Tumgik
#16haktp
riaunews · 2 years
Text
Peringatan 16HAKtP, Kampanye Parsial Tuntaskan Penindasan Perempuan
Peringatan 16HAKtP, Kampanye Parsial Tuntaskan Penindasan Perempuan
Zultianita Febri Nasution, S.Psi Oleh : Zultianita Febri Nasution, S.Psi SETIAP bulan November digelar peringatan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP), pada tanggal 25 November – 10 Desember. Namun kekerasan terhadap perempuan masih saja terus terjadi, bahkan ketika UU TPKS sudah disahkan malah tidak membawa dampak baik yang signifikan. Ini menjadikan kampanye ini hanya…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
scatteredumbass · 4 years
Text
Cuma
Susah - susah aku merangkak, merayap, memanjat keluar dari lubang 
Lecet sudah berdarah pula sejujur badan
Lalu hempas kembali sebab sebuah kata ‘cuma’
‘Ah, kan mereka cuma bercanda’
Jakarta, 15 Desember 2020
-scatteredumbass
All copyrights owned by the owner of this account (scatteredumbass). No infringement allowed. Any infringement of this poem will be deemed as an unlawful act under Indonesian Law.
3 notes · View notes
zoyaamirin · 3 years
Photo
Tumblr media
#Repost @rutgers.id Setiap tahunnya, dari tanggal 25 November - 10 Desember dunia memperingati sebagai 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau #16HAKTP⁣ ⁣ Apa sih #16HAKTP itu? Yuk, simak penjelasan berikut⁣ ⁣ #16daysofactivism https://www.instagram.com/p/CW0053Mv1L5/?utm_medium=tumblr
0 notes
pcchrinstitut · 4 years
Photo
Tumblr media
Kawan-kawan kita tahu bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua hingga saat ini masih belum di lakukan dan ditanggapi secara serius oleh pemerintah pusat. Untuk itu dalam rangka memperingati peristiwa Abepura Berdarah & Paniai Berdarah kami melakukan pemutaran film serta diskusi yg diselenggarakan oleh BUK (Bersatu untuk Keadilan) dan Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua Tgl 08-12-2020 ============ #16HAKTP #Kampanye16hariantikekerasanterhadapperempuan #perempuanbersatu #perempuanbergerak #kampanye16hariperempuanpapua #perempuanbantuperempuan #perempuanmerdeka #PapuaLivesMatter #PerempuanPapuaBergerak #perempuanbergerakselamatkanmanusiapapua #PerempuanPapuaBicara #melawanlupa #tarikmiliterdaripapua #PapuaBukanTanahKosong https://www.instagram.com/p/CIj0iRcgzIb/?igshid=q560nl3ox3ia
0 notes
rachmipuspa · 4 years
Text
16 Days of Activism—
16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Slice of strongly empowered poem— titled Masa, Rasa, Asa by N. A. which captured from Magdalene (www.magdalene.co) 💐
Tumblr media
0 notes
kakayunita · 4 years
Video
undefined
tumblr
16RUPA dalam Sinéma
coming soon to your screen segera hadir di layar kaca kamu mangga intip sedikit isinya 16RUPA dalam Sinéma yang akan rilis sepanjang 25 Nov-10 Des 2020 😬
Youtube: https://youtu.be/2-3l1aND4x4
0 notes
rubyastari · 7 years
Text
“WHO IS HE?”
His eyes were so cold, looking at me.
"You don’t know who I am, do you?"
Fearfully I shook my head. My mind went spinning so fast, trying to remember his face ...
- // -
“What the hell is this?!”
Alan and Belinda giggled when they saw me staring at my laptop screen. There, my profile and details on a ... dating site.
God, this is really not funny!
“Sorry, El,” Belinda said timidly, realizing how angry I was. She nudged Alan, who somehow still had the nerve to grin. "It's his idea."
“Hey, you suggested that website,” Alan quickly defended himself. His face looked annoyed. "Our intention is to help Elma find a mate, right?"
