Tumgik
#corosays
corosays · 8 years
Text
this is a title (2)
[ sebenarnya ini adalah sekelumit kecil bagian dari novel yang sedang kubuat... hitung-hitung semacam sneak peek ya hueee ]
[ James yang di sini adalah James yang ada di cerpen Gone Astray ]
===
James telah lama merindukan malam-malam yang tenang. Malam-malam yang sunyi, malam-malam yang cukup ia lewati dengan secangkir kopi sembari menghadap komputer, dengan bau hujan yang sesekali menggelayut damai. Dulu ia membenci rutinitas semacam itu. Tapi kini, ia sangat ingin mengulang malam-malam menjemukan itu setengah mati. Membenamkan tubuh pada empuknya sofa jauh lebih nyaman daripada berjalan mondar-mandir, mengantarkan bergelas-gelas bir pada para pria bau dan perusak rumah sewaan.
James tidak mengerti mengapa ia dulu begitu mendambakan pekerjaan ini. Mungkin ia jenuh dengan kesendirian, dibayangi oleh rasa takut tanpa ada yang bisa dijadikan pegangan. Ia benci menghadapi segalanya seorang diri, maka bergabung dengan segerombol pemeras macam inilah yang menjadi liburan terbaiknya dulu. Tapi sekarang ia menyesal. Sepertinya ia lebih cocok mondar-mandir dari satu situs ke situs lain daripada melayani para pria kasar dan tak aturan.
Bukannya James membenci mereka—tidak. Ia bahkan kerap bertemu orang-orang seperti ini sejak kecil. Lagipula ia pun tak pernah menemui orang yang benar-benar disukainya. Ia hanya benci tingkah laku mereka yang membuat jam tidur James terpaksa molor tiap harinya. Seharusnya ia bisa memeluk guling setidaknya pada pukul empat pagi, tapi gara-gara para pria tak beretika itu, ia terpaksa menyapa matahari duluan daripada guling tercintanya.
James telah lama merindukan malam-malam yang tenang, seperti hari ini, ketika ia melongok keluar jendela dan mencium bau tanah basah yang khas. Hujan. Hujan pertama di musim panas. Ia sendiri tak menyangka hujan akhirnya mengunjungi kota terkutuk ini. Hujan jarang ingin berkunjung di kota-kota Empat Gerbang sejak dulu—entah kenapa—dan karena itulah James takjub hujan akhirnya turun di musim panas tahun ini.
“Oi blondie, mana bourbonku?!”
Keheningan sesaat James buyar saat seseorang menggebrak meja di sampingnya. James memutar bola mata sebelum menghadap seorang pria berotot besar dengan tato khas di lengannya. Bourbon, ya,” James mengulang. “Sebentar, bung,” ujarnya ogah-ogahan sambil beranjak meraih rak pendingin di belakangnya. Berbotol-botol minuman keras terjajar sesuai dengan merknya.
Pria bernama Dony itu menyeringai, menampakkan gigi tonggosnya yang menguning. “Sedang apa kau tadi? Galau, eh?”
“Tidak biasanya kau peduli padaku, Dony.”
“Aku peduli!” Dony terkekeh geli. Suaranya serak. James yakin ia kebanyakan merokok lagi hari ini. Mungkin hampir satu... atau bahkan dua pak. Dony memang perokok berat sejak mereka pertama kali bertemu di bar ini.
“Apa karena hujan? Atau, karena kau akhirnya bisa memasang tato itu di lenganmu?” James mendengus. Ia menyodorkan sebotol besar dingin bourbon yang langsung ditenggak Dony. “Apa perasaanku saja atau rumah sosial ramai sekali hari ini?”
“Ooh, kau melihatnya! Ya, semua memang harus melihatnya. Kau pikir mudah memasuki klan luar biasa itu? Kau bisa langsung lihat efeknya, bung! Ikut aku besok ke pasar.”
“Er, tidak.” James terkekeh garing. “Lagipula—”
“Dan semua suka hujan pertama di musim panas!” Dony meraung, menyela ucapan James tanpa memedulikannya. “Panen tidak akan gagal. Uang melimpah! Ya, kawan?!”
Dony berputar untuk menghadap para pria di ruangan apek itu, dan mereka pun menyahut dengan suara-suara lantang yang membuat James makin kesal. Tidak seharusnya ia merespon basa-basi itu. Sekarang ia makin ingin berhenti bekerja dari para pemeras ini. Terlebih-lebih ketika ia menyadari ada satu petak dinding yang sudah retak. Sepertinya ada beberapa yang baru saja bergulat dan menghancurkan itu... dan bicara soal pergulatan, ada seseorang kecil di tengah-tengah ruangan. Orang-orang berotot seperti Dony mengelilingnya, menyoraki seorang pria besar yang menghajar pria kecil itu. James merasa sedikit iba. Pria kecil itu, ia mengenalnya. Ia adalah petani di daerah pinggiran, selalu diperas oleh orang-orang ini, karena ia adalah pemilik ladang terbesar di kota dengan istri yang super cantik.
“Brengsek, mana makananku?” sosok lain datang dan ikut-ikutan menggebrak meja. Omong-omong ini sudah menjadi peraturan tidak tertulis untuk menggebrak meja saat menagih pesananmu. “Kenapa lama sekali?”
“Oh, sebentar, sebentar...” James bersyukur ia diberi kesempatan untuk segera beralih. Ia menghampiri sebuah pintu di ujung lain ruangan, tempat dimana kedamaian bisa dirasakan sementara sayup-sayup keramaian menjadi musik pengiringnya. Hanya ada satu orang yang diizinkan masuk di sana, sang koki yang lemah, dan ia kewalahan menyajikan berpiring-piring ayam berbumbu yang diinginkan pria barusan.
Tak butuh waktu lama bagi James untuk mengantarkan dua piring itu ke meja si pria pemesan. Ia pun segera kembali ke balik mejanya yang reyot, berpikir untuk mengelap gelas-gelas dari dapur, ketika ia menyadari pintu utama ruangan itu perlahan terbuka.
Seisi ruangan menghening. Hal seperti itu biasa terjadi. Setiap malam, para pemeras ini senang sekali berkumpul dan melakukan sesuatu yang menjemukkan. Poker. Minum-minum. Biliar. Mereka akan menyepakati waktu untuk berkumpul, dan membuat peraturan bagi siapapun yang datang telat akan mendapat hukuman. Apa saja.
Kali ini, James tidak menantikan wajah malang yang akan dihukum itu. Ia sudah bosan melihat kejadian serupa setiap malam, dan ia tidak ingin menontonnya untuk keseribu kali.
Tapi dugaan James meleset, karena setelah pintu kembali menutup, suasana tetap sunyi dan tak ada yang berani berbicara. Kecuali Derek, seorang pria bertubuh besar dan gelap, pria terkuat di perkumpulan ini yang paling ditakuti sekota. Ia tidak ada di ruangan ini sejak tadi, tapi James tahu ia tidak pernah datang telat. Mungkin ia menjamu pemuda asing di sampingnya, yang akan menjadi tamu pertama mereka di musim panas.
Derek mengerutkan dahi melihat seisi ruangan. Jelas ia merasa sungkan kepada sang tamu dengan keadaan sudut-sudut yang begitu menjijikkan. Beberapa petak langit-langit telah bocor dan noda-noda kehitaman menjamur di sekelilingnya. Bau asap rokok bercampur dengan gelayut pekat alkohol, mengiringi bau-bau keringat yang telah memenuhi rumah ini sejak beberapa jam lalu. Kursi-kursi mengelilingi beberapa meja secara sembarangan, dikuasai oleh para pria pemegang kartu di tangan mereka.
Derek menggeleng pelan. James mendengus kecil menyadarinya. Oke, ini bukan pertanda bagus.
“Kuharap, kawan-kawanku,” Derek akhirnya membuka mulut. Suaranya sekeras dan sedalam jeritan korban-korbannya yang ditenggelamkan ke sumur. “Kita bisa menyambut tamu kehormatan kita dari Vandalone dengan keadaan yang… sebaik-baiknya.”
Entah sihir macam apa, tapi para pria itu dengan cepat beranjak. Mereka merapikan kartu-kartu mereka dan botol-botol yang berserakan, menambah tumpukan kotoran di balik sofa-sofa yang berbulan-bulan tak dicuci. James tersenyum kecut.
“Maafkan kami atas suasananya, tuan muda.” James mendengar Derek sengaja mengeraskan suaranya saat berbicara kepada pemuda asing di sampingnya. James mengangkat alis. Wow! Tuan muda?
Pemuda asing itu tersenyum, sebuah senyum yang mampu membuat para gadis menjerit girang. Senyum yang sopan, namun juga menenangkan. James sendiri jadi tertarik.
Pemuda asing yang dipanggil tuan muda? Cek. Anggota klan Vandalone? Cek. Senyum memikat? Cek. Pemuda asing ini sepertinya bakal menjadi tamu paling menarik yang pernah James lihat. Ia bagaikan seorang pangeran berpakaian serba hitam yang mengunjungi wilayah pembuangan. Begitu mencolok dan... bercahaya. James tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkannya selain itu.
James tak sedikit pun mengalihkan pandangan, bahkan ketika Derek memutuskan untuk membawa pemuda asing itu ke meja James, satu-satunya meja paling bersih di ruangan. Menyadari hal itu, James cepat-cepat menyediakan dua kursi untuk mereka.
“Minum, tuan?”
Pemuda itu mengangguk. “Tequila.”
“Tequila yang terbaik, James. Dan bourbon untukku.” Derek tersenyum penuh arti.
“Baik.” Tanpa banyak dikomando lagi, James segera menghampiri dapur. Minuman-minuman terbaik selalu disimpan di tempat yang berbeda, dan itu tentu saja atas keinginan Derek. Ia tak ingin siapapun selain dirinya menyentuh botol-botol dengan merk termahal yang bisa ia dapatkan di pasar gelap.
Saat James kembali, kedua lelaki itu telah memulai pembicaraan. Semacam basa-basi sederhana seputar keadaan Derek dan kawan-kawannya yang mengatasnamakan perkumpulan mereka sebagai yayasan sosial.
Hmph. James ingin tersenyum geli setiap mengingatnya. Yayasan sosial? Yang ada justru yayasan anti sosial. Selain merampas, membunuh, mencuri, memperkosa, dan berjudi, tak ada hal baik yang pernah mereka lakukan. Mungkin pernah, sekali, seperti mencoba membayar pajak. Tapi itu tak bertahan lama karena mereka kembali merampok uang kota berbulan-bulan kemudian.
James menepi ke jendela terbuka di sampingnya. Tidak terlalu jauh, namun juga tidak terlalu dekat. Cukup baginya untuk mendengar Derek memesan minuman lagi, tapi cukup jauh untuk tidak mendengar pembicaraan pribadi itu. Ia hanya memandang ke luar, menikmati bau hujan yang mulai menenangkan emosinya.
Saat James mengerling ke arah pemuda asing itu, ia menyadari Derek tak ada di sampingnya. Sang pemuda sedang menenggak tequilanya dengan nikmat, dan saat gelasnya kosong, ia refleks menoleh ke arah James.
Pria itu terkesima saat si pemuda tersenyum kepadanya. Jika James adalah seorang wanita, James yakin ia akan jatuh cinta saat itu juga kepada si pemuda. “Tequila lagi, tuan?”
“Ya, tolong,” jawabnya. James segera menghampirinya dan menuangkan permintaan pemuda itu, ketika si pemuda menatapnya cukup dalam. James jadi agak gugup. “Saya... um, saya tidak menyangka rumah ini akan kedatangan tamu sepenting Anda,” ucap James mencoba basa-basi. Ia merasa sangat canggung ditatap seperti itu, padahal si pemuda jelas-jelas berumur lebih belia darinya.
Si pemuda mendengus geli. “Aku hanya berkunjung,” jawabnya. “Aku hanya... ingin menyapa wajah-wajah yang dipilih oleh bosku. Tapi kenapa aku tidak melihat wajahmu?”
James tersenyum tipis. “Saya bahkan tidak mendapat kualifikasi untuk menjadi bagian seutuhnya dari mereka.”
“Oh, sayang sekali.”
“Begitulah.”
“Sementara kau memiliki wajah paling cerdas yang kulihat di sini.”
“Maaf, tuan?”
