Tumgik
syke-tan-blog · 12 years
Photo
Tumblr media
"Let's face it, a nice creamy chocolate cake does a lot for a lot of people; it does for me." -Audrey Hepburn
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Text
FunFic #03
Perlahan-lahan awan hitam mulai menyusup dari balik rimbun pepohonan, dan satu demi satu titik hujan tertumpah. Dari balik jendela studio di lantai 8 bangunan kecil itu, Jonte terduduk berpangku tangan. Dia benci cuaca ini. Hujan itu seperti penjara, menghalangi aktifitas manusia.
Oke, itu berlebihan. Bisa saja sih dia pergi keluar dengan memakai payung, tapi asal tau saja cipratan air yang tertinggal di baju itu susah sekali dihilangkan! Ah, sudahlah..
Cuaca diluar mulai menggelap, hujan semakin deras dan angin bertiup kencang. Mungkin sebetulnya dia tak membenci hujan separah ini. Hanya saja, suasana hatinya yang sedang buruk. Rokudenashi Blues adalah stage play-nya yang terakhir bersama Gekidan EXILE sebelum benar-benar serius di dunia tarik suara sebagai penyanyi solo-hal yang sudah dicita-citakannya sejak dahulu. Banyak yang telah dia perjuangkan untuk mencapai ke taraf ini. Namun, meninggalkan Gekidan EXILE juga bukan hal yang mudah. ‘Apa ini memang waktu yang tepat?’ gumamnya dalam hati berulang-ulang.
            Krek! Pintu studio terbuka, Sho terlihat masuk dengan tergesa-gesa, air hujan tampak membasahi permukaan hoodienya.
            “Loh, Jon-kun? Masih belum pulang juga?” tanyanya sedikit terkejut, karena jam latihan sudah selesai sekitar 30 menit yang lalu.
            “Iya, sedang ingin disini saja.” Jawab Jonte acuh tak acuh. “Kamu sendiri kenapa balik Sho-san?”
Yang ditanya tidak segera menjawab, melainkan bergeser kesebuah meja panjang di bagian sudut ruangan. “Ponselku tertinggal.” Katanya sambil memperlihatkan benda itu kearah Jonte. “Manager bisa ngamuk berat kalau ponsel ini sampai hilang, untung kamu masih disini.” Sho menepuk bahu Jonte dengan mata berbinar-binar dan ekspresi berlebihan. ‘Ah, rupanya dia masih terbawa perannya sebagai Maeda.’ Batin Jonte dalam hati. Mau tak mau Jonte tersenyum juga melihat kelakuan temannya itu.
‘Gekidan EXILE’ batinnya ‘Apa aku bisa menemukan orang-orang seperti mereka ini diluar sana?’ dan seketika itu juga raut wajah Jonte berubah menjadi lesu lagi.
“Nandeska?” Seperti mengerti bahwa Jonte sedang ada banyak masalah Sho menarik sebuah bangku dan duduk di samping temannya itu. Dia memang kurang bisa memberi nasehat, tapi kalau hanya sekedar menjadi pendengar yang baik, dia jagonya.
“Entahlah…” Kata Jonte penuh keraguan, untuk pertama kalinya dia merasa tak yakin dengan perasaanya sendiri. “Aku hanya bingung, apa keputusan untuk meninggalkan Gekidan EXILE ini sudah benar?”
Sho menatap Jonte tajam, bukan tatapan yang menghakimi. Melainkan penuh kehangatan dan pengertian, seperti seorang ayah.
            “Jon-kun, kalau kamu merasa tidak yakin. Jangan lakukan. Tapi aku tau kamu sudah berusaha keras untuk meraih hal ini, dan ini adalah impianmu.”
Dalam sekejap, ingatan tentang banyak hal yang sudah dilaluinya bertahun-tahun lalu hadir didepan Jonte. Tidak mudah untuk mencapai kesuksesan ini, setiap orang tau betapa susahnya menjadi terkenal disini. Dibutuhkan tekat dan keuletan yang tidak ada habisnya. Ya, memang dia tidak bisa mundur lagi, jalan inilah yang harus ditempuh.
Pandangan Jonte kembali terarah ke Sho yang masih duduk terpaku sambil menggenggam ponselnya erat-erat.
            “Mungkin, aku hanya takut kehilangan kalian. Kalian, sudah seperti keluarga bagiku.” Ujar Jonte dengan suara lirih.
Alih-alih terharu dengan jawaban Jonte, Sho malah tertawa lepas. Kemudian disela-sela tawanya.
            “Dengar ya, biar kamu pindah ke galaxy Andromeda sekalipun, kita akan tetap menjadi satu keluarga!”
Sekarang mau tak mau Jonte tertawa juga mendengar perkatanyaan konyol Sho, jawaban yang tak dia harapkan. Tapi, pernyataan Sho yang selanjutnya lebih mengejutkannya.
            “Hei, jangan  terlalu sedih memikirkan kepindahanmu. Kamu sadar tidak kalau Akiyama-san sudah double cemas karena dia takut kamu tiba-tiba kabur ke Mongolia gara-gara tidak kuat dengan tekanan ini?! Jon-kun, dia tau kamu akan merasa berat meninggalkan kami, karena itu dia bersikap seolah-olah ceria, padahal dia yang paling terpukul mendengar berita ini. Yah, kadang terlalu ceria sih, sampai aku curiga dia sudah mengkonsumsi obat-obatan terlarang gara-gara keceriaan yang berlebihan itu.”
Jonte merasa napasnya tercekat, suara hujan tak lagi terdengar, sebagai gantinya dia bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang semakin lama semakin keras. Selama ini dia merasa dengan kepindahanya dari Gekidan dia akan merusak hubungan baik yang telah mereka bangun. Tapi Jonte salah, karena ikatan yang telah mereka bangun itu lebih kokoh dari sekedar jarak.
            Tergesa-gesa dipencetnya tombol-tombol kecil di layar ponselnya
Kamu dimana?
Seperskian detik kemudian datang pesan balasan
Di Kurocha, hujan deras. Jadi berteduh disini.
Kurocha hanya 2 blok jauhnya dari Studio, Jonte mengucapkan terimakasih kepada Sho, lalu dengan gerakan secepat kilat dia berlari keluar. Tanpa payung, tanpa jaket, diterjangnya hujan itu.
  ***
Waktu pintu Kurocha terbuka Shintarou bisa merasakan hembusan angin dingin masuk menembus aroma kopi yang menyeliputi ruangan tersebut. Lalu pria itu berdiri didepannya, napasnya masih terengah-engah dan tetesan air hujan mengalir turun dari rambutnya, sedang dibajunya yang putih tampak beberapa noda cipratan lumpur.
“Shin-chan” Kata Jonte “Aku akan pindah dari Gekidan EXILE, dan aku akan memperjuangkan mimpiku.” Seulas senyum terpapar diwajahnya. Senyum yang sempat hilang selama seminggu belakangan.
  ***
            Rrrrrrrr… Jonte melepas headsetnya, meminta ijin kepada pihak pengawas studio rekaman untuk keluar dari ruangan kaca tersebut dan mengecek ponselnya. Sebuah pesan bergambar muncul dilayarnya.
Tumblr media
  Aku heran kenapa kamu dulu begitu bingung. Tuh, kamu kelihatan super bahagia
PS: aku 100% lebih ganteng dari kamu!
Kkk..
  Tak akan ada yang berubah diantara mereka, Gekidan EXILE adalah keluarga, dan selamanya akan tetap demikan.
1 note · View note
syke-tan-blog · 12 years
Text
FunFic #02
Musim panas telah tiba, bunyi tonggeret yang nyaring disela-sela kerimbunan serasa turut menyumbang peningkatan suhu 1 sampai 2 drajad keatas. Disebuah meja taman yang panjang, dekat dengan kolam ikan bulat dan beberapa arena bermain untuk anak-anak Shintaro, Yuta, Jonte dan si bungsu Yosuke sedang menikmati makan siang mereka. Sho dan Halu tak bergabung karena sudah kabur duluan ke sebuah café baru diseberang jalan dan anak-anak cukup tau diri untuk membiarkan mereka berduaan.
“Panasssnyaaa! Bisa-bisa aku menguap!” Yuta mengeluh sambil mengopres lehernya dengan minuman kaleng dingin.
“Musim panas kali ini memang benar-benar parah ya.” Sahut Jonte mengiyakan.
“Ah, tapi musim panas kan tidak selalu menyebalkan.” Kata Yosuke sambil membuka bungkus sandwichnya dengan tidak sabar. ”Kalian tau kalau ada rumah hantu yang buka di festival musim panas kali ini? Pasti akan seru!”
Yuta-kun menoleh kearah Yosuke dengan pandangan tidak percaya, “Hah?! Si Bungsu tidak takut dengan rumah hantu?! Ini diluar perkiraan! Baiklah, kalau begitu bagaimana kalau kita kesana akhir minggu ini?” Seru Yuta gembira.
“Aku skip.” Tolak Jonte cepat, “Aku kurang bisa dengan hal-hal seperti ini, kalian pergi saja sendiri.”
“Boooo… Jon-kun gak seruuu!” Yutta menimpali dengan nada mengejek. Sementara yang diejek hanya tersenyum garing. Yah, mau bagaimana lagi, rumah hantu bukanlah hal yang cukup disukainya.”
“Hei, mungkin kita bisa mengajak anak-anak Generation kalau jadwal mereka sedang senggang, sudah lumayan lama juga aku nggak ketemu dengan Alan-kun.” Ucap Yuta dengan mulut masih penuh makanan.
“..Umm.. Hahihama han?” toleh Yuta kearah Shintaro masih dengan mulut penuh “Diam saja nih, jangan-jangan kamu takut dengan rumah hantu ya?!”
Yang ditanya hanya terduduk kaku, kemudian dengan cepat pria tinggi itu menoleh kearah Yuta dan Yosuke secara bergantian “ng..ngomong apa kalian ini?! Tentu saja tidak, hahahaha! Orang yang takut dengan rumah hantu itu kan pengecut!”
Krak
Tiba-tiba dari ujung meja terdengar bunyi kaleng diremukkan. Jonte menoleh kearah Shintaro dengan pandangan setajam laser. “Hoo.. jadi orang yang takut dengan rumah hantu itu pengecut ya? a.ki.ya.ma. san?” tanyanya dengan nada dingin.
Shintaro menelan ludah, ukh.. sepertinya dia sudah melakukan kesalahan fatal.
Selama beberapa menit kededapan hanya terdengar suara tonggeret dikejauhan, sampai Yuta dan Yosuke tanpa sadar berkata” Jon-kun kowaiiiii~!”
  ***
Sore itu tanpa Shintaro, anak-anak Gekidan terlihat berkumpul diruang latihan. Ada sesuatu yang dibicarakan dan jelas bahwa hal itu bukan sesuatu yang boleh diketauhi oleh Shintaro.
“Ne..ne… apa kalian tidak merasa Akiyama-san aneh sekali tadi siang?” kata Yuta membuka pembicaraan sore itu.
Yosuke mengangguk pelan, “Iya, Akiyama–san biasanya selalu bersemangat tapi tadi dia tampak lemas.”
“Mungkin dia sedang ada masalah. Ya kan Sho-san?” Ujar Halu sambil menengok kearah Sho yang duduk berselonjor kaki di sebelahnya.
