Ketika Tradisi Berladang Petani di Kaltim Dituding Jadi Faktor Dominan Pemicu Karhutla
Selama enam tahun terakhir kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terbesar di Kalimantan Timur (Kaltim) terjadi pada September 2019.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat pada tahun tersebut total luas lahan dan hutan di Kaltim yang terbakar mencapai 68,524 hektar.
Sebelumnya pada 2016 total luas lahan dan hutan terbakar di Kaltim sebanyak 43.136,78 hektar, kemudian 2017 sempat menurun menjadi 676,38 hektar dan 2018 naik lagi jadi 27.893,20 hektar hingga tertinggi pada 2019.
Meski begitu, dua tahun terakhir relatif menurun. Luas lahan dan hutan di Kaltim terbakar pada 2020 sebanyak 5.221,00 hektar dan hingga Agustus 2021 sebanyak 414,00 hektar.
Dinas Kehutanan Kaltim menuding petani atau peladang sebagai aktor dominan pemicu karhutla, karena membuka kebun dengan membakar.
"Sebanyak 90-an persen adalah pembukaan ladang. Pelaku ya masyarakat, petani yang buka kebun, tapi tidak semua," ungkap Kepala Seksi Pengendali Kerusakan dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Kaltim, Shahar Al Haqq pekan kedua Agustus 2021.
Selain petani, kata Shahar faktor lain akibat kelalaian membuang puntung rokok sembarang ataupun sisa api unggun serta faktor alam.
Hasil identifikasi Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kaltim juga demikian. Masyarakat membuka lahan dengan cara membakar. Lahan yang dimaksud, bisa kebun, bisa juga lain-lainnya.
Sejak 2019 sampai Agustus 2021, Ditreskrimsus Polda Kaltim melaporkan 12 pelaku karhutla diproses hukum. Tapi, semua perorangan.
Petani tersangka karhutla
September 2019, Polda Kaltim menangkap pelaku karhutla terbanyak dalam sejarah penegakan hukum karhutla enam tahun terakhir.
Saat itu, sebanyak 30 orang ditangkap dan ditetapkan tersangka termasuk para petani saat membuka kebun cabai dan singkong.
Semua bermula dari teguran keras Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Tito Karnavian, sebagai kapolri saat itu dan Panglima TNI saat ini, Marsekal Hadi Tjahjanto agar mencopot jajarannya jika tak becus atasi karhutla.
Irjen Pol Priyo Widyanto sebagai Kapolda Kaltim saat itu, langsung memerintahkan jajarannya menangkap semua pelaku karhutla. Unit Satreskrim Polres se-Kaltim bergerak menyisir wilayah masing-masing.
Alhasil, 30 orang ditangkap dan ditetapkan tersangka karhutla saat itu.
Pelaku terbanyak di Kabupaten Berau yakni sembilan orang, sisanya tersebar di Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, Paser dan beberapa daerah lain.
Para pelaku yang ditangkap, beberapa di antaranya petani yang membersihkan kebun dengan membakar. Meski luas lahan dibawah dua hektar, tapi mereka tetap ditangkap dan jadi tersangka.
Padahal, Pasal 69 Ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat lokal diperbolehkan membakar.
"Asal dibawah dua hektar dan memperhatikan dengan sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing. Rasanya Perda Kaltim juga ada kok," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim, Yohana Tiko saat dihubungi pekan ketiga Agutus 2021.
Ketika petani singkong dan cabai ditangkap di kebun
Sejak perintah Presiden ke Tito 2019, di Kaltim polisi menangkap pelaku karhutla seperti membabi buta.
Dua petani di Sangatta, Kutai Timur, ditangkap saat membersihkan kebun untuk tanam cabai dan singkong, Jumat (20/9/19) sore.
Saat itu, hari mulai senja ketika langit berubah kemerahan, Ashar memantik korek api gas yang ada ditangannya.
Ia menyulutkan api ke tisu bekas, lalu meletakan ke tumpukan rerumputan kering di depannya.
Seketika api membesar dan membakar kebunnya seluas 15×20 meter. Kebun ini ia bersihkan untuk tanam singkong.
