Tumgik
suaramuslim · 3 years
Text
PINDAH IBU KOTA KEBIJAKAN DEHUMANIS
Penguasa negeri ini sepertinya telah kehilangan kepekaan bahkan kepedulian dan empati terhadap rakyatnya. Kritik pedas bertubi tubi serta kondisi sosial masyarakat yang terhempas akibat pandemi yang berkepanjangan, tidak membuat penguasa menghentikan atau minimal menunda pemindahan ibu kota. Padahal secara realita sesungguhnya pemindahan ibu kota seharusnya bukan skala prioritas dan urgen. Masih banyak aspek aspek berbangsa dan bernegara yang seharusnya lebih di dahulukan. Baik itu aspek ketatanegaraan maupun sosial kemasyarakatan. Jangan tanya tentang study kelayakan atau kepatutan karena kebijakan yang lebih mementingkan keinginan elit, baik itu elit penguasa maupun elit serikat ekonomi selalu berbau pencitraan dan narasi pencipta kondisian. Bahkan ketika azas manfaaat sangat mendominasi, tak jarang kebijakan bersifat dehumanisasi dan mengesampingkan AMDAL.
Dalam memindahkan ibu kota hendaklah penguasa dan pejabat negri ini mempertimbangkan aspek aspek berikut ini, antara lain pertama, mendahulukan pemerataan pembangunan dan ekonomi, sebenarnya ini bukanlah alasan tepat untuk melakukan pemindahan ibukota akan tetapi seharus sebelum melakukan pemindah ibu kota lebih urgent untuk melakukan pemerataan pembangunan dan ekonomi.
Pemerataan pembangunan dan ekonomi yang berkeadilan tidaklah bisa diukur dari peran ibukotanya, namun pada kebijakan pemerintah yang pro rakyat kecil untuk mensejahterakan ekonomi rakyatnya dari Sabang sampai Merauke. Hal penting adalah peningkatan jumlah sarana dan prasarana untuk rakyat agar menumbuhkan dan menghidupkan giat ekonomi masyarakat dengan penghasilan rendah, bahkan masyarakat miskin. Pemberian kredit permodalan dengan basis syariah tanpa bunga, jauh lebih efektif untuk masyarakat pedesaan dan UKM.
Alasan kedua, secara sosial budaya, Sosialisasi terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia khusus kepada penduduk setempat sudah terinformasi dengan terbuka dan tercerahkan bahwa akan adanya perubahan secara menyeluruh pada bidang kehidupan mereka. Perlu waktu dan proses yang tidak singkat untuk meyakinkan penduduk asli terhadap transformasi berbagai bidang kehidupan sekaligus mencegah konflik sosial yang berkepanjangan dan mendalam.
Alasan ketiga, dari Aspek sarana prasarana dan keuangan negara. Saat ini tiga lembaga negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), kementerian, kedutaan besar, lembaga-lembaga negara non kementerian, lembaga pertahanan dan keamanan, semua berpusat di ibukota DKI Jakarta. Bisa diperhitungkan dan diprediksikan berapa dana diperlukan oleh pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana serupa di ibukota baru. Apalagi pada beberapa kali jumpa pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa APBN mengalami defisit triliunan rupiah. Belum lagi jumlah hutang Indonesia dengan lembaga keuangan asing dan negara lain sudah mencapai tingkat kronis. Melakukan pemindahan ibukota pada saat ini adalah bukan keputusan yang bijak dari segi ekonomi dan keuangan negara.
Penjelasan soal skema anggaran yang tidak memberatkan anggaran justru menguatkan asumsi public bahwa pemindahan ibu kota ternyata membuka akses besar terhadap proses kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi yang lebih masif dan merata. Mengingat para pelaku bisnis yang nanti akan terlibat, tentu adalah para kapitalis level naga, yang orientasinya tak semata demi kepentingan negara, tapi akan berhitung soal profit atau kompensasi yang harus didapatkan.
Keempat, dari aspek Historis, Keterjaminan tidak adanya dekonstruksi sejarah dengan berpindahnya ibu kota. Karena hilangnya jati diri dan integritas suatu bangsa salah satunya adalah hilangnya kebanggaan terhadap sejarah yang dicapai bangsa tersebut.