Tapi pemuda itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum penuh arti saat mata mereka bertatapan. James terpaku. Cara pemuda itu menatap jauh ke dalam matanya, menembus ke dalam dirinya, membuat James sempat kehilangan kata-kata.
Derek datang saat James tenggelam dalam lamunannya sendiri. Si pemuda sudah lama tidak menatapnya, menikmati tequila yang telah dihidangkan. Derek tiba dengan sebuah koper, dan saat ia menatap James garang, James tahu ia tak berhak berada di sana.
Maka James pun beralih ke dapur. Ia harus mengantar pesanan sekelompok pria tua bertubuh subur di pojok lain ruangan.
“Hei nak, kau tahu jam berapa sekarang?” kakek yang bertubuh paling kurus bertanya saat James mendekat.
“Er, sebentar ... sekarang jam dua belas lebih tiga menit.”
“Kau yakin mau pergi ke sana, bung?” kakek tadi pun mengacuhkan James setelah mendapatkan jawabannya. James tak keberatan. Sudah biasa ia mendapat pertanyaan dan diabaikan setelah menjawabnya. Maka James segera menyudahi pekerjaan dan menyelinap diantara para pria yang besar, ketika ia mendengar suara gelas pecah, lalu diikuti debuman keras dan raungan yang tak kalah nyaringnya.
“BAJINGAN!!”
James merasa jantungnya nyaris melompat. Bukan, ia bukan kaget karena kerasnya suara itu, tapi karena yang menjerit adalah Derek. James dengan cepat membebaskan diri dari himpitan tubuh-tubuh besar itu ketika terdengar erangan marah dari orang-orang.
James terhenyak saat ia keluar dari kerumunan. Ia tak bisa menyangka apa yang dilihatnya: pemuda itu berdiri di atas Derek yang terjerembab. Pecahan gelas menghiasi wajah Derek dan darah mulai merembes dari wajahnya yang berminyak. Kedua tangan pemuda itu kini memelintir leher Derek yang menjerit-jerit dan tak bisa membebaskan diri. Si pemuda terlihat tenang, bahkan ketika sebagian dari para pria di ruangan itu telah menodongkan pistol ke arahnya.
James merasakan darahnya berdesir.
Oke, ini tidak baik.
“Ini lelucon.” Si pemuda adalah yang pertama kali memecahkan keheningan di antara gelayut ketegangan itu. Ia melirik tato yang ada di lengan Derek sebelum menyapukan pandangan ke penjuru ruangan.
“Aku bahkan tidak mengerti mengapa orang-orang semacam kalian pantas untuk berdiri di depan mataku.”
Seisi ruangan berubah tegang. Mata mereka membelalak, tidak meyakini apa yang baru saja mereka dengar. Terlebih-lebih Derek, pemimpin mereka, terlihat begitu tak berdaya di bawah tekanan seorang pemuda.
Ini buruk. James mengumumkannya keras-keras di dalam hati. Ia perlahan melangkah mundur dan menghilangkan diri dari ruangan. Ia menyusup ke dalam lubang yang cukup besar dan tersembunyi oleh kegelapan pojok ruangan. James segera berlari menyusuri lorong menuju lantai pertama, menuju ruang bebas. Ia harus segera pergi. Ia harus memberitahukan aparat keamanan.
Meskipun ia adalah orang penting Vandalone sekalipun, James tak peduli. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi, dan itu jelas. Derek telah berada di tangan seorang pemuda. Derek, orang yang tak pernah terkalahkan sepanjang pengetahuan James.
 James kembali ke rumah sosial setelah ia menerjang kantor polisi yang terletak dua kilo jauhnya. Daripada kantor polisi, sebenarnya kantor itu hanya pantas disebut sebagai kantor para penjaga keamanan. Mereka bukan benar-benar polisi. Tak ada polisi di kota seperti ini, di Gerbang Barat. Para penjaga kemanan itu pun sebenarnya adalah para penjahat yang dipilih untuk mendisiplinkan kejadian-kejadian di luar kebiasaan, sehingga perkelahian rutin di rumah sosial tidak masuk hitungan.
Namun kehadiran pemuda asing yang diakui sebagai anggota klan mafia paling berbahaya dan siap meledakkan kepala Derek, jelas itu adalah kasus.
Maka James segera membawa para penjaga keamanan itu ke rumah sosial. Ia melesat dengan motornya dalam kecepatan tinggi, benar-benar berharap bahwa semua akan berhenti pada waktunya. Perasaannya makin tidak nyaman dengan bertambahnya detik.
Tapi, telat.
Saat James dan para penjaga keamanan itu tiba, James hanya bisa mendapati rumah dua lantai itu dipenuhi dengan tubuh-tubuh besar bergelimpangan di lantai. Darah menghias setiap jengkal dinding dan menggenangi setiap petak lantai. Meja-meja tak lagi berbentuk seperti sebagaimana seharusnya.
“Demi Tuhan. Demi Tuhan.” James menahan napas. Ia bergegas menyerbu masuk dan nyaris terpeleset oleh genangan cairan pekat di bawahnya. Ia memekik melihat mayat pria tua yang tadi menanyakan jam padanya berada tepat di samping kaki. James merasa mual. Ia cepat-cepat menghampiri meja kerjanya menuju dapur ketika pintu menjeblak terbuka.
James hampir menjerit lagi, berpikir bahwa itu adalah si pemuda tadi. Dan untungnya bukan. Itu adalah si koki yang terlihat begitu pucat.
“S-semuanya mati,” koki itu meraung putus asa. “Semua... semuanya, Jamie!”
“Kemana pemuda itu pergi?” James bertanya, berharap setengah mati pemuda itu tidak sedang menodongkan senjatanya di punggung si koki dan akan menembaknya beberapa saat setelah ini.
“D-dia pergi.” Si koki menangis. Ia berusaha menenangkan diri sebelum berkata lagi, “aku segera bersembunyi ke pintu rahasia saat mendengar Derek berteriak.”
James menggeleng lemah. Ia tak tahu apakah ia bisa bernapas lega atau justru sebaliknya.
Si pembunuh itu lenyap. Ia berlalu setelah membunuh sekian puluh orang dan ia tak mengerti mengapa. James pun menghampiri si koki yang begitu syok, setelah memastikan bahwa hanya tukang masaknya yang selamat.
James menoleh ke para penjaga keamanan. “Aku akan mengantarnya pulang dulu. Aku akan kembali nanti.”
“Tentu begitu, bung,” salah seorang menyahut, “kau satu-satunya yang tahu tampang pemuda itu. Dan bagaimana caranya kita memindahkan tubuh-tubuh banteng ini keluar? Oh, sial!”
James tak mendengarkan lagi umpatan para penjaga keamanan yang mengutuk keberuntungan mereka selama beberapa waktu terakhir. Ia sibuk menenangkan si koki sebelum membopongnya ke motor James. Ia harus mengantarkannya kembali ke rumah di sisi lain kota, membiarkannya tenang di pelukan sang istri sementara ia akan mengurus mayat kawan-kawannya sendiri.
James ingin muntah. Kenapa ini bisa terjadi? Selama perjalanan ia begitu tak bernafsu untuk memikirkan apa-apa, bahkan perutnya yang semula lapar sudah tak lagi bergemuruh. James terlalu sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan dan apa yang bakal terjadi nanti, sampai-sampai ia tak sadar bahwa motornya sudah kembali ke dekat bar setelah mengantar si koki. James merasa gugup.
Bagaimana ini?
Ia memarkirkan motor di pojok parkiran bar dengan perasaan berkecamuk. Langkahnya begitu gontai dan tak bersemangat. Tiba-tiba muncul gagasan bahwa ia akan minum-minum dulu dan baru saja akan mengajak para penjaga yang menunggunya di dalam, ketika pemandangan baru menyambutnya.
Tak ada siapa-siapa di rumah sosial, kecuali bercak darah yang masih memenuhi ruangan. Mayat-mayat yang semula bergelimpangan telah menghilang, begitu pula dengan si penjaga, membuat James mengerutkan dahi.
“Bagaimana bisa mereka memindahkannya secepat itu?” bisiknya sembari mengecek jam tangan. “Baru... baru dua puluh menit dan... oh, persetan.”
James merasa tak ingin minum-minum lagi. Ia menyeret kedua kakinya dengan lemas ke ruang kantor manajer untuk menghubungi pemilik asli rumah sosial itu. Kepalanya terlalu pusing untuk diajak berpikir tentang bagaimana caranya para penjaga tadi memindahkan mayat-mayat dalam sekejap.
Tapi James tahu satu hal yang pasti, bahwa malam-malam yang akan datang takkan pernah sama seperti malam lalu, dan takkan pernah sama seperti dulu.
Takkan pernah.
1 note · View note
corosays · 7 years
Text
“Setelah melewati hal-hal seperti ini, kenapa kamu masih takut untuk berubah? Apa yang membuatmu sedemikian congkak untuk menghadapi sesuatu yang baik untukmu? Seindah apa perangkap masa lalumu sampai-sampai kau masih takut untuk keluar dari garis yang kaubuat sendiri?”
“Dan sebaik apakah dirimu sekarang untuk bisa mengatakan hal itu kepadaku?”
“Aku tidak perlu menjadi seorang motivator dulu untuk bertanya hal semacam itu kepadamu. Bahkan perkataan polos yang tidak pernah sengaja terucap oleh anak kecil bisa menyadarkan seorang presiden sekalipun. Jangan hargai dirimu tinggi-tinggi. Ada alasan mengapa orang macam aku -atau macam anak kecil- bisa berkata seperti ini kepada seseorang. Dan alasan itulah yang harus kauperhatikan. Kenapa? Karena alasan itu takkan muncul kalau kau tidak bersikap seperti ini.”
0 notes
corosays · 8 years
Text
Sister Loydaire
(yuhuuu. Sister Loydaire yang ada di sini juga dimention di Gone Astray. And, yeeep, inilah asal mula dari pub yang cuma sekedar numpang eksis nama itu.)
Caellan, 22
Kalau kau mengerti apa itu Sister Loydaire, maka kau bukanlah orang sembarangan. Dan kalau kau bertanya siapakah Sister Loydaire itu, maka bisa kuasumsikan—seratus persen—bahwa kau hanyalah orang yang kebetulan mendengar nama itu, entah darimana, dan sebaiknya kau tidak mengingat dari siapa kau mengetahui nama itu.
Sister Loydaire bukanlah nama seseorang.
Maksudku, ya, itu pernah menjadi nama seseorang. Sesosok wanita, tepatnya, dengan rambut ikalnya yang senantiasa dikuncir samping. Selama pertemuanku dengannya yang hanya berlangsung tiga kali, tidak pernah sekali pun ia menyapaku tanpa asap menyembul dari mulutnya. Ia perokok berat. Dan tentu saja, satu-satunya alasan masuk akal mengapa ia meninggalkan pubnya yang kecil itu kepadaku tak lain karena kanker paru-paru. Tragis. Tapi tetap saja ia tak mau berhenti merokok. Sifatnya yang keras kepala itu terkadang mengusikku, terutama karena keinginan untuk mempertahankan rokok-rokoknya, tapi di sisi lain, aku terkesima dengan kegigihannya memberikan pub itu kepadaku.
“Pub ini kecil dan jorok,” katanya menjelang kematiannya, masih dengan asap mengepul di sisinya. Omong-omong waktu itu adalah rokok terakhir yang dihisapnya. “Dan jujur saja aku tidak untung banyak dengan ini. Seperti yang kausinggung tadi, sejak kedatangan pertamamu kemari hingga sekarang, pengunjungnya hanya itu-itu saja. Memang! Mereka lebih suka ke Madam Goyn di seberang sana. Bersih. Tapi apa daya aku tidak punya uang untuk membersihkannya. Hutangku saja masih menumpuk kepada bosmu.”
Aku baru saja akan mengatakan sesuatu, tapi ia sudah menghentikanku dengan rokoknya yang diacungkan. “Aku tahu,” ujarnya keras. “Kau mau menyuruhku untuk berhenti membeli rokok dan mulai memikirkan sapu atau kain pel, tapi tidak. Kalau kau memang peduli, bantu aku bersihkan pub ini. Setidaknya sebelum aku ke rumah sakit.”
