Text

Fore being here and now and still breathing, you are awesome.
2 notes
·
View notes
Quote
Put your ear down close to your soul and listen hard.
Anne Sexton (via quotemadness)
2K notes
·
View notes
Text
Feelings
Feelings are fluid.
They come and go anytime.
They change overtime.
So often they are not lucid.
0 notes
Photo

Sebuah foto keluarga, dan satu dari hanya dua foto keluarga dengan ekspresi wajah yang layak untuk dipublikasikan. Mereka bertiga adalah Bapak, Emak, dan Cici saya selama setahun ini. Karena mereka kantor udah berasa rumah (maklum anak kos). Puji syukur mereka selalu sabar luar biasa menanggapi semua sifat aneh dan kekanak-kanakan saya, terutama kalau saya udah mulai mengigau. Seperti kutipan andalan Bapak dalam foto ini, "Buah kweni, buah mangga. Aku ini apalah." Iya, aku ini apalah tanpa kalian. Lots of love! https://www.instagram.com/p/Bqh8aOmHX5Hk1VIgTGN7Xzi2sG1heOkuZ3PJDc0/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=expfligy4dl5
0 notes
Photo

My expression when I realize that tomorrow is Monday. #sundayblues
0 notes
Quote
Young men need to be socialized in such a way that rape is as unthinkable to them as cannibalism.
Mary Pipher (via quotemadness)
5K notes
·
View notes
Photo

