingkat akut. Tapi untuk menenangkannya dari gelisah dan menjauh dari kebisingan, pemuda itu lalu menepi.
Gua Hira Abad 21
Kalau sekarang umatan begitu dikecohkan dengan berbagai isu lalu bising, dari isu Syiah, tidak lama lalu LGBT, belum selesai ditambah anti gubenur kafir, belum menghela nafas, Komunis pun jadi bulan-bulanan.
Sang pemuda yang namanya sudah diabadikan di beberapa kitab terdahulu pun merasakan hal serupa, Kebisingan dari tahayul-tahayul pemuka Quraisy, hidup materialismenya para tetua kebilah, ditambah keangkuhan-keangkuhan karena nasab, membuat pemuda itu memilih gua hira sebagai tempat berkholwat (mengheningkan diri).
Sebagai pemuda yang lahir dari generasi milenial, tak perlu lah berdebat panjang, karena kita pun tahu kebisingan itu berasal dari gadget, kita masing-masing. Kebisingan itu tambah menjadi-jadi dengan kebiasaan BC sana BC sini, tidak peduli ke hoax an nya sudah tingkat dewa. Asal pro sebar terus, kebisingan lalu jadi hujat-menghujat, para pe mimpi ini dengan bangganya tidur berjalan sambil mayah-mayah.
Tapi pemuda Muhammad beda lagi, penepianya selama berapa tahun memberikan akhak yang senilai mutiara, lalu turunlah ayat  "Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia, dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Paling Pemurah," Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (wahyu)." – "Dia mengajarkan kepada manusia, apa yang tidak diketahui-nya, (Qs Al Alaq 1-5).
Bergetar pemuda itu, bagaimana bisa memberikan pelajaran membaca, toh aku tidak bisa membaca? Bagaimana mengajarkan kalam (Wahyu), toh aku tidak bisa menulis? Tapi sinar pengetahuan sang pemuda tidak bisa dibendung, walau ummi, didikan nya melahirkan generasi-generasi yang gemilang dalam beberapa abad. masa Jahiliyah tertutup dengan akhlak Nabi yang begitu indah disebut oleh Al-Qur’an, bagaikan Safir diantara batu-batu krikil.
Lalu,apakah kita mempunyai Gua Hira-Gua Hira di zaman modern ini? Mungkin yang lebih tepat adalah kita butuh itu. Butuh tempat untuk perenungan daripada kebisingan, butuh tempat untuk evaluasi diri, mencermati alam dan ilmu pengetahuan, jauh dari keramaian. Toh saya pernah bahkan sering mencobanya, meng non aktifkan HP dan paket data , walau hanya beberapa hari jelas begitu ampuh menghindari kebisingan, mulai membaca buku dan evaluasi diri. ya agak sulit kalau kita punya kerjaan, usaha atawa pacar, Tapi ya kalau tidak, kita pun akan selama-lamanya melayang layang di ruang hampa ini, penuh mimpi daripada kenyataan.
Tidur Berjalan yang Jadi Kebanggan
Dalam buku Dunia Shopie, sang filsuf pernah bertanya begini kepada Shopie, “Ketika kita bermimpi, Kita merasa kita sedang mengalami kenyataan, Apa yang memisahkan perasaan kita ketika terjaga dan perasaan kita dalam mimpi?
Lalu sang filsuf menambahkan, “Ketika aku memikirkan hal ini dengan cermat, aku tidak menemukan sesuatu pun yang dengan pasti. Dapat memisahkan keadaan waktu kita terjaga dari waktu kita bermimpi”, Jadi bagaimana kamu dapat yakin bahwa seluruh kehidupanmu bukan hanya impian?
Nah kalau kita pun belum bisa membuktikan apakah dunia yang kita jalani merupakan kenyataaan atau hanya mimpi-mimpi siang bolong. Udahlah udahan mayah-mayah nya, anggap aja itu dagelan yang muncul saat kita tidur sebelum adzan Maghrib. Jangan terus serius, toh rang yang koar-koar ntuh enggak pernah serius kok, bela-belanya.
Karena siapapun yang melakukan pengkhianatan/ memunggungi kepada buku atau pengetahuan, atau melarang-larang ini dan itu, demi ini dan itu, tanpa pernah bijak melihat secara komperhensif. apalagi hanya karena kepentingan golongan. Tidak lebih dari korban hipnotis yang disetting untuk mayah-mayah oleh kang Hipnotis, dipinggir halte. 
0 notes
pacar-merah-blog · 8 years
Text
“Traffic Blues” is Out
Ketika gadis itu ditanya mamanya soal pekerjaan si calon suami, ia menjawab: penulis. Sang mama terus mengejar dan bilang ingin lihat buku si calon mantu. Ia pun tergeragap. Segera ia menghubungi calon suaminya dan mengajukan permintaan: “Aku mau mas kawinnya buku. Terserah buku apa. Kalau nggak bisa dipenuhi, mending kawin ditunda dulu.”
Saat itu tanggal telah ditentukan, beberapa persiapan sudah dimulai. Si bujang yang masih kelimpungan mencari biaya kawin didatangi beban baru: menerbitkan buku. Tapi buku apa? Bagaimana menulis dan menerbitkan buku dalam tempo kurang dari 2 bulan? Satu-satunya yang paling mungkin adalah mengumpulkan esai-esai yang sudah terbit di berbagai tempat dan menerbitkannya dalam sebuah buku. Tapi si bujang masih keras kepala dengan prinsipnya: mosok buku pertama cuma himpunan esai-esai yang sudah terbit lebih dulu?
Lalu si bujang membongkar-bongkar arsip, mencoba menghitung esai-esai yang belum sempat diterbitkan. Jumlahnya cukup. Tapi esai-esai itu, kebanyakan, masih mentah, perlu diolah lagi, beberapa mesti ditulis ulang, beberapa di antaranya terhitung naskah “bulukan” karena konteks peristiwa yang melatarinya sudah lama berlalu.
Si gadis terus mengejar. Waktu terus berderap. Hari-H makin dekat. Si perempuan itu pula yang menyodorkan ide: kenapa bukan cerpen-cerpenmu saja yang diterbitkan?
Si bujang cukup sering menulis cerpen. Satu dua rilis di surat kabar, kebanyakan mangkrak di laptop, sebagian belum kelar ditulis, sebagian lainnya masih perlu dioprek-oprek. Ia, si bujang itu, dengan berbagai sebab memang merasa tidak percaya diri dengan prosa-prosa yang ditulisnya. Namun pilihan sangatlah terbatas, sedangkan waktu terus berjalan. Ketika si bujang memutuskan mengeksekusi ide dari si gadis, hari-H kurang dari 1,5 bulan lagi.
