Tumgik
#Tinggalkan Kursi
tangerangraya · 5 months
Text
Merasa Dapat Panggilan, Airin Rela Tinggalkan Kursi DPR Demi Maju Jadi Cagub Banten
Banten – Politisi Partai Golkar, Airin Rachmi Diany akui siap mundur dari kursi DPR RI di Senayan. Hal tersebut dilakukannya agar dapat maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Banten nanti. Diketahui, mantan Walikota Tangerang Selatan itu berhasil mengamankan satu kursi DPR RI dari dapil Banten III. Airin memperoleh 302.878 suara pada Pileg 2024 kemarin. Jumlah itu merupakan perolehan suara terbanyak…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
kabarkita · 2 months
Text
Tekad Alhudri, Tinggalkan Kursi Empuk Pj Bupati Demi "All In" Membangun Kampung Halaman
KABARKITA.CO | Takengon – Sosok Alhudri tidaklah asing lagi bagi berbagai kalangan di mulai dari aktivis, pegiat sosial, birokrat, media hingga berbagai elemen masyarakat lainnya. Birokrat tulen asal “negeri diatas awan” itu pernah menempati berbagai posisi penting di Pemerintahan Aceh. Sebelum menjabat sebagai kepala dinas pendidikan, Alhudri sempat menduduki Kepala Dinas Sosial Aceh dan Kepala…
0 notes
coretanbetty · 2 years
Text
Seseorang yang (Masih) dalam Ingatan  #1
“Kamu pulang?”,
Kalimat penuh keterkejutan itulah yang pertama kali kudengar darinya. Seorang lelaki berkaca mata yang saat ini duduk di kursi rotan teras rumahku bersama Bapak. Bapak memang sengaja memanggilnya ke rumah untuk melakukan kawin suntik pada sapi yang dipelihara Bapak. Ya, lelaki itu adalah seorang dokter hewan yang cukup terkenal di desaku karena memang hanya dia dokter hewan yang ada.
“Iya, ada cuti tiga hari dari perusahaan,” jawabku sambil meletakkan teh panas dan setoples rengginang yang baru saja digoreng Ibu ke meja tempat mereka bercengkerama.
“Nah, ayo diminum dulu nak Rahman. Udara dingin begini pancen paling cocok ya ngeteh panas. Monggo diminum…”Bapak mempersilahkannya menikmati teh yang baru saja kubuat.
“I..iya, Pak. Matur suwun..” jawabnya sopan dan mengambil teh yang baru saja aku letakkan di meja. Saat aku akan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba Bapak memanggilku
“Lho Nduk, sini dulu to! Temani nak Rahman ngeteh dulu, ya. Bapak mau ngasih pakan sapi, tadi kelupaan belum dipakani,” perintah Bapak tak bisa dibantah. Sambil beranjak dari duduknya, Bapak menyuruh aku untuk duduk di kursi yang baru saja dia tinggalkan dan menggantikannya menemani lelaki yang saat ini sedang kesulitan meminum tehnya karena masih panas.
“Nak Rahman, Bapak tinggal dulu ya.. Terima kasih banyak lho ya, sudah menyempatkan pagi-pagi begini datang ke rumah,” ucap Bapak padanya
“Iya Pak, sami-sami. Itu sudah menjadi tugas saya. Kalau waktunya kelewat kan bisa gagal bunting sapinya,”
“Waah kalau kelewat, bisa gagal dong Bapak dapat pedet lagi. Semoga yang tadi jadi ya, Nak. Yo wes, kalau gitu Bapak pergi dulu ya,” pamit Bapak dan akhirnya berjalan pergi meninggalkan kami berdua.
Canggung. Awkward. Dan kenapa jantung ini berisik sekali?
“E… kamu apa kabar, Ra? Udah lama ya kita ngga ketemu, hehe” dia mencoba mencairkan suasana
“Aku baik,Man. Kamu gimana? Kayaknya udah banyak nih pasiennya,” aku mencoba menetralkan kegugupanku. Bahkan setelah hampir tiga tahun tak bertemu, aku masih saja gugup jika berhadapan dengannya. Aku tidak tahu rasa apa yang semacam ini.
“Aku juga baik. Alhamdulillah, di sini ilmuku berguna, Ra. Bisa menolong tetangga-tetangga sekitar yang membutuhkan. Bagaimana rasanya kerja di kota besar, Ra? Aku kok membayangkannya aja udah sumpek yaa,hehe”
“Hmmm sebenarnya ngga semenakutkan itu kok, Man. Kebetulan aku dapat tim kerja yang supportif, lokasi kantorku juga bukan di tengah kota jadi ngga terlalu macet,”
“Oh ya, syukurlah kalau gitu. Pantesan kamu betah banget ya Ra di sana”
“Iya, Man.. Apalagi aku udah lama banget pengen merantau.”
“Eh cerita dong, selama di sana kamu dapat pengalaman apa aja, Ra?’
Dan mengalirlah ceritaku. Tentang awal mula aku sampai Bandung, muter-muter dianter Gojek mencari alamat kosan, cerita hari pertama aku masuk kantor, tentang rasa sedih dan rindu rumah yang kadang datang tiba-tiba, dan cerita lain yang terucap begitu saja hingga aku lupa gugup yang awal tadi terasa. Rahman mendengarkanku dengan sangat baik. Sesekali ia bertanya, menimpali, dan tertawa. Untuk yang terakhir, sungguh aku serasa ingin menghentikan waktu sejenak untuk terus melihatnya. Tapi, tunggu. Kenapa rasanya nyaman dan tiada beban saat aku bicara padanya? Berbeda sekali dengan dua setengah tahun lalu. Saat terakhir kali kami bertemu memang tidak dalam keadaan baik-baik saja, namun hari ini kenapa semua kenangan itu menguap begitu saja? Dan sejak kapan aku banyak bicara saat bersamanya? Bahkan tertawa bersama?
“Ra, kamu masih ingat ngga sama Tanti?” tanyanya tiba-tiba
“Tanti teman sekelas kita?” Oh ya, aku dan Rahman dulu satu kelas saat sekolah dasar. Kami sekolah di SD Negeri yang letaknya tidak jauh dari kantor kelurahan. Rumah kami beda dusun tetapi masih dalam kelurahan yang sama. Setelah lulus SD Rahman disekolahkan di SMP dan SMA yang ada di kota kabupaten, sedangkan aku masih bersekolah di SMP dan SMA yang dekat dengan rumah. Saat kuliah pun kami mengambil jurusan di kampus yang berbeda. Dia mengambil jurusan Kedokteran Hewan di Universitas Luar Provinsi, sedangkan aku mengambil jurusan Psikologi di salah satu Universitas besar di Kota kami. Itulah sebabnya kami hanya dekat saat masa kecil kami dan beberapa tahun yang lalu, sebelum peristiwa tak mengenakkan itu terjadi.
“ Iya… Dia juga baru pulang, lho. Awalnya dia tinggal di Bogar sama suaminya, tapi sekarang dia akan menetap di sini sama keluarganya.”
“Iya kah? Kenapa pindah?” tanyaku
“ Orang tuanya yang di sini sakit, Ra. Makanya dia pindah agar bisa ngurus orang tuanya juga. Kalau ada waktu mau ngga ikut aku buat ketemu dia?” tawarnya
“ Bolehlah, kebetulan aku di rumah juga lumayan lama dan ngga ada kegiatan nih,”
“Mayraaaa..” tiba-tiba terdengar suara Ibu dari dalam rumah yang memanggilku.
“Iya, Bu…” jawabku agak berteriak takut Ibu tidak mendengar. Namun saat aku mau beranjak dari dudukku, ternyata Ibu sudah lebih dulu keluar dari dalam rumah dan menuju teras tempat kami berbincang.
