Tumgik
#Bengkel Menulis Sastra
bantennewscoid-blog · 5 months
Text
Jadi Wadah Penulis Muda di Untirta, Belistra Menggelar Harsa
SERANG – Bengkel Menulis dan Sastra (Belistra) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) mengadakan kegaitan “Harsa”. Harsa merupakan akronim dari Hari Lahir Belistra (Harlah) dan Kelas Menulis Belistra (Kalistra), pada April 2024. Wakil ketua umum UKM Belistra, Rusti Lisnawati mengatakan, Harlah ini merupakan acara yang diselenggarakan setiap…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
lutfiarifin · 7 years
Text
Gabriel Garcia Marques berjumpa Ernest Hemingway
Esai Gabriel Garcia Marques
1981
Aku langsung mengenali dia, yang lewat bersama istrinya, Mary Welsh di jalan raya depan St. Michel di Paris pada suatu hari penghujan di musim semi 1957. Dia berjalan di sisi seberang jalan, ke arah taman Luxembourg, mengenakan pasangan celana koboi dan kemeja kotak-kotak dengan topi pemain bola. Satu-satunya benda yang sepertinya bukan miliknya adalah sepasang kacamata mungil dan bulat yang berbingkai logam, yang membuatnya tampak seperti kakek-kakek terlalu dini. Dia baru berumur 59, badannya begitu besar dan hampir selalu terlihat, namun dia tidak memberi kesan kekuatan brutal yang tak perlu diragukan lagi begitu dia dambakan, karena pinggulnya sempit dan kakinya terlihat sedikit kurus di atas sepatu kasar seperti milik seorang penebang kayu. Dia terlihat begitu nyata di tengah kios buku bekas dan di antara kerumunan anak-anak muda dari Sorbonne sehingga tidak mungkin membayangkan dia hanya memliki empat tahun lagi untuk hidup.
Selama sepersekian detik, seperti yang selalu terjadi, aku menemukan diriku telah terbagi dalam dua peran yang saling berhadapan. Aku tidak tahu apakah akan memintanya untuk sebuah wawancara atau menyeberangi jalan untuk menyampaikan seluruh kekagumanku kepadanya. Namun dengan kedua rencana tersebut, aku merasakan ketidaknyamanan yang sama besar. Pada saat itu, aku berbicara dengan bahasa inggris yang masih cacat seperti yang masih aku gunakan untuk berbicara hingga kini, dan aku tidak begitu yakin dengan bahasa spanyolnya yang ala petarung banteng. Sehingga aku memilih untuk tidak melakukan hal yang bisa merusak momen tersebut, dan sebagai gantinya, menangkupkan kedua tangan ke mulutku, seperti Tarzan di hutan, berteriak ke sisi seberang jalan: “Maaaeeestro!” Ernest Hemingway mengerti bahwa tidak mungkin ada master lain di antara kerumunan siswa itu, dan dia berbalik, mengangkat tangannya dan berteriak kepadaku dengan aksen Castilia yang begitu kekanak-kanakan, “Adiooos, amigo!” Itulah satu-satunya kesempatan aku bisa melihatnya secara langsung
Kala itu, aku adalah jurnalis koran berumur 28 tahun dengan novel yang sudah diterbitkan dan dengan sebuah penghargaan sastra di Colombia, namun aku malah terluntang-lantung dan tanpa arah di Paris. Guru besarku adalah dua novelis Amerika Utara yang tampak tidak memiliki kesamaan. Aku telah membaca semua yang telah mereka terbitkan hingga saat itu, tapi bukan sebagai bacaan pelengkap semata – lebih tepat sebaliknya, sebagai dua pemahaman sastra yang berbeda satu sama lain dan saling mengeksklusifkan diri. Salah satu dari mereka adalah William Faulkner, yang belum pernah aku lihat dan hanya bisa aku bayangkan sebagai petani dengan mengenakan kemeja berlengan sambil menggaruk lengannya di samping dua anjing putih kecil dalam potretnya yang terkenal, yang diambil oleh Cartier-Bresson. Yang lain adalah pria yang tadi baru saja muncul sekilas dan menyampaikan selamat tinggal kepadaku dari seberang jalan, meninggalkan kepadaku kesan bahwa sesuatu akan terjadi dalam hidupku, dan telah terjadi sepanjang waktu.
Aku tidak tahu siapa yang mengatakan novelis-novelis tersebut saling membaca novel yang lain hanya untuk menemukan bagaimana cara mereka menuliskannya. Aku percaya itu benar. Kita tidak pernah puas dengan rahasia yang tampak pada permukaan halaman: kita membalik buku itu untuk menemukan jahitannya. Dengan cara yang tidak mungkin dijelaskan, kita menyobek buku itu sampai ke bagian-bagian dasarnya kemudian menggabungkannya kembali setelah kita paham misteri jam kerja pribadinya. Usaha itu mengecewakan dalam buku-buku Faulkner, karena dia tampaknya tidak memiliki sistem penulisan yang organis, namun malah berjalan membabi buta melalui semesta bibelnya sendiri, seperti kawanan kambing yang dilepaskan dalam sebuah toko yang penuh dengan kristal. Mencoba membongkar salah satu halamannya, kita akan merasakan kesan musim semi dan sekrup-sekrup yang diabaikan, yang tidak mungkin lagi diletakkan kembali bersama-sama seperti keadaan aslinya. Hemingway sebaliknya, dengan inspirasi yang minim, tanpa hasrat dan kegilaan yang menggebu-gebu, namun dengan keindahan yang luar biasa, membiarkan sekrup-sekrup tadi sepenuhnya terbuka, seolah berada di atas sebuah kereta pengangkut barang. Mungkin untuk alasan itu Faulkner adalah penulis yang banyak berpengaruh terhadap jiwaku, tapi Hemingway adalah seseorang yang lebih banyak memengaruhi karya-karyaku – tidak hanya untuk bukunya, tapi untuk pengetahuannya yang sangat menakjubkan pada aspek keahlian dalam ilmu kepenulisan. Dalam wawancara bersejarahnya dengan George Plimpton di The Paris Review, (Hemingway) menunjukan untuk selama-lamanya – berlawanan dengan gagasan kreatifitas yang romantis – bahwa kesejahteraan ekonomi dan kesehatan yang terjaga merupakan syarat kondusif untuk menulis; bahwa salah satu kesulitan utamanya adalah mengatur kata dengan baik; bahwa ketika menulis menjadi begitu susah, ada baiknya untuk membaca buku sendiri, untuk mengingat kalau menulis itu memang akan selalu sulit; bahwa seseorang dapat menulis di mana saja asalkan tidak ada yang mengunjungi dan menelepon; dan tidak benar tentang jurnalisme dapat membuat karir seorang penulis berakhir, seperti yang sering dikatakan – sebaliknya, itu terjadi jika seseorang meninggalkan kegiatan menulis dalam waktu yang cukup lama. “Sekali menulis menjadi kegiatan utama dan kesenangan terbesar,” katanya, “hanya kematian yang dapat membuatnya berakhir.” Akhirnya, pelajaran utamanya adalah pendapat yang menjelaskan bahwa kerja(menulis) setiap hari seharusnya hanya terganggu ketika seorang penulis tahu di mana dia harus memulai lagi keesokan harinya. Aku tidak berpikir bahwa ada saran yang lebih bermanfaat yang pernah diberikan terkait perkara menulis. Hanya itu, tidak kurang, tidak lebih, obat mutlak untuk momok terburuk para penulis: penderitaan di pagi hari ketika menghadapi halaman yang kosong.