“Bisa jadi, memangnya ada yang sedang menggangu pikirannya ya?” Kali ini semua serentak menoleh kearah Jonte. Anggota Gekidan yang bersuara emas itu hanya memandang kekejauhan dengan pandangan malas, kemudian berkata “Dia, pasti takut dengan rumah hantu.”
“Kalau begitu kita perlu berbuat sesuatu.” Kata Yuta sambil tersenyum nakal.
***
Shintaro sudah merasa was-was, dia takut anak-anak tau akan kelemahannya. Ya, rumah hantu. Setan, hantu dan segala macam itu kan menakutkan! Dia tak habis pikir kenapa ada orang yang dengan suka rela masuk ke rumah hantu yang gelap dan tak tau apa yang menunggu didalamnya. Bahkan dia ingat pernah membaca suatu artikel yang menulis bahwa dibeberapa kesempatan ada hantu beneran yang ikut menakut-nakuti pengunjung rumah hantu. Hiiihhh! Membayangkannya saja sudah bikin merinding!
Tapi tampaknya anak-anak sudah melupakan pembicaraan tentang rumah hantu, buktinya dia menerima email bahwa mereka akan berkumpul malam ini untuk merayakan ulang tahun stage director Iwasaki di sebuah restoran yakisoba. Namun kenyataannya Shintaro salah, ini hanyalah awal mula dari penderitaannya.
Gerombolan itu muncul di depan pintu sambil nyengir mencurigakan, dan seketika itu juga Shintaro merasa separuh nyawanya sudah terbang melayang. Warung yakisoba ini berada tepat diseberang kuil tempat diadakannya festival musim panas dan…. Rumah hantu.
“Yadaaaaaaaaaaaaaaaa!!” lolongnya keras-keras.
Setelah proses tarik-menarik, pura-pura tertarik ke stand tangkap ikan mas, percobaan membeli takoyaki yang gagal dan mengulur waktu untuk ikutan antri di toilet, akhirnya mereka sampai juga kedepan gerbang rumah hantu.
“Akiyama-san, Ikuso!” seru Yuta dan Yosuke bersamaan sambil mendorong punggung Shintaro yang berdiri kaku seperti patung selamat datang.
“A..aaku.. akan menemani Jon-kun saja diluar! Kamu tidak suka dengan rumah hantu kan?” kata Shintaro tergugup sambil menoleh kebelakang mencari Jonte. Alih-alih mendengarkan ucapan Shintaro, Jonte malah berjalan dengan santai kedepan melewati Sintaro sambil berkata ”Orang yang takut dengan rumah hantu pengecut, iya kan Akiyama-san?”
ARGH! Yabai! Jon-kun masih ingat dengan ucapannya. Sekarang tak ada pilihan lain selain memasuki tempat sialan itu! Batin Shintaro.
Tempat itu bagaikan labirin kegelapan, sesekali terasa udara dingin mengalir, berdesir halus mendirikan bulu roma. Beberapa kali terdengar jeritan tertahan Halu yang berada di bagian terdepan rombongan. Sementara Yuta, Yosuke dan juga Alan-kun (yang dipaksa ikut oleh Yosuke) cekikikan. Bukannya ketakutan, mereka bertiga malah asik menertawakan hantu-hatu yang bermunculan. Tapi meski begitu tak ada yang bisa membuat Shintaro merasa santai, dalam hati dia mengutuki diri, kenapa tidak berterus terang dari awal, ngomong saja kalau dia benci setengah mati dengan rumah hantu! Harga diri seorang pria memang merepotkan!
“Shin-chan?” tap sebuah tepukan lembut jatuh ke bahu Shintaro.
“Gyaaaaa!!” teriak Shintaro reflek. Namun sedetik kemudian saat otaknya sudah bisa mencerna secara normal barulah dia menyadari, hanya ada satu orang yang memanggilnya ‘Shin-chan.’
“Moo.. ikakenishiroyo Jon-kun! Aku bisa kena serangan jantung nih.” Gumam Shintaro pelan sambil mencoba kembali bersikap cool.
“Yah, maaf. Tapi kurasa ngobrol akan lebih baik dari pada diam sambil menunggu dikagetkan oleh setan-setan sialan ini.”
Ah, Jon-kun kan juga benci rumah hantu, batin Shintaro sambil mencoba menatab Jonte dalam kegelapan. “Hei, maaf ya.. “ ujarnya pelan “Aku tidak bermaksud mengataimu pengecut. Sesungguhnya akulah pengecut itu.” Dia terdiam menundukkan kepala, wajar bila Jonte marah padanya, toh dia yang salah. Tapi Shintaro merasa ada kehangatan yang menyusup di sela-sela jemarinya secara perlahan. Jonte menggenggam erat tangan Shintaro, kemudian dengan nada melegakan dia berujar “Apa yang tidak bisa terlihat mata memang menakutkan kok, daijoubu  Shin-chan.” Udara dingin itu tak lagi terasa, tergantikan perasaan yan bergelora. Jika mereka sedang berdua, sepertinya memang tak ada yang tak mungkin. Ya ini, pasti keajaiban.
Krak!
“Umm… Jon-kun suara apa ya barusan?”
“Ukh… wakaranai…”
“Jon-kun…”
“Shin-chan….”
“…….”
Plek! Sebuah benda kenyal dan dingin mendarat di pipi mereka berdua.
GYYYYYYYYYYYYYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!
Ah, memang pada dasarnya sesuatu yang tak kasat mata itu, menakutkan! XD
1 note · View note
syke-tan-blog · 12 years
Text
PS #01
So i already decided to share my thought in this tumblr. Well, its different with my first concept that this tumblr will be used simply for a short story or whatsoever that i make.
(if u read all my post I'm pretty sure that u will see my difference from emo-psyco writer into a cute devoted fangirling (*^▽^*)v )
However, i found thissssssss.. and its simply makes me giggle crazily at the office!
i just make a funfic about Shintaro that he loves honey tea and I swear it is based on my imagination. But THIS! its real! *dancing full of joy!*
is this a... fate....... *plak!* (ღ˘⌣˘ღ) ♫・*:.。. .。.:*・
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Text
FunFic #01
Above: Shintaro Akiyama - Below: Jonte Shi
Shintaro memasuki apartmentnya dengan sedikit tergesa-gesa. Jadwal latian Gekidan akhir-akhir ini benar-benar berat, maklum saja, kurang 2 minggu sebelum jadwal pementasan perdana Kill The Black, dia hampir tak punya waktu untuk istirahat dengan benar. Sekarang saat bisa pulang kerumahpun biasanya hanya digunakan untuk mengambil baju bersih dan mandi, sehingga dia bisa segera kembali ke studio untuk berlatih lagi.Yah, mungkin bisa sekalian menyeduh segelas teh lemon dan madu untuk memulihkan kondisi tubuh, pikir Shintaro sambil mengusap rambut panjangnya yang basah sehabis mandi.
“Ping pong!”
Huh, tamu? Shintaro mengerutkan alis, dia jarang menerima tamu selain anak Gekidan dan dia tau benar sekarang anak-anak masih sibuk berlatih, meskipun Yuuta pulang duluan dia juga tak punya alasan untuk mampir ke apartment Shintaro yang terletak di pojok kota Tokyo.
“Shintaroooo.. buka pintunyaaaa..”
Itu suara Jonte, ada perlu apa dia? Bukannya Jonte terserang flu berat sehingga perlu istirahat penuh? Setengah berlari Shintaro membuka pintu dan seketika sesosok pria berjaket jeans biru dengan masker muka warna putih ambruk ke pelukannya.
“Shintaroo.. kamu satu-satunya harapanku!”
“J..Jonte! sakitmu bertambah parah? Kamu mau aku antar ke rumah sakit?!” Shintaro berkata dengan setengah berteriak.  Jonte-pria yang selalu tampak lemah dan tak bersemangat itu sekarang bukan sedang berakting. Badannya panas, napasnya berat dan Shintaro bisa merasakan bahwa tubuhnya lebih ringan dari pada biasanya.
“Jonte?! Jonte? Kamu bisa mendengarku kan?!”
Tidak ada jawaban, dengan gugup Shintaro merogoh ponsel di kantongnya dan menekan nomor telfon ambulans
“Moshi mosh ada orang sakit di..”
Tapi, tiba-tiba Jonte meraih tangan Shintaro yang menggenggam ponsel menariknya menjauh, lelaki yang sedang sakit itu mematikan layanan telefon ambulas lalu memandang Shintaro lekat-lekat.
“Berikan aku script Kill The Black.. sekarang..” itu ucapan terakhir yang diucapkan Jonte sebelum dia ambruk di dada Shintaro
  ***
  “Iya, aku tidak bisa kembali ke studio sekarang. Iya, si Jonte. Wakata. Ja ne.”
Sambil menyeduh teh (lengkap dengan lemon dan madu) dia berpaling kearah kamar tidur dimana sekarang Jonte sedang terbaring lemah sambil perlahan mengingau nyerocos menghapalkan scriptnya sebagai zombie di Kill The black
“Dasar workaholic.” Gumam Shintaro nyaris pada dirinya sendiri, diletakannya secangkir teh lemon madu disebelah tempat tidur Jonte, lalu dicarinya plester turun demam yang dia yakin ada di salah satu sudut di ruang tamu. Entah kenapa barang-barang seperti plester turun demam dan remote control itu selalu muncul saat tidak diperlukan.
“Shinn-chan!” Suara Jonte memecah keheningah, suaranya bergetar dan terdengar mengawang-awang.
“Hoi, apa yang kamu lakukan?! Kamu harusnya istirahat dan tidur dengan tenang bukannya kelayapan seperti ini.”
“Yabai Shin-chan, yabai! Anak-anak mengambil script ku dan menyembunyikannya sampai aku sembuh, sedang pementasan 2 minggu lagi.”
“…dan semestinya kamu istirahat biar cepat sembuh jadi kamu bisa segera ikut latihan.” Tukas Shintaro sambil sibuk melemparkan bantal-bantal duduk dan majalah mencari-cari plester turun demam sialan itu.
“Yabai Shin-chan… yabai..” ulang Jonte ebrulang-ulang seperti kaset rusak.
“Dakara….geez, lupakan. Cepat kembali ke balik selimut kegelapan kamu zombie workaholic!” kata Shintaro sambil mulai menarik lengan Jonte kearah ke kamarnya. Tadi Shintaro sudah menelfon ke studio dan begitu anak-anak tau bahwa Jonte sedang berada di rumahnya, mereka sepakat bahwa Shintaro mempunyai tugas baru malam ini selain menghafalkan script, yaitu menjaga Jonte, memastikan bahwa dia beristirahat total.
Menuntun Jonte kalau sedang dalam keadaan setengah sadar begini harus diakui bukan hal yang mudah, meski kelihatannya dia pria yang dingin dan bergerak dengan penuh perhitungan tapi ada saatnya dia bisa menjadi sangat merepotkan. Satu, bila sedang mabuk, dua bila sedang sakit. Kemampuan Jonte untuk selalu cemas benar-benar diluar batas kemampuan manusia normal. Seperti sekarang ini, alih-alih  istirahat dengan tenang, Jonte malah khawatir berlebihan mengapa dia tak segera sembuh dan mengapa anak-anak mengambil scriptnya. Kecemasan tidak penting seperti inilah yang membuat sakitnya tidak sembuh-sembuh.
“Ini minumlah dulu, setelah itu segeralah beristirahat.” Kata Shintaro sabar, disangganya tubuh Jonte lalu perlahan dia mendekatkan cangkir teh ke bibir Jonte yang tampak kering dan pecah-pecah.