“Owalah, ada Nak Rahman.. Ibu kira sudah pulang tadi,”,sapa Ibu yang kudengar bukan seperti sapaan yang wajar. Lebih ke arah sindiran? Entahlah. Semenjak kejadian beberapa tahun lalu memang Ibu agak berbeda sikapnya ke Rahman. Lain halnya dengan Bapak yang masih biasa saja, bahkan cenderung lebih baik ke Rahman. Mungkin karena Rahman banyak membantu menyehatkan sapi-sapi kebanggaan Bapak. Aku hanya menduga saja.
“Eh.. I..iya, Bu.. Maaf jika saya mengganggu waktu Mayra..” jawab Rahman sambil menggaruk lehernya yang kukira tidak gatal.
“Ngga papa, Nak. Tadinya Ibu mau minta tolong Mayra buat beli sabun cuci piring ke warung, tapi kalau masih ada tamu yo wes Ibu saja yang pergi sambil sekalian beli bawang. Monggo dilanjutkan saja ngobrolnya,” Ibu kemudian berjalan meninggalkan kami
Suasana yang tadinya cair jadi membeku. Kami saling diam.
“Ra, maaf yaa… Gara-gara aku ngajakin ngobrol kamu jadi ngga bisa bantu Ibumu” Ia merasa bersalah
“Ngga papa, Man. Ibu ngga masalah kok”
 Dia diam agak lama. Aku juga. Mungkin sudah terlalu banyak topik yang kami bahas hingga aku tak tahu harus bicara apa lagi dengannya.
“Ra,”
“Hmm?”
“Apa besok kita masih bisa bertemu lagi?”
Perlukah aku menjawabnya?
-Bersambung-
8 notes · View notes
ingatlah · 2 months
Text
Carolina Marin Cedera: Pilih WO dan Tolak Kursi Roda, Tinggalkan Olimpiade 2024 dengan Kepala Tegak
INGATLAH.COM – Patah hati untuk badminton Spanyol. Jagoan mereka di nomor tunggal putri, Carolina Marin terpaksa meninggalkan pertandingan karena cedera. Marin gugur di babak semifinal. Kasus ini terjadi pada Minggu, 4 Agustus 2024. Carolina Marin berhadapan dengan He Bing Jao di partai semifinal badminton Olimpiade 2024. Awalnya pertandingan berjalan cukup mudah bagi Marin. Dia main meyakinkan…
0 notes
karinaworld · 2 months
Text
THE PREVAILING
Tumblr media
Indentifikasi kami menyatakan bahwa Anthony Gentry adalah orang yang paling cocok sebagai pelaku ini berdasarkan deskripsi, yaitu:
1. Usia dan Kelahiran:
- Pria berusia 40-an, lahir pada tahun 1981, saat ini pelaku berusia 43 tahun.
- Sesuai keterangan korban kedua, Deborah (42), yang mengatakan bahwa pelaku berusia tidak jauh darinya.
2. Mobil:
- Memiliki mobil berwarna hitam dengan plat 8PTM927, seperti keterangan saksi yang menyebutkan plat nomor ada huruf P dan angka 8.
3. Tinggi Badan:
- Tinggi 177 cm.
- Menurut kesaksian Jake pada kasus penembakan Alyssa, tinggi pelaku tidak jauh dari dia yang memiliki tinggi badan 176 cm.
4. Kondisi Emosional dan Mental:
- Memiliki trauma atau pengalaman emosional yang tidak stabil dan kecenderungan emosi yang meledak-ledak.
- Anthony memiliki skizofrenia, dibuktikan dari tindakannya yang mengaku berada di Ashley's Cafe bersama keluarganya pada pukul 7 PM, padahal sebenarnya ia berada di sana sendirian dan memesan banyak makanan, serta diam sampai kafe tutup dan diusir. Hal ini mengindikasikan bahwa skizofrenia Anthony sudah dalam tingkat keparahan yang membuatnya tidak bisa membedakan realita dan halusinasi.
- Saksi Megan (20) saat kejadian penembakan Carmen Diaz (39) mengatakan pengemudi tersebut merentangkan tangannya di kursi penumpang sebelahnya, seperti sedang melindungi seseorang, padahal dia yakin sekali tidak ada orang di dalam mobil itu, hanya dia saja.
- Anthony mengalami masculinity crisis yang menjelaskan mengapa korbannya adalah wanita, selain dikarenakan sifat penakutnya (memilih korban yang lemah). Kemungkinan mengalaminya karena masalah dengan istrinya dan tekanan dari pekerjaan seperti kesaksian tersangka.
5. Penggunaan Senjata:
- Menggunakan senjata laras panjang yang sudah dipotong bagian larasnya sehingga hasil luka tembak antar korban berbeda-beda.
- Pernyataan kontradiktif Anthony, "saya tidak punya senjata" kemudian berubah menjadi "senjatanya saya tinggalkan di rumah," menunjukkan sifatnya yang defensif dan penakut.
- Anthony tahu tipe senjata yang dipakai adalah tipe shotgun walau belum diberitahu.
6. Keluarga:
- Anthony sudah berkeluarga namun kondisi keluarganya sedang tidak harmonis.
7. Pekerjaan dan Tekanan:
- Bekerja di bidang pemasaran dengan tingkat resiko tekanan yang tinggi.
- Anthony sedang mengejar target untuk naik jabatan menjadi manajer, menambah tekanan dalam kehidupannya supaya istri dan anaknya dapat kembali bersamanya.
8. Kecenderungan Menyerang Wanita:
- Pelaku hanya menyerang wanita, menunjukkan bahwa ia tidak cukup mampu untuk menyerang pria lainnya karena sikapnya yang penakut.
- Anthony mengalami krisis maskulinitas, dimana orang tersebut merasa tidak mampu untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang laki-laki. Menurut kami, istrinya kemungkinan memiliki jabatan lebih tinggi darinya, sehingga Anthony merasa tidak dianggap karena penghasilan istrinya lebih besar atau karena manajer yang menekan pekerjaannya adalah seorang perempuan. Sehingga Anthony hanya membunuh wanita untuk membuktikan bahwa dirinya lebih berkuasa.
Proses profiling M4M4T (https://docs.google.com/spreadsheets/d/11AoZudpr7O-U2eX7dwTyIOq5B2CBUDN22yHOGJONZk8/edit?usp=drivesdk)
0 notes
beritaasiaterpopuler · 2 months
Text
Baru Dapat Golden Visa, Shin Tae-Yong Tinggalkan Timnas Indonesia Sebab Alasan Ini
Jornalmedasia.com Jakarta, 31 juli 2024 — keputusan mengejutkan tiba dari shin tae-yong, instruktur kepala tim nasional (timnas) indonesia. yang terbaru, shin tae-yong mengumumkan keputusannya untuk meninggalkan kursi kepelatihan timnas indonesia sesudah baru saja mendapatkan golden visa di uni emirat arab. pengumuman ini tentunya mengakibatkan pertanyaan serta spekulasi mengenai alasan di pulang…
0 notes
jaemirani · 2 months
Text
Tumblr media
Rasanya seperti mimpi.
Tungkainya turuni tangga satu-persatu sembari kumpulkan nyawa yang baru datang setengah. Ia dengar suara dari arah dapur, mungkin sang Papa yang tengah siapkan sarapan. Entah pria itu sampai ke rumah tadi malam atau di pagi buta ini, ia tak tahu, dirinya sibuk tidur setelah sampai ke rumah dengan selamat.
Sampai di lantai bawah, ia langsung menuju toilet di samping dapur, menggosok gigi serta mencuci muka. Usainya, dibawanya langkahnya menuju meja makan, tuangkan air putih lantas diminumnya. Lama ia duduk di sana, perhatikan sang Papa yang tengah sibuk buat sesuatu untuk dihidangkan sebagai sarapan. Niat awalnya, ia hanya akan taruh dua roti di mesin pemanggang, mengolesnya dengan selai lantas seduh susu sebagai pelengkap. Namun, belum sempat ia beranjak, sang Papa dengan tiba-tiba sodorkan kue ulang tahun—yang baru saja diambil dari dalam kulkas—ke hadapannya, di atas meja makan.
