Tumgik
#Piagam Jakarta Dirumuskan Oleh
dulurganjar · 3 years
Text
Silaturahmi Pancasila 18 Agustus 1945
Bahwa politik itu diharuskan berkelahi (rebutan jabatan kekuasaan Negara dan Pemerintahan), tapi haruslah berpondasikan semangat silaturahmi yang hakiki, baik dalam kita bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, Kawan.. #SilaturahmiPancasila 18 Agustus 1945..
Artinya, marilah semuanya kita yang teramat ber-Bhinneka Tunggal Ika ini haruslah berpedoman bersama pada Tata-Nilai yang terkandung dalam ke-5 Sila Pancasila.
Pokoknya, bukannya lagi 'berkutet babaliyut' pada masalah Pancasila tanggal 01 Juni 1945 (versi Bung Karno), dan bukan juga Pancasila tanggal 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta).
Mari kita semua posisikan secara amat terhormat 2 buah tanggal diatas sebagai hari dan peristiwa yang amat bersejarah dalam perjalanan proses pembentukan sebuah negara modern Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan bermodalkan UUD 1945 yang dirumuskan, disepakati dan disahkan besoknya, yaitu melalui Rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945.
Dimana telah kita ketahui bersama bahwa dalam #PembukaanUUD1945, dan bagian ini tidak boleh dirubah ataupun direvisi sama sekali. Karena Pembukaan UUD 1945 ini sebagai alasan amat subtansif kenapa kita membentuk negara Indonesia. Di dalam Pembukaan UUD 1945, kelima Sila Pancasila dicantumkan dalam Alinea ke-4.
Karena itu, kini segera, dan sudah saatnya bangsa dan negara Indonesia membutuhkan hanya 💯 Orang saja dulu sebagai langkah tindakan kongkrit yang perdana, yaitu membutuhkan 💯 Orang-Orang Baik yang mau dan berani menanda-tangani 💯 kotak tanda tangan dan nama jelas.
💯 Orang Baik Bersama-sama menghasilkan sebuah janji dan tekad yang kuat dengan melakukan acara #ManifestoPancasila 18 Agustus 1945
Event Manifesto Pancasila diatas ini sebagai Salah Satu Wujud Kongrit dari sebuah Pergerakan Rakyat (People Movement) #DulurGanjarPranowo, DGP dalam
#MembumikanPancasila di hati sanubari dan kalbu yang terdalam dan pikiran seluruh Rakyat Indonesia, tanpa terkecuali.
Pancasila dalam Aksi, Bukan (Lagi) Basa Basi !! Mulai saja dengan cukup 💯 Orang.
Serta membutuhkan 22 orang diantara 💯 Orang Baik ini akan ber-Orasi dan ber-Ekspresi Pancasila Ala Rakyat (Bukan lagi ala Pemerintah, Parpol apalagi Ala BPIP) Maksimum 5 Menit Saja.
💯 Orang bermanifesto Pancasila dalam suasana bathin dan sukacita #SilaturahmiPancasilaAla Rakyat, dan juga berselfi-selfi ria riang gembira dalam #FestivalBalihoPancasila #18Agustus1945.
Percayalah Saudara/i-ku sebangsa dan setanah air, bahwa Aksi Perdana ini akan segera diikuti dan diduplikasi oleh berbagai Pihak manapun, di daerah manapun dan waktu kapanpun.
Salam DGP
Salam Bhinneka Tungg Ika
Salam Pancasila
Sabar Mangadoe
Penasehat DPP DGP #DulurGanjarPranowo
Tumblr media
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
fauziaazzahra · 7 years
Text
Menuju 72 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Refleksi Kita dan Harapan Pejuang Terdahulu
Hari itu, pertanyaan Dokter Radjiman mengenai landasan filosofis negara sebelum kemerdekaannya ini membuat diam anggota BPUPKI yang hadir. Menurut kesaksian Bung Hatta dalam buku Politik dan Islam karya Buya Syafii, mereka tidak mau menjawab sebab khawatir akan mengundang perpecahan dan memakan waktu lama. Selain khawatir, rasanya juga bukan hal yang mudah berfilsafat dalam kondisi yang mendesak tersebut. 
Namun berbeda dengan beberapa tokoh lainnya, masih menurut kesaksian Bung Hatta, yang siap menjawab pertanyaan dr. Radjiman hanya Soekarno dan Muhammad Yamin dari golongan Nasionalis, serta Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah yang mewakili golongan Islam. Bung Karno dan M. Yamin mengajukan Lima Prinsip Dasar, sedang Ki Bagus Hadikusumo mengajukan Islam sebagai landasan Indonesia. 
Berawal dari dua pemikiran yang berbeda ini, BPUPKI membentuk panitia guna memusyawarahkan landasan tersebut. Kesembilan yang tergabung tak lain adalah Soekarno, Mohammad Hatta, M. Yamin, Wahid Hasyim, Agus Salim, Abdul Kahar Muzakir, Achmad Subardjo, Abikusno dan A.A Maramis. Setelah melalui permusyawarahan, tepatnya pada tanggal 22 Juni 1945 lahirlah sintesis atau paduan dari kedua usulan tersebut, yakni Piagam Jakarta. 
Dalam Piagam Jakarta, Pancasila diterima sebagai dasar negara. Namun urutan silanya berganti. Pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno menyampaikan lima asas bangsa Indonesia dengan urutan: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Perikemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan yang Maha Esa. Kemudian oleh panitia sembilan diubah menjadi lima sila yang kini lebih kita kenal sebagai Pancasila, dengan tambahan di sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Sampai di sini, kita mencoba menarik hikmah dari sejarah di atas. Bagaimana kira-kira jika kita yang berada di posisi tokoh-tokoh tersebut? Mendapati dua perbedaan pikir yang kemudian dirumuskan agar menjadi selaras. Bagi saya pribadi pekerjaan ini bukan pekerjaan orang-orang biasa. Di dalamnya ada sekumpulan cita-cita plus jiwa-jiwa besar akan negara ini. Tokoh-tokoh yang mampu menyampingkan ego untuk kebaikan bersama, tokoh-tokoh cerdas yang mengajarkan kita bagaimana beragama dan bernegara menjadi paduan yang kuat tuk lebih memajukan Indonesia.
Kemudian kita kenal dengan sejarah terhapusnya tujuh kata Piagam Jakarta, yaitu terhapusnya kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” pada sila pertama. Saya belum mendalami betul kronologi sejarahnya, hanya saja mari kita menilik bagaimana akhirnya kemerdekaan Indonesia disahkan dengan diawali pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 
Entah pertolongan apa lagi yang Allah berikan kepada pejuang terdahulu, hingga lahir diksi yang membuat kita bertanya-tanya, siapa yang merumuskan pembukaan UUD kita ini? Mengatasnamakan Allah sebagai berkat pertama atas merdekanya negara Indonesia. Kita tentu mengenali kalimat pembukaan “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Tapi mungkin selama ini kita tidak betul-betul memahami, bahwa sejatinya inilah harapan tokoh-tokoh terdahulu untuk Indonesia. Negara yang bebas dan diberkati Allah. 
Tidak cukup di pembukaan UUD, ketika kita melihat kembali perubahan lima asas bangsa Indonesia menjadi Pancasila kini, lalu muncul lagi di benak-benak kita pertanyaan, bagaimana para tokoh merumuskan dasar negara menjadi lebih baik dan penuh makna dalam waktu begitu terbatas? Melahirkan kata hikmah, adil, beradab, yang bila kita kupas tuntas maknanya mungkin berlembar-lembar pelajaran yang akan kita dapat.
Adalah Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi yang telah menulis artikel mengenai kata-kata ajaib tersebut. “Maka ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan’ menggambarkan nilai sebuah sistem yang dikusai oleh semangat hikmat,” jelas beliau, “artinya sistem kenegaraan Indonesia harus berada di tangan orang-orang yang hakim. Yaitu orang yang berilmu hikmah, yang pasti tahu kebenaran yang berkata benar; yang tahu dan berani memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar; yang tahu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya; tidak akan pernah meletakkan kepentingan dirinya diatas kepentingan rakyat atau umat, tidak meletakkan perbuatan dosa atau maksiat dalam dirinya yang fitri dan seterusnya.” 