Seluruh karya Hemingway menunjukan semangatnya yang brilian namun berumur pendek. Dan itu dapat dimengerti. Ketegangan internal dalam dirinya, menaklukkan teknik dominansinya yang hebat, yang tidak dapat bertahan di antara beragam novel yang sangat banyak dan tidak tentu. Itu adalah alamnya, dan kesalahanya adalah mencoba melampaui batas keindahannya sendiri. Dan itulah alasan mengapa segala sesuatu yang berlebih-lebihan terlihat lebih menonjol pada dirinya dibandingkan pada penulis lain. Novelnya seperti cerita pendek yang tidak proporsional, yang mengandung terlalu banyak hal. Sebaliknya, hal terbaik dari cerita-ceritanya adalah karya-karya itu memberikan kesan tentang sesuatu yang hilang, dan inilah yang menciptakan misteri dan keindahannya. Jorge Luis Borges, seorang penulis besar pada masa kami, punya batas yang sama, namun merasa tidak perlu mencoba melewatinya.
Satu tembakan Francis Macomber pada seekor singa menunjukan banyak sekali pelajaran dalam hal berburu, namun juga sebagai kumpulan ilmu kepenulisan. Dalam salah satu ceritanya, Hemingway menuliskan bahwa seekor banteng dari Liria, setelah menyambar dada seorang matador, berubah seperti “seekor kucing yang berbelok di tikungan.” Aku percaya, dengan segala kerendahan hati, bahwa pengamatan itu adalah salah satu dari petikan inspirasi konyol yang hanya bisa datang dari penulis yang hebat. Karya Hemingway penuh dengan penemuan-penemuan yang begitu sederhana dan memesona, yang mengungkapkan titik saat dia menyusun definisinya terkait penulisan sastra: seperti sebuah gunung es, yang hanya dapat berdiri tegak di atas permukaan jika di bawahnya ditopang oleh tujuh perdelapan volumenya.
Kesadaran tentang teknik tersebut tidak dapat disangkal lagi adalah alasan Hemingway tidak dapat meraih kejayaan lewat novelnya, tapi dengan cerita pendeknya yang lebih disiplin. Berbicara tentang Untuk Siapa Bel Berdentang, dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki prasangka apa pun selama menyusun buku tersebut, namun menemukan jalan ceritanya setiap hari selama dia mengerjakannya. Dia tidak perlu mengatakan hal tersebut: itu sudah pasti. Sebaliknya, cerita-cerita pendeknya yang terinspirasi begitu saja juga tidak dapat disangkal lagi. Seperti tiga karya yang dia tulis pada suatu siang pada bulan Mei di tempat peristirahatannya di Madrid, saat sebuah badai salju memaksa pembatalan acara adu banteng pada festival San Isidro. Cerita-cerita tersebut, seperti yang dia katakan sendiri kepada George Plimpton, adalah Para Pembunuh, Sepuluh Indian, dan Hari ini Jumat, dan ketiganya adalah karya agung. Sepanjang lini tersebut, cerita yang kekuatannya paling padat menurut seleraku adalah salah satu cerita paling pendek yang pernah dia buat, Kucing dalam Hujan.
Meskipun demikian, bahkan jika karya berikut malah menjadi ejekan untuk nasibnya sendiri, bagiku itu adalah karyanya yang paling menawan dan manusiawi, yang juga yang paling tidak sukses: Menyeberangi Sungai dan Masuk ke dalam pepohonan. Karya ini adalah, seperti yang dia ungkapkan, sesuatu yang dimulai sebagai sebuah cerita dan nyasar ke dalam hutan bakau berupa sebuah novel. Sulit memahami begitu banyak celah dalam struktur dan begitu banyak kesalahan mekanisme sastra seperti seorang teknisi yang bijak – dan dialog yang terlalu dibuat-buat, di salah satu bengkel pandai emas paling cemerlang dalam sejarah surat-menyurat. Ketika buku tersebut dipublikasikan pada tahun 1950, kritik begitu ganas namun salah sasaran. Hemingway merasa terluka di tempat yang paling menyakitinya, dan dia bertahan di Havana, mengirimkan telegram yang menggairahkan yang tampak tidak bermartabat bagi penulis sepertinya. Tidak hanya buku tersebut adalah novel terbaiknya, tulisan itu juga begitu personal, yang telah dia tuliskan pada fajar di musim gugur yang tidak menentu, dengan nostalgia pada tahun-tahun yang tidak dapat diperbaiki lagi dan firasat yang pedih tentang beberapa tahun yang akan dia hadapi dalam hidupnya. Tidak ada satu pun dalam bukunya di mana dia meninggalkan banyak kesan tentang dirinya, tidak juga dia menemukan – dengan semua keindahan dan kelembutan – sebuah cara untuk memberikan perasaan yang perlu terkait karya dan hidupnya: kemenangan yang tidak berguna. Kematian protagonisnya, seolah-olah begitu damai dan alami, penggambaran awalnya untuk menyamarkan bunuh dirinya sendiri.
Ketika seseorang hidup begitu lama dengan suatu karya seorang penulis, dan dengan intensitas dan kasih sayang yang begitu besar, seseorang akan tersesat tanpa tahu cara untuk memisahkan kehidupan nyata dan fiksi. Aku sudah menghabiskan begitu banyak jam selama berhari-hari membaca di kafe yang terletak di St. Michel yang menurutnya bagus untuk menulis karena terasa nyaman, hangat, bersih dan bersahabat, dan aku selalu berharap untuk menemukan sekali lagi seorang gadis yang dia lihat masuk pada suatu hari yang berangin liar dan dingin, seorang gadis yang sangat cantik dan tampak ramah, dengan potongan rambut diagonal pada wajahnya seperti sayap burung gagak. “Kau milikku dan Paris milikku,” dia menulis untuk sang gadis, dengan daya menulisnya yang tak pernah habis. Segala yang dia utarakan, setiap saat yang dimilikinya, menjadi miliknya selamanya. Aku tidak bisa melewati Rue de l’Odeon No.12 di Paris tanpa melihatnya sedang berbincang dengan Sylvia Beach, di toko buku yang sekarang tidak lagi sama, menghabiskan waktu hingga pukul enam petang, ketika James Joyce mungkin akan mampir. Di padang rumput Kenya, melihatnya bersama karya-karyanya hanya sekali, dia menjadi pemilik dari kerbau-kerbau dan singa-singanya, dan segala rahasia terdalam tentang memburu. Dia menjadi pemilik dari adu banteng dan adu tinju, dari seniman dan jago tembak yang hadir hanya sebentar ketika mereka menjadi miliknya. Italia, Spanyol, Kuba – separuh dunia dipenuhi tempat-tempat yang dia tentukan hanya dengan menyebutkannya. Di Cojimar, sebuah desa kecil dekat Havana di mana seorang nelayan penyendiri dalam Lelaki Tua dan Laut tinggal, ada sebuah prasasti untuk mengenang eksplorasi heroiknya, dengan patung boss Hemingway yang disepuh. Di Finca de la Vigia, tempat pengungsiannya di Kuba, di mana dia tinggal tak lama sebelum kematiannya, rumah itu tetap utuh di tengah-tengah pepohonan rindang, dengan koleksi bukunya yang beragam, piala berburunya, podium menulisnya, sepatu ayahnya yang kebesaran, perhiasan kecilnya selama hidup yang tak terhitung jumlahnya dari seluruh dunia yang dia kumpulkan hingga kematiannya, dan yang terus hidup tanpa dirinya, dengan jiwa yang dia berikan kepada mereka dengan sihir yang hanya dia semata yang memilikinya.