“BUT THIS IS NOT THE WAY!” I snapped, which successfully made two creatures in front of me wince. I glanced at my laptop screen. "Now delete my account.I don’t care how! I’ve never recalled registering myself to this site and I can’t believe you did this to me. This is a violation to my privacy!”
“Uh, yeah...sorry.” Alan was about to touch my laptop when I slapped his hand away.
“Use your own!” I ordered roughly. “If that profile still exists in an hour, both of you’d better watch out!”
Without making a fuss, the two who were supposed to be my best friends rushed back to their respective cubicles.
Okay, I know they meant well. According to them, I have been single for a very long time. (Way too long, according to them.) I’m not even interested in dating sites. I’m afraid that I might come across weirdos. You know, the kind that seems perfect online, until you meet them face to face…eeww…
Sometimes Indonesians are too nosy for their own good. Okay, perhaps they’re happy because they have someone special or a partner. But that doesn’t mean the single ones always suffer, right? I can find someone my own when I want to. If they’d had good intentions, then at least they should’ve asked me first before creating that dreadful profile of mine on that dating site. Ugh…
When I checked that website again, my name and picture were gone. Good. Now I feel much better…
— // —
Okay, whose number is this? Why does it keep giving me missed calls on my Whatsapp and asking me to meet up?
I don’t feel I’m that popular, so I chose to ignore it. But hey, why were these messages becoming more impolite and rude?
“You don’t know who I am, do you?”
“How could you forget after we have chatted for so many times?”
“What’s the matter? I’m not good enough for you?”
Grrrh! I didn’t feel like dealing with this, so I approached Alan and Belinda. I angrily showed them my phone.
“I suspect this is from that darn website,” I went straight on. Yes, I was still cross with them. “I don’t care how, you explain to this person so they won’t bug me anymore. This is sickening, you know?”
“I’ll do it.” Alan relented. He called the number. He looked apologetic as he was explaining to them about this misunderstanding. Well, let him have it. I waited, seeing Alan nod and apologise.
At last…
“Done, El,” he said softly. “He’ll leave you alone.”
“Good.” I turned around and left without giving any of them another chance to speak. Even after Alan had told me that the person was aware, I still blocked the number – just in case.
— // —
Maybe I was too nonchalant, because I’d never felt I was that popular. My privacy is my privacy
That was why I was startled when he blocked my path that night.
“You don’t know who I am, do you?”
Could it be…
Too late. The acid was splashed to my face.
 R.
1 note · View note
tjokorbagoes · 7 years
Photo
Tumblr media
Proud when i'm reading poem at opening night @enambelasffest Bali. After feeling slumped some time ago. Slowly, I have found a way to continue the story of this life. I am stronger than I ever imagined. 💋💪💘 #queen #of #queer #nusantara #GerakBersama #HapusKekerasanSeksual #EnamBelasFFest #MeToo #EndThis #MulaiBicara #EnamBelasFFestBali #16HAKTP #16DaysOfActivism #16DaysOfActivismGenderBasedViolence #LBHBali #BantuanHukumStruktural #HumanRights #HakAsasiManusia #StopKekerasan #StopKDRT #KesetaraanGender #IndonesiaFeminis (at Uma Seminyak)
0 notes
rullzmika · 7 years
Photo
Tumblr media