Karena tembok saya kosong tanpa hiasan, jadilah saya tempel guntingan-guntingan koran. Jujur saja, hingga sekarang saya lebih suka membaca koran ketimbang membaca berita di media sosial. Apa yang membuat koran menarik buat saya? Kolom opininya! Opini di koran sudah melalui proses seleksi, jadi diharapkan informasi yang diterima masyarakat lebih tersaring. Semoga kita semua terbiasa membaca dan mengklarifikasi berita ya! . . .Buat yang berkenan, mangga mampir blog saya. Nuwun, lur! Good day! . . http://rrclarissa.tumblr.com/post/169018279715/bijak-di-media-sosial (at Somewhere Over The Rainbow)
0 notes
Text
Bijak di Media Sosial
Mungkin agak ngga nyambung dengan judulnya, tapi izinkan saya bercerita sedikit tentang kuliah S1 saya. :D
Saya selalu merasa bersyukur karena saya bisa berkuliah di salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Saya menamatkan kuliah dan mendapat gelar Sarjana Ilmu Politik dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional. Banyak yang bilang jurusan ini keren dan seharusnya lulusannya kerja di Kementerian Luar Negeri atau Kedutaan Besar. Tapi toh pada kenyataannya rejeki bisa datang darimana saja.
Mulai masuk ke bagian inti nih.
Waktu kuliah dulu, kita diajarkan untuk menerapkan hukum “No Plagiarism”. Bagaimana caranya? Yakni dengan mengutip dan/atau memparafrase. Mengutip bukan sekedar salin-tempel, tapi juga harus dijelaskan kembali apa yang dimaksud dari kutipan tersebut. Memparafrase juga demikian. Kita menulis ulang informasi dengan bahasa kita sendiri. Jadi mau tidak mau kita harus paham apa yang kita tulis supaya orang yang membaca juga paham.
Mas Rachmat, salah satu dari dosen terbaik kami, mengajarkan kami juga bagaimana menulis sitasi. Tulisan atau informasi yang kami peroleh dari suatu sumber tidak boleh luput sitasinya. Kalau tidak ada sitasi, hmmmm, bisa dikatakan plagiasi.
Karena saya kuliah di saat internet sudah sering digunakan dan sumber daring (dalam jaringan) lebih mudah diakses daripada sumber cetak, jadilah kami diberitahu bagaimana menulis sitasi untuk sumber daring.
Pertama, kami harus mencantumkan nama penulis artikel atau berita yang kami kutip. Kalau tidak ditemukan namanya, tulis Anonymous. Kemudian kami tulis judul artikelnya dan tanggal artikel tersebut diterbitkan. Langkah berikutnya adalah kami harus mencantumkan sumber website untuk artikel tersebut, misalnya Kompas.com, BBC News, atau AFP. Selanjutnya, kami cantumkan tautan (link) dari artikel tersebut beserta tanggal kami mengaksesnya.
Untuk menulis makalah atau esai pun kami sudah diingatkan berkali-kali agar hanya mengakses berita atau artikel dari website-website yang jelas sumber beritanya. Sebisa mungkin kami diharapkan untuk mengakses sumber dari media yang terpercaya. Bahkan kita juga harus bijak dalam mencari sumber-sumber tersebut. Bisa saja media tersebut dikendalikan pemerintah atau berada di bawah naungan partai tertentu, sehingga berita yang disebarkan pun memiliki keberpihakan pada yang memberikan modal. Namanya juga tulisan ilmiah, masa mau dimasukkan hoaks sebagai datanya.
Saya kemudian berpikir, seru juga kali ya kalau di setiap broadcast message dicantumkan itu sumber berita dari siapa dan nomor hapenya berapa. Jadi bisa dilacak, apakah informasi itu hoaks atau fakta. Kalau kemudian isi informasinya dirasa mengandung ujaran kebencian, jadi bisa diketahui siapa yang memulai.
Saya menyadari betul bahwa arus informasi dewasa ini sudah tidak bisa lagi dikontrol oleh pemerintah. Semua orang yang memiliki akses internet dan gawai canggih terlibat dalam penyebarluasan informasi tersebut. Akibatnya perbedaan fakta dan hoaks sering menjadi kabur karena dasarnya menjadi kecepatan isi tersebut diterima oleh manusia, bukan kebenaran isi yang dapat dipahami oleh akal sehat manusia.
Mengapa kemudian saya menulis artikel ini adalah karena pagi ini saya membaca informasi yang bagi saya “ngawur”. Dalam informasi yang katanya ditulis oleh Ani Hasibuan, seorang dokter syaraf di RSCM, dikatakan bahwa kaum homoseksual adalah predator sehingga orang-orang diharap menjauhkan anak-anaknya dari kaum homoseksual. Tulisan LGBT dan predator ditulis dalam huruf kapital, menunjukkan kesan bahwa itu adalah informasi yang penting. Informasi tersebut juga mengatakan:
“Hati-hati dengan anak-anak. ajarkan mereka untuk bertindak agresif kalau ada yang coba2 menggoda (gay), jangan kasih ampun. langsung pukuli beramai2.”
Kenapa harus dipukuli ramai-ramai? Kenapa harus dipukuli? Dan kenapa kaum LGBT disebut predator? Dan siapa yang tahu dia ini gay atau bukan?
Saya bukan membela kaum LGBT, saya hanya ingin memberikan sedikit pandangan (pandangan saya ya ini) bahwa yang disebut predator itu siapa pun yang tidak bisa menahan nafsu dan birahinya. Entah apakah mereka termasuk dalam lingkaran LGBT atau mereka yang disebut straight, kalau memang tidak bisa menahan apa yang ada di bagian bawah tubuh dan di antara selangkangan dan mereka memaksa orang lain untuk berhubungan badan. Banyak kasus perkosaan anak di Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang terdekat, entah orang tuanya sendiri, kakek-neneknya, kerabatnya, atau gurunya.
Jadi saya rasa yang disebut predator adalah mereka yang tidak bisa mengendalikan diri dan memaksa orang lain untuk memuaskan nafsu mereka, terlepas dari orientasi seksual mereka.
Kemudian arti kata agresif sendiri
“agresif/ag·re·sif/ /agrésif/ a 1 bersifat atau bernafsu menyerang; 2 Psi cenderung (ingin) menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat;”
Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, https://kbbi.web.id/agresif, diakses 28 Desember 2017
Masih tepatkah kata agresif dicantumkan dalam himbauan untuk memukuli itu?
Yang saya syukuri dari berproses di HI UGM adalah kami diajarkan untuk menjadi orang-orang yang bijak. Bijak dalam mengelola informasi, terutama. Untuk selalu melihat akar masalah dari suatu peristiwa, untuk mencaritahu siapa aktor dan kepentingan apa saja yang terlibat dalam suatu fenomena. Hal ini membuat saya mencoba menjadi individu yang bijaksana di tengah arus informasi serba cepat. Dan saya rasa tugas dari kami, para alumni HI UGM lah, untuk berbagi ilmu ini dengan orang-orang sekitar, terutama keluarga dan teman-teman dekat.
Di HI kami dibiasakan untuk membaca. Buku-buku kuliah yang tebal dan diterbitkan di tahun saat kakek-nenek saya saja belum lahir harus kami baca. Tak jarang kami harus membaca buku elektronik hasil scan yang tulisannya juga sudah kabur dan warna kertasnya sudah coklat (bukan kuning lagi). Kebiasaan untuk membaca dan memverifikasi adalah modal utama untuk menjadi pengguna media sosial yang bijak. Jangan sampai informasi yang kita sebarkan justru mendeskreditkan satu pihak, atau justru menjadi sumber perpecahan dan demonstrasi.
Marilah hidup dalam budaya yang penuh kedamaian dan rasa saling menghormati. Biarlah hal-hal privat tetap berada dalam ranah privat.
Peace, Love, and Be Kind!
P.S. Sebagian besar tulisan ini adalah opini, kecuali bagian yang dikutip. Silakan dibantah dan dikomentari.