Beberapa tahun yang lalu, aku semobil dengan Fidel Castro – seorang pembaca sastra yang tekun – dan di jok aku melihat buku kecil terjilid dalam kulit merah. “Itu guruku, Hemingway,” kata Fidel Castro kepadaku. Sungguh, Hemingway terus berada di tempat yang bahkan tidak mungkin untuk dibayangkan – 20 tahun setelah kematiannya – saat-saat abadi namun singkat pada pagi itu, mungkin di bulan Mei, ketika dia berkata ”Selamat tinggal, amigo” dari seberang jalan raya depan St. Michel.
Diterjemahkan oleh Lutfi Arifin
Sesungguhnya:
Esai ini sudah beredar banyak terjemahannya, ada yang lebih buruk daripada buatan saya ini, ada yang lebih baik.
Silakan unggah versi terjemahan asli bahasa Inggrisnya di New York Times
3 notes · View notes
seeneira · 5 years
Photo
Tumblr media
BENGKEL SASTRA MALUKU mempersembahkan; KELAS MENULIS PUISI Waktu: Senin, 10 Juni 2019 pukul 16.00 KONSPIRASI PUISI #9 Waktu: Selasa, 11 Juni 2019 pukul 20.00 Lokasi: Istana Mini - Banda Naira ------------------------------------ Setelah kita disibukan oleh longsor, hujan dan angin kencang di kota ini, kita pun melayarkan niat ke pulau-pulau yang sedang tenang karena panas kemarau. Ke sana jua layar harus tebarkan. Bahwa kita harus melawan angin, arus juga gelombang yang sedang liar. Sebab di sana, ada pantai yang harus kita singgah; Banda. Maka seharusnya kata-kata adalah bekal yang mesti dibawa untuk menemukan mulutnya sendiri. Gunung Api, Nailaka, Ai, dan Run adalah kehidupan Banda yang punya cerita-cerita indah. Kita telah lama menikmatinya selama musim barat yang panas itu. Mari, kita berlayar meski tanjung Allang sedang marah. Sebab di Banda, kehangatan pala telah menanti. Dan semoga di KELAS MENULIS PUISI & KONSPIRASI PUISI #9 yang diselenggarakan oleh BENGKEL SASTRA MALUKU bersama SASTRA BANDA NAIRA dan BANDA SKETCH WALK kali ini, kita yang dipertemukan akan punya cerita bahagia. Sampai jumpa di hari itu, kawan-kawan 😊 - #bengkelsastramaluku #sastrabandaneira #bandasketchwalk https://www.instagram.com/p/Byc4veLh2Ad/?igshid=13kevxwxnfdce
0 notes
soulisaniarimbi · 6 years
Photo
Tumblr media
Guru-guru menulis cerita . . . "Kamu menikmati gak saat membaca karyamu ? Kalau menikmati, berarti pembaca juga akan menikmati karyamu." Hampir seperti itulah kata-kata mba Okky yg selalu diingat sekitar 4 hari yang lalu. Terima kasih mba Okky @okkymadasari atas ilmunya untuk 3 hari belajar menulis. (Selalu berharap bisa tertular menulis seperti beliau. 😊) Bimbingan Teknis Peningkatan Apresiasi Sastra : Bengkel Sastra Bagi Guru, Tingkat Lanjut Badan Bahasa, 6-8 Agustus 2018 https://www.instagram.com/p/BmV78DhA8ojI40P62f9E-l2kXSs3NH8SzEiZis0/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=1drpe4kj0gox
0 notes
ekaardhinie · 7 years
Photo
Tumblr media
Asap Karya: D. zawawi Imron •
Asap yang mengepul dari rongga zaman Mencoreng wajahku, mencoreng langit sebelum senja Ke mana benih akan disemai padahal tanahku tergenang air mata Ke mana kita hendak pulang sedang rumah telah jadi penjara. •
Doa-doa kandas terantuk senyum wanita. Kuresapkan perih oleh asap yang bertualang dari masa ke masa Merobek daun-daun siwalan Tapi dialah asap yang menyisir ekor pulau Dan mengangkut cinta dari karang ke bulan Berkawan kunang-kunang
Asap yang itam berputar-putar dan membiarkan serigala mendapatkan terang
Asap mencari keadilan Ke barat, ke timur, ke pantai dan ke dalam hatiku yang sedang memikul geram lautan. Pada senyum yang lahir dari roh yang lapar Terjawab satu bab tanya Dari asapmu yang kekal. •
18 Mei lalu saya membacakan puisi Asap karya D. zawawi Imron pada hari ketiga Bengkel Sastra Balai Pustaka di Jalan Bunga Matraman.
Saya pernah bilang pada teman saya, puisi, semakin dibaca, semakin Indah, semakin keluar keintiman-keintiman yang tak terlihat jika hanya sekali dua kali dibaca.
Puisi Asap di atas, menurut hemat saya adalah puisi yang bernafas mengenai kegelisahan di zaman itu. Kegelisahan pencarian keadilan, kegelisahan menuju perbaikan, yang mau berusaha bagaimanapun, keadaan sudah jauh rusak.
“ASAP” lagi lagi masih menurut saya, karena saya tidak menemukan contekan analisisi saat googling, jadi ini murni pemahaman saya sendiri, bahwa kata asap bisa merujuk pada manusia, bisa merujuk pada semangat/pergerakan/ideologi yang menyeruak di zaman itu untuk pencarian nilai keadilan.
Yang terlihat di masa puisi tersebut adalah karut-marut pemerintahan. Dan kemunculan kalimat Doa-doa kandas terantuk senyum wanita yang sama sekali tidak masuk ke dalam bait atas dan sesudahnya, menurut saya ada keseksian tersendiri. Kenapa? Bahwa politik juga sering di sangkut pautkan dengan wanita, bukan hanya politik, tapi kehidupan berada pada tahta, harta dan wanita. Ah tapi semua telaah ini murni dari saya, sampai saya menulis ini memang belum ada yang memberikan analisis terhadap puisi Asap karya sang Celurit emas. 😊
Eka Ardhinie 28 Mei 2017
1 note · View note
panturaonline · 5 years
Text
Cerpen Tegalan Para Guru Kota Tegal Segera Terbit
KOTA TEGAL, PANTURAONLINE.CO.ID – Tiga belas cerpen Tegalan karya guru-guru SMP Negeri Kota Tegal segera diterbitkan oleh Komunitas Centong (Cerpene Wong Tegal). Hal tersebut dikatakan Lanang Setiawan, seniman Tegal, yang dipercaya sebagai editor buku kumpulan cerpen ‘Duksina’ dengan pengantar Dina Nurmalisa Sabrawi, Dosen Universitas Pekalongan yang pernah melakukan penelitian ilmiah sastra Tegalan untuk sebuah disertasi S3 di Universitas Indonesia.
