sunyaragi
sunyaragi
anggardevi
114 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
sunyaragi ¡ 2 years ago
Text
Sigmun - Mazahare Lyrics (Unofficial) And from the ashes she has born again Pure and blessed with fire
The flickering light of her blazing hand Graced the cinders of the pyre
Devoid of chains of common men Wide open and free from desire
O men who are abandoned and ready to die Stand toward the heaven and see through your eyes She ascend to the sky
And with the ashes we shall march again Rage and tainted with fire
The gleaming light of this burning sand Graced our ragged attire
Carry the chains of common men Burdened and bleed with desire
O men who are abandoned and ready to die Stand toward the heaven and see through your eyes She ascend to the sky
---
Come and find me my believers Spread the ashes to the rivers
Neither holy nor defiled Wear the innocence of a child
Walk behind me my believers Let them tremble and shiver
Neither holy nor defiled Wear the innocence of a child
youtube
1 note ¡ View note
sunyaragi ¡ 5 years ago
Text
PERIHAL TUDUHAN "AKTOR INTELEKTUAL" DAN "DITUNGGANGI"
Istilah “aktor intelektual” dan “ditunggangi” tidak pernah hilang dari kosa politik Indonesia. Bahasa politik itu kembali muncul saat para pejabat menyikapi demonstrasi besar-besaran menentang RUU Cipta Kerja.
Perlu dikatakan bahwa tidak mungkin massa aksi yang begitu besar tidak punya kepentingan dan agenda politik. Mereka turun ke jalanan justru karena punya itu semua. Sudah pasti juga ada plot dari orang yang mencoba memanfaatkan gelombang aksi ini agar bisa inline dengan, syukur-syukur bisa menggolkan, agenda politik mereka.
Kemunculan istilah “aktor intelektual” atau “ditunggangi” justru untuk menegaskan bahwa plot tersembunyi itulah yang menjadi motif utama. Formula maknanya begini: aspirasi yang diusung secara terbuka dalam spanduk-spanduk dan orasi-orasi para demonstran hanya sampul dari plot tersembunyi untuk mendelegitimasi pemerintah dan itu pasti datang dari kelompok politik yang urusannya hanyalah kue kekuasaan.
Asumsinya: (1) warga yang baik tidak mungkin turun ngeyel di jalanan karena negara tidak mungkin melukai (suara) rakyat dan (2) warga yang baik hanya akan menyampaikan aspirasinya melalui jalur-jalur formal. Dua asumsi itu problematis karena (1) negara dan aktor-aktor negara bukanlah malaikat tanpa cela, (2) jalur-jalur formal biasanya sudah tersumbat dan (3) walau pun sudah tersumbat toh jalur formal itu pernah, sedang, dan akan ditempuh, kok.
Masalah utama dari jalan pikiran yang terwakilkan dari istilah “aktor intelektual” dan “ditunggangi” adalah ketidakpercayaan atas kemampuan warga untuk mengartikulasikan pikiran, aspirasi, kekecewaan, kemarahan dan harapan. Makanya, tiap kali ada warga desa, orang-orang kampung, atau mereka yang (dikesankan) tak berpendidikan angkat suara dan melakukan perlawanan, pasti selalu ada yang mengatakan: tak mungkin lulusan SD ngerti urusan politik dan hukum, mereka pasti ditunggangi, oleh makelar-makelar politik berbaju LSM, aktivis, dan/atau (sekarang lagi ngetren istilah) SJW.
Bingkai itulah yang mestinya membuat narasi “sudah baca belum draft RUU-nya?” bisa diletakkan secara tepat. Narasi itu sejalan dengan rumus berpikir bahwa “warga pasti tidak tahu apa-apa, sehingga kalau mereka merasa tahu sudah pasti itu hanya (1) sotoy atau (2) ditunggangi”.
Jika diperas lebih kencang lagi, semua itu hendak bermuara kepada cara berpikir bahwa “warga pada dasarnya tidak pernah bermasalah dengan agenda-agenda negara”. Warga dibayangkan sebagai makhluk-makhluk naif yang secara alami selalu menerima niat baik negara dengan tulus. Sehingga jika ada warga yang berserikat untuk menolak agenda-agenda negara, hal itu sudah pasti bukan tindakan yang alamiah.
Gema "negara organik", atau "negara integralistik" ala Soepomo, pun tercium. Secara singkat bisa dikatakan bahwa negara organik membayangkan bahwa tidak ada ketegangan antara negara dan rakyat. Keduanya adalah manunggal. Rakyat dan pemimpin itu tidak terpisah-pisahkan. Negara-bangsa dibayangkan sebagai sebuah keluarga besar, dengan pemimpin sebagai bapak dan rakyat sebagai anak-anaknya. Tidak pada tempatnya mencurigai sang bapak hendak mencederai anak-anaknya. Segala yang dilakukan sang bapak, jika pun dirasa merugikan, semuanya untuk kebaikan anak-anaknya.