Sadar tidak sadar, kekerasan berbasis gender dan seksualitas ada dimana-dimana. Bahkan di lingkungan terdekat kita. Saya yang waktu kecil pernah menjadi saksi kekerasan itu terjadi. Dimana tetangga saya yang menjadi korban diancam oleh pelaku, merasa tertekan, tidak berani bertindak untuk meminta tolong kepada orang sekitar, bahkan keluarganya pun menganggap itu bukan hal penting dan angin lalu. Oleh karena itu saya mendukung @enambelasffest, karena salah satu pendekatan informasi melalui film dan diskusi adalah salah satu cara agar masyarakat lebih terbuka dan informasi yang didapatkan akan lebih tersampaikan. Saya mengajak teman-teman untuk berpartisipasi 🙂 #enambelasffest #GerakBersama #HapusKekerasanSeksual #EndThis #MeeToo #stopsexualviolence #16HAKTP #16HAKTP17 #16daysofactivism #16daysofactivismagainstgenderbasedviolence #16daysofactivism2017 #infoscreening
0 notes
vanyaviranda · 7 years
Text
Apa Yang Tidak Disiarkan di Balik Frekuensi
Sebuah Ulasan Film & Isu Terkait dalam rangka kampanye #16HAKTP
Tumblr media
“Kini kita bisa mendapatkan informasi, mengetahui apa yg terjadi
Tiada lagi batas, semua kini terbagi, terdistribusi melalui frekuensi
Di udara frekuensi-frekuensi menjalar menyebar,
membuat kita menjadi satu dalam dunia”
Sebuah prolog menyambut penonton pada film dokumenter “Di Balik Frekuensi” (2013) karya sutradara Ucu Agustin. Film ini menawarkan sisi lain industri media, bagaimana media menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya serta kaitannya dengan pemilik modal. Industri televisi yang lekat dengan image dunia kreatif ini digerakkan oleh ribuan karyawan yang memproduksi program untuk kemudian “ditawarkan” kepada publik. Frekuensi telah membuat siaran informasi menjadi begitu deras, hingga memperkuat posisi publik sebagai konsumen pasif yang terus menyerap informasi tanpa punya kesempatan banyak untuk bersikap kritis. Fasilitas pojok aduan yang tersedia di situs Komisi Penyiaran Indonesia (kpi.go.id) sepertinya tidak menjamin fungsinya dapat menjadi wadah kritik konstruktif bagi kinerja lembaga pengawasan ataupun media itu sendiri.
Lepas empat tahun rilisnya, film ini kembali diputar pada hari ke-10 Enam Belas Film Festival (5/12/2017) di Paviliun 28, Jakarta. Enam Belas Film Festival bertujuan mengkampanyekan penghapusan kekerasan dalam berbagai bentuk terhadap perempuan. Sosok sentral dalam film ini, mantan jurnalis Metro TV, Luviana, menjadi keterwakilan perempuan dalam melawan kekerasan ekonomi yang kerap terjadi di korporasi. Perjuangan Luviana merupakan refleksi semangat yang patut dimiliki oleh tiap pejuang hak, khususnya sesama perempuan.
Luviana, yang akrab disapa Luvi, menjadi jurnalis Metro TV selama hampir sepuluh tahun. Saat menjabat sebagai Assistant News Producer, Luvi merasa resah dengan pemberitaan Metro TV yang dianggap semakin mengikuti agenda politik pemilik perusahaan. Saat itu, Surya Paloh selaku pemilik sedang gencar mendirikan partai demi kontestasi politik. Luvi juga menuntut haknya untuk mendirikan serikat pekerja dan mendapatkan kesejahteraan yang layak dari perusahaan. Di luar sana, tuntutan kepantasan upah menjadi agenda perjuangan nasib rekan-rekan pers setiap tahun. Beberapa waktu yang lalu media online Kumparan merilis daftar gaji jurnalis (sumber: https://kumparan.com/@kumparannews/daftar-gaji-wartawan-di-jakarta-2016) dimana sejumlah media masih menerapkan upah dibawah Upah Minimum Regional (UMR) kepada pekerjanya.
