sekotakbiru
sekotakbiru
Moodlicious
286 posts
Hanya lah cipta dari rasa yang terjaga. Hanya lah kata dari racauan yang tersimpan. Hanya lah sendu dari tangis semalam. dan (mungkin) hanya sedikit tawa yang tak sengaja kau sematkan.
Don't wanna be here? Send us removal request.
sekotakbiru · 4 years ago
Text
Pagi ini aku bangun dengan perasaan tidak tenang. Pikiran-pikiran sedari kemarin, enggan hilang. Sebabnya sebuah berita buruk yang tak pernah ku duga sebelumnya. Seorang dari masa yang lalu, ku pikir aku mengenalnya, ku pikir ia baik. Tapi ia dituduh melakukan hal buruk. Berita buruk itu, membawa serta pikiran ku kemana-mana.
Pada kekhawatiran yang terbang dan hinggap pada satu-satunya adik laki-laki ku. Apakah memiliki 2 orang kakak perempuan dan nilai-nilai yang dibangun bapak-ibu ku cukup untuk membuatnya setidaknya tidak menjadi laki-laki yang bangsat? Juga pada teman-teman laki-laki yang ku pikir cukup dekat. Aku memohon agar tidak jadi bangsat hanya karena hasrat seksual (tentu saja dua diantaranya tidak membalas, barangkali mereka pikir aku terlalu aneh :')
Pada pengakuannya bahwa ia melakukannya dengan konsen. Pada kenyataan bahwa ia dituduh sebagai pelaku. Meski masih diproses apakah ia benar bersalah atau tidak. Nyatanya ia sampai terseret kasus, nyatanya ia sampai melakukannya. Nyatanya, ada yang tidak beres, meski aku tak yakin dimananya.
Pada kesadaran bahwa, barangkali dulu aku memang tidak benar-benar mengenal orang itu. Barangkali bangsat memang lah warna yang dimilikinya, hanya saja tak ia tunjukkan pada ku. Barangkali benar kata orang bijak, orang lain ibarat lautan yang hanya kita ketahui permukaannya saja, kedalamannya, siapa yang tau.
(Begitu juga aku, lautan. Tak mampu ku bayangkan seseorang mau menyusuri kedalamannya)
Pada pertanyaan, apakah masih ada laki-laki baik di luar sana? Ketika memang banyak sekali laki-laki bangsat.
Kasusnya tentu saja bukan urusan ku. Tapi efeknya membuat ku lebih awas pada laki-laki yang mengamini atau bahkan mengaku feminis.
Sudah sedari kemarin aku ingin merokok, sambil menyaksikan hujan yang turun perlahan. Barangkali bisa ikut melepas pikiran ku. Barangkali mampu membuat ku lebih tenang. Tapi kata-kata bapak selalu terngiang-ngiang dalam kepala ku, "masa bapaknya engga ngerokok anaknya ngerokok". Haish.
Bogor, 17 Juni 2021
3 notes · View notes
sekotakbiru · 4 years ago
Text
"Kamu ngga tau ustadz X?"
"Engga"
"Ih masa ngga tau si. Ustadz X itu pas ketemu cucu nabi sampe dicium-cium loo"
"Oh ya, waah"
"Eh eh eh, masa Nisa ngga tau ustadz X we"
-_______-
Lah, emang kalo aku ngga tau kenapa anjir. Terima saja bahwa patron agama ku berbeda dengan mu. Lagian semua yang menggunakan "habib" pada namanya kan (katanya) keturunan nabi.
**
"Eh, si ini nikah yo"
"Heh? Siapa tuh?"
"Itu lo presbem UGM, masa ngga tau si"
Ya apa juga pentingnya buat aku njay.
"Dia itu kemarin yang inisiasi demo rame-rame itu. Sampe diundang ke Mata Najwa lo"
Heh?! Gaes, dia itu BEM SI, jadi bukan sesuatu yang mengejutkan kalo dia memutuskan menikah di usia muda. Lagian dia nikah kek guling-guling di tanah kan bukan urusan ku. Menginisiasinya gimana deg, banyak pihak yang terlibat gaes, dan kalo gerakan itu cuma vokal di UGM ngga bakal segede itu.