Dan itulah mengapa, aku tidak punya alasan untuk pulang lebih cepat. Ketika pintu pub akhirnya dikunci tepat pukul empat pagi, aku masih duduk di salah satu bangkunya, kali ini dengan sapu yang sudah kudapatkan dari toko terdekat. Nona Loydaire membiarkanku membersihkan semauku, dan ia hanya mengizinkan dirinya mencuci gelas-gelas bir yang berserakan. Tidak lebih.
“Aku tidak akan mengupahmu dengan uang,” katanya sebelum menghilang ke kamarnya. “Kau bisa ambil pub ini kalau-kalau aku tidak akan kembali lagi.”
Aku mengangkat alis. Sapu yang kupegang sampai terjatuh. Aku tidak heran dengan prediksinya akan kematiannya, karena itu sudah jelas, sehingga aku lebih heran dengan kenyataan bahwa ia sepertinya berniat membayar niat bersih-bersihku dengan memberikan pub ini.
“Nona?”
“Ambil saja pub ini,” ulangnya. “Aku tidak punya siapapun untuk kuwarisi. Mau kau jual atau permak, terserah. Aku tak peduli. Pokoknya kau ambil pub ini.”
Aku tidak punya kesempatan untuk berdebat karena ia cepat berlalu ke lantai atas. Aku sedikit menyesal dengan tindakanku waktu itu, sebab, itulah obrolan terakhir kami sebelum aku menyadari ia sudah meninggal di kamarnya beberapa jam kemudian.
Singkat cerita, begitulah awal mula pub Sister Loydaire akhirnya jatuh ke tanganku yang masih berusia 22.
 Aku
Sepuluh tahun kemudian, Sister Loydaire bukanlah lagi pub yang kecil dan jorok. Memang, selalu akan ada sudut-sudut yang kecil dan jorok di setiap kesempatan, tapi Sister Loydaire bukanlah tempat yang sama seperti dulu lagi. Pub itu bahkan menjadi salah satu tempat termasyhur di negeri, terutama bagi mereka pecinta alkohol seharga satu kepala manusia, yang tidak bisa dikunjungi sembarangan. Pub itu resmi milik Caellan Collins, seorang pria beralias pemain monopoli dunia bawah tanah. Hanya orang-orang tertentu—seperti bocah-bocahnya—yang bisa berkeliaran bebas di Sister Loydaire. Tak tanggung-tanggung, bahkan bos mafianya sendiri sering mengadakan pertemuan dengan tamu-tamu khususnya di sana.
Siapa yang tidak mencintai Sister Loydaire, tempat temaram dengan musik dan alkohol terbaik di negeri?
“Kalau Loydaire hidup sampai sekarang, mungkin ia akan mengutukku,” gumam Caellan pada suatu hari, ketika seorang pelayan menyuguhkan sebotol tequila pesanannya.
Aku, seorang gadis yang bahkan tak paham apa-apa, yang entah bagaimana bisa duduk di sampingnya, hanya bisa menatapnya penasaran. Caellan sedang menuangkan minumannya ke gelas ketika aku bertanya, “kenapa begitu?”
“Karena pubnya menjadi seperti ini.”
Aku mengawasi calon kakak iparku meneguk tequila pertamanya dalam diam. Ia baru saja bercerita panjang lebar bagaimana ia bisa mendapatkan pub ini, satu-satunya tempat yang dilarang keras oleh Ray untuk kukunjungi. Sayangnya, Caellan tidak berpikir demikian. Kalau kau akan menjadi adik iparku, katanya suatu waktu, kau harus tahu bisnis keluarga calon suamimu. Oke?
Aku tahu kalau calon kakak iparku adalah seorang mafia, tapi aku tidak menyangka kalau ia akan menjalankan bisnis sebuah pub semacam ini. Maksudku, Sister Loydaire berulang kali masuk koran dan...
“Firasatku tidak enak,” gumamku malu-malu.
“Firasatku mengatakan tunanganmu ada di sini.”
“Dari semua waktu, kenapa sekarang?” aku terkesiap. “Tunggu, kau tidak sengaja membawaku kemari saat ada Ray, bukan?”
“Kebetulan itu selalu menyenangkan, Sayang. Mendebarkan.”
Aku terpekur di bangku sementara Caellan menikmati tequilanya seteguk demi seteguk. Kupandang sekilas lautan manusia di bawah kami. Di lantai dasar itu, sebagian orang berdansa, sebagian memilih untuk memojok di bangku-bangku mereka, menekuni kartu atau putaran dadu yang tak kunjung berakhir. Sister Loydaire yang tumbuh dari pub sekecil gubuk menjadi sebesar gudang pelabuhan, memberlakukan wilayah eksklusif yang tak bisa sembarang terjamah. Kau bebas berkeliaran di lantai dasar, tapi kau tak bisa begitu saja menginjakkan kaki ke anak tangga. Lantai dua hanya untuk mereka yang membayar lebih, dan tidak semua tahu lantai tiga ada.
“Kalau ia memang ada di sini,” kata Caellan, “maka tunggulah. Ia pasti akan tahu kau ada di sini. Kalau sudah begitu, aku akan pergi.”
“Kau tidak bisa kabur begitu saja.” Aku mendengus. “Kau yang tiba-tiba menyeretku kemari, padahal Ray jelas-jelas masih melarangku untuk membicarakan Sister Loydaire.”
“Ia tidak bisa bersikap begitu!” Caellan berkata. “Oke, mungkin saja ia takut sesuatu terjadi ketika kau berada di sini, tapi sesuatu selalu terjadi setiap harinya di sini dan itu biasa! Kau harus tahu. Kau harus terbiasa. Suatu saat kau akan membutuhkan tempat ini, sungguh, dan aku akan menunjukkannya. Tapi tidak sekarang. Kau hanya perlu mengenal Sister Loydaire dari sudut pandangmu dulu.”
“Aku tidak paham.”
“Nanti saja. Selalu ada waktu untuk memahami sesuatu.”
Aku terdiam, membiarkan Caellan meneguk habis tequilanya. Ia belum mabuk. Tidak kalau hanya satu botol tequila, katanya, dan menurutku itu gila.
“Jelaskan aku sesuatu,” ucapku, “seperti mengapa Ray begitu melarangku untuk berada di sini.”
“Ah.”
“Ah?”
“Berbicara tentang iblis,” katanya seraya mengedikkan dagu ke arah tangga. “Lihat siapa yang datang.”
Aku tidak langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Caellan. Pertama, aku terlalu kaget. Ia tidak bisa tiba-tiba begitu saja ada di sini, bukan? Tapi aku merasakan kehadiran seseorang, dan aku terpaksa menoleh. Sosok yang tidak asing lagi memang sedang menghampiri kami. Ekspresinya yang tidak senang dengan apa yang dilihatnya membuatku meringis.
Ia tidak berkata-kata selain melemparkan tatapan penuh kesal kepada abangnya. “Aku harap yang kau ucapkan waktu itu hanya bercanda.”
“Tidak,” kata Caellan. “Buktinya kekasihmu di sini.”
Aku menatap mereka bingung. “Halo? Apa maksudnya?”
“Pergilah.” Ray tak menggubrisku. Matanya tetap terpaku pada Caellan. “Tamumu sudah datang.”
“Oh!” Caellan langsung menegakkan punggungnya. “Apa kau sudah menyuruhnya menunggu di Ruang 03?”
Alih-alih menjawab, Ray hanya memutar bola mata. Tapi sepertinya itu cukup untuk Caellan. Pria itu dengan sigap beranjak dari kursinya dan mengacak rambutku. “Sampai jumpa nanti, Sayang,” dan ia pun berlalu dengan cepat menuju sisi lain lantai dua.
Selama sesaat, aku dan Ray memandang punggung itu menghilang ke sisi paling remang di lantai ini. Pemuda itu baru menatapku saat Caellan benar-benar lenyap ke balik sebuah pintu. Tatapannya yang tajam membuatku segera membuang muka.
“Jelaskan kenapa kau ada di sini.”
“Aku tadi bertanya pada kakakmu tapi ia belum menjawabnya.”
Ray menghela napas. Ia menempati bangku yang diduduki Caellan tadi dan meminta segelas tequila seperti milik Caellan. “Kau tanya apa?”
“Apa yang membuat tempat ini begitu terlarang untukku?” tanyaku. “Sementara ini terlihat tak ada bedanya dengan pub-pub besar biasa.”
“Kelihatannya begitu,” kata Ray. “Tapi apa yang terlihat seperti pada umumnya, belum tentu demikian. Kau tahu itu.”
“Jelaskan.”
  Caellan, 22
Semua orang kerap bertanya kepadaku. Kenapa pub ini? Kenapa kau tak menutupnya, atau menjualnya? Apa yang membuat Sister Loydaire begitu spesial untukmu? Pertanyaan itu kerap terlontar selama sepuluh tahun aku menjalaninya, dan lebih santer dipertanyakan dalam bahasa-bahasa yang lebih kasar ketika aku pertama kalinya memutuskan untuk meneruskan bisnis mendiang Loydaire.
Dan kau akan bertanya, kenapa?
Kenapa pub yang kecil dan jorok, sementara aku memiliki cukup uang untuk membeli pub besar mana saja, termasuk Madam Goyn?
Simpel. Apakah kau tahu mengapa sebuah tempat yang terkadang terlihat begitu membosankan bisa menjadi tempat yang berkesan untuk seseorang? Ya. Itu terjadi padaku. Dan itulah alasan mengapa aku bisa mengunjungi pub Sister Loydaire sampai tiga kali semasa mudaku. Aku tidak pernah mendatangi sebuah pub lebih dari satu kali kecuali jika memang tempat itu benar-benar menarik, dan Sister Loydaire adalah salah satunya.
Kali pertama aku datang ke Sister Loydaire adalah ketika aku baru saja menginjak 22. Banyak hal yang terjadi padaku waktu itu. Amat sangat banyak. Aku mengalami goncangan terhebat setelah sekian lama, dihadapi dengan kenyataan yang pahit, dan dihajar dengan berbagai masalah tanpa henti. Masa-masa paling buruk, tapi paling juga berkesan untukku.
Pada suatu malam di awal 22-ku, aku menenggak cukup banyak tequila dan itu membuatku nyaris mabuk. Aku jarang mabuk, dan mabuk hanya akan membuatku makin memburuk. Maka aku memutuskan untuk mengujungi pub mana saja yang terlihat olehku waktu itu, dan aku menemukan Sister Loydaire yang menyempil di antara gudang-gudang pelabuhan yang besar dan kelam.
Hanya ada tiga orang pengunjung di dalam. Aku tidak peduli siapa mereka, begitu pula nona pemiliknya yang terlihat acuh. Aku hanya ingin duduk, tapi aku cukup terkesima dengan si nona yang kemudian menyuguhkan tequila yang serupa dengan apa yang kubawa waktu itu.
“Ini tequila mahal,” aku ingat persis obrolan pertamaku dengannya. “Kenapa pub kumuh ini punya?”
“Pub ini seperti peti harta karun di balik kuburan seseorang,” balas si Loydaire tanpa banyak ekspresi, dan itulah yang membuatku tertarik untuk kedua kalinya. Pub ini sesuatu, pikirku waktu itu, dan aku merasa bisa menghabiskan semalaman di sana, menginjak-injak berbagai masalah yang sedang menimpaku di dalam otak.
Tapi semuanya berakhir ketika aku menyadari siapa saja pengunjung pub itu. Aku mengenal mereka. Dua di antara tiga orang itu, aku mengenal mereka.
Untungnya, mereka bukan bagian dari masalahku, namun aku cukup terhenyak mendapati seorang politikus ternama, Bill Henye, yang terang-terangan memerangi kejahatan masa lampau di mana pun ia berada, kini duduk dengan seorang Donovan Miller. Donovan Miller! Sekretaris seorang buronan yang paling terkenal, satu-satunya aktor kejahatan masa lalu yang tidak dihukum mati. Selama sesaat, aku terpana dengan dugaan bahwa apa yang dilakukan Bill Henye di muka orang hanyalah sekedar tipuan, pengalih perhatian agar Donovan Miller bisa selamat dari terkaman kematian, tapi aku salah.
Mereka memang saling berlawanan.
Tidak sedikit pun aku melihat ada senyum di wajah mereka. Aku juga berani bersumpah Bill Henye selalu terlihat ingin memolisikan Donovan Miller kapan saja, dan si penjahat itu pun terlihat sedia menarik pistol di balik punggungnya jika ada kesempatan. Tapi mereka tak melakukan apapun, selain saling menuangkan anggur di gelas satu sama lain.