Tidak berpanjang mengenai diksi-diksi yang dipilih para tokoh di detik-detik kemerdekaan, kini saatnya kita merenung, mungkin banyak yang telah dikorbankan pejuang terdahulu hingga Allah memberikan hidayah-Nya melindungi bangsa dan agama ini. Mungkin hati-hati pendahulu tak lepas dari mengingat Allah sehingga Ia buka urusan demi urusan sampai kenikmatannya bisa kita rasakan sekarang. Lalu bagaimana kita? Apa yang tengah kita pikirkan, lakukan, perjuangkan untuk Indonesia lebih baik lagi? Apakah lantas bingung menyikapi sistem negara yang belum banyak sesuai harapan? Putus asa akan hutang-hutang yang semakin meninggi? Lalu menyerah dari peduli,  berbuat baik dan berprestasi hanya sebab aturan negara yang dipandang bukan urusan agama? 
Dr. Adian Husaini mengingatkan, bukankah justru di masa penjajahan lahir ulama-ulama pejuang mukhlis dari penjuru pesantren? Bukankah justru di masa penjajahan, api tauhid dalam dada umat muslim yang berkobar melawan kolonial? Bukankah justru di masa penjajahan, hati-hati besar bangsa Indonesia berpadu merangkul perbedaan dalam semangat satu, manusiakan Indonesia, adilkan Indonesia? Bukankah justru di masa genting tak berdayanya Indonesia, masih ada harapan-harapan tulus tuk generasi masa depan dari tokoh-tokoh kita terdahulu?
Maka apa yang tengah terjadi di negara ini, tetapkan yakin ada masa di mana Allah menguji orang dan bangsa yang Ia cinta. Ya, yang masih terdapat di dalamnya orang-orang yang senantiasa saling menasihati pada kebaikan dan terus menginsafi diri. Estafet harapan ini tak boleh terhenti. Lakukan apa yang bisa kita kerjakan. Manfaatkan peluang-peluang yang telah diperjuangkan tokoh-tokoh hanif terdahulu.
“Indonesia memang bukan negara agama, tapi Indonesia adalah negara orang yang beragama. Karenanya, keimanan merupakan unsur penting membangun negeri ini.” (KH. Zainuddin MZ)
Wallahu A’lam bis showab.
|| Jakarta, 16 Agustus 2017
48 notes · View notes
mymisykat · 7 years
Text
Infiltrasi Sekularisme dalam Kurikulum 2013
Tumblr media
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam bukunya, Islam and Secularim (terbit pertama kali tahun 1978), pakar pemikiran Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebut tiga komponen proses sekularisasi dalam pemikiran manusia, yaitu: (1) disenchantment of nature (pengosongan alam dari semua makna spiritual); (2) desacralization of politics (desakralisasi politik); dan (3) deconsecration of values (pengosongan nilai-nilai agama dari kehidupan). Sementara itu, pemikir Kristen Harvey Cox, dalam buku terkenalnya, The Secular City, menyebutkan definisi sekularisasi adalah:
“...pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one).
Menyimak kedua definisi itu, pada intinya, sekularisasi adalah proses pengosongan pemikiran manusia dari nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai agama. Dengan makna seperi itu, sekularisasi jelas bertentangan dengan tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 20 tahun 2003:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga disebutkan tentang tujuan Pendidikan Tinggi di Indonesia, yaitu: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. Itulah tujuan Pendidikan Nasional. Maka, tidak aneh dan sudah sepatutnya, jika Kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi inti pada penghayatan dan pengamalan ajaran agama para murid sekolah/universitas.
Kita perlu memberikan apresiasi positif terhadap niat pemerintah dalam menyusun Kurikulum 2013, karena menempatkan agama sebagai hal yang penting dalam dunia pendidikan nasional. Hanya saja, setelah mencermati sejumlah buku ajar dari Kurikulum 2013 yang digunakan di berbagai sekolah, kita menemukan masih dominannya pengajaran paham sekularisme, yang secara terang-terangan membuang ajaran Islam dan mempromosikan paham-paham materialisme, positivisme, relativisme, dan pluralisme. Bahkan, secara tegas dan sistematis, ada buku ajar yang menyingkirkan Islam dan ajaran-ajarannya. Sebagai contoh, dalam buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013), disebutkan, bahwa kompetensi inti pelajaran ini adalah: “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.” Sedangkan kompetensi dasarnya adalah: “Menghargai perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat.” Anehnya, buku ini dibuka dengan bab “Sejarah Perumusan Pancasila” yang menyebutkan, bahwa nilai-nilai Pancasila sudah dirumuskan jauh sebelum dimulainya Zaman Sriwijaya/Majapahit, zaman Penjajahan Barat, zaman Jepang, hingga zaman Kemerdekaan. Sama sekali buku ini tidak menyebutkan adanya unsur Islam dalam perumusan Pancasila. Padahal, jelas sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata ‘Allah’ yang merupakan nama Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci Islam juga menjadi bagian dari Pancasila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’, ‘hikmah’, dan ‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah Nusantara sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para ulama dari kawasan Jazirah Arab. Disebutkan juga dalam buku ini kisah tentang dihapuskannya tujuh kata dari sila pertama Pancasila, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Hanya saja, buku ini tidak menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara Bung Hatta dengan tokoh-tokoh Islam ketika itu, bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “Tauhid” dalam pengertian Islam. Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis:
“...bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”. (hal. 31). “Negara RI, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.” (hal. 34).
Argumentasi Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekedar pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan belum memenuhi konsep Tauhid yang sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi dalam al-Quran, Iblis disebut kafir (abaa wastakbara wa-kaana minal kaafirin). Seorang Muslim yang baik tentulah tidak mau jika statusnya sama dengan Iblis, yakni hanya mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tetapi membangkang terhadap aturan-aturan Allah Subhanahu Wata’ala. Pemahaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep Tauhid ditegaskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan, diantaranya: (1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.(3) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa:
“Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hal. 224).
Jadi, bisa disimpulkan, buku Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tersebut jelas-jelas telah berusaha menjauhkan murid-murid Muslim dari agamanya, karena Pancasila hanya dipahami dalam perspektif sekular yang dijauhkan dari nilai keislaman. Materi ajar seperti ini pada ujungnya akan mempertentangkan antara Islam dan Pancasila, sebab Pancasila ditempatkan sebagai satu pandangan hidup dan pedoman amal tersendiri, yang ditempatkan sebagai tandingan bagi pandangan hidup Islam. Akhirnya anak didik diarahkan menjadi sekular; didorong untuk membuang ajaran agamanya ketika menerima pelajaran Pancasila dan kewarganegaraan. Minimal, anak didik dipaksa bersikap mendua atau munafik; pura-pura menerima ajaran Pancasila yang sekular, sementara ia pun harus menerima pandangan hidup Islam. Contoh lain dari buku ajar yang mendorong anak didik menjadi sekuler bisa dilihat dalam buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X”, yang juga berdasarkan Kurikulum 2013. Buku ini terbitan sebuah penerbitan terkenal. Pada Bab II, tentang Asal-usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia, disebutkan bahwa Karakter yang dikembangkan dalam pembahasan ini adalah:
“Mensyukuri kebesaran Pencipta dan bertakwa kepada-Nya. Mempelajari secara ilmiah terjadinya alam semesta mengarahkan siswa untuk sadar bahwa di balik segala peristiwa sejarah, Tuhan memiliki maksud dan tujuan yang mulia untuk kita, dan karena itu mendorong kita untuk berserah hanya kepada-Nya.”