Menurut Lanang, terkumpulnya 13 cerita tersebut merupakan sumbangsih para guru dalam meramaikan khazanah dunia sastra Tegalan yang cukup memiliki andil besar, sekaligus menaikan derajat basa Tegalan lewat gerakan literasi yang dulunya tidak tersentuh oleh mereka, kini menjadi kenyataan.”Andilnya para guru menulis cerpen Tegalan ini menggembirakan sekali. Sumbangsih luar biasa atas kepedulian mereka ikut mengangkat derajat sastra yang menggunakan bahasa lokal ,” kata Lanang.
Ditambahkan, kisah yang diangkat dalam buku tersebut beragam kejadian atau pengalaman yang pernah dialami mereka. Salah satu contoh adalah cerpen berjudul, “Balakna Biji Anake Enyong” karya Rahayu guru SMP Negeri 18 Kota Tegal. Cerpen ini mengisahkan ‘Aku Tokoh’ kedatangan Pak Ahmad menanyakan apa sebab nilai (biji) raport anaknya turun drastis dari semula bernilai bagus mendadak kebakaran banyak angka merah.
Urus punya urus, ternyata anak Pak Ahmad yaitu Iskandar tengah dilanda cinta pada Balqis namun pada suatu pesta ulang tahun Balqis, ia kelupaan hadir karena harus membantu bapaknya di bengkel mobil. Dampaknya Balqis marah tidak mau baikkan. Ini yang membuat nilai raportnya kebakaran.
Satu lagi adalah cerpen berjudul “Duksina” yang ditulis oleh Sri Handayani Reksowati guru Bahasa Inggris SMP Negeri 2, mengisahkan perjalanan cinta antara “Aku Tokoh” dengan Rusdi. Percintaan mereka berjalan lancar namun pada suatu hari, Rusdi kepergok berduaan dengan perempuan lain yang ternyata tengah mengandung anak dari pacar si Aku Tokoh. Akhirnya percintaan mereka putus di situ kendati si Aku Tokoh telah tertipu uang Rp 10 juta.”Dan banyak kisah pengalaman mereka yang dituang dalam buku berjudul Duksina,” tandas Lanang.
Judul dan para guru yang menulis cerpen ini yakni, cerpen berjudul N3 (Siti Maksumah), Gita Bocah Yatim (Irwan Susianto), Duksina (Sri Handayani Reksowati), Balekna Biji Anake Enyong (Rahayu), Gemebyar Lintang Ning Langit (Yoga Purwatiningsih), Salah Nyana (Prasetyawati), Aku Luwih Sayang Ibu (Endang Rustiani), Sepatu (Diana Lestari Andriani), Sugeng Tindak Jomblowati (Sri Wahyuningsih), Mung Siji sing Tak Jaluk (Diyah Latifah), Kedung (Heny Oemar), Bandeng Misterius (Muamiroh), dan Kecret (Lina Sukriyani).
Sesuai rencana, buku yang dibiayai patungan oleh para penulisnya ini, dalam waktu dekat segera terbit. “Insyaallah tidak lama lagi terbit. Tunggu saja tanggal mainnya,” kata Lanang. (embong sriyadi)
The post Cerpen Tegalan Para Guru Kota Tegal Segera Terbit appeared first on Berita Dan Informasi Pantura Online.
from panturaonline.co.id http://bit.ly/2XoWDZn via IFTTT
0 notes
theoutlierdjournal · 7 years
Text
Book review : Sirkus Pohon
Akhirnya saya menulis juga book review ini, ya! entah mengapa semangat menulis sedang kendor sekali bahkan untuk menulis buku saja huhu, maafkan yaa. ini juga menulis karena terpaksa akibat tugas bulanan wkwkw.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Bahwa cinta tak akan kemana-mana dan kiranya memang berjodoh, sejauh apapun juga, maka pasti akan bersatu.
Hal itulah yang saya dapatkan dari buku sirkus pohonnya andrea hirata. Senang sekali rasanya membaca sirkus pohon yang telah saya tunda pembeliannya dari bulan lalu. Senang sekali juga membaca buku yang entertaining setelah membaca dua buku autobiografi di bulan ini.
Semenjak novel ayah, gaya bertutur andrea hirata benar-benar seru. Beliau sering kali menyelipkan guyon atau kata-kata abstrak yang membuat sering kali saya tertawa sendiri membacanya. Adegan-adegan absurd yang kalau dibayangkan amat absurd juga, menjadi penambah seru membaca novel andrea hirata kali ini.
Kenapa namanya sirkus pohon? Sebenarnya saya juga kurang paham, tapi memang, salah satu ceritanya adalah tentang seorang lelaki bernama Hob, yang hidup dan bekerja serabutan, lalu diusir dari rumah oleh adiknya karena tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun, ditengah keputusasaannya, beliau tetiba melamar kerja pada sebuah sirkus keliling yang akan memulai kembali pertunjukkannya setelah sempat vacuum. Tahu jadi apa? Badut!
Motivasi mendapatkan pekerjaan, selain diusir oleh adiknya, beliau jatuh cinta pada seorang gadis yang tak pernah ia sangka-sangka sebelumnya. Ia merasa sangat bahagia karena seumur hidupnya ia belum pernah merasa dicintai oleh seorang gadis seperti itu. Namun, kisah cinta Hob tidak semulus itu juga, di beberapa hari menjelang pernikahannya, tiba-tiba gadis pujaannya seperti hilang ingtan dan tidak merespon aats apapun. Hanya diam saja. Tidak ada yang benar - benar tahu apa yang terjadi kepada gadis tersebut, termasuk kedua orangtuanya. Hob seperti putus asa, apa yang diimpi-impikannya kandas sudah.
Namun, Hob memanglah bukan orang yang mudah putus asa. Hob selalu datang kepada gadis tersebut, mencoba mengajaknya berbicara, berbicara banyak hal walau gadis tersebut tidak pernah merespon. Selama berbulan-bulan ia lakukan hal tersebut hingga pada suatu hari, gadis tersebut tersipu karena Hob memberikan buah Delima, buah kesukaan gadis tersebut. Semenjak itu, gadis tersebut berangsur-angsur baik, sudah mulai merespon atas suatu aktivitas.
Walau belum sepenuhnya sembuh, namun Hob sudah sangat senang dan keinginan untuk menikahi gadis itu datang lagi. Ia mengambil resiko dan tidak mengindahkan peringatan tentang ketikbisaan perempuan tersebut melakukan kewajibannya sebagai istri dan juga memenuhi hak Hob sebagai suami. Hob tak bergeming, Ia sudah jatuh cinta.
Pada titik ini saya berefleksi. Duh, Hob saja yang hidupnya tidak menentu bisa dicintai dan akhirnya menikah dengan seseorang yang mencintai ia juga. Saya sering kali berpikir atas segala kekurangan saya terus takut kalau ngga ada yang mau sama saya, hiks.