Saya tak hendak berpanjang-panjang menjelaskan apa itu “negara organik” dan “negara integralstik”. Saya persingkat dengan melompat kepada konsep “politik massa mengambang” yang dirumuskan Ali Moertopo pada 1972 lewat tulisan berjudul 'Dasar-Dasar Pemahaman tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun’.
Siasat ini pada dasarnya adalah sebentuk depolitisasi warga, menjauhkan warga dari diskursus politik. Dalam bentuk yang konkrit, politik hanya boleh sampai di tingkat Kabupaten/Kotamadya, tidak boleh masuk hingga level kecamatan apalagi tingkat desa. Jika pun hendak berpolitik, hanya boleh melalui saluran resmi yaitu lewat dua partai (PPP-PDI) dan Golkar.
Mudah ditebak siasat ini hanya menguntungkan Golkar. Dibandingkan PPP dan PDI, hanya Golkar yang infrastruktur politiknya dapat menjangkau hingga pelosok-pelosok desa. Melalui aparat birokrasi dan organisasi-organisasi turunannya (dari PGRI, Korpri, Dharma Wanita, PKK, hingga pemerintah desa yang diawasi oleh Koramil, Polsek dan Babinsa), Golkar akan dengan mudah menancapkan kepentingan politiknya dengan demikian intens.
Moertopo mendasarkan argumentasinya kepada mendesaknya agenda-agenda pembangunan yang tidak boleh diganggu oleh kancah perjuangan politik partai dan golongan. Dalam kalimatnya Moertopo: "...sudah selayaknya bila rakyat, yang sebagian besar terdiri atas rakyat di pedesaan, dialihkan perhatiannya dari masalah sempit dan diarahkan kepada usaha pembangunan nasional, antara lain melalui pembangunan masyarakat desanya masing-masing."
Dari situlah genealogi istilah "provokator" masuk ke dalam kosa kata politik Indonesia. Dibayangkan bahwa orang-orang luar, mereka yang menunggangi, atau aktor intelektual, sebagai biang kerok munculnya inisiatif perlawanan warga. Tanpa orang luar, warga yang dianggap masih bodoh, kurang berpendidikan, tidak rasional, mustahil punya keberanian atau punya inisiatif menentang agenda-agenda negara. Orang-orang luar, entah atas nama advokasi atau pendampingan atau solidaritas atau apa pun, dianggap sebagai intervensi nurture terhadap nature, yang merongrong kedamaian dan ketenteraman.
Para politisi, kepala daerah, para jenderal atau menteri dan presiden yang masih berpikir bahwa penolakan warga terhadap agenda-agenda negara sebagai tindakan yang tidak alamiah, menyimpang, dan mengganggu ketertiban bukan hanya ketinggalan zaman atau gagap membaca perubahan mas(s)a tapi juga masih merasa dirinya sebagai “bapak” yang serba-berhak menilai dan memutuskan apa yang terbaik bagi rakyat yang terus dianggap sebagai (kek)anak-anak(an) dan tidak mengerti apa-apa.
191 notes ¡ View notes
sunyaragi ¡ 6 years ago
Quote
Seperti beras yang menjadi nasi, pikiran juga perlu ditanak agar matang. Dan media sosial bukanlah rice cooker
(via kurangpiknik)
184 notes ¡ View notes
sunyaragi ¡ 6 years ago
Photo
Tumblr media
another chance to survive, another roll of dice. #menangys #sumbingmountain https://www.instagram.com/p/B1D21x7H2iU/?igshid=15yitw1zoxwrw
0 notes
sunyaragi ¡ 6 years ago
Text
Thank you for the memories, I don't know what It means.
0 notes
sunyaragi ¡ 6 years ago
Photo
Tumblr media
Shinichiro Saka 忍野村 二十曲峠 2014:10:14 06:21:50
6K notes ¡ View notes
sunyaragi ¡ 6 years ago
Text
Terlampau banyak waktu yang dihabiskan untuk menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi.
107 notes ¡ View notes
sunyaragi ¡ 7 years ago
Text
Menjadi Pendaki Gunung yang Bertanggung Jawab
Tumblr media
Perilaku pendaki gunung masih menjadi persoalan serius dalam dunia pendakian Indonesia. Regulasi yang tegas bagi para pegiat alam bebas diharapkan dapat menjadi solusi sekaligus peringatan agar gunung tak makin rusak.
Menjadi pendaki gunung yang bertanggung jawab tidak cukup hanya bermodalkan keinginan saja. Ada sejumlah hal yang perlu diketahui dan dipelajari mulai dari aturan mendaki, keselamatan, hingga konservasi. Maraknya permasalahan dalam kegiatan pendakian gunung terletak pada kurangnya pengetahuan, persiapan fisik, dan kepastian regulasi.
Ketika mendaki, seorang pendaki juga perlu mengetahui medan yang dituju, kondisi iklim, ketinggian gunung, dan kredibilitas orang yang diajak mendaki. Meskipun saat ini banyak akses maupun informasi perjalanan tentang gunung yang dituju, namun jika seorang pendaki tidak memiliki pengetahuan, manajemen logistik dan waktu, serta tidak didampingi oleh orang yang berpengalaman dapat  menimbulkan risiko.