Jadi, karakter yang dituju dalam buku ini sangat baik. Akan tetapi, anehnya, dalam pembahasan tentang sejarah manusia Indonesia tersebut, tidak ada sama sekali rujukan wahyu Allah. Semua pembahasan hanya berlandaskan empirisisme dan rasionalisme. Jelas, di benak penulis buku ajar ini, ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan alam semesta dan sejarah penciptaan manusia dan juga asal-usul manusia, tidak dianggap sebagai sumber ilmu, sehingga tidak dimasukkan ke dalam kategori “ilmiah”. Di halaman 77, 92, dan 93 ditampilkan lukisan nenek moyang bangsa Indonesia yang memperlihatkan sebuah keluarga homo erectus yang – katanya – berumur sekitar 900 tahun yang lalu, dimana mereka dilukiskan sebagai manusia purba yang mulutnya monyong dan bertelanjang bulat. Pada bagian rangkuman (hal. 81) dikutip pendapat Charles Darwin (1809-1882) yang menyatakan, bahwa: “Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.” Dikatakan dalam buku ini, bahwa pendekatan agama dan pendekatan sains (ilmu pengetahuan) dalam upaya memahami realitas alam semesta adalah berbeda.
“Agama berada dalam tingkat eksistensial dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains berada dalam tingkat faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama dan sains memiliki otonomi masing-masing. Itu tidak berarti keyakinan keagamaan tidak rasional. Perasaan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tetap dapat dijelaskan secara rasional. Singkatnya, agama dan sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu dicampuradukkan.” (hal. 81).
Cara pandang terhadap agama dan sains semacam itu jelas-jelas bersifat sekular. Itu jelas keliru. Cara berpikir semacam ini juga merupakan dogma yang diyakini oleh ilmuwan sekular. Itu merupakan kesalahan epistemologis, yang memisahkan panca indera dan akal sebagai sumber ilmu, dengan khabar shadiq (true report) — dalam hal ini wahyu Allah — sebagai sumber ilmu. Padahal, dalam konsep keilmuan Islam, ketiga sumber ilmu itu diakui dan diletakkan pada tempatnya secara harmonis. Dalam Kitab Aqaid Nasafiah – kitab aqidah tertua yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu – dikatakan bahwa sebab manusia meraih ilmu ada tiga, yaitu: panca indera, akal, dan khabar shadiq. Sistem keilmuan sekular dan ateistik tidak mengakui “wahyu” sebagai sumber ilmu, karena wahyu dianggap sebagai dogma yang tidak ilmiah. Padahal, pada saat yang sama, ilmuwan sekular itu pun menerima berita-berita yang dibawa oleh para anthropolog dan ilmuwan ateis, tanpa proses verifikasi. Mereka menolak berita dari al-Quran, tetapi menerima berita dan dugaan-dugaan dari Charles Darwin dan sejenisnya. Itu juga menjadi dogma bagi ilmuwan ateis itu. Darwin ditempatkan sejajar dengan Nabi. Teori manusia purba adalah suatu rekaan dari penyusunan tulang belulang makhluk purba yang kemudian difantasikan ke dalam wujud manusia purba atau manusia goa (cave man) yang telanjang, mulutnya monyong, dan hidupnya hanya untuk cari makan sebagaimana layaknya binatang. Cara pandang ini berangkat dari anggapan bahwa manusia adalah makhluk “materi” yang merupakan kumpulan tulang dan daging. Ilmuwan-ilmuwan ateis ini tidak memandang manusia sebagai kesatuan antara jasad dan ruh (jiwa). Bahkan, dalam pandangan Islam, unsur terpenting dari manusia adalah jiwanya. Karena itu, jika mendefinisikan manusia, maka definisi yang terpenting adalah definisi tentang jiwanya. Teori perkembangan fosil manusia hanyalah menyentuh aspek jasadiah, yang tidak substansial sebagai manusia. Suatu makhluk baru disebut manusia jika ia punya jiwa atau punya akal; tidak masalah apakah jalannya ngesot atau tegak; apakah mulutnya monyong atau tidak. Jiwa atau akal manusia itu tidak mengalami evolusi. Dan sumber informasi tentang jiwa atau akal hanyalah dari wahyu. Karena sains menolak wahyu, maka sains pun akhirnya tidak mampu memahami manusia secara sempurna. Ironis, bahwa teori sains yang sekularistik dan ateistik semacam ini, masih dipaksakan diajarkan kepada anak-anak murid di sekolah. Teori semacam ini jelas bertentangan dengan konsep keilmuan dan keimanan dalam Islam yang Tauhidik. Sangat disayangkan, bahwa kurikulum 2013 yang memiliki tujuan yang baik akhirnya masih juga disusupi dengan paham sekular yang mendorong manusia untuk membuang agama dari pikiran dan dari kehidupannya. Mengadopsi teori evolusi Darwin tentang asal-usul manusia sebenarnya sangat menghina manusia Indonesia. Karena nenek moyang kita adalah Nabi, yakni manusia yang paham untuk apa hidup di dunia; yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT (QS 51:56); bukan hanya untuk cari makan, sebagaimana monyet. Biarlah Darwin dan para pengikutnya saja yang nenek moyangnya adalah monyet, yang hidupnya hanya untuk cari makan dan memuaskan syahwat. Sangat tidak beradab memaksakan teori seperti ini kepada umat beragama di sekolah-sekolah.
Selain kedua buku tersebut, masih ada beberapa contoh buku ajar yang lain yang mengandung muatan-muatan sekularisme, yang sepatutnya tidak dipaksakan kepada murid-murid Muslim. Buku-buku ajar semacam ini sangat bertentangan dengan tujuan Pendidikan Nasional untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa. Semoga pejabat yang berwenang di Indonesia mau menyadarinya. Terlebih khusus lagi, semoga lembaga pendidikan Islam memahami dampak buruk dari buku ajar bermuatan paham ateis dan sekuler. Wallahu a’lam bish-shawab.
1 note · View note
harianpublik-blog · 7 years
Text
Senada dengan Yusril, Margarito Kamis Tak Setuju 1 Juni Jadi Hari Lahir Pancasila
Senada dengan Yusril, Margarito Kamis Tak Setuju 1 Juni Jadi Hari Lahir Pancasila
Tumblr media Tumblr media
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis sependapat dengan pandangan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang tak setuju bila 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Margarito mengatakan bahwa 1 Juni 1945 hanya dicetuskan nama Pancasila. Sedangkan Pancasila yang isinya seperti yang terkandung saat ini adalah Pancasila yang diresmikan pada 18 Agustus 1945.
“Kalau Pancasila yang dirumuskan pada 18 Agustus, itu adalah tindak lanjut dari Pancasila yang dirumuskan pada 22 Juni (Piagam Jakarta), kecuali kata dengan menjalankan Syariat Islam yang dihapus,” katanya saat dihubungi Kriminalitas.com, Kamis (8/6/2017).
Selain itu, lanjut dia, yang menjadi salah satu kontroversi Pancasila versi 1 Juni itu adalah, sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan di urutan terakhir.
Namun, saat ditanyakan tentang opini Yusril yang menyebut Pemerintah saat ini terkesan membenturkan Pancasila dengan umat Islam, dia enggan menanggapi.
“Itu soal lain. Saya tidak mau masuk kesitu. Tapi 1 Juni hanya penamaannya (Pancasila) saja. Saat itu, Ketuhanan Yang Maha Esa ada pada sila yang terakhir, jelas berbeda dengan Pancasila yang kita tahu sekarang ini,” tutupnya.
Diketahui, Yusril menyikapi keputusan Presiden Joko Widodo yang menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila lewat sebuah tulisan yang ia rilis baru-baru ini.
Di dalam tulisannya, Yusril mengkritik pihak-pihak yang membuat Pancasila hanya sebatas jargon belaka. Selain itu, Yusril juga mengkritik sikap-sikap anti-Pancasila yang belakangan ini justru sering dilakukan oleh pemerintah.
sumber : kriminalitas
Sumber : Source link
0 notes
noturmilkyway · 5 years
Text
Pancasila Sebelum Kemerdekaan dan Pada Saat Kemerdekaan
Pancasila tidak ujuk-ujuk menjadi sebuah dasar negara Indonesia karena Pancasila juga melewati beberapa masa yang dapat dikatakan sebagai masa awal pancasila dibuat atau masih dirumuskan. Ada beberapa masa yang dapat kita bagi, namun tulisan ini hanya akan membahas Pancasila sebelum kemerdekaan dan pada saat kemerdekaan.
