Tumgik
#dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat
Text
PEMBELAJARAN DARING DI MASA PANDEMI
oleh: Muhammad Firhan Arkananta (2019120022) Perencanaan Strategik UMJ
Tumblr media
Pandemi covid 19 menyebar sejak akhir tahun 2019 hingga kini di beberapa wilayah dengan masa berbeda, terhitung 193 negara telah berjuang melawan serangan Covid yang tidak pandang bulu. Wuhan adalah salah satu kota di China sebagai tempat domisili penderita covid yang pertama kali ditemukan sebelum virus ini berstatus pandemi. Berita dan informasi pergerakan penyebaran virus tersebut telah mewarnai berbagai laman media karena jalur sebarannya kian hari semakin massif. Setiap negara yang telah lebih dulu diserang covid 19 menjadi model bagi negara lain dalam melakukan tindakan preventif penyebaran covid 19, meskipun terdapat perbedaan tatanan politik, sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan pada setiap negara tersebut. Pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan kebijakan terkait pencegahan penyebaran Covid 19 yang berdampak pada kondisi internal dan eksternal wilayah pemerintahan Indoneisa. Salah satu keputusan pemerintah yang memberi dampak luas adalah kebijakan pada segmen pendidikan, baik pada komponen praktisi maupun pada komponen regulative dan lingkungan. Kebijakan dari hulu ke hilir tersebut bersinergi dengan kebutuhan dan kepentingan pencegahan penyebaran Covid 19. Dampak ini saling bersinggungan antar segmen dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.
Kajian ini secara khusus mendeskripsikan dinamika pembelajaran sebagai bagian dari segmen pendidikan selama masa pandemi Covid-19 yang berlangsung di Indonesia dengan mengacuh pada fenomena yang dirangkum melalui pengamatan, wawancara dan studi dokumen terkait pelaksanaan pembelajaran berbasis daring pada jenjang pra sekolah hingga pendidikan tinggi. Penyelenggaraan sistem pendidikan mengalami transformasi dalam berbagai lini kegiatan, termasuk kegiatan pembelajaran yang seluruhnya terpaksa berlangsung secara online. Kajian ini menegaskan bahwa setiap unsur yang terlibat dalam aktivitas pembelajaran mengalami ketidaksiapan terhadap perubahan spontan di masa pandemi Covid-19.
Pelaksaan sistem pembelajaran pada satuan pendidikan mengalami perubahan bentuk operasional yang digeneralisasi melalui kebijakan pembelajaran dan mengikut pada kebijakan sosial, yaitu instruksi social distancing hingga berujung pada himbauan lockdown. Respon masyarakat terhadap kebijakan tersebut sangat variatif, pada awalnya terbatas pada kondisi sensitisasi, menurut Hebb kondisi ini dapat membuat setiap individu akan lebih responsif terhadap aspek tertentu pada lingkungan. Aspek tersebut adalah perubahan yang dilahirkan oleh pembatasan sosial tersebut. Menilik teori generalisasi dan diskriminasi maka respon tersebut terpetakan secara alami.
Gerakan massif pembatasan sosial terjadi pada komunitas terkecil (keluarga) hingga pada komunitas terbesar (masyarakat). Setiap individu dituntut untuk menyadari eksistensi peran bagi individu lainnyatetap berjalan dengan rel mandiri yang berpegang pada jargon “mulai dari diri untuk keselamatan bersama”. Jargon ini dapat ditemukan di berbagai informasi, baik yang disampaikan melalui lisan maupun tertulis. Penyampaian lisan biasanya pada komunitas kecil dan penyampaian tertulis lebih akrab dikomsumsi oleh komunitas besar melalui media sosial, seperti status pada facebook dan Whatsapp, hastag pada Instagram dan kalimat bijak pada spanduk himbauan. Jargon tersebut beririsan dengan himbauan bekerja dari rumah yang popular dengan istilah Work from Home (WFH) dan dimaknai sebagai representasi gaya bekerja yang aman pada masa pencegahan penyebaran Covid 19.
Social distancing memberi pembatasan ruang dan waktu terhadap segenap kegiatan rutin dalam sistem pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan, mulai pra sekolah, sekolah dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi. Banyak hal yang terlihat jelas setelah menyimak perubahan sistem pembelajaran pada setiap jenjang tersebut. Pembelajaran lasimnya berlangsung di ruang kelas dengan jadwal tertentu berubah menjadi pembelajaran di ruang masing-masing dengan waktu yang tidak praktis sesuai jadwal pembelajaran. Inilah yang lahir sebagai dampak dari himbauan pembatasan sosial, selanjutnya menciptakan pembatasan operasional pendidikan. Kondisi ini lebih popular dengan istilah pembelajaran “daring” (pembelajaran dalam jaringan) yang sebelumnya juga sudah sangat familiar dan sering dilakukan, namun sebagai alternatif di antara beberapa bentuk pembelajaran yang lebih efektif.
Pembelajaran “daring” sebagai pilihan tunggal dalam kondisi pencegahan penyebaran covid 19memberi warna khusus pada masa perjuangan melawan virus ini. Bahkan bentuk pembelajaran ini juga dapat dimaknai pembatasan akses pendidikan. Pendidikan yang lumrah berlangsung dengan interaksi langsung antar unsur (pendidik dan tenaga kependidikan dan peserta didik) beralih menjadi pembelajaran interaksi tidak langsung. Pembatasan interaksi langsung dalam pendidikan terkadang terjadi pada situasi tertentu namun tidak dalam rangka pembatasan sosial seperti yang masyarakat jalani sebagai upaya pencegahan penyebaran virus. Pembatasan ini membawa dampak potitif dan negatif dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Pembatasan sosial memberi dampak pada kebijakan penyelenggaraan pendidikan, pembelajaran harus diupayakan tetap berlangsung dengan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan. Hal ini sangat berpengaruh pada masa adaptasi akibat perubahan mekanisme dan sistem pembelajaran tersebut.
Pertama; dampak positif dapat dimaknai dari kondisi praktisi pendidikan melaksanakan kegiatan akademik dengan bekerja dari rumah(work from home). WFH membuat setiap individu yang melakukan aktivitasnya menjadi lebih mandiri dalam memaksimalkan pemanfaatan teknologi dan informasi. Sebelumnya, tidak semua individu memiliki kebiasaan bekerja berbasis IT, namun kondisi ini membuat mereka bisa lebih terbiasa dan terampil menyelesaikan pekerjaan dengan IT. Betapa tidak, praktisi pendidikan dibenturkan pada kondisi yang memaksa dan mengharuskan mereka menjadi mahir secara instan. Beberapa pengakuan legah praktisi tersebut menunjukkan moment social distancing ini membuahkan hasil peningkatan kreativitas dan kompetensi dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
Tenaga pendidik dari semua jenjang usia bisa melebur diri untuk mengenal kemudahan dalam mengajar berbasis IT. Tenaga kependidikan menuntaskan dan merapikan urusan administrasi dengan bantuan IT. Para peserta didik yang pada umumnya adalah generasi milineal semakin bersenyawa dengan kemahiran mereka menyelesaikan kegiatan dan tugas belajar berbasis IT. Hikmah ini menjadi langkah tidak terencana dan di luar dugaan sebagai upaya pengembangan keterampilan dan pengetahuan setiap unsur praktisi pendidikan relevan dengan zaman. Selain dampak positif tersebut, terlihat pula dampak negatif pada keterbatasan praktisi pendidikan dalam tanggap kondisi, kesiapan personal membutuhkan pendampingan bahkan pedoman khusus untuk memahami IT sebagai jalur pilihan dalam bekerja. Celakanya, kemampuan dasar sangat beragam sehingga melahirkan respon yang tidak seragam dan potensial menciptakan kesenjangan pencapaian tujuan atau target pembelajaran.