“Aku nggak suka madu, Shin-chan madu itu tidak enak, bau nya aneh, rasanya aneh.”
“Bicara apa kamu? Madu itu baik untuk kesehatan. Minumlah biar sedikit.”
“Nggak.”
“Dasar keras kepala!”
“Biar! Ini kan salah kalian, kenapa pake acara menyembunyikan scriptku segala, ini salah flu sialan ini kenapa aku tidak cepat sembuh?! Argh!” Jonte semakin menggila, ucapannya mulai melantur dan napasnya semakin tersenggal.
Greb!
Seperti sedang menonton film slow motion Shintaro memeluk Jonte dengan erat, bukan pelukan canggung antar pria, namun pelukan yang hangat dan menentramkan jiwa. Tak butuh waktu lama sampai Shintaro bisa merasakan panas tubuh Jonte, dan keringat pria itu meresap dalam baju dan kulitnya. Entah apa yang membuat dia melakukan tindakan itu, tapi Jonte juga tidak berusaha melawan. Dia hanya diam dalam pelukan Shintaro, dan jelas itu yang paling dia perlukan saat ini.
“Maukah kamu diam untuk sesaat dan meminum teh ini tanpa banyak protes?”
 Jonte menatab Shintaro dengan mulut terngangga. Napasnya tidak lagi memburu namun wajah dan telinganya semakin memerah.
“Wakata!” katanya sambil menyambar cangkir teh lalu meminum isinya sambil menundukkan kepala layaknya anak-anak yang dimarahi ibunya.
  ***
Teh yang diseduh Shintaro itu pasti mempunyai jampi-jampi sihir, pikir Jonte. Aneh, kenapa setelah meminum teh itu perasaannya bisa tenang? Perlahan Jonte merasa matanya berat dan pikirannya mengambang. Tak sampai lima menit kemudian Jonte sudah menyusupkan badannya dibalik selimut tebal Shintaro yang nyaman. Jonte pasti telah tertidur cukup lama dan jelas ini merupakan tidurnya yang ternyenyak sejak seminggu terakhir. Mimpinya benar-benar aneh dan random, dia melihat Shintaro dalam kostum bikhu dan bersayap, namun sayapnya bukanlah sayap malaikat yang putih melainkan sayap setan yang berwarna hitam. Shintaro dalam mimpinya terdengar merapalkan sesajak mantra yang tak ada habisnya. Entah apa yang dia katakan Jonte tak mengerti sepatah katapun, tapi mantra itu terdengar menangkan, seperti dongeng yang diceritakan orang tua sebagai pengantar tidur.
Setelah kesadarannya berkumpul dengan pelan-pelan Jonte membuka matanya, kamar itu masih tampak temaram, hanya lampu kecil disudut ruangan yang berwarna kuning yang dinyalakan oleh si empunya ruangan. Desiran angin terasa dari balik jendela yang tirainya berdesir ditiup angin malam, lampu kota Tokyo berkelip-kelip terlihat di balik teralis jendela beranda. Lalu dia melihat sosok pria itu, Shintaro sedang duduk sambil menekuk satu kakinya. Menyandarkan punggungnya ke tembok dan membiarkan tirai putih transparan itu menutupi tubuhnya, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai menutupi wajahnya. Lalu sambil menunduk dia merapalkan kata-kata yang seakan tiada habisnya. Jonte menajamkan pendengarannya.
Ah.. itu, adalah script bagiannya di Kill The Black!
Mendengar suara gemerisik dari tempat tidur, Shintaro memalingkan badannya
“Oh, aku membangunkanmu ya? maaf-maaf, angin malam kan tidak baik untuk orang sakit.” Katanya tergugup sambil menutup jendela geser itu perlahan.
“Ukh..” Jonte tergagap sakitnya jelas sudah membaik, tapi entah kenapa dadanya berdetak kencang.
Ini pasti penyakit baru, jangan-jangan aku terserang jantung koroner atau sesuatu yang seperti itu?! Pikirnya panik!
“Ini, aku menemukan plester penurun demamnya.” Kata Shintaro sambil mendekat kearah Jonte lalu menempelkan plester itu ke dahi Jonte yang masih terbaring.
Jonte sudah tak bisa menahan perasaan itu lagi, Shintaro begitu dekat dengannya, dia nyaris bisa merasakan rambut pria itu menyentuh lembut wajahnya. Entah kenapa hal ini beda dengan yang biasa dialaminya di panggung, kini saat mereka berdua begitu dekat dikehidupan nyata Jonte bisa mencium lembut bau sabun dan juga kehangatan tubuh Shintaro. Argh! Ini sudah mencapai batasnya! Jonte mendorong Shintaro menjauh kemudian menarik selimut dan bergelung layaknya beruang.
“Kembalikan scriptku! Aku bakalan lebih cepat sembuh kalau bisa menghafalnya sendiri.” Teriak Jonte dari balik selimut
“Tsk, aku kan sudah bilang…”
“Lalu jangan lupa buatkan aku teh madu sialan itu lagi.” Kali ini suara Jonte terdengar melembut.
Mau tak mau Shintaro tersenyum mendengar ucapan Jonte, lalu dengan pelan ditojoknya gundukan dibalik selimut itu.
“Akan kubuatkan berliter-liter teh madu lemon sampai kamu benar-benar mau mengakui kalau itu teh terenak di muka bumi ini.”
Dari balik selimut Jonte mengacungkan jempolnya. Pada detik ini, dia sangat bersyukur mengenal Gekidan Exile dan juga Shintaro Akiyama, dengan cara yang aneh pria itu telah memberikan ketenangan, sesuatu yang tidak pernah didapat dengan mudah oleh orang yang gila kerja seperti dia
“Arigatou Shin-chan.”
NB:
Lama gak produktif nulis, sekalinya nulis malah (tanpa sadar) bikin funfic yaoi (T▽T)
Fukyeah! but this is mehh! memang pada dasarnya saya demen sih! (●´∀`)ノ♡
Dan thankies deh buat dek Endry yang sudah meracuni saya sama Gekidan Exile.
Biar gimana Performnya memang keren banget! coba ada subtitlenya pasti lebih keren lagi deh... *pundung* *menclok ke dadanya shintaro mintak subtlitle inggris* 
1 note · View note
syke-tan-blog · 12 years
Photo
Tumblr media
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Link
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Text
#10.1
Senin 17:20
Suasana di pemakaman sepi seperti biasanya, karena hari ini bukan hari besar jadi tak banyak orang yang mau menyempatkan diri untuk berkunjung. Hanya sekelompok anak-anak pinggiran yang rajin mengunjungi batu-batu nisan dingin dan dengan tawa mereka. Bermain tanpa rasa takut akan membangunkan jiwa-jiwa yang tertidur jauh dibawah sana, terkadang anak-anak memang bisa berpikir lebih rasional dari pada orang dewasa.
Disuatu pojok Wisnu duduk terdiam disamping nisan yang terbuat dari marmer putih dengan ukiran-ukiran malaikat kecil di samping kiri dan kanan. Matanya memandang ke kejauhan dimana rumpun-rumpun bambu tumbuh rindang di sepanjang sungai Brantas. Sudah lima menit dia duduk di samping makam itu sambil mengunyah permen menthol.
“Kamu juga bodoh seperti yang lain.”
Ingatannya kembali lagi ke dua hari yang lalu.
Sabtu, 22:45
Rumah Sakit Griya Kasih, setelah ketegangan dan kecemasan seharian mulai mereda, malam itu tiba-tiba sekitar ruang UGD ramai kembali dengan kedatangan sekelompok anak muda. Sebagian dari mereka adalah perempuan-perempuan remaja yang masih mengenakan piyama. Mungkin karena cepat-cepat mereka tidak sempat berganti pakaian yang lebih layak, hanya ada selapis jaket untuk melindungi kulit dari dinginnya malam. Sesekali terdengar isak tangis dan juga bisik-bisik cemas, sementara itu jemari mereka dengan lancar terus mengetik pesan-pesan singkat di layar ponsel yang datang tak henti-henti menayangkan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kenapa?”
“Aku juga tidak tahu!”
“Serem banget ya kan?!”
“Aku tidak yakin bisa tidur malam ini..”
Wisnu tak bisa mendengar lagi lanjutan dari pembicaraan itu, Karena pada detik berikutnya Dokter Chandra sudah memanggilnya masuk kedalam ruang UGD. Sebagai dokter muda Wisnupun secepat mungkin berlari keruang UGD. Kemudian, pemandangan itu terlihat didepannya. Wanita muda itu tampak pucat, bibirnya mulai membiru, tubuhnya tergeletak lemas di atas ranjang dan sebuah  sayatan yang terus mengucurkan darah telah merubah warna bajunya dari putih menjadi merah.
“Bagaimana keadaanya dok?” tanya Wisnu sambil segera mengambil sarung tangan dan mengenakan baju operasi.
“Parah, dia terlalu banyak mengeluarkan darah, pembuluh darahnya terpotong cukup dalam.” Jawab Dokter Chandra sambil menekan pergelangan tangan wanita itu agar pendarahannya tidak semakin parah. “Siapkan peralatan operasi sekarang. Kita harus menyatukan lagi pembuluh darahnya. Dokter Wisnu, ambil sampel darah pasien dan berikan ke perawat, kita butuh donor segera.”
Segera Wisnu menyambar cawan sampel untuk mengambil contoh darah wanita muda itu, bergerak secepat dan seakurat mungkin tanpa membuang-buang waktu. Sementara Dokter Chandra telah menyambar peralatan yang sudah dipersiapkan. Seorang perawat memasangkan masker oksigen, semua orang telah bersiap dengan operasi darurat tersebut. Saat tiba-tiba terdengar bunyi panjang yang membangunkan alam bawah sadar seluruh staff medis di ruang UGD.
Niiiiittttt……
Bunyi mesin pemindai detak jantung, wanita muda itu telah pergi.
Mesin kejut jantung dinyalakan, CPR dan segala panduan langkah lain yang dianggap bisa mengembalikan nyawanya dilakukan. Tapi sepertinya percuma, tak ada tanda-tanda kehidupan.
“Terlambat..” Desis dokter Chandra, mukanya tampak lelah. Bagaimana tidak, sudah dua hari berturut-turut dia bertugas jaga malam dan dalam dua malam itu pula banyak kejadian yang harus dia tangani. Semuanya seperti datang berurutan, kemarin ada kecelakaan yang memakan banyak korban. Sekarang saat banyak dokter-dokter yang lain menangani kasus keracunan makanan, sekelompok wanita muda datang membawa temannya yang sekarat karena percobaan bunuh diri.
“Waktu kematian jam 23:05.” Ujar Dokter Chandra sambil melihat kearah arlojinya. “Dokter Wisnu, tolong kabarkan ke rekan-rekan pasien ya.” Katanya singkat sambil melepaskan sarung tanganya yang bersimbah darah dan menggaruk-garuk kepalanya yang sudah mulai botak.
Wisnu mengangguk, lampu tanda operasi di ruang UGD sudah dimatikan, perlahan pintu terbuka dan sekelompok wanita dengan mata berkaca-kaca dan penuh pengharapan menatap Wisnu.
“Dok, bagaimana Risa?” Tanya salah seorang dari kerumuman itu sementara seorang temannya memeluk bahu si penanya dengan berurai air mata.