Pancasila Sebelum Kemerdekaan
Pada masa ini, sebenarnya Pancasila masih belum terbentuk. Bahkan, terpikirkan pun belum. Namun, pada masa ini lah bibit dari Pancasila nantinya akan terbentuk. Contohnya dari sila pertama, yaitu ketuhanan yang maha esa. Pada masa sebelum kerajaan menguasai nusantara, nenek moyang kita pun sudah mempercayai sebuah kepercayaan kepada benda yang ada di bumi, seperti laut, pohon, hutan, dll. Bahkan, mereka pun juga mempercayai roh terdahulu untuk disembah. Kepercayaan mereka ini lambat laun dikenal sebagai animisme dan dinamisme. Setelah itu, muncullah kerajaan di nusantara. Ketika pada masa ini, agama pun mulai diperkenalkan oleh pendatang yang mana akhirnya masyarakat pun menganut sebuah agama. Setelah berjalannya waktu, masyarakat pun megenal nilai ke-Tuhanan, persatuan dan kesatuan, keadilan, hingga puncaknya ketika Indonesia sedang dijajah oleh bangsa asing, para pendiri Indonesia pun ingin menyatukan Indonesia dan ingin Indonesia merdeka dan menjadi bangsanya sendiri. Hal inilah yang menjadi nilai-nilai terbentuknya pancasila, sesuai dengan tujuan pancasila itu sendiri yaitu untuk menyatukan masyarakat Indonesia dan menyejahterakan masyarakat Indonesia, hal itu bisa terwujud dengan merdekanya Indonesia. Sebelum Pancasila terbentuk, ada dua masa yang sangat berperan penting yaitu, masa perintis dan masa penegas.
1. Masa Perintis
Masa perintis adalah masa dimana semangat kebangsaan melalui pembentukan organisasi-organisasi pergerakan mulai dirintis yang mana ditandai dengan adanya pergerakan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei1908. Ada bebrapa organisasi yang mulai dibentuk pada masa ini, yaitu:
Budi Utomo
Organisasi ini dibentuk pada tanggal 20 Mei 1908 yang akhirnya kita kenal sebagai hari Kebangkitan Nasional. Budi Utomo memiliki tujuan untuk menyadarkan rakyat Indoensia dan berusaha meningkatkan kemajuan penghidupan bangsa dengan cara mencerdaskan rakyatnya. Pada tanggal 5 Oktober 1908 di Yogyakarta menjadi kongres Budi Utomo pertama untuk menetapkan penghurus besar organisasi dari golongan tua.  Kehadiran Budi Utomo membangkitkan rasa persatuan bangsa Indonesia hinga banyak lahir organisasi lainnya.
Indische Partij
Indische Partij merupakan organisasi di Indonesia yang pertama secara tegas menyatakan berpolitik. Dengan demikian, Indische Partij bisa dikatakan sebagai partai politik pertama yang ada di Indonesia. Indische Partij sendiri pada awalnya dibentuk untuk memperbaiki nasib kaum Indo yang pada saat itu menaruh dendam kepada belanda dan segala sesuatu yang bercorak Belanda. Organisasi ini dibentuk oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryoningrat. Tujuan organisasi ini dibentuk salah satunya untuk menyatukan semua golongan yang ada agar dapat mempertahankan tanah air dari serangan asing.
Serikat Islam 
Sebelum namanya berubah menjadi Sarekat Islam, sebelumnya organisasi ini bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Pendiri dari SDI adalah H. Samanhudi dan didirikan di Solo pada tahun 1911. Sejak SDI berpindah ke Surabaya, dan kepemimpinan saat itu berpindah ke HOS Cokroaminoto, SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam. Alasannya yaitu untuk memperluas bidang kegiatan organisasi yang awalnya hanya bergerak pada bidang perdagangan. Organisasi ini berkembang secara cepat dan menjadi ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Karena perkembangan ini, Serikat Islam pun berubah menjadi parpol. Namun, pada tahun 1921 Serikat Islam mengalami kemunduran karena di dalam organisasi tersebut terpecah menjadi dua kubu.
2. Masa Penegas
Masa penegas merupakan masa mulai ditegaskannya semangat kebangsaan pada diri bangsa Indonesia yang ditandai dengan adanya peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari kaum terpelajar mulai bangun dan bergerak karena sadar akan kedudukannya sebagai harapan bangsa. Pada tahun 1914 berdirilah dibawah pimpinan Dr. Satiman Wirjosendjojo, perkumpulan pemuda Djawa Tri Koro Darmo, artinya tiga tujuan mulia. Kemudian namanya diganti menjadi Jong Java. Lalu berdiri pula Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun dan Jong Islamietin Bond berdasarkan agama Islam.  Pada bulan Oktober 1928, diadakanlah Kongres Pemuda di Jakarta yang merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia dan untuk kali pertama Sumpah Pemuda pun diucapkan. Isi dari Sumpah Pemuda tersebut adalah:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengaku berbangsa satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia, menjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Untuk kali pertama juga pada kongres tersebut, lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Soepratman diperdengarkan yang hingga sekarang menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Sebagai kelanjutan dari Sumpah Pemuda itu, maka pada tahun 1931 semua perkumpulan-perkumpulan pemuda dilebur menjadi satu, yaitu Indonesia Muda.
Pancasila Pada Saat Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan pembentukan dan perumusan Pancasila sudah dalam langkah yang nyata. Hal itu terbukti dengan terbentuknya BPUPKI dan PPKI yang bertujuan untuk menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia, yang kemudian diadakannya sidang untuk merumuskan dan membentuk dasar-dasar negara Indonesia termasuk Pancasila. Tokoh-tokoh mulai menyampaikan gagasannya untuk dijadikan dasar negara mulai dari Muhammad yamin, Wiranata Koesoema, Soerio, Suranto tirtoprodjo, Dasaad, Agoes Salim, Andoel Rachiem Pratalykama, Abdul Kadir, K.H. Sanoesi, Ki Bagus Hadikoesoema, Soepomo, Moehammad Hatta, dan Soekarno.
BPUPKI
BPUPKI dibentuk pada tanggal 29 April 1945. Jepang membentuk BPUPKI karena semakin terdesak dalam perang dan ingin mempertahankan sisa-sisa kekuatannya dengan meraih dukungan rakyat Indonesia. BPUPKI memiliki tugas utama yaitu mempelajari dan menyelidiki hal penting yang berhubungan dengan berbagai hal yang menyangkut pembentukan Negara Indonesia. Sidang pertama tersebut dilaksanakan di Gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6, Jakarta yang Sekarang menjadi Gedung Pancasila. Sidang diawali pada 29 Mei 1945 dengan tema Dasar Negara. Pada saat itu, ada 3 tokoh yang merumuskan 5 dasar negara, yaitu Mohammad Yamin menyampaikan lima asas, yaitu: Peri Kebangsaan Peri Kemanusiaan Peri Ketuhanan Peri Kerakyatan Kesejahteraan Rakyat (keadilan sosial).
Kemudian tanggal 31 Mei 1945, Soepomo memberikan usulan lima asas sebagai berikut: Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir batin, Musyawarah, dan Keadilan rakyat. 
Soekarno juga mengusulkan lima asas yang saat ini disebut Pancasila pada 1 Juni 1945, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang Maha Esa.
PPKI
PPKI dibentuk oleh Jepang pada tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan wakilnya Moh. Hatta. Anggotanya terdiri dari 12 wakil dari Jawa, tiga dari Sumatera, dua dari Sulawesi, serta masing-masing satu dari Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan satu perwakilan etnis Tionghoa. PPKI melakukan tiga kali sidang. Sidang ini baru digelar setelah proklamasi kemerdekaan. 
1. Sidang pertama, digelar pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan putusan: mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil, membentuk komite nasional untuk membantu tugas Presiden sementara sebelum dibentuknya MPR dan DPR. 