Kelima, alasan seni, budaya, pariwisata dan pendidikan. Sejumlah museum, gedung-gedung bersejarah dan tempat rekreasi, bahkan institusi pendidikan. Jakarta adalah surga bagi semua warga masyarakat Indonesia. Universitas tertua dan salah satu perguruan tinggi dengan menyandang nama bangsa dan negara adalah Universitas Indonesia. Harus ada ide dan kreatifitas baru agar ibu kota baru mempunyai universitas yang berkelas.
Sesungguhnya akar permasalahan bukanlah pindahnya ibu kota akan tetapi paradigma kepemimpinan yang dipakai bangsa ini paradigma Manfaat. Seandainya paradigma yang digunakan negara adalah paradigma kepemimpinan Al-Qur'an dan Sunah, hal hal yang bersifat menguntungkan hanya elit mengesampingkan kehidupan rakyat tidak akan terjadi. Karena Islam menjadikan fungsi kepemimpinan negara sebagai pengurus sekaligus pelindung bagi rakyat, tanah air, dan kedaulatannya.
dalam Islam, negara haram membuat kebijakan yang merugikan rakyat, apalagi hingga menyerahkan kedaulatannya. Bahkan melalui penerapan seluruh aturan Islam, tertutup celah bagi pihak manapun untuk menguasai aset-aset strategis yang bisa menjadi jalan penjajahan asing atas wilayah negara meski hanya sejengkal.
Tumblr media
0 notes
suaramuslim · 3 years
Text
PINDAH IBU KOTA KEBIJAKAN DEHUMANIS
Penguasa negeri ini sepertinya telah kehilangan kepekaan bahkan kepedulian dan empati terhadap rakyatnya. Kritik pedas bertubi tubi serta kondisi sosial masyarakat yang terhempas akibat pandemi yang berkepanjangan, tidak membuat penguasa menghentikan atau minimal menunda pemindahan ibu kota. Padahal secara realita sesungguhnya pemindahan ibu kota seharusnya bukan skala prioritas dan urgen. Masih banyak aspek aspek berbangsa dan bernegara yang seharusnya lebih di dahulukan. Baik itu aspek ketatanegaraan maupun sosial kemasyarakatan. Jangan tanya tentang study kelayakan atau kepatutan karena kebijakan yang lebih mementingkan keinginan elit, baik itu elit penguasa maupun elit serikat ekonomi selalu berbau pencitraan dan narasi pencipta kondisian. Bahkan ketika azas manfaaat sangat mendominasi, tak jarang kebijakan bersifat dehumanisasi dan mengesampingkan AMDAL.
Dalam memindahkan ibu kota hendaklah penguasa dan pejabat negri ini mempertimbangkan aspek aspek berikut ini, antara lain pertama, mendahulukan pemerataan pembangunan dan ekonomi, sebenarnya ini bukanlah alasan tepat untuk melakukan pemindahan ibukota akan tetapi seharus sebelum melakukan pemindah ibu kota lebih urgent untuk melakukan pemerataan pembangunan dan ekonomi.
Pemerataan pembangunan dan ekonomi yang berkeadilan tidaklah bisa diukur dari peran ibukotanya, namun pada kebijakan pemerintah yang pro rakyat kecil untuk mensejahterakan ekonomi rakyatnya dari Sabang sampai Merauke. Hal penting adalah peningkatan jumlah sarana dan prasarana untuk rakyat agar menumbuhkan dan menghidupkan giat ekonomi masyarakat dengan penghasilan rendah, bahkan masyarakat miskin. Pemberian kredit permodalan dengan basis syariah tanpa bunga, jauh lebih efektif untuk masyarakat pedesaan dan UKM.
Alasan kedua, secara sosial budaya, Sosialisasi terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia khusus kepada penduduk setempat sudah terinformasi dengan terbuka dan tercerahkan bahwa akan adanya perubahan secara menyeluruh pada bidang kehidupan mereka. Perlu waktu dan proses yang tidak singkat untuk meyakinkan penduduk asli terhadap transformasi berbagai bidang kehidupan sekaligus mencegah konflik sosial yang berkepanjangan dan mendalam.