"Jangan-jangan kamu ngga tau yaah demo rame-rame kemarin"
HEH?!
**
Aku selalu menghormati orang karena pengetahuannya, seseorang terkait profesinya atau bahkan seorang teman yang mendalami isu tertentu. Hal itu membuat ku sadar bahwa aku terlalu banyak tidak tahu, bahwa aku harus terus belajar sampai habis usia ku.
Tapi dianggap tidak tahu apa-apa oleh orang yang tidak ku hormati karena pengetahuannya tu rasanya sesuatu sekali. Memang, kadang dianggap tidak tahu apa-apa itu menguntungkan, sebab akan ada banyak kesempatan untuk melihat bagaimana lawan bicara memperlakukan ku, melihat sejauh mana lawan bicara memahami topik yang sedang dibicarakan, dan paling utama tentu saja aku menjadi boleh bertanya apa pun. Masalahnya adalah ketika lawan bicara menganggap dirinya "lebih" dari ku, atau bahwa aku missing out issue, akan menimbulkan perasaan njir, gw ngga sebego itu keles dan ingin membantah muncul. Padahal yaa, buat apa si memulai perdebatan yang tidak penting.
Akhirnya cuma bisa : he he he iyaa iyaa
6 Juni 2021
8 notes · View notes
sekotakbiru · 4 years ago
Text
Ngobrol sambil makan malam bersama Mba Mulya yang tidak pernah kerja di kantor (orang lapangan tulen) juga Mba Yayan, Field Officer yang S2 nya 2 kali dan masih ingin ambil vokasi setelahnya, tapi super rendah hati.
"Yakin ajaa sama rezeki mba, jangan takut," jawaban Mba Mulya ketika ditanya soal pekerja lapang yang incomenya ngga sustainable.
"Makanya harus pinter-pinter jaga relasi. Kalo ngga suka sama orang simpen di hati ajaa. Barangkali di suatu waktu nanti orang itu jadi sumber rezeki kita kan. Karena dunia perkonsultan-perpenelitian itu sempit mba," tambah Mba Yayan.
"Mba kan S2 nya dua kali yaa, juga lebih senior yaa tapi posisinya malah di FO, apa ngga merasa kalo misal PO atau PM nya tu ngga tau apa-apa lah, anak kemarin sore lah dsb?"
Bersamaan mereka menjawab, "Kan kita kerja dilihat hasilnya mba, bukan titelnya. Kerja sesuai dengan tugasnya ajaa, urusan dia ya biar dia yang kerjakan."
Baru kemarin rasanya aku ditampar realita soal bagaimana seseorang di jalur karir ini membangun relasi berbau romansa. Baru kemarin panik sebab berasumsi bahwa barangkali bagaimana cara Laksmi Pamuntjak menceritakan kehidupan per-NGO-an ini lewat Aruna dan Lidahnya memang benar. Baru kemarin rasanya mendapat insight bahwa dunia dengan pemasukan tidak sustain ini sebaiknya ditinggalkan, "Jadilah abdi negara," begitu katanya. Baru kemarin rasanya memaklumi sikap menyebalkan seseorang sebab merasa dirinya lebih senior, lebih pintar sebab S2. Apa orang-orang ini ngga malu yaa, kalau ada yang lebih ahli tapi mereka santai dan diam saja.
4 Juni 2021
1 note · View note
sekotakbiru · 4 years ago
Text
Dulu, aku mengharapkan seseorang meraih tangan ku dan membawa ku pergi dari sebuah pulau di ujung negeri (with complicated issue), dari sebuah pulau pecahan surga (but full of shit), juga dari sini, kota yang terlalu berisik. Sampai aku sadar bahwa aku mampu membawa diriku sendiri pergi. Sujiwo Tedjo tentu akan berseloroh bahwa aku adalah orang yang egois, sebab merasa semua bisa ku lakukan sendiri. Tapi menggantungkan diri pada harapan yang tak pasti adalah sebuah tindakan melukai diri sendiri, yang kerusakannya lebih tak mampu aku tangani. Aku ingat perkataan teman ku ketika kami menikmati matahari tenggelam dari balik bukit. Kamu bisa melakukan semua hal yang kamu mau Nis. Jika lelah dengan kota, jangan ambil project di wilayah perkotaan. Jika ingin pergi sebentar ke daerah yg jauh, ambil project singkat ke wilayah itu. Jika ingin sekolah lagi, ambil project di satu daerah dengan kampus. Mungkin realitanya tidak akan semudah itu, tapi itu hal itu bisa dan mungkin terjadi. Kamu bisa melakukan semua hal yang kamu mau Nis.