Tumblr media
Nafas perjuangan Luvi sangat dekat dengan kita yang sampai hari ini masih menerima upah dari perusahaan, apapun profesi yang kita geluti. Perjuangan Luvi membuatnya harus menghapi risiko, yaitu ia dipindahkan dari posisi jurnalis menjadi staff HRD, atau dengan kata lain Luvi di-‘non job’-kan, istilah yang sering ia sebut-sebut. Luvi juga mengalami intimidasi, mulai dari dilarang mendatangi gedung newsroom tempat ia bekerja sebelumnya, hingga ditahan gajinya selama beberapa bulan. Cuplikan-cuplikan negosiasi alot antara Luvi dengan Metro TV seolah menunjukkan arogansi perusahaan yang abai terhadap kritik serta kewajiban pemenuhan hak-hak pekerjanya. Ucu Agustin dengan apik menyajikan babak perjuangan advokasi Luvi dengan runut, mulai dari negosiasi internal Luvi dengan Metro TV, orasi-orasi Luvi yang didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), hingga audiensi dengan pemilik Metro TV, Surya Paloh. Dokumenter ini hadir dengan begitu jujur, menyajikan perjalanan Luviana dengan utuh.
Dokumenter ini juga menampilkan kehidupan personal Luvi sebagai seorang istri dan ibu. Sebagai perempuan yang berjuang untuk pemenuhan kebutuhan finansial keluarga, tuntutan utamanya untuk tetap bekerja sebagai jurnalis di Metro TV tidak dikabulkan. Luvi di-PHK oleh Metro TV, dan tidak pernah kembali bergabung di sana. Hadirnya film ini sebagai upaya advokasi alternatif baik bagi keadilan kasus Luvi maupun pendorong perubahan sistem dan kualitas media sepertinya belum menuai hasil signifikan sejak film ini rilis. Hadir pada sesi diskusi pasca pemutaran film kemarin, Luvi berbicara di hadapan pengunjung festival. “Jika berbicara kemenangan, mungkin kelihatannya saya tidak dapat apa-apa. Namun kemenangan itu pasti ada, kemenangan-kemenangan kecil seperti ini perlu dirayakan, dimana film ini masih terus diputar dan dibicarakan di kalangan masyarakat.” ungkap Luvi.
Hari ini, Luvi masih konsisten berkarya di media dengan mendirikan media online alternatif konde.co yang berangkat dari semangat melawan diskriminasi, marjinalisasi, serta stigma negatif terhadap perempuan dan masyarakat marjinal. “Saya optimis (industri) media di Indonesia akan terus berkembang kedepannya. Media yang baik ialah media yang bersuara untuk publik” ucap Luvi.
Selain persoalan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi pada relasi antar pemilik modal dan pekerja yang dialami Luvi, persoalan penyalahgunaan fungsi media untuk mendukung kepentingan pemilik modal juga hadir. Satu dekade lalu, kasus menyemburnya lumpur di Sidoarjo menyebabkan puluhan ribu rumah tenggelam lumpur dan puluhan ribu jiwa harus mengungsi dari desa. Kasus ini menyeret nama Aburizal Bakrie sebagai pemilik PT Lapindo Brantas yang melakukan kegiatan pengeboran. Aksi heroik pernah dilakukan seorang warga Porong, Hari Suwandi yang melakukan jalan kaki Porong – Jakarta sepanjang hampir 900 KM sebagai bentuk penuntutan ganti rugi bagi warga kepada pemerintah dan PT Lapindo Brantas. Namun Hari pun harus menekan pedal gas dalam-dalam. Sebuah ending perlawanan yang antiklimaks saat TV One menayangkan permintaan maaf Hari yang mengaku menyesali aksinya karena telah turut mencemarkan nama baik Aburizal Bakrie, yang saat itu tengah berupaya menjadi calon presiden dari Partai Golkar. Ini hanya satu dari contoh kasat mata lainnya, seperti iklan kampanye partai (pemilik perusahaan) yang sering beredar di stasiun TV milik mereka.