Sembari terus bekerja, hilir mudik ke berbagai kota sembari menyetir mobil box mengantarkan barang-barang yang harus dijual ke konsumen (ya, si bujang kala itu benar-benar bekerja fisik, angkut-angkut dan antar-antar kardus), ia menyempatkan diri menulis cerpen, menulis ulang naskah yang masih mentah, hingga menyunting naskah yang hampir jadi. Kadang ia melakukannya di rumah, kadang di warung makan, berkali-kali melakukannya di rest-area ketika box mobil sudah kosong dari barang-barang.
3 pekan sebelum hari-H, naskah-naskah itu sudah beres – setidaknya dianggap sudah beres karena si bujang tak mungkin terus-terusan memikirkan buku tersebab perkara-perkara lain juga mesti dibereskan. Naskah terakhir dikerjakan di rest-area KM 97 tol Cipularang pada suatu dini hari yang penuh dengan kabut.
Dua teman dari Jogja bersedia membantu mengerjakan layout dan desain sampulnya. Aman sudah. Cetak 1 eksemplar, dengan sampul keras. Mas kawin pun siap. Lalu teman yang lain menawarkan mencetak buku itu dengan harga miring. Keputusan pun diambil seminggu sebelum hari-H: oke, naik cetak! Jumlahnya dipaskan dengan jumlah undangan, atau sedikit kurang dari total jumlah undangan. Buku itu akan dijadikan souvenir untuk para undangan yang akan hadir.
Masalah lain muncul. Diperkirakan, buku-buku itu baru turun dari mesin cetak H-2 atau H-3. Tak ada kepastian, tapi di kisaran itu. Si bujang dan si gadis cemas. Karena hari-H jatuh pada akhir pekan. Lalu, lagi-lagi perkawanan menyelamatkan: dua kawan dari Jogja yang lain bersedia membawanya dengan kereta pada H-1.
Buku itu, yang berjudul “Traffic Blues: Saat Hujan Deras dan Jalanan Mulai Tergenang”, tiba di Jakarta menjelang Maghrib. H-1. Esoknya, pada 24 September 2011, 1 eksemplar buku dengan cetakan khusus menjadi syarat sah perkawinan si bujang dan si gadis. Sementara buku-buku yang dicetak massal bertumpuk di meja resepsionis dan satu per satu berpindah tangan kepada tamu undangan, baik yang hadir pada akad nikah di sore hari maupun saat resepsi di malam hari.
Tumblr media
Buku itu, seingat saya, hanya tersisa sedikit saja. Dan beberapa pekan kemudian habis untuk diserahkan kepada kawan-kawan lain yang tak sempat hadir di hari-H namun menyempatkan diri menyambangi pengantin baru itu. Juga untuk para famili yang datang. Hanya tersisa sekitar 20an eksemplar yang akhirnya dibawa pasangan pengantin itu ke rumah baru mereka yang kecil di lereng gunung Manglayang. Yang 20an eksemplar itu dijaga baik-baik, dan sangat selektif untuk diberikan kepada orang lain, karena stok memang tinggal segitu. Dan entah kapan lagi bisa naik cetak.
Keep reading
88 notes · View notes
pacar-merah-blog · 8 years
Quote
Hidup ini adalah bayangan yang berjalan, seorang aktor yang gagal melagak dan merepet di atas panggung, Dan kemudian tidak terdengar lagi ; Hidup adalah kisah yang dituturkan oleh seorang bodoh, penuh bising dan kemarahan... Tidak Bermakna Apa-Apa ~ Shakespeare
0 notes
pacar-merah-blog · 8 years
Text
Ada Hantu Berkeliaran Di Umat Islam, Hantu Syiah
“Musuhnya Fisika, Matematika, Musuhnya Ilmu Pengetahuan Itu Bukan Kebodohan Tetapi Ilusi,” Tegas Hawking
Syiah, bagaimana kata itu merajalela di mana-mana. Bukan adem ayem saja di negara tercintanya Republik Islam Iran atau negara timur-tengah yang bertetangga manis denganya. Tapi sekarang masuk ke ruang-ruang media-media yang seharusnya hanya menjadi pemanis. Dari umatan masyarakat muslim Indonesia yang memang butuh hiburan dari dera-deru aktivitas kehidupan.
Memang sialnya, kurangnya literasi umatan Indonesia (baca : Muslim) membuat segalanya terasa runyam saja. Media Sosial, macam Facebook, Twitter,hingga beberapa media asem lainnya yang berisi potong-potongan informasi. Malah menjewantah menjadi sebongkah data yang tanpa filter dalam alam pikir umatan (baca : keyakinan). Sepotong-potong data asem yang sebenarnya kalau kita giat saja mengumpulkannya tidak lebih dari : potongan Omong Kosong saja.
Kalau dari itu, umatan menjadi manut-manut saja, ya kita pun akan mafhum belaka, toh para “kekuasa” itu memang ingin membuat kita terbelakang selamanya? Tapi bila “sekumpulan data” itu menjadi teror, hingga kita (baca : umatan) saling takut menakuti dan tuding menudingi, tentulah ini perkara lain. Perkara yang bila saja kita liar untuk menggulirkanya, bukan hanya perkara persatuan umat (baca : solidaritas) yang terpecah, tapi juga hilangnya peri kemanusian.
Saya sendiri beberapa hari lalu sempat mengikuti sekolah sejarah di Fakultas Budaya, Universitas Indonesia. Pemateri sendiri membawakan tema, “Sekte-Sekte Sesat dalam Islam.” Walau kurang lebih selama 4 jam lamanya, pemateri hanya berkutat dengan masalah Syiah, yang sekarang begitu menjadi hantu dalam umatan muslim. Yang begitu menjadi informasi hingga patut di gorang-goreng, entah untuk lapisan mana saja, tanpa melihat batasan informasi mana yang patut atau tidak untuk disampaikan.  
Ahistoris Tentang Syiah?