“Maaf, tapi kami tak bisa berbuat apa-apa.” Jawab Wisnu sambil menggeleng perlahan
Ledakan tangis mulai terdengar di sepanjang lorong, lolongan wanita-wanita itu berbaur banyaknya ungakapan ‘tidak mungkin, kenapa hal ini terjadi dan semacamnya.’ Beberapa lagi saling berpelukan seakan orang yang mereka peluk itulah yang akan meninggalkan mereka selamanya. Inilah rumah sakit, dan dramanya.
Sabtu, 01:30
Suasana koridor rumah sakit sudah lengang, lampu-lampu mulai dimatikan. Hanya celotehan satpam dan juga perawat jaga yang terdengar samar berusaha mengalahkan sepinya malam. Beberapa anggota keluarga tampak tertidur lelap di ruang tunggu dan juga kursi-kursi panjang didepan kamar pasien berselimutkan sarung dan juga alas seadanya. Namun jauh dalam kesunyian itu, terdengar suara langkah, suaranya samar saja, nyaris tak akan tertangkap oleh pendengaran banyak orang. Suara langkah itu baru terhenti saat mencapai pintu bercat putih di salah satu pojok bagian rumah sakit yang dekat dengan jalan keluar dan juga tempat parkir mobil ambulance.
Perlahan pemilik langkah itu memutar kuncinya dan pelan-pelan membuka pintunya. Kondisi di dalam ruangan lebih sunyi dari pada seluruh bagian lain di rumah sakit. Temperatur udara yang sengaja dibuat lebih rendah dari pada temperatur ruangan normal serasa menggigit tulang dan membuat merinding siapapun yang memasukinya, bahkan meski pada siang hari.
“Haaahh.. mestinya aku membawa jaket.” Gumam Wisnu yang ternyata adalah si pemilik langkah sambil menggosok kedua telapak tangannya agar terasa lebih hangat.
Sambil terus menggosok kedua tangannya Wisnu melewati banyak meja-meja panjang bertutupkan kain putih didepannya. Langkahnya pasti dan sorot matanya masih memancarkan kehangatan, seperti yang selalu dikagumi oleh banyak wanita sedari dulu.
“Ah, ketemu!” katanya sambil menyingkap kain putih itu. Jasad wanita muda itu sudah terbujur kaku, warna kulitnya yang putih cerah sudah berubah menjadi kebiru-biruan, bibirnya yang sempurna tampak mulai kering pecah-pecah, matanya terpejam erat.
Wisnu masih memandangnya dengan kasih “Orang bodoh lagi.” Katanya sambil membungkukkan badannya untuk melihat wanita itu lebih dekat.
Perlahan udara di sekitar mereka tidak sedingin tadi, ada aura hangat aneh yang menyelimuti keduanya. Seakan jarum jam berhenti berdetak, udara berhenti bergerak dan bunyi-bunyian malam yang biasa terdengar hilang. Hampa, tak ada kehidupan. Hanya ada mereka berdua serta aliran aura hangat yang membungkus keduanya. Lembut, seakaan mendapat angin kehidupan, wanita muda itu menggerakkan jarinya, tangannya dan bangkit dari tidurnya.
“Ini dimana?”
“Selamat datang kembali.” Kata Wisnu dengan senyuman manis.
“Aku dimana?” cecarnya saat mulai menyadari ada yang aneh dengan tempatnya berada sekarang.
“Di kamar jenasah lah.” Jawab Wisnu sambil lalu.
Pupil mata si wanita membesar, dan sepersekian detik kemudian meledaklah tangisnya “Aa… aku, sudah meninggal? Tidak mungkin! Apakah kamu malaikat maut?”
Wisnu mendengus “Aku dokter biasa, eh.. Tapi benar, kamu sudah meninggal. Kalau tidak nggak mungkin kami meletakkan pasien di kamar jenasah! Bisa-bisa kami di tuntut!”
“Kalau begitu.. aku.. tapi.. ke.. kenapa?!” Ucap wanita itu lirih dan setengah bergumam, seakan sedang bercakap dengan diri sendiri.
“Namamu Risa ya? Biar kujelaskan.“ Kata Wisnu sambil menarik kursi dari seberang ruangan lalu kemudian duduk di samping wanita itu, membuka bungkus permen mentholnya dan mulai menyesap manis dan dinginnya permen itu sambil mulai berkata.
“Pertama, kamu sudah meninggal. Kedua, aku membangkitkan kamu lagi. Tapi, bukan berarti kamu bisa hidup seperti biasa, kamu sudah mati. Tubuhmu yang sekarang adalah tubuh orang mati, jadi kalau kamu sampai terluka selama menggunakan tubuh ini, luka itu tak akan bisa sembuh. Yah, itu karena kamu tak lagi bisa memproduksi sel. Lalu aku memberikan waktu dua hari. Silahkan dua hari ini kamu gunakan terserah kamu. Oh iya, ada baiknya kamu memakai make up, karena kamu kelihatan pucat.” Wisnu menunjuk kearah muka Risa yang masih  ternganga dengan pernyataan Wisnu barusan. Dia sudah berusaha meresapi setiap kata yang masuk, tapi hal ini sungguh tidak masuk akal! Ya dia ingat kemarin malam dia mengambil sebuah pisau dan menyayat pergelangan tangannya, dia ingat juga bayang-bayang temannya yang menyerbu masuk kedalam kamar, kemudian lorong kosnya yang panjang seakan tak berujung. Sampai disitu ingatannya sudah mulai buyar, tapi rasa itu… Rasa dingin, sepi dan juga saat dia bisa mendengar jelas detak jantungnya sendiri, tak akan pernah Risa bisa melupakan rasa itu.
“Kenapa…” Kata Risa lirih “Kenapa kamu membangkitkan aku?”
“Apa kamu tidak penasaran apa yang akan terjadi setelah kamu tidak ada?!” nada suara Wisnu terdengar naik, penuh antusias seperti anak kecil yang dikenalkan pada pasar malam. “Dalam dua hari ini teman-teman dan keluargamu tak akan mengenalmu, mereka akan melihatmu sebagai teman dari almarhumah Risa! seru bukan?”
“Seru?! Kamu pikir kematian itu bahan bercanda?” Risa tak bisa lagi membendung reaksinya, di tamparnya pipi Wisnu keras-keras sehingga dokter muda itu terjatuh dari kursinya.
Alih-alih meringis kesakitan, Wisnu hanya berdiri dari lantai, memandang lurus kearah risa kemudian tersenyum. “Bukankah kamu yang berpikiran seperti itu?”
Pintu itu kembali tertutup menyisakan ruangan yang gelap dan dingin didalamnya, sementara itu Risa masih terduduk memeluk erat lututnya. Terdengar isak tangis yang menyanyat hati, namun meski sekencang apapun dia menangis, tak ada air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, dan hal ini menyebabkan batinnya lebih tersisa.
Minggu, 06:35
Kemarin, setelah keluar dari ruangan dingin dan gelap itu, Risa kembali ke kamar kosnya. Dia tak memiliki tempat tujuan yang lain selain kamar kosnya. Semalaman tak sedetikpun dia memejamkan mata, pikirannya dipenuhi banyak hal. Setiap melihat bekas luka sayat di pergelangan tangan kirinya, pikirannya seakan hampa. Tak peduli meski dia mencubit ataupun menggigit bekas luka itu, tak ada sakit yang dirasa, sedang darah tak lagi mengalir keluar.
“Aku ini, apa?” gumamnya sambil menerawang kekejauahan, membiarkan sinar matahari menyentuh kulitnya yang pucat tanpa bisa merasakan kehangatan.
Tiba-tiba dari balik pintu itu terdengar celotehan
“Beneran, aku nggak bisa tidur semalaman”
“Nggak heran, aku juga kok.”
Itu Helen dan Friska, pikir Risa. ‘Apa yang harus aku lakukan, mereka pasti akan kaget kalau aku menampakkan diri kehadapan mereka sekarang!’ Namun pembicaraan mereka yang selanjutnya mengangetkannya.
“Hari ini orang tua Risa datang kan?”
“Iya, Jenasahnya juga sudah dipindahkan ke rumah duka. Kita kumpulin anak-anak yuk, jadi bisa kesana rame-rame.”
‘Jenasah?’ batin Risa, ‘Tapi aku disini’. Disandarkannya punggungnya ke dinding kamar. ‘Berarti benar apa yang dikatakan orang itu, aku bukan lagi ‘hidup’ sebagai Risa.’ Tanpa sadar, Risa berjalan menuju lemari kaca. Dia telah berkali-kali melihat pantulan dirinya, namun sosok wanita yang terpantul dari kaca itu bukan seperti yang dia lihat selama ini, kurus dan pucat pasi. Perlahan diraba rambutnya yang dahulu indah berkilau namun beberapa helai rambut tertinggal di genggaman tangannya. Tanpa suara dan isak tangis, disambarnya peralatan make up yang tertata rapi di depan meja, kemudian dengan lembut diusapnya bedak itu itu ke pipinya yang sudah mulai kebiruan.
Minggu 12:05
Tak ada gunanya memakai topi atau masker wajah, toh panasnya matahari siang ini dan juga polusi udara kota tak akan mempengaruhi kesehatannya lagi. Tapi entah kenapa Risa merasa topi dan masker itu bisa menyembunyikan ketakutannya.
“Apa?! Jadi anda mencurigai anak saya?”
Itu suara Ibu, Risa mengenali suaranya. Ibunya yang sudah berada di penghujung usia 50an, Ibunya yang tampak lelah, sinar matanya sayu dan pakaiannya yang tampak kusut. Sedang disebelahnya ayah duduk terpaku, matanya berkantung dan peluh terlihat jelas di pelipisnya. Udara siang ini pasti panas sekali, sedang ruangan di rumah duka ini hanya dilengkapi oleh kipas angin tua.
“Risa anak yang baik, dia selalu semangat dan ceria!” Ujar ibunya setengah menjerit. “Tidak mungkin Risa berencana membunuh pemuda itu! Apalagi mereka sudah lama tidak bersama lagi. Iya kan yah? bilang sesuatu dong!” Sementara itu sang ayah masih terdiam, semua ini terlalu berat untuk dia tanggung. Risa menajamkan pendengarannya.
“Tenang dulu bu, saya turut berduka dengan meninggalnya anak ibu. Tapi sudah menjadi tugas polisi untuk mengungkap kasus-kasus seperti ini. Dan berhubung yang bersangkutan sudah meninggal, kini tak ada lagi yang bisa saya lakukan.” Kata Bapak-bapak berjaket kulit itu dengan tampang tidak sabar.
“Tapi anak saya akan meninggal sebagai terdakwa! Apa bapak paham dengan apa yang bapak katakan? Ini namanya adalah pencemaran nama baik, apa buktinya anak saya melakukan percobaan pembunuhan pada pemuda itu?!” Suara ibu yang meninggi mulai menarik perhatian beberapa orang  lain yang ada disekitar mereka. Melihat hal ini, ayah tak bisa tinggal diam lagi. Ditepuknya pundak ibu dengan penuh kasih, kemudian dengan nada sabar beliau menoleh kearah petugas polisi itu sambil berkata
 “Maaf pak, tapi masalah kami sekarang sudah cukup banyak. Bisakah kita lanjutkan hal ini setelah upacara kematian anak kami selesai?” Kata ayah masih seperti biasanya, tenang. Sementara itu Ibunya kini telah menangis dipelukan Arinda kakaknya-yang Risa yakini pasti telah menghabiskan setengah dari gajinya bulan ini dengan mengejar penerbangan tercepat yang bisa dia temukan dari tempatnya bekerja di Manila.