“Sebelum kita melakukan perjalanan adakalanya kita mengukur kemampuan diri. Jadi ga asal ada ajakan dari teman lalu kita berangkat tanpa ada persiapan,” kata Martin Rimbawan, 7 Summiter Indonesia di Jakarta, (9/3) lalu.
Mengetahui Status Sebuah Kawasan
Tren pendakian gunung yang semakin meningkat setiap tahun berpotensi mengganggu suatu kawasan konservasi apabila tidak dilandasi aturan yang memadai. Pasalnya kawasan yang diperbolehkan untuk kegiatan pendakian adalah Taman Nasional dan Taman Wisata Alam.  Sedangkan untuk kawasan Cagar Alam dibatasi dengan aturan yang sangat ketat dan hanya diperbolehkan untuk tujuan penelitian bukan penjelajahan. Setelah mengetahui status sebuah kawasan adakalanya pendaki mencari informasi mengenai jalur resmi pendakian. Maraknya jalur tidak resmi akibat pembukaan jalur baru justru menambah kerusakan alam baru.
“Yang terjadi ketika kita memotong atau membuka jalur baru akan timbul bekas hingga akhirnya merusak suatu kawasan,” ucap Harley B. Sastha, penulis buku “Mountain Climbing For Everybody”
Harley mengatakan pembukaan jalur baru juga berdampak pada keselamatan pendaki lain. Sebab keberadaannya justru menambah faktor penyebab pendaki hilang atau tersesat. Ia menjelaskan bahwa jalur resmi memiliki petunjuk jelas yang ditandai dengan adanya papan informasi.
“Kuncinya sebelum mendaki gunung baca dan riset terlebih dahulu mengenai jalur pendakian baik yang resmi maupun tidak resmi,” katanya.
Manajemen Logistik
Survival terbaik adalah manajemen perjalanan termasuk di dalamnya manajemen logistik. Pendaki perlu memiliki pengetahuan mengenai manajemen logistik ketika berencana mendaki. Manajemen logistik dibutuhkan untuk mengatur perbekalan dan peralatan yang dibawa selama bertahan di alam bebas. Hal ini biasanya disesuaikan dengan rencana operasional perjalanan (ROP), yakni jumlah hari yang akan ditempuh selama pendakian.
“Contohnya ketika mendaki gunung Raung peralatan dan jumlah logistik yang dibawa berbeda saat mendaki gunung Gede. Karena gunung Raung sifatnya lebih teknikal dengan waktu tempuh yang panjang,” ujar Martin.
Semakin berat medan suatu gunung maka semakin besar kebutuhan kalori sehingga perlu diperhitungkan seberapa banyak logistik yang dibutuhkan. Idealnya untuk mendaki selama 2 hari, pendaki sebaiknya membawa logistik untuk 3 hari demi mengantisipasi faktor perubahan cuaca atau keadaan darurat lain.
SNI Pengelolaan Pendakian Gunung
Banyaknya kecelakaan dalam kegiatan pendakian gunung mendorong Federasi Mountaineering Indonesia (FMI), Asosiasi Pendaki Gunung Indonesia (APGI), dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merancang Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai Pengelolaan Pendakian Gunung. Kecelakaan di gunung bukan hanya melibatkan pegiatnya melainkan juga pembuat kebijakan. Standar tersebut nantinya akan mengatur kemampuan apa saja yang harus dimiliki seorang pendaki hingga regulasi mengenai pemeriksaan kesehatan.
“Jadi nanti pendaki tidak hanya membawa surat keterangan sehat, tetapi juga diperiksa langsung kesehatannya di pos pendaftaran,” kata Fandhi Achmad, International Trail Runner dan APGI.
2 notes ¡ View notes
sunyaragi ¡ 7 years ago
Text
Memilih Tujuan Liburan Adalah Tindakan Politik
Tumblr media
Uang dan kekuasaan waktu luang bukanlah penentu seseorang bebas melakukan apa saja terhadap alam. Juga sebetulnya tidak ada penentu pasti yang bisa membuat seorang pelancong bisa berlaku sesuka hati di suatu tempat. Mempersiapkan rencana liburan bukan hanya perkara membuat daftar destinasi yang akan dikunjungi atau memasukkan perlengkapan ke dalama koper, melainkan membuat pilihan politik.
Pariwisata merupakan sebuah industri yang berkaitan dengan politik nasional dan internasional. Pada tingkat yang paling dasar pariwisata dinilai sebagai industri ekspor, sumber devisa, dan dapat membantu menopang keuangan suatu negara. 
Suatu jaringan besar cenderung mengendalikan banyak industri pariwisata. Sementara mereka membayar pajak lokal dengan jumlah yang kecil, penduduk setempat justru memikul beban besar seperti berbagi ruang dan fasilitas miliknya dengan pengunjung.
Para pelancong tidak hanya membawa uang ke tujuan wisata. Mereka juga membawa budaya dan sosial. Di sejumlah tempat, masyarakat adat justru menutup kunjungan turis asing dan domestik. Mereka berpendapat bahwa pariwisata mengancam budaya, merusak ekosistem lingkungan, dan di sisi lain menganggapnya sebagai kolonialisme. Di Hawai, berbagai upaya sedang dilakukan untuk merekonsiliasi masalah yang timbul dari industri pariwisata karena dinilai terlalu mengeksploitasi budaya asli.