Syiah dari namanya bukan barang baru dalam kultur umatan masyarakat muslim dunia. Epos babak “pembidanaan” Syiah tidak terlepas dari fitnah yang dilakukan oleh Abdullah Bin Saba kepada Khalifah Ustman Bin Affan. Abdullah Bin Saba saat itu bersama rombongannya melakukan pengepungan selama 40 hari. Walau saat itu khalifah Ustman Bin Affan mempunyai kekuatan untuk melawan pemberontakan. Tapi dirinya berprinsip tidak ingin menumpahkan darah umat islam. Akhirnya Utsman pun wafat sebagai syahid pada tahun 35 H, ketika para pemberontak berhasil masuk ke rumahnya dan membunuh Ustman saat sedang membaca Al-Qur’an.
Setelah itu adu domba dikalangan umatan tidak terperikan lagi, apalagi perbedaan pandangan dari para sahabat sendiri. Sejarah pernah mencatat bagaimana janda Rasulullah, Aisyah bersama Talhah dan Zubair berhasil diadu domba hingga menimbulkan perang Jamal, melawan Khalifah Ali. Tapi perang saudara yang terperikan adalah antara Muawiyah dengan Ali Bin Abi Thalib yang juga prihal peradilan pembunuhan Khalifah Ustman Bin Affan, hingga akhirnya memunculkan perang Shiffin (657 Masehi).
 Alhasil perang ini menimbulkan dua kubu berbeda, syiah (baca : pengikut) Muawiyah dengan syiah (baca : pengikut) Ali Bin Abi Thalib. Pertempuran yang terjadi selama dua hari ini menimbulkan korban yang tidak sedikit dikalangan umatan islam. Hal inilah yang begitu meresahkan para sahabat juga kalangan muslim di kedua belah pihak, perdamaian pun tercipta.
Namun tetesan darah seperti tidak mau jauh dari umatan Muhammad yang menjunjung rahmatan lil alamin ini. Berawal dari perpecahan Syiah (baca : pengikut) Ali menjadi golongan Khawarij. Meneteskan bara dalam sekam yang akhirnya menimbulkan peristiwa terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib, oleh Abdur-Rahman Bin Muljam. Setelah itu mulailah rentetan kematian keturunan Ali Bin Abi Thaib, dari Hassan hingga Husein, serangan berdarah Yazid ke Madinah, dan terbunuhnya beberapa sahabat oleh kalangan umatan sendiri. Menimbulkan ironi sendiri bagi umat Islam yang selama ini selalu diikat oleh rasa persaudaraan : Tidak Halal Darah Umat Musilm.
Tapi disitu, fragmen sejarah haruslah ditempatkan sesuai dengan konteks keadaanya. Bahwa perbedaan saat itu hanya berasal dari masalah politik semata, tanpa adanya unsur perbedaan teologis. Bahkan banyak sahabat Nabi yang memilih menjauh dari kekuasaan, supaya tidak masuk dalam perpecahan umat. Tapi sesuai konteks zamanya pun, kita bisa tahu bagaimana bara sekam “penyesatan”, telah menimbulkan korban yang tidak sedikit dikalangan umat.
Syiah, Dan “Pembantaian” yang Dilegalkan
Saya sendiri memang tidak begitu tertarik membahas masalah ajaran sesat dalam Syiah, biarkan saja para ahli dan Ulama yang membahas dari pencegaah hingga penangkal. Namun, bagaimana saya sendiri lebih bertanggung jawab untuk menjaga akal sehat dalam pikiran. Karena saya memang sadar bahwa pengakuan kaum terdidik bisa sekejap sirna. Bila membiarkan hati yang tanpa batas itu dikuasai oleh nafsu tanpa kendali pikiran.
Al Ghazali pernah berkata, “Ilmu itu kehidupan hati daripada kebutaan, sinar penglihatan daripada kezaliman dan tenaga badan daripada kelemahan.
Kita sendiri (baca ; umatan muslim Indonesia) sekarang sedang dipertontonkan panggung pembantaian di abad modern, setelah epos Palestina yang belum usai. Kita sekarang dialihkan dengan rentetan konflik berdarah di timur tengah, yang konon karena perbedaan Sunni dan Syiah. Membuat kita seperti bisa melegalkan tindakan pihak Sunni (koalisi teluk) dan Syiah (pasukan pemerintah baik Suriah ataupun Yaman), dan pihak-pihal lain. Untuk melakukan serangkaian-serangkaian pembantaian di wilayah tersebut.
Tapi sayangnya melihat konteks Timur Tengah sekarang hanya dari kacamata perbedaan dalam agama, akan membuat kita sangat sempit. Toh, kalau kita bicara hanya tentang jurang Sunni dan Syiah, bagaimana kita bicara konteks Mesir saat penggulingan Morsi? Disitu kita tidak bisa menafikan peran Arab Saudi yang memberikan sokongan dana kepada Menhan Mesir, untuk melakukaan kudeta. Lalu setelah itu Mesir pun melarang partai Morsi, Ikwanul Muslimin, kemudian Arab Saudi pun tidak ketinggalan melakukan pelarangan dan memasukan Ikwanul sebagai organisasi teroris pada tahun 2013. Padahal pun kita tahu bahwa Ikwanul adalah aliran Sunni. Sebuah ironi lagi kalau kita mengetahui realitas sejarah bagaimana, Arab Saudi pernah bergitu mesra dengan Iran.
Toh kita pun sudah tahu, bagaimana kuatnya Arab Saudi di wilayah Timur Tengah selama ini. Namun seperti kata sejarah, tidak ada yang pernah abadi : apalagi bila berbicara tentang kekuasaan. Arab Saudi mengalami “diaspora” dalam segala lini saat ini, defisit keuangan, turunya harga minyak, hingga pencabutan subsidi BBM, membuat kondisi kerajaan Arab Saudi kurang stabil. Lalu, pada sisi lain, Iran sebagai negara Republik yang menganut paham Syiah, mulai sedikit demi sedikit menguatkan hegemoninya di Timur Tengah.