Film ini masih sangat relevan dengan kondisi media hari ini, dimana media kerap menutupi kebenaran atau justru mengungkap kekeliruan yang keduanya bermanfaat bagi kepentingan pemilik modal dan kelompok yang berafiliasi dengannya. Ada paparan data menarik yang disampaikan dalam film, bahwa kepemilikkan ratusan media di Indonesia berasal dari dua belas nama pengusaha saja. Contohnya, Hari Tanoesoedibjo dengan MNC dan RCTI, Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia, dan Aburizal Bakrie dengan TV ONE dan Viva News. Meskipun UU. No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menyampaikan kepemilikkan lembaga penyiaran swasta oleh satu pihak harus dibatasi, kenyataannya praktik ini terus berjalan. Publik pun dapat memilih untuk bersikap permisif dengan fakta yang kontradiktif ini selama media-media tersebut tetap menjaga netralitas dan mengedepankan manfaat bagi publik. Namun kenyataannya, benarkah demikian?
Selain dua persoalan yang diusung film ini, ada satu karakteristik media yang juga menggetirkan. Pemberitaan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan menjadi tren yang semakin naik demi mengundang perhatian publik. Masih lekat di benak, bagaimana media berlomba-lomba mengekspos profil perempuan yang menjadi korban persekusi penelanjangan di Cikupa karena dianggap melakukan hubungan seks diluar pernikahan. Profil korban laki-laki cenderung lebih diabaikan. Namun, bukanlah persoalan keadilan pengeksposan antara kedua gender biologis semata yang perlu digaris-bawahi. Yang patut dikritisi adalah bagaimana sejumlah media masih amat terobsesi terhadap sosok perempuan, khususnya tubuhnya, sebagai objek yang terus dibicarakan, disorot, dan diukur-ukur nilainya, alih-alih sebagai manusia. Sejumlah pemberitaan seakan tidak punya nurani dengan abai terhadap posisi perempuan tersebut sebagai korban, seraya terus mengekspos privasi korban sebagai magnet berita.
Kehadiran film produksi Cipta Karya Bersama ini menjadi penting agar publik menyadari dua hal: Pertama, agar para pekerja khususnya perempuan memiliki keberanian untuk memperjuangkan haknya dimanapun mereka bekerja. Kedua, agar publik mampu bersikap kritis dan mengawal indepensi media. Namun budaya kritis publik perlu terarah agar tidak menjadi gaung protes yang subjektif. Di tengah polarisasi politik, publik dengan cepat menuding keberpihakkan media terhadap satu kubu politik apabila media tersebut tengah memberitakan berita yang negatif atau tidak menguntungkan figur politik pilihannya. Padahal, salah satu upaya sederhana yang bisa kita lakukan, adalah membandingkan berita dari sumber yang beragam dan membuat kesimpulan seobjektif mungkin. Kekecewaan kita terhadap media seharusnya tidak membuat kita berhenti mengakses informasi. Media disebut-sebut sebagai pilar ke-empat dalam demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keberadaannya tetap dan akan selalu penting untuk membantu mengontrol kebijakan pemerintah dan mengabarkan informasi kepada peradaban.