Respon pro-kontra terhadap bentuk pembelajaran “daring” ditemukan dalam varian komentar beberapa unsur, yaitu; siswa-mahasiswa, para orang tua dan guru-dosen pada ruang obrolan di berbagai media sosial (facebook Whatsapp dan Instagram). Komentar setiap unsur tersebut memiliki pesan kuat yang mewakili pendapat mereka dalam menyikapi aktivitas belajar berbasis sistem pembelajaran daring selama masa pandemi. Siswa (jenjang pra sekolah hingga jenjang menengah) berekspresi pada tatanan teknis pelaksanaan kegiatan belajar dan penyelesaian tugas pembelajaran beralih seluruhnya terasa menjadi Pekerjaan Rumah (PR) karena seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran yang berlangsung lebih lama dan bahkan bisa lebih intens berinteraksi dengan komunitas kecil (keluarga) dalam situasi belajar lebih bermakna.  Selain itu, terungkap pula ekspresi perasaan kejenuhan dan kebosanan yang ditengarai oleh keinginan untuk berinteraksi dengan komunitas belajar di sekolah, di antaranya dituangkan dalam bentuk nyanyian, puisi dan video berdurasi pendek untuk menyampaikan perasaan kerinduan mereka untuk bersua di sekolah kembali.
Mahasiswa sebagai komunitas belajar yang jauh lebih mandiri mengekspresikan pendapat, sikap dan perilaku mereka lebih produktif. Mereka menjalani aktivitas akademik dengan menunjukkan keragaman adaptasi sesuai beberapa faktor yang mempengaruhi ruang belajar dan pembelajaran yang dijalani. Rangkaian perkuliahan  dimediasi melalui berbagai aplikasi berbasis digital, kompetensi mahasiswa secara otomatis mengalami peningkatan dalam kompetensi IT yang lebih mapan karena tuntutan rangkaian aktivitas yang didominasi dengan media digital. Bahkan keterampilan dalam memproduksi dan mentransfer pengetahuan yang dimiliki dalam bentuk karya ilmiah berbasis digital. Bentuk karya tersebut sangat beragam, di antaranya berupa; video pembelajaran berbasis keprodian yang dipublikasikan pada media sosial dengan akun pribadi maupun akun kolektif (komunitas belajar). Gambaran lain menunjukkan bahwa mereka dapat tetap produktif dalam karya tertulis (artikel-sripsi-tesis) meskipun pembimbingan dalam bentuk konsultasi online dengan memanfaatkan berbagai macam media elektronik dan jalur akses komunikasi yang representatif pada masa pandemi.
Kolom obrolan orang tua (siswa dan mahasiswa) juga memberi pesan khusus terkait dinamika dan probelmatika yang dihadapi dalam melakukan pendampingan kegiatan belajar putra-putri mereka di masa Covid 19 ini, terhitung sejak semester genap lalu, seluruh aktivitas pembelajaran mengalami transformasi digital yang pada kenyataannya tidak semua orang tua adalah individu yang familiar dengan IT secara maksimal, sehingga kerapkali komentar orang tua terkait teknis berbasis digital menjadi perbincangan yang kesimpulannya menjadi kendala dalam mewujudkan kelancaran kegiatan belajar dan  pembelajaran untuk mencapai kemahiran tertentu bagi putra-putri mereka.
Pada masa 4 (empat) bulan pertama (Februari-Mei 2020) menjadi masa adaptasi yang terkontaminasi dengan kondisi kesiapan mental dan fisik setiap orang tua yang harus mengisi kegiatan belajar dan pembelajaran dalam keterbatasan. Meskipun kegiatan belajar dan pembelajaran tersebut telah dibantu dengan adanya kebijakan pemerintah melalui tayangan pembelajaran di media televisi yang dikemas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayan agar lebih menarik dan memudahkan proses pendampingan siswa (Pra sekolah hingga sekolah menengah) oleh orang tua di rumah masing-masing. Ekspresi lain yang juga ditunjukkan adalah postingan video durasi pendek para orang tua yang sedang mendampingi anak belajar, baik dalam kesan positif maupun yang negatif.
Para tenaga pendidik (guru-dosen) memiliki ruang komunikasi yang juga dimanfaatkan untuk mengekspresikan dan mendeskripsikan kesiapan mereka dalam mengawal program dan sistem penyelenggaraan pendidikan tetap berlangsung pada seluruh jenjang. Komitmen mengajar ditunjukkan dengan aktivitas berbasis digital, mereka melakukan pembelajaran dengan tetap melakukan persiapan, melaksanakan pembelajaran dan menyelesaiakan evaluasi sesuai kondisi pandemi. Komentar terkait kendala interaksi antara tenaga pengajar dan peserta didik mendominasi kolom obrolan dan diselesaikan dengan mengakomodir saran dan kritik tanpa banyak membebani setiap unsur sehingga tetap dapat tercipta kondisi belajar.
Aplikasi pembelajaran digital menjadi ruang belajar baru bagi para tenaga pengajar yang menjadikan mereka lebih maksimal menguasai gaya komunikasi dan interaksi berbasis media. Pengakuan mereka juga dipublikasikan melalui media sosial terkait kerinduan ingin bertemu langsung dengan para peserta didik di ruang pembelajaran. Para tenaga pengajar tetap dalam koridor pencapaian pembelajaran berbasis tiga ranah pendidikan; yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik, kerapkali para peserta didik dibekali dengan penugasan yang mengasah produktivitas mereka untuk tetap berkarya di masa yang berbatas ini.
Respon dan tanggapan beberapa unsur ini mengindikasikan bahwa perubahan itu adalah keniscayaan, setiap individu harus dapat menyiapkan diri untuk menghadapi perubahan. Perubahan sistem pembelajaran di masa pandemi ini adalah wujud transformasi tidak terduga dan selanjutnya akan mewarnai perkembangan dinamika pembelajaran pada seluruh jenjang di masa mendatang saat badai Covid 19 telah berlalu. Pada akhirnya, setiap individu akan terbiasa dengan kondisi ini dan bahkan menjadikan momentum pandemi ini sebagai titik permulaan untuk membudayakan kebiasaan baru dan bernilai positif dalam dunia pendidikan, khususnya dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Bentuk pendidikan di lingkungan keluarga lebih bermakna dari kondisi bermakna sebelumnya karena setiap anggota inti keluarga dapat memediasi kebutuhan belajar dan interaksi personal, intrapersonal dan interpersonal lebih terwujud dalam suasana pendidikan keluarga.