Sebagai negara yang masih memakai sistem Monarki dalam pemerintahanya, ketakutan Arab Saudi atas Syiah (baca : Iran dan sekutunya) bukan hanya karena mahzabnya, tapi juga lebih besar kepada kestabilan negaranya. Apalagi bisa kita lihat bagaimana, hegemoni Arab Saudi terhadap Yaman ataupun Irak, lama kelamaan mulai memudar setelah partai Syiah berhasil menguasai negara tersebut. Sayangnya keterdesakan tersebut malah membuat Arab Saudi melakukan berbagai cara bahkan melakukan tindakan represif, bukan saja kepada negara-negara tersebut, tapi juga tokoh-tokohnya (baca : eksekusi  Nimr Baqir al-Nimr).  Alhasil, bukan hanya saja meneteskan cuka kepada luka, tapi juga menaburi minyak di kobangan api. Konflik Timur Tengah pun terus menerus memanas, menghabiskan tenaga bahkan darah umat muslim. Sayangnya moncong dan darah umatan terus-menerus habis, bukan untuk skala prioritas yang lebih tepat (baca : umatan muslim Palestina). Tapi malah kepada umatan muslim sendiri yang begitu rentan terkena adu domba dari pihak luar (baca : eksternal umat islam). Lalu, bisakah umatan muslim Indonesia bersikap arif dan kritis melihat konteks Timur Tengah hari ini? Atau malah menjadi terhantu-hantui, layaknya anak kecil yang terhantui Wewe Gombel, Pocong dan segala sekutunya?
Darurat Syiah? Atau Darurat Baca?
Bara sekam yang terjadi beberapa tahun belakangan ini di Timur Tengah, ternyata tidak hanya merembet ke beberapa tetangga. Tapi juga melintasi pegunungan,lautan hingga samudra. Perkembangan teknologi saat ini, bukan hanya membuat akses segala informasi menjadi lebih cepat, tapi malah lebih kepada luapan banjir informasi. Umatan Indonesia (baca : Muslim) yang memang tidak disediakan sekoci, harus berenang ke sana kemari, ada yang selamat tapi lebih banyak yang tenggelam.
Tidak terkecuali isu Syiah, yang entah bagaimana sudah terdapat kata darurat disana? Melebihi kata Darurat Korupsi? Darurat Pembodohan? Darurat Pemiskinan? Segala lini masa, baik media sosial (baca : Facebook, Twitter, dan sejenisnya), hingga portal berita baik konvensional ataupun Muslim. Begitu rajin menggorang-goreng isu tersebut, entah untuk kepentingan umat? atau viewers/oplah? atau malah eksistensi? Tapi apapun kepentinganya, menempatkan potongan informasi tidak pada tempatnya, bahkan hanya setengah-setengah jelas bukan seseuatu yang bijak.
Toh, memang bila jurang perbedaan yang dikemukakan hingga pelebel an “sesat” menjadi begitu liar, hingga semua orang boleh melakukaan. Tidak terperikan bagaimana beratnya mengangkat kembali spirit Rahmatan Lil Alamin, karena kepada Lil Muslimin saja sudah terjadi “penyesatan”? Karena memang bila jurang perbedaan yang dikemukaakan, umatan Indonesia pun sudah sejak dulu mengenalnya. Pun sudah hidup di tengah-tengahnya bertahun-tahun lamanya. Bahkan sebelum isu Hantu Syiah ini begitu manis untuk diperbincangkan.
Saya sendiri lahir dari keluarga yang terdiri dari begitu banyak perbedaan antar mahzab, Ayah saya sendiri sempat Kristen walau lama sebelum menikah menjadi Muallaf, lalu lama tinggal (baca : saat kerja di Jawa) di lingkungan Muhammadiyah jadi beberapa kali beliau Idul Fitri selalu lebih dahulu  Walau begitu, beliau toh masih tetap saja hadir untuk tahlilan (baca : budaya NU), bahkan saat beliau sudah wafat pun keluarga juga melakukan Tahlilan, tidak ada yang saling larang-melarangi atau kafir mengkafirkan.
Perbedaan antara umatan (baca : Muslim) seharusnya menjadi salah satu langkah kita membangun silahturahmi (baca : solidartas), bukan entah melakukan benar-membenari, sesat-menyesatkan, atau dururat mendaurati. Toh bukannya kalau kita bijak sebagai muslim, bukanya bila Sunni dihapus? Syiah dihapus? NU dihapus? Muhammadiyah dihapus? Ikwanul dihapus? HT dihapus? bukanya tidak ada masalah?
Tapi memang kita sudah begitu terbiasa sejak kecil (baca : saya pun), selalu ditakuti-takuti dengan hantu, yang entah bagaimana bentuknya begitu menyeramkan walau kita pun belum melihatnya. Hantu itu direkontuksi kepikiran kita, menjadi bentuk-bentuk seperti sekarang : Pocong, Wewe Gombel, Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, hingga Babi Ngepet, yang punya tugas masing-masing dan bentuknya sendiri-sendiri.
Bahkan berbicara tentang Babi Ngepet misal, hantu yang satu ini begitu akrab dengan hidup saya (Mungkin nanti akan saya perbincangkan). Saat beberapa waktu lalu, di daerah Bekasi sempat terjadi isu warga yang kehilangan uang, lalu singkat cerita warga pun memukuli seekor Anjing yang dianggap bersekutu dengan Babi Ngepet. Mungkin kita akan geli sendiri melihat alam pikir seperti itu. Tapi alam pikir seperti itu pun tidak sala-salah amat, karena dengan kemiskinan yang mereka rasakan, kehilangan uang 100-200 ribu begitulah berarti, apalagi tidak adanya akses mereka “kekeuasa”, Jadi bagi mereka, memang apasalahnya sih kita percaya bahwa hantu Babi Ngepet yang mencuri penghasilan kami?
Pada titik ini, saya menjadi begitu khawatir bila Hantu Syiah itu menjadi konsumsi umatan. Tanpa adanya “kekaffah”, tentang cabang atau pokok, lokal atau global, sektrerian atau umattan. Hantu itu akan terus membayangi umatan, lalu berbagai pihak akan meniup-niup hingga kabut tidak lekas menyingkir, selama itu kita terus merekontruksi Hantu Syiah itu supaya lebih mengerikan, lebih menakutkan, lebih Iblis daripada Iblis.  Karena yang pasti, bila itu terjadi dan cendikiawan dan ulama (baca : muslim), tidak mencegah. Korban dari Hantu Syiah ini, pastilah bukan hewan atau sejenisnya (baca : seperti kisah Hantu Babi Ngepet), tapi ya Manusia itu sendiri.