Tapi, tak lama berselang pria asal Sangatta Utara, dijemput polisi karena dituding membakar lahan.
Korek api gas hijau merk tokai dan tisu bekas jadi barang bukti polisi saat ditangkap.
Bergeser ke desa sebelah, Swarga Bara, masih dalam satu kecamatan Sangatta Utara di Kutai Timur, seorang petani cabai bernama Zulrahit juga dibekuk polisi karena dituding karhutla.
Zulrahit ditangkap karena membakar lahan seluas 2×18 meter persegi, untuk membuka kebun cabai.
Dari tangan pria 48 tahun itu, polisi mengamankan barang bukti satu buah korek api gas warna ungu merk hunter, sebilah parang, dan beberapa peralatan kebun lainnya.
Kedua petani ini ditetapkan tersangka oleh Polres Kutai Timur karena dianggap melanggar Pasal 108 Undang-Undang Perkebunan Jo Pasal 187 KUHP.
Tak hanya di Kutai Timur, kasus petani diseret karhutla juga terjadi di Kabupaten Paser, Berau dan lainnya.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Margaretha Seting Beraan mengatakan seorang petani di Kabupaten Paser dijemput polisi saat sedang membuka ladang sendiri.
“Padahal petani ini sudah lapor ke RT, ke Lurah, dia sudah lapor," kisah Margaretha saat dihubungi Kompas.com pekan pertama Agustus 2021.
Bahkan, saat membakar pun, lanjut Margaretha, si petani ini dibantu oleh tetangga-tetangganya.
"Mereka bikin kumpulan (rumput) sedikit-sedikit bakar, sedikit-sedikit bakar, lalu datang polisi ambil yang punya ladang,” tutur Margaretha.
Saat itu, Polres Paser mengamankan tiga petani karena membakar lahan sendiri untuk berkebun. Ketiganya, Sadarani (41), Jumardi (55) dan Sikkin (60).
Ketua Lembaga Adat Paser Kabupaten Penajam Paser Utara, Musa mengungkapkan penangkapan itu, ternyata memantik gelombang solidaritas.
Ratusan massa mengatasnamakan masyarakat adat Paser menggelar demo depan kantor Bupati Paser.
Musa bilang saat itu, massa meminta ketiga petani tersebut dilepas. Sebab, bagi masyarakat adat Paser kegiatan membuka kebun dengan membakar merupakan tradisi turun temurun.
Tradisi ini, kata dia, dikenal dengan istilah Neket Jowa. Istilah ini merujuk pada lahan yang sudah dirintis kering dan siap dibakar ketika tiba musim tanam.
Dalam membakar pun, kata Musa, pinggiran kebun terlebih dahulu dibersihkan agar tidak menjalar hingga memicu karhutla. Tradisi bersihkan pinggiran kebun dikenal dengan istilah Ngoak.
“Jadi kami pastikan terbakarnya enggak meluas. Kami ingin karena ini tradisi, mestinya difasilitasi. Bila perlu saat bakar, pemerintah ikut memantau. Pihak terkait ikut menjaga sehingga ada kerja sama," ucap Musa saat dihubungi Kompas.com.
Beralih ke Berau, saat bersamaan Unit Reskrim Polres Berau menyisir hingga mengamankan sembilan pelaku karhutla.
Tujuh pelaku ditangkap di satu lokasi, saat sedang membakar lahan. Komplotan ini diduga membuka kebun sawit ilegal tanpa izin.
Polisi mengamankan barang bukti satu unit eskavator hitachi, tiga unit chainsaw, hingga parang dan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Pelaku meratakan pepohonan dengan alat berat lalu membakar rerumputan hingga puluhan hektar sudah ludes.
Awalnya, polisi menduga ada keterlibatan perusahaan, karena lahan yang dibakar bersisian dengan kebun sawit.
Dugaan itu diperkuat dengan pengakuan beberapa pelaku yang mengaku, membakar karena diberi upah oleh seseorang.
Tapi, belakangan Satreskrim Polres Berau mengklaim tidak menemukan keterlibatan perusahaan.
Kasat Reskrim Polresta Balikpapan Kompol Rengga Puspo Saputra mengatakan hasil penyelidikan saat itu, tak ditemukan keterlibatan perusahaan. Rengga kala itu memimpin tim reskrim di Polres Berau.