Pariwisata telah dikaitkan dengan liberalisasi, nilai-nilai sosial, pemberdayaaan minoritas, bahkan penyebaran demokrasi. Tempat kita menghabiskan uang liburan di situlah kita juga berkontribusi untuk melegitimasi politisi tertentu dan kebijakannya. Di Spanyol, misalnya, pertumbuhan pariwisata diinisiasi di bawah diktator Francisco Franco, sebagai sebuah sarana menopang perekonomian negaranya yang sedang lemah.
Dalam 20 tahun terakhir Cina juga mulai mengizinkan rakyatnya bebas bepergian ke luar negeri setelah beberapa dekade mengisolasi paksa mereka. Para politisi cenderung khawatir dengan ide-ide subversif dan pertanyaan aneh yang mungkin dibawa oleh para pelancong. Ketidakpercayaan akan wisatawan membuat politisi menjadikan mereka sebagai kambing hitam.
Di Barcelona, sebuah kota yang bergantung pada pariwisata di akhir abad ke-20, pelancong justru menjadi semakin tak diinginkan. Mereka disalahkan karena meningkatkan biaya hidup bagi warga lokal.
Pariwisata juga dinilai sebagai sebuah cara bagi pemerintah untuk menegaskan ideologi mereka—secara internal dan eksternal. Wisatawan Kuba, misalnya, dapat mengunjungi Museum Revolusi sebagai rekomendasi utama untuk bertamasya di Havana.
Selain itu, pariwisata dapat menjadi sarana untuk meningkatkan dan memodifikasi citra negara di panggung dunia. Israel telah bertahun-tahun menggunakan pariwisata gay untuk melunakkan citra internasionalnya. Sedangkan Dubai telah memantapkan dirinya membuat taman bermain mewah yang dipenuhi hiburan dan pemandangan indah.
Namun, komitmen kedua pemerintah negara tersebut terhadap citra wisata yang mereka jual dapat diperdebatkan. Kaum LGBTQ di Israel baru-baru ini dibatasi haknya oleh parlemen untuk urusan operasi kelamin. Sedangkan di Dubai, terkenal karena ada orang-orang yang menghadapi hukuman yudisial berat untuk tindakan yang tidak berbahaya. Misalnya, tidak sengaja menyenggol orang lain.
Di satu sisi, citra yang dijual kepada para pelancong sering kali tidak sama dengan kenyataan yang dihadapi oleh warga lokal di suatu negara. Di sisi lain, wisatawan sendiri diharapkan mematuhi peraturan yang tidak akan mereka setujui atau tidak sesuai dengan yang ada di negara asalnya.
Sebagai pelancong, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan liburan. Cari tau apakah agen perjalanan yang kita pilih berkomitmen untuk berinvestasi dalam pajak, pekerjaan, dan kehidupan warga lokal. Observasi perilaku penduduk setempat terhadap pariwisata agar kita dapat menjadi tamu yang lebih baik. Terakhir, sadari politisi yang menggunakan pariwisata untuk kepentingan pribadi mereka.
0 notes
sunyaragi ¡ 7 years ago
Text
Perempuan dan Sepeda Motor
Tumblr media
Beberapa hal menyenangkan dari mengendarai motor adalah momen saat mengamati speedometer melaju, merasakan deru angin melewati wajah, atau merasakan gravitasi menarik diri lebih dekat ke sudut yang kabur. Seketika hal yang berkaitan dengan gender berhenti menjadi masalah. Hanya mesin dan dirimu. Itulah kebahagiaan berada di jalanan. Itulah kebebasan.
Kepuasan menjelajah jalanan dengan sepeda motor merupakan sesuatu yang netral gender: gemuruh yang menggeram dari dalam mesinmu saat kau memutar throttle; distorsi suara dan penglihatan pada jarak 70 kilometer per jam; kecenderungan yang tiba-tiba menarik kau dan motormu meninggalkan lalu lintas di belakang.
Selama bertahun-tahun saya bersepeda motor—dan saya telah berkendara seperempat dari hidup saya sekarang, dengan mesin yang berbeda, di segala macam tempat—mengajarkan saya bahwa kesenangan mengendarai motor merupakan hal yang netral gender. Tak ada monopoli atas jenis kelamin tertentu, tetapi orang-orang secara konsisten berasumsi bahwa mereka yang melakukannya adalah laki-laki.
Dalam beberapa hal, mereka tidak salah untuk beranggapan seperti itu. Sejak kecil saya terpesona oleh mesin. Sepeda motor menemukan jalan mereka ke dalam hidup saya bahkan sebelum saya tau apa arti “feminisme” atau “bias gender”. Di kota besar juga di desa, laki-laki tiga kali lebih mungkin mengendarai sepeda motor, moped, atau skuter daripada perempuan. Sangat jarang saya bertemu dengan sesama perempuan yang berkendara di atas roda dua, terutama yang berkendara sendirian. Pesan dari budaya populer mengatakan bahwa sepeda motor untuk laki-laki. Iklan-iklan di televisi juga turut menyuburkan budaya tersebut dengan menampilkan maskulinitas pria melalui sepeda motor.