Tapi ya, kalau kita memang masih ingin merumeti masalah Hantu Syiah dan Hantu Mahzab-Mahzab ini, sampai di ubun-ubun kepala kita, toh bikinlah sebuah karya dari berbagai literasi, debatlah dengan arif, lalu islahnya untuk kepentingan umatan. Lalu please, berhentilah saling hantu-menghantui, darurat-mendarurati, saling benar-menbenari, saling sesat-menyesati, TITIK
1 note · View note
pacar-merah-blog · 8 years
Text
Mengenang Pram dalam Text
Yang Takkan Kembali Lagi…
Memang banyak yang takkan kembali lagi. Bukan hanya benda-benda, juga anggapan-anggapan dan waktu. Bahkan bagiku sendiri Pandawa takkan lagi datang padaku seorang Yudistira akan keluar sebagai anak bungsu yang memasuki dunia. Dan : tanpa empat saudara Lelaki, Kau anak lelaki tunggal, Yudi.
kau, dan juga semua saudarimu, dilahirkan di alam kemerdekaan. Tak ada penjajah asing. Kalian dilahirkan sebagai anak bangsa yang merdeka. Lain dari ayahmu, lain juga dari ibumu.
Waktu kau dan saudari saudarimu dilahirkan, segera kalian menjerit. Mata kalian terbuka lebar seperti heran melihat dunia yang aneh ini. Tangan dan kaki kalian meronta-ronta dan darah memerahi wajah kalian. Kemudian kalian hidup dari dada Ibu kalian, tak lain dari dada ibu kalian sampai beberapa hari.
Ayahmu lain lagi. Tentu saja aku tak tahu bagaimana aku dilahirkan. Tetapi aku dapat melihat dari adik-adikku, mereka yang mendapat giliran lahir setelah aku. Delapan orang adikku, dilahirkan berturut. Setiap kulihat mereka lahir sama saja yang terjadi apakah itu laki-laki atau perempuan. Bayi, adik ku itu tidak seperti kau. Adiku itu, dan begitu juga aku dulu, belum mampu membuka mata. Matanya tetap tertutup sampai kadang-kadang seminggu. Anggota badanya tidak boleh bergerak menurut aturan dukun bayi, maka harus dibendung. Tanganya diikat pada badan, juga kakinya diikat, dan nampak seperti kepompong. Orang mengoleskan madu pada bibirnya.
Dan aku, sebagai saudara tertua, mendapat kewajiban menanam tuban yang dimasukan ke dalam guci tanah tertutup itu di samping kanan rumah. Tuban itu dianggap sebagai sudara tua si bayi. Padanya, disertakan bunga-bungaan dan sepucuk surat berisi tulisan abad Jawa, Latin, dan Arab sebagus-bagusnya. Katanya biar saudaraku itu nanti dapat menulis bagus, dalam tiga macam huruf itu.
 Sampai empat puluh malam kuburan tuban yang dilingkari anyaman bambu itu diberi berpelita. Katanya agar terang jalannya bila menjenguk saudara mudanya.
Barang tentu tuban yang menyerah kelahiranku dulu diperlakukan demikian pula
Setiap pagi dan sore duku bayi datang untuk mengurus ibuku dan memandikan si bayi, juga membendungnya. Kadang-kadang sebelum dibendung di-dadah, dipijiti, dulu, sampai si bayi yang belum lagi membuka mata itu menangis setengah mati. Dua atau tiga kali sehari si bayi disuapi dengan hancuran pisang ambon, dipaksa-paksa. Tidak jarang si bayi sampai terbatuk-batuk.
Semua itu telah termasuk hal-hal yang takkan kembali lagi. Semasa bayimu kau tidak mengalami lagi, dan anak-anakmu kelak lebih tidak lagi.
Masa kecilku adalah masa kekurangan pengetahuan. Bayi-bayi itu tak mampu membuka mata untuk beberapa hari setelah kelahiranya adalah karena pengetahuan tentang gizi makanya praktis tidak diketahui. Bayi-bayi lahir dalam keadaan lemah. Orang hidup dengan kekurangan protein hewani, bahkan juga nabati, Malah setelah aku remaja masih dapat kudengar orang bilang daging menyebabkan orang cacing. Kelapa membuat orang jadi cacingan. Orang harus mengurungi makan dan tidur supaya mendapat kejernihan pikiran dan bimbingan dari langit. Orang harus banyak berpuasa dan melakukan tarak. Akibatnya orang Jawa semakin lama semakin kurus, generasi demi generasi menjadi semakin lemah dan kurang kemampuanya. 
Juga semasa kecilku aku melakukan tarak juga. Untuk waktu-waktu tertentu sama sekali tidak makan daging apa pun, atau hanya makan daun-daunan selama satu atau dua minggu. Dengan cara demikian diharapkan pikiran jadi terang dan bisa pandai di sekolah
Waktu itu tak ada yang mengatakan : itu hanya omong kosong. Kenyataan, orang memang tidak bisa pandai karena itu. Sebaliknya, pertumbuhan sebagai kanak-kanak malah terganggu, karena tubuh mnderita kekurangan zat-zat yang dibutuhkan.
Kadang-kadang juga aku berpuasa pada hari-hari Senin dan Kamis. Sama saja, Tuhan takkan membikin orang menjadi lebih cerdik dengan jalan itu
Kemudian dapat keketahui juga, orang-orang Barat yang pandai-pandai itu tidak menempuh jalan ini dalam mendapatkan kepandaianya. Mereka berlatih, bekerja dan belajar sekaligus terus menerus dan secara teratur. Mereka bersenang-senang bertamasya, bermain-main untuk memulihkan tenaganya yang telah berkurang,kemudian berlatih, bekerja dan belajar lagi. Dan seterusnya, memang benar: tak ada kepandaian didapatkan tanpa usaha sendiri.
Juga sepucuk surat yang disertakan pada tuban yang ditanam itu omong kosong belaka. Entah berapa saja tuban adik-adiku telah kutanam. Ternyata tak ada di antara mereka pernah menulis surat dalam tulisan Jawa atau pun Arab. Menulis surat dalam huruf latin pun lebih banyak dengan mesin tulis. Aku sering tertawa kalau mengenang pengalaman masa kanak-kanak itu dan begitulah anggapan masyarakat pada waktu itu. Biarpun orang-orangnya sudah tua, pengetahunya masih rendah dan kenak-kanakan. Sama halnya dengan anggapan, untuk dapat pandai mengaji Al-Qur’an anak-anak dianjurkan minum air abu kertas kitab suci. Aku pernah lakukan itu. Tetap tidak pandai mengaji. Dan orang yang memberi nasihat semacam ini sama sekali tidak merasa bertanggungjawab kalau nasihatnya tidak terbukti. Ia pun tak merasa perlu untuk meminta maaf. Bahkan merasa diri keliru atau bersalah pun tidak. Mereka belum mengenal artinya tanggung jawab. 