2. Sidang kedua pada tanggal 19 Agustus 1945 yang menghasilkan:pembagian wilayah Indonesia yang terdiri atas 8 provinsi, membentuk Komite Nasional (daerah), menetapkan 12 departemen dengan menterinya yang mengepalai departemen dan 4 menteri agama. 
3. Sidang ketiga pada 22 Agustus 1945 menghasilkan keputusan: pembentukan Komite Nasional, pembentukan Partai Nasional Indonesia, pembentukan Badan Keamanan Rakyat atau Tentara Nasional Indonesia (TNI). 
Akhirnya, pada 29 Agustus 1945 PPKI dibubarkan bersamaan dengan pelantikan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. 
PROKLAMASI
Pada hari Jumat, 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Pada era Pra Kemerdekaan selepas perumusan dasar negara Indonesia yang dilaksanakan tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945. Sesudah itu dibentuk panitia kecil ( 9 Orang ) untuk merumuskan gagasan-gagasan tentang dasar-dasar negara yang dilontarkan oleh 3 pembicara pada persidangan pertama. 
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta mengesahkan pada sidang PPKI dalam pembentukkan UUD 1945. Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir.Soekarno, Moh Hatta, A.A  Maramis, Abdul Kahar, H.A Salim, Achmad Subadjo, Abikoeno, K.H Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Pada tanggal 22 Juni 1945 Piagam Jakarta meperbandingkan perumusan dasar negara menjadi :
1. Ketuhanan yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaa dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia.
0 notes
anurullahi · 6 years
Text
Islam, Politik, dan Reuni 212
Membincang kata politik saat ini tidak lepas dari beragam definisi yang varian dan membingungkan. Terlebih kata politik saat ini kerapkali bergandengan dengan laku dan ujaran yang berasosiasi negatif. Melihat fenomena ini wajar jika Rocky Gerung, pengamat politik dari UI kemudian membagi jenis politik yang tumbuh dan berkembang saat ini menjadi dua; politik pedagogis dan politik demagogis.
Pedagogis adalah seni untuk menjadi pengajar atau ilmu untuk menjadi pengajar. Dalam pedagogis ada muatan mendidik, menumbuhkembangkan, dan memanusiakan. Apabila kita korelasikan definisi ini dengan kata politik maka politik pedagogis adalah politik yang mendidik dan memanusiakan. Politik pedagogis menempatkan manusia bukan sebagai objek namun sebagai subjek yang memiliki akal dan nurani sehingga dalam menjalankan fungsinya politik memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan seperti kasih sayang, kejujuran, kebajikan, dan kerjasama.
Sedangkan demagogis berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan gaggos yang berarti pemimpin yang menghasut. Berangkat dari pengertian ini bisa dipahami bahwa politik demagogis adalah politik yang mengandung muatan negatif. Dalam politik demagogis manusia ditempatkan sebagai objek yang tetap memiliki akal namun mengesampingkan aspek kemanusiaan. Politik dioperasionalkan dengan gegabah tanpa mengedepankan akal sehat sehingga dalam praktiknya ia akan mengandung ujaran kebencian, kedustaan, persekongkolan, dan menjadikan kekuasaan sebagai orientasi akhir.      
Dalam rangka untuk membersihkan pikiran publik dari pemaknaan kata politik yang mulai distorsif sehingga membuat publik alergi untuk aktif terlibat dan berangkat dari upaya mendudukan kata politik pada fitrahnya dalam sudut pandang Islam maka tulisan ini dibuat.
Politik Islam dalam Panorama Sejarah
Untuk memahami definisi politik itu sendiri kita perlu melacak latar belakang sejarah perumusan kata tersebut. Jika mengacu pada literatur Barat akan didapati bahwa kata politik berasal dari kata polis. Syahdan, apa itu polis?
Yunani, sekitar tahun 600 SM berbentuk seperti kesatuan wilayah-wilayah dengan pemerintahannya masing-masing atau biasa disebut polis (negara kota). Jika dianalogikan, terdapat satu negara bernama Jawa, maka di dalam negara Jawa ini terdapat polis Jakarta, polis, Bandung, dan sebagainya. Mereka berdiri sebagai sebuah negara berdaulat dengan memiliki masing-masing raja dan perangkat pemerintahannya. Kembali ke Yunani, terdapat banyak polis disana namun dikarenakan masing-masing polis di Yunani kerapkali berseteru maka hanya menyisakan dua polis yang terkuat, yaitu polis Sparta dan polis Athena. Meski pernah berseteru, kedua polis ini dalam satu kesempatan pernah bersatu untuk mengusir invasi Kekaisaran Persia. Di dalam polis ini terdapat sejumlah variabel utama pemerintahan seperti pemimpin, wakil rakyat, dan rakyat. Pemimpin adalah ketua dalam satu kelompok masyarakat dan bertanggungjawab atas kebutuhan kelompok masyarakat yang dipimpinnya, wakil rakyat adalah mereka yang bertugas sebagai penyambung lidah rakyat yaitu menjembatani kepentingan rakyat dengan kepentingan pemimpin, sedangkan rakyat adalah sekelompok masyarakat yang dipimpin dan hidup diatas aturan yang sudah dibuat pemimpin. Tujuan dengan diadakannya perangkat seperti pemimpin, wakil rakyat, rakyat dengan masing-masing tupoksinya adalah agar ada distribusi tanggungjawab yang jelas untuk mencapai kemaslahatan/kemakmuran bersama.
Jika melihat potret polis pada saat itu bisa dipahami bahwa polis adalah sebuah tatanan masyarakat dimana terdapat pengelolaan urusan manusia yang dilakukan oleh pemimpin, wakil rakyat dan rakyat yang masing-masing memiliki fungsi dan tanggungjawabnya. Definisi ini yang kemudian yang saat ini diserap menjadi sebuah kata; politik.
Apakah Islam membahas tentang politik? Dapatkah kita temukan dalam 114 surat dan sekitar 6600 ayat di dalam Al Quran terma politik? Secara tekstual, tidak. Namun secara kontekstual, iya. Sebab dalam beberapa ayat di dalam Qur’an tidak lepas dari sejumlah narasi yang berbicara tentang hukum, keadilan, kerajaan, pemimpin, dan rakyat. Faktanya variabel-variabel tersebut adalah variabel yang menjadi bagian integral dari konsep politik itu sendiri. Oleh karenanya, Islam secara kontekstual turut berbicara tentang politik dan memberikan pedoman-pedoman yang harus dipegang teguh dalam mengoperasionalkannya.
Panorama sejarah politik Islam sebenarnya telah dimulai semenjak Muhammad hijrah ke Yatsrib (Madinah). Hadirnya Muhammad di tengah-tengah masyarakat kota Yatsrib pada saat itu adalah untuk menunaikan misi kenabian (profetik) sekaligus misi kepemimpinan yang dimulai dengan membentuk sebuah komunitas masyarakat yang solid dan padu. Yatsrib saat itu terdiri dari masyarakat yang heterogen, terdiri dari beragam suku seperi Aus dan Khazraj, serta beragam agama seperti Islam, Nasrani, dan Yahudi. Keragaman ini kemudian dikelola untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera dalam dimensi berkeyakinan dan peribadatan maupun hubungan sosial kemasyarakatan melalui pemanfaatan kerangka hukum yang disepakati bersama pada saat itu, Piagam Madina. Yatsrib sebagai kota difungsikan sebagai pusat konsolidasi strategi dan kekuatan dalam rangka mewujudkan rencana perluasan ajaran Muhammad pada saat itu. Yatsrib adalah basis militer sekaligus basis pemerintahan umat Islam dimana Muhammad adalah panglima sekaligus kepala negaranya.  