0 notes
sekotakbiru · 4 years ago
Text
Sedang begitu menye-menye tapi rasa-rasanya itu terlalu menye-menye untuk dibaca di kemudian hari :")
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Aku benci saat bulan merah tengah datang. Ia tak pernah lupa membawa temannya, keresahan. Mengikisi setiap dinding yang menahan ku sepanjang bulan.
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Tuhan, apa kali ini juga terlalu tinggi?
1 note · View note
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Bagaimana ya rasanya menyayangi seseorang yang ternyata juga menyayangimu?
Hehe
Aku sudah berhenti membayangkan hal-hal yang tak bisa direngkuh oleh tangan ku sendiri. Beberapa hal ada, bukan untuk ku saat ini. Lagu dan puisi cinta misalnya.
Aku tak pernah tau apa pun. Jadi, terserah pemilik semesta saja, aku hanya mau mengurusi hal-hal yang masih dalam kuasa ku.
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Terserah saja lah. Terserah kau saja lah, ya Allah! Aku capek.
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Kamu sudah berusaha Nis, sebaik-baiknya. Ngga papa, ngga papa kok kemarin kamu punya obsesi, itu wajar setelah banyak hal yang kamu lalui. Ngga papa. Sudah yaa, lepaskan selepas-lepasnya :)
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Pada setiap kerinduan, tidak ada yang bisa dilakukan selain menjalani kehidupan
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Tumblr media
Somehow in this afternoon I feel so proud of myself, cause I have enough courage to end something blurry nearly a year before. It was hard to living life with a question in my mind, with imagination how someone will responded my thoughts (cause I were not talk about it yet). Even then, I decide to not be friend anymore, even I really really lost my valuable friend, I never regret it.
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Spotify sedang memperdengarkan lagu-lagu yang kuberi tanda suka, Payung Teduh dengan Mas Is sebagai vokalis di antaranya. Membawa ku pada ingatan-ingatan mereka masih berjaya, ingatan-ingatan yang telah lalu.
Dan berhenti pada beberapa hari kemarin.
Rupanya ada yang diam-diam bersyukur dari, 'Tuh katanya Quraish Shihab perasaan mu datengnya dari setan bukan dari Tuhan'. Tentu saja aku mengelak, tapi tetap kalah telak.
Ada yang diam-diam khawatir dari, 'Tapi kan dia ngga sholat Nis'.
Barangkali, jika aku tidak patah, mereka yang akan patah :')
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Aku pikir batas toleransi dan kedekatan dengan seorang adalah dua hal yang berbanding lurus. Rupa-rupanya aku keliru.
Teman sejak SD ku baru saja menikah, aku menghubunginya. Kami saling meledek juga dengan suaminya yang ku kenal. Anjir, kataku. Kemudian aku diminta menjaga mulut ku, aku diminta tau tempat.
Apakah aku melanggar batas toleransinya? Atau kami tidak cukup dekat untuk saling menolerir?
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
satu malam magis
Seperti pertemuan-pertemuan kami biasanya, pertemuan online malam kemarin kami meledek soal yang sama, sejarah patah hati. Aku menikmatinya, seperti juga mereka.
Ruang tamu kosan itu tak hanya mereka berdua, ada seorang lagi yang ku tau, nyatanya entah seberapa banyak orang di sana. Ledekan tentu saja belum berakhir, kemudian seorang teman menyebut sebuah nama.
Aku lemas, kenapa harus disebut. Kenapa harus memeberitahukan ke semua orang? Jika memang semua orang tau, biarlah tak perlu diumbar. Ini sesuatu yang ku rasakan, sesuatu yang sangat pribadi. Aku merasa seperti kemaluan ku dipertontonkan pada orang-orang tanpa seizin ku. Aku terkubur rasa malu hingga tak terlihat, tenggelam hingga dalam.
Aku benci diri ku,
Aku benci masa lalu ku,
Aku benci kamu.