7 notes · View notes
zoyaamirin · 3 years
Photo
Tumblr media
#REPOST @projectm_org Mengawali 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Project Multatuli menghadirkan satu reportase tentang satu fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan itu nyata. Kisah dari Jombang, Jawa Timur. Melati, yang menjadi korban pemerkosaan dan korban sistem yang tak berpihak padanya. Ilustrasi: Herra Frimawati 📷: Alex Sastro #PendidikanSeksual #16HAKTP #YaAkuBakalDibaca ——————————————- ZoyaAmirin Kepada @divisihumaspolri bagaimana kalau berdiskusi dengan @kpai_official @perkumpulan.samsara mengenai kehamilan anak ini, ada banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan demi kesehatan fisik & mental si anak dikemudian hari 😔 mohon pihak Kepolisian pertimbangkan banyak faktor dengan berdiskusi bersama keluarga & korban (yang akan menanggung hasil keputusan pihak kepolisian) dgn diskusi bersama pihak pihak terkait kondisi khusus ini. #sahkanRUUPKS https://www.instagram.com/p/CWuZyoevClc/?utm_medium=tumblr
0 notes
kakayunita · 4 years
Text
16RUPA dalam Sinéma
Tumblr media
16RUPA  merupakan karya seni dengan tujuan sebagai medium untuk merefleksikan diri. Karya ini dibuat oleh perempuan, didedikasikan kembali untuk perempuan sebagai kelompok sosial yang sering diasosiasikan dengan peran ganda. 16RUPA adalah realitas diri perempuan, bukan sebagai objek sosial namun manusia yang berakal budi, indah, dan setara. Di sini, perempuan berperan secara utuh untuk belajar mengenal dan menerima diri. Dalam pengkajiannya, karya ini melalui proses panjang dengan melihat dan mendengar suara perempuan terhadap tubuhnya sendiri atas standar kecantikan yang masih menjadi tren sosial. Standar kecantikan, kekerasan terhadap perempuan, dan asingnya topik pembahasan tentang tubuh perempuan karena dianggap suci sekaligus tabu, merupakan keresahan serta narasi lama yang tidak kunjung usai. Perempuan kerap diasosiasikan dengan ungkapan ‘emosional dan personal’. Di dalam bukunya (1989), seorang feminis dan tokoh filsafat asal Perancis, De Beauvoir menuliskan bahwa perempuan makhluk kedua yang tercipta secara kebetulan setelah laki-laki. Pernyataan ini kemudian menjadi dasar kehidupan sosial untuk mengatur tubuh perempuan dan menjadikan suara perempuan luput diperhitungkan dalam lingkup yang lebih luas.
Dalam konteks produksi karya seni, saat ini dunia karya seni masih didominasi oleh laki-laki dan sudut pandang patriarki. Seperti salah satunya yang dinarasikan oleh Agung Sukindra dalam karya seni lukisnya untuk tubuh perempuan. Eksistensi tubuh perempuan dalam setiap karya seni yang diciptakan oleh laki-laki sama dengan dukungan terhadap sistem patriarki yang mengkerdilkan suara perempuan atas tubuhnya. Di sisi lain yang berkaitan, tren konstruksi standar kecantikan dan kekerasan seksual tidak dilihat sebagai satu kesatuan. 16RUPA juga dihadirkan untuk mengangkat informasi terkait otonomi tubuh perempuan dan keragaman bentuknya. Karya ini sekaligus menjadi upaya menurunkan angka kekerasan seksual yang saat ini ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang tahun 2018-2019.
Penciptaan karya 16RUPA berbasis kerajinan tangan menggunakan bahan yang tersedia di rumah, membentuk  bentuk-bentuk yang tidak tabu untuk disajikan. Olahan tepung, minyak, lem, cuka dan pewarna buatan menjadi satu kesatuan yang akhirnya dapat merefleksikan keanekaragaman organ tubuh perempuan. Seiring berjalannya waktu, 16RUPA menjadi satu karya seni hidup yang diniatkan untuk terus berkembang oleh pembuat karya, sesuai dengan konteks keadaan perempuan pada masanya. Setelah sukses memberikan ruang refleksi dalam instalasi terbuka pada 16 HAKtP tahun 2019, 16RUPA memiliki kepentingan untuk dikembangkan dengan pelibatan narasi agama di dalamnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penolakan atas sikap permisif terhadap kasus kekerasan yang pernah dilakukan oleh tokoh agama di Indonesia, masih dilakukannya praktik sunat perempuan, dan semakin berkembangnya konstruksi standar kecantikan.
Sebagai upaya memberikan narasi lain berkembanganya pengetahuan tabu mengenai seksualitas dan pembuatan karya seniman laki-laki atas tubuh perempuan, perlu adanya pengembangan karya 16RUPA berbasis media. 16RUPA dalam Sinéma hadir sebagai upaya tersebut untuk menjadi medium refleksi bersama atas norma-norma yang mengkerdilkan suara perempuan atas tubuhnya. Upaya ini dilakukan oleh Ayunita (pekerja seni), Rizka (arsitek), dan Nadira (peneliti). 16RUPA dalam Sinéma didukung oleh APC (Association for Progressive Communications), yaitu jaringan organisasi masyarakat sipil yang fokus dalam pemberdayaan dan mendukung orang-orang yang bekerja untuk HAM, pembangunan, dan Perlindungan Lingkungan dengan memanfaatkan Teknologi Informasi digital.