Aku berpindah dari bangkuku ke konter tempat si Loydaire setia mengepul asapnya. “Hei,” aku berbisik. “Katakan kalau aku melihat orang yang salah.”
“Tidak,” jawab si nona lugas. Lagi-lagi. “Kau memang melihat mereka.”
“Tapi kenapa?”
“Sudah terjadi sejak sebulan yang lalu.”
“Sebulan yang lalu?” aku menahan napas. Itu waktu si Donovan Miller dibebaskan dengan syarat dari penjara!
“Tapi, kenapa?” ulangku lagi. Semakin tak percaya.
“Suatu malam, tuan Miller kabur dari terkaman polisi. Ia kemari, ke pub paling jelek yang pernah ia komentari. Sepuluh menit kemudian, tuan politikus pun kemari, dengan seorang wanita simpanannya, dan mereka sempat saling pandang dengan penuh kebencian.” Si nona menarik sebatang rokok lagi. “Tuan politikus batal bersenang-senang dengan wanitanya. Ia membiarkan wanita itu pulang, kemudian mereka duduk berhadapan di meja itu. Mereka terdiam cukup lama sampai aku menawarkan bourbon. Mereka menolak, dan mereka sama-sama menyebutkan sebuah merek. Itulah kisah paling romantis yang pernah kusaksikan seumur hidupku.”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi, bocah. Mereka memang banyak diam waktu itu, tapi mereka tidak melakukan apapun. Mereka hanya minum. Sesekali bertanya mengapa mereka bisa terperangkap di waktu yang seperti ini. Tuan politikus menyesal ia membawa wanita simpanan alih-alih pengawalnya, dan tuan Miller menyesal mengapa ia tidak membawa revolver kesayangannya. Mereka saling mengutuk, dan mereka saling menyesal dengan keberuntungan masing-masing. Tapi itulah yang membawa mereka duduk di satu meja, mempertanyakan nasib satu sama lain, hingga saat ini.”
“Bill Henye masih berkoar-koar di televisi sampai sekarang.”
“Kalau ia berhenti koar-koar, itu bahaya. Ia adalah salah satu pelopor Era Baru. Pendukung Raja. Itulah yang mempertahankannya untuk tidak bertemu dan berteman dengan si Miller di luar meja itu. Keluar dari pub, mereka takkan saling toleh. Mereka bukan kawan.”
“Pub ini aneh.”
“Sudah kubilang, ini peti harta karun di dalam kuburan seseorang.”
Aku mendengus. Kutatap si Loydaire dan menyunggingkan seringai geli. “Bisakah aku minta tequila lagi?”
“Jangan lupa untuk bayar, bocah.”
   Caellan, 32
Mungkin aku tidak lagi mendengar pertanyaan mengapa aku masih mempertahankan Sister Loydaire, tapi pertanyaan semacam itu sebenarnya tak pernah pudar. Hanya berganti rupa. Mengapa kau tak memindahkannya ke tempat yang lebih layak?
Pertanyaan itu pun baru saja terlontar dari mulut seorang tamuku. Kali ini, dua orang pria. Mereka orang yang cukup unik, menurutku, dan akan selalu mengingatkanku pada pasangan paling romantis yang pernah kusaksikan dulu. Mereka duduk berhadapan, sama sekali tak segan untuk saling melemparkan pandangan penuh curiga satu sama lain, ditambah dengan penuh penghakiman kepadaku, tapi itulah yang membuatku terhibur.
“Aku terlalu memahami seluruh pelosok tempat ini,” jawabku lugas. Tequila kusesap dengan nikmat. Cairan dingin mengalir deras di kerongkongan. Sensasinya sekeras kebencian yang saling dilontarkan kedua pria itu.
“Kau bisa menjamin keamanannya, tuan Collins?”
“Jaminanku sebesar penawaran yang telah kalian setujui, tuan-tuan.” Aku tersenyum. “Nikmatilah malam ini. Pilih pion-pion permainan sesuka hatimu—tapi ingat—hanya mereka yang ada di lantai dasar.”
“Aku melihat wajah yang tidak asing.” Salah satu mengedikkan dagu ke arah dinding kaca di belakangku. Kutoleh tempat yang ia maksud, dan tentu saja, itulah tempat dimana adik tercintaku sedang duduk bersama kekasihnya.
Senyumku mengembang. Aku selalu menyukai Ruang 03. Dinding-dinding kaca istimewanya yang hanya membiarkan kami menyaksikan dari dalam, tanpa diketahui sama sekali dari luar. Bukan hal yang luar biasa, namun tetap saja, ini amat menguntungkan.
“Tentu,” ujarku. “Apa kau tidak merasa juga melihatnya di sini?” dengan sedikit usil kutunjuk wajahku sendiri, dan pria itu menyipitkan mata.
“Ia keluargamu.”
Aku mengangkat bahu. “Keluarga atau bukan, selama ia ada di lantai dasar, kau bisa menggunakannya. Tapi ia berada di lantai dua, jadi aku tidak berpikir demikian.”
Pria itu mendengus, disusul oleh seringai mencemooh dari lawannya. Aku mengawasi mereka berdua dalam kesenangan batin. Kuhabiskan tequilaku dalam sekali teguk, sebelum menuangkannya kembali ke gelas.
Malam ini adalah malam yang cukup baik. Aku tidak menyesal, dan aku sempat berpikir untuk mengunjungi makam Loydaire. Semoga ia sehat-sehat saja.
0 notes
corosays · 8 years
Text
"Kau tidak pantas terus-terusan menyalahkan dirimu." Senyum tak pernah meninggalkan bibir itu. "Kau bisa saja terus mengatakan bahwa dirimu bukanlah orang yang baik, tapi kau perlu tahu bahwa kesalahan yang tidak sengaja diperbuat satu-dua kali takkan merusak kebaikan yang hakiki, Sayang. Tidak. Dan menyalahkan dirimu terus-terusan, membuat dirimu terlihat buruk di mata orang, juga bukan hal yang baik. Kau tidak bisa membuat orang iba kepadamu, dan kau juga tidak bisa mengharap pengertian dari mereka begitu saja."
"Aku tidak mengharap iba," suara gadis itu tercekat. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku tidak pantas dipuji."
"Kalau kau berpikir begitu, baguslah," ucap pemuda itu. Ia mengangkat bahu. "Maafkan sikapku yang kurang ajar ini, Manis. Aku tumbuh di lingkungan yang amat sangat berbeda denganmu dan seharusnya aku sadar bahwa aku sedang mengobrol denganmu... bukan dengan yang lain."
"Apa kehidupanmu seburuk itu?"
"Apa kau akan menangisi kehidupanku? Karena kau terlihat seperti itu."
Azuna terdiam. Jemarinya saling mengait. "Aku tidak mengerti mengapa orang sepertimu harus memiliki kehidupan yang seperti itu."
"Aku menjadi orang yang seperti ini karena aku memiliki kehidupan yang seperti itu, Azuna." Caellan merasa ia tak pernah tersenyum lebih tulus daripada yang ini. Sebenarnya, ia tersentuh. Sejak pertama kali Caellan mengobrol panjang lebar dengan Azuna, hatinya sudah tersentuh. Inilah mengapa Caellan selalu menyukai obrolannya dengan Azuna. Gadis itu akan selalu membawanya kembali menjejak ke tanah, bukan dengan hantaman yang keras seperti yang dilakukan oleh Rayzan, tapi dengan sentuhan yang lembut dan penuh perasaan. Gadis itu menyayanginya, Caellan tahu itu, dan ia juga menyayanginya. Jika boleh, Caellan yakin seratus persen kasih sayangnya kepada Azuna bisa disandingkan dengan milik Rayzan.
"Normalnya...," Azuna kembali bersuara, "normalnya aku akan memintamu menghentikan semua hal yang bisa membahayakanmu itu, tapi karena kau adalah orang yang luar biasa, aku takkan bersikap normal padamu.
“Kau juga bilang bahwa kehidupanmu yang seperti itu telah menjadikanmu seperti ini. Dan kau yang seperti inilah yang kukenal, Caellan, maka lanjutkan saja kehidupanmu itu dan tetaplah menjadi Caellan yang seperti biasanya."
"Itu adalah permintaan yang paling bijaksana dari seorang gadis seumuranmu," Caellan berkata. "Maaf karena telah mengatakan hal ini, tapi masa lalumu telah membuatmu berpikir lebih luas daripada gadis-gadis seumuranmu, dan kau tidak egois dalam hal itu. Seburuk apapun masa lalumu, selalu ada alasan untuk memaafkannya."
"Mm, aku tahu," kata Azuna, "dan setiap detik kehidupan manusia sudah tertulis dalam Ketetapan Tuhan. Aku yakin semua tidak terjadi tanpa makna dibaliknya, jadi aku senang kau bisa memperjelasnya untukku."
Caellan tak merespon selain tersenyum. Menyinggung kata Tuhan dan apapun yang berkaitan dengan-Nya tidak membuat Caellan terkesima. Ia bukan penganut agama yang baik. Kalau ia memang berlaku seperti itu, ia takkan pernah menjadi orang yang seperti ini.
0 notes
corosays · 8 years
Text
"Kau ini sebenarnya apa?" ia bertanya. "Kau mengubah sikap semaumu kepada siapapun, dan orang-orang masih memercayaimu."
"Mungkin... yah, kamu bisa menyebutku parasit." Cara Caellan mengumumkan jawaban seolah-olah ia telah menanti seumur hidup untuk mengucapkan kalimat itu. "Dan jika kau mendengar kata parasit, ada baiknya kau tidak segera berpikir bahwa aku tak memiliki jati diri. Aku memang menyesuaikan diri dengan inang-inangku, sebagaimana parasit, tapi itulah jati diriku. Bahkan tubuh ini, ini bukan aku! Tubuh ini sebenarnya milik seorang bocah, bernama Caellan Collins, yang aslinya adalah anak pendiam."
Caellan senang melihat perubahan ekspresi wajah Rayzan yang muram. Ia melanjutkan, "dan coba tebak apa, ya! Bahkan nama itu kini kugunakan, karena Caellan Collins yang dulu bakal mati. Tapi aku datang disaat yang tepat untuk menolongnya. Kalau tidak begitu, ia akan mati dalam kesengsaraan, terjerat dengan masa lalunya yang terlampau memilukan untuk seorang bocah yang belum akil baligh. Karena itulah aku datang, dan ia bersedia menyerahkan seluruh jiwa, raga, dan masa depannya kepadaku sebagai gantinya.
"Lantas, Caellan Collins yang ini tidak akan berhenti sampai disitu saja. Dia adalah parasit, kuingatkan sekali lagi, dan dia akan terus berpindah inang, menyerap kebaikan mereka, tanpa pernah sejengkal pun meninggalkan induk inangnya." Caellan menunjuk dadanya sebagai penutup.
Rayzan menyipitkan mata. "Aku ingin sekali memujimu dengan mengatakan bahwa aku bahkan tidak tahu mau berkomentar apa."
"Merasa menyesal karena kakakmu telah direnggut oleh parasit sepertiku?" Caellan tersenyum. "Sah-sah saja kalau kau tidak pernah mau mengakuiku sebagai kakak, Rayzan, karena kakakmu yang aslinya pendiam dan menderita itu memang sudah tidak ada. Aku pun tidak mau repot-repot mencari pengakuan sebagai seorang kakak darimu, karena Ray yang kutahu tidak bernama Rayzan, dan ia seharusnya tumbuh menjadi bocah manis yang memiliki kasih sayang sebesar rasa kasih sayang kakaknya kepada sang adik. Tapi, kita tahu, kedua kakak beradik Collins yang itu sudah mati. Yang ada hanyalah kita, Caellan yang baru dan Ray -atau Rayzan- yang baru. Sekarang pertanyaannya cuma satu, apa kita masih sudi menganggap diri kita sebagai kakak beradik Collins?"
0 notes
corosays · 8 years
Text
“Orang-orang bilang kau berubah. Mereka terus mengatakannya kepadaku dan kadang aku tidak tahu harus bereaksi apa, karena aku bertemu denganmu setelah... er, setelah kau berubah. Jadi aku tidak paham dengan perubahan macam apa yang terjadi padamu.”