Ia melongo, mengerjapkan mata berkali-kali sebab kebingungan. Papanya memberinya kue ulang tahun? Tepat di pagi hari pada ulang tahunnya? Papanya ingat?
Kira-kira begitu isi kepalanya kala sang Papa tancapkan satu lilin pada kue, yang kemudian dinyalakan menggunakan korek api. Pria itu tak ucap apa-apa, hanya beri isyarat pada Wooyoung untuk segera tiup lilinnya sebelum lelehannya menyebar kemana-mana. Dan kalakian, Wooyoung beri anggukan. Untuk sejenak pemuda itu menutup mata, merapal harap di depan lilin yang menyala, sebelum akhirnya ditiupnya lilin itu hingga padam.
“Happy birthday,” ucap sang Papa kemudian, selagi tangannya terulur, beri usap pada pucuk kepala sang anak.
Dan lagi-lagi, Wooyoung melongo, sebelum akhirnya mata itu berkaca-kaca, menahan tumpukan kristal bening yang siap tumpah.
Ini mimpi, bukan, ya?
Pasalnya, tak pernah terlintas di dalam kepalanya bahwa sang Papa akan rayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh satu dengan kue sederhana dengan warna biru tua. Tak pernah pula terlintas di dalam kepalanya bahwa sang Papa akan ucapkan selamat untuk bertambahnya usianya dengan uluran tangan yang usap rambutnya sertakan juga senyuman tipisnya. Ini semua tak pernah ia prediksi akan terjadi di dalam hidupnya. Semua terasa mustahil, namun juga nyata.
Bukan mimpi, kan?
Tumblr media
Papanya bawa mawar putih ke rumah sang istri. Pria itu sempat bilang bahwa sang Mama suka sekali bunga mawar putih, dan setiap kali ia datang kemari, ia akan bawa setidaknya tiga tangkai untuk ditaruh di atas makam. Wooyoung sebenarnya tahu, itu sudah Papanya lakukan dari dulu-dulu. Ia sering temukan mawar putih yang sudah mulai layu tiap kali ia datang kemari sendirian. Dan ia tahu pelakunya pasti sang Papa yang dulu hampir tiap bulan jenguk sang istri.
Wooyoung sempat menangis di samping makam Mamanya. Sedikit tak percaya bisa jenguk sang Mama bersama sang Papa yang dulu selalu cerewet tiap kali ia buntuti untuk datang kemari. Ia berkali-kali membatin pada raga yang terkubur di dalam sana. Masih tak percaya akan keajaiban yang terjadi hari ini.
Mama, tolong bilang ini semua nyata. Wooyo rasanya gak percaya, rasanya kayak mimpi. Papa kasih Wooyo kue ulang tahun, ucapin Wooyo happy birthday sambil usap kepala Wooyo. Wooyo seneng banget sampai mau nangis rasanya. Kalo ini semua mimpi, Wooyo gak mau bangun lagi.
Mungkin kalimatnya tak akan pernah dapati validasi, namun, bagaimana sang Papa kemudian kembali usap pucuk kepalanya dengan ucap, “leave some prayers. We'll go home, bentar lagi bakal turun hujan,” akhirnya buat ia tarik ujung bibirnya.
Mama, thank you for sacrificing to give birth to me. Mama will always be remembered.
Akhirnya mereka beranjak dari sana. Tinggalkan makam sang Mama dengan lima mawar putih di atasnya. Kembali melaju menuju rumah di bawah rintik hujan yang tak terlalu besar. Papanya sibuk pada stir kemudi, sesekali tatap Wooyoung di kursi sebelah, sebelum akhirnya lempar tanya untuk pecahkan sunyi yang nyaris bekukan mereka berdua.
“How's college going?"
Wooyoung sempat tolehkan kepala, balas tatapan sang Papa, tak begitu lama, sebab ia sama sekali tak terbiasa. “It goes well. Sekarang lagi sibuk praktek sama persiapan buat UAS.”
“Tinggal seapart sama Yunho gimana? Aman?”
Oh, ia lupakan satu hal ini. Ia lupa bahwa sang Papa sama sekali tak tahu bahwa selama ini ia sewa kosan kecil alih-alih berbagi apartemen yang sama dengan Yunho. Ia sedikit tak menyangka, hampir tiga tahun ia berkuliah, rahasia ini tak pernah terdengar oleh telinga sang Papa.
“Itu... Aku sebenarnya gak tinggal bareng Yunho, Pa. Aku selama ini sewa kosan, lumayan jauh dari kampus, tapi sekarang udah pindah. Satu apart sama Yunho, sebelahan, gak sekamar.”
Dilihatnya, alis pria itu menukik, kiranya bingung atas pernyataan yang tiba-tiba ini. “Kapan pindahnya? Baru-baru ini atau udah lama? Karena seingat saya, kamu gak saya kasih uang selama dua bulan tadi, kan?”
Ia bergerak gelisah sekarang. Karena jujur, ia sedikit takut kala tatapan bingung sang Papa terobos manik legamnya. Ia sudah banyak berbohong beberapa tahun belakangan ini. Tak pernah sekalipun bercerita perihal kuliah dan bagaimana ia hidup di kota Malang itu kepada sang Papa. Namun, ia lihat ada kesempatan untuknya jujur perihal semua hal yang ingin sekali ia katakan dari dulu. Mungkin tak apa, untuk kali ini saja.
“Pa, sebenarnya... Unit yang aku tempatin sekarang itu disewa sama San buat aku,”
“San mantan bodyguard kamu dulu?”
Ia anggukan kepala tanpa ragu.
“Kamu masih kontakan sama San?”
Sedikit ragu, ia kembali beri anggukan. Digigitnya bibir bawahnya, bingung haruskah ia jujur sekarang. Tapi ia takut akan reaksi sang Papa. Ia takut ia akan berakhir dimarahi lantas hancurkan hari yang sudah hampir berjalan dengan baik sejauh ini.
Tapi kalau tidak sekarang, ia tak yakin akan kembali temukan waktu yang tepat.
“Wooyoung?”
“Kami pacaran. Aku sama San pacaran.”
Lantas sunyi itu kembali merambat perlahan. Papanya terdiam, kiranya terkejut atas pernyataan yang lagi-lagi baru ia ketahui. Wooyoung juga tak berkutik, hanya gigiti kukunya sebab serangan kecemasan yang ia derita kembali datang tiba-tiba.
“Dari kapan? Dari semenjak dia jadi bodyguard-mu dulu?”
Dengan cepat Wooyoung beri gelengan. “Bukan. Kami baru jalan tiga bulan.”
Alis pria itu terangkat, lantas ia beri anggukan kecil berkali-kali. Seolah paham perihal apa-apa yang sudah sang putra lewati selama mereka berjauhan dua setengah tahun ini. “Nanti saya hubungi San,” katanya, lantas buat Wooyoung menoleh dengan mata yang membola.
“Hah? Kenapa? Papa gak suka aku pacaran sama San?”
Di sebelah, Papanya beri gelengan. “Malahan, saya takutnya San yang gak kuat pacaran sama kamu.”
Oh, Wooyoung cemberut sekarang. Apa-apaan maksud kalimat barusan?
“Gak tau aja tuh Mas San maunya langsung nikah,” gumamnya, mencibir sebab Papanya sedikit buat ia kesal.
“Ngomong apa tadi?”
“Gak, gak ada.”
0 notes
sajaklaut · 8 months
Text
Jika kita berdua adalah orang biasa.
Tumblr media
Sudah berapa lama, ya?
Aku masih enggan meninggalkan meja tempat kita pertama kali saling bersitatap, seakan-akan duduk diam di sini selama berjam-jam akan membuat gemerincing bunyi bel pintu kafe berbunyi—kemudian adegan selanjutnya adalah kepalamu menyembul dengan senyum disertai hidung dan telinga yang memerah, terpapar udara dingin di luar.
Dapat kurasakan penjaga kafe di balik meja kasir sesekali mencuri pandang ke arahku. Menatap iba seluruh gerak-gerik yang aku lakukan, terkadang ia akan datang menukar kotak tisu yang isinya hampir habis sembari membawakan refill kopi atau camilan yang tidak pernah aku pesan.