0 notes
bersamaproject-blog · 8 years
Photo
Tumblr media
Happy World Human Rights Day! Finally, we come to the last day in our series of 16 episodes of #NyaliCewek. Ordinarily, Bersama Project highlights creative activists, such as musicians, artists, writers, and stage performers who capture the spirit of equality in their work. But on this particular day, we have elected to take a different path. We want to pay tribute to Yu Sukinah, a farmer and environmental warrior—a woman whom we very much admire for her courage and perseverance in protecting her homeland. It has been more than two years since the people of the Kendeng Mountains began struggling against a cement plant that will most assuredly cause environmental devastation and threaten their water source, livelihood, and children and grandchildren’s futures. One of the key figures behind the struggle is Sukinah.
Sukinah lived as a simple, but thriving farmer in the village Tegaldowo, Rembang, Central Java, until she heard about an initiative among her neighbors to halt the construction of a cement factory. She decided to join the struggle. In June 2014, she called a meeting to gather the women in her village in the middle of the night and formulate a plan of action. The next morning, the women set up a tent on the road leading to the location of the proposed cement plant, as a form of peaceful protest. Mothers from the village took turns on watch at the tent site. The tent is still standing to this day, and the struggle led by Kendeng residents continues.
For more than two years, Sukinah and the women of Kendeng have undertaken a number of actions to block the cement plant. They have engaged in lengthy legal battles, reconciliation efforts with plant representatives, traditional rituals, and dozens of forms of peaceful protest, including walking 150 kilometers from the village to the Governor's office and planting their bare feet in cement in front of the State Palace in Jakarta. Quite often, they have faced threats and violence from police. Last month, they clinched a significant victory, when the Supreme Court reached a verdict to revoke the cement factory’s operational permit. But recently, the Governor of Central Java, Ganjar Pranowo, extended a new license for construction of the plant to continue. ‘
Despite the many challenges and risks, Sukinah has led hundreds of people from Kendeng to build dialogue and organize a movement. But the struggle for Sukinah and the people of Kendeng continues. Sukinah’s courage exceeds the expression of “nyali,” guts. But she—they—cannot fight alone. We should all do what we can to raise national and international collective consciousness on land and resource rights among the women farmers of this nation.
4 notes · View notes
tjokorbagoes · 7 years
Video
Jangan lewatin hari ini! Tonton semua film2nya! YLBHI-LBH Bali mengundangmu ke petang pembukaan Enam Belas Film Festival Bali di Kebun @umaseminyak, kita akan berbincang-bincang mengenai penghapusan kekerasan berbasis gender, bernyanyi, open mic hingga pemutaran dua film pendek berjudul Angka Jadi Suara dan Lanang. Segera pastikan kehadiranmu ya dan hubungi Brenda (0895-3687-37708) untuk konfirmasi kehadiran, karena daya tampung venue terbatas lho! Setiap pemutaran Enam Belas Film Festival Bali terbuka untuk umum dengan donasi yang akan disumbangkan guna bantuan hukum untuk perempuan korban kekerasan. Bantuan ini akan disalurkan melalui YLBHI LBH Bali. Ikuti terus update kami di media sosial untuk judul, jadwal dan venue film lainnya. Ayo