Mengapa begitu sedikit perempuan yang bersuka-ria berkendara di atas kuda besi?
Situasi tersebut berkaitan antara manusia dan mesin. Secara historis, mesin diartikan sebagai kepemilikan maskulin—tenaga kerja dan industri, perang, hingga militerisme. Hubungan perempuan dengan mesin, sebaliknya, dibatasi pada lingkup domestik. Meski saat ini negara-negara yang melarang perempuan mengendarai mobil telah menghapus aturan tersebut, dalam imajinasi popular, bagi perempuan mobil tetap merupakan perluasan dari rumah. Alat untuk berbelanja bahan makanan atau menjemput anak-anak—tugas yang tidak terlalu cocok untuk sepeda motor.
Perkara lain yang berkaitan dalam imajinasi publik mengenai motor di antaranya kejahatan, penyimpangan, dan agresi. Beberapa insiden yang kerap terdengar melibatkan motor seperti kasus kejahatan anggota geng motor hingga konvoi komunitas motor gede ibu kota—selama bertahun-tahun telah menorehkan persepsi luas bahwa sepeda motor adalah kendaraan untuk geng—yang terutama terdiri atas laki-laki—terlibat dalam kegiatan berbahaya, kalau tidak bisa dibilang jahat.
Umumnya pengendara laki-laki memiliki sebuah spektrum maskulinitas berbasis sepeda motor yang berbeda untuk dipilih: pengendara dengan jaket metroseksual; pecandu adrenalin gila “Mad Max”; tukang ojek daring juga pangkalan; bahkan pembalap liar.
Sebaliknya, ketika perempuan mengasosiasikan diri dengan sepeda motor, setidaknya dalam budaya pop, kami sekadar dianggap sebagai penumpang. Atau sebagai contoh ambillah Carrie-Anne Moss yang berperan sebagai Trinity dalam “The Matrix”, Megan Fox sebagai pemeran Mikaela Banes dalam “Transformers” atau Anne Hathaway sebagai Catwoman dalam film “The Dark Knight Rises”. Ada orang-orang yang berpendapat bahwa pengendara motor perempuan sebagai tanda kemajuan. Sisanya beranggapan hal ini sebagai bentuk lain dari objektifikasi.
Sayangnya, sampai kita memiliki lebih banyak iklan dan produk sepeda motor yang ditujukan untuk perempuan—bukan sebagai penumpang, tetapi sebagai pengendara, sampai kita mendapatkan lebih banyak model pengendara sepeda motor perempuan, seperti penulis perjalanan Inggris Lois Pryce, sampai kita memiliki lebih banyak klub sepeda motor wanita, kita semua harus terus mengoreksi asumsi, menjelaskan bahwa “Ini bukan motor pacar saya, dan ya, saya mengendarainya sendiri.”
Keep on riding!
0 notes
sunyaragi ¡ 7 years ago
Photo
Tumblr media
Tribute to Dolores O'Riordan – Java Rockin' Land 2011 // Pagi tadi saya membaca kabar duka di lini masa. Dolores O'Riordan, satu dari vokalis favorit terbaik, meninggalkan dunia. Saya terdiam, menampik seluruh berita yang tersebar dan menganggapnya sebagai kebohongan belaka. Di masa-masa memburuh, dia menemani perjalanan pulang saya setiap sore dan memberikan semacam semangat. Saat motor saya mogok pukul 01.00 dini hari di Cilandak, dan terpikir apakah harus menitipkannya di pos satpam terdekat, atau meninggalkannya begitu saja di pinggir jalan, ia seolah bilang, "to hell with conclusions, why should we make so many plans?" Tahun 2011 adalah tahun di mana saya berhadapan langsung dengannya. Saya berharap dia akan datang lagi ke sini. Entah kapan. Namun, ternyata hari ini ada rencana lain untuknya. Rencana yang lebih baik. Selamat jalan. #TheCranberries #DoloresO'Riordan #JRL2011
0 notes
sunyaragi ¡ 8 years ago
Text
Setelah Negeri Dongeng
Tumblr media
"The wonderful things in life are the things you do, not the things you have."
Ditutup dengan kutipan dari seorang pendaki gunung termasyhur asal Italia, Reinhold Messner, film dokumenter “Negeri Dongeng” garapan sineas Anggi Frisca sukses menarik animo penggemar kegiatan alam bebas. Diputar serentak pada Kamis 26 Oktober 2017, salah satu studio bioskop di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang saya tonton sudah terisi penuh hingga pukul 21.25 WIB.
Sebelum nonton saya sudah membayangkan akan “disiksa” oleh pemandangan alam, lansekap gunung, bukit, dan hamparan awan. Disiksa dengan kembalinya memori-memori mendaki di masa lalu. Disiksa realita entah kapan saya akan mendaki gunung lagi. Disiksa kerinduan akan gunung yang bahkan belum pernah saya lihat langsung.