“Sembilan tahun yang lalu,” kata pria itu, senyum tersungging di bibirnya seusai menyesap coklat panas, “seorang pria angkuh menodong pistolnya kepadaku dan meluapkan kebencian yang sudah lama ia pendam kepadaku.”
Aku mengernyit. Apakah ia membicarakan kakaknya?
“Lalu?” desakku, gusar dengan sikapnya yang suka memberikan jeda panjang pada penjelasannya.
“Seandainya aku masih menutup pendengaranku waktu itu, mungkin ia sudah tidak hidup lagi. Tapi untungnya itu semua terjadi di waktu yang tepat. Ia frontal ketika aku berada di puncak keragu-raguanku. Dia memang pendorong yang amat baik. Pendorong yang menjatuhkan penerjun payung, maksudku, karena kata-katanya yang menghempasku kembali ke bumi. bum.”
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapannya. Meskipun lelaki ini sudah membuka dunianya kepadaku, jujur saja aku tahu persis ia masih gengsi untuk menceritakan kebodohannya secara gamblang. Kenapa ia tidak bisa sepertiku di sisi yang ini? Memangnya aku sedang mengencani seorang peramal yang kata-katanya harus dicerna dengan pikiran seterbuka mungkin?
“Apa yang berubah darimu?” tanyaku akhirnya.
Selama sepersekian detik ia menatapku. Ada sinar geli yang menari di kedua mata hijau cerahnya. Ia tahu aku tidak sabar.
“Sikapku,” suaranya pelan. “Aku menyalahkan siapapun, terutama dirinya, karena telah membuat diriku menjadi seperti ini. Aku sendiri tidak ingin mengakui kalau aku juga membiarkan hal-hal buruk terjadi padaku dan menyerapnya. Aku dulu... pengecut, kau tahu? Aku memanfaatkan sekelilingku untuk menjadi kambing hitamku.”
“Kenapa kau melakukan itu?”
Ray Collins tidak langsung menjawab. Tangannya meraih cangkir yang asapnya sudah tidak mengepul lagi, namun aku menahannya. Ia menatapku dengan mata membeliak. “Jangan,” kataku. “Cerita dulu. Aku nggak mau kata-katamu berubah.”
Ray mendesah.
“Aku tidak punya siapa-siapa,” bisiknya. “Aku dulu tidak punya siapa-siapa. Meski ada Azuna, ia bukanlah keluargaku yang sebenarnya. Ia cuma gadis yang menjadi temanku satu-satunya, dan aku iri dengannya yang masih punya keluarga yang perhatian. Aku melampiaskan itu dengan menyalahkan Caellan... yah, sedikit berharap semoga dia mau minta maaf dan mencoba peduli padaku... atau begitu, entahlah, apapun yang bisa membuatku merasa memiliki keluarga, tapi Caellan bukan orang seperti itu. Perhatian yang kuharapkan dan yang kubutuhkan itu berbeda. Dia memberikan apa yang kubutuhkan, bukan apa yang kuharapkan.”
Aku menatapnya dalam diam. Sedikit syok, karena meski terlihat amat enggan karena tak sekali pun menatapku, Ray akhirnya mau cerita. Namun kini matanya terarah kepadaku dan jemarinya menyentuh tanganku.
“Boleh minum, tidak?”
Senyum tipis terpatri di bibirku. Kusodorkan cangkirnya dengan lembut. “Minumlah. Aku sudah puas.”
Ia mencibirku, tapi aku tahu ia sedikit tersenyum saat sedang meneguk habis coklatnya.
Aku tahu ia lega.
0 notes
corosays · 8 years
Text
“Kau tahu orang macam apa yang paling buruk di mataku? Orang yang berlagak korban. Orang yang menyalahkan kejadian yang menimpanya sebagai penyebab dirinya berubah. Orang yang tidak ingin -atau lebih buruk, tidak akan- menoleh untuk menilik apa yang telah ia lakukan pada dirinya sendiri. Orang yang tidak mau berkaca sementara dirinyalah yang mengizinkan hal-hal seperti itu terjadi sehingga dirinya berubah. Orang yang -singkat saja- tidak mau mengakui bahwa perubahan dirinya itu terjadi atas izin dirinya sendiri. Singkat kata, orang yang suka menyalahkan. Dan itu kamu.”
Dahi pemuda itu berkerut. Cara pria di hadapannya mengulang-ulang kata yang sama membuatnya muak. Bahkan mulut pistol yang teracung di dahi pemuda itu terasa selembek angin yang menerbangkan ujung-ujung rambutnya.
Seburuk itukah dirinya? Apakah ia boleh mengakui bahwa hatinya benar-benar sakit mendengar kata-kata itu meluncur barusan? Kepalanya pening, seolah dinding setebal dua meter di dalam dirinya telah dihancurkan begitu saja oleh ayunan bola beton raksasa. Kritikan. Ia tidak suka kritikan. Terlebih-lebih, dari seorang pria yang menganggap dirinya bisa mengatakan apapun karena ia seorang kakak.
Tangannya mengepal.
Dianggap paling buruk oleh orang terburuk di negeri ini membuatnya terdengar sangat buruk.
0 notes
corosays · 8 years
Text
#21st project?
Dia aneh.
Aku masih ingat persis bagaimana ia tidak ingin menyinggung apa-apa yang kubicarakan waktu itu, dan, okaaaaay, aku tidak akan melakukannya. Sadar atau tidak, ia juga berubah agak canggung karena itu. Atau mungkin, aku terlalu banyak berpikir?
Tapi yang jelas, dia memang aneh.
Dan, seenaknya sendiri.
Malam ini, beberapa menit yang lalu, ia baru saja meneleponku. Meneleponku! Aku tidak pernah menyangka ia akan melakukannya, tapi aku lebih tidak menyangka lagi kalau ia bakal membicarakan hal-hal yang menurutnya konyol dan tidak pernah terjadi. Ia meneleponku karena sesuatu yang menurutnya konyol itu hanya bisa dibicarakan denganku. Lagipula ia sedang tertimpa masalah karena hal-hal konyol itu.
konyol, bukan? maksudku, apa maunya?
psst. kau mungkin saja membaca ini. aku tidak peduli. kau menyebalkan dan aku tidak tahu kenapa kau masih ingin bertemu besok, seperti pembicaraan malam ini tidak cukup untuk membuatku terjaga? kau tahu aku benci dengan hal-hal seperti itu, bukan?
bilang saja kalau kau memang ogah berteman denganku, bodoh!
--Eran, Malam Kamis, 16 Maret 2017.
0 notes
corosays · 8 years
Text
Gone Astray
Aku tahu kau penasaran, tapi semua ada batasannya. Persetan dengan mereka yang mengatakan bahwa rasa penasaran tak ada batasnya.
Semua harus dibatasi.
Percayalah, hidupmu akan jauh lebih baik jika kau tidak mendalami hal-hal yang tidak seharusnya kau dalami. Karena, selain kau akan membahayakan hidupmu, kau hanya akan membuang-buang waktuku saja.
Kau menyengsarakanku.
+ + +
Kepulan putih menggelayut manja di sekitar hidung, mencoba mengalahkan aroma hujan dan tanah basah yang telah menguasai seisi ruangan sejak kira-kira satu jam yang lalu. Meskipun begitu, wewangian kopi yang berasal dari cangkir merah di sampingnya tak membuat lelaki itu rela berhenti sejenak. Tangan kanannya tak beralih dari punggung tetikus yang terus ia peluk sejak beberapa jam terakhir. Sedangkan tangan kirinya yang sudah kesemutan sejak tadi pun kini nyaris mati rasa karena menopang dagunya tanpa bergerak. Hanya mata yang terus jelalatan dari ujung layar ke ujung yang lain.
“Jamie!”
Sebuah suara memanggil lelaki itu dari arah pintu ruangan. Carlos Motandes, pria paruh baya yang mengantarkan kopinya tadi, kembali melangkah masuk ke dalam ruangan kecil itu dengan berkacak pinggang. “Jamie,” panggilnya lagi, “Jamie, nak!”
Lelaki itu menghela napas sebelum akhirnya membuka mulut, tanpa sedikit pun berniat memutar kepala. “Apa?”
“Aku tahu kau sedang dikejar waktu, tapi pedulikan nasib perutmu! Kau mau sandwich mentimun, tidak? Atau kau mau yang tuna saja?”
“Carl, aku tidak sedang dikejar waktu…,” James Horrison menjawab setengah hati, karena ia berusaha fokus dengan apa yang ada dihadapan matanya. “Kali ini aku dikejar oleh si Paley itu, kau paham? Paley.”
Carlos menghela napas. Ia menggosok bagian bawah hidungnya dengan sebal dan ia pun melangkah keluar ruangan tanpa suara. Baru kali itu James meliriknya sekilas. Ia memerhatikan punggung pria bertubuh tambun itu bergegas menuruni tangga. James tahu ia bakal keluar menembus hujan demi membelikannya beberapa sandwich berbagai isi, ia tahu itu. Tapi James baru bisa menikmatinya saat makan malam nanti.
Dikejar Paley itu jauh lebih mengerikan daripada dikejar waktu, kau tahu?
James mendesah sembari menyandarkan punggung pada kursi empuknya. Ia mengerang saat merasakan otot-otot lehernya menegang, dan ia memilih untuk meregangkan tubuh sejenak. Kehadiran Carlos telah memusnahkan konsentrasi dan James butuh waktu untuk mendapatkannya kembali.
Merepotkan.
James mendorong kursi agar berputar menghadap jendela di sampingnya. Aroma kopi tak lagi tercium, yang ada hanya bau tanah basah yang sangat kuat dari pot di ambang jendela. Mata kelabu James memerhatikan tetesan-tetesan kecoklatan mengalir di tepi pot, sebelum akhirnya jatuh ke jalan berpaving jauh di bawah sana.
Tak peduli seberapa besar tekanan dari luar, jangan pernah pergi meninggalkan tempatmu hanya untuk merasakan pahitnya jatuh.
“Mati…”
James bergumam pelan. Ia mendesah kecil dan mengerling sekali lagi ke layar komputer. Ia baru saja mengirimkan beberapa data sekaligus pesan kepada Paley, seorang polisi bawah tanah. Bukan mau James pula untuk bekerjasama dengannya, tapi karena suatu peristiwa yang melibatkan perkakas peternakan di ladang gandum, James terpaksa berdiri di balik bayang-bayang Paley untuk sementara waktu jika ia tidak ingin dijebloskan ke penjara.
Lamunan James terpecah ketika sebuah pesan muncul diikuti suara notifikasi yang khas, dan ia segera bergeser ke depan komputer. Ada seseorang tak dikenal yang mengirimkan pesan kepadanya, dan secercah rasa malas sontak menyelimuti hati James. Bukan tegang, takut, atau was-was seperti yang pernah ia rasakan dulu saat pertama kali melakukan hal seperti ini.
Sub: Tolong saya.
Dahi James berkedut samar membacanya. Tak ada seringai kecil di bibir seperti reaksi biasanya ketika membaca pesan semacam itu. Tidak. Ia tidak lagi terhibur.
Ia sudah muak.
James tak perlu repot-repot membaca isi keseluruhan pesan itu. Ia sudah hapal persis apa yang diinginkan oleh pengirim anonim ini. Sudah jelas, ia minta diselamatkan. Ia memohon untuk dibebaskan.
Tapi untuk apa?
Kenapa James mau membantunya? Tanpa membuang-buang waktunya untuk membalas pesan tersebut, James membuang pesan itu. Ia tidak peduli. Kenapa ia mau menolong anonim itu? Kenapa ia harus mau menolong seseorang yang melakukan kesalahan karena kebodohannya sendiri?
Jika ia mendengar dalih bahwa “semua itu tidak disengaja” seperti pada umumnya, atau dalih lain semacam “tak mampu menahan rasa penasaran”, maka sebenarnya itu semua terjadi atas kesadaran orang itu sendiri. Kenapa ia tak menghentikannya jika tahu bahwa melakukan hal itu mampu membawanya sejauh ini?
James bukanlah malaikat, bukan pula hakim. Ia hanyalah seorang pemuda yang terbiasa duduk di depan komputer berhari-hari, tapi ia tahu persis apa yang terjadi di luar sana. Pekerjaannya hanyalah mondar-mandir dari satu situs ke situs lain, menangkap mereka yang “kebetulan” terdampar di tempat yang salah. Seharusnya hal yang seperti itu masih bisa dimaafkan, bukan?