Gerak Bersama! #GerakBersama #HapusKekerasanSeksual #EnamBelasFFest #MeToo #EndThis #MulaiBicara #EnamBelasFFestBali #16HAKTP #16DaysOfActivism #16DaysOfActivismGenderBasedViolence #LBHBali #BantuanHukumStruktural #HumanRights #HakAsasiManusia #StopKekerasan #StopKDRT #KesetaraanGender #IndonesiaFeminis Diselenggarakan oleh: @lbh_bali Didukung oleh: @kisara_bali @aliansi1visi @gshrudayana Venue Partner: @umaseminyak @tamanbacakesiman @iramaindah @cushcushgallery Media Partner: @balebengong @info_badung @linibali @infopendidikanbali Radio Partner: #RRIPro1Denpasar @pro2fmdenpasar @cassanova102fmbali @dutafmbali Community Partner: @akberbali @balibeautyblogger @teaterkalangan @dutabahasaprovbali @littlecirclefoundation @iyoinlcbali @literasianakbangsa Official Merchandise: @starlightuniform (at Bali, Indonesia)
0 notes
husnulfauzia-blog · 8 years
Text
Sebuah cerita untuk #16HAKTP
Dalam rangka memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung dari tanggal 25 November-10 Desember, saya meberanikan diri untuk bercerita. Tema kali ini sepertinya terkait dengan pelecehan seksual, tema yang membutuhkan usaha besar untuk diungkap mengingat stigma yang berkembang di Indonesia terkait para korban pelecehan seksual. 
Kejadiannya sudah lama sekali, saya masih kelas 1 SD di sebuah pesantren ternama di Jawa Timur.  Saat itu kelas hampir berakhir, dan kita berdoa sambil berdiri. Karena saya kebelet  dan kesulitan menahan pipis akhirnya saya beranikan bilang ke bapak wali kelas. Selanjutnya wali kelas mengajak saya ke kamar mandi, saya dicebokin dan seluruh muka saya diciumi. Dia tanya apa saya senang, dan berpesan agar saya tidak memberi tau siapa-siapa. Waktu itu saya pikir wajar saja seperti halnya yang dilakukan orang tua pada umumnya. Sepulang sekolah, berita itu tersebar dan anak-anak yang lebih tua bertanya, apa benar saya diajak ke kamar mandi sama bapak tersebut. Saya mengiyakan dengan senang hati, karena merasa istimewa, disayang oleh salah satu guru. Tapi respon mereka  di luar perkiraan saya, mereka bergidik dan jijik. Saya pikir apa yang salah. 
Saat SMP saya baru faham apa yang dilakukan oleh bapak wali kelas adalah tindakan yang tidak sepantasnya. Saya merasa hina, kotor dan tidak berharga. Pemahaman itu menimbulkan perilaku lain, dimana saya kemudia menjalin hubungan sangat intim teman perempuan saya, dan menepis semua pikiran tentang dosa-dosa kaum luth karena saya merasa tubuh saya sudah terendam lumpur. Teman-teman membully, sekolah saya berantakan, dan saya merasa hanya hidup bersama pasangan saya. Saya tidak pernah menceritakan kisah ini pada siapapun termasuk pada orang tua, sampai hari ini. Ketika hari ini saya memutuskan untuk bercerita, saya ingin menyampaikan kepada  siapapun yang membaca tulisan ini, bahwa di tempat yang kalian anggap aman sekalipun, dimana nilai-nilai agama terpancang kuat, selalu ada peluang dimana anak-anak akan menjadi korban nafsu. Dampaknya jangka panjang, terutama ketika si anak terus berkutat pada ketakutannya dan tidak tau apa yang harus dilakukan. Orang tua saya sudah cukup aware, dengan mengharuskan saya bercerita pengalaman di dalam pesantren saat kunjungan yang berlangsung tiap sebulan sekali. Tapi itu tidak cukup melindungi saya. Saya merasa berada di dalam neraka ketika mereka memaksa saya untuk tetap tinggal di pesantren selama 13 tahun kemudian, karena mereka tidak mengerti yang saya rasakan, dan saya juga tidak kuasa untuk bercerita. 
Saat ini saya berusia 22 tahun, tapi saya tidak pernah selesai dengan semua itu. 
0 notes