Namun ternyata Negeri Dongeng bukan hanya tentang keindahan dan kengerian gunung, melainkan juga tentang pertemanan, kebudayaan, lingkungan, dan kehidupan masyarakat di kaki gunung yang jauh dari hiruk pikuk Ibu Kota. Di mana alam dan kehidupan sehari-hari masyarakatnya menjadi sesuatu yang menarik di mata warga urban. Tentang ironi Indonesia yang kaya akan hasil bumi tetapi justru menjadi negeri yang tidak mampu untuk mengolah kekayaannya sendiri.
Sampai di situ saya terdiam. Pertanyaannya sederhana saja: Lalu setelah dokumenter Negeri Dongeng ini apa yang akan terjadi dengan dunia pendakian Indonesia? Apakah alam dan gunung-gunung Indonesia akan baik-baik saja? Berapa banyak yang sadar dan mulai belajar? Berapa banyak orang-orang yang berpikir untuk menggapai puncak-puncak tertinggi Indonesia? Pecinta alam ataukah perusak alam yang mengotori gunung dengan sampah dan laku vandalisme?
Sebagai gunung favorit, Semeru adalah salah satu gunung yang menjadi sasaran egoisme para penakluk ketinggian. Masalah sampah tentu saja menjadi sorotan utama. Menurut data Taman Nasional Bromo Tengger-Semeru, khusus untuk kawasan gunung Semeru menghasilkan 1,5 ton sampah setiap bulan.
Masalah pendakian ternyata tidak hanya berhenti di persoalan sampah saja. Informasi tentang pendaki yang tersesat, cedera, hingga meninggal juga sudah banyak terjadi. Sejak kematian Soe Hok Gie dan Idhan Lubis 47 tahun silam, sekaligus sebagai dua pendaki pertama yang meninggal di gunung Semeru kasus serupa juga terus berulang.
Hingga 2009, sebanyak 28 pendaki meninggal dan 3 orang dinyatakan hilang dalam pendakian. Dan pada 2016 angka tersebut terus meningkat, setidaknya lebih dari 30 orang diberitakan meninggal di gunung Semeru dengan berbagai penyebab.
Sementara itu, menurut data tidak resmi dari komunitas pendaki gunung disebutkan sejak Juli 2013 hingga Oktober 2017 terdapat 88 pendaki dalam dan luar negeri meninggal di gunung-gunung Indonesia. Data terakhir ditutup oleh kabar meninggalnya pendaki asal Jakarta di gunung Carstenz, Papua pada awal Oktober lalu karena mengalami hipoksia (kekurangan oksigen) dalam perjalanan turun.
Pada intinya mendaki bukanlah kegiatan mudah dan instan. Dalam pendakian—pun dalam segala hal—kita bertanggung jawab tidak hanya pada diri sendiri, melainkan juga pada orang lain, dan tentu saja alam. Bertanggung jawab atas setiap hal yang dilakukan, maupun dalam mengambil keputusan yang berlandaskan kesadaran. Kesadaran untuk menjaga dan menghargai alam, karena alam juga memiliki hak untuk bebas dari adanya hama bernama manusia kota.
Meski pendakian sudah menjadi bagian dari pariwisata, mendaki gunung bukanlah kegiatan impulsif. Apalagi ajang ketenaran dan pembuktian eksistensi diri demi pujian. Pendakian lebih tinggi dari itu. Pendakian adalah perenungan—perjalanan ke dalam diri.
0 notes
sunyaragi ¡ 9 years ago
Photo
Tumblr media
I am the whispers that drive you mad. #inktober #entry002 #artisick #mountain #6102016
0 notes
sunyaragi ¡ 9 years ago
Photo
Tumblr media
Majelis Jamaah Al-Sigmuniyah. #crimsoneyestour #sub #sigmun
0 notes
sunyaragi ¡ 10 years ago
Text
Para Anti-Hero
Narasi kepahlawanan telanjur dikuasai negara. Warga tentu bisa menyusun daftar pahlawannya sendiri, namun dengan aparatus di genggamannya negara sanggup menguasai konstelasi makna kepahlawanan.
Negara mendesakkan narasi kepahlawan versinya ke berbagai penjuru mata angin, baik melalui “ideological state apparatus” (ISA) maupun “repressive state apparatus” (RSA) – dengan merujuk Althusser.
Melalui ISA (dari institusi pendidikan dan buku pelajaran sejarah, hingga media massa bahkan keluarga dan agama), narasi kepahlawanan versi negara itu diedarkan, didesakkan dan dicangkokkan ke dalam kepala warga secara relatif halus, rapi, sistematis dan berkelanjutan.
Yang paling kentara dan menentukan tentu saja melalui institusi pendidikan. Pelajaran sejarah memproduksi narasi kepahlawanan negara di semua jenjang sekolah. Ciri-ciri narasi kepahlawanan versi negara mudah diraba: hitam putih, tanpa cela, dan tak memberi tempat pada bopeng-bopeng sejarah yang melekat dalam sebuah peristiwa sejarah yang melibatkan sosok pahlawan itu.