Dari kejauhan Risa merasa hatinya remuk redam, kenyataan bahwa dia telah meninggalkan orang-orang yang dia sayang memukul logikanya bagai godam raksasa. Namun kedatangan polisi itu telah menyadarkan Risa akan apa yang terjadi. Lelaki itu, orang yang menyebutkan namanyapun Risa jijik. Langkahnya membawa dia kembali kea rah rumah kos, sudah cukup apa yang dia lihat hari ini. Banyak yang harus dia pikirkan, tapi dia sudah mengetahui apa yang harus dia lakukan malam ini.
Minggu 22:10
Kota ini adalah kota besar, fasilitas dan juga industrinya berkembang pesat dalam kurun waktu singkat. Banyak orang yang menggantungkan harapan mereka pada perkembangan kota ini. Setiap pendatang yang datang bersinar penuh dengan impian dan harapan akan masa depan. Demikian juga dengan Risa, dia ingat benar saat pertama dia pindah ke kota ini untuk bersekolah. ‘Pasti sangat menyenangkan’ batinnya. Teman baru dan kehidupan yang modern. Tapi kemudian lelaki itu datang dalam hidupnya, merusak semuanya. Mengambil seluruh cinta yang ada dalam hidupnya. Malam itu, dengan mengendap-endap dari balik jendela yang tirainya sedikit terbuka itu Risa mengintip kedalam ruangan yang telah gelap. Pria itu terbaring lemah, selang infus masih menancap di lengannya. Sementara itu diseberang ranjang, seorang wanita kurus tidur meringkuk di sofa rumah sakit yang keras, berselimutkan jaket.
“Jam berkunjung sudah habis.”
Risa menoleh mencari asal suara, Wisnu.
“Mengunjungi cinta lama?” Dokter muda itu duduk di kursi tunggu panjang masih mengenakan jubah putihnya.
Tanpa suara Risa duduk disebelahnya. “Siapa yang kamu maksut cinta lama?!” ujarnya dengan nada geram.
“Hmm.. kalau begitu, mengunjungi si korban?” Tanya Wisnu sambil merenggangkan badan. Hari ini berat juga pekerjaanya, orang sakit sekaan datang tak ada henti.
Risa tercekat, kemudian berujar. “Dia.. pantas mendapatkan hal itu.”
“Jadi benar, kamu tidak menyangkal kalau kamu berusaha membunuh mantan kekasihmu itu?”
“Hahahaha.. lucu juga ya. Dia yang seharusnya mati dan aku sudah berjanji pada diri sendiri akan hidup normal setelah kematiannya. Tapi kenapa kini aku yang hadir kembali dalam bentuk zombie sementara bajingan itu hidup?” Risa melihat kearah bekas luka dipergelangan tangannya. “Jadi, yang bisa membuat kita merasa hidup itu sebenarnya apa, Perasaan atau sekedar urat syaraf yang bisa menghantarkan rasa? Aku.. apa aku sekarang bisa dibilang hidup? kalau yang seperti aku sekarang tidak bisa dibilang sebagai makhluk hidup, bagaimana dengan lelaki itu? Dia yang tertidur, bisa merasakan sakit dan meneteskan air mata, tapi sudah kehilangan perasaan.”
“Yang bisa menjawab hal itu cuma kamu sendiri.” Jawab Wisnu pelan sambil melihat kearah bulan yang bersinar terang di balik atap rumah sakit. Kemudian keduanya hanyut dalam diam.
Senin 07:10
“Umm.. permisi mbak”
Suara perempuan itu membangunkan Risa dari dalam tidurnya. Rupanya kemarin dia tertidur di bangku rumah sakit, meniduri handuk penghuni kamar yang dijemur dibangku tersebut. Kalau saja dia manusia normal, pasti tidurnya tak akan nyaman karena nyamuk-nyamuk yang kerap menyerang manusia tanpa belas kasihan setiap malam. Tapi kemarin, dia tidur begitu nyenyak. Bahkan jauh  lebih nyenyak dari pada sebulan belakangan.
“Ah, maaf,” Ujarnya cepat.
“Nungguin keluarganya juga mbak?” Tanya wanita kurus itu sambil tertawa renyah.
“Err.. iya, ada.. keluarga..” ulang Risa dengan tergugup. “Mbak, nungguin keluarga juga? Sakit apa?” todong Risa dengan berbagai pertanyaan, tanpa berpikir panjang. Entah kenapa jauh didalam hatinya dia berharap perempuan ini akan menceritakan kisah-kisah buruk akan dirinya, sehingga.. dia punya alasan untuk membenci perempuan ini.
“Iya, calon suami saya.” Jawab perempuan itu sambil mulai mengambil tempat duduk di sebelah Risa. “Calon suami saya ini, banyak yang bilang dia orang jahat mbak. Tapi entah kenapa kok saya juga nggak bisa membenci dia.” Terlihat perempuan itu menguatkan gengaman gelas ditangannya, sinar matanya penuh pengharapan dan semangat. “Saya juga benernya tau dia sudah banyak dosa, apalagi dengan mantannya. Tapi saya nggak ada hak cemburu karena jauh di dalam hati saya tau, mantannya pasti lebih menderita lagi. Perasaannya pasti lebih sakit bahkan dari pada saya sendiri.”
Mau tidak mau Risa bersyukur sekarang dia sudah mati, karena dia yakin kalau saja sekarang dia masih hidup pasti matanya telah dipenuhi air mata. Tapi sekarang dia hanya bisa duduk mematung memandang wajah perempuan itu.
“Semoga calon saya bisa mengambil hikmahnya saja lah mbak, saya juga nggak yakin dia bisa langsung berubah. Tapi sampai dia berubah, saya pingin ada disebelahnya, itu juga demi anak kami.” Katanya sambil mengelus perutnya yang belum tampak membesar.
“Eh, maaf ya, jadi ngelantur! keluarganya di kamar nomor berapa mbak? Kok tidur disini?”
Belum sempat Risa memikirkan jawab, dari dalam ruangan terdengar seruan marah “Mel! Siapin makanan, aku lapar!”
“Aduh, permisi dulu ya mbak, saya dipanggil.” Kata perempuan itu sambil buru-buru masuk kedalam kamar. Sayup-sayup Risa bisa mendengar seruan dan cacian yang dulu sering didengarnya. ‘Dia tak akan pernah berubah.. Dia, lelaki yang dilahirkan untuk membuat dunia ini rusak. Lelaki yang seharusnya mati.. tapi kenapa aku yang harus berakhir seperti ini?!’
Senin 09:55
Kurang 1 jam lagi sebelum proses pemakaman dilakukan, rumah duka itu telah ramai dengan pengunjung. Teman-teman Risa dari sekolah dan juga tempatnya bekerja sampingan sudah mulai berdatangan. Mereka datang secara berkelompok, saling bertukar cerita, mencocokkan segala informasi yang mereka tau. Gossip telah berkembang dengan cepat, berita percobaan pembunuhan kemudian disusul dengan berakhirnya Risa di rumah duka telah menjadi cerita yang menarik lengkap dengan bumbu-bumbunya. Di samping peti mati terlihat Ayah, Ibu dan juga Arinda. Ketiganya tertunduk lesu, hanya setiap ada orang datang untuk menyatakan rasa duka cita saja mereka bertiga bisa tersenyum. Meski demikian Risa tau bahwa senyum itu tak berarti apa-apa, karena wajah mereka menyiratkan rasa duka yang mendalam. Mereka bertiga tampak capek, namun Risa bisa menangkap hal lain, perasaan kehilangan. Kehilangan seorang anggota keluarga yang paling mereka sayang.
“Menyesal?” Tanya Wisnu sambil melepas helmnya.
Risa tak menjawab segera. “Aku, orang yang egois.” Katanya lirih “Apa yang sudah aku lakukan? Tidak hanya menghancurkan masa depanku, tapi juga menambah beban bagi keluarga. Parahnya lagi semua ini hanya untuk lelaki yang aku tahu bahkan Tuhanpun tak sanggup merubah pribadinya menjadi lebih baik.”
Matahari mulai meninggi, peti jenasah sudah dimasukkan kedalam mobil dan siap untuk di berangkatkan menuju tempat peristirahatan terakhir. Orang-orang berduyun-duyun keluar dari dalam ruang untuk mengambil kendaraan mereka masing-masing. Celotehan-celotehan mereka terdengar semakin menggema dalam telinga Risa. Sementara itu ketiga orang anggota keluarganya tampak dalam rombongan itu, sinar mata mereka sudah mati.
“Dok, semuanya percuma ya? meski dokter memberi aku waktu dua hari. Tapi toh semunya tidak berubah menjadi lebih baik.” Suara Risa bergetar, meski tanpa air mata tapi jiwanya menangis.
“Aku memberi kamu waktu dua hari kedepan, bukan dua hari kebelakang. Bagaimana mungkin ada yang berubah menjadi lebih baik?” Wisnu mengambil sebutir permen menthol dari balik saku jeansnya. “Nggak ada yang bisa merubah masa lalu, dan dengan kondisimu sekarang juga kamu nggak akan bisa mengecap masa depan. Tapi, paling tidak bukannya sekarang kamu tau apa yang sungguh-sungguh berarti bagimu, cinta keluarga misalnya?” Kata Wisnu sambil mengendikkan bahu.
Risa menatab Wisnu dari balik topinya. Dokter yang satu ini, meski ucapannya kasar, namun entah kenapa kali ini hatinya merasa tenang.
“Ada yang pantas untuk diselesaikan segera ada yang pantas untuk ditinggalkan begitu saja. Dilain kehidupan, semoga kamu nggak salah memilih.”
Risa mengulurkan tangannya “Makasih dok, untuk dua hari yang aneh ini.”
Wisnu menjabat tangan RIsa yang dingin dan pucat sementara kukunya berubah warna menjadi biru kehitaman.
“Selamat jalan.” Ujar Wisnu sambil perlahan melihat tubuh Risa yang menghilang ditelan cahaya matahari siang. “Berkurang satu orang bodoh, Yah.. tapi masih banyak orang-orang bodoh lain didunia ini, heran deh!” Wisnu memakai lagi helmnya, menstater motor dan mulai berkendara menjauh, menuju rumah sakit. “Kerja-kerja!” serunya sambil menikmati panasnya udara siang itu.
1 note · View note
syke-tan-blog · 12 years
Text
#09
Alam fikir itu bebas, lepas dan lugas.
Kita bisa menjadi dewa sekaligus menjadi malaikat kematian bagi setiap orang yang kita benci.
  Dan aku sudah membunuhmu, berkali-kali dalam fikirku.
Beribu rencana tercetak dan aku telah tiba disuatu titik dimana pembunuhanmu akan menjadi yang paling sempurna.
Tak akan kamu mati dengan segera, karena aku yakin kematian yang perlahan yang paling menyiksa.
Taukah kamu sungai citarum?
Ya, itulah yang akan menjadi tempat peristirahatan terakhirmu. Dasarnya yang kotor dan bersampah akan menyatu dengan pribadimu, sehingga tak akan ada orang yang tahu.
Malam ini aku akan tiba di peraduanmu, tanpa sepengetahuan istrimu aku bisa menyeretmu ke pabrik es tua di pinggiran kota Jakarta.