Tapi tidak. Mereka tentu sudah mendapatkan peringatan, karena mereka sudah sampai sejauh ini.
James tak mau membuang-buang waktunya untuk menolong mereka yang tak mengindahkan aturan. Sekali lagi, ia bukanlah malaikat. Bahkan mungkin, ia setan. Ia tak menolong mereka. Ia membawa mereka menuju tempat yang seharusnya mereka tak berada.
James mengirimkan mereka ke Paley, seorang polisi bawah tanah. Apa yang akan terjadi pada mereka selanjutnya, bukanlah urusan James kali ini. Sebab sekarang James bekerja untuk Paley, maka ia tak punya hak untuk melakukan apapun.
Sungguh?
James terdiam. Jemarinya menyentak ringan dan ia merasakan sesuatu mendadak merayap di otaknya. James menahan napas. Buru-buru diraihnya cangkir merah di samping komputer, lalu meneguk kopi yang ternyata masih terlalu panas untuk lidahnya.
“Oh, fuck!”
James mengumpat dan ia setengah membanting cangkir itu ke meja kembali. Ia sontak berdiri dari kursinya dan berlari ke dapur di lantai bawah, kemudian kembali beberapa menit kemudian. Alisnya bertaut, ekspresinya mengeruh, dan ia menggerutu sepanjang jalan.
Meskipun begitu, James merasa agak bersyukur atas kopi panas sialan itu.
+ + +
“Kau butuh udara segar, bung,” Carlos berkata saat James akhirnya turun untuk makan malam. Ia menyudahi aktifitas yang nyaris berlangsung selama empat hari berturut-turut itu dengan rasa lelah luar biasa.
Sembari mengunyah sandwich tuna hangatnya, James mengangguk tanpa suara.
“Bau hujan masih kuat sekali,” lanjut Carlos. “Mumpung udaranya masih mendukung, berjalan-jalanlah keluar.”
“Aghu hau.”
Carlos mengerutkan dahi melihat James berusaha menjawab dengan mulut penuh sandwich. “Telan dulu makananmu, nak!” serunya dengan seringai di bibir pucatnya. Ia sedang mengelap peranti makan basah yang teronggok di atas konter. “Dan, oh, kudengar klub di ujung jalan sudah dapat ijin untuk buka kembali. Sepertinya Madam Goyn tidak menyerah untuk meneruskan bisnisnya.”
James mengangkat tangan, memberikan isyarat bahwa ia akan mengatakan sesuatu sementara ia berusaha menelan makanannya. “Itu, soal itu,” katanya dengan cepat, “Natasha mengatakannya kepadaku minggu lalu.”
“Oh, bung, kalian sudah...?”
“Tidak, tidak.” James mengibaskan tangannya geli, “Natasha akan menikah dengan Robbie dan sekali lagi kukatakan kepadamu, bung, tak ada apa-apa diantara kami!”
“Sungguh? Kupikir ia menangis waktu itu karena kau…”
“Tidak.” James terdiam sejenak. “Dia ada… oh, lupakan saja. Yang penting, Natasha bilang Madam Goyn akan membuka satu bar lagi di dekat Sister Loydaire.”
“Sial, apakah mereka akan bersaing?”
“Nah, mau bertaruh?”
Carlos tertawa. “Ha! Butuh seribu tahun bagimu untuk memenangkan taruhan denganku.”
James mendengus, “kaupikir gertakanmu masih mempan padaku? Aku memang belum pernah memenangkannya, tapi aku takkan menyerah begitu saja. Ingat, aku nyaris mendapatkannya pada taruhan lalu.”
“Masih nyaris, nak!”
James tersenyum masam saat Carlos tertawa lebih keras sambil menggosok piring di tangannya dengan lebih bersemangat. James tak menyahut lagi. Biarlah paman ini tertawa sepuasnya, itu jauh lebih baik daripada mendengarnya bolak-balik mengerutu karena tubuh James makin kurus.
Tak butuh lama bagi James untuk menghabiskan tiga bungkus sandwich sebelum keluar meninggalkan apartemen menuju malam lepas. Ia langsung mengambil napas dalam-dalam setelah menutup pintu apartemen, merasakan udara dingin menusuk hidung hingga relung dadanya. James memejamkan mata, berusaha menyingkirkan penat yang menghalau pikirannya semenjak seminggu terakhir.
Tolong saya.
Mata James terbuka saat ia kembali teringat pesan yang dikirim seorang anonim tadi sore. Kenapa ia tiba-tiba mengingatnya? Padahal James sudah menginjakkan kaki di luar apartemen, yang itu berarti, segala permasalahan di dalam ruang kerjanya takkan dibawa kemari. Ia tentu tidak menyukainya. Air muka James pun mengeruh dan ia menggeleng pelan.
Ia tidak memedulikannya.
Tolong saya.
James takkan memedulikannya.
Tolong...
Aku tak peduli.
James segera melangkah menuruni tangga menuju trotoar, merasakan hembusan angin menerpa kepalanya, menyusuri celah-celah diantara potongan rambutnya yang sangat pendek. Hidungnya memerah dan terasa agak kaku, tapi ia tak peduli. Dinginnya malam akan membekukan kepenatannya, jadi James tak mempermasalahkannya.
Lagipula ia suka dingin.
Terutama yang di malam hari.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
When the cold breeze seeps in, feel
the night embraces you tight
Mi amor, how are you?
Let’s dance to your deepest cry for me
In the night where I hide this passion
The pleasure I can’t share
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
“Halo?”
James berusaha berkonsentrasi mendengarkan jawaban yang seharusnya ia dapat. Ia baru saja menelepon sebuah nomor dan ia merasakan jantungnya bertalu-talu.
“Halo? Ini aku.”
James kembali berkata. Suaranya lebih pelan dari saat ia pertama kali berbicara dan kali ini ia samar-samar mendengar suara gemerisik dari seberang.
“Kau mendengarku? Jawab aku.”
“Saya di sini…”
James tak tahu apa yang sedang ia rasakan ketika mendengar suara itu menyahut. Ia tak ingin mengetahui siapa yang ia telepon, dan James merasa tak terkejut saat mendengar suara serak itu menjawabnya dengan penuh ketakutan.
Rasanya seperti kembang api meledak-ledak di dalam perutnya.
“Siapapun dirimu,” James berbisik, “jika kau menginginkanku, maka aku hanya bisa memberikanmu satu kesempatan..”
Seharusnya tidak.
“Apapun itu, tuan.”
Seharusnya jangan.
Alih-alih menjawab, James memejamkan mata. Ia merasakan udara dingin meresap masuk ke dalam dadanya, menggantikan kehangatan yang seharusnya memeluk James dalam kurun waktu setahun terakhir ini.
Ia tidak tahan.
Lagu-lagu itu terus menggelaut di dalam otaknya.
“Kuberitahu kau satu hal,” James berbisik, “jika kau tidak ingin berakhir dihadapan publik, maka kau harus ada bersamaku.”
“Apa yang akan kaulakukan?”
Terdengar ketakutan dari nada perempuan di seberang sana. Jelas keadaan yang telah mendesaknya kini akan membuat gadis itu berpikir sesuatu yang buruk, sangat sangat buruk.
Tapi bukankah itu kesalahannya sendiri?
James menghela napas kecil. Ia pun membuka kedua bibirnya yang tipis, dan serangkaian kalimat mulai terucap dari mulutnya. Ia tahu perempuan di seberang sana akan mendengarkan apapun yang ia ucapkan, mengingat kengerian akan resiko yang dihadapinya nanti mengejar bagai setan di depan wajahnya.
Apapun itu, ia pasti akan mendengarkan James.
Apapun.
 When the cold breeze seeps in, feel
the night embraces you tight
Mi amor, how are you?
Let’s dance to your deepest cry for me
In the night where I hide this passion
The pleasure I can’t share
0 notes
corosays · 8 years
Text
My Mad Matt
Tak peduli seberapa brengsek orangtuamu, kau jauh lebih brengsek.
Dengarkan apa kata mereka.
 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
  Itu pun jika kau punya orangtua. Dan, meskipun orangtuamu brengsek, itu jauh lebih baik daripada tidak punya orangtua sepertiku. Dulu aku punya, ketika aku masih kecil dan manis dan patuh dengan setiap perkataan mereka meski banyak pecutan yang berakhir di paha maupun bokongku. Tapi sungguh, itu masih memori terbaik daripada apa yang kujalani setelahnya.
Tak peduli seberapa brengsek orangtuaku, aku jauh lebih brengsek.
Dan bodoh,
dan dungu,
dan goblok.
  Orangtuaku memang brengsek. Mereka mempecuti pahaku, bokongku, bahkan tak jarang mereka akan membenturkan kepalaku ke dinding, tapi percayalah bahwa itu jauh lebih baik daripada berlari kepada temanmu.
Aku terlalu bodoh untuk meminta saran kepada mereka yang masih seumuran denganku. Mereka mengerti apa? Mereka hanya mengerti apa yang mereka dengar, apa yang mereka anggap keren, dan apakah mereka benar-benar mengerti dengan hal itu?
Meskipun orangtuaku brengsek, mereka telah berpengalaman dan sesungguhnya mereka tahu betul apa yang baik untukku.
Meski, ya, bokongku tidak lagi semulus sewaktu aku masih dua tahun.
  Aku jauh lebih brengsek. Dan bodoh, dan dungu, dan goblok. Kenapa aku mendengarkan mereka, melakukan hal yang menurut mereka sangatlah keren? Aku tidak pernah bekerja, apalagi menjadi sukarelawan di beberapa acara. Aku juga tidak pernah membangkang, dan juga tidak pernah membentak mereka.
Tapi disitulah kebodohanku.
Kenapa aku menuruti mereka, dan tidak menuruti orangtuaku lagi? Seharusnya aku tetap mematuhi mereka dan tidak memilih untuk pergi meninggalkan mereka. Mungkin, jika aku masih menjadi anak baik dan rela bokongnya dipecuti, mungkin aku sudah tumbuh menjadi bocah yang mentalnya sedikit terganggu dan dibully oleh kawan-kawan sekolahku, tapi percayalah bahwa itu jauh lebih baik. Akan selalu ada orang yang peduli kepadamu, meskipun itu adalah bocah polos berumur lima tahun yang kebetulan kau temui di tepi jalan, atau kakek buta yang sering kau temui di halte.
Percayalah, itu jauh lebih baik.
  Kenapa aku menuruti mereka? Jika aku menuruti orangtuaku, mungkin aku takkan berakhir seperti ini.
Mungkin aku masih punya suaraku. Mungkin pula aku bisa mendahului Gordon untuk mendekati Karina, gadis manis yang baru saja menempati bangsal empat di pojok sana. Mungkin, dan bahkan sangat mungkin, aku bisa tetap mempertahankan keinginanku untuk berdiri di luar sana sebagai sesuatu yang tidak berharga.
 Aku lebih suka menjadi yang tidak berharga, yang dibully, yang dipecuti bokongnya.
Aku tidak suka menjadi yang berharga.
Karena sesuatu yang berharga akan selalu berguna.
Aku tidak suka menjadi yang berguna.
Karena sesuatu yang berguna akan selalu dimanfaatkan.
Aku tidak suka menjadi yang dimanfaatkan.
Karena sesuatu yang dimanfaatkan, akan ditinggalkan jika sudah tiada keberadaannya.
Aku suka menjadi yang tidak berada.
Karena sesuatu yang tidak berada, tidak akan pernah dianggap berharga, digunakan, dimanfaatkan, hingga menjadi tidak berada.
 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
 “Matt!”
Suara deritan pagar jeruji dibuka yang memekakkan telinga terdengar lagi pagi ini. Seorang pria berjas lab putih menjeblak pagar lebar-lebar, membukakan jalan bagi Matthew Hart yang teronggok di kasur betonnya untuk melangkah keluar.
“Matt, waktunya bangun.” Dokter itu berjalan masuk dengan santai sambil merogoh sakunya. “Matt, Matthewku sayang…,” ujarnya setengah mendendang. Dokter itu berdiri di sisi tempat tidur dengan menelengkan kepala. Kedua matanya yang dingin menatap dari balik kacamata bulat yang sedikit buram.
“Matthew yang manis….”