Alasan ketiga, dari Aspek sarana prasarana dan keuangan negara. Saat ini tiga lembaga negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), kementerian, kedutaan besar, lembaga-lembaga negara non kementerian, lembaga pertahanan dan keamanan, semua berpusat di ibukota DKI Jakarta. Bisa diperhitungkan dan diprediksikan berapa dana diperlukan oleh pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana serupa di ibukota baru. Apalagi pada beberapa kali jumpa pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa APBN mengalami defisit triliunan rupiah. Belum lagi jumlah hutang Indonesia dengan lembaga keuangan asing dan negara lain sudah mencapai tingkat kronis. Melakukan pemindahan ibukota pada saat ini adalah bukan keputusan yang bijak dari segi ekonomi dan keuangan negara.
Penjelasan soal skema anggaran yang tidak memberatkan anggaran justru menguatkan asumsi public bahwa pemindahan ibu kota ternyata membuka akses besar terhadap proses kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi yang lebih masif dan merata. Mengingat para pelaku bisnis yang nanti akan terlibat, tentu adalah para kapitalis level naga, yang orientasinya tak semata demi kepentingan negara, tapi akan berhitung soal profit atau kompensasi yang harus didapatkan.
Keempat, dari aspek Historis, Keterjaminan tidak adanya dekonstruksi sejarah dengan berpindahnya ibu kota. Karena hilangnya jati diri dan integritas suatu bangsa salah satunya adalah hilangnya kebanggaan terhadap sejarah yang dicapai bangsa tersebut.
Kelima, alasan seni, budaya, pariwisata dan pendidikan. Sejumlah museum, gedung-gedung bersejarah dan tempat rekreasi, bahkan institusi pendidikan. Jakarta adalah surga bagi semua warga masyarakat Indonesia. Universitas tertua dan salah satu perguruan tinggi dengan menyandang nama bangsa dan negara adalah Universitas Indonesia. Harus ada ide dan kreatifitas baru agar ibu kota baru mempunyai universitas yang berkelas.
Sesungguhnya akar permasalahan bukanlah pindahnya ibu kota akan tetapi paradigma kepemimpinan yang dipakai bangsa ini paradigma Manfaat. Seandainya paradigma yang digunakan negara adalah paradigma kepemimpinan Al-Qur'an dan Sunah, hal hal yang bersifat menguntungkan hanya elit mengesampingkan kehidupan rakyat tidak akan terjadi. Karena Islam menjadikan fungsi kepemimpinan negara sebagai pengurus sekaligus pelindung bagi rakyat, tanah air, dan kedaulatannya.
dalam Islam, negara haram membuat kebijakan yang merugikan rakyat, apalagi hingga menyerahkan kedaulatannya. Bahkan melalui penerapan seluruh aturan Islam, tertutup celah bagi pihak manapun untuk menguasai aset-aset strategis yang bisa menjadi jalan penjajahan asing atas wilayah negara meski hanya sejengkal.
Tumblr media
0 notes
suaramuslim · 3 years
Text
Tumblr media
KEBIJAKAN DEHUMANISASI PINDAH IBU KOTA
Penguasa negeri ini sepertinya telah kehilangan kepekaan bahkan kepedulian dan empati terhadap rakyatnya. Kritik pedas bertubi tubi serta kondisi sosial masyarakat yang terhempas akibat pandemi yang berkepanjangan, tidak membuat penguasa menghentikan atau minimal menunda pemindahan ibu kota. Padahal secara realita sesungguhnya pemindahan ibu kota seharusnya bukan skala prioritas dan urgen. Masih banyak aspek aspek berbangsa dan bernegara yang seharusnya lebih di dahulukan. Baik itu aspek ketatanegaraan maupun sosial kemasyarakatan. Jangan tanya tentang study kelayakan atau kepatutan karena kebijakan yang lebih mementingkan keinginan elit, baik itu elit penguasa maupun elit serikat ekonomi selalu berbau pencitraan dan narasi pencipta kondisian. Bahkan ketika azas manfaaat sangat mendominasi, tak jarang kebijakan bersifat dehumanisasi dan mengesampingkan AMDAL.
Dalam memindahkan ibu kota hendaklah penguasa dan pejabat negri ini mempertimbangkan aspek aspek berikut ini, antara lain pertama, mendahulukan pemerataan pembangunan dan ekonomi, sebenarnya ini bukanlah alasan tepat untuk melakukan pemindahan ibukota akan tetapi seharus sebelum melakukan pemindah ibu kota lebih urgent untuk melakukan pemerataan pembangunan dan ekonomi.