Balok-balok es itu memang tidaklah segalak golok, tapi bisa sesadis ribuan jarum, dan itulah yang akan aku tancapkan di setiap otot paha dan juga lehermu.
Kemudian, setelah darah mulai membanjir aku sarankan kamu segera masuk kedalam mesin pembuat balok es. Aku janji, dalam 10 menit kedepan lukamu tak akan terasa sesakit itu.
Mungkin kalau kamu beruntung, kamu bisa melihat air berubah warna menjadi merah cerah. Tapi aku ragu kamu tak kuat membuat jantungmu terus berdetak sampai saat itu.
Disaat kamu sudah mulai merasa gelap, dingin, lapar dan mengawang.  Itulah saat malaikat maut mulai berbaik hati. Ah, kamu sudah mulai pergi.
Dia memang terlalu baik, seharusnya dia tunggu sebentar. Karena itu adalah saat terbaik dalam hidupku.
Langkah selanjutnya, mungkin kamu sudah tak tahu, tapi sesungguhnya itu hal yang paling sederhana. Karena kamu sudah berada di dasar sungai citarum. 
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Text
#08
Masih terlalu pagi untuk membuka mata, tapi wanita itu telah membuka jendela kamarnya, menyalakan kompor listrik kecil dan merebus air untuk membuat segelas teh hangat. Selagi menunggu air matang, perlahan dia berbalik ke ranjang, bergelung dalam selimutnya mencoba meresapi setiap dingin yang menyusup masuk kedalam selimut serta menangkap aroma dedaunan dan tanah yang basah sehabis hujan. Pagi ini, jalanan masih lengang milik anjing-anjing jalanan yang meringkuk malas dibalik peraduannya dalam upaya menghindari hujan deras semalam.
“Terereng!”
Wanita itu melirik ke ponsel kecil disebelahnya. Kemarin, entah apa sebabnya dia mengganti nada dering yang telah berbulan-bulan dipakainya. Akhirnya, sekarang untaian nada ini hadir bersama sepuncuk kenangan lama. Aneh rasanya bila memikirkan banyaknya kenangan yang terbawa hanya dengan nada yang seadanya.
Mungkin wanita itu cuma sedang bosan, bosan dengan kenyataan yang ada. Saat dimana dia menyadari bahwa kenanganlah yang lebih dia cinta.
Dari ufuk timur mulai tampak sebaris cahaya, mula-mula kuning sederhana lalu berubah menjadi merah merona. Angin segar yang membawa panasnya matahari mulai merangsek memasuki ruang. Terdengar samar-samar suara air di kompor listrik yang merajuk minta diangkat. Tawa anak-anak tetangga mulai bergema dan semakin keras. Pagi telah tiba
2 notes · View notes
syke-tan-blog · 12 years
Text
#07
Pikiran itu hinggap setiap senja, saat mereka berdua berpisah di depan rumah kontrakan sederhana dihiasi hembusan angin sekedarnya.
Sekarang, setelah hampir lima tahun membina hubungan. Wanita itu sadar bahwa mereka berdua tengah berjalan di jalan setapak yang sama, mempunyai tujuan yang sama namun keduanya sama-sama lupa membawa kompas. Entah kemana arah mereka melangkah, tak ada yang bisa menerka. Dan kemudian, setelah berjalan menggandeng sang waktu kini wanita itu sadar, yang tersisa hanyalah kasih.
Tak ada lagi gairah, komitmen maupun gemerlap cahaya masa depan dalam kedekatan mereka berdua, hanya status yang menjadi tanda.
Sering, wanita itu gelisah dalam gelapnya malam. Tidurnya kerap meneteskan air mata. Bukan sakit yang dirasa, hanya saja hampa.
Namun, suatu pagi dikala jafar menjelang lelaki senja itu tiba-tiba datang kepadanya. Keriput-keriput kecil di sudut matanya terhapuskan oleh tawanya yang renyah dan juga tutur katanya yang cerdas. Lelaki senja itu sering meniupkan angin musim semi kepada si wanita. Jarak diantara mereka sudah berbanding terbalik dengan rentang usia keduanya.
Wanita itu sekarang gelisah, dalam sepi dia bertutur kepada gelap malam
“Apakah kita bisa hidup hanya dengan kasih? Setelah kasih itu usai, apa yang tersisa?”
Gelap malam tak menjawab sepatah katapun, dalam diam dia berlalu meninggalkan wanita itu.
Esoknya, tepat saat matahari kembali ke peraduan dengan berani wanita itu memutuskan tali yang mengikat kebebasannya. Digenggamnya kompas kehidupan dan dengan langkah mantap dia berjalan mencari teman seperjalanan, yang dalam fikirnya adalah lelaki senja
****
Malam telah larut saat wanita itu sadar bahwa lelaki senja telah memegang kompas yang lain dan juga memiliki teman seperjalanan sendiri. Tak dapat membendung perasaanya wanita itu mengadu pada gelapnya malam
“Kini saat kasih itu benar-benar pergi dan tak ada yang tersisa. Apa yang harus kuperbuat?”
Gelap malam masih membisu, tak ada suara terdengar. Namun, perlahan terasa desir lembut angin musim semi. Kemudian dari balik pucuk pohon tertinggi tampaklah rembulan bersinar terang, warnanya yang kuning keemasan terasa hangat. Perlahan wanita itu menggengam erat kompasnya, kini paling tidak dia tau kemana harus berjalan.
2 notes · View notes
syke-tan-blog · 12 years
Text
#06
Hidup terus berjalan, bagi mereka kesengsaraan orang lain hanya sebatas cerita arisan siang.
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Text
#05.4-Final
Cangkir teh itu sudah tidak lagi terasa panas, namun Astri tetap terduduk diam di teras depan rumahnya. Pandangan gadis itu kosong namun hatinya terasa lebih hampa lagi. Kaela, wanita itu datang kerumahnya dan tiba-tiba menarik pria itu pergi.
Kenapa? kenapa tak ada seorangpun yang boleh bertahan didekatku?! Dulu dia mempunyai Nicho, namun Nicho juga hanya memanfaatkanya sebagai pelambiasan hasrat dan juga sebagai jaminan hutang.
lelaki itu, tidak pantas hidup.
***
Malam semakin gelap, namun dari kejauhan masih terdengar deru sepeda motor dan sesekali terdengar celoteh pengendaranya. Mereka terdengar ceria dan juga penuh tawa, seakan hidup dalam dunia lain, dunia yang jauh berbeda dari dunia tempat Astri berada. Genggaman gadis itu semakin kuat, napasnya memburu dan tubuhnya bergetar.
Nicho, apa yang sudah kulakukan? Aku… membunuhnya… Mata Astri mulai dipenuhi air mata. Tidak! Suara lain terdengar, membahana keseluruh otak dan pikirannya, itu adalah kesalahan, ketidaksengajaan.. Lelaki itu pantas mendapatkannya, karma dari perbuataanya sendiri.
Pikiran Astri melayang ke hari-hari sebelum ini, dimana dia berputar-putar mencari pekerjaan yang tak kunjung datang. ‘Nanti kami kabari lagi, maaf tempatnya sudah terisi, silahkan tunggu beberapa saat lagi.’Semua perkataan itu membayang di benak Astri.
Hanya karena mereka kaya dan berkedudukan mereka bisa segampang itu membuang orang lain. Para pegawai kantoran itu, Nicho, kedua orang tua Nicho, semuanya sama saja.
Tetapi, suara itu membangunkannya dari kegelapan “Sebaiknya kamu nggak bepergian sampai malam-malam, nggak aman bagi wanita.” Senyum lelaki itu, seakan membawa angin segar dalam kehidupannya. Perhatian lelaki itu.. Ayah.. Mungkin kalau ayah masih hidup dia juga akan tersenyum dan juga menasehatinya ditengah perjalanan pulang, bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja. Mungkin dia juga akan berkata ‘Pekerjaan itu pasti bisa didapat, meski memerlukan usaha yang keras diawal-awal.’ Ayah, mungkin kalau dia masih hidup kehidupan mereka juga tidak akan sesusah ini, ibu tidak perlu bekerja terlalu keras dan sakit-sakitan. Dia bisa sekolah dengan layak, bertemu lelaki yang pantas dan mereka bisa saling mengasihi secara tulus.
Tiba-tiba dia merasa tertampar. Kaela, wanita itu pasti mengiranya cewe murahan yang dengan gampangnya merebut lelaki orang. Beraninya! Itu salah, aku tidak ada hubungan dengan pria itu. Kenapa dia memperlakukanku seperti itu? Merendahkanku hanya gara-gara dia lebih kaya dan berpendidikan!
Diletakannya cangkir teh yang sedari tadi dicengkeramnya kemudian dengan langkah gontai Astri memasuki rumahnya yang gelap, sepi. Dia sudah sangat terbiasa dengan keadaan ini, terkadang kesunyian bisa menjadi teman bicara yang sangat pengertian. Namun tiba-tiba kesunyian itu pecah bersamaan dengan bunyi telfon gengamnya. Trrinnggg..Triiinggg… Astri menoleh kearah ponselnya cepat, nomor yang tidak dikenal.
“Halo”
“Astri, ini aku Kaela.”
Astri tercekat, dia tidak pernah mengharapkan berbicara dengan Kaela, meski itu hanya lewat telfon.
“Halo?” terdengar suara dari seberang telfon.
“..ya?” Jawab Astri gugup
“Aku ingin berbicara denganmu, besok aku akan kerumahmu. Bagaimana?”
Tanpa sadar Astri mengangguk lemah, sadar bahwa lawan bicaranya tidak bisa melihat apa yang dia perbuat dengan suara lirih dia menjawab. “iya.”
***
                “Yohanes tidak tau aku kemari.” Kata Kaela saat mereka pertama kali bertemu. Astri tidak berani memandang mata wanita itu. Dia adalah tipe wanita kuat dan berkepribadian. Wanita seperti ini tidak akan pernah merasakan menderita selama hidupnya, mereka bisa mendapatkan semua yang mereka mau.
“Aku minta maaf karena aku sudah tiba-tiba masuk kerumahmu tanpa ijin kemarin.”
Minta maaf? Apa benar itu yang dia pikirkan saat ini?
Kaela menghembusan napas panjang sebelum meneruskan kata-katanya. “Astri, aku tidak lupa dengan kejadian waktu itu. Dan sampai detik inipun aku masih menganggap bahwa kamu sedang dalam keadaan yang ‘membutuhkan bantuan’. Aku tidak bisa menghalangi keputusan Yohanes untuk membantumu. Namun, bila dia berkehendak lebih dari ini… maaf, aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.”
Astri menatap Kaela diam.
Apa maksud wanita ini? Kenapa dia berkata seakan aku wanita jalang yang menggoda Yohanes?!
Tanpa sadar pelupuk mata Astri dipenuhi bulir-bulir air mata yang mengalir turun.
Tidak, aku tidak seperti itu. Orang-orang kaya ini saja yang berpikiran demikian! Kenapa aku tidak boleh bahagia?!
Pandangan Astri mulai berubah, kini dia melihat Kaela dengan tatapan penuh kebencian. Sehingga Kaela mau tidak mau was-was juga melihat pandangan gadis itu.