'Aku traktir,' ucapnya tanpa suara, kedua ujung bibirnya naik, tersenyum kepadaku, dan yang bisa aku lakukan hanyalah membungkukkan badan, berterima kasih.
Netraku kembali aku pusatkan pada benda persegi empat yang sedang aku genggam erat, sebuah tape rekaman yang kamu tinggalkan. Menimbang-nimbang apakah aku harus kembali memutarnya meskipun aku sudah hapal benar isinya. 'Jika aku adalah seorang pemuda biasa,' ucapmu mengawali kalimat. Kuhentikan sumber suaranya seketika, memejamkan mata sejenak, merasakan bagaimana presensimu hadir hanya melalui sebuah tiga puluh detik rekaman tua. Ternyata masih terlalu menyesakkan. Kuputuskan untuk menyimpan tape-nya kembali ke dalam tas, mengusap kedua pipi yang telah basah entah sejak kapan.
Jika kamu adalah seorang pemuda biasa, jika aku hanyalah seorang gadis biasa. Jika kita berdua adalah orang biasa yang tak sengaja berpapasan di jalan, melempar senyum kemudian saling jatuh cinta.
Aku pun banyak memikirkan skenario "jika" yang seharusnya kita lalui bersama. Pergi kencan berdua, menonton film, pergi ke toko musik, membeli bunga, menikmati terpaan angin dari kursi belakang sepedamu, dengan aku yang memeluk pinggangmu erat sembari tertawa-tawa, berdansa seakan tak ada hari esok yang mengejar kita, menjadi pasangan yang paling bahagia hingga kita berdua sama-sama menjelma menjadi manusia dengan banyak kerutan wajah dan selalu lupa, menua bersama.
Aku harap kita berdua kembali dilahirkan. Di kehidupan selanjutnya, kita berdua adalah orang biasa dengan kehidupan biasa-biasa saja, memulai dan mengakhiri hari dengan banyak keluh kesah, pergi bekerja, berkencan, bertengkar karena hal-hal sepele kemudian saling memagut bibir saat kita berdua telah lelah berdebat.
Tring
Bunyi bel pintu masuk kafe menyadarkan lamunanku. Aku kembali menghela napas sebelum kembali melirik arloji di pergelangan tangan. Sudah waktunya. Aku meraih rangkaian bunga yang sedari tadi aku letakkan di kursi samping, meneguk gelas terakhir kopiku, kemudian bangkit meninggalkan bangunan yang aku kunjungi setiap akhir pekan. Kamu pasti sudah menunggu.
0 notes
jaemeera · 1 year
Text
Tumblr media
Chapter 166
Tungkai pemuda dengan tas yang tersampir di bahu itu berjalan lewati anak tangga satu persatu hingga capai lantai atas. Ia buka pintu kamarnya yang sudah lama sekali tak ia jarah, menyalakan lampu kemudian letakkan tasnya di atas kursi belajar. Landon pandangi setiap sudut ruang, tak ada yang berubah. Susunan setiap barangnya masih sama seperti terakhir kali ia injakkan kaki disini. Setelah melepas rindu pada kamar yang dahulu menjadi tempatnya terkurung saat anak seusianya sibuk bermain sepulang sekolah, ia kembali melangkah keluar, menutup kembali pintu kamarnya.
Landon kembali turuni tangga, berjalan menuju ruang kerja sang ayah yang berada di sisi barat tangga. Ia ketuk pintu beberapa kali sebelum yang di dalam mengizinkannya untuk masuk. “Pa, ini Landon.” Ucapnya. Kemudian suara berat dari dalam sana mengiyakan, menyuruhnya untuk lekas masuk.
Gagang pintu itu bergerak turun, membuka pintu untuknya melangkah masuk ke dalam ruangan sunyi itu. Landon lihat ayahnya yang tengah sibuk dengan laptop dan beberapa berkas di atas meja, tampak tenang. Tak ingin mengganggu, Landon pun dudukkan pantatnya pada sofa di hadapan meja itu, menunggu sang ayah untuk memulai obrolan yang menjadi alasannya datang kemari.
Landon gosok dengkulnya beberapa kali, merasa canggung dengan kesunyian di ruang itu. Ia edarkan pandangan, melihat deretan buku yang tersusun rapi di atas rak tepat di hadapannya. Saat pemuda itu tengah menatap nyalang pada buku-buku tebal itu, lamunannya dibuyarkan oleh suara berat yang menggema di dalam ruangan.
“Berdiri," perintah pria paruh baya yang kini bangkit dari kursinya, melangkah dekati Landon. Yang diperintahkan lantas menurut, segera ia angkat bokongnya menjauh dari sofa—berdiri di hadapan sang ayah yang kini tatap dirinya dengan seksama.
Manik tegas pria itu mengedar pandangi wajah hingga leher Landon, membuat yang di pandangi menatap bingung juga canggung. “Kenapa, Pa—”
Plak!
Belum sempat rampung kalimat itu, mulut Landon lebih dulu terbungkam saat satu tamparan keras itu berhasil mendarat di pipinya, timbulkan rasa perih yang buatnya meringis. “Papa kenapa nampar Landon?” Tanyanya sambil pegangi pipi kanannya yang kini merah akibat tamparan itu.
“Apa merah-merah di leher kamu itu?”
Sang Ayah balas lontarkan pertanyaan, nadanya tenang namun tatapan matanya begitu tajam. Manik tajam itu pandangi bercak kemerahan di leher Landon, beberapa lagi ada yang tertutupi oleh kerah jaket denimnya.
“Itu...”
Landon kembali terdiam, tak tahu harus jawab apa. Disaat bersamaan, batinnya menggerutu sebab bekas kemerahan yang Tanner tinggalkan buat ia mati kutu—tak bisa jawab pertanyaan dari sang ayah.
“Kamu pacaran sama teman sekamar mu dulu?!”
Lagi, pertanyaan kembali dilemparkan pada Landon, buat lelaki itu sontak terkejut dengan pertanyaan yang tak ia sangka akan keluar dari mulut sang ayah.
“Jawab!” Suara bariton itu menggema dalam ruangan, menuntut Landon untuk buka suara. Namun, lagi-lagi pemuda itu tak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia mengiyakan lalu berkata jujur? Tapi rasanya itu bukan pilihan yang tepat, ia merasa itu tak akan aman.
Plak!
Satu tamparan keras pada pipi kanan Landon berhasil buat mata lelaki itu berkaca-kaca, menatap tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
“Apa yang bikin kamu suka sama laki-laki, hah?! Dia itu berandal! Dia udah bikin Hendy babak belur!”
“Maksud Papa apa? Tanner nggak pernah—”
“Oh, Tanner namanya? Sekarang kamu ngaku dia pacar kamu?!”
Emosi pria dengan tubuh jangkung itu lantas memuncak setelahnya. Kaki kanannya terangkat, menendang pinggang samping Landon dengan keras, buat sang anak sontak tersungkur ke lantai.
Landon meringis kesakitan, memegangi pinggangnya dengan tangis yang mulai pecah saat rasa nyeri mulai timbul.
“KAMU ITU BIKIN MALU PAPA! SEJAK KAPAN KAMU BEGINI, HAH?!”
Suara tinggi itu buat Landon tak berani menatap, ia pandangi lantai dengan buram sebab air mata yang penuhi kelopaknya.
“KAMU NGGAK MALU, HUH?! KAMU BEGINI MALU NGGAK, PAPA TANYA?!”
“Landon—”
“DIA YANG BIKIN KAMU BEGINI, KAN?! PAPA TAU KAMU SEBELUMNYA NGGAK BEGINI, LANDON!”
“Papa tau apa?! Papa cuman perduli sama nilai akademik Landon! Selebihnya Papa nggak pernah perduli apapun tentang Landon!”
Bugh!