"Pemodalnya saat itu, ternyata perorangan juga. Dia ikut tertangkap di lokasi," ungkap Rengga pekan ketiga Agustus 2021.
Meski perorangan, kata Rengga, pemodal ini membiayai seluruh kegiatan land clearing kebun, termasuk upah pekerja.
"Pemodal ini beri (kerja) borongan ke pekerja. Dari rintis sampai bakar. Kasus itu sudah divonis kok," tutur dia.
Kapolda Kaltim, Irjen Pol Herry Rudolf Nahak mengatakan tanpa henti pihaknya beri edukasi bahaya karhutla bagi masyarakat.
"Tapi tentu kami juga menindak tegas pelaku yang sengaja membakar lahan dan hutan," ucap dia.
Hasil identifikasi Ditreskrimsus Polda Kaltim edukasi bahaya karhutla sulit disosialisasikan kepada masyarakat di pedalaman Kaltim yang bercocok tanam dengan cara nomaden dan cenderung memisahkan diri.
Selain itu, faktor geografis dan kondisi alam di Kaltim yang berbukit dan hutan cukup menyulitkan mendeteksi dan mencegah karhutla.
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), jumlah kasus karhutla yang sudah divonis hakim Pengadilan Negeri (PN) di 10 kabupaten dan kota di Kaltim sebanyak 25 perkara sejak 2016 sampai 2020.
Meliputi, PN Bontang ada tiga kasus vonis 2020, PN Kutai Timur enam kasus vonis 2016 dan 2020, PN Paser dua kasus vonis 2017, PN Berau sembilan kasus vonis 2016 dan 2019 dan PN Kutai Kertanegara enam kasus vonis 2016.
Aktivis lingkungan Kaltim tuding polisi jarang investigasi perusahaan
Para penggiat lingkungan, masyarakat adat hingga aktivis buruh di Kaltim masih belum percaya.
Bahwa petani atau peladang skala kecil dituding sebagai aktor dominan pemicu karhutla di Kaltim.
"Ini mustahil," ungkap Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kaltim Kornelius saat dihubungi pekan pertama Agustus 2021.
Bagi Kornel, justru yang merusak hutan di Kaltim adalah perusahaan kelapa sawit, tambang batu bara dan perusahan kayu lainnya.
“Mungkin saja ada (perusahaan terlibat karhutla). Tapi enggak ketahuan atau bisa saja berselingkuh dengan penegak hukum atau pemerintah,” ucap Kornel.
Ketua Lembaga Adat Paser Kabupaten Penajam Paser Utara, Musa juga menganggap tudingan itu keliru.
Sebab, bagi masyarakat Paser, kata dia, membakar kebun adalah tradisi masyarakat adat.
"Itu (bakar) turun temurun. Mestinya pemerintah fasilitasi," katanya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim, Yohana Tiko bilang kasus karhutla muncul justru setelah kehadiran perkebunan kelapa sawit di Kaltim.
Sejak dahulu, kata dia, meski ada tradisi membakar ladang tapi tidak terjadi karhutla semasif sekarang.
“Bahkan sebelum ada negara, masyarakat adat yang hidup turun temurun melakukan hal sama. Ketika membuka ladang, membakar, bukan mereka enggak paham caranya sehingga jarang ada karhutla,” terang dia.
Hanya saja, kata Tiko, penegak hukum hanya menjadikan para petani atau peladang sebagai kambing hitam saja. Ditangkap dan diproses hukum.
“Polisi atau pihak berwenang tidak melakukan investigasi secara mendalam. Titik api muncul darimana (dari mana) , dalam konsesi (perusahaan) enggak, dan mengapa bisa terjadi. Tapi begitu masyarakat lakukan pembakaran, padahal dia tahu metodenya, itu langsung ditangkap,” tegas dia.
Hal ini, kata Tiko membuat hukum seolah tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Bersambung ...