Dokter mengulurkan tangannya ke pinggang Matthew. Jemarinya menekan pelatuk dan membiarkan pemuda itu menjerit kaget saat merasakan sengatan luar biasa di pinggangnya.
Dokter itu tertawa.
“Bangun, Matt! Bangun!”
Matthew menjerit saat merasakan sekujur tubuhnya menegang. Dokter menarik stunt gun dari pinggang pemuda itu dan melemparkannya ke pojok ruangan. Matthew menatapnya ngeri dengan mata kemerahan, lingkaran hitam terlihat jelas di wajahnya yang kusam.
Dokter mencondongkan tubuh untuk mengelus wajah Matthew sebelum mendaratkan kecupan ringan di dahinya. “Matthewku yang baik, kau ingat apa perjanjiannya kemarin?”
Matthew masih mengatur napasnya sementara dokter berambut klimis itu menatapnya penuh arogansi. Matthew mengerling ke arah jam dinding yang terpasang di atas pagar jeruji. Hanya ada angka satu, dua, tiga, kemudian ada beberapa piktogram yang menggantikan angka-angka selanjutnya untuk menunjukkan aktifitas macam apa yang bakal Matthew lakukan pada jam-jam itu.
Jarum jam pendek menunjuk pada gambar yang menunjukkan orang berlari, dimana itu seharusnya merupakan angka empat.
Pukul empat pagi.
Matthew kembali menatap sang dokter yang telah menantinya dengan sabar, tapi ia tak memberikan jawaban apa-apa. Ia tak mengangguk, maupun menggeleng. Dan itulah kesalahannya. Senyum sang dokter lenyap saat Matthew hanya diam saja menatapnya.
“Jawab aku!”
Dokter berteriak seraya menampar Matthew. Pemuda itu berjengit dan segera mengangguk sekuat mungkin. Dokter tertawa sementara ia mencengkeram tangan kurus Matthew untuk menyeretnya keluar ruangan.
“Aku tahu kau menyukai Karina,” kata sang dokter seraya melempar Matthew terhempas ke pagar jeruji, menyuruhnya untuk duduk menunggu sementara dokter itu mengunci pagar jerujinya kembali. “Dan aku tahu betapa Gordon mungkin bisa saja mengalahkanmu untuk mendapatkannya. Karina gadis yang manis, bukan?”
Matthew menahan napas.
Jangan.
Matthew ingin sekali menjerit saat mendengar dokter itu menyinggung soal Karina. Tapi tentu saja ia tak bisa bersuara lagi. Ia hanya mampu berusaha menahan desakan untuk melotot ke arah dokter itu.
Ia tahu apa yang akan terjadi.
“Karena itulah aku akan membantumu, Matt,” ucap Dokter, “karena kau adalah anak terbaik yang pernah kumiliki. Kau anak kesayanganku, Matt, percayalah, dan aku tidak suka melihat anak kesayanganku tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.”
Tidak, tidak, tidak…
“Kemari, bocah.”
Dokter itu meraih kalung dogtag yang melingkari leher Matthew dan menyeretnya menyusuri lorong. Mereka menghampiri bangsal tempat Karina dipingit. Matthew hanya menunggu di luar sambil memunggungi bagian dalam kamar, sama sekali tak ingin melihat apa yang dilakukan sang dokter itu untuk membangunkan Karina. Ia hanya mendengar suara jeritan gadis dan tawa gila dokter itu, dan Matthew merasa hatinya sangat sakit.
Tapi ia juga jadi ingin melihatnya..
Tidak apa-apa, ‘kan?
Kedua tangan Matthew menyentak saat lehernya perlahan memutar ke belakang.
TIDAK, MATT!! Ia menjerit dalam hati. Ia tidak boleh melihatnya! Karina adalah gadis yang manis, gadis yang polos, gadis yang tidak bersalah. Matthew tidak akan setega itu untuk menjadikannya sebagai hiburan semata sebagai pelampiasan atas apa yang dilakukan Dokter kepadanya tadi.
“Matt, kenapa kau tidak menoleh?”
Matthew tersentak mendengar suara Dokter tiba-tiba berbisik di belakangnya, membuat jantung pemuda itu bertalu-talu. Hembusan napas hangat dan bau alkohol yang memuakkan menguar di sekeliling Matthew. “Kenapa kau tidak melihatnya? Karina begitu cantik.”
Matthew menelan ludah dan menggeleng pelan.
“Heh, kau akan menyesalinya…” Dokter itu tertawa ketika menjauh dari Matthew sekali lagi. Pemuda itu menghela napas lega saat menyadarinya, namun hatinya mencelos ketika ia mendengar dokter itu berkata kepada Karina, “pakai bajumu!”
 Tak butuh waktu lama bagi Matthew untuk bertemu kembali dengan sosok gadis berambut pirang sebahu dengan mata sayu yang indah. Tapi kali ini kecantikannya seolah memudar akibat wajah memerah dan lingkar hitam yang makin merajalela di sekeliling matanya. Matthew menyadari lubang hidung gadis itu tidak lagi berjumlah dua, dan bekas luka bakar yang ada di salah satu bahunya makin melebar.
“Hari ini kalian akan bermain bersama, anak-anakku,” Dokter berkata seraya mengunci pintu bangsal Karina, “dan hadiahnya kali ini tidak main-main, Karina! Mungkin kau tidak tahu, dan seharusnya tidak pula aku melakukan hal ini, tapi mengingat betapa spesialnya Matthew untukku, maka kau akan kuberitahu.”
Kedua remaja itu mengekori Dokter meninggalkan tempat sambil bertatapan. Ada apa? Karina bertanya melalui tatapan matanya yang menyedihkan kepada Matthew. Tapi pemuda tentu saja tidak bisa menjawab.
Bagaimana caranya aku mengatakannya?
“Karina, Karina bocah cantikku,” kata Dokter seraya mengerling ke arah gadis itu. “Kau mungkin baru di sini selama seminggu, tapi yakinlah bahwa kau bisa kabur dari sini jika kau berhasil menyelesaikan permainan yang ada.”
Karina membelalakkan mata dan menatap Matthew sekali lagi dengan tidak percaya. Semangat telah menyergapi wajah kusam itu, menyingkirkan rasa sakit yang diakibatkan sang dokter tadi. Tapi Matthew tak berani menatapnya. Tidak, ia pun tidak merasa bersemangat seperti Karina mendengar ucapan Dokter.
 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
 Matthew bukanlah anak yang religius, tapi ia tahu bahwa seharusnya ia tak mengindahkan aturan Tuhan. Ia seharusnya tetap bersyukur dengan kehidupannya, tanpa sekali pun mengeluh meski gesper Dad semakin lama semakin terasa kasar di kulitnya. Ia pun seharusnya tetap maklum, meski Mom sering menumpahkan alkohol di bubur gandumnya, atau salah menyelipkan opium ke dalam tas sekolah Matthew.  Ia juga tetap harus bersabar, meski Galvin yang merupakan teman sepermainannya dulu akhirnya ikut-ikutan menyelipkan cacing tanah ke dalam loker Matthew.
Ia harusnya tetap berada di sana, di rumahnya yang tidak terlalu nyaman, tapi itu jauh lebih baik daripada terseret arus menuju tempat terkelam yang pernah ia temui.
Tidak, mungkin ini tidak seberapa daripada apa yang terjadi di Laboratorium sebelah, tapi Matthew yakin, gesper Dad bakal terasa seperti bulu kemoceng jika dibandingkan dengan apa yang akan ia hadapi di balik pintu besi itu.
Dokter membawa Matthew dan Karina ke sebuah ruangan kosong yang hanya memiliki sepasang pintu besi raksasa di sisi lain ruangan. Namun Dokter tak ikut masuk, ia justru menempatkan diri sejauh mungkin dari pintu besi itu sambil menyeringai lebar. Hal itu membuat Matthew merasa perutnya bergemuruh hebat, tak seperti Karina yang terlalu polos untuk menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Tunjukkan jika kalian memang pantas untuk tetap hidup sampai kini, Matthewku sayang.”
Bisikan Dokter terngiang-ngiang di benak pemuda itu. Matthew mendadak jadi pusing dan muak. Ia ingin sekali pergi dari sini, tapi bagaimana bisa? Dokter telah merantai kedua kakinya dan kedua tangannya sampai terasa kesemutan. Kalung merah terpasang kembali di lehernya, dan terasa makin menyempit seiring dengan berlalunya waktu.
“Waktumu tidak terbatas.” Kata Dokter melalui speaker yang ada di ruangan itu. “Berusahalah keluar dari Laboratorium ini semampumu, sayang-sayangku.”
“Apa yang akan terjadi jika kami tidak bisa melakukannya?”
Matthew menatap Karina yang melontarkan pertanyaan itu begitu saja. Ingin sekali ia menampar bibir gadis itu, menghardiknya karena telah menanyakan pertanyaan yang jawabannya sangat tidak ingin Matthew dengar.
Seolah mengerti isi pikiran Matthew, Dokter hanya tertawa sebagai jawaban.
“Matthew menyukaimu, sayang!” serunya menggelegar, “dan karena aku mencintainya, maka kuhadiahkan kebersamaan kalian sebagai rasa sayangku. Dan, ya, kebebasan!”
“Apa—“
“Selamat bermain.”
Terdengar suara pip panjang yang memekakkan telinga dari speaker, bersamaan dengan suara deritan nyaring pintu besi yang mulai menggeser terbuka. Matthew menahan napas saat ia mencium bau tidak sedap menguar dari balik pintu, yang membuatnya langsung pusing. Tenggorokannya tercekat dan terasa perih, ditambah dengan semakin eratnya kalung merah itu mencekik lehernya. Matthew membuka bibir untuk mengambil napas tambahan, namun ia malah ingin muntah karena bau menjijikkan itu kini mulai memasuki tubuhnya.
Karina menjerit, dan Matthew tak bisa mengatakan apa-apa untuk menghiburnya. Tapi ada satu hal yang pasti, satu hal yang menjadi alasan mengapa Matthew bersyukur ia memiliki Dokter yang masih perhatian padanya, dan hal itu adalah keinginan terakhirnya sebelum ia melewati neraka yang akan membakar tubuhnya.
Apapun keadaan yang akan menimpa mereka nanti, pilihannya hanya ada dua. Mati atau hidup bersama Karina.
Dan jika Dokter memang masih mencintai Matthew seperti sebelum-sebelumnya, maka Matthew takkan mati.
Ia melirik gadis di sampingnya.
0 notes
corosays · 8 years
Text
Saya jatuh, tapi saya (akan) naik
Hari ini saya jatuh.
Saya jatuh!
Tapi setelah saya jatuh, saya terlempar ke dunia lain. Saya berada di tempat yang... oh, saya tidak bisa menggambarkannya dengan baik! Bahkan seorang sastrawan ulung sekalipun tidak bisa dijamin menciptakan kata-kata yang sama eloknya dengan dunia tempat saya berpijak sekarang. Bahkan untuk menjelaskannya dengan kata-kata yang biasa saya pakai untuk menyusun laporan pun—logis dan lugas—belum tentu bisa tersampaikan dengan baik. Bahkan saya tidak yakin ada kata yang bisa menyimbolkan keindahan yang saya rasakan sekarang.
Tapi, jika kalian masih ngotot meminta penjelasan, maka inilah penjelasan abal-abal saya.
Manis.
Saya merasakan sesuatu yang manis. Bukan, bukan di lidah saya. Meski mulut saya sempat menganga—sampai sekarang—karena mengagumi keindahan di depan mata saya, saya tidak merasakan manis merasuk ke mulut saya. Saya merasakan manis di kulit saya, di perasaan saya.
Saya merasakan manis di kulit saya. Manis yang tidak terbuat dari gula. Manis yang “pas”-nya mengalahkan resep saklek para koki terkenal. Manis yang hanya bisa dirasakan di buah; manis karena nikmat Tuhan. Dan ini adalah manis yang tepat, manis yang nikmatnya luar biasa. Manis yang tidak akan membuat tenggorokanmu haus, dan manis yang tidak akan membuatmu mual. Tapi manis yang membuatmu menginginkan lebih dan lebih.
Nah, paham tidak? Tidak, ‘kan! Itulah kenapa saya bilang tidak ada kata yang pas sandingannya dengan keindahan ini. Tapi, itu bukan berarti saya akan berhenti menjelaskannya.