Tendangan keras kembali sang ayah daratkan, kali ini berhasil mengenai bahu kanan Landon. Lelaki yang sedari tadi berlutut di lantai itu kembali meringis kesakitan, pegangi bahunya yang ia yakini memar akibat tendangan itu.
“Mulai sekarang jauhin Tanner! Jangan pernah ketemu dia lagi! Kalau Papa tau kamu masih ketemu sama dia, Papa bikin kamu nyesel! Paham, kamu?!”
Landon diam, tak ingin menjawab kalimat penuh penekanan itu. Ia mengutuk semuanya atas apa yang baru saja terjadi padanya. Dadanya begitu sesak, setelah perlakuan kasar barusan, kini ayahnya menuntut dirinya untuk menuruti kemauannya? Lucu sekali.
“Sekarang berdiri! Keluarin handphone kamu!”
“Buat apa?”
“Tinggal keluarin handphone kamu apa susahnya?! Kamu mau Papa tendang lagi?!”
Ancaman itu berhasil buat Landon menurut, mengeluarkan ponselnya dari saku jaket kemudian menyodorkannya pada sang ayah.
“Papa sita handphone kamu,” ucap pria itu setelah merenggut ponsel di tangan Landon.
“Tapi, Pa—”
“Keluar!”
Landon tak bisa apa-apa lagi setelahnya. Ia bangkit dari lantai, melangkah keluar dari ruangan itu dengan pipi yang basah karena air mata. Dalam hatinya ia bersumpah, ia membenci semua yang ada di dalam rumah ini termasuk dirinya.
0 notes
thecassiopeias · 1 year
Text
Kedai tua.
Sebentar, biar aku benahi dulu gelas-gelas yang berserakan di meja, bekas tamu datang. Biar aku bersihkan dulu butiran tembakau bekas rokok tamu yang pernah singgah. Biar ku rapikan dulu kursi yang pernah ia duduki. Lalu kau baru boleh masuk saat semuanya beres dan selesai.
Mau minum apa, tuan? Apakah kopi kesukaanmu masih sama? Ah, sebentar biar kuambilkan asbak, aku sudah punya asbak. Jadi kau tak perlu menggunakan bekas air mineral.
Selamat datang, tuan. Selamat datang di tempat kumuh yang pernah kamu singgahi. Rupanya baru kembali dari perjalanan panjang, ya?
Selamat datang kembali, tuan. Selamat datang ditempat kotor yang pernah kau tinggalkan. Bagaimana perjalananmu, menyenangkan? Atau meninggalkan banyak beban?
Perjalanan yang cukup lama, apakah perjalanannya membawa pelajaran? Apakah kau terubah olehnya?
Tempat kumuh, sempit dan kotor ini sudah diperbaiki. Masih sederhana. Semoga tempat ini bisa membuatmu merasa penuh.
Tapi, sepertinya kau terlihat kelelahan. Beristirahatlah, aku akan menjamumu dengan kehangatan.
Besok, jika bahumu sudah siap berdiri tegap, kakimu siap melangkah. Pergilah dengan keyakinan, lanjutkan perjalananmu. Bawalah bekalmu tanpa meninggalkan apapun di kedai tua ini.
Jangan tinggalkan apapun, biar kau tak perlu bersusah payah kembali.
-R
0 notes
arahb0la · 1 year
Text
info main bola Meski Berat, Luciano Spalletti Optimistis Bawa Timnas Italia Kembali Raih Kejayaan
Tumblr media
info main bola – Luciano Spalletti mendesak timnas Italia untuk melupakan rasa sakit karena gagal lolos pada dua edisi Piala Dunia terakhir. Dan sang pelatih juga berambisi ingin membawa Gli Azzurri berbicara lebih banyak pada kualifikasi Euro 2024 nanti.
Italia akan menghadapi Makedonia Utara dan Ukraina dalam dua pertandingan yang krusial bagi peluang mereka untuk lolos dari Grup C guna tampil pada turnamen musim panas mendatang di Jerman.
Spalletti mengambil alih kursi kepelatihan sang juara Eropa bulan lalu setelah pengunduran diri Roberto Mancini yang mengejutkan, kemudian dipekerjakan sebagai pelatih Arab Saudi dalam sebuah kontrak bernilai besar.
“Berada di sini sebagai pelatih tim nasional adalah perasaan yang istimewa, sebuah mimpi yang sudah lama saya impikan. Saya masih berusia 11 tahun saat Piala Dunia Meksiko 1970, ketika saya meminta ibu saya untuk membuatkan bendera sebesar mungkin setelah kemenangan 4-3 (semifinal) atas Jerman,” ucap Spalletti.
Lupakan Torehan Negatif Spalletti kini mengusung tugas berat sebagai nakhoda timnas Italia. Ia mengakui, sebagian besar anak asuhnya masih terbayang-bayang atas kegagalan tampil di ajang Piala Dunia.
Namun, dirinya meminta kepada seluruh skuadnya untuk segera melupakan hasil tersebut dan Spalletti ingin menularkan energi positif ke dalam timnya serta membangkitkan kembali gairah bermain sepak bola.
“Kami harus melupakan kepahitan dari dua hasil yang meninggalkan bekas luka pada kami dan memainkan gaya sepak bola yang disukai orang-orang, gaya permainan yang menyatukan sebuah negara sepak bola yang penting,” jelasnya.
Italia sendiri berada di urutan ketiga di Grup C dengan raihan tiga poin setelah menang 2-0 atas Malta dan kalah 2-1 dari Inggris, yang berada di puncak klasemen dengan 12 poin dari empat pertandingan.
Tinggalkan Pemain Berpengalaman Sementara itu, Spalletti telah menghilangkan beberapa nama besar dalam daftar nama yang ia panggil, dengan Leonardo Bonucci, Marco Verratti, dan Jorginho, yang tidak masuk dalam daftar 29 pemain yang diumumkan pada Jumat malam.
Mereka bertiga merupakan pilar tim yang mengantarkan Gli Azzurri meraih gelar juara Euro 2020 di Wembley usai menundukkan Inggris di final, namun Spalletti mengatakan bahwa mereka tersisih karena kurangnya waktu bermain.
“Kami membutuhkan pemain yang memiliki pengalaman internasional, tetapi tidak terpikirkan untuk memilih Marco Verratti dan Jorginho mengingat jumlah waktu bermain dan waktu persiapan yang mereka miliki,” tuturnya.
“Para pemain harus senang mengenakan seragam ini, ini adalah seragam yang sangat penting dan memiliki sejarah yang hebat. Saya ingin melihat kebanggaan.”
Segera Temukan Solusi Spalletti diketahui masih terikat kontrak dengan Napoli hingga Juni tahun depan setelah memutuskan untuk mengambil cuti panjang selama satu musim setelah memenangkan gelar Serie A bersama klub musim lalu.
Presiden Napoli Aurelio De Laurentiis, yang mengizinkan Spalletti untuk menepi, menuntut kompensasi sebesar 3 juta euro untuk membebaskan mantan pelatihnya itu dari kontraknya.
“Para pengacara sedang mengusahakannya, Saya harap kami akan menemukan solusi yang memuaskan kedua belah pihak,” ucap pelatih berusia 64 tahun.
0 notes
bigiecarrot · 1 year
Text
v.
Venoya pulang mengendarai porsche merah miliknya di tengah jalanan kota Firenze usai berbelanja. Gadis itu menyetir dengan satu tangannya sambil menghisap rokok. Melewati gedung-gedung kuno sepanjang perjalanan hingga jembatan di tengah hamparan sungai Arno.
Begitu tiba, mobilnya langsung diparkir. Venoya menjatuhkan putung rokoknya yang langsung diinjaknya dengan sepatu hak tinggi. Ia pun melangkah ke dalam penthouse menenteng tas barunya diikuti para pelayan yang membawa barang belanjaannya masuk.
Langkah panjangnya berbelok menuju ke art studio pribadinya. Sedikit merasa bingung, gadis itu menghampiri sebuah benda asing di tengah ruangan dan tanpa aba-aba menyibak kain putih yang menutupinya.