Hapus saja. Hilang saja. Aku tidak peduli.
Tidak ada lagi ingin berkisah, tidak ada lagi ingin berterimakasih, tidak ada ingin tahu.
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
penyesalan
buatku, peyesalan itu tidak seharusnya ada. hanya orang bodoh yang menyesal atas pilihan yang dia buat. hal-hal negatif seharusnya menjadi resiko yang sudah dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan. tak ada yang bisa didapat dari penyesalan selain kesedihan.
tapi, jika aku diperkenankan menyalai apa yang ku percayai, kembali memutar waktu dan memperbaiki, maka aku akan kembali ke 4 tahunan yang lalu, ke masa aku begitu terpukau atas hal-hal di luar dunia ku, atas hal-hal yang tidak ku ketahui.
aku ingin menghentikan diri ku dari keingintahuan yang kemudian akan merubah seluruh hidup ku. aku ingin menghentikan diri ku untuk tidak melampaui batas ku, untuk tidak memaksakan diri mengakrabi ruang yang asing itu.
bukannya aku tidak bersyukur, tapi mungkin semuanya akan lebih mudah bagi ku. kepala ku tidak akan seberisik sekarang, cara ku melihat suatu hal tidak akan serumit sekarang, juga cara ku menerima lawan jenis tidak akan sesulit sekarang.
aku menyesal karena telah tau, meski hanya sedikit. tapi aku tidak bisa berhenti membaca, sebab terlalu banyak yang tidak ku ketahui. 
mungkin akan lebih mudah jika aku sama sekali tidak tau. bukankah kebodohan (ketidaktahuan) akan lebih menenangkan? 
0 notes
sekotakbiru · 5 years ago
Text
Menjadi Perempuan
Subuh-subuh tadi gue dapet pasien anak yang datang dengan keluhan demam dan muntah-muntah. Dia datang diantar dua perempuan, satu agak muda, satu lebih tua dan kayaknya seumuran nyokap gue. Saat menjelaskan hasil lab dan kesimpulan diagnosis gue ke mereka berdua, gue baru tau ternyata tidak satupun dari mereka adalah ibu kandung si pasien. Yang nampak lebih muda adalah tantenya, yang nampak seperti nyokap gue adalah neneknya. Menurut si tante, ibu si pasien sudah meninggal sejak si pasien masih bayi. Ayahnya di luar kota.
Saat akan berpamitan pulang, si tante cerita sedikit kalau dia harus sampai rumah sebelum jam 6, karena ada 3 anak lagi yang harus dia siapkan untuk berangkat sekolah; 1 orang kakaknya si pasien, dan 2 lagi anaknya sendiri. Katanya, yang mengurus mereka berempat ya hanya dirinya dan si nenek. Saat dia dan nenek ke rs, ketiga anak tadi dititipkan ke tetangga.
Gue menatap kepergian mereka keluar dari pintu UGD dengan mixed feeling. Ingatan gue terlempar pada perempuan-perempuan dengan bermacam tanggungjawab dan memutuskan mandiri--yang pernah gue temukan dalam hidup gue.
Menjadi perempuan itu mungkin sama saja dengan menjadi manusia pada umumnya. Tapi (maafkan untuk opini-opini sexist setelah ini), entah kenapa rasanya menjadi perempuan makin hari makin banyak term and condition-nya, dan makin banyak yang...how to say it, take them for granted?
Well, mungkin karena gue juga perempuan, jadi gue lebih melihat bagaimana dunia sekitar gue memperlakukan perempuan. Gue tau pasti menjadi laki-laki juga ada saja problematikanya. Sayangnya, gue belum pernah menjadi laki-laki, jadi sulit untuk membayangkan rasanya menjadi laki-laki.
Gue melihat bagaimana teman-teman gue yang memberanikan diri menggugat cerai suaminya yang toxic, lalu setelah dia merdeka sebagai janda, lingkungan sekitar tidak berhenti menyalahkannya, dibilang egois dan tidak memikirkan nasib anaknya. Gue bahkan pernah menyaksikan salah satu dari mereka dijadikan olok-olok dengan guyonan mesum di sebuah pertemuan formal, hanya karena caranya memegang mikrofon ketika sedang menjadi pembicara. Ntar giliran mereka dress up properly, merawat diri dengan passionate, dibilang janda gatel potensi jadi pelakor.