Selain kisah cinta Hob diatas, adalagi kisah cinta kedua yaitu tentang Tara dan Tegar. Kisah mereka bermula dari pertemuan mereka secara tidak sengaja di pengadilan agama, saat masing-masing orangtua mereka melakukan sidang perceraian. Tegar menjadi pembela Tara saat Tara terus-terusan diserobot oleh sekawanan anak laki-laki saat ingin bermain perosotan di Taman pengadilan agama. Ternyata, dari hal sekecil itu, mereka berdua saling jatuh cinta. Tanpa pernah keduanya saling tahu satu sama lain.
Tara selalu mencari anak kecil yang membelanya tersebut dan Tegar juga selalu mencari anak yang dibelanya tersebut. Mereka tinggal di satu kabupaten, namun ada saja kehendak semesta yang membuat mereka tidak pernah bertemu atau bahkan berpapasan. Kisah mereka benar-benar bikin gregetan kalau dibaca.
Sampai akhirnya Tara dan Tegar bertemu kembali pada suatu sore di sebuah bengkel sepeda kepunyaan Tegar beberapa tahun kemudian dan mereka dengan perasaan ganjil, merasa sudah pernah satu sama lain padahal mereka tidak saling mengenal.
Anyway, ceritanya sebenarnya tidak sesederhana itu. Banyak sekali cerita tambahannya yang sangat mengocok perut. Apalagi dengan lelucon melayu yang menurut saya sangat cerdas dan menghibur.
Saya memberikan nilai 8 / 10 untuk buku ini. Walau buku ini fiksi dan lumayan kontemporer, namun saya merasa nilai sastra Melayu kental sekali dalam buku. Latar belakang masayarakat Belitong juga sangat terasa apalagi budaya dan warung kopinya yang terkenal itu. Sangat direkomendasikan untuk dibaca!
0 notes
seputarbisnis · 7 years
Text
Tulis Cerpen Berbahasa Batak "Parlombu-lombu", Ir H Soekirman Terima Hadiah Khusus Rancage 2017
Medan (SIB)- Bupati Serdangbedagai (Sergai) Ir H Soekirman Ompu Abimanyu ternyata seorang penulis sastra berbakat. Ini dibuktikan dengan salah satu cerita pendek (Cerpen) berbahasa Batak karyanya yang berjudul "Parlombu-lombu" (Si Gembala Sapi) yang menerima hadiah khusus Rancage 2017 dari Yayasan Kebudayaan "Rancage". Cerpen yang dimuat dalam buku kumpulan bersama berjudul "Serser Sauduran" itu, dinilai Yayasan Rancage sangat istimewa, karena ditulis oleh orang Jawa atau yang bahasa ibunya bukan bahasa Batak. Sehingga, bukan saja bagus sebagai cerpen, tapi bisa memotivasi orang lain memahami bahasa daerah di luar sukunya. Hal itu disampaikan Soekirman saat bertemu Wakil Pemimpin Umum Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Ir GM Chandra Panggabean di Kantor SIB Jalan Brigjen Katamso Medan, Rabu (29/3). Hadir juga dalam pertemuan itu, Kepala Dinas Pendidikan Sergai Joni W Manik yang juga Ketua Kerukunan Masyarakat Batak (Kerabat) Sergai dan advokat Junhaidel Samosir SH MH. "Tadinya hadiah sastra Rancage 2017 hanya untuk sastra bahasa Sunda, Jawa, Bali, Lampung dan Banjar, tapi tahun ini ikut sastra bahasa Batak termasuk cerpen saya yang berjudul "Parlombu-lombu"," katanya. Pria Jawa yang fasih berbahasa Batak ini mengaku menulis dalam bahasa Batak sebagai upaya dirinya ikut melestarikan bahasa daerah agar tidak punah. Pasalnya, dari 700-an bahasa daerah di Indonesia, ada 100 lebih yang terancam punah termasuk bahasa Batak. Kategori bahasa daerah yang terancam punah itu bila penggunanya kurang dari 500 orang setiap hari dan tidak ada karya sastranya. "Kemajuan teknologi saat ini juga telah mengikis adat istiadat dan hilangnya bahasa Batak. Misalnya, undangan yang disampaikan melalui handphone bisa menghilangkan kedudukan seseorang dalam suatu acara adat. Begitu juga kebiasaan memasak nasi dengan rice cooker membuat generasi muda sekarang tidak lagi mengenal kata "purik" dan kata-kata terkait lainnya," ujarnya. Sebagai upaya melestarikan adat istiadat dan bahasa Batak tersebut, lanjutnya, di Sergai juga ada Kerukunan Masyarakat Batak (Kerabat), di mana dirinya sebagai penasihat. Melalui Kerabat, dia optimis budaya dan bahasa Batak dapat dipertahankan dan dilestarikan. "Inilah upaya saya untuk menjaga dan melestrikan budaya dan bahasa Batak. Jadi, anggapan orang saya itu anti orang Batak tidak benar sama sekali," tegasnya. Soekirman juga berharap Harian SIB yang paling banyak dibaca orang Batak, ikut memotivasi masyarakat Batak untuk menggunakan bahasa Batak dan melestarikan adat istiadatnya melalui pemberitaan dan bentuk tulisan lainnya. Seperti cerita bersambung (cerbung) "Pariban dari Bandung" yang begitu populer di masyarakat Sumut di era 1980-an. Dia juga meminta para generasi muda Batak tidak malu menggunakan bahasa Batak dalam kehidupan sehari-hari. Anugerah Literasi Selain menerima hadiah khusus Rancage, tahun ini Soekirman juga menerima Anugerah Literasi Prioritas peringkat pertama nasional dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadzir Effendy, pada 20 Maret lalu di Jakarta. Selain Sergai, ada 18 kabupaten/kota lain yang menerima penghargaan serupa. "Dari 19 kabupaten/kota yang menerima Anugerah Literasi itu, Sergai berhasil menjadi peringkat pertama dengan nilai 0,8, disusul Kabupaten Lumajang dengan nilai 0,4," jelasnya. Soekirman mengatakan, keberhasilan mereka memperoleh prestasi yang membanggakan itu karena didukung program 3K yaitu kebijakan, kelembagaan dan kebersamaan. Dimulai dari Gerakan Literasi Sekolah pada 2015 yang dikuatkan dengan Perda Wajib Belajar, yang mewajibkan para siswa untuk membaca selama 15 menit sebelum masuk sekolah, kemudian ada lagi kelompok karya tulis. Sedangkan melalui kebersamaan, lembaga pemerintah maupun swasta ikut membantu buku-buku untuk perpustakaan sekolah. "Dengan strategi 3K ini kami berhasil mendapat Anugerah Literasi tingkat nasional dari Mendikbud, dan semoga penghargaan ini menjadi motivasi bagi daerah lain di Sumut," harapnya. Setelah mendengar penjelasan Bupati Sergai itu, Wakil Pemimpin Umum SIB Ir GM Chandra Panggabean menyatakan bangga dengan torehan prestasi salah seorang sahabat almarhum Pak GM itu. Bahkan, Chandra yakin bila masih hidup Pak GM akan ikut senang, karena Pak GM sangat peduli dengan pelestarian adat istiadat dan budaya Batak. "Saya berharap prestasi ini menjadi motivasi bagi orang-orang Batak di Sumatera Utara dan di mana saja semakin giat melestarikan bahasa dan sastra Batak," katanya. Chandra juga berharap prestasi ini menjadi pemacu semangat generasi muda semakin mencintai dan mempertahankan budaya dan sastra Batak, termasuk budaya