Kalau benar anggapan orang tua-tua semasa kanak-kanaku tentu tak perlu ada sekolah lagi. Tak perlu ada surau. Tak perlu ada buku pelajaran. Tak perlu ada percetakan. Tak perlu ada dinas pos yang menyampaikan barang-barang cetak itu ke seluruh negeri. Orang cukup bertarak atau berpuasa, dan orang akan pandai dalam segala bidang yang akan ia inginkan.
Waktu itu orang dianggap sepandai-pandainya adalah kiai, dukun dan dokter. Tentang kiai dan dukun tak perlu aku bercerita apa-apa sekarang ini. Tentang dokter ada sedikit. 
Barangkali kau akan bertanya, bukankah pada waktu itu sudah ada dokter? Apa saja yang mereka kerjakan hingga membuat masyarakatnya sebodoh seperti itu?
Pada mulanya para dukun dan kiai itu yang berkuasa, juga berkuasa atas pendapat umum. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang dekat dengan kekuasaan Tuhan. Apa yang mereka katakan akan dianggap oleh masyarakat sebagai kebenaran.Dan masyarakat sendiri segan menguji kebenaran kata-kata mereka. Dokter-dokter belum mampu mengalahkan keterbelakangan ini. 
Aku masih dapat mengingat, bagaimana takutku waktu dibawa ke rumah sakit untuk dicabut kuku jari kakiku. Waktu itu aku masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Di antara teman-temanku, tak ada kecualinya, percaya, salep koreng berwarna puttih itu dibuat dari otak manusia. Ayah dan ibuku tentu sudah tidak percaya, itu sebabnya aku dikirimkan ke rumah sakit. Waktu kuku itu dicabut badanku dipegangi oleh dua orang. Aku meronta dan meraung-raung. Seorang telah menyemprotkan hidung. Ada bersengau sengau. Itulah mereka yang hidungnya termakan oleh frambosia.
Setiap setahun sekali pegawai-pegawai kesehatan datang ke sekolah-sekolah desa untuk membrantas frambosia. Mereka disuntik salvarsan. Sebelum disuntik, beberapa hari sebelumnya dianjurkan pada teman-temanku itu untuk makan daging kambing sekenyang-kenyangnya. Percaya pada kemujaraban suntik orangtua teman-temanku memerlukan mencari biaya untuk membeli daging kambing itu dan semua dimasak untuk anak-anak yang menderita frambosia. Kadang-kadang tiga hari berturut-turut. Begitu terkena salvarasan luka-luka itu, yang berbulan-bulan bahkn bertahun dideritakanya, dalam beberapa hari malah mengering dan rontok, dan meninggalkanya bekas untuk seumur hidup.
 Bukanya tak ada di antara  teman-temanmu terkena frambonisia? Duniamu sekarang ini jauh lebih baik daripada duniaku dulu.
Juga karena tidak mengenal gizi kadang-kadang berjangkit penyakit buduk. Dalam bahasa Jawa disebut gudig, sedangkan budik dalam bahasa Jawa di tempatku berarti lepra. Pada umumnya penyakit ini berasal dari pergaulan surau. Malah seorang santri dianggap kurang artinya kalau tidak terkan buduk. seorang meninggalkan penyakit ini sampaai berbulan, kadang bertahun hingga meninggalkan bekas hitam yang lebar dan tipis. Untuk penyakit yang demikian orang tidak pergi ke rumah sakit tapi memberiarkanya. Juga dengan frambosia. Kalau tak datang pejbat kesehatan ke sekolah-sekolah, orang tidak pergi ke rumah sakit. orang pergi ke rumah sakit pda umumnya kalau diperintah oleh atasan atau kecelakaan. Pada waktu itu sering terjadi kecelakaan karenaa kurangnya pengetahuan. Terutama di musim menggarap sawah sering terdengar berita orang disambar petir. Atau karena perkelahian dengan senjata tajam. Dan perkelahian semacam itu, pada waktu kecilku, hampir setiap minggu terjadi dengan menjatuhkan korban. Juga karena kurangnya pengetahuan.   
Engkau hidup ceria dalam alam kebebasan. Pada masa kecilku orang-orang tua menindas kami dengan segala macam ketakutan.Kami dibikin takut dengan polisi, dengan kompeni, dengan segala macam yang berhubungan dengan orang eropa. Kalau lewat sebuah mobil, kami lari menyembunyikan diri. Kata orang tua itu, mobil itu datang untuk menculik kanak-kanak. Dan kalau mendengar sepeda motor Harley Davidson kepolisian dengn aijpan atau gandengan pada sampingnya kami pun lari, karena Belanda-Belanda merah atau hitam yang menaikinya sering kali kami lihat mengaiaya orang, terutama terhadap penjual-penjual yang tak mau masuk ke dalam pasar. Karena tak mampu membeli karcis pasar. Mereka kasar dan ringan tangan. Ketakutan orang-orang tua terhadap mereka membikin kami pun menjadi takut.
Kalau barisan polisi lapangan - pada waktu itu dinamai vied-polite - lewat di depan rumah membawa senjatanya masing-masing untuk belajar menembak di luar kota. Lalu lintar menyngkir jauh-jauh. Malahan ada jugaa yang menyingkir ke dalam selokan. Se akan-akan yang lewat bukan manusia, tapi orang yang lebih hebat dari kita. Kita juga ditakuti-takuti, kalau ada anak kecil yang menangis akan didiankan dengn ditakut-takuti akan didatangi polisi lapangan atau serdadu atau kompeni.  
Ketakutan-ketakutan yang terus menerus dijejakkan itu juga menghalaangi pertumbuhan jiwa kanak-kanak. Ada banyak yang sampai tua dan matinya tinggal jadi penakut.Dan itu adalah kesalahan dan kekeliruan orang tua-tua yang tidak berpengetahuan itu.
Orang-Orang tua itu juga menakuti-menakuti kami dengan tahayul. Macam-macam nama roh jahat yang disebut. Kalau kau membaca Hikayat Abdullah tulisan pengarang Melayu dari abad yang lalu bernama Abdullah bn Abdulkadir Munsyi kau akan menemui nama-nama itu dalam bahasa Melayu. Setiap nama adalah omong kosong yang mewakili kekosongaan orang tua-tua itu akan ilmu pengetahuan. Dan banyak, terlalu baanyak orang yang memperayainya sampai tua dan sampai matinya. Biarpun ia sudah meluluskan sekolah dasar, menengah sampai tinggi pun. Setiap orang yang tetap mempercayainya, jika berada dalam kungkungan ketakutan. Artinya jiwa itu tidak bebas. Celakanya oraang-orang yang percaya pada roh-roh jahat itu selalu berusaha agar orang lain taku seperti dirinya. Maka tahayul menjadi suatu penyakit menular. Dan orang tidak pernah berusaha membuktikan ada tidaknya. Lain halnya dengan ilmu dan pengetahuan semuanya disediakan bukti-bukti. Bila tidak maka tak ada ilmuataau pengetahuan, dia tinggal bernama tahayul. 