Dalam fakta sejarah, ketika wahyu pertama turun kepada Muhammad tersimpan sebuah dorongan baginya untuk mengabarkan kepada khalayak perihal narasi peradaban yang ditawarkan Allah melalui lisan Muhammad. Diatas bukit Tursina, Muhammad mengumpulkan masyarakat kota Mekah dan lantas menyerukan mereka untuk menyembah Tuhan Yang Satu dan mengakui dirinya sebagai utusan Tuhan. Jelas hal tersebut menimbulkan kegemparan publik. Akar sejarah kebudayaan masyarakat kota Mekah yang dibangun melalui tradisi politeisme telah meresap sangat dalam di setiap lini kehidupan mereka sehingga tatkala mereka diserukan untuk mengubah paradigma politeisme menuju monoteisme adalah sebuah hal yang musykil. Syahdan, hal ini pula yang membuat Muhammad dan sejumlah pengikutnya terusir dari Mekah sehingga hijrah ke Yatsrib. Namun jika mencoba melihat peristiwa di bukit Tursina secara lebih jeli, ada pesan eksplisit yang disampaikan. Pertama, adalah deklarasi Tauhid sebagai sebuah pandangan hidup baru. Kedua, internasionalisasi Islam sebagai sebuah visi ajaran ke depan. Kedua pesan ini sebenarnya perlu dimaknai sebagai pondasi penting dalam rangka mewujudkan Islam sebagai ajaran universal yang bisa diterima oleh setiap manusia dan alternatif dalam menjawab persoalan manusia. Kedua hal tersebut perlu dibuktikan. Maka pada titik awal dakwah tersebut perlunya sebuah usaha untuk mengoperasikan Islam sebagai basis ideologis dalam melakukan perjuangan politik; membangun negara.
Pertanyaan selanjutnya kembali muncul. Kenapa dalam bentuk negara?
Ada tiga alasan kenapa di awal dakwah Muhammad perlu mendirikan sebuah negara untuk menunjang proses ekspansi ajarannya. Pertama, wujud negara adalah representasi konsep “Syumuliatul Islam” (Islam yang menyeluruh). Islam perlu dimaknai sebagai sebuah pandangan totalitas yang tidak memisahkan urusan agama dengan sekuler. Pandangan yang tidak membatas pada ritus ibadah semata namun turut berkontribusi dalam isu  pengelolaan ekonomi, penciptaan tatanan sosial budaya, bahkan perumusan hukum di masyarakat bahkan tata negara. Narasi kepemimpinan Muhammad di masa awal dakwahnya di Madinah tidak lepas dari bimbingan Tuhannya yang menuntun ia dalam mengelola kehidupan dunia yang diterjemahkan melalui serangkaian kebijakan yang ia buat pada saat itu. Pasar difungsikan sebagai pusat ekonomi dengan perniagaan yang jauh dari perilaku curang, masjid difungsikan sebagai pusat pendidikan, kegiatan administrasi negara, bahkan tempat strategi dirumuskan, serta penciptaan ketertiban umum melalui Piagam Madina sebagai landasan konstitusi dalam bermasyarakat dan bernegara.
Kedua, negara adalah representasi dari konsep amal jama’i (gotong royong) yang paripurna. Di dalam konsep amal jama’i tersusun komposisi pemimpin dan yang dipimpin, tupoksi, dan visi. Melalui penegasan posisi yang jelas maka distribusi tanggungjawab akan tersalurkan secara merata dan benar sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang mampu menunaikan kewajiban dengan benar dan memperoleh hak yang jelas dalam rangka menciptakan keadilan sosial. Dalam kerangka sosial, amal jama’i adalah sarana untuk membangun kerekatan sosial yang menembus dimensi suku, bangsa, dan agama dimana hal ini merupakan salah satu instrumen penting untuk membangun tatanan masyarakat Madinah yang solid dan pemerintahan yang stabil. Konsep amal jama’i ini merupakan pedoman strategis dalam pengelolaan sumberdaya manusia untuk mencapai tujuan bersama. Ia adalah asas awal konsep organisasi yang kelak menjadi wacana penting bagi generasi penerus dalam merancang strategi dan usaha perluasan dakwah melalui pengelolaan sumberdaya manusia.
Ketiga, adalah nilai tawar. Komunitas muslim di Madina saat itu terhimpit oleh dua negara besar, Persia dan Romawi. Muhammad pun sadar bahwa ajaran yang dibawanya perlu menyentuh masyarakat di dua negara digdaya tersebut. Dalam hubungan internasional, upaya untuk melakukan tarik menarik pengaruh hanya bisa dilakukan melalui relasi yang setara atau “G” to “G” (pemerintah dengan pemerintah). Oleh karenanya Muhammad mengirim surat kepada Heraklius (pemimpin Romawi kala itu) dalam posisinya sebagai nabi utusan Tuhan sekaligus kepala negara untuk menyeru Heraklius menyembah Allah semata dan mengakui Muhammad sebagai utusannya. Surat ini lantas menjadi perhatian serius bagi Heraklius sekaligus menjadi narasi pembuka bagi misi pembebasan yang kelak dilakukan pasukan muslim disana. Pembentukan negara meskipun wilayahnya masih kecil merepresentasikan masyarakat yang merdeka dan berdaulat. Memiliki kemampuan dalam membangun sistem pengelolaan urusan orang banyak. Kepemilikan kekuatan tempur yang solid sampai lalu lintas niaga dan ilmu pengetahuan. Variabel-variabel inilah yang menjadi komposisi strategis untuk menciptakan sebuah peradaban baru diantara dua peradaban besar dunia saat itu. Pada titik ini Islam memperoleh marwahnya atau political positioning di tataran global.  
Reuni 212;Transformasi Islam Sebagai Ruh Gerakan Politik
Terdapat cukup banyak kontribusi nilai-nilai Islam yang ditransformasikan dalam perjuangan politik bangsa Indonesia. Mulai dari perumusan dasar negara, menjadi pionir dalam membuka proses transisi kekuasaan orde lama dan orde baru, bahkan sampai upaya merawat nilai demokrasi dan HAM di Indonesia. Namun pada kesempatan ini penulis mencoba mengambil satu case sejarah sebagai contoh, yaitu perihal isu polemik penggunaan jilbab pada era 1980 yang bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik hingga menumbangkan orde baru.
Pada era 1980 sempat mencuat polemik pelarangan penggunaan jilbab di sekolah umum. Hal tersebut diperkuat dengan terbitnya Surat Keputusan Dirjen Dikdasmen pada tahun 1982 perihal “Standardisasi Seragam Sekolah”. SK tersebut digunakan oleh rezim untuk merepresi ekspresi kebebasan beragama di muka umum. Sejumlah siswi yang masih bertahan menggunakan jilbab diberikan dua pilihan; Drop Out atau melepas jilbab mereka. Sejumlah siswi bahkan memutuskan pindah ke sekolah-sekolah swasta seperti SMA Muhammadiyah. Adapula yang memutuskan melepas jilbab mereka agar bisa bertahan di sekolah negeri.
Bagi penguasa orde baru pada saat itu, menilai bahwa penggunaan jilbab di instansi publik adalah ekspresi sikap oposan terhadap pemerintah. Kebencian orde baru pada wacana Islam saat itu sebenarnya bisa dicermati melalui kerangka politik dan sosiologi. Pertama, watak kekuasaan adalah merawat usia kekuasaan. Soeharto melihat bahwa umat Islam memiliki potensi besar untuk mengganggu kekuasaannya berusia langgeng mengingat dalam sejarah percaturan politik nasional, umat Islam memiliki daya tawar dan sumberdaya yang cukup untuk mengubah komposisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Orde lama berhasil tumbang salah satunya atas kontribusi besar umat Islam saat itu yang berkolaborasi dengan Angkatan Darat. Spirit mereka berjuang dilandasi oleh keikhlasan dan keyakinan teologis sehingga menghasilkan politisi-politis ulung dan ide-ide radikal di masanya seperti Buya Hamka, M.Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dkk. Sehingga wajar jika pada saat itu Soeharto enggan melakukan rehabilitasi partai Masyumi yang sempat dibekukan oleh Soekarno. Kedua, meyadur pendapat Clifford Gertz dalam Religion of Java, Soeharto yang merupakan penganut Islam Abangan memiliki relasi hubungan yang bersifat antagonistik dengan kelompok Islam Santri. Sikap permusuhan ini sebenarnya berangkat dari keyakinan teologis dimana kelompok santri memusuhi praktik klenik yang dilakukan kelompok abangan dimana hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Qur’an dan Hadits bahkan menjurus pada perilaku menyekutukan Allah.