2 notes
·
View notes
Text
Keheningan
Kota ini tidak pernah sepi
Selalu saja ada ribut-ribut
Entah tentang anak tetangga yang hamil di luar nikah
Atau suara pertengkaran anak sekolah dengan pacarnya
Kota ini tidak mengenal hening
Para buruh berteriak lapar saat matahari begitu terik
Para pejabat bersorak dengan kenaikan anggaran
Kota ini tidak pernah tenang
Seperti hidup dua pemimpinnya
Yang sekarang sibuk menebus janji
Kepada mereka yang menyumbang uang
Tidak, bukan untukmu
Duhai kawan yang penuh peluh dan kekecewaan
1 note
·
View note
Photo

The expression when you've got a taste of heaven, bakmi godhog. #food #culinary #jakarta (at MJSetiabudi)
1 note
·
View note
Photo

Often I wake up early as I have a bus to catch. But this morning I woke up early because I wanted to say hello to the sunrise. Oh yeah, this morning sunlight won't get tanned. Cheers! 🍻 (at Fakultas KOPI Jakarta)
1 note
·
View note
Photo

Today, I listen to what people say. Tomorrow, it will be people listening to what I say. (at Millennium Hotel Sirih Jakarta)
1 note
·
View note
Photo

Eyang Sapardi may be old, but his spirit in literature never gets old. . . .#indonesianliterature #poems #poet #bookfair
1 note
·
View note
Photo

Sang Pemilik barang-barang ini adalah seorang kawan dari masa lalu. Ia yang mengenalkan saya pada buku, seni, dan tulisan. Kami berdua berasal dari kota kecil di Jawa Tengah, sama-sama pernah dibilang "ndeso". Dua orang "ndeso" ini bertemu kembali di kota metropolitan dengan harapan mampu menjadi lebih bijaksana dalam menikmati hidup. Ia pun berpesan, "Apapun yang ada di depanmu, hadapilah. Head on! Tapi jangan lupa, be humble." Terima kasih Ibukota! Kamu telah mempertemukan kami kembali! Cheers! 😂 . . .#friends #jakarta #indonesia #fridaynight
1 note
·
View note
Photo