daerah lainnya. Karena kebudayaan Indonesia yang beragam itu merupakan kekayaan dan kekuatan Bangsa Indonesia. Sementara negara lain hingga saat ini masih mencari akar budayanya. "Jadi, jangan sampai hilang budaya kita, apalagi bahasa Batak salah satu bahasa daerah yang kategori terancam punah," kata Chandra prihatin. Untuk itu, Chandra mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan Soekirman selaku pribadi maupun kepala daerah dalam melestarikan sastra dan bahasa Batak, juga budaya daerah lainnya. Chandra mengakui kehidupan antar suku dan agama di Sergai sangat harmonis di bawah kepemimpinan Soekirman. "Pertahankan terus. Amangboru (panggilan Chandra kepada Soekirman) diberi kemampuan untuk melakukan banyak hal," kata Chandra. "Sebelum pertemuan yang berlangsung akrab itu berakhir, Soekirman menyatakan kesiapan daerahnya menyambut beroperasinya jalan tol Medan-Tebingtinggi yang akan diuji coba pada Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Menurutnya, ada empat pintu tol di Sergai, yaitu Pasar Bengkel, Matapao, Kampung Pon dan Rambutan. Menyusul beroperasinya jalan tol tersebut, Soekirman optimis jumlah pelancong ke daerah semakin meningkat. Untuk itu, pihaknya telah membenahi dan menata objek-objek wisata termasuk fasilitas pendukung seperti restoran yang ada. "Yang pasti, Sergai akan diramaikan pelancong dan kita sudah siap menyambutnya," ujarnya. Di sisi lain, Soekirman mengingatkan para pemilik tanah di kawasan jalan tol agar tidak tergiur dengan tawaran harga tanah yang tinggi dan menjual kepada pihak lain. "Karena bagaimanapun juga lebih baik menjadi petani di tanah sendiri daripada hanya menjadi kuli tani," tegas Soekirman. (R19/h) http://dlvr.it/NnYdGj
0 notes
lutfiarifin · 7 years
Text
Gelanggang Sastra Luar Biasa
"Tanganmu begitu halus dalam genggamanku. Ingin segera aku ucapkan semua rasa yang terlalu mengoyak-ngoyak jiwaku beberapa minggu ini. Kini kau ada di depanku. Bahkan jemarimu seutuhnya dalam dekapan tapak tanganku yang lebih besar, kasar dan kuat ini dibandingkan punyamu. Kalau saja ada niat jahatku padamu, sudah patah 5 tulang jari berbalut daging dan kulit lembut halus milikmu. Tapi tidak mungkin aku lakukan. Tidak akan pernah mungkin aku lakukan. Terlalu indah semua itu untuk sekedar aku lecetkan. Nerakalah ancaman tuhan kepadaku untuk semua keburukan itu. Tidak. Tidak mungkin aku berangan seperti itu. Tidak akan pernah.
Aku sayang padamu. Aku cinta padamu. Aku ingin selalu bersamamu. Bahkan sampai ke liang lahat sekalipun. Aku yakin kamu adalah takdir untukku. Semua kata-kata itu bergemuruh tanpa jeda, tanpa urutan, tanpa izin dariku. Semua muncul begitu saja. Kepalaku begitu penuh dengan segala skenario, tentang aku yang dengan gagahnya tampil di hadapanmu, menggenggam tanganmu seperti yang aku lakukan saat ini dan mengutarakan segala yang harusnya kuutarakan dari tadi sejak pertama aku menangkap ragamu, melalui jari-jemari yang lucu ini. Tentunnya dengan keberanian bak Aktor pria pemeran utama roman percintaan 'Kamu Bidadariku' di televisi, yang katanya sangat kamu idolakan itu. Mungkin aku tidak sekeren dia, tapi saat ini aku tidak memikirkan perbandingan fisik dengan Sang Aktor. Maksudku, dia keren karena dia berani. Menggenggam tangan sang Wanita kemudian menyatakan perasaan.  Aku sedang meniru sang Aktor. Semalam, sampai jam tiga dini hari aku memperagakan adegan ini yang aku cuplik dari 'Kamu Bidadariku'. Aku sudah hafal semua rangkaiannya. Memegang tangan, mengutarakan isi hati, kemudian cium. Ya seperti itu. Harusnya sesederhana itu. Namun lapangan begitu dinamis. Harusnya aku dapat melewati ketiga tahap tersebut dengan mudah. Toh aku sudah menggenggam tanganmu. Aku tidak se-cemen ini, harusnya. Tapi kok ya, kata-kata yang aku rencanakan tidak segera meluncur. Sial.
Aku hanya perlu mengutarakan perasaanku. Itu saja. Titik. Setelah itu cium. Sudah, beres semua. Tiba-tiba si makhluk ketiga benar-benar muncul. Ya, Si Setan. Dia datang menggodaku. Setahuku, Setan datang kepada dua manusia berlainan jenis untuk menggoda dan mendorong agar semakin rapat dan terpacu nafsu, mungkin untuk ciuman dan bisa jadi untuk hal-hal lainnya yang tidak bisa aku bayangkan. Namun, Setan yang ini berbeda. Dia malah menghasutku dengan bayangan yang kuanggap dusta semata. Cerita bohong. Dia bilang, “Bayangkan setelah kamu mengutarakan perasaan, Anindita akan menolak perasaan kamu, menatapmu jijik lalu berubah menjauhi dirimu. Bagaimana? Bisa kau bayangkan itu, sahabat.” Tidak, tidak mungkin. Imajinasi yang ditawarkan itu bukan kebenaran. Tidak mungkin menjadi kebenaran. Aku sudah yakin dengan perasaanmu kepadaku dan aku pun yakin bahwa kamu menyimpan rasa untukku. Kemudian Setan diam. Tunggu! Tadi dia, Setan, memanggilku sahabat. Mana sekarang dia? Aku malah mencarinya. Aku butuh dia. Karena Aku butuh kawan di sisiku sekarang. Aku ingin ada yang mendorongku untuk semua pengungkapan kepadamu.. Sial. Si Setan malah menggantungkan semua ini. Sepertinya dia telah pergi. Dia makin membuatku gugup. Dasar Setan!
Tiba-tiba genggamanmu lebih erat. Matamu menatapku lekat. Aku bahkan sudah tidak tahu seperti apa tampakku di depanmu. Wajahku mungkin terlalu lonjong menurutmu. Mataku terlalu belo, hidungku terlalu pesek, tinggiku pas-pasan. Entah kenapa kini aku mulai memikirkan fisik, membandingkan dengan punya Sang Aktor 'Kamu Bidadariku'. Ah Tuhan. Aku tidak punya kekuatan lagi. Matamu masih menatapku lembut, penuh tanya. Ada kekhawatiran disitu. Ada kecantikan disitu. Sial, mulutku makin bergeming dan mungkin akan selamanya tertutup. Aku kini menjadi bisu. Bisu seutuhnya. Aku menyerah. Aku tidak kuat menahan ini. (Hanya) menahan kata-kata ungkapan perasaan terdalamku. Bodoh benar aku. Aku akhirnya menundukan wajah, tidak berani menatapmu langsung. Aku mulai melepas genggamanku pada jemari halusmu, jemari lucu itu. Aku pegang pipiku. Basah. Aku menangis? Astaga, memalukan. Tuhan. Ini menjijikan. Aku coba curi mengintip ke matamu. Mata indah itu. Tapi di dalamnya mengandung tatapan yang sepertinya aku paham. Ya itu imajinasi pemberian Si Setan tadi. Tatapan mata indahmu yang di dalamnya mengandung rasa jijik. Oh Tuhan, kenapa? Kenapa aku harus melihat semua ini? Tidak ada di skenarioku akan kepedihan macam begini. Rasanya aku ingin bunuh diri saja."