Sebelum disadari oleh Kaela, Astri telah menyergap wanita didepannya itu. Merasa berada dalam keadaan bahaya Kaela berontak dan berusaha menghindar. Namun meski badannya lebih kecil Astri ternyata cukup kuat. Dicengkeramnya leher dan juga lengan Kaela, lalu didorongnya gadis itu agar masuk kedalam rumah. Dengan segera Astri telah memojokkan Kaela dipojok ruang keluarga kemudian ditindihnya tubuh psikolog muda itu, kedua tangan Astri sudah siap mencengkeram leher Kaela.
“Kamu tidak pernah merasakan hal ini kan?!”
“Jadi bagaimana rasanya saat orang lain mempermainkan hidupmu?! Ini semua salah kalian! Kalian orang-orang kaya yang terbiasa mendapatkan semua yang kalian inginkan! Kaela, kamu pasti berpikir aku cewe murahan kan?! Wanita yang merebut pacar orang!”
Kaela yang tidak bisa menggerakkan badannya mencoba mengalihkan tangan Astri yang sudah mencekik lehernya dengan sepenuh tenaga, sementara kakinya dihentakkan kelantai tanpa henti mencoba melepasan diri dari Astri.
“Kenapa Kaela sejahat itu? Aku hanya ingin berteman. Aku tidak pernah bermaksud untuk merebut siapapun.”  Air mata Astri perlahan mengalir turun, air mata kesedihan dan juga kekecewaan. “Dari awal, Kaela sudah membenciku kan? Karena.. kamu menganggapku pembunuh.”
Mata Astri mulai terlihat dingin lagi. Air matanya telah mengalir turun menetes kewajah Kaela, meninggalkan pandangan yang dingin dan kejam.
“Kalau begitu baiklah. Aku akan benar-benar menjadi pembunuh seperti apa maumu.”
Sepintas, terlihat senyuman di wajah Astri, senyuman yang membuat bulu kuduk Kaela berdiri. Mendadak cengkraman dileher Kaela mengencang sehingga wajah wanita itu benar-benar merah padam. Tangannya yang mencoba menghalangi cekikan Astri melemah, dan demikian pula dengan hentakan kakinya.
Tiba-tiba, terdengar suara dari gerbang depan. Suara motor dan disusul dengan langkah kaki yang semakin lama semakin cepat.
“Kaela!” Terdengar teriakan Briptu Yohanes “Lepaskan! Apa yang kamu perbuat?!”
Astri merasa tubuhnya didorong dengan kuat sehingga terlempar menjauh. Didepannya terlihat Briptu Yohanes menatap Kaela dengan pandangan penuh kasih. Lelaki itu menopang wajah Kaela dan membelainya dengan lembut. Mata Briptu Yohanes terlihat sembab dan pria itu menangis. Sementara Kaela yang sudah mulai hilang kesadarannya hanya bisa tersenyum lembut sambil memandang Briptu Yohanes, mencoba menenangkan lelaki itu.
“La, aku akan membawamu ke rumah sakit.. Bertahanlah!” katanya sambil meraih tubuh wanita itu dan membopongnya keluar ruangan.
Briptu Yohanes pergi begitu saja tanpa melihat barang sepintas kearah Astri, seakan gadis itu tak pernah ada disana.
Astri masih terduduk kaku ditempatnya. Dia begitu sering dilecehkan, direndahkan, namun diacuhkan seperti ini…. Seakan kehadirannya tidak pernah ada..
Mungkin memang ada orang yang dilahirkan untuk menjadi pecundang.. Tidak berarti bagi siapa-siapa..
Dengan langkah gontai Astri kembali keteras depan rumahnya, duduk terdiam.
Tapi bukan berarti ini membuat aku bisa direndahkan..
Pandangannya kembali menatap kearah jalan kecil didepan rumahnya, sepi.
Lihat saja mereka, orang orang-orang kaya itu. Suatu hari akan kubuat mereka menyesali perbuatan mereka.
Sore itu matahari menjadi semerah darah dan tak lama kemudian gelapnya malam mulai mengambil kendali. Perlahan kegelapan menyelimuti seluruh tempat, tanpa terkecuali.
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Text
#05.3
Kaela melirik ke layar Ponselnya sekali lagi, seharusnya pada jam-jam seperti ini ponsel itu berbunyi dan nama Yohanes terpampang di layarnya. Namun entah sejak kapan nama itu tidak lagi nampak dan meski tak terucap ada rasa mengganjal dalam perasaannya. Seakan kehilangan sesuatu yang penting. Mereka telah berteman cukup lama, pertemanan yang menyenangkan dan keduanya telah menjadi partner in crime dalam setiap kesempatan. Yonahes seorang polisi dan Kaela yang psikolog, seakan telah menjadi dua buah biji puzzle yang terakhir, puzzle yang berdekatan satu sama lain.
Kemana sih orang itu? Batin Kaela dalam hati sambil mengigiti krupuk udang. Sementara itu Karel-adiknya dari tadi duduk diseberang memperhatikan sang kakak.
“Kak Yohanes dipindah tugas ke Ambon.” Celetuknya tiba-tiba.
“Hah?! Tau dari mana kamu?”
“Ahahahahha.. tuh kan, mikirin kak Yohanes. Bohong deh, aku cuma ngarang aja.” Sahut adiknya sambil menjulurkan lidah.
“Sialan!”
Muka Kaela memerah, yah. Dia memang memikirkan Yohanes, tapi bukankah ini wajar? Karena, mereka adalah teman akrab.
***
                Keesokan paginya Kaela sudah tak tahan lagi, dipencetnya tombol kecil di layar ponsel. Nomor Yohanes.  Tidak bisa tidur semalaman membuat otaknya berpikir lebih keras dari sebelumnya, menenggelamkan diri dalam buku-buku psikologi dan juga mempelajari kasus-kasus anak-anak bermasalah entah bagaimana membuatnya lupa akan kecemasannya. Pada saat hatinya terasa tenang itulah dia baru ingat, bahwa Yohanes pernah meminta bantuannya untuk seorang pecandu narkoba muda yang susah untuk diajak bekerjasama. Mungkin ini bisa menjadi alasan agar mereka bisa bertemu.
Hi, masih ingat kasus pecandu yang susah diajak kerjasama itu? Aku sedang banyak waktu luang di kantor, mungkin kapan-kapan kita bisa pergi melihat anak itu?
Sent! Kaela menghitung sampai 10 dalam diam. Yak! Delivered. Perlahan dia menghembuskan napas lega. Seakan baru saja memecahkan masalah pelik.
Tring! Dengan cepat disahutnya ponsel itu begitu terdengar bunyi SMS
Sorry, aku tidak bisa hari ini. Besok bagaimana?
Apa-apaan ini?! Kenapa tidak bisa? Ini kan masalah polisi yang harus cepat diselesaikan, dulu dia sendiri yang bilang begitu!
                Sedang repot ya pak polisi?
Tak sampai lima menit terdengar bunyi balasan
                Yah, begitulah..
Bohong. Cecar Kaela dalam hati, Dia bahkan tak tau kalau itu sindiran. Jelas ada yang berubah dari Yohanes. detik itu juga Kaela tak bisa menahan perasaanya, dia harus tau apa yang sebenarnya terjadi. Jauh dilubuk hati, Kaela merasa ada yang salah.
                Pagi berubah menjadi siang dan siang bergeser menjadi malam, malam itu bulan tidak bersinar sempurna, cahayanya tertutup awan mendung. Namun meski cahayanya bersinar tak sempurna sesungguhnya tak ada orang yang akan peduli, karena lampu kota telah menengelamkan sinarnya. Dari dalam mobil Kaela menunggu, dengan sabar. Dia duduk dalam diam dan pandangannya tertuju pada rumah kecil dengan bunga-bunga berwarna ungu dan merah di sepanjang pagar depan. Terasnya diterangi lampu neon berwarna kuning dan ubinnya berwarna krem, pemandangan itu terasa sangat ganjil dimatanya. Karena sesungguhnya tak pernah terbersit dalam pikiran Kaela dia akan kembali ke tempat itu. Tempat dimana aura dingin terpancar. Tapi malam ini, alih-alih memacu mobilnya pulang kerumah Kaela malah pergi ke tempat yang paling dia takuti itu. Dan semua ini dia lakukan demi Yohanes.
Mereka pasti akan datang. Ulangnya dalam hati berkali-kali, seperti mantra.
Dan matra itu terbukti bekerja saat terdengar deru motor dari kejauhan. Suara motor yang dia kenal betul selama 5 tahun dalam hidupnya, motor Yohanes.
Hati Kaela mencelos, Yohanes mengantarkan Astri-gadis itu. Mereka terlihat tertawa kecil dan saling memandang dengan pandangan hangat. Tiba-tiba dadanya sakit, perasaan yang tak pernah dia alami sebelumnya.
Astri membuka pintu depan dan mempersilahkan laki-laki itu masuk kemudian mempersilahkan dia duduk di kursi teras lalu masuk kedalam rumah dan keluar lagi dengan secangkir teh hangat. Mereka tertawa sebentar dan kemudian saling bercakap dengan wajah serius.  Raut muka Astri terkadang berubah menjadi sendu sejenak tapi sedetik kemudian tawa manis tersungging dari bibirnya saat Yohanes melemparkan lelucon-lelucon kecil yang Kaela yakini dulu biasa dia dengar.
Ini terlalu berat dan susah diterima akal sehat Kaela. Mungkin kalau gadis itu bukan Astri dia masih bisa paham, tapi kenapa harus Astri?! Apa Yohanes benar-benar sudah kehilangan akal sehat? gadis itu berbahaya Yohanes tau betul hal itu.
Apa dia betul-betul jatuh cinta pada Astri?
Pikiran itu terbersit di benak Kaela. Lalu diingatnya semua pembicaraan Yohanes tentang Astri ’dia tak bersalah, gadis malang yang tidak mempunyai pekerjaan.’
Itu bukan cinta, tapi simpati. Kaela terpaku. Dan mungkin hal inilah yang lepas dari pemahaman Yohanes.
Dibukanya pintu mobil, lalu tanpa ragu Kaela melangkah menuju pagar depan rumah itu. Sehingga tak ayal kedua orang yang berada di teras depan terperanjak melihat kedatangan Kaela yang tiba-tiba.
“Astri, aku perlu bicara dengan Yohanes.”
Gadis itu terdiam, dan matanya menatap Kaela nanar. Mulutnya terdiam tak menjawab sepatah katapun. Yohaneslah yang pertama menyadari situasi itu, dengan cepat dia menyahut.
“La, sedang apa kamu disini?”
Kaela hanya menatap Yohanes sepintas lalu kembali lagi kearah Astri.
“Ok, mungkin aku harus pulang dulu.” Yohanes melihat kearah Astri sambil meletakkan cangkir tehnya.
“Ayo, ditempat biasa.” Kata Yohanes sambil menarik Kaela menjauh.
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Photo
Tumblr media
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Text
#05.2
Siang hari yang panas dan berdebu itu tidak menghentikan semangat orang-orang untuk menonton kecelakaan maut yang terjadi di persimpangan Gajahmada di pinggiran kota. Dengan bersenjatakan ponsel mereka mengabadikan setiap momen dan juga saling berbisik bertukar cerita.
***
“Yakin tak ada yang tersisa di TKP?” Briptu Yohanes menengok kearah rekannya yang tengah berbicara dengan pihak forensik.
“Ya pak, beres!” Jawab pemuda itu sigap.