Tahayul membikin kami takut dengan kegelapan. Di dalamnya bermunculan nama-nama seram yang dipergunakan oleh orang-orang tua untuk menakuti-nakuti itu. Juga kalau di ladang atau di rumah seorang diri, hati menjadi takut pada kesepian. Di dalamnya bermunculan juga nama-nama yang menakutkan itu. Kalau ada suara, benda aneh, ketakutan juga yang muncul.
Dan kalau belajar mengaji di surau kiai kami juga menakuti dengan kekejaman di neraka. Semua serba seram. Semua bertujuan untuk menanamkan kepercayaan, bahwa manusia ini tanpa daya. Semua tertindih oleh kekuatan-kekuatan yang tak dikenal, membikin jiwa kanak-kanak, juga jiwaku, selalu kuncup ketakutan. Apa lagi setelah dari kota besar datang penjaja gambar buroq, penyiksaan di neraka dalam segala bentuk cara. Gambar ini dipasang pada dinding-dinding, dan anak-anak dari mana-mana datang untuk menonton.
Dalam masa kanak-kanak aku harap kau tak mengalami hal seperti itu. Jiwamu tidak perlu kuncup seperti aku semasa kecil. Jiwa pun harus tumbuh dan berkembang menjadi jiwa besar, tak perlu memikul beban ketakutan dan kekecilan. Apa yang dilakukan oleh orang tua tua pada masa kanak-kanaku, membikin jiwa kanak-kanak terbelenggu, terkurung pengap. Padahal di negeri-negeri lain anak-anak hidup dalam kecerahan dan keriangan, berani, bebas, untuk menjadi modal orang-orang yang berguna di kemudian hari.
Apa yang aku alami ini tidak akan kembali lagi padamu, Tidak boleh. Masa kanak-kanaku adalah masa perbudakan, kebodohan dan penyakit. Kau anak bangsa merdeka, kau anak bahagia. Oleh kemerdekaan dan kebebasan kau diasuh dan dididik untuk tidak menjadi kerdil dan penakut. 
Memang pendidikan buruk itu tidak terus menerus kuterima. Dan memang tidak pernah ayah dan ibuku yang mendidik seperti demikian Menginjak kelas lima sekolah dasar, makin banyak pengetahuan yang kami terima dari sekolah dan bacaan. Aku mulai tinggalkan kiai-kiaiku. Aku kehilangan kepercayaan kepada mereka. Pada stau hari guruku menceritakan baksil dan bakteri. Sore hari kiai ku bercerita tentang iblis bernama baksil. Tinggalnya ia di dalam perut, Kalau di ucapkan doa mantar kepadanya, Ia lari untuk kemudian kembali kalau doanya lupa diucapkan lagi. Aku tinggalkan kiai itu dan tak pernah kembali lagi padanya. Dan seperti kiai yang pernah mengajar aku mengaji, ia pun suka mendongeng tentang percabulan. Di sekolah yang demikian tidak pernah terjadi.
Memang pernah waktu aku masih duduk di kelas dua sekolah dasar guruku bercerita tentang penyiksaan di neraka.Guru itu bernama haji sodik. Samapi tua aku masih mengingat ceritanya. Guru itu tidak mengerti jiwa anak-anak. Sebetulnya dia telah melakukan kekeliruan meracuni jiwa anak-anak dengn kekejaman dan sadisme, karena itu menggangu pertumbuhan jiwa. 
Waktu masih kecil dari perpustakaan sekolah Verlog di edarkan juga cerita-cerita tahayul. Sama saja jahatnya dengan cerita orang tua-tua. Aku kira sekarang lebih banyak lagi cerita busuk itu dalam masa kanak-kanakmu. juga cerita tentang kekejaman dan sadisme. Buku-buku ditulis oleh orang-orang yang sama tidak berpengetahuannya sebagaimana orang tua-tua dahulu.dan karena itu tak perlu kau baca, karena akibatnya, hanya terjadi pengekangan-pengekangan yang tidak perlu disebabkan oleh ketakutan-ketakuan yang tidak perlu pula.  
Orang tua tua pada masa ku dahulu mempunyai anggapan yang aneh terhadap segala-galanya. Pada zaman-zaman yang lebih tua orang menganggap. Tuhan itu dapat ditakut-takuti, dapat disogok dan diajak berunding untuk mengabulkan keinginan pribadinya. Pada jaman yang lebih muda untuk mengerti itu tidak bisa, sia-sia. Sebaliknya mereka menganggap dapat menyogok, berunding, dengan kekuasaannya. 
Memang jaman yang lebih tua macam-macam kekuasaan Tuhan Tuhan itu digambarkan dengan banyak pribadi, satu sama lain berbeda. Malah dalam bangsa-bangsa tertentu muncul dewa-dewa. Tapi dengan arus umum monothieisme, dewa-dewa berguguran. Orang lembali lagi pada kekuasaan dan Tuhan dan kekuasaanya. Macam-macam kekuaatan di anggap mempunyai hubungan langsung dengan pribadi. Dan karena setiap pribadi adalah kawan keinginan yang tanpa batas daya, kekuasaan itu ditakut-takuti, disogok dan diajak berunding untuk memenuhinya.
Pada suatu bangsa tingkat demikian melahirkan klenik, seperti astrologi. Pada orang tua tua semasa kecilku dulu ada perhitungan hari dan pasaran, malahan juga huruf jawa dalam nama pribadi. Dengan semacam perhitungan komputer dapat diketahui nasib orang untuk sehari itu, nasib perkawinan, hasil perjalanan dan sebagainya. Boleh jadi smpai sekarang masih banyak orang Jawa yang mempercayainya. Dan barangsiapa masih percaya, dia hanyalah boneka dari daging dan tulang. Seluruh jiwanya dikendalikan oleh perhitungan-perhitungan yang tak pernah dapat dibuktikan kebenaranya. Dia bukanlah maanusia bebas, dan tak ada orang lain yang dapat membebaskanya dan belenggu klenik daripada dirinya sendiri.