Kondisi pembelajaran pada masa pandemi harus dapat dimanfaatkan dengan perubahan pola berpikir, pola belajar, pola inteksi ilmiah yang lebih bermakna sehingga kekakuan dalam menyikapi masa Covid 19 dapat dimaksimalkan dengan produktivitas yang mencirikan kebermaknaan. Perasaan pobia diminimalisir dengan optimis bahwa seluruh aktivitas tetap berlangsung dengan protokol kesehatan tatanan baru (new normal), khususnya dalam segmen penyelenggaraan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah hingga pendidikan tinggi. Setiap individu harus tanggap terhadap keterbatasan di masa pandemi untuk tetap produktif dalam bidangnya dan memaknai kondisi pandemi ini sebagai bagian dari perubahan yang tetap harus mengedepankan sikap dan prilaku representatif pada tatanan baru untuk menciptakan ruang belajar bervariasi. Pada akhirnya, kajian ini menegaskan bahwa setiap perubahan dalam sistem pembelajaran dapat mendesain kondisi baru dan memiliki distingsi dengan kondisi sebelum dan yang akan datang maka setiap unsur terkait harus dapat menyesuaiakan dengan perubahan tersebut untuk mewujudkan keberhasilan pembelajaran secara komprehensif.
2 notes · View notes
naqyasya · 6 years
Text
Dari Lembah Cita-Cita - HAMKA
Dalam risalahnya ini, Buya Hamka mengajarkan kita bahwa cita-cita yang tinggi adalah milik mereka yang memiliki kemerdekaan jiwa.  Dan dasar utama dari kemerdekaan jiwa ini adalah apa yang tersarikan dalam lima rukun Islam. Maka lebih dari setengah penjelasan dalam buku ini, Buya Hamka menguraikan panjang lebar tentang makna-makna yang terkandung dan tujuan-tujuan yang nampak dan tersembunyi dari lima rukun Islam ini. Tujuannya agar para pemuda yang membaca risalah ini memahami dengan jelas hakikat lima rukun Islam untuk melahirkan jiwa yang merdeka.
Yang pertama dan utama adalah Tauhid. Dia adalah kunci keimanan. Dalam penjelasannya tentang tauhid ini, Buya Hamka menjelaskan dua kunci bekal terhadap pemahaman tauhid yang benar, yaitu ilmu dan budi. Ilmu adalah hasil olah dari akal, dan budi adalah pendapat yang ditimbulkan jiwa. Dan kepada kedua hal inilah Rasulullah saw. diutus Allah menyampaikan risalah.
Mengapa Ilmu dan mengapa Budi?
Ilmu yang benar akan datang kepada orang yang berakal dengan jujur. Memandang alam, mengamati silih bergantinya siang dan malam. Melihat matahari dan bulan. Mengambil petunjuk arah dari bintang-bintang. Bagaimana gunung didirikan. Bagaimana langit ditinggikan. Bagaimana bumi dihamparkan. Merenungi tumbuhan-tumbuhan, air, dan binatang-binatang. Kesemuanya akan membawa akal kepada kesadaran bahwa alam yang indah dan teratur ini tidaklah berdiri dengan sia-sia. Alam ini tidak berjalan dengan sekehendaknya saja, melainkan sesuai dengan kehendak dan ketentuan tulisan yang telah tertulis. Itulah ilmu.
Lalu jiwa dengan perasaannya yang tulus akan membawa kepada merasai kelemahan diri manusia. Bahwa ia tak ada apa-apanya di belantara alam yang luas raya ini. Maka jiwa menyadari bahwa yang mengatur dan memperjalankan alam ini seluruhnya adalah Dzat yang Maha Besar, Maha Esa, Maha Kuasa, dan Maha Kaya. Itulah budi.
Kemudian dari ilmu dan budi itu lahirlah persaksian. Itulah dua kalimat syahadat.
Dari syahadat itulah pintu gerbang kemerdekaan jiwa. Dengannya manusia tak terkungkung dan terombang-ambing. Ia tak akan terikut-ikut dengan nenek moyang atau taklid kepada apa yang telah mapan. Ia tak takut kepada apa jadinya nasib, karena semuanya ada dalam genggaman Allah yang Mahakuasa.
Kemudian setelah tauhid, Buya Hamka menjelaskan intisari dari ibadah dalam lima rukun Islam. Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. Bagaimana ibadah-ibadah itu memiliki peran untuk membentuk pemahaman akan kepedulian dan ketahanan sosial. Sehingga bagi orang yang telah merdeka jiwanya (dengan tauhid dan pemaknaan rukun Islam) cita-cita yang hanya untuk diri sendiri adalah cita-cita yang rendah. Cita-cita orang yang merdeka jiwanya harus berdampak lebih dari sekedar kepada dirinya sendiri, ia adalah cita-cita keluarga, cita-cita bermasyarakat, cita-cita bernegara, dan cita-cita peradaban.
Buya Hamka menulis dalam risalahnya, “Ternyata, bahwasanya jiwa hidup manusia itu memiliki pertalian. Pangkal tali ialah pada dirinya. Tali itu bercabang dua. Cabang yang pertama menghadap ke langit, ialah kepada Allah. Tali yang kedua ke bumi, ialah kepada masyarakat. Oleh sebab itu syariat Islam pun menjaga kedua pertalian itu.”
Bagaimana shalat memiliki peran terhadap kepedulian sosial. Bagaimana zakat membentuk ketahanan masyarakat. Bagaimana puasa menjadi alat pembebasan jiwa dari kejumudan dan kemapanan. Bagaimana haji menjadi puncak simbol persatuan dan kedamaian dunia. Semuanya dijelaskan masing-masing oleh Buya Hamka dalam risalah ini, yang saya rasa lebih baik dimaknai secara langsung dengan redaksi yang beliau tulis, alih-alih mendapatinya dari uraian saya (atau mungkin bisa didiskusikan setelahnya). Sehingga kesan dan pemaknaannya akan lebih terasa dan tak hilang satu pemahaman jua.
Lalu bagaimana kemerdekaan jiwa ini membawa kepada cita-cita yang tinggi dan ketekunan tekad dalam mengusahakannya?
Jawabannya ternyata ada dalam hakikat Tauhid itu sendiri. Yaitu pada sendi-sendi keimanan enam rukun Iman, pada rukun kelima tentang hari pembalasan dan rukun keenam tentang takdir.
Pemahaman yang utuh terhadap mengimani hari pembalasan akan membawa seorang yang beriman untuk menetapkan cita-citanya yang tinggi. Bagaimana tidak, karena dalam falsafah hidup Islam, setiap manusia hanya hidup di dunia ini sekali saja. Dan di dunia inilah ladang tempat manusia menanam. Hinggat nanti di hari akhir ia akan mendapatkan hasil dari yang ditanamnya. Pemahaman ini tak akan membuat manusia menjadi takut mati, karena orang yang takut mati sesungguhnya orang yang menyangka hidup yang sekarang inilah yang lebih baik, ia tak meyakini hakikat dari kebajikan dan apa yang akan dituai atasnya kelak.
