Tumgik
#Anna Pusar
sunkentreasurecove · 7 years
Video
youtube
1 note · View note
hilman734 · 7 years
Photo
Tumblr media
AL-QUR'AN DAN SANG JENDERAL (diangkat dari kisah nyata) Suatu sore pada tahun 1525, penjara tempat orang tahanan terasa hening mencekam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yg terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah² ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yg fanatik ... itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara² Ayat Suci yang amat ia benci. "Hai ... hentikan suara jelekmu! Hentikan!!!" teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki² di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dg khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yg luasnya tak lebih sekadar cukup untuk 1 orang. Dg congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yg keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dg rokoknya yg menyala. Sungguh ajaib ... tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yg pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata kepatuhan pada sang algojo, bibir keringnya hanya berkata lirih, "Rabbi, wa-ana 'abduka." Tahanan lain yg menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz ... Insyaa Allah tempatmu di Syurga." Melihat kegigihan orang tua yg dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya. Ia perintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras² hingga terjerembab di lantai. "Hai orang tua busuk!! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yg berhubung dg agamamu!!" Sang Ustadz lalu berucap, "Sungguh ... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yg amat kucintai, Allah Subhanahu wa ta'ala ... Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yg amat bodoh." Baru saja kata² itu terhenti, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki² itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dg wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yg telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat². "Berikan buku itu, hai laki² dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yg kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustadz dg tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu laras berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari² tangan sang ustadz yg telah lemah. Suara gemeretak tulang yg patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki² bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yg terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yg telah hancur. Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yg membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yg telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung. "Ah ... sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini," suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama buku itu. Pemuda berumur tiga puluh tahunan itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan² "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol. Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yg telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yg dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yg dialaminya sewaktu masih kanak². Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak²nya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yg mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang² besi yg terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yg kencang, membuat pakaian muslimah yg dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup² pada tiang² salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib. Seorang bocah laki² mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yg telah senyap. Korban² kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yg terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi (ibu) yg sudah tak bernyawa, sembari menggayuti abayanya. Sang bocah berkata dg suara parau, "Ummi ... ummi ... mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa ....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi ..." Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi ... Abi ... Abi ..." Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam. "Hai ... siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi," jawab sang bocah memohon belas kasih. "Hah ... siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah ..." sang bocah kembali menjawab dg agak grogi. Tiba² "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah. "Hai bocah ...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yg bagus. Namamu sekarang 'Adolf Roberto' ... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yg jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki² itu. Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka. Roberto sadar dari renungannya yg panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yg melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi ... Abi ... Abi ..." Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dg masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yg ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yg dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bagian pusar. Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yg amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yg sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi ... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa ..." Hanya sebatas kata itu yg masih terekam dalam benaknya. Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yg membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yg tadi menyiksanya habis²an kini tengah memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yg telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu ..." terdengar suara Roberto memelas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dg buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah. Sang Abi dg susah payah masih bisa berucap, "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dg Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu." Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dg berbekal kalimah indah, "Asyhadu an-laa Ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasullullah ...'. Beliau pergi menemui Rabbnya dg tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yg fana ini. Kemudian.. Ahmad Izzah mendalami Islam dg sungguh² hingga akhirnya ia menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk Islam, sebagai ganti kekafiran yg di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru dengannya. Dialah ... "Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy". ----------------- Benarlah firman Allah ... "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS:30:30) Masya Allah... Semoga kisah ini dapat membuat hati kita luluh dengan hidayah Allah yang mudah-mudahan dapat masuk mengenai qolbu kita untuk tetap taat kepadaNya 😭🙏💚💚🕋👳😇 Aamiin ya mujibassailiin By Naga Samudera
0 notes
theravensphere-blog · 7 years
Text
Untuk Karenina
Ibuku pernah berkata. Kalau kamu ingin didengarkan, berceritalah. Bahkan ketika orang menolak untuk mendengarkanmu, berceritalah. Siapa tahu, ceritamu dilupakan.
Beberapa hari ini, aku bimbang. Apakah hal yang kulakukan benar atau tidak.
Semuanya menjadi perkara ketika aku berjalan meraih mic di atas panggung. Ini akan baik-baik saja, pikirku. Ini akan baik-baik saja.
Mataku menghampar pada puluhan, Tidak! Ratusan pasang mata yang menelanjangi diriku, penuh dengan kebencian. Aku bergidik penuh dengan kengerian. Seolah ini bukan panggung, tapi tiang pancung.
“Itu si Nilam, anak pelacur.” Bisik salah satu orangtua siswa.
Mereka membicarakan ibuku. Ibuku yang kotor. Ibuku yang penuh dengan dosa. Bahkan neraka pun tak sudi menampungnya. Sedangkan aku, berdiri disini menyaksikan semuanya. Mata mereka. Lidah mereka. Menyala liar! Persis seperti bara api di tungku.