Nah, ini dia teman baru aku, Eco Bottle dari Tupperware! Dengan kapasitas 2L, dia akan membantu aku untuk memenuhi kebutuhan air dalam tubuhku. Biar ngga gagal fokus dan terhindar dari omelan atasan. 😂 Ayo mulai hidup sehat dengan banyak mengonsumsi air putih! Special thanks to @wear.tupperware ! (at Jakarta, Indonesia)
1 note
·
View note
Text
Genggaman yang Memberi Kehidupan
Pada tanggal 10 Agustus yang lalu, saya mengikuti tes kesehatan sebagai sarat pendaftaran kerja di suatu perusahaan. Tes dilaksanakan di Jogja. Ah, begitu menyenangkan untuk kembali ke kota itu.
Tes kesehatan tidak berlangsung lama, mungkin hanya sekitar satu jam saja. Setelah berpuasa selama lebih dari 12 jam, perut lapar ini pun menuntut Bubur Kalkun Joni. Saya rasa, cuma Bubur Joni yang punya menu bubur kalkun. Saus bumbunya itu enak sekali!!! Satu porsi sekitar 15ribu rupiah.
Selesai makan, saya dan ayah menuju ke PT. Taru Martani, sebuah perusahaan yang memproduksi handmade cigars. Cerutunya bukan untuk saya atau ayah, tapi untuk temannya ayah. Cerutu yang beraroma Vanilla enak!
Perjalanan dilanjutkan ke panti asuhan di daerah Pakem, Sleman. Panti asuhan ini dikelola oleh para suster Putri-Putri Yesus Kristus. Jumlah anak-anak yang di panti asuhan tersebut kurang lebih 36 anak. Yang termuda berumur tiga bulan, masih bayi. :( Yang paling besar sudah bersekolah di SMA dan SMK.
Saat saya dan ayah mau pulang, ada sebuah mobil datang. Ternyata itu mobil khusus untuk penyandang disabilitas. Adalah seorang anak perempuan berusia 11 tahun bernama Andra yang menderita Hydrocephalus. Walaupun ia sudah berusia 11 tahun, ia belum bisa berbicara. Setiap hari Senin-Sabtu, Andra pergi bersekolah di Yakkum, sebuah sekolah khusus untuk penyandang disabilitas.
Selain Andra, ada anak berusia tiga tahun bernama Jovan. Lucu sekali anak itu. Kata suster, Jovan ikut menemani Andra sekolah karena ia tidak mau sendirian di rumah. Jo, dengan tangan mungilnya,datang menghampiri saya dan salim.
Tangan-tangan mungil Jo inilah yang membuat saya merasakan syukur berlimpah dari Tuhan, Saya bersyukur saya diberi badan yang sehat, memiliki rumah dan keluarga yang luar biasa meski dengan segala naik-turunnya, dan diberikan rejeki yang cukup untuk saya bagikan ke adik-adik di panti asuhan,
Sungguh, ada rasa hangat di dada saat tangan Jo ada di genggaman tangan saya. Tangannya mungil, begitu polos. Suatu saat nanti saya akan kembali ke panti asuhan itu untuk bertemu Jo. Deo gracias!
1 note
·
View note
Text
Ketika Kebaikan Dinegasikan Oleh Rasa Mayoritas dan Minoritas
Resensi: Maryam – Okky Madasari
Berawal dari rasa penasaran, saya kemudian memutuskan untuk membeli buku Maryam bulan Juni kemarin. Saya kemudian selesai membaca buku setebal 280 halaman ini setelah tiga minggu lamanya. Jujur saja, saya tidak tahu apa-apa tentang buku ini awalnya. Jadi, saya tidak punya ekspektasi apa-apa terhadapnya.
Buku ini bercerita tentang Maryam, seorang perempuan yang berasal dari Desa Gerupuk, Lombok. Ia dibesarkan dalam keluarga Ahmadi yang taat. Sebagai anak tertua di keluarganya, ia pun menjadi anak yang patuh pada orang tua dan agamanya. Setamatnya dari bangku SMA, Maryam meneruskan pendidikan di Surabaya di sebuah universitas negeri. Di sana ia tinggal bersama sesama keluarga Ahmadi yang merupakan sahabat dekat keluarganya di Gerupuk.
Setelah memperoleh gelar sarjana, Maryam bekerja di Jakarta. Jakarta memperkenalkan ia pada modernitas dan pluralitas. Ia pun jatuh cinta pada seorang pria yang berbeda keyakinan dengannya. Maryam pun menikahi pria itu tanpa restu orang tuanya dan restu sepenuhnya dari orang tua si Pria. Ia pun mengikuti keyakinan suaminya. Bermodalkan cinta dan rasa sayang, pernikahan itu hanya mampu bertahan lima tahun.
Maryam bercerai dengan suaminya dan ia memutuskan untuk kembali ke Lombok, ke kampung halamannya. Setibanya di Gerupuk, ia mendapati bahwa keluarganya telah diusir dari kampung, meninggalkan rumah yang sudah ada sejak kakek Maryam dan usaha yang telah dikerjakan ayahnya sejak lama. Keluarganya yang menganut kepercayaan Ahmadiyah ini dikatakan sesat oleh orang-orang kampung dan diusir dari kampung dengan alasan untuk menjaga kedamaian. Padahal selama mereka tinggal di sana, yakni sejak kakek Maryam menetap di Gerupuk, tidak pernah ada kericuhan yang disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka pemeluk Ahmadiyah.