Jika keyakinan atas hari pembalasan membuat seorang tak takut mati, maka keyakinan akan takdir membuat orang tak takut hidup. Karena dengan meyakini takdir Allah seseorang tahu kemana harus bergantung dan menambat harap. Allah maha berkehendak atas segala sesuatu, hatta sehelai rambut yang jatuh dari kepala seseorang. Dalam pada itu, Allah pula yang memiliki sifat Maha Adil. KeadilanNya membuat satu amal kebajikan sekecil apapun tak akan tersia-siakan. Karenanya orang yang meyakini takdir dan keadilan Allah sepatutnya memiliki keteguhan dan ketekunan hidup, karena tak ada sekecilpun dari kebajikan yang ia lakukan yang tak akan dinilai oleh Allah.
Kedua rukun ini, rukun Islam dan rukun Iman inilah yang menjadi kunci kehidupan yang berarti. Dengannya manusia menegakkan cita-cita setinggi mungkin. Karenanya kita menyaksikan sejarah kegemilangan peradaban Islam yang dibangun Rasulullah dengan mendidik shahabat-shahabatnya hingga ke generasi-generasi selanjutnya adalah karena memahami kunci-kunci hidup ini.
Yang perlu diingat adalah, jalan cita-cita yang tinggi bukanlah jalan yang halus dan landai. Ia adalah jalan yang penuh dengan kerikil tajam dan laut yang tak tenang. Orang akan dihempas berkali-kali, jatuh berulang-ulang, dan terdera yang tak habis-habis. Tapi pemilik cita-cita tinggi akan kembali berdiri dan melanjutkan usahanya. Karena begitulah kehendak Tuhan untuk orang yang beriman. Sepertimana kita temui dari sejarah orang-orang mukmin pertama yang membersamai Rasulullah.
Setelah beriman, dan Mekkah tak bisa menjadi tempat yang bersahabat untuk keimanan mereka, lantas mereka berhijrah ke Madinah, ke kota yang masyarakatnya bersedia menerima mereka dengan tangan terbuka. Lantas apakah setelah itu sudah? Ternyata tidak. Ternyata mereka harus berjihad mempertahankan keimanan mereka yang mereka bangun di Madinah. Hingga akhirnya mereka menaklukkan kembali kota Mekkah yang dulunya menjadi kerikil paling tajam terhadap keimanan mereka.
Yang pertama beriman, kedua berhijrah, dan ketiga berjihad. Ini adalah tabiat hidup orang beriman. Orang harus sanggup menjalani ketiganya, barulah iman itu dapat dipandang. Itulah yang dipesankan Buya Hamka dalam risalahnya ini, Dari Lembah Cita-Cita.
Ulasan Syeikh Muammar Salim dalam @bacabacaaa.id
17 notes · View notes
indarwan-iswan · 6 years
Text
Definisi Hutan: Antara Kebenaran Ilmiah dan Kepentingan Aktor Politik (bagian I)
[3.4] @indarwan-iswan
Hutan dalam cara pandang positivistik adalah bertumpu pada aspek biofisik, dan semua yang berkaitan dengan ekosistem flora dan faunanya. Diskursus mengenai kehutanan dan definisi hutan sudah terjadi sejak beberapa waktu silam dan terus mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan semakin banyaknya hasil riset dan penemuan terbaru, baik itu pada aspek definisi, cara pandang, implementasi Ilmu Kehutanan dalam berbagai kebijakan pembangunan kehutanan. Persoalan cara pandang dan definisi kehutanan dan hutan ini sendiri, sebenarnya tidak bisa dilepaskan oleh suatu kondisi di mana para ahli itu tersebut berada dan pada kondisi apa pemikiran itu tersebut lahir dan diwujudkan dalam sebuah definisi dan teori. 
Hal ini merujuk pada fakta adanya perbedaaan bentang alam antara satu negara dan negara lainya, serta perbedaan keanekaragaman hayati dan iklim yang juga ikut memberikan pengaruh pada struktur tegakan, ekosistem dan karakterisitik hutan. Indonesia yang berada di wilayah topis umumnya, diketahui memiliki keanekaragaman yang tinggi pada aspek flora dan fauna. Berbeda dengan negara-negara yang berada di wilayah non tropis, keanekaragaman hayati tidak setinggi di wilayah tropis. Sehingga sangat wajar munculnya berbagai pandangan tentang definisi yang hutan dari berbagai sudut pandang, seperti aspek biofisik, luas, tipe, bentuk, status hukum, aspek sosial dan interaksi hutan dan dan berbagai ekosistem di dalamnya. Cara pandang positivistik ini menimbulkan asumsi tersendiri tentang definisi hutan dengan fokus dan orientasi pemikiranya pada karakteristik biofisik seperti apakah definisi ideal yang dapat memenuhi asumsi hutan serta merangkul semua aspek cara pandang, biofisik, fungsi ekologis, status hukum dan lahan serta tujuan yang seharusnya diharapkan dari adanya hutan.
Pandangan positivistik ini melihat hutan dan ilmu kehutanan sebagai satu hal yang netral dan bebas nilai, yang tidak ada unsur pengaruh manusia dan penganut aliran pemikiran intelektual tertentu, sehingga perdebatan mengenai definisi hutan bebas dari kepentingan politik, nilai dan asumsinya adalah good goverment, good people, and good intellectual. Kenyataan cara pandang ini melihat hutan sebagai subyek pembangunan, dan orientasi pandangan terhadap hutan secara umum yang masih berlaku adalah orientasi hasil hutan berupa kayu dan non kayu. Hegemoni kayu seakan menghilangkan beragam aspek lain, sampai perhitungan dan valuasi ekonomi hutan masih didominasi oleh produk kayu. Hal ini penting untuk ditelaah kembali, apakah cara pandang dengan orientasi pada hasil hutan kayu adalah memang benar atau perlu dilakukan revolusi pemikiran baru untuk dunia kehutanan. 
Persoalan ini penting menurut penulis, karena turunan cara pandang dasar dan dogma yang berlaku ini akan berimplikasi kuat terhadap praktek dan penggunaan definisi serta ilmu pengetahuan kehutanan itu sendiri. Diskursus mengenai orientasi pemikiran tentang hutan, harusnya lebih luas dari sekedar kayu dan non kayu, sebab di hutan ada banyak potensi kekayaan sumber daya alam yang tidak bisa dimodelkan secara sederhana pada konsep kayu dan non kayu saja. Sebut saja kekayaan alam seperti keindahan pemadangan alam yang bisa dinikmati oleh siapa saja, tanpa perlu setiap orang melakukan kewajiban yang sama dalam memelihara hutan, sumber plasma nutfah yang melimpah, potensi simpanan cadangan karbon yang bisa dijadikan komoditi perdagangan karbon untuk devisa utama negara misalnya, ataupun jasa lingkungan yang jika divaluasikan secara kuantitatif, nilai ekonominya jauh lebih besar daripada nilai total kubikasi kayu dalam hutan tersebut.