Aku mencoba menguasai diriku.
Setidaknya, aku harus tetap bercerita disini sampai ceritaku selesai. Sampai aku benar-benar yakin, untuk apa aku berdiri disini.
Iya kan Bu?
***
“Anna Karenina memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan menabrakkan kepalanya ke rel kereta api. Tamat.” Ujar ibu sambil menutup cerita pengantar tidur.
AKH! Mengapa Leo Tolstoy selalu menawarkan akhir cerita yang mengecewakan? Seolah untuk ukuran seorang wanita, Anna tidak memiliki terlalu banyak pilihan. Sementara Vronskii, ia masih punya banyak pilihan untuk meniduri wanita lain.
Selera ibu memang payah! Tidak seperti ibu-ibu pada umumnya. Ibuku selalu menceritakan cerita yang suram. Jauh dari kata happy ending. Mungkin karena ibu ingin membebaskanku dari simulakra. Kata ibu, simulakra itu berbahaya. Makanya, ibu tidak ingin membesarkanku dengan dongeng. Ia takut ketika aku besar nanti, aku akan menuduhnya sebagai pembohong.
Kenyatannya, aku menjadi terasing. Aku tak sepaham dengan teman-teman seusiaku. Mereka bilang, aku tidak waras. Semenjak itu, aku diam-diam membaca buku Cinderella di balik selimut. Ketika aku ketahuan, Ibuku sangat marah. Ia menyita buku itu lalu melemparnya ke tong sampah.
“HIDUP ITU TAK SEINDAH DONGENG, NILAM!!!”
***
09/02/1998
Rutinitas itu selalu sama. Hanya pelanggan yang kulayani selalu berbeda. Tergantung tarif. Ada uang, ada barang.
Dini hari, aku terbangun dengan seorang lelaki di sampingku. Lelaki itu mendengkur begitu keras. Sangkin kerasnya, aku terlontar dari mimpi.
SIAL! Aku membersihkan cairan lengket di daerah selangkangan. Kemudian pergi mengenakan piama dari dalam kamar mandi.
Pandanganku tertumbuk pada bayang-bayang Laras di depan cermin. Laras? Siapa Laras? Laras sudah mati. Sekarang aku adalah Rangda. Nama panggung untuk semua ‘simpang lampu merah’ yang pernah kusinggahi.
***
10/02/1998
Aku menghisap sebatang rokok sambil menyeruput secangkir kopi. Sehitam dan sekelam kehidupan kota yang bejat ini. Sambil menakar-nakar, seberapa hina diriku ini.
“Lucky Strike?” terka James. Pelangganku semalam.
Aku mengangguk ringan. Lalu berbagi rokok dengannya. Ah. Ternyata seleraku begitu murahan.
Pelan-pelan, aku melingkarkan tanganku di bahu James. Mencari tempat bersandar. Kami pun kembali berkelindan mesra dan bercumbu. Seolah kami tidak mengenal usia.
“Oh James, apakah masih ada tempat untukku di surga?” Bisikku sambil berpacu.
“Tidak, Rangda. Tidak untukmu sayang.” James menurunkan jangkarnya lebih dalam.
“TERKUTUKLAH AKU!!!”
***
Teh Chamomile. Teh kesukaanku. The kesukaan ayah. Teh kesukaan kami berdua.
Sore itu, aku menyeduh dua cangkir teh Chamomile, satu untukku, satu untuk ayah.
Aku sengaja menata cangkir teh di atas meja tamu supaya ketika ayah pulang, dia langsung bersandar di sofa dan bercengkrama denganku. Sayang, rencanaku gagal total. Ayah pulang dengan membanting pintu. Matanya tampak berkilat-kilat. Entah mengapa, perasaanku jadi tidak enak.
“LARAS!!!” Teriaknya kencang. Ibu turun dari tangga dengan tergopoh-gopoh.
Seperti biasa, ia menyambut ayah dengan ramah. Namun tiba-tiba, tangan ayah mendarat di pipinya. Ibu sampai jatuh tak berdaya di atas lantai. Sudut bibirnya berdarah.
“DASAR WANITA JALANG!!!”
Ia merogoh secarik dokumen dari dalam tas lalu membantingnya di atas meja. Di atas amplop cokelat itu tertulis, HASIL TES DNA. Ibu meraih dokumen itu dan membaca isinya. Seketika, air mukanya berubah. Apa yang terjadi Ibu? Katakan sesuatu!
Ayah langsung mengusir kami dari rumah. Ia membiarkan kami pergi tanpa membawa apapun. Kami terlantar. Menggelandang. Kelaparan. Dengan sedikit daya yang tersisa, kami berusaha mencari suaka.
***
11/02/1998
Aroma whisky begitu kental di tubuhku. Mungkin aku meminumnya terlalu banyak.