Gue melihat bagaimana perempuan sekitar gue melawan stigma atau terjebak stigma harus begini dan begitu, tidak boleh begini tidak boleh begitu. Gue tau masih banyak kerabat gue yang tidak peduli dengan gelar dokter gue selama gue masih belum menikah, dan gue akan selamanya jadi perbandingan dengan sepupu entah berantah gue yang anaknya sudah tiga padahal dulu kami bermain di selokan depan rumah kakek bersama-sama. Gue bahkan pernah mendengar adik gue yang perempuan dikasihani karena lensa kacamatanya makin tebal, sedangkan adik laki-laki gue yang silinder-nya lebih parah malah dibilang tampan.
Gue menyaksikan sendiri bagaimana nyokap sering dibahas rakyat sekitar karena bekerja dan sekolah lagi, padahal punya anak yang masih kecil-kecil. Sedangkan senior gue yang jadi spesialis bedah dan belum menikah dighibahin perawat dibilang perawan tua, ngga akan ada lakik yang mau sama perempuan yang sekolahnya ketinggian. Sama halnya kayak tante gue yang mau ambil S3. Sudah nikah mau sekolah lebih tinggi, salah. Belum nikah mau sekolah tinggi, salah juga.
Gue pernah sekolah di tempat yang jauh dari kota besar. Sebagian besar teman-teman gue saat itu, tidak melanjutkan sekolah sampai kuliah. SMA saja sudah mewah. Ada yang akhirnya hanya di rumah, menikah sebelum usia dua puluh, dan beranakpinak. Katanya, perempuan ya mau bagaimana juga hakikatnya adalah dapur-sumur-kasur. Sudah begitupun masih ada saja mulut bangsat yang terus berkomentar, kapan menambah anak, kenapa belum ada anak laki-laki, kenapa tidak ASI, kenapa tidak lahiran normal, kenapa bayinya tidak dibedong, kenapa ari-arinya ngga langsung dikubur, dll dsb dst.
Oh belum lagi kalau mau membahas bagaimana dunia mengatur cara perempuan berpenampilan. Sudah pakai jilbab, disuruh pakai cadar. Tidak pakai jilbab, dibilang dosa jariyah. Pakai bikini di pantai, dihujat tidak sudah-sudah. Pakai make up sedikit, dibilang menor dan tidak alami. Tidak pakai make up, dibilang tidak merawat diri.
Padahal katanya perempuan selalu benar. Tapi seringnya malah perempuan serba salah.
Pedihnya lagi, yang menyalahkan ya perempuan-perempuan juga.
Udah pernah nonton Kim Ji-Young, Born 1982? Salah satu film tentang perempuan yang sangat membuat gue patah hati. Se-patahpatahnya. Bahkan abis nonton itu, gue menangis sepanjang credit, sampe lampu bioskop menyala. Terlalu relate, terlalu dekat dengan kehidupan sehari-hari.
(bentar, spoiler alert dulu)
Ceritanya tentang ibu muda anak satu yang akhirnya mengidap mental issue serius karena stress dengan tekanan sekitar sejak dia menjadi ibu. Bagaimana dia harus berkutat dengan rutinitas mengurus anak, mengorbankan karir cemerlang, siang malam menghabiskan waktu demi suami, anak dan rumah. Sudah begitu, all the credits still go to the husband.
Ini bagian paling perihnya. Menjadi perempuan, kadangkala, adalah menjadi bayang-bayang. Ketika berhasil mencapai sesuatu, jika sudah menikah, yang disebut adalah suaminya. Jika belum menikah, yang disebut orang tuanya. Perempuan seperti tidak boleh dipuji sebagai dirinya sendiri, dihargai sebagai dirinya sendiri tanpa imbuhan orang-orang lain. Seolah-olah perempuan tidak mungkin berdiri sebagai entitas sendiri.