Bagaimana jika semua nilai intangible dari hutan ini dibuatkan sebuah model ekonomi, sehingga nilainya bisa dikonversikan dalam jumlah mata uang. Perubahan dasar cara pandang ini yang menjadi fokus penulis, sampai nanti berbicara pada persoalan definisi hutan yang banyak memasukan hegemoni unsur kayu dalam pendefinisian dan perumusan narasinya. Sebab era sekarang dominansi produksi pada hutan adalah pada aspek produksi kayu, dan hal ini tidak lepas dari banyaknya pengertian tentang hutan tentang kayu yang sudah menjadi dogma yang sulit dibantah. Posisi penulis sebagai bermaksud mendalami dan mempertanyakan dogma kayu, serta bermaksud menyampaikan nalar kritis atas fakta di lapangan dengan berbagai diksursus yang terjadi. Apakah benar hasil hutan kayu justru lebih besar dari hasil hutan kayu atau sebaliknya,  dan apakah pikiran tentang hutan itu hanya berputar pada orientasi tentang kayu dan non kayu saja, ataukah justru jauh lebih luas dari sekedar redaksi kayu dan tidak sebanding dengan luasnya makna dan keberadaan hutan itu sendiri.
Penulis berpendapat bahwa persoalan bagaimana definisi hutan yang ideal yang bisa merangkul semua aspek adalah bukan pemikiran yang statis dan dapat digunakan sepanjang masa, sebab ada banyak faktor dan kejadian, sehingga suatu definisi ini relevansinya dengan suatu keadaan zaman berakhir karena ada pembaharuan pemikiran yang diasumsikan lebih relevan. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana hutan dipandang sebagai sumber visa dari suatu negara atau bagian dari ekologi suatu ekosistem kehidupan yang berdampingan dan perlu dirawat sehingga eksplorasi skala produksi terhadap hutan menjadi hal yang dianggap melanggar nilai dan etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Aliran pemikiran post-posivisitik melihat persoalan definisi hutan tidak bebas nilai, sehingga rumusan cara pandang tentan hutan, teori dan Ilmu Kehutanan sangat tergantung pada kepentingan politik dari aktor, akses terhadap pemanfaataan sumber daya hutan, dan pihak tertentu dengan sumber daya kapital besar yang bisa menguasai hutan tersebut. Sehingga perumusan orientasi teori dan kebijakan kehutanan sangat terkait dengan perilaku aktor yang bermain. Cara pandang ini juga tidak memandang ilmu pengetahuan dan perguruan tinggi sebagai produsen berbagai aliran pemikiran dan ilmu pengetahuan kehutanan sebagai hal yang netral, namun mereka memiliki tetap memiliki afiliasi tertentu dengan hegemoni kekuasaan pengetahuan dan berbagai kepentingan untuk mempertahankan serta menyebarkan hegemoni ilmu pengetahun tersebut.
Beberapa aktor yang memiliki wewenang dalam perumusan definisi hutan untuk diimplementasikan dalam kebijakan memiliki cara pandang tersendiri, seperti FAO (Food Agriculture Organization yang dominan pada aspek luasan lahan hutanya atau tutupan vegetasinya, Undang – Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang dominan pada wujud biofisik, serta pandangan beberapa ahli lainya dari berbagai institusi. Kesalahan dalam menetapkan asumsi dan cara pandang awal juga berdampak besar pada orientasi definisi hutan tentang kayu, termasuk nanti pada aspek keilmuwan tentang pengelolaan hutan dan pengurusan hutan serta perbedaan  kedua aktivitas tersebut dengan aktivitas lain di luar bidang kehutanan. (Bersambung)
2 notes · View notes
widyacitraaini · 6 years
Text
KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA (TUGAS KULIAH SEMESTER 7)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak isu pembentukan pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Bank Century (BC) pertama kali didengungkan, hingga pada pasca pembentukan Pansus (4 Des.2009), banyak pihak yang merasa apriori terhadap kompetensi dan integritas pansus hak anhket Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengungkap setiap kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang berdampak pada masyarakat luas salah satunya sekarang adalah skandal bailout BC sebesar Rp 6,7 triliun yang menghebohkan itu. Akibatnya telah menimbulkan huru-hara politik, dan banyak pihak yang mempertanyakan efektifitas dan eksistensi kerja pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat,dan sejauh mana mampu mengungkap tuntas disetiap kasus yang diselidikinya.
Dalam kaitan itu, untuk menentukan apakah pembentukan pansus DPR tersebut efektif atau tidaknya, mampu membongkar tuntas setiap kasus yang diselidikinya hingga keakar-akamya, sesungguhnya dapat diukur dari beberapa sudut pandang obyektif. Pertama, dapat ditinjau dari substansi dan agenda kerja yang ditetapkan, serta tujuan apa yang ingin dicapai pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua konsistensi pencapaian secara periodik dari agenda kerja pansus yang ditetapkan. Ketiga, kompetensi para anggota pansus yang ditempatkan dalam setiap kasus, khususnya dalam menggali dan membuktikan fakta-fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Keempat, validitas hukum yang mendasari pembentukan pansus dan apa akibat hukum yang ditimbulkannya.
Dari susdut pandang tersebut sangat menarik untuk kita diskusikan kaitannya dengan penggunaan hak angket Dewan Perwakilan rakyat yang sekarang menjadi fenomenal di madiam masa maka dalam makala ini penulis ingin mencoba membahas apa yang menjadi aspek hokum hak angket Dewan Perwakilan rakyat serta Eksistensinya dalam setiap kasus yang di selidikinya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat latar belakang diatas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang sekaligus menjadi topik diskusi dalam hal penggunaan hak angket DPR sebagai berikut :
1. Bagaimanakah aspek hukum penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.?
2. Bagaimana eksistensi hak angket Dewan perwakilan rakyat dimasa Orde lama, Orde Baru, dan masa Reformasi sampai sekarang ?
C. Medote Yang Digunakan
Untuk mengkaji pokok permasalahan, makalah ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif. Dengan menyesuaikan diri pada ruang lingkup dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
 BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Hukum Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Aspek Hukum Hak Angket dan Proses Pengguliran Hak Angket Secara normatif, keberadaan Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi : “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”
Kemudian ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043), serta peraturan Tata Tertib DPR.
Penggunaan Hak Angket juga tidak sembarangan namun diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun undang-ya ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, tetapi sampai sekarang masih terus digunakan. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 menegaskan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat.
Lebih lanjut, Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan definisi hak angket sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi, mengenai penyelidikan itu sendiri tidak didefenisikan. Apakah penyelidikan dalam pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP.
Jika usulan melaksanakan Hak Angket disetujui, Dewan Perwakilan Rakyat akan membentuk Panitia Hak Angket yang akan bekerja selama proses penyelidikan. Dalam masa itu, Panitia Hak Angket DPR dapat mengumpulkan fakta dan bukti bukan saja dari kalangan pemerintah, tetapi dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai masalah yang diselidiki. Mereka wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan menjawab semua pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan semua dokumen yang diminta, kecuali apabila penyerahan dokumen itu akan bertentangan dengan kepentingan negara. Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat meminta pengadilan agar memerintahkan pejabat yang tidak mau menyerahkan dokumen negara yang mereka minta untuk selanjutnya diserahkan kepada Panitia Hak Angket.