Diperiksanya kembali tulisannya sejak adegan genggaman tangan Anindito kepada Anindita di mulai. Bagian ini harusnya menjadi klimaks yang tragis dalam bayangannya. Dia sudah biasa menawarkan klimaks yang menurutnya, harus penuh dengan drama yang pahit dan menyakitkan dalam seluruh cerita-cerita romantis yang telah dibuatnya. Cerita ini memang ditujukan kepada mereka yang sedang asik-asiknya memulai sebuah percintaan. Makanya biasanya pembaca karya-karyanya adalah remaja. Bahkan setelah diperiksa data pembeli buku di pasaran, kebanyakan adalah gadis berumur 12-18 tahun. Entahlah. Mungkin gadis-gadis itu terlalu cengeng. Bukankah harusnya para gadis itu mencari bacaan yang justru menguatkan jiwa mereka? Nirma tidak menjawab pertanyaan yang muncul sendiri di benaknya itu. Toh dengan adanya para gadis dalam data itu membuktikan bukunya disukai dan laku di pasaran.
Caranya bercerita pun sangat khas. Dia selalu memulainya dari kisah antara dua orang berlawanan jenis, bertemu dengan suatu lakar belakang tertentu, kemudian berkonflik yang seolah menimbulkan pertentangan namun pada kenyataannya malah memicu kedekatan kedua pemeran utama berlainan jenis itu. Konflik ini diikuti oleh internal masing-masing tokoh dengan lingkungannya masing-masing. Kemudian cerita berkembang dengan lingkungan baru. Muncul tokoh baru. Kisah berubah menjadi sedikit berbau humor. Biasanya berisi kejadian-kejadian kecil di keseharian yang melibatkan kedua pelaku. Di sela-sela itu, datang seorang 'pengganggu'. Dapat berupa seorang pria maupun wanita bahkan bisa saja sekelompok orang. Semua kejadian itu memicu ke arah munculnya titik klimaks dari hubungan sejoli ini. Kalau dipikir-pikir, betul kata seorang kritikus sastra yang (mungkin) membaca dan mengulas karyanya. Terlalu Sinetron. Si Kritikus kesal dengan kecenderungan masyarakat yang hobi membaca "buku ringan" seperti itu. Lanjutnya, jiwa penerus bangsa akan menjadi lembek kalau terus keganjringan membaca karya-karya yang setipe dengan punyanya.
Nirma tidak menanggapi kritikan itu. Dia kesal, tapi untuk menghibur diri dia selalu meyakinkan bahwa Si Kritikus hanya iri karena tidak bisa membuat karya yang laku seperti punyanya. Toh, Si Kritikus doyan sekali nulis buku "yang katanya tergolong sastra sesungguhnya serta memenuhi kriteria sastra serius" dan buku-bukunya itu tidak laku di pasar, tidak selaku bukunya yang tujuh bulan terakhir ramai tersebar dan diperbincangkan orang. Nah loh, Orang di negara ini disuruh baca yang sastra banget mah susah, mau membaca saja sudah syukur, begitu pendapat Nirma.  
Nirma memang punya ikatan kuat serta pemahaman yang baik mengenai Sinetron. Karena dia memang belajar cara membuat plot cerita seperti itu di sebuah Bengkel Kepenulisan yang diadakan oleh sebuah Rumah Produksi yang logonya sering terlihat di televisi pada awal acara Sinetron pendek maupun berseri. Waktu itu dia mendaftar karena hobinya menonton sinetron dan kemudian secara tidak sengaja menemukan info bengkel kepenulisan dari akun instagram Rumah Produksi yang sama. Dengan ilmu dari Bengkel Kepenulisan, Nirma sudah berhasil menuliskan beberapa Novel Remaja (sebenarnya dia tidak begitu suka dengan penyebutan itu, namun karena sudah menjadi tuntutan Penerbit untuk mengklasifakisan karyanya dalam tipe "Novel Remaja", dia menerima dengan terpaksa). Beberapa judul di antaranya adalah Cantik itu Kenanganku, Rumah Sakit Jaya Hatiku, Cintamu Bagai Kupu-kupu Biru dan empat yang lainnya. Total tujuh buku dalam tujuh bulan terakhir, yang menjadi bulan-bulan sukses dalam karir kepenulisannya.
Mungkin menurut banyak orang kesuksesan yang Nirma dapatkan terkesan instan. Saat seorang wartawan sastra (sang wartawan bekerja di majalah sastra milik Sang Kritikus) bertandang dan mewawancarainya, dia menjelaskan bahwa kesuksesannya berasal dari kemampuannya melihat peluang. Teknik itu dia dapatkan dari bengkel bisnis yang diikutinya 10 bulan yang lalu. Nirma kemudian melanjutkan, "Saya melihat bakat saya adalah menulis, namun bacaan yang saya sukai adalah kisah percintaan yang ringan. Sayang sekali, di toko buku sangat susah menemukan buku-buku bacaan yang saya inginkan. Toko buku didominasi dengan cerita yang berlabel sastra. Ya, setahu saya, sekarang semua penulis telah berubah menjadi sastrawan. Bukan juga, sih. Seolah jadi yang jago sastra gitu, ya. Entahlah. Coba lihat deh, sejak empat tahun terakhir ini, para pemerhati sastra mencoba memfilter selera pembaca di negara kita. Sehingga untuk pertama kalinya di negara ini, sejak berpuluh tahun yang lalu, diadakan gelaran Gelanggan Sastra Luar Biasa. Bayangkan itu, bo! Luar Biasa katanya. Mereka itu ya, beramai-ramai mengulas dan mengklasifikasikan kembali mana yang menurut mereka harus digolongka ke “sastra sesungguhnya” dan mana yang hanya "Buku Ringan". Sayangnya, pengklasifikasian itu disepakati."