Sejarah tak hadir sebagai sebuah dinamika yang bergerak, namun statis dan beku. Narasinya dipenuhi kesimpulan. Jika pun ada argumentasi, hal itu dirancang sebagai premis yang mengokohkan kesimpulan yang nyaris tak bisa ditawar: motif tunggal membela tanah air. 
Tak ada tempat untuk emosi personal dan nafsu pribadi, semisal membela tanah keluarga (Diponegoro), menghabisi “kelas” sosial yang mengganggu “kelasnya” sendiri (Tuanku Imam Bonjol yang memerangi para bangsawan). Motif pribadi adalah lubang hitam dalam narasi kepahlawanan yang dirancang dengan premis tunggal “membela tanah air”.
Pahlawanan dan kepahlawanan memang penting untuk membuat proyeksi “bhineka tunggal ika” menjadi dimungkinkan. Salah satu tujuan menciptakan pahlawan adalah untuk mengekalkan ‘rasa’ ikatan kebangsaan yang sebenarnya abstrak itu. Rakyat yang berasal dari keragaman primordial diikat oleh rasa-hayat terimakasih pada para pahlawan yang menentang perkosaan jahat kolonialisme.
Bisa dipahami kenapa setiap bangsa punya monumen kepahlawanan sekaligus memberi tempat yang tinggi pada taman makam pahlawan yang sengaja dibangun di banyak daerah. 
“Tak ada lencana  yang lebih menawan dalam kebudayaan nasional modern daripada monumen-monumen dan makam-makam para tentara yang tak dikenal. …Bagaimanapun makam-makam tersebut telah dipenuhi dengan khayalan nasional yang ’menghantui’,” tulis Ben Anderson dalam satu halaman Imagined Communities.
Melalui RSA (khususnya militer, polisi dan onderbouw-nya), narasi kepahlawanan didesakkan dengan kekerasan. Merekalah yang memastikan bahwa narasi kepahlawanan versi negara ini tak akan dirongrong oleh narasi alternatif. Tak boleh ada pembalikan, pahlawan menjadi pengkhianat bangsa atau pengkhianat bangsa menjadi pahlawan. Jika ada yang hendak mendesakkan narasi kepahlawanan alternatif, siap-siap sajalah dibredel.
Ketika propaganda kepahlawanan versi negara ini telah berhasil meracuni otak warga, RSA boleh jadi tak akan lagi terlalu sibuk. Pikiran sudah dikendalikan sejak kecil sehingga imajinasi kepahlawanan juga telah runduk kepada hal-ihwal yang serba menopang kebesaran dan keagungan negara.
Itulah ideologi. Ideologi nyaris tak berkaitan dengan kesadaran melainkan, kata Althusser sembari memberi catatan kritis kepada konsep Marx tentang ideologi, justru ketidaksadaran. Althusser menyebutnya: “profoundly unconscious”. Sejarah yang ditanamkan dan melekat sepanjang hidup, tak disadari, dan akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang alamiah.
Di titik ini, anti-hero bukanlah seseorang yang menjadi idola karena mendadak menjadi brandal yang melecehkan keksatriaan seorang pahlawan – seperti Joker terhadap Batman. Bukan juga seseorang yang menjadi tokoh karena karakter-karakternya yang berkebalikan dengan watak para pahlawan yang hebat, yang ksatria, yang pemberani: Entah itu Si Kabayan atau Abu Nawas, Don Quixote-nya Cervantes yang naif namun menohok, maupun Meursault-nya Camus atau Raskolnikov-nya Dostoevsky yang nihilis.
Dalam konteks Indonesia saat ini, yang narasi kepahlawanannya dikendalikan oleh negara, anti-hero adalah mereka yang telah merongrong corak dan relasi produksi yang saling topang menopang dengan negara. Perlawanan yang dilakukan para anti-hero inilah yang membuat negara ditelanjangi, dirongrong, dan dengan sendirinya dilecehkan.
Seperti Widodo Sunu, satu dari sekian lurah di kawasan Urut Sewu yang memimpin perlawanan warganya terhadap penambangan pasir besi yang didukung negara (baca: militer). Ia pulang dari kuliahnya di Yogyakarta. Dialah koordinator Urut Sewu Bersatu, organisasi bentukan warga yang bertujuan menyatukan semua elemen warga di Urutsewu dalam memperjuangkan tanah dan sawahnya yang diklaim oleh TNI.
Ia berada di dalam birokrasi, sebagai lurah, namun pada saat yang sama meloloskan diri dari tali kekang ideologis birokrasi yang menggilas, yang memaksa personalia di dalamnya untuk kehilangan suara individu dan tunduk pada beleid yang didalilkan dari pusat kekuasaan.
Lain Widodo Sunu lain pula Hariyono, lurah Desa Selok Awar-Awar di Lumajang. Ia justru jadi objek perlawanan dari anti-hero yang lain: Salim Kancil. Dengan tubuh kecil yang tak menghalangi tumbuhnya nyali yang besar, ia menafsirkan ulang Sukarno sehingga menjadi inspirasi penting baginya untuk menggelar perlawanan terhadap penambangan pasir yang dikendalikan Sang Lurah yang ditopang oleh kepolisian.  