Setelah kulit saya merasakan manis, mata saya memandang keseimbangan. Yang ini mungkin lebih bisa dipahami. Kalian mungkin pernah dengar pengetahuan kecil semacam “suasana dingin” pada film-film barat atau “suasana hangat” pada film-film timur. Nah, mata saya memandang lebih dari itu. Suatu keseimbangan yang tercipta demikian cermat. Setiap warna yang ada di depan mata saya begitu lembut, tegas, dan tentunya menyenangkan. Rasanya setiap warna yang ada di sini akan menjadi warna favorit saya. Bahkan ketika pink seharusnya menjadi warna yang menjijikkan bagi saya, pink di sini seribu persen akan berubah menjadi warna yang paling saya cintai. Begitu pula dengan semua warna lainnya. Saya mencintai semua warna.
Setelah mata saya tidak puas-puasnya memandang keseimbangan, telinga saya merasakan kedamaian. Kedamaian yang begitu membuai, kedamaian yang begitu nyata, seolah-olah hidup saya sebelumnya adalah hal semu; ciptaan imajinasi terburuk saya. Telinga saya memakan ketenangan. Telinga saya hanya mendapat asupan keamanan, kepastian bahwa saya akan hidup dalam kemakmuran tiada akhir.
Saya memejamkan mata. Oh, betapa ini begitu indah. Betapa semua ini terasa sangat nyata, bahkan melebihi kehidupan sebelum saya. Dan... tunggu, tunggu sebentar. Apakah saya memang hidup sebelumnya? Maksud saya, sebelum saya jatuh tadi? Rasa-rasanya ini adalah kehidupan saya yang sebenarnya. Apa yang terjadi sebelum saya jatuh hanyalah rekaan otak saya yang berusaha mengintip kemungkinan buruk selain kenyataan ini.
Tapi kemudian saya sadar. Waktu terus berjalan. Ketika saya membuka mata, yang saya lihat hanyalah sesuatu yang buram. Semuanya berputar. Merah mendominasi pandangan saya dengan membabi buta. Kulit saya tidak merasakan manis, melainkan sengatan yang luar biasa membakar di sekujur tubuh. Mata saya tidak melihat keseimbangan, melainkan keruntuhan karena saya memandang dunia dari sudut pandang aspal. Telinga saya tidak mendengar kedamaian, karena derasnya hujan menusuk-nusuk luka yang menghias tubuh saya, menulikan pendengaran saya.
Saya memejamkan mata sekali lagi.
Hari ini saya jatuh.
Saya jatuh!
Tapi setelah saya jatuh, saya tidak langsung terlempar ke dunia lain. Tuhan masih membiarkan saya menikmati dunia tempat saya hidup selama sembilan belas tahun... untuk beberapa saat ini. Karena saya tahu, begitu pula dengan Tuhan, bahwa sebentar lagi saya tidak akan berada di sini lagi.
 Hari ini saya jatuh.
Saya jatuh!
Dan setelah saya jatuh, saya yakin Tuhan telah mengirimkan utusan-Nya untuk menjemput saya.
 Hari ini saya jatuh.
Saya jatuh!
Dan pertama kalinya setelah saya jatuh, saya bisa tersenyum.
Semoga Tuhan membawa saya ke dunia-Nya!
0 notes
corosays · 8 years
Text
Merah
Orang-orang bilang, aku spesial.
Ayah, Mama, Abang, Ibu Guru, dan semua orang yang mengetahuiku berkata bahwa aku tidak ada duanya di dunia ini. Semua dokter spesialis yang kukunjungi bersama Ayah akan mengangkat tangan kepadaku. Puluhan rumah sakit besar di ibukota menyerah untuk menanganiku. Meski orang-orang berpendidikan itu bilang bahwa apa yang kualami adalah petaka, keluargaku tidak berpikir demikian.
Aku adalah mukjizat. Meski aku tidak tahu seperti apakah warna hijau, kuning, biru, dan coklat, aku tahu seperti apa warna merah. Aku tahu persis seperti apa warna merah yang mampu membuatku tenang, membangkitkan semangatku, maupun meredam kesedihanku. Aku juga tahu persis warna merah setiap orang, karena mereka memilikinya di dalam tubuh.
Disitulah letak “mukjizat” berada.
Kendati aku tidak mampu melihat warna selain merah, aku mempunyai “kekuatan” untuk melihat jauh ke dalam tubuh orang—selain tubuhku sendiri. Aku bisa melihat bagaimana merah mengalir dalam pergerakan konstan di dalam tubuh setiap manusia, terlebih-lebih ketika seseorang sedang marah.
Aku senang sekali menyaksikan seseorang sedang emosi! Kau tahu kenapa? Ya! Merah di tubuhnya mengalir lebih deras, lebih kencang, dan aku seolah-olah menyaksikan pemandangan paling menakjubkan yang pernah kulihat. Aku tidak akan pernah melihat tubuh seorang manusia menjadi sedemikian merah dan berwarna.
Itulah saat-saat terbaik yang pernah kualami bersama seseorang. Karena itulah, setiap aku bersama seseorang, aku akan mengusahakan kami berdua sama-sama bisa berbahagia. Saat aku masih kecil, aku akan melakukan sesuatu agar Ayah dan Mama mau menghampiriku, dengan merah yang menguar-nguar di dalam tubuh mereka. Itu terlihat menyenangkan! Aku biasanya akan menikmati momen-momen itu, menikmati bagaimana merah menggelegak begitu deras di dalam tubuh mereka. Apalagi mereka akan memelukku, membawaku pergi ke suatu tempat dan membiarkanku bermain di sana.
Tapi, itu dulu.
Semakin aku bertumbuh besar, sikap Ayah dan Mama makin berbeda. Kenapa setiap aku melakukannya, mereka tidak lagi memelukku? Mereka juga tidak mau membawaku pergi. Mereka menyuruhku pergi. Kenapa begitu? Aku hanya ingin bahagia seperti dulu, dipeluk, sementara mataku mampu menyaksikan derasnya merah mengalir di sekujur tubuh mereka. Namun, alih-alih mendapat pelukan, yang kudapatkan sekarang hanyalah kekosongan.
Seperti sekarang ini.
Sudah bertahun-tahun sejak aku berusaha mendapatkan perhatian mereka, tapi rasanya sekarang percuma saja. Padahal aku sudah melakukan berbagai cara agar mereka mau mendatangiku, tapi tetap saja aku tak bisa keluar dari kamar.
Mataku menyapu sekeliling. Dulu, saat aku masih kecil, ada banyak sekali perabotan di sana-sini, begitu pula mainan. Tapi semua itu musnah satu-persatu karena aku membutuhkan orangtuaku. Hanya jika aku menyingkirkan benda-benda itu, orangtuaku akan datang ke kamar dan itulah satu-satunya kesempatan untuk melihat merah yang berkobar-kobar di dalam tubuh mereka. Namun, seperti yang kukatakan tadi, seiring dengan berjalannya waktu, mereka semakin jarang datang. Barang-barang di kamarku pun semakin berkurang. Yang ada hanyalah kasur dan belasan spidol merah, serta piring kosong yang akan diambil saat waktu sarapan esok.
Tubuhku bergoyang-goyang dalam ketidaknyamanan.
“Bosan…,” keluhku. Ada dua spidol yang tergeletak di dekatku, dan aku baru saja menghabiskan tintanya untuk mencoret dinding di sebelah pintu. Karena itu adalah satu-satunya spot kosong terakhir di dinding, sekarang aku tak punya tempat lagi untuk mencoret-coret di kamar.
Aku menghela napas. Aku butuh hiburan… sudah lama sekali sejak terakhir aku melihat pergolakan merah yang membara di tubuh seseorang. Aku ingin melihatnya lagi. Aku ingin melihatnya lagi!
Kuperhatikan sekeliling, mencari cara untuk bisa menarik perhatian Ayah, Mama, atau mungkin Abang. Apa yang bisa kulakukan dengan kasur? Tidak ada. Bagaimana dengan belasan spidol yang sudah hampir mongering? Tidak ada juga. Lalu bagaimana dengan…
“Oh!!” aku sontak beranjak. Kudekati jendela di pojok kamar. Kusingkap tirai dan dinginnya malam perlahan merasuk ke dalam kamar. Kukepalkan tanganku, siap untuk menggedor-gedor jendela agar Abang yang tidur di atas kamarku mau datang.
“Abaang, abaang...,” panggilku seraya memukul-mukul jendela. “Abaang… abang, adik bosen banget nih… abaaang…”
Tak ada sahutan. Aku mengernyit, kenapa begitu? Biasanya Abang akan langsung datang, terutama saat malam hari! Dan di saat itu pulalah aku bisa melihat gejolak merah di dalam tubuhnya, dan itu membuat hari-hariku cukup berwarna kembali.
“Abaaang? Abaang!!” aku berteriak lebih keras. Tanganku pun menggedor jendela lebih kuat.
“Abaang, adek boseeen! Abaang!!”
“Abaa—AAH!!” aku refleks menarik tangan saat aku tidak sengaja membenturkan tanganku terlalu keras. Sepetak kecil jendela retak, bahkan beberapa bagian sudah menghilang menjadi pecahan yang berguguran. Aku menggigit bibir. Oh, aku memecahkan jendela!
Tapi kekhawatiranku perlahan pergi saat aku menyadari ada sesuatu yang berbeda. Walau jemariku terasa perih, dan saat kuamati, ada merah di sana! Aku menahan napas. Oh—oh, merah! Merah yang banyak! Ada merah di tanganku sendiri!
Aku menjerit bahagia. Sontak kupanggil Abang sekali lagi sembari memukul tanganku lebih keras ke jendela. Semakin lama kupukul, semakin banyak pecahan kaca yang berserakan. “Abaang! Abaang, kesini dong! Adik mau tunjukin sesuatu! Abang!”
Dan benar saja, tak butuh waktu lama bagiku untuk mendengar suara kunci pintu dibuka. Abang muncul di ambang pintu, dengan merah yang bergejolak di dalam tubuhnya. Alisnya bertaut, tapi matanya membelalak lebar menatapku.
“Abang, sini Abang! Aku tadi coba panggil-panggil Abang, eh ternyata bisa muncul warna merah juga di tanganku! Abang, ayo sini!”
“Dek, jangan macam-macam!”
Aku tersenyum, bahkan aku merasa bisa menangis bahagia karena Abang mendekat. Warna merah, warna merah! Abang datang dengan merah memenuhi sekujur tubuhnya! Aku sayang Abang!
“Ayo sini!” alih-alih menurutiku, Abang justru menarikku menjauh dari jendela. Aku terkejut dan berusaha melepaskan cengkeraman tangannya.
“Ih, Abang ngapain sih! Adek mau main nih! Banyak merah lho! Abang!”
Tapi Abang tak mengatakan apa-apa. Ia sama sekali tak berucap meski aku sudah memintanya untuk kembali. Aku menahan diriku untuk tidak bergerak, tapi percuma saja, Abang jauh lebih kuat. Aku pun menangis. Aku memohon padanya agar bisa dilepaskan, dan berjanji takkan mengganggunya malam-malam lagi. Tapi Abang tetap tidak mendengarku. Aku jadi kesal. Kusentak tanganku dan segera berlari menjauh. Abang berteriak. Kudengar langkah kakinya yang mengejarku, dan aku tertawa. Aku akan kembali ke kamar dan mengajak Abang bermain!
Tapi usahaku nyaris sia-sia karena aku sudah lama tidak berlari. Aku kelelahan. Abang dengan cepat menarikku, tapi aku meronta. Kuraih benda-benda di sekelilingku—buku, gelas, semuanya—kearah Abang dan ia menjerit-jerit. Aku baru berhenti melemparinya ketika ia memohon padaku, dan aku menyadari apa yang baru saja terjadi.
Merah!
Ada banyak merah mengalir dari tubuh Abang! Aku tersentak. Oh, astaga, aku melempari banyak benda kepadanya! Buku, cangkir-cangkit, kacamata Mama, bahkan teko kaca Mama yang sudah berserakan! Oh-oh!
Abang melolong kesakitan, tapi aku tak bisa mengabaikan banyak merah yang ada di tubuhnya. Aku tersenyum. Adrenalin terpompa deras di dalam tubuhku. Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan, aku tidak pernah melihat merah sebanyak ini! Bahkan di tubuh Abang!
“Abang, banyak merah! Ayo main! Ayo main sama adek!”
0 notes