Nirma sejenak izin minum air, sembari menyodorkan gelas dan teko kepada Sang Wartawan Sastra. Sang Wartawan menolak halus. Dia terlihat serius. Mungkin dia juga sastrawan, faktanya dia bekerja sebagai Wartawan Sastra, pikir Nirma. Setelah beberapa tegukan, Nirma melanjutkan, "Setelah kesepakatan yang kemudian diumumkan dan diberi nama Resolusi Sastra Luar Biasa itu, Tahu kan ya Kamu? Pasti tahu dong.” Nirma menggoda Sang Wartawan Sastra, namun hanya dibalas tatapan dingin yang seolah mengatakan, “Silahkan lanjutkan, Saya tahu kamu hanya mengolok Saya.” Sehingga Nirma lanjut menjelaskan. “Efeknya langsung terasa bagi para penulis maupun pembaca. Bagi penulis, banyak saya lihat yang kemudian mencoba bergabung dengan klub-klub diskusi sejarah dan filsafat. Klub seperti itu sebelumnya hampir punah dan tidak pernah kedengaran sama sekali. Kok, sekarang muncul dan menjamur dimana-mana? Juga teman-teman saya yang para penulis berubah menjadi serius semua, loh. Gurauan di antara kami yang biasanya lucu sekarang dianggap tidak memiliki makna. Bahkan ada teman saya yang mengatakan, humor gelap dengan tema Orang Papua lebih berkualitas daripada celoteh yang sering saya ungkapkan. Saya tersinggung, dong. Kok kamu sudah mulai kurang ajar begitu, jadi suka gurauan berbau ras. Itu menghina orang namanya, kata Saya. Kata Dia begini, ‘ini adalah cara untuk membuat orang lain resah, kemudian dari keresahan itu berubah menjadi kepedulian. Begitu cara sastra yang sesungguhnya bekerja.’ Saya bilang, ‘Tapi tetap saja kamu menghina orang.’ Dia tidak menanggapi dan malah menatap saya cuek, seolah saya tidak ada dalam gerombolan itu dan berada di tingkatan 'Orang yang tidak perlu ditanggapi'. Teman-teman yang lain juga tidak ada yang berusaha menghibur saya. Bahkan yang perempuan. Saya menyenggol lengan Sukma. Dia menoleh kemudian bertanya ke Saya, ‘Kenapa?’ Saya menatapnya kesal. Biasanya dia menghibur saya jika teman pria, karena semua disitu pria, mengejek atau membuat lelucon kepada saya. Sukma kemudian berseloroh, 'Bukan karena kau cewek aku harus selalu membelamu. Kali ini Dodi benar, kamu harus mulai terbiasa dengan cara seperti ini. Mungkin kau harus mulai membaca buku sastra.'
“Saya ingin menegaskan kepada Anda, Sang Sastrawan, saat percakapan dengan teman-teman itu, kapasitas Saya berteman dengan mereka bukan sebagai penulis, tapi sebagai orang yang luar biasa hobi membaca. Haha, Saya memakai kata-kata luar biasa. Luar biasa, ya? Bayangkan! Saya rata-rata menghabiskan lima buku dalam seminggu. Namun semua bacaan yang saya gandrungi, telah masuk dalam klasifikasi 'Buku Ringan' sesuai Resolusi Sastra itu. Mereka, teman-teman saya yang tadi, semuanya penulis. Genre masing-masing mereka beragam dan bergabung dengan mereka membuat saya mudah mendapatkan buku, baik melalui rekomendasi untuk dicari di toko buku, sampai dipinjami buku yang menurut mereka bagus. Enaknya, dulu, mereka tahu buku apa yang saya sukai dan mereka selalu menawarkan buku yang tepat untuk saya. Namun semua berubah sejak diadakannya Gelanggang Sastra Luar Biasa yang memunculkan Resolusi Sastra Luar Biasa-nya itu. Ini aneh menurut saya. Pembaca di negara ini kurang dari sepersepuluh keseluruhan penduduknya dan dengan jumlah yang sedikit itu, banyak orang malah berusaha mengarah-arahkan mana yang patut dibaca dan mana yang hanya patut menjadi ‘cerita sampingan’, yang katanya hanya untuk sekedar memperluas khasanah. Yang bikin kesal, yang 'hanya sekedar' itu ditujukan kepada 'Buku Ringan' tadi. Buku-buku yang malah sangat saya sukai."
Sang Wartawan menatap Nirma begitu emosional saat ini, dengan hati-hati dia coba menyela Nirma yang sedang menatap jauh kedepan seperti sedang memikirkan apa yang ingin diutarakannya lagi. "Mba, jadi intinya Mba Nirma melihat peluang dengan kenyataan bahwa semua penulis telah menulis Sastra dan meninggalkan Buku Ringan. Lalu Mba mencoba peruntungan dengan menulis buku Ringan. Karena dengan begitu mungkin saja Mba akan mendapat tempat di pasar? Begitukah?"
Nirma menatap Sang Wartawan Sastra dengan kesal. "Bukan."
"Loh, terus bagaiman Mba? Tadi sesuai cerita Mba saya menarik kesimpulannya begitu."
"Cerita saya tidak berkesimpulan begitu."
"Terus apa kesimpulannya menurut Mba?"
"Kamu tuh Wartawan bukan sih? Wartawan Sastra pula. Memangnya kamu tidak perhatikan baik-baik, bahwa cerita saya itu tidak ada kesimpulannya. Itu kemana-mana. Dari tadi juga kamu tidak mengintrupsi saya. Kamu kesini datang bawa pertanyaan berapa sih? Kamu baru menanyakan satu pertanyaan, loh."
"Saya hanya membawa dua pertanyaan, kok."
"Ya sudah, apa pertanyaan kedua?"
Sang Wartawan izin minum dulu. Membuat Nirma sedikit kesal. Nirma tidak suka jenis percakapan seperti ini. Seolah dia yang menuntut dan membutuhkan jawaban.
"Dengan keeksisan Mba Nirma di toko buku sekarang ini, serta banyaknya Penulis Sastra yang mengulas tentang Mba dan mulai menjamur kembali Para Penulis Buku Ringan, apakah terpikir oleh Mba Nirma untuk mengajukan gugatan atas Resolusi Sastra Luar Biasa dengan membuat Gelanggang tandingan dengan mengajak Para Penulis Buku Ringan yang berpedoman kepada Mba Nirma? Mungkinkah itu sempat terpikirkan oleh Mba?" Sang Wartawan Sastra bersiaga menuliskan jawaban dengan meletakkan catatan di atas pangkuannya di bawah meja.
"Saya sudah melakukannya bulan lalu."
"Yang mana Mba? Gugatan terhadap Resolusi Sastra?" Sang Wartawan penasaran.
"Bukan. Itu tidak perlu menurut saya, tidak penting. Yang saya maksud adalah mengadakan Gelanggang tandingan itu loh. Dan sebenarnya saya juga tidak bermaksud menandingi Gelanggang Sastra Luar Biasa yang dihadiri hanya delapan ratusan orang itu."
"Wah kok saya tidak pernah mendengar acaranya? Harusnya pasti ramai. Bisa anda beritahu jumlah pesertanya dan dimana acaranya dilaksanakan?"
"Memang ramai. Kalian para pemerhati Sastra pasti tidak tahu karena kalian berada dalam lingkaran elit. Apa kalian tidak sadar, Pembaca tulisan dari Daftar Sepuluh penulis Sastra terbaik setiap bulan yang dibuat Majalahmu itu, jika dikumpulkan, masih tertinggal jauh dari total Pembaca buku-bukuku.  Ironi sekali, bukan? Yang kalian agungkan sebagai sastra itu tidak mendapat tempat di hati pembaca dan jauh dari kata laku di pasar."
Sang Sastrawan yang kesal dengan jawaban yang kemana-mana itu, segera mengintrupsi dengan menegaskan kembali pertanyaannya.
"Jadi, jumlah peserta dan lokasi diadakannya?"
"Seribu Delapan Puluh Tiga Orang. Di Facebook."
  Mei 2017
3 notes · View notes