Sebagain besar perempuan di sekitar gue yang sudah menikah, panggilannya bukan lagi namanya, tapi nama suaminya dengan tambahan kata Bu. Misal, Bu Bambang, Bu Broto. Atau kalau sudah punya anak, yang disebut nama anaknya. Misal, Mamanya Aisyah, Bundanya Keanu. Padahal si Bambang sama Broto ngga bakal bisa punya Aisyah atau Keanu kalo ngga ada si perempuan ini sebagai entitas nyata. Aisyah sama Keanu juga ngga bakal ada di dunia kalo ngga ada rahimnya si perempuan ini sebagai sosok spotlight.
Dulu, nenek gue pernah nasihatin gue pas gue abis sumpah dokter. Katanya, gue harus ngerasain dulu jadi perempuan mandiri yang tau harus apa dengan diri sendiri, mencapai apa yang mau gue capai selagi gue belum menikah. Karena ketika sudah menikah, kehidupan gue sebagai diri gue sendiri, akan berakhir.
Gue akan jadi Bu-(nama laki gue), atau Mamanya- (nama anak gue). Gue akan menjadi imbuhan, bukan lagi kata dasar. Segala apapun yang gue capai, credit-nya akan diberikan kepada mereka, bukan kepada gue. Bahkan ketika anak gue melakukan sesuatu yang membanggakan pun, yang akan disebut pertama kali adalah bapaknya.
Gue dulu mungkin ngga paham dengan itu, sampe akhirnya gue makin tua dan teman-teman sekitar gue satu persatu menikah. Nasihat nenek gue mulai masuk akal.
Mungkin maksud nenek gue bukan mendiskreditkan peranan istri dan ibu. Nenek gue hanya memberikan bitter pill yang sebaiknya gue ketahui sebelum menjalaninya. Karena toh dalam hal apapun akan ada menyenangkan dan tidak menyenangkan-nya.
Pada akhirnya, gue cuma mau bilang ke sesama perempuan dulu aja deh. Muluk-muluk banget kalo gue berharap semua orang paham.
Tolonglah, perempuan, kita tuh sama-sama perempuan. Sedikit banyak, kita lebih mudah memahami sesama, dibanding yang beda. Jadi, apa susahnya berhenti saling mengintervensi keputusan dan pilihan hidup satu sama lain, apalagi dengan kata-kata pedih menyayat hati, hanya atas nama "peduli"? Ngga ada peduli yang melukai, sayang.
Tolong biarkan perempuan mau menikah atau tidak, mau punya anak atau tidak, mau melahirkan caesar atau normal, mau asi langsung atau asip, mau beli baju anak di mothercare atau itc, mau bekerja atau tidak, mau sekolah sampai phd atau sampai smp, mau pakai skincare drugstore atau high end, mau rambut dicat atau dibotak cepak, mau pakai backless atau gamis, mau jadi escort atau biarawati, mau bela Kale atau bela Awan, mau mpasi instan atau masak sendiri, mau pulang malam atau pulang pagi, mau suka Hindia atau BTS, mau jadi janda atau perawan sepanjang usia, mau tinggal sama mertua atau tinggal di kontrakan sempit, mau jadi gojek atau dokter perusahaan tambang lepas pantai, mau pakai balenciaga atau produk miniso, mau gaya make up tasya farasya atau bare face kemana-mana, dll.
Mari saling peluk, saling tepuk pundak, saling rangkul, saling genggam--atas apapun keputusan dan pilihan hidup masing-masing. Mari menjadi lingkungan yang nyaman untuk sama-sama ditinggali. Mari saling menjadi kekuatan disaat dunia sedang jahat-jahatnya.
Mari berhenti sok tau, sok paling benar. Hidup nelangsa lo ngga akan lebih baik dengan opini-opini "sekedar mengingatkan" lo ke sesama perempuan, dan hidup bahagia lo juga ngga akan berkurang nilainya dengan menerapkan standar bahagia lo ke sesama perempuan lainnya.
Mari sibukkan diri dengan berbagi kabar baik, memuji dengan bahasa baik, berbagi info diskon skincare di online shop, saling mengingatkan jika ada flash sale popok atau tempat thrift shop atau spa yang enak atau makanan yang murah meriah kenyang, bertukar kabar kalau ada shade lipstik terbaru atau warna cat rambut atau merk catokan yang reccomended.
Mari menjadikan perempuan sebagai dirinya sendiri, sebagai kata dasar, bukan imbuhan.
552 notes · View notes