"Miss Venoya, lukisan itu kiriman dari Tuan Vintheo," ucap seorang pelayan yang menaruh benda itu di sana.
Melirik sekilas sebelum berbalik, Venoya tiba-tiba melayangkan tas barunya memukul kepala wanita itu dengan sangat keras hingga jatuh bersimpuh.
"Tinggalkan aku sendiri."
Seperti ada yang membuatnya resah, gadis itu berkali-kali mengusap lehernya dan mondar-mandir di tengah ruangan sambil meremat rambutnya. Dia enggan menatap lukisan yang telah rusak itu, sebuah lukisan karyanya sendiri.
"What did he want by sending this damn thing?!"
Venoya membanting lukisan itu sekuat tenaga, namun sesuatu yang lain ikut jatuh dan terpelanting. Segepok obat terlarang yang buru-buru dia sembunyikan di laci.
"Vintheo sudah gila?!"
Dalam sekejap kegelisahan Venoya mereda. Dengan tenang ia meraba gaunnya, melepas hingga menyisakan underwear yang dia kenakan. Kemudian meraih kuas beserta catnya, menarik kursi dan duduk di depan lukisan itu.
Venoya mulai menggerakkan kuasnya membenahi lukisan rusak itu dengan warna baru, memoles dengan asal mengikuti intuisinya. Ia melukis apa pun yang terlintas di kepalanya tak peduli air cat memercik ke tubuhnya.
0 notes
turisiancom · 1 year
Text
TURISIAN.com -  Tingginya permintaan tiket pesawat untuk perjalanan mudik lebaran membuat ketersediaan tiket hampir ludes. Bahkan, sejumlah maskapai penerbangan di Bandara Internasional Soekarno Hatta (Soetta) masih menyediakan layanan pembelian tiket di tempat atau on the spot. Senior Manager of Branch Communication and Legal Bandara Soetta, M Holik Muardi di Tangerang, Banten, pada Rabu 19 April 2023  mengatakan bahwa Bali dan Yogyakarta merupakan tujuan paling banyak diborong oleh para pemudik. “Tujuan domestik yang paling banyak diincar itu Bali dan Yogyakarta, kemudian Medan, Surabaya, dan Padang,” kata dia. BACA JUGA: Tiket Pesawat Merangkak Hingga Lima Kali Lipat, Pemesan di Libur Idul Fitri Untuk destinasi mudik terfavorit, berdasarkan pantauan Antara hingga Rabu sore, rata-rata tiket telah habis terjual mulai hari ini hingga hari kedua lebaran. Beberapa penerbangan masih tersedia, umumnya pada tanggal 23 dan 24 April 2023. “Tujuan Yogyakarta sudah habis sampai dengan tanggal 23 April, sisa 70 kursi. Karena untuk ke Yogyakarta kami hanya memiliki maksimal tiga penerbangan setiap harinya,” ujar Wiyanda, petugas ticketing Citilink. BACA JUGA: Tok, Tak Ada Lagi Tiket Kereta Api Tambahan Garuda Indonesia ”Begitu juga, Bali juga penuh, yang masih tersedia tanggal 22 dan 23 April,” sambungnya. Hampir senada dengan anak perusahaannya, tiket penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Jakarta juga mayoritas hampir ludes terjual, terutama destinasi terfavorit. Tiket penerbangan Garuda menuju Yogyakarta terpantau penuh sampai dengan tanggal 24 April 2023. Sedangkan, Bali habis hingga tanggal 23 April, serta Padang juga ludes terjual hingga tanggal 24 April. BACA JUGA: Penumpang Mudik Lebaran di Bandara Internasional Hang Nadim Naik Tajam “Kami melayani pembelian tiket on the spot setiap hari 24 jam. Namun bila penumpang datang langsung berencana membeli penerbangan pada hari itu juga, kami tidak bisa pastikan ketersediaan tiket, karena cepat sekali habis,” jelas staf ticketing Garuda Indonesia, Sunita. Adapun harga tiket yang masih tersedia tersebut berkisar di atas Rp1 juta. Untuk Garuda Indonesia, tujuan Padang seharga Rp1.976.000, Yogyakarta Rp1.210.000, dan Bali Rp1.922.000. Ditemui di terminal 3 Bandara Soetta, seorang calon pemudik asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, Malinda, terancam gagal pulang ke kampung halaman. BACA JUGA: 23.900 Pemudik Mulai Tinggalkan Jakarta Lewat Stasiun Pasar Senin Ia harus memendam rindu bertemu keluarga tercinta karena kehabisan tiket. Padahal, ia telah jauh-jauh tiba di Jakarta setelah libur dari pekerjaannya sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. “Setelah tiga tahun bekerja, saya rencananya mau mudik. Tapi setelah sampai sini tiketnya habis semua. Ini masih dicari-cari lagi, adanya tinggal tanggal 22 April, itu juga tersisa kelas bisnis,” ujarnya. ***
0 notes
Video
undefined
tumblr
Farah: Kamu lagi ada masalah ya Ima ? Naima: Ah enggak kok seriusan hahaa, emang aku terlihat seperti orang yang banyak masalah ya ? Kamu sampe ngomong kaya gitu Farah: Enggak sih takutnya omongan bu Ajeng yang pedes tadi bikin kamu kepikiran. Hahahha pedes banget bikin kamu sakit perut sama pusing Naima: Hahahhaha bahaya dong aku harus minum obat berarti ya Far. Farah: besok jangan – jangan enggak masuk nih, izin ke dokter wkwkwk Naima: terus aku izinnya sakit ke dokter karena dapet omongan pedes gitu wkwk, Udah dulu ya far, aku baru sampe mau mandi dan rapih rapih nih Farah: Oke deh Ima, assalamualaikum Naima: Wa’alaikumsalam Far Naima sama Farah diluar pekerjaan juga berteman baik, Farah adalah anak tunggal, dan Naima ia anggap sebagai adiknya. Naima pun merasa Farah sebagai teman yang baik dan menganggapnya sebagai saudara. Tiba – tiba ada yang mengetuk pintu kamar Naima “ Mba maaf ini ada paket atas nama Naima, ini punya mba ya?” udah seminggu lebih mba di pos satpam” kata pak Satpam “oh saya sih merasa enggak ada beli apa -apa ya pak. coba saya liat pak” jawab Naima. Tertulis Namanya Naima Haura Oh iya ini nama saya pak. “ini mba terima yaa, siapa tau di dalamnya ada tulisan pengirimnya mba” kata Pak Satpam “oh yaudah saya terima, makasih ya pak” Sebelum Menutup pintu, ada perempuan yang berjalan di Lorong, Naima familiar dengan penampakan perempuan itu. “bukannya itu tadi yang ketemu di minimarket ya” katanya dalam hati “pak, maaf perempuan itu penghuni baru ya? Saya baru pertama kali liat” tanya Naima “Oh iya mba, itu penghuni baru, awalnya bulan kemarin sih nginap di salah satu kamar temennya yang penghuni disini. Tapi baru aja dia pindah disini baru 2 minggu ini mba” jawab pak satpam “oh gitu oke deh pak” sahut Naima Naima buka paket tersebut, isinya ada beberapa postcard, sebuah foto yang dibingkai dan ada sebuah surat. Tertulis nama pengirimnya Fandi Burnham. Setelah melihat lihat ia tinggalkan dimeja sebelah tempat tidur. sudah hampir magrib, ia ke toilet dan merapihkan beberapa belanjaan tadi. Setelah semua selesai ia melihat hp
Naima buka pesan wa dari Ibunya, isi wa dari Ibu “Ima, kamu jadi pulang kan minggu ini, kamu berangkat jumat sore ya nak, biar sabtu pagi Ima anter ibu belanja dan temenin ibu masak” jawab Naima “ Siap boss, Ima udah beli tiket kereta berangkat jumat sore, jadi habis selesai jam kantor, jadi langsung otw Jakarta bu. Ada yang mau ibu beli gak dari Bandung? Nanti Ima beli sebelum pulang” “oh boleh deh bolu bolu buat di saji Ima” kata Ibu “Sip Nanti Ima beli buat Ibu” Jawab Naima Sudah pukul 03.00 pagi, Naima dengan aktivitas biasanya. Fokusnya tiba – tiba terpecah saat mendengar suara seperti benda jatuh di atas. Ia terhenti sejenak, enggak ada suara perempuan tapi itu apa ya? Naima jadi membayangkan info dari satpam kemarin, saat diceritakan kejadian tahun lalu, ada yang depresi mencoba bunuh diri. Naima membuka gorden jendela kamarnya yang menghadap lapangan, tidak ada yang jatuh ke bawah, ia melihat lapangan basah karena sedang hujan sedang melanda. “ah mungkin Perasaan aku aja dan Cuma salah dengar” kata Naima. Tak lama berselang ia mendengar lagi, suara seperti ada yang pecah. Ia bergegas keluar kamar, meski dengan perasaan takut. Naima mengambil senter dan payung. Naima berpapasan dengan satpam di Lorong yang sedang patroli. Pak kebetulan banget, tadi saya dengar suara benda jatuh seperti sauara pecahan di rooftop pak. Bersama satpam yang jaga ia berjalan ke rooftop. Kemudian ia liat ada seorang perempuan duduk di kursi rooftop, ada beberapa botol minuman keras berjejer. Mungkin botol ini jatuh dari kursi dan pecahannya berserakan di bawah kursi. Perempuan itu merunduk sepertinya mabuk berat.