1 note
·
View note
Kebakaran Hutan di Indonesia
Terdapat 3 hutan hujan yang tersisa di dunia, salah satunya adalah di Indonesia. Secara garis besar, persebaran hutan hujan tropis di Indonesia terbagi menjadi 3 kawasan utama. Yang pertama adalah kawasan barat yang mencakup Pulau Kalimantan, Pulau Sumatra, dan Pulau Jawa. Pada kawasan ini flora yang ada dikategorikan sebagai flora asiatis. Selanjutnya ada kawasan tengah. Kawasan ini biasanya disebut sebagai kawasan peralihan karena kawasan ini merupakan kawasan percampuran antara wilayah barat dan wilayah timur. Kawasan terakhir adalah kawasan timur yang mencakup Kepulauan Maluku hingga Papua.
Di sisi lain, Indonesia menjadi salah satu negara yang terkorup karena pembakaran hutan yang terjadi. Pada tahun 2019, terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia yang menghabiskan 857 ribu hektar hutan dari Januari hingga September. Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa luas lahan gambut yang terbakar mencapai 227 ribu hektar. Karhutla lahan gambut terbesar berada di Kalimantan Tengah seluas 76 ribu hektar, sedangkan di lahan mineral terjadi di Nusa Tenggara Timur seluas 119 ribu hektar.
Tersangka kebakaran hutan tersebut akhirnya tertangkap. Mereka mengaku membakar hutan karena akan dijadikan kebun kelapa sawit. Kasat Reskrim Polres Berau AKP Rengga Puspo mengatakan per hektarnya bernilai Rp 8-10 juta. Ada 9 tersangka yang tertangkap dan masih terus diselidiki karena bisa jadi tersangka bertambah. Tersangka tersebut mengaku akan mendapatkan modal dari seseorang untuk mengembangkan sawit. Sebagian tersangka merupakan bekas tenaga kerja Indonesia di perusahaan sawit di Malaysia.
Dalam film dokumenter “Before The Floods”, dijelaskan bahwa kelapa sawit merupakan sumber minyak sayur yang murah sehingga banyak dicari oleh konsumen. Karena peminatnya yang banyak, perkebunan kelapa sawit terus dibuat guna memenuhi permintaan tersebut. Dalam film itu dijelaskan juga perusahaan-perusahaan yang bergantung pada kelapa sawit menyuap pemerintah agar memberikan izin untuk membakar hutan.
Kebakaran hutan tersebut menyebabkan banyak satwa liar kehilangan tempat tinggal mereka. Seperti orangutan yang kehilangan rumahnya, bahkan tidak sedikit dari orangutan yang mati akibat kebakaran tersebut. Selain itu, karena pohon menyerap karbon dioksida dan menyimpannya maka ketika pohon tersebut dibakar akan mengeluarkan karbon dioksida ke udara dalam jumlah yang banyak.
Dengan pelepasan karbon dioksida tersebut menyebabkan pencemaran udara yang membuat daerah sekitar hutan menjadi sangat berkabut dan membuat masyarakat kesulitan dalam beraktivitas. Pencemaran udara tersebut juga membuat lapisan ozon yang ada di sekeliling bumi menipis dan berpengaruh besar pada pemanasan global dan perubahan iklim.
Melihat dampak yang disebabkan oleh kebakaran hutan, kita harus bisa mencegah kebakaran hutan tersebut. Dari film “Before The Floods”, kita bisa melihat pemerintah memiliki peranan penting dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan. Pemerintah harus bisa tegas dalam menangani masalah ini, karena hal ini memiliki dampak jangka panjang yang mungkin saat ini belum terlihat dampaknya. Pemerintah bisa memberikan batasan bagi perusahaan kelapa sawit dalam pemakaian lahan untuk kebun kelapa sawit mereka.
Sebagai konsumen, kita juga bisa mengambil peran dalam pencegahan ini. Kita bisa mulai dengan mengurangi penggunaan produk yang mengandung kelapa sawit. Hal ini memang terlihat sulit, tetapi setidaknya kita bisa membantu mulai dari hal yang kecil. Kita juga bisa mengurangi penggunaan alat elektronik, seperti ac, yang bisa menyebabkan pemanasan global semakin parah. Dengan begitu, kita sudah membantu mengurangi peningkatan pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi.
Sita Aisha Ananda/00000031869/UMN
0 notes