Briptu Yohanes menghembuskan napas panjang. Kasus seperti ini sudah sering dia temui, tabrak lari, korban sekarat, hampir tidak ada saksi yang bisa dimintai keterangan dan ditambah dengan tidak adanya cctv juga turut memperparah susahnya penyelidikan.
“Baiklah kalau begitu, sekarang kamu ikut aku, kita mencari saksi lain yang bisa dimintai keterangan.” Ujar Briptu Yohanes dengan tidak begitu bersemangat. Batal sudah bertemu Kaela malam ini. Umpatnya dalam hati
Maka Benarlah, penyelidikan itu membutuhkan waktu lebih lama dari pada dugaan semula. Setelah berputar-putar selama hampir satu jam, mereka berdua menemukan seorang pria setengah baya yang (setelah didesak) mengaku bahwa dia melihat sebuah sedan hitam mengkilap lewat dengan kecepatan yang tidak masuk akal di siang hari bolong kurang lebih 30 menit setelah waktu tabrakan tersebut. Orang itu tidak menghafal plat nomor mobil pelaku, maka Briptu Yohanes dan Opsir Wisnu-rekannya harus berkeliling lagi dan mencoba mencari saksi-saksi yang lain. Susah memang, apa lagi disaat masyarakat sedang tidak mempercayai polisi seperti sekarang. Mereka lebih takut direpotkan dengan tetek-bengek administrasi dari pada melihat sesamanya meregang nyawa tanpa keadilan.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam saat Briptu Yohanes keluar dari kantornya, dengan wajah lesu dia melihat ke layar ponsel
Tidak ada SMS batinnya gelisah apa ini tandanya Kaela marah?
Kaela adalah temannya sejak jaman kuliah dulu, dan sejak dahulu pula dia menaruh hati pada gadis berparas ayu dan berkulit kecoklatan itu. Akan tetapi, meski diluaran dia adalah sosok pria yang tangguh dan dihormati anak buahnya, jauh di lubuk hati Briptu Yohanes tetap merasa takut untuk mengatakan perasaannya pada Kaela. Mungkin lebih baik kalau kami tetap dalam keadaan seperti ini.
Maka dengan langkah goyah di berjalan ke parkiran depan kantor polisi untuk mengambil motornya, paduan antara capek pikiran dan juga capek hati. Parkiran motor sudah sedikit sepi, hanya ada 1-2 motor milik beberapa polisi yang sedang shift malam. Penerangan parkiran yang seadanya menjadi terbantu dengan adanya sinar lampu jalanan dan juga mobil-mobil yang bepergian seakan tak pernah lelah. Tak banyak orang yang memilih untuk berjalan kaki, sudah terlalu larut dan malam kadang bisa menjadi sangat berbahaya di kota ini.
Briptu Yohanes menyempatkan diri untuk menerawang ke kebisingan khas kota besar di saat malam hari.
Kalau aku bukan polisi pasti saat ini aku sedang mengantar Kaela pulang sehabis menonton bioskop atau mungkin kembali dari acara konser. Namun khayalan itu ditepisnya segera, dengan tak sabar dirogohnya kunci motor di saku depan jaketnya. Alih-alih menemukan kuncinya, pandangannya tertuju pada sosok gadis yang berjalan di kegelapan. Raut mukanya tampak capek dan kulit putihnya terlihat lebih pucat di tengah sorot lampu kendaraan. Tangannya yang kurus menggenggam sebuah map plastik penuh dokumen. Dan Briptu Yohanes mengenali gadis itu sebagai Nawastri, atau Astri.
***
“Sebaiknya kamu nggak bepergian sampai malam-malam, nggak aman bagi wanita.” Kata briptu Yohanes sambil tersenyum simpul.
Astri melihat wajah polisi itu lalu mengangguk pelan
“Hmm.. baiklah, kalau begitu aku permisi dulu.” Ujar Briptu Yohanes sambil berjalan kearah gerbang.
“Pak!” seru Astri tiba-tiba memecah keheningan. “Mungkin bapak mau mampir sebentar?” tanyanya.
Briptu Yohanes menatap gadis itu, pikirannya melayang ke setahun lalu waktu dia dan Kaela mengunjunginya malam-malam dan membeberkan kebenaran. Meski mengetahui kebenaran itupun sesungguhnya Briptu Yohanes selalu merasa kasian dengan gadis ini, Astri tidak terlihat seperti pembunuh berdarah dingin atau sengaja melakukan hal itu. Dia hanya seorang gadis tak berdaya yang terjebak dalam kondisi menyeramkan.
Maka dengan pasti Briptu Yohanes mengangguk dan tersenyum “Yah, secangkir teh boleh lah.”
“Bagaimana bapak bisa menjadi polisi?” tanya Astri sambil menyesap teh nya perlahan.
Briptu Yohanes memandang gadis itu lalu menjawab dengan lembut “Aneh rasanya dipanggil bapak, yah kita kan hanya beda 3-4 tahun. Panggil saja Yonahes atau Nes.” Katanya sambil meniup tehnya yang masih panas. “Kakekku dulu juga seorang polisi, dan aku selalu merasa beliau sangat keren. Hahahahha.. alasan yang aneh ya? Tapi aku sangat menidolakan beliau memang.”
“Nggak aneh kok.” balas Astri “Menurutku orang yang berani mengejar impian seperti itu adalah orang yang hebat.”
“Ah, jadi aku orang yang hebat?” Briptu Yohanes terkikik geli.
Astri tersenyum. Senyum manis yang selama ini tidak pernah dilihat Briptu Yohanes.
“Jadi kenapa kamu bisa sampai berkeliaran malam-malam begini?” tanyanya sambil memandang Asri lekat-lekat.
Tawa Astri lenyap, wajahnya menjadi sendu. “Aku ada wawancara kerja. Tapi, sepertinya tidak berjalan dengan lancar.” Jawabnya sambil menundukkan wajah.
“Jadi kamu sekarang sedang dalam proses mencari kerja? Semangat ya, susah memang tapi kamu jangan me..” ucapan Briptu Yohanes terpotong.
“Mustahil, untuk orang yang pernah berhubungan dengan kepolisian untuk bekerja normal. Mereka hanya meminta maaf atau bilang akan menghubungi, tapi kenyataanya mereka tak pernah menelfon atau mengirim surat konfirmasi. Yah, tidak mengejutkan.” Kata Astri sambil memandang ke cangkir teh di pangkuannya.
Briptu Yohanes tercekat dengan pernyataan Astri barusan, memang akan susah bagi gadis itu untuk mencari kerja apabila pihak perusahaan susah mengetahui laporan tentang apa yang terjadi di masa lalu. Salah ataupun tidak, masyarakatlah yang menilai.
“Berapa nomor HPmu? Akan kubantu mencarikan pekerjaan. Kudengar kantor Kaela membutuhkan pegawai baru.” Kata Briptu Yohanes sambil mengeluarkan Ponsel dari dalam backpacknya.
***
“Dan kamu ngasi nomermu ke orang itu?!” Kaela setengah berteriak sehingga dua-tiga orang didekat mereka menoleh heran.
“Err.. ya.. apakah itu buruk?”
“Apakah itu buruk? Nes! Ini parah!”
“Separah apa?”
“Aku nggak tau kalau polisi itu sedemikian lemot!”
Briptu Yohanes menyandarkan diri ke kursi depot yang keras itu sambil memandang Kaela heran. Sore itu akhirnya mereka berdua bisa berada di tempat biasa, Kaela memesan Green Tea dan dia memesan Kopi. Ini benar-benar hari yang membahagiakan sampai Briptu Yohanes menceritakan pengalamannya saat bertemu Astri dan Kaela mulai berubah menjadi monster yang mencercaya dengan berbagai pertanyaan.
 “Bagian mana yang tidak kamu mengerti dari pembicaraan kita malam itu?!” tanya Kaela galak “Kamu tau kan kalau dia….. Uum.. berbahaya.” Ujarnya, meski dengan sedikit ragu.
Briptu Yohanes hanya diam, kalau sudah begini membiarkan gadis itu menyelesaikan semua argumennya adalah hal yang paling bijak.
“Mungkin kamu simpati dengan Astri, tapi bukan berarti kita harus selalu berhubungan dengan gadis itu. Aku juga kasian dengannya, tapi kalau kamu meminta aku harus sekantor dengan dia?! Entahlah!”
“Ok, aku minta maaf kalau kamu menganggap aku membahayakan kamu. Tapi bagaimanapun juga Astri layak mendapat kesempatan kedua. Dia tinggal sendirian La, dan sulit baginya mencari kerja dengan situasi seperti ini.”
Briptu Yohanes menyambung lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan dan dalam “Tolonglah.”
Namun Kaela menggeleng pelan, sambil menatap ke keramaian jalan dia berkata “Tolong juga Nes, jangan memaksa aku. Mungkin kamu berpikir aku jahat, tapi serius, ini bukan perkara menolong anak umur 5 tahun mengambil layangannya yang nyangkut di pohon.”
Tsk, gadis ini masih tetap Kaela yang keras kepala. Pikirnya sambil berpaling, reaksi Kaela menandakan bahwa tidak ada yang bisa dibahas lagi dari pembicaraan ini. Maka keduanyapun tenggelan dalam kesunyian larut dalam argumennya masing-masing.
Tring! Terdengar bunyi SMS memecah keheningan, Briptu Yohanes memeriksa layar HP. Senyumnya mengembang lalu dengan semangat dipencetnya sederetan nomor lalu terdengar sautan diseberang, seorang gadis. 
“Halo, iya. berita baik. Aku baru saja mendapat kabar kalau kantornya temanku sedang membutuhkan sekretaris. Ya. benar. Apa? Tak masalah, mungkin aku bisa membawakan CVmu. Yea.. sekitar jam 8 malam ini kalau begitu. Bye”
“Aku pulang.” Kaela menggeser kursinya dan bergerak kearah kasir.
Kaget dengan reaksi Kaela yang tiba-tiba Briptu Yohanes hanya bisa terdiam. Ada yang salah ya? kalau Astri mendapat kerja segera, bukankah itu melegakan bagi Kaela? Berarti kasus terpecahkan. Batinnya.
***
“Aku sangat berterimakasih, tapi mungkin.. memang aku harus mencari pekerjaan yang lain..” Astri berkata pelan sambil menatap Briptu Yohanes.
Lamaran kerjaan itu gagal, meski hal itu belum diutarakan langsung oleh si empunya tempat kerja, tapi hal itu sudah tercermin jelas di raut mukanya saat dia melihat surat keterangan perbuatan baik Astri.
“Yang semangat ya, akan kucoba bantu kok.” kata Briptu Yohanes pelan, entah kenapa dia juga agak tidak yakin dengan statementnya sendiri. “Kamu tidak apa-apa kan?”tanya Briptu Yohanes setelah melihat wajah Astri yang lesu.
“Ya.. hanya saja kadang aku merasa ada yang salah dengan diriku. Entah kenapa…”
Gadis itu betul-betul seperti kelinci kecil yang ketakutan di pojok ruang, begitu lemah dan butuh perlindungan. Tak tau apa yang merasuki Briptu Yohanes, namun sebelum dia bisa menyadari apa yang dialakukan direngkuhnya gadis itu kedalam dekapannya, tercium aroma lembut shampoo yang dipakai Astri dan lembutnya kulit gadis itu. Sejenak, seakan udara hangat mengalir lembut disekitar mereka.
0 notes
syke-tan-blog · 12 years
Quote
It is loneliness that makes the loudest noise. -Eric Hoffer
0 notes