Karena anggota Panitia Angket itu akan bertindak sebagai seorang penyelidik, maka status mereka haruslah resmi, yakni dibentuk oleh DPR dan diumumkan dalam Berita Negara, agar diketahui oleh semua orang. Demikian pula berapa besar anggaran yang akan digunakan oleh Panitia Angket itu. Keharusan mengumumkan penggunaan Hak Angket, nama-nama anggota panitianya serta anggarannya dalam Berita Negara itu, merupakan syarat formal keabsahan Panita Angket, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 dan Pasal 181 Peraturan Tata Tertib DPR. Untuk itu, guna memenuhi syarat formal pembentukan panitia angket ini, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat harus segera menyampaikan segala hal yang terkait dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket ini kepada Menteri Hukum dan HAM, agar menempatkannya di dalam Berita Negara. Menteri Hukum dan HAM tidak dapat menolak mengumumkan dalam Berita Negara itu, karena hal itu adalah kewajibannya yang diperintahkan undang-undang.
Kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangatlah kuat bila dilihat dari sudut hukum. Dalam sistem parlementer, keberadaan panitia angket tidaklah otomatis bubar dengan pembubaran parlemen. Seperti kita pahami dalam sistem parlementer, Pardana Menteri dapat membubarkan parlemen setiap waktu dan menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan umum. Meskipun parlemen dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai terbentuknya parlemen yang baru, yang akan menentukan nasib panitia angket itu. Dalam sistem presidensial, hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali Presiden telah berubah menjadi diktator dengan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu hal yang dapat dijadikan sebagai pegangan dari ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 yang relevan dengan situasi sekarang ialah, pekerjaan panitia angket tidaklah terhalang oleh adanya reses dan penutupan masa sidang.
Ketika Panitia Angket sudah menyelesaikan tugasnya, semuanya akan tergantung pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap selama penyelidikan dan tergantung pula pada analisis Panitia Angket terhadap fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhasil diungkapkan. Kalau semua yang terungkap disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah sekitar masalah yang diangkat, menguntungkan rakyat, dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Pemerintah tentu aman-aman saja. Laporan Panitia Angket kepada rapat paripurna yang diterima oleh fraksi-fraksi dan disahkan DPR, selanjutnya diserahkan kepada Presiden. Presiden akan dengan senang hati menerima hasil angket DPR yang ternyata membenarkan segala kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Ini sekaligus berarti DPR telah keliru mengasumsikan sesuatu, yang setelah diselidiki ternyata tidak benar.
Jika penyelidikan yang dilakukan Panitia Angket menyimpulkan telah terjadi kebijakan yang merugikan negara, merugikan rakyat serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apalagi melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, laporan Panitia Angket harus disampaikan ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendengarkan pendapat fraksi-fraksi sebelum laporan itu diputuskan untuk diterima atau ditolak, baik secara aklamasi maupun melalui pemungutan suara. Keputusan DPR tersebut disampaikan kepada Presiden. Selanjutnya DPR dapat menindaklanjuti keputusan itu sesuai kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 182 Peraturan Tata Tertib DPR).
Tindak lanjut atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket diatur dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah menyampaikan “Hak Menyatakan Pendapat” atas keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket, atau langsung menggunakan ketentuan Pasal 184 ayat (1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Penggunaan ketentuan pasal ini - yang merupakan ketentuan yang bersumber dari ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 - memang sangat serius. Ketentuan inilah yang dikenal dengan istilah “impeachment” terhadap Presiden.
Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 di atas belum pernah ada praktiknya dalam sejarah ketatanegaraan kita. Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi, maka Mahkamah Konstitusilah yang harus memutuskan apakah pendapat DPR itu terbukti atau tidak. Kalau MK memutuskan memang terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7B ayat 5 UUD 1945 jo Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR. Sejarah Indonesia mencatat dua kali sidang istimewa MPRS dan MPR yang terjadi pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Dan keduanya adalah presiden yang menjadi korban hak angket, karena harus dipaksa turun dari jabatanya sebelum masa kepemimpinannya berakhir.
B. Eksistensi Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Orde Lama, Orde Baru Dan Era Refomsi Sampai Sakarang
1. Orde Lama
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, hak angket digunakan kali pertama pada 1950-an. Berawal dari usul resolusi RM Margono Djojohadikusumo agar Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan angket atas usaha pemerintah memperoleh dan cara mempergunakan devisa. Maka kemudian dibentuklah Panitia Angket beranggotakan 13 orang, diketuai Margono, yang tugasnya menyelidiki untung-rugi mempertahankan devisen-regime berdasar Undang-Undang Pengawasan Devisen 1940 dan perubahan-perubahannya.
Panitia Angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo-I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) ini mula-mula diberi waktu enam bulan, tetapi kemudian diperpanjang dua kali dan menyelesaikan tugasnya pada Maret 1956 pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956). Sayang, hasil kerja tim bersamaan dengan terbentuknya kabinet hasil Pemilu 1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo-II) itu nasibnya tidak jelas.
2. Masa Orde Baru
Meskipun pada masa Orde Baru, parlemen praktis dikuasai Golkar sebagai fraksi penopang pemerintah, usul penggunaan hak angket sempat lolos masuk dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat 7 Juli 1980. Sebanyak 20 anggota DPR (14 dari FPDI dan 6 dari FPP) menandatangani usul penggunaan hak angket yang kemudian diserahkan R Santoso Danuseputro (FPDI) dan HM Syarkawie Basri (FPP) kepada Ketua DPR kala itu, Daryatmo, pada 5 Juli.
Para pengusul angket tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto menyangkut kasus H Thahir dan Pertamina yang disampaikan Mensesneg Sudharmono dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat 21 Juli 1980, menanggapi interpelasi atau hak bertanya yang uniknya dilakukan tujuh anggota FKP sendiri. Dalam usul angket tentang Pertamina tersebut dicantumkan rencana pembentukan Panitia Angket yang terdiri atas 14 orang dengan 24 anggota pengganti, plus sejumlah tenaga ahli yang khusus dipekerjakan untuk itu, dengan anggaran waktu itu sebesar Rp 108 juta. Panitia angket diprogramkan bekerja selama satu tahun, dan setiap bulan bersidang sedikitnya empat kali dan sebanyaknya delapan kali. Jadi dalam satu tahun mereka bersidang hingga sekitar 75 kali.
Reaksi keras pun muncul, terutama dari kalangan anggota FKP dan Fraksi ABRI yang menyoal perlunya menggunakan hak angket. Nasib selanjutnya pun sangat jelas: hak angket ditolak. Angket mentok di sidang pleno DPR. Setelah itu, hak ini nyaris tak pernah terdengar lagi gaungnya hingga rezim Orde Baru tumbang pada 1998.
3. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Pascareformasi, penggunaan hak angket kembali digulirkan. Itu terjadi ketika Dewan Perwakilan Rakyat mencium keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam penyalahgunaan uang Yayasan Dana Kesejahteraan (Yanatera) Bulog. Hak angket digunakan untuk menyelidiki penyelewengan dana Bulog serta bantuan dana dari Sultan Brunei atau yang lebih dikenal dengan istilah Buloggate dan Bruneigate.
Tidak seperti sebelumnya, hak angket yang dipicu keluarnya memorandum Gus Dur untuk membubarkan parlemen itu berujung pada impeachment presiden.
Pada periode pertama masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hak angket pernah dicoba digulirkan atas sejumlah kasus. Di antaranya menyangkut kenaikan harga BBM yang mengundang reaksi mahasiswa, masalah impor beras 2006, penyelenggaraan ibadah haji 2008, dan ruwetnya daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009. Namun, usaha tersebut hanya menghasilkan keputusan normatif.
Dalam pidato di depan Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2009-2010, pertengahan Agustus lalu Ketua DPR HR Agung Laksono mengaku DPR masih terus berusaha untuk menuntaskan beberapa hak DPR yang sedang dalam proses. Di antaranya menuntaskan hak angket menyangkut penyelenggaraan ibadah haji 1429H/2008, hak angket DPT, dan hak angket menyangkut kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM.
pada Hak Angket Century, Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, hak angket nampak hanya menjadi sebuah keputusan normatif tanpa ada solusi yang dapat diberikan. Padahal peraturan Tata Tertib DPR menegaskan, hak angket digunakan untuk menyelidiki "kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan".
Sehubungan dengan skandal Bank Century, kebijakan pemerintah "menyelamatkan" Bank Century dengan sendirinya dapat menjadi objek Hak Angket DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan negara. Namun, apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan Undang-Uundang sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus "dibuktikan" melalui penggunaan hak angket itu.
Carut marut pengucuran dana talangan Bank Century yang menyeret keterlibatan beberapa pejabat negara, seperti gubernur BI dan Menkeu, mendorong sejumlah anggota Dewan menggulirkan hak angket untuk mengurai benang kusut tersebut. Penting bagi Dewan Perwakilan Rakyat menggali keterangan ahli dan semua pihak terkait dengan aliran dana dan masalah lainnya yang terkait dengan "penyelamatan" Bank Century. Dengan memakai hak angket, diharapkan ada konklusi yang lebih objektif, bukan asal kritis. Sebab, orientasi angket menyelidiki dan mencari solusi. Yang ingin diketahui Dewan Perwakilan Rakyat bukan sebatas mendengar apologi pemerintah, melainkan menguak lebih jauh ada apa sebenarnya dibalik kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bank-bank selama ini.
Hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut Bank Century dapat digunakan (atau tidak digunakan) oleh panitia angket Dewan Perwakilan Rakyat. Nantinya, Dewan Perwakilan Rakyat dapat saja berpendapat lain dengan BPK. Dengan kata lain, bila hasil audit BPK berkesimpulan aliran dana pemerintah ke Bank Century sudah sesuai dengan prosedur, kesimpulan itu dapat dikesampingkan oleh DPR. Apalagi Wapres Boediono memiliki peran terkait pencairan dana Rp 6,7 triliun saat dirinya menjadi Gubernur BI. Pada titik inilah kehadiran Panitia Hak Angket DPR untuk menguak persoalan seputar penyelamatan Bank Century menjadi amat penting dilakukan.
Persoalan Bank Century menjadi semakin menarik sejak 138 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi menyerahkan usulan hak angket kepada pimpinan DPR (12/11/2009). Jumlah anggota yang menandatangani usulan tersebut dikabarkan terus bertambah.
Wapres Boediono, yang namanya terseret dalam kasus ini, pernah menyatakan bahwa penggunaan angket adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi (13/11/2009). Maka banyak pihak berharap Hak Angket DPR untuk kasus Century berhasil dilaksanakan, tidak kempis di tengah jalan seperti penggunaan hak angket pada masa sebelumnya. Modal kejujuran dan kesungguhan perlu untuk dipegang oleh DPR selaku pemilik Hak Angket.
 BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Aspek hukum hak angket Dewan Perwakilan Rakyat, terlihat jelas Secara normatif, bahwa hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 kemudian ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Peraturan Tata tertib DPR. Sedangakan Undang-undang yang mengatur penggunaan hak angket ialah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR. Walaupun Undang-undang ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah UUD Sementara Tahun 1950, tetapi sampai sekarang belum pernah dicabut. Dengan demikian, tidak ada keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perungang-undangan yang disebutkan diatas termasuk Undang-ndang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk menggunakan hak angket hak angket DPR.
2. Eksistensi penggunaan hak angket dari masa orde lama,orde baru dan masa transisi ( reformasi ),bisa dikatakan masih eksis sampai sekarang walaupun dalam setiap keputusan hanyalah berpandangan yang normative saja sehingga dari masa orde lama samapai masa reformasi keberadaan hak angket masih dibutuhkan kerja kerja keras bagi DPR dalam setiap mengusut tuntas kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat berdampak luas pembangunan negara indonesia.
B. Saran
Diharapkan Adanya kerja keras seluruh lembaga Negara Untuk memperbaiki praktik ketatanegaraan ke depan, khusunya anggota DPR yang akan menggunakan hak angket perlu mengubah cara yang ditempuh selama ini. Salah satu caranya, mengelaborasi secara mendalam tentang makna "kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan". Kalau itu bisa dilakukan, upaya setiap pengusul hak angket akan semakin mendapat tempat di mata publik.
2 notes · View notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
fanainsanu · 6 years
Text
Kebijakan Publik, Eksternalitas, dan Public Choice dalam Bayang-Bayang Moralitas
Ekonomi dan Politik adalah dua hal yang bersifat komplementer. Keduanya memiliki interelasi yang kuat dalam menunjang tujuan satu sama lain. Sederhananya, ilmu ekonomi tercipta karena adanya kelangkaan atau scarcity yang tercipta karena ketidakseimbangan jumlah sumberdaya yang terbatas dengan kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Sedangkan di sisi lain, ilmu politik secara luas dapat disintesiskan sebagai ilmu yang diciptakan untuk membuat sebuah keputusan yang berdampak pada kehidupan yang lebih baik, untuk mencapai tujuan, output, dan goals tertentu dalam tata bernegara dan bermasyarakat.
Tatanan ekonomi dan politik berangkat dari kritik John Maynard Keynes dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest, and Money, atas terjadinya The Great Depression pada tahun 1930. Pemikiran Keynes mengenai perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian negara merupakan ‘tamparan’ keras atas pemikiran Adam Smith dalam kitab sucinya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations pada tahun 1776 yang menjadi akar dari kapitalisme modern. Adam Smith, yang biasa disebut sebagai nabi ekonomi mengemukakan pemikirannya yang berasas laissez-faire, yang diartikan sebagai biarkan terjadi, menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar. Pasar akan menemukan titik efisiensinya sendiri melalui mekanisme permintaan dan penawaran, yang kerap disebut invisible hand. Namun, Keynes berpendapat bahwa terjadinya The Great Depression pada tahun 1930 salah satunya merupakan akibat dari adanya kegagalan pasar, dimana pasar gagal mengalokasikan sumberdayanya dengan efisien. Dari kondisi itulah Keynes berpendapat bahwa perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian negara.