Kubiarkan seluruh badanku tenggelam di bak mandi supaya Nilam tidak mengikuti jejak yang sama. Ia masih terlalu muda. Tentu, ia juga akan sangat membenci ibunya kalau ia sampai tahu aku melayani pelanggan setiap malam.
Ini semua salah Louis. Dia yang menantangku minum duluan. Kepalaku sampai tenggen dibuatnya. Alih-alih untuk mengusir rasa kantuk, kami pun lanjut main kartu truf sampai larut malam. Seraya bermain, Louis mengajakku ngobrol.
“Kau mau jadi istriku?”
“Jangan bodoh. Kau tak mungkin menjinakkan kuda yang liar.”
“Karena itu Sugriwa mencampakkanmu?”
Aku terdiam.
***
Aku tak pernah berhenti bertanya. Siapa ayahku? Apakah dia tampan? Apakah dia pemberani?
Ibu selalu menampik pertanyaan itu. Seperti borok yang tak ingin ia korek.
Mungkin itu adalah sebuah isyarat. Isyarat bahwa ayahku adalah sosok yang tak patut aku singgung. Lantas, aku berpikir, apakah ayahku adalah seorang penjahat? Kalau ayahku adalah seorang penjahat, penjahat seperti apa dia?
Seperti membuka kotak pandora, aku menemukan ayah di catatan harian ibu. Terjepit diantara dua buku angkuh, buku itu sama sekali tidak berniat untuk ditemukan. Dan mungkin, sudah hangus terbakar atau raib entah kemana.
***
12/02/1998
Nilam sekarang tahu. Ayahnya yang hilang adalah anggota dari Partai Merah. Namanya, Mahesa. Aktivis pembela kaum proletar yang sengaja dihilangkan dan ditembak mati di tengah hutan. Malam itu, aku mengejar Mahesa yang diculik paksa dari kediamannya. Ia digiring ke jantung hutan seperti laiknya pesakitan. Sebelum aku sempat menyelamatkan Mahesa, timah panas itu sudah terlanjur melubangi batok kepalanya. Nilam berontak keras di dalam rahimku. Keranda kematian itu barusan saja melewati ayahnya. Aku pun hanya bisa menjadi saksi bisu di balik eksekusi keji itu.
Benar, aku melanggar sumpah pernikahan yang tidak kuinginkan. Aku mengkhianati Sugriwa. Sekaligus membiarkan rumah tangga kami kandas ditalak tiga. Jujur saja, aku memang tidak mencintainya. Dia hanya mampu membeli keperawananku dengan mas kawin. Sisanya, dia lebih sering mampir ke simpang lampu merah.
Semenjak ia pisah ranjang dengan istri barunya, aku pun beralih menjadi pelanggan tetapnya. Sambil menenggak seloki Vodka, dia bilang, dia masih mencintaiku. Dasar munafik! Bilang saja kalau kau rindu selangkanganku. Besok harinya, aku temukan ia tergantung di hadapanku. “Mungkin, ini obsesi terakhirnya”, gumamku sambil menyekar di atas pusaranya.
***
13/02/1998
Terkadang, aku begitu benci menjadi seorang wanita. Wanita memang dasarnya pelacur. Dan cinta hanyalah satu dari berbagai alasan wanita itu dilacurkan.
Menjadi wanita adalah azab bawaan lahir. Seperti Hawa yang menyebabkan Adam terusir dari Firdaus. Atau seperti Helene yang menyebabkan kejatuhan Troya. Dan aku tahu, betapa menyedihkannya hal itu.
Masalah di bawah pusar itu pun sudah jadi adat yang membumi. Tidak lagi hal yang tabu untuk dibicarakan. Bahkan adat pun membenarkan. Liang wanita adalah hal yang ‘manusiawi’. Tanpanya, tidak akan beroleh keturunan. Tapi lagi-lagi, aku benci ditindih. Sampai aku bertanya-tanya. Mana kebebasanku?! Apakah aku bisa keluar dari siklus hidup wanita yang menyedihkan ini? Entahlah.
***
Ceritaku selesai. Tidak ada yang tepuk tangan.
Sambil tertunduk lesu, aku menuruni tangga. Aku gagal membela ibuku di depan massa. Mungkin ceritaku hanya sekadar isapan jempol. Tentang ayahku yang menghilang secara misterius dan tentang ibuku yang terpaksa menjadi pelacur untuk menyekolahkanku. Sama sekali tidak menarik simpati.
Tiba-tiba saja, terdengar suara tepuk tangan dari bangku kosong itu. Bangku kosong yang sengaja disediakan untuk ibuku yang tak akan pernah lagi bisa datang melihatku hari ini. Semalam, ku tengok ibuku begitu khusyuk tertidur di dalam genangan bak mandi yang bewarna merah.
Aku rasa, mungkin dia bisa pergi dengan tenang sekarang.
0 notes