Tiba -tiba perempuan itu berdiri, sambal mengayunkan botol dan berkata kata “Kenapa kesini, mau marahin saya juga, HAH, mau nyuruh ini itu, mau minta saya pindah jurusan atau minta saya menikah dengan laki – laki yang saya enggak kenal. HAH saya capek jadi anak kamu yang harus menjadi Sempurna. Seeemmpuurrnaaa hahaha” kata perempuan itu Pak satpam dan Naima kaget terdiam bingung harus bagaimana, tiba – tiba perempuan itu jatuh terduduk. “Awas kaca mba”, kata Naima Tapi perempuan itu sudah terduduk dibawah, tangan kirinya mungkin terkena pecahan kaca dari botol minuman. Naima:“Ya Ampun, pak ini mba nya di kamar berapa? Kita Bawa ke kamarnya ya pak”, badannya basah, tangan kirinya berdarah terkena pecahan kaca. pak satpam: “sebentar saya tlp rekan di pos mba, minta bawa kunci cadangan kamarnya, ini kayaknya penghuni baru mba” beberapa saat kemudian rekan satpam datang, membantu mengotong perempuan yang pingsan ini, Naima membantu membuka pintu kamarnya. Ia mengambilkan handuk, dan kotak obat untuk mengobati luka ditangan kirinya. Tiba – tiba perempuan itu menangis terisak sambal memeluk Naima. Aku capek ma, maaf aku gak bisa ikutin semua yang mama mau, tolong izinin aku ambil yang aku cita citakan. Tolong ma Naima Cuma terdiam, pak tunggu sebentar saya masak air buat mbanya dulu di kamar saya, sekalian saya ambil the jahe. Kamarnya hanya berjarak 3 kamar dari kamar Naima. Selesai menaruh the di samping Kasur perempuan itu, Naima melihat ada beberapa hasil lukisan belum selesai, cat cat berserakan di lantai, sepertinya perempuan ini Pelukis. Pandangannya terhenti pada salah satu lukisan dimana ada foto yang menempel di lukisan itu. Bukannya ini bu Ajeng ya, di foto itu ada portrait foto keluarga, bu Ajeng dan suaminya, serta anak laki – laki berseragam pilot dan anak perempuan ini adalah perempuan yang pingsan ini. Kata Naima Naima: “Pak, ini mbanya kita biarkan tidur saja ya, saya sudah taruh teh di meja dekat Kasur, biar nanti pas bangun bisa diminum, ada roti juga saya taruh di meja”
1 note · View note
jaemirani · 5 months
Text
Tumblr media
009.
Mobil itu berhenti tepat di depan bangunan yang menjulang tinggi, San tak tahu tempat seperti apa ini. Dan saat ia tanyakan pada Wooyoung di perjalanan mereka kemari, pemuda itu hanya menjawab, “gak perlu tau!” dengan nada ketusnya seperti biasa.
Di sebelahnya, Wooyoung segera buka pintu mobil selagi masukkan ponselnya ke dalam saku celana, sama sekali tak bilang apa-apa kepada San yang kini hanya pandangi pemuda kecil itu kala dorong pintu kaca lalu menghilang di balik sana.
San sempat lihat papan petunjuk yang tertempel di tembok bangunan, ia menyipitkan mata, sebelum matanya tangkap kata “klinik psikologi, lantai 6” tertulis di sana. Oh, mungkinkah Wooyoung pergi temui psikolog?
Sekitar satu jam ia menunggu di dalam mobil, hanya bermain ponsel, hingga akhirnya sang majikan keluar dari bangunan itu. Wooyoung buka pintu mobil, lantas langsung melesat masuk bersama kresek putih di tangan.
“Ayo jalan,” katanya, selagi ditaruhnya kresek putih ke atas dashboard samping. San tak bicara apa-apa, tak pula tanyakan apa yang Wooyoung lakukan di dalam bangunan itu. Ia langsung nyalakan mobil, kalakian keluar dari parkiran, membelah jalanan Jakarta sore itu.
Di sebelah kursi pengemudi, pemuda kecil melamun selagi kepalanya disandarkan ke kursi, sedang tangannya bergerak kecil memilin tali celana cargo yang ia kenakan. Rasanya ia tak pernah sepusing ini memikirkan tentang banyak hal yang akhir-akhir terjadi di dalam hidupnya. Rasanya ia tak pernah sepeduli ini pada isi kepalanya sendiri sampai ia putuskan untuk kembali datangi psikolognya setelah beberapa bulan tak pernah munculkan diri. Rasanya ia kembali rasakan sepi setelah bertahun-tahun tak pernah ia peduli pada perasaannya sendiri.
“Wooyo, jangan melamun.” Ditolehnya sumber suara, lantas ia temukan San yang tengah beri tatapan sekilas padanya selagi pemuda itu berusaha fokus pada jalanan di depan.
“Fokus nyetir aja, sih, gak usah ngurusin gue!”
Di kursi pengemudi, San hela napas panjang. Kalau boleh jujur, dirinya sedikit khawatir sebab beberapa hari terakhir sang majikan kecilnya lebih banyak melamun, sama sekali tak seperti dirinya yang biasa mengomel tak jelas.
“Tadi pergi ke psikolog, ya?”
Tatapan malas serta sinis Wooyoung berikan atas reaksinya, “iya, kenapa? Mau ngeledek?”
“Kenapa harus ngeledek? Gak ada yang perlu diledek dari orang yang datang ke psikolog.” Dilihatnya pemuda kecil melalui ekor matanya, sebelum ia kembali lempar kata selembut mungkin, tak ingin melukai harga diri sang majikan. “You really have to care about yourself, Wooyo.”
Wooyoung diam, tatapannya lurus pada jalanan di depan, sedang telinganya tangkap dengan jelas kalimat San barusan.
“Saya dari dulu khawatir sama kamu. Kamu gak pernah mau cerita soal masalah kamu di sekolah, padahal saya mau dengerin cerita kamu kapan aja. Jadi, waktu saya tau kamu pergi ke psikolog, saya ngerasa lega.”
“Aku! Stop saya saya ke gue!”
San terkekeh, “iya, maaf, ya, gak sengaja kelepasan.”
Di sebelahnya, Wooyoung mendengus. Raut wajahnya belum juga berganti, masih tampilkan raut judes seperti biasanya. “Lu pikir cerita soal personal problems tuh gampang? Ke psikolog aja gue gak bisa langsung terbuka, apalagi ke stranger kayak lu!”