Pemerataan pembangunan dan ekonomi yang berkeadilan tidaklah bisa diukur dari peran ibukotanya, namun pada kebijakan pemerintah yang pro rakyat kecil untuk mensejahterakan ekonomi rakyatnya dari Sabang sampai Merauke. Hal penting adalah peningkatan jumlah sarana dan prasarana untuk rakyat agar menumbuhkan dan menghidupkan giat ekonomi masyarakat dengan penghasilan rendah, bahkan masyarakat miskin. Pemberian kredit permodalan dengan basis syariah tanpa bunga, jauh lebih efektif untuk masyarakat pedesaan dan UKM.
Alasan kedua, secara sosial budaya, Sosialisasi terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia khusus kepada penduduk setempat sudah terinformasi dengan terbuka dan tercerahkan bahwa akan adanya perubahan secara menyeluruh pada bidang kehidupan mereka. Perlu waktu dan proses yang tidak singkat untuk meyakinkan penduduk asli terhadap transformasi berbagai bidang kehidupan sekaligus mencegah konflik sosial yang berkepanjangan dan mendalam.
Alasan ketiga, dari Aspek sarana prasarana dan keuangan negara. Saat ini tiga lembaga negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), kementerian, kedutaan besar, lembaga-lembaga negara non kementerian, lembaga pertahanan dan keamanan, semua berpusat di ibukota DKI Jakarta. Bisa diperhitungkan dan diprediksikan berapa dana diperlukan oleh pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana serupa di ibukota baru. Apalagi pada beberapa kali jumpa pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa APBN mengalami defisit triliunan rupiah. Belum lagi jumlah hutang Indonesia dengan lembaga keuangan asing dan negara lain sudah mencapai tingkat kronis. Melakukan pemindahan ibukota pada saat ini adalah bukan keputusan yang bijak dari segi ekonomi dan keuangan negara.
Penjelasan soal skema anggaran yang tidak memberatkan anggaran justru menguatkan asumsi public bahwa pemindahan ibu kota ternyata membuka akses besar terhadap proses kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi yang lebih masif dan merata. Mengingat para pelaku bisnis yang nanti akan terlibat, tentu adalah para kapitalis level naga, yang orientasinya tak semata demi kepentingan negara, tapi akan berhitung soal profit atau kompensasi yang harus didapatkan.
Keempat, dari aspek Historis, Keterjaminan tidak adanya dekonstruksi sejarah dengan berpindahnya ibu kota. Karena hilangnya jati diri dan integritas suatu bangsa salah satunya adalah hilangnya kebanggaan terhadap sejarah yang dicapai bangsa tersebut.
Kelima, alasan seni, budaya, pariwisata dan pendidikan. Sejumlah museum, gedung-gedung bersejarah dan tempat rekreasi, bahkan institusi pendidikan. Jakarta adalah surga bagi semua warga masyarakat Indonesia. Universitas tertua dan salah satu perguruan tinggi dengan menyandang nama bangsa dan negara adalah Universitas Indonesia. Harus ada ide dan kreatifitas baru agar ibu kota baru mempunyai universitas yang berkelas.
Sesungguhnya akar permasalahan bukanlah pindahnya ibu kota akan tetapi paradigma kepemimpinan yang dipakai bangsa ini paradigma Manfaat. Seandainya paradigma yang digunakan negara adalah paradigma kepemimpinan Al-Qur'an dan Sunah, hal hal yang bersifat menguntungkan hanya elit mengesampingkan kehidupan rakyat tidak akan terjadi. Karena Islam menjadikan fungsi kepemimpinan negara sebagai pengurus sekaligus pelindung bagi rakyat, tanah air, dan kedaulatannya.
dalam Islam, negara haram membuat kebijakan yang merugikan rakyat, apalagi hingga menyerahkan kedaulatannya. Bahkan melalui penerapan seluruh aturan Islam, tertutup celah bagi pihak manapun untuk menguasai aset-aset strategis yang bisa menjadi jalan penjajahan asing atas wilayah negara meski hanya sejengkal.
1 note · View note