Dan perhitungan-perhitungan semacam itu orang tak berani melakukan sesuatu inisiatif untuk melakukan sesuatu bila perhitungan tidak membenarkan. Sebliknya orang menjadi berlebih-lebihan bila perhitungan menganjurkan. Maka pribadinya goyah, tidak mantap, kerdil untuk selama-lamanya karena memang tidak terlatih untuk berpikir bebas tanpa batas, Orang pun menjadi tidak kreatif, karena kreasi hanya bisa dilahirkan oleh jiwa yang bebas. Dan itu berarti orang tidak bisa memberikan sumbangan yang berarti pada kehidupan dan kepada kemanusian.
Orang-orang yang mengerti, bahwa tahayul lahir hanya karena kurang atau tiadanya ilmu dan pengetahuan, untuk dirinya sendiri menggunakan ketidaktahuan umum itu untuk mendapatkan dan empertahankan kekayaan atau kekuaasaannya. Drs. Setiadi Harsono dalam Sarasehan sastra Jawa di Yogya, 1964, pernah menerangkan dengan indah sekali bagaimana raja-raja Jawa menggunakan tahayul ini untuk mempertahankan kekuasaannya, 
ia bercerita tentang kedudukan Nyai Roro Kidul, Ratu Laut Kidul, dalam kekuasaan Mataram. Kalau kau membaca Babab Tanah Jawi, kau akan mengetahui, bahwa raja Mataram pertama telah mengawini ratu lautan itu. Dengan cerita semacam ini raja itu dapat menakuti-nakuti rakyatnya sendiri untuk melakukan apa saja yang diperintahkan padanya, karena dalam gambaran rakyat itu muncul polisi gaib anak Nyai Roro Kidul yang mengawasi mereka selalu.
Di masa kecilku ada beberapa orang kaya yang juga menggunakan cara ini. Disebarkan berita, bahwa dedemit tertentu telah membawakan kekayaan pada si orang kaya itu. Kalau mencuri kekayaannya, sampai di rumah barang curian itu akan berubah jadi belatung. Orang itu adalah seorang jagal, penjual daging sapi.
Tahayul itu juga, lambang dari ketiadaan atau kekurangan ilmu dan pengetahuan, menyebabkan orang-orang sederhana itu jatuh dalam kekuasaan dukun-dukun. Dan dukun adalah orang yang dianggap mengetahui dan mampu menggunakan kekuasaan Tuhan. Mereka membanting tullang untuk dapat menyenangkan hati-hati dukun itu, agar dengan demikian ia terhindar dari pada sesuatu yang ditakuti, atau dikabulkan apa yang jadi keinginannya. 
Memang sampai sekarang penipuan demikian masih sering terjadi. Korbanya adalah orang kurang atau tanpa ilmu dan pengetahuan, atau mereka  yang tak dapat mengendalikan kepuandan keinginanya, atau mereka yang telah terutup ilmu da pengetahuannya oleh ketakutan dan harapan agar apa yang ditakutinya tidak bakal terjadi. 
Kau anak bangsa merdeka, berjiwa bebas, tidak perlu jatuh dalam cengkraman dukun karena ketakutan, keinginan dan kekurangan atau ketiadaan ilmu dan pengetahuan. 
Memang pada masa kecilku aku juga dengar ; jangan mencari ilmu dan pengetahuan; orang bisa mendapatkanya tapi hilang kebahagianya; ilmu dan pengetahuan membikin orang takkan merasa puas terhadap segala-galanya. Tetapi suara berbisa itu hanya menghendaki agar orang terjatuh dalam kekuasaan penipu
Pada masa kanak-kanakku orang-orang yang punya gelar kebangsawanan dianggap keturunan yang sangat mulia. Maka mereka dimuliakan. Orang-orang yang lulus sekolah tinggi, yang lebih banyak ilmu dan pengethuannya, bila tak punya gelar kebangsawanan dianggap belum layak mendapat kemulian, seperti itu. Orang tua tua itu memulaikanya, tak peduli apa orang itu sebodoh kambing atau pun kerbau.
Pada masamu keadaan masih lain. Barang siapa tidak berilmu atau berpengetahuan, dia menjadi terpencil, hanya tolah-toleh tak tahu duduk sesuatu perkara, tak bisa diaajak bicara, dan sulit orang demikian untuk dikatakan terhormat. Orang Amerika menganggap, orang terhormat adalah yang mendapatkan sukses dalam hidupnya, entah di bidang perdagangan, ilmu dan pengetahuan, industri, entahlah dibidang ketentaraan atau politk.
Tetaapi kalau sukses itu dicapai seperti Ben Hecht dalam cerita dirinya Child Of The Century aku tak begitu setuju. Orang Jepang beranggapan, orang terhormat adalah yang mempunyai banyak sahabat. Orang Jawa dahulu punya anggapan yang lain, orang yang terhormat adalaah yang mempunyai kekuasaan atau semacamnya, yang menentukan hidup dan mati mereka. Bagaimana anggapan orang Indonesia tentang orang terhormat? Aku tak tahu.
Tetapi baik di Amerika, Jepang, Indonesia, atau bagian dunia manapun, baarang siapa yang mempunyai sumbangan pada kemanusian, dia tetap terhormat sepanjang jaman, bukan kehormatan sementara. Mungkin orang itu tidak dapat sukses dalam hidupnya, mungkin dia tidak mempunyai sahabat, mungkin tidak punya kekuasaan barang secuil pun, Namun umat manusia akan menghormati jasa-jasanya.
Aku sendiri sependapat dengan yang terakhir ini.
Dan orang tak mungkin memberikaan sumbangan pada kemanusian tanpa ilmu dan pengetahuan yang luas, yang menyumrambahi. Tidak mungkin kalau orang itu berjiwa budak karena kekangan tahayul. Dia pasti orang yang berjiwa bebas yang tidak memerlukan ketakutan-ketakutan tanpa guna
Bagaimana dengan kau sendiri, anak bungsu?
Febuari, 1976 (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu)
Diketik ulang dari buku Nyanyi Seorang Bisu.. untuk HAUL Pramoedya Ananta Toer ke 10
1 note · View note
pacar-merah-blog · 8 years
Quote
Pengetahuan Berjalan Tertatih dengan Kaki yang Patah, Tapi Kematian Datang Menyeruduk Tak Kenal Ampun
2 notes · View notes