Sukarno, pahlawan resmi dalam narasi kepahlawanan negara, namun sekian lama dipinggirkan dengan diam-diam sekaligus telanjang oleh negara (Orde Baru), diambil paksa oleh Salim Kancil dan ditaruh dalam kerangka kesadaran kritis. Salim melakukan penafsiran kritis terhadap narasi kepahlawanan dalam teks Sukarno dan dengan itulah perlawanan di Selok Awar-Awar pun dimulai.
Jangan lupa juga para ibu di Rembang yang menolak pembangunan Pabrik Semen yang akan menghancurkan alat produksi utama mereka, yaitu sawah, juga anti-hero yang merongrong narasi negara perihal kepahlawanan.
Kepahlawanan dalam versi negara adalah teks yang menjunjung nasionalisme sehingga pengabdian dan kecintaan tertinggi warga harus diabdikan untuk negara. Propaganda pembangunan Pabrik Semen di Rembang memang memproduksi narasi nasionalisme ini: BUMN sebagai perusahaan nasionalis, produksi semen sendiri untuk memperkuat ketahanan bangsa, dll.
Mereka anti-hero karena menolak alat produksi mereka diserahkan kepada negara yang ujung-ujungnya akan dikendalikan oleh para pemilik modal. Mereka durjana bagi narasi nasionalisme karena mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara, dosa besar bagi keharusan cinta tanah air – narasi yang dalam kasus Pabrik Semen di Rembang justru ditolak karena dianggap akan menghancurkan kualitas tanah dan air.
Ibu-ibu di Rembang adalah anti-hero karena menganggap negara telah terlalu banyak mengambil dan kelewat sedikit memberi. Semua telah diserahkan, tapi tidak alat produksi kami yang utama: tanah dan sawah – begitulah kiranya.
Bacalah pernyataan Tosan, rekan Salim Kancil, yang sanggup bertahan usai mengalami pengeroyokan dan penyiksaan yang degil. Saat ditanya mengapa ia menolak penambangan pasir, dengan lugas ia menjawab: “I don’t like ada orang yang mencuri. Titik. Yang saya bela itu sampeyan, bukan cuma saudara-saudara saya saja yang ada di sini. Masa ada pencuri didiamkan saja. Yang dicuri itu apa? Pasir. Pasir siapa? Punya negara lho. Sedangkan sampeyan anak negara. Masa Anda diam saja.”
Pernyataan itu sekilas hendak mengukuhkan negara. Namun saya ingin membacanya dengan cara yang berbeda. 
Tosan tahu persis negara-lah (melalui aparatusnya) yang sesungguhnya telah memungkinkan pasir di desanya dikeruk. Tanpa negara, terutama melalui Hariyono dan polisi-polisi yang mencicipi setoran Hariyono, pasir itu tak mungkin bisa dikeruk dengan aman dan nyaman selama sekian waktu. Ucapan Tosan tentang tanah dan negara itu, bagi saya, memperlihatkan daya analitik yang tajam: bahwa pada akhirnya, negara memang memiliki segalanya, termasuk tanah, dengan atau tanpa sertifikat tanah. Negara bisa mengambil kapan saja, seperti yang terjadi di Urut Sewu.
Jika pernyataan Tosan itu dianggap sebagai kenaifan, saya memilih untuk menganggapnya sebagai kenaifan Schweik-ian. Schweik, karakter utama dalam novel Prajurit Schweik-nya Jaroslav Hasek, ditangkap aparatus negara dan dengan asyiknya berkata: “Aku tak mau membuat kalian repot. Aku juga tidak enak hati bila kasusku diproses dengan aturan yang semestinya.”
Dalam istilah lain, Schweik, juga Tosan, seperti hendak mengatakan bahwa: “Ambil dah! Ambil gih!”
Dengan cara pasif pun mereka direpresi, apalagi jika menjadi anti-hero dengan metode yang dipraktikkan di Paris oleh, misalnya, Ravachol (yang mengsinpirasi Kafka) pada akhir abad 19 maupun Jules Bannot (yang digaungkan lagi oleh mahasiswa Paris pada pemberontakan 1968) pada awal abad 20. (Ah, siapa yang masih ingat dengan Kusni Kasdut?)
Mereka menjadi anti-hero, yang merongrong bukan karena hendak merebut kekuasaan, namun karena mereka menganggap: negara sudah mengambil terlalu banyak.
Ya basta!
36 notes ¡ View notes
sunyaragi ¡ 10 years ago
Photo
Tumblr media
Ketika sedang mengamati binar lampu jalanan sambil menghabiskan sisa teh dingin, Thom Yorke berbisik pada saya, "Let down, my friend, and hanging around..." --lalu tersadar bahwa saya masih di atas roda, menggilas jarak meretas batas.
1 note ¡ View note
sunyaragi ¡ 10 years ago
Photo
Tumblr media
#axolotl #neotenic #aztec #uwuwuw
1 note ¡ View note