Represi terus berlanjut. Bahkan setiap perempuan yang bertahan menggunakan jilbabnya kerapkali dipandang curiga oleh publik mengingat pada saat itu isu “Gerakan Teroris Komando Jihad” tengah berdengung keras di tengah khalayak. Wanita yang berjilbab kerapkali diasosiasikan dengan gerakan teroris ini. Pemerintah memanfaatkan isu teroris tersebut melalui framing media untuk menekan ekspresi keislaman yang tengah bangkit terinspirasi dari Revolusi Iran. Represi yang dilakukan pemerintah nyatanya hanya menghasilkan radikalisasi massa pada saat itu. Massa umat Islam terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan masyarakat akhirnya melakukan protes akbar menentang kebijakan pelarangan jilbab di sejumlah kota. Protes yang semakin meluas membuat pemerintah kehabisan akal untuk meredam amarah massa. Aksi protes yang berangkat dari gerakan keagamaan kemudian bertransformasi menjadi gerakan politik untuk mencabut SK tersebut. Akhirnya pada tahun 1991 SK tersebut terpaksa dicabut. Gerakan politik tersebut tidak berhenti sampai disitu. Pada bulan Mei 1998  gerakan politik Islam ini berhasil menjadi eksponen yang menumbangkan pemerintahan Soeharto serta membuka keran reformasi di Indonesia.  
Kembali masuk pada era kontemporer, penulis menemukan Reuni Akbar 212 sebagai gerakan moral yang kelak bertransformasi menjadi gerakan politik. Toh, jika benar terjadi nantinya gerakan ini perlu dirayakan sebagai sebuah diskursus baru untuk mempergilirkan kekuasaan dengan cara yang massif namun tertib dan beradab. Perlu dipahami secara sosial historis bahwa gerakan ini sebenarnya lahir pada 2016 sebagai gerakan untuk mengembalikan supremasi hukum yang pada saat itu menjerat mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahya. Respon yang lamban dari pemerintah pusat membuat rakyat akhirnya bersikap. Dan gerakan moral saat itu bisa dimaknai sebagai sebuah gerakan yang berupaya memperbaiki tatanan masyarakat dan nilai-nilai yang hidup ditengahnya agar dikelola dengan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab oleh pemerintah. Maka dalam rangka menjaga spirit moral tersebut pada 2017 dan 2018 gerakan ini terus bertransformasi menjadi sebuah gerakan holistik yang tidak hanya mengusung narasi supremasi hukum namun juga berbicara pada narasi perbaikan kondisi bangsa dalam berbagai dimensi. Perlu diakui bahwa gerakan ini lahir dari sebuah kecemasan publik, mulai dari kesenjangan sosial ekonomi hingga isu paling sensitif yaitu agama. Rentetan upaya demonisasi Islam; kriminalisasi ulama, wacana masjid radikal, dan sederet narasi penguasa yang menyinggung rasa keagamaan umat muslim akhir-akhir ini menemui titik kulminasinya ketika agenda reuni akbar 212 makin dicegah dengan berbagai cara. Wajar kiranya reuni 212 merupakan bagian dari show off force masyarakat Indonesia, utamanya umat muslim, untuk mengingatkan bahkan menyampaikan aspirasinya bagi penguasa untuk segera menuntaskan permasalahan negara yang terjadi, terlebih saat itu menyangkut isu keumatan.
Jika dimaknai sebagai sebuah gerakan politik, aksi 212 ini memiliki nilai lebih dari gerakan politik pada umumnya. Adalah nilai-nilai moral yang diserap dari ajaran agama yang akhirnya membuat aksi massa ini mencerminkan perilaku moral masyarakat Indonesia yang beradab seperti  persatuan, kasih sayang sesama manusia, solidaritas, dan integritas. Bisa dibayangkan jutaan manusia yang sebelumnya tidak pernah saling mengenal tidak mendapati kata sungkan untuk saling memberi, mendukung, bahkan mendoakan sesama dalam satu tempat dan waktu yang sama bahkan mampu menunaikan hak politik mereka (berkumpul dan beraspirasi) secara tertib dan tidak melanggar konstitusi. Potret ini memberikan gambaran jelas bahwa gerakan politik ini sesungguhnya membawa narasi persatuan yang akan terus terawat. Kebhinekaan yang terus terperlihara. Rasa kemanusiaan masyarakat Indonesia untuk saling menjaga, merasa, memahami, bahkan memperbaiki kondisi bangsa dan negara melalui sikap dan perbuatan nyata dan bisa dipertanggungjawabkan. Hingga pada titik ini kita telah menyaksikan bahwa Islam telah berhenti berbicara pada ritus ibadah, tetapi ia telah bertransformasi menjadi ruh gerakan.
Sebagai penutup, politik Islam adalah aktivitas yang mendorong manusia melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab dengan sebaik-baiknya dalam mengelola urusan sesamanya. Dimensi pertanggungjawaban politik Islam tidak hanya membatas kepada publik namun juga kepada Yang Maha Kuasa sehingga menuntut integritas dalam pelaksanaanya. Spirit Islam dalam gerakan politik adalah untuk membawa perbaikan pada pengelolaan urusan orang banyak ketika mengalami penyimpangan dan merawat tatanan baik yang sudah ada agar sesuai pada khittahnya. Islam memberikan value kepada wacana politik berupa tanggungjawab, integritas, pembelaan, dan ketakwaan. Spirit islam dalam aktivitas politik akhirnya akan bermuara pada satu kanal yaitu ketakwaan pada Allah, mendorong setiap manusia mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ketika kebijakan penguasa sedikit banyak memberikan halangan bagi rakyat untuk mengekspresikan ketakwaan kepada Tuhannya, maka perjuangan politik adalah alternatif ibadah untuk menunjukan keberpihakan dan pembelaan melalui jalan parlementer maupun ekstra parlementer. Akhir kata, selamat beribadah!
0 notes
cyberdelusiondream · 6 years
Text
Bupati Sukabumi Pimpin Upacara Hari Lahir Pancasila
Bupati Sukabumi Pimpin Upacara Hari Lahir Pancasila
berantasonline.com (Sukabumi) – Pancasila pertama kali diuraikan secara jelas oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 kemudian dituangkan dalam Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dan dirumuskan secara final pada tanggal 18 Agustus 1945. Dimana Para pendiri bangsa dari berbagai kelompok, golongan dan latar belakang duduk bersama untuk menetapkan Pancasila sebagai pemersatu segala perbedaan.