Dari cerita orang-orang yang ditemuinya, diketahui Maryam bahwa keluarganya pernah tinggal bersama pengungsi-pengungsi lain selama tiga tahun di kantor pengurus Ahmadiyah. Keluarganya dan pengungsi lain telah menetap di Desa Gegerung, memulai lembaran baru di sana, memupuk asa yang pernah direnggut oleh mereka yang berteriak-teriak “Sesat!”.
Maryam akhirnya menemukan keluarganya kembali dan memulai kehidupan baru bersama dengan ayah, ibu, dan adiknya. Singkat cerita, Maryam pun menikah lagi dengan seorang pria bernama Umar, seorang Ahmadi. Pernikahan tersebut diawali oleh usaha perjodohan oleh orang tua Maryam dan orang tua Umar dan baik Umar maupun Maryam sama-sama merasa tidak ingin mengecewakan orang tua masing-masing. Waktu berlalu dan ternyata Maryam merasa dicintai dan mencintai Umar, begitu juga sebaliknya. Maryam pun mengandung.
Kebahagiaan tidak bertahan lama karena kerusuhan kembali terjadi. Para pemeluk Ahmadiyah diusir dari Desa Gegerung. Rumah-rumah mereka dibakar. Mereka kembali hidup sebagai pengungsi di sebuah balai desa. Oknum polisi dan pemerintah tidak bisa melindungi mereka, tidak mampu memulangkan mereka ke rumah yang mereka bangun dari keringat sendiri. Mereka yang mayoritas kembali menyerukan bahwa apa yang diyakini oleh para Ahmadi adalah sesat. Kerusuhan dibungkam pemerintah dengan membungkan para Ahmadi di balai desa, tanpa kepastian, tanpa perhatian. Oknum-oknum tersebut mengaku melakukan itu semua untuk menjaga kedamaian.
Akhir-akhir ini kesatuan Indonesia kembali dicobai dengan berbagai isu agama. Dimulai dengan kasus penodaan agama yang dilakukan Ahok, berbagai aksi demonstrasi yang menuntut agar Ahok dipenjara, dan aksi demonstrasi yang memberikan dukungan pada Ahok. Dan kasus ini ditutup dengan keputusan yang menempatkan Ahok dibalik jeruji besi.
Ketika yang minoritas dibungkam, dipersalahkan, diteriaki, lantas damai kah Indonesia? Belum rasanya mengingat baru saja ada aksi demonstrasi yang menuntut agar patung Dewa Kongco Kwan Sing Tee Koen di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban dirobohkan.[1] Demonstran merasa bahwa patung yang terletak di kelenteng tersebut tidak layak dan sesuai dengan sejarah Indonesia. Mereka juga mengatakan bahwa aksi tersebut dilakukan sebagai bukti cinta tanah air.
Berkaca dari kisah Maryam dan kasus Ahok, timbul pemikiran bahwa kebenaran ditentukan oleh jumlah massa yang berteriak-teriak. Keluarga Maryam yang beragama Ahmadiyah diteriaki sesat dan kafir oleh mereka yang merasa dirinya benar karena besar jumlah pengikutnya. Ahok mungkin dipenjara juga karena ia diteriaki menista agama dan kafir oleh mereka yang punya pengikut banyak, juga waktu luang yang banyak hingga bisa memusingkan permasalahan keyakinan tetanggganya dan merasa terancam hanya karena keyakinan yang berbeda.
“Kedamaian untuk siapa?” adalah pertanyaan yang kemudian muncul sebagai hasil refleksi dari membaca Maryam dan melihat kasus-kasus terkait agama akhir-akhir ini. Ketika yang minoritas merasa terancam dan takut akan teriakan-teriakan kafir dan adegan pengusiran, apakah kemudian mereka merasa damai? Apakah dengan meneriaki kafir, mengusir, merobohkan patung, dan mengancam akan membuat mereka yang mayoritas merasa damai? Apakah kedamaian harus dibayar dengan mengancam mereka yang kecil dalam hal angka?
Dengan cara penulisan yang lugas, Maryam karya Okky Madasari mampu menghadirkan bagaimana perjuangan kaum minoritas dalam mempertahankan keyakinan dan hak-haknya sebagai warga negara. Novel ini dengan gamblang mempertontonkan gambaran kemajemukan Indonesia yang sering dikotak-kotakkan oleh standar yang dibuat manusia sendiri, manusia dengan kesombongannya membuat garis pembeda antara “mayoritas” dan “minoritas”.
“Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri” – Maryam, hal. 274.
[1] A. Faizal, “Massa Unjuk Rasa Desak Patung Megah di Kelenteng Tuban Dirobohkan”, Kompas.com (daring), 7 Agustus 2017, <http://regional.kompas.com/read/2017/08/07/12400951/massa-unjuk-rasa-desak-patung-megah-di-klenteng-tuban-dirobohkan>, diakses 8 Agustus 2017.
0 notes