“I'm just a stranger to hearing your stories, ya...”
“Iya. Kita gak sedekat itu.”
Beberapa kali San anggukan kepala, beri respon pada fakta yang Wooyoung ucapkan. Setelahnya, ia tak lagi lempar kata, membiarkan sang majikan kembali sibuk pandangi jalanan hingga lamunan panjangnya kembali membentang.
Hingga kala akhirnya mereka sampai di rumah, Wooyoung lebih dulu turun dari mobil, melangkah masuk ke dalam rumah sembari bawa kresek putih di tangan kanan, tinggalkan San yang baru saja selesai parkiran mobil di garasi.
Mungkin sifat ketus dan judes itu memang sikap yang biasa Wooyoung perlihatkan padanya, entah demi menjaga harga dirinya yang tinggi atau pula untuk bangun tinggi-tinggi batasan pada semua orang di sekitarnya. Namun, entah mengapa, San merasa gelagatnya hari ini begitu aneh. Tak seperti Wooyoung biasanya, tetapi ia tak mengerti apa yang salah.
Usai tutup pintu garasi, San masuk ke dalam rumah, namun baru satu langkah ia lewati pintu utama, dirinya dikagetkan dengan Wooyoung yang ternyata masih berdiri di balik pintu.
“Boleh minta peluk, gak?”
San angkat kedua alisnya, reaksi atas kalimat yang Wooyoung ucapkan sepelan mungkin. “Peluk?”
“Peluk gue!” Begitu perintahnya. Hingga kalakian, dengan perlahan San raih tubuh Wooyoung untuk kemudian dibawanya masuk ke dalam dekapannya.
Ia sama sekali tak mengerti. Pemuda kecil balas dekapannya dengan erat, jemarinya genggam kemeja yang ia kenakan sampai ia bisa rasakan jemari itu bergetar. Dan tangisnya perlahan mulai terdengar. “Gue takut sendirian, San...”
Pemuda tinggi menggeleng berkali-kali, “kamu gak sendirian, Wooyo.” Dengan ragu, ia bubuhkan usapan pada rambut belakang pemuda kecil, juga sertakan bisikan di telinganya. “Ada aku, jangan takut.”
0 notes
alfisasmita · 2 years
Text
Pelajaran dan Kisah Perasaan Bu Arini
Pukul empat sore, sekolah hampir selesai. Pelajaran terakhir hari ini Bahasa Indonesia. Aku sangat suka pelajaran Bahasa Indonesia. Bukan hanya pelajarannya. Tapi juga aku suka dengan Bu Arini, guru Bahasa Indonesia kami.
Aku baru mengenal Bu Arini selama setahun ini. Setelah Bu Arini menggantikan guru sebelumnya yang pindah. Aku tidak tahu bagaimana awalnya tapi bagiku Bu Arini seperti teman berbincang banyak hal. Tidak hanya pelajaran. Kami sering berbincang tentang kehipuan dan aku mendapatkan banyak pembelajaran.
Hari ini, pelajaran selesai lebih cepat. Pertemuan terakhir di semester pertama. Aku menghampiri Bu Arini yang berdiri di balkon tengah memperhatikan murid-murid yang berlarian dan bermain di lapangan karena pelajaran telah usai. Kali ini kami berbincang tentang suatu rasa yang baru aku kenal ketika remaja: suka pada seseorang, lawan jenis pastinya.
“Bu, ibu pernah suka dengan seseorang tidak?” Aku bertanya pada Bu Arini tentang pengalamannya jatuh cinta. Sebab  kabarnya, Bu Arini baru saja melepas masa lajangnya di usianya yang menyentuh kepala tiga, Aku pensaran bagaimana seorang Bu Arini jatuh cinta dan menemukan belahan jiwanya.
“Pernah tentu saja. Bahkan ibu memiliki pengalaman yang menyesakkan tapi memberi pembalajaran sebelum akhirnya ibu menemukan dan diperjuangkan oleh seseorang yang sekarang.” Bu Arini menjawab sambil memandang jauh ke depan. “Waktu itu, sore hari, ibu dan sesorang tiba-tiba bertemu di sebuah parkiran restoran. Pertemuan kami yang pertama setelah setahun lamanya.” Bu Arini mulai bercerita.
“Sejak lulus kuliah, seseorang itu merantau di luar kota. Kami cukup dekat semasa kuliah tapi tidak sempat bertemu untuk sebuah perpisahan atau berpamitan. Begitu wisuda usai, kami sibuk menjalani mimpi kami masing-masing. Lalu suatu hari, di acara reuni, seseorang itu hadir lagi. Menampakkan diri, menunjukkan bahwa kini ia telah kembali. Ibu begitu terkejut. Bagaimana tidak, selama setahun lamanya, tidak meberi kabar atau saling menghubungi, sesorang itu muncul lagi. Meski begitu, perasaan ibu padanya tidak pernah berubah. Entah mengapa,”
“Tapi hari itu, di acara reuni, di sore hari, Ibu menemukan perasaan itu harus ibu akhiri.” Bu Arini masih memandang jauh ke depan. Seolah kejadian itu ia saksikan kembali dengan jelas. “Ibu sampai di tempat reuni satu jam kemudian, setelah acara dimulai. Membawa sekotak kue coklat kesukaan teman-teman. Saat itu, di sebrang parkiran restoran tempat reuni, ibu turun dari angkutan kota dan menyebrangi jalan raya yang memiliki dua jalur besar. Ketika sampai di depan restoran, seseorang itu tiba-tiba menyapa dan melambaikan tangan. Ibu terkejut sekaligus bahagia menemukan dia kembali. Setelah melewati 365 hari, semacam ada rindu yang terobati.”
“Kami mengobrol sebentar lalu kemudian ia menyodorkan sebuah undangan pernikahan,” kini Bu Arini mengalihkan pandangannya. Ia memandangku. “obrolan kami seketika terhenti ketika ibu melihat undangan pernikahan berwarna biru dengan ukiran berwarna emas di atasnya, bertuliskan nama seseorang itu dan seorang perempuan yang tak pernah Ibu kenal. Ibu tidak tahu harus apa, ibu menerima undangan itu dan memberikan kotak kue coklat. Lalu, Ibu perlahan mundur tanpa berkata apa-apa. Seseorang itu jelas sekali tak mengerti apa yang terjadi. Tapi Ibu berbalik kemudian pergi, berlari.”
“Hari itu, rasanya begitu sesak. Ibu tidak tahu apa yang terjadi. Ibu tidak bisa berpikir jernih lagi hingga undangan itu Ibu tinggalkan di kursi halte bis. Ibu hanya berpikir untuk mengakhiri perasaan Ibu untuk seseorang itu.”
“Lalu, bagaimana ibu menemukan orang yang Ibu bilang memperjuangkan?” Aku bertanya.
“Setelah dua tahun berdamai dan belajar melepaskan, beranjak, seseorang yang lain datang begitu saja. Seseorang yang tak pernah Ibu kira. Dia teman satu kelas semasa kuliah. Rupanya dia diam-diam menyipan rasa sejak tahun pertama. Kami sering satu kelomppok dan mengerjakan banyak proyek bersama. Dia menyimpannya rapat-rapat karena ia tahu bahwa Ibu memiliki rasa pada orang lain, bukan dia. Dia menunggu. Bahkan setelah ia tahu seseorang yang ibu suka telah bahagia dengan orang lain dan Ibu begitu terluka, ia masih menunggu. Ia tahu Ibu butuh waktu untuk kemudian ia mengungkapkan semua rasa.” Bu Arini bercerita dengan nada yang tenang dan mata berbinar.
“Kadang, sesorang yang memang ditakdirkan untuk kita bukan orang yang kita tunggu. Bukan orang yang kita dambakan. Ia bisa saja seseorang yang memperjuangkan dengan penuh keseungguhan tanpa kita sadari. Tapi Tuhan menghitung setiap kesungguhan” Bu Arini mengakhiri ceritanya sambil tersenyum.
0 notes