View On WordPress
0 notes
wawasansejarah-blog · 7 years
Text
Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Piagam Jakarta adalah nama dokumen bersejarah yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan sebagai konsensus nasional antara pihak Islam dan nasionalis dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).  Dokumen ini mempunyai dampak besar bagi terbentuknya fondasi Negara Indonesia merdeka. Namun di satu sisi, juga memunculkan kontroversi di dalamnya, terutama pada perubahan sila…
View On WordPress
0 notes
joeivaan · 8 years
Text
Thought via Path
Pancasila Dasar negara Indonesia Untuk yang lain, lihat Pancasila (disambiguasi). Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Sejarah perumusan dan lahirnya Pancasila Rumusan-rumusan Pancasila Perisai Pancasila menampilkan lima lambang Pancasila. Pada bulan April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat. Dalam pidato pembukaannya dr. Radjiman antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota-anggota Sidang, "Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?" Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu: Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut. Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya: Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Sebelum sidang pertama itu berakhir, dibentuk suatu Panitia Kecil untuk : Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar Negara berdasarkan pidato yang diucapkan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka. Dari Panitia Kecil itu dipilih 9 orang yang dikenal dengan Panitia Sembilan, untuk menyelenggarakan tugas itu. Rencana mereka itu disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 yang kmeudian diberi nama Piagam Jakarta. Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah: Rumusan Pertama: Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945 Rumusan Kedua: Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945 Rumusan Ketiga: Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949 Rumusan Keempat: Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950 Rumusan Kelima: Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekret Presiden 5 Juli 1959) Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 Juni 2016 telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila sekaligus menetapkannya sebagai hari libur nasional yang berlaku mulai tahun 2017. Hari Kesaktian Pancasila Pada tanggal 30 September 1965, terjadi insiden yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S). Insiden ini sendiri masih menjadi perdebatan di tengah lingkungan akademisi mengenai siapa penggiatnya dan apa motif di belakangnya. Akan tetapi otoritas militer dan kelompok keagamaan terbesar saat itu menyebarkan kabar bahwa insiden tersebut merupakan usaha PKI mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis, untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia, dan membenarkan peristiwa Pembantaian di Indonesia 1965–1966. Pada hari itu, enam Jenderal dan 1 Kapten serta berberapa orang lainnya dibunuh oleh oknum-oknum yang digambarkan pemerintah sebagai upaya kudeta. Gejolak yang timbul akibat G30S sendiri pada akhirnya berhasil diredam oleh otoritas militer Indonesia. Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Butir-butir pengamalan Pancasila Berdasarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 Ketuhanan Yang Maha Esa Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Kemanusiaan yang adil dan beradab Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Saling mencintai sesama manusia. Mengembangkan sikap tenggang rasa. Tidak semena-mena terhadap orang lain. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. Berani membela kebenaran dan keadilan. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain. Persatuan Indonesia Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Cinta Tanah Air dan Bangsa. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong. Bersikap adil. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menghormati hak-hak orang lain. Suka memberi pertolongan kepada orang lain. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain. Tidak bersifat boros. Tidak bergaya hidup mewah. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum. Suka bekerja keras. Menghargai hasil karya orang lain. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Berdasarkan ketetapan MPR no. I/MPR/2003 Sila pertama Bintang Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. Sila kedua Rantai Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. Berani membela kebenaran dan keadilan. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain. Sila ketiga Pohon Beringin Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Sila keempat Kepala Banteng Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan. Sila kelima Padi dan Kapas Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menghormati hak orang lain. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. Suka bekerja keras. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. – Read on Path.
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Pembahasan Paling Menarik "HARI PANCASILA" Oleh Yusril Ihza Mahendra
Pembahasan Paling Menarik "HARI PANCASILA" Oleh Yusril Ihza Mahendra
Tumblr media Tumblr media
“HARI PANCASILA”
Oleh: Yusril Ihza Mahendra (Ahli Hukum Tata Negara)
Sebagian orang menyebut tanggal 1 Juni adalah Hari Lahirnya Pancasila, yang sekarang sebagian orang menyebutnya dengan istilah Hari Pancasila. Pancasila adalah landasan falsafah negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea ke 4.
Saya lebih suka menyebut Pancasila sebagai “landasan falsafah negara” bukan dasar negara atau ideologi sebagaimana sering kita dengar. Istilah landasan falsafah negara itu bagi saya lebih sesuai dengan apa yang ditanyakan Ketua BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Diawal sidang, Radjiman berkata, “Sebentar lagi kita akan merdeka. Apakah filosofische grondslag Indonesia merdeka nanti?” Radjiman tidak bertanya tentang ideologi negara atau dasar negara. Dia bertanya filosofische gronslag atau landasan falsafah negara.
Bagi saya ucapan Radjiman itu benar. Landasan falsafah adalah sesuatu rumusan yang mendasar, filosofis dan universal. Beda dengan ideologi yang bersifat eksplisit yang digunakan oleh suatu gerakan politik, yang berisi basis perjuangan, program dan cara mencapainya.
Landasan falsafah negara haruslah merupakan kesepakatan bersama dari semua aliran politik ketika mereka mendirikan sebuah negara. Karena itu landasan falsafah negara harus menjadi titik temu atau common platform dari semua aliran politik yang ada di dalam negara itu.
Ada beberapa tokoh yang menanggapi pertanyaan Radjiman. Mereka menyampaikan gagasan tentang apa landasan falsafah negara Indonesia merdeka itu. Supomo, Hatta, Sukarno, Agus Salim, Kiyai Masykur, Sukiman adalah diantara tokoh-tokoh yang memberi tanggapan atas pertanyaan Radjiman.
Sukarno adalah pembicara terakhir yang menyampaikan tanggapannya pada 1 Juni 1945. Dia mengusulkan 5 asas untuk dijadikan sebagai landasan falsafah. Sukarno menyebut 5 asas yang diusulkannya itu sebagai “Pancasila”.
Setelah semua tanggapan diberikan, Supomo berkata bahwa dalam BPUPKI itu terdapat dua golongan, yakni golongan kebangsaan dan golongan Islam. Golongan Islam, kata Supomo, menghendak Indonesia merdeka berdasarkan Islam. Sebaliknya golongan kebangsaan menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan antara agama dengan negara.
Setelah itu dibentuklah Panitia 9 untuk merumuskan landasan falsafah negara berdasarkan semua masukan yang diberikan para tokoh. Kesembilan tokoh itu adalah Sukarno, Hatta, Ki Bagus, Haji Agus Salim, Subardjo, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Maramis dan Yamin.
Sembilan tokoh itu, 4 mewakili Gol Kebangsaan, 4 mewakili Gol Islam, dan 1 mewakili Gol Kristen. Sembilan tokoh ini merumuskan naskah proklamasi yang sekaligus akan menjadi Pembukaan UUD. Naskah tersebut disepakati pada tanggal 22 Juni 1945.
Yamin menyebut naskah itu “Piagam Jakarta” yang berisi gentlemen agreement seluruh aliran politik di tanah air. Dengan Piagam Jakarta kompromi tercapai, Indonesia tidak berdasarkan Islam, tapi juga tidak berdasarkan sekularisme yang pisahkan agama dengan negara. Dalam Piagam Jakarta itulah untuk pertama kalinya kita temukan rumusan Pancasila sebagai landasan falsafah negara yang disepakati semua aliran.
Ketika proklamasi, naskah Piagam Jakarta tidak jadi dibacakan sebagai teks proklamasi. Teks baru dirumuskan malam tanggal 16 agustus. Teks baru proklamasi yang dibacakan tanggal 17 Agustus adalah teks yang kita kenal sekarang “Kami bangsa Indonesia..” dst. Namun naskah Piagam Jakarta disepakati akan menjadi Pembukaan UUD yang disahkan tanggal 18 Agustus 45.
Sebelum disahkan, Sukarno dan Hatta minta tokoh-tokoh Islam setuju kata “Ketuhananan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Walaupun kecewa, namun Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima ajakan Sukarno dan Hatta.
Kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya akhirnya dihapus” dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi kompromi terakhir tentang landasan falsafah negara Pancasila dengan rumusan seperti dalam Pembukaan UUD 45 adalah terjadi tanggal 18 Agustus 1945.
Jadi hari lahirnya Pancasila bukanlah tanggal 1 Juni, tetapi tanggal 18 Agustus ketika rumusan final disepakati dan disahkan.
Pidato Sukarno tanggal 1 Juni barulah masukan, sebagaimana masukan dari tokoh-tokoh lain, baik dari gol kebangsaan maupun dari gol Islam. Apalagi jika kita bandingkan usulan Sukarno tanggal 1 Juni cukup mengandung perbedaan fundamental dengan rumusan final yang disepakati 18 Agustus. Ketuhanan saja diletakkan Sukarno sebagai sila terakhir, tetapi rumusan final justru menempatkannya pada sila pertama.
Sukarno mengatakan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi trisila dan trisila dapat diperas lagi menjadi ekasila yakni gotong royong. Rumusan final Pancasila menolak pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekesila tersebut.
Demikianlah penjelasan saya tentang Hari Lahirnya Pancasila atau Hari Pancasila semoga ada manfaatnya.[]
Sumber : Source link
0 notes