Sebelum melanjutkan, penulis mengajak pembaca untuk bersama-sama membuat satu frame pemikiran mengenai definisi operasional variabel yang digunakan dalam tulisan ini. Keduanya, yakni variabel ekonomi dan variabel politik diderivasikan berdasarkan subjektivitas penulis agar dapat memudahkan pemahaman yang lebih konkret kepada pembaca. Ilmu ekonomi yang memiliki akar tujuan untuk mengatasi scarcity dan menciptakan social welfare dapat derivasikan sebagai kebijakan publik, dimana eksistensi dari kebijakan publik sendiri bertujuan untuk greater goods dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan variabel politik, diderivasikan secara konkret sebagai pemerintah, yang berlaku sebagai regulator dan eksekutor pada kebijakan publik itu sendiri
Eksistensi ‘The Economics Study of non-market Decision Making’
Berbicara mengenai interrelasi antara kebijakan publik dan pemerintah dalam perspektif ilmu ekonomi, penulis menggunakan public choice theory atau teori pilihan publik. Teori ini dikemukakan oleh salah satu ahli ekonomi politik pada tahun 1950, yakni James Buchanan yang memaparkan beberapa faktor interrelasi antara ekonomi dan politik. Buchanan (1950) mengatakan bahwa public choice memandang ruang politik atau panggung sandiwara sebagai wadah pertukaran diantara masyarakat, partai politik, pemerintah dan birokrat. Teori berusaha mengkaji tindakan rasional dari aktor-aktor politik, baik di parlemen, lembaga pemerintah, lembaga kepresidenan, masyarakat pemilih.
Sebagaimana akar dari ilmu ekonomi, model yang digunakan pada public choice ini juga menggunakan analisis supply dan demand. Supply diproksikan sebagai pemerintah dan elit politik, sedangkan demand diproksikan sebagai masyarakat dan pemilih (voters). Apabila kita berbicara mengenai supply dan demand, maka tidak akan terlepas dari adanya equlibirum atau keseimbangan yang ingin dicapai. Teori public choice dikatakan mencapai suatu titik keseimbangan apabila keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh publik/masyarakat. Namun, sebagaimana kita ketahui bahwa equilibrium dalam ilmu ekonomi agaknya bersifat gaib, yang hanya menjadi purpose dan arahan yang sulit untuk tercapai. Equilibrium dianalogikan sebagai hal yang digunakan sebagai kompas penunjuk ‘arah’ untuk berlari kepada tempat yang sangat jauh.
Setidaknya, eksistensi public choice ini memberikan harapan dan membuktikan bahwa ilmu ekonomi tidak ‘lari’ dari keberpihakannya pada masyarakat. Teori ini membuktikan bahwa masih model yang berfungsi untuk memformulasikan hubungan antara apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan apa yang harus disediakan oleh pemerintah yang bersifat non-profit, sebagaimana fungsi pemerintah sebagai agen kesejahteraan masyarakat. Hal inilah, yang menyebabkan public choice dikatakan sebagai The Economic Study of non-market Decision Making.
Jangan Salah, Pemerintah juga Bersifat Homo Economicus
Masih berbicara mengenai public choice, ada satu permasalahan yang menjadi akar terciptanya dua sisi dalam teori ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sisi supply diisi oleh pemerintah selaku penyedia dan pembuat kebijakan publik. Namun, yang harus digarisbawahi disini adalah bahwa pemerintah bukan hanya sekedear variabel eksogen seperti yang dikemukakan Keynes dalam model pendapatan nasionalnya. Pemerintah, disini merupakan kumpulan dari individu-individu yang tergabung dalam partai politik/independen yang dipilih oleh masyarakat. Dan apabila kita berbicara mengenai individu, di dalam konteks ekonomi mikro, tujuan utama dari individu adalah memaksimalkan kepuasan atau yang kerap disebut sebagai utilitas. Artinya, individu-individu yang kita sebut sebagai elit politik ini memiliki preferensi atas kepuasan dan kepentingannya masing-masing. Hal inilah yang membuat public choice terbagi menjadi dua sisi.
Sisi pertama, adalah sisi dimana public choice menggunakan pendekatan yang seharusnya dilakukan, yakni pendekatan pertukaran (trade-off) . Para elit politik menawarkan berbagai gagasan dan kebijakan publik kepada masyarakat sebagai supply. Sedangkan pembeli kebijakan publik ini adalah masyarakat pemilih (voters) yang akan memilih kebijakan yang benar-benar dapat mewakili kebutuhan mereka sebagai demand.
Sisi kedua, yang muncul karena adanya sifat harafiah manusia memiliki utilitas yang harus dimaksimalkan, adalah pendekatan Homo Economicus, atau yang diartikan sebagai ‘manusia ekonomi’. Selaras dengan namanya, ‘manusia ekonomi’, yang artinya setiap manusia memiliki preferensi akan kepuasan dirinya masing-masing yang ingin dicapai. Dalam public choice, hal ini akan menjadi masalah karena individu yang dimaksud adalah elit politik, mereka tidak hanya dihadapkan oleh utilitas pribadi melainkan juga kewajiban untuk memaksimalkan utilitas masyarakat. Ada dua hal yang ‘bertabrakan’ di dalam kasus ini. Sebagai contoh, dalam pasar politik, elit politik sebagai pelaku memaksimalkan utilitas agar dipilih kembali melalui kebijakan dan program yang dilaksanakan bagi wilayah pemilihnya dan sesuai kehendak partai. Politisi sebagai pelaku memaksimalkan kepuasan pribadi yang dimotivasi oleh banyak faktor seperti gaji, reputasi publik, kekuasaan dan ruang untuk mengontrol birokrasi. Disinilah kerap terjadi clash dalam memilih hal mana yang harus didahulukan. Ditambah dengan adanya variabel eror berupa tekanan dari partai politik dan prilaku rent-seeking dari para pengusaha yang membuat para elit politik diuji dalam penilaian hal mana yang harus didahulukan dan dilakukan. Variabel pengganggu tersebut mencipatkan kegagalan dalam pasar politik, dimana alokasi sumberdaya yang tidak efisien, berupa kebijakan publik yang tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan permintaan masyarakat. Semua itu, terjadi, karena mereka adalah homo economicus.
Kebijakan Publik dan Eksternalitas yang Melekat
Berbicara mengenai kebijakan publik yang disediakan oleh pemerintah sebagai supplier, maka kebijakan publik dapat disebut sebagai proses ‘produksinya’ pemerintah. Tidak hanya sektor swasta, proses produksi yang dilakukan oleh pemerintah juga terkadang memicu adanya eksternalitas. Irving Fisher (1996) mengatakan bahwa eksternalitas terjadi bila satu aktivitas pelaku  ekonomi, baik produksi maupun konsumsi mempengaruhi kesejahteraan pelaku  ekonomi lain dan peristiwa yang ada terjadi di luar mekanisme pasar. Apabila kita menggunakan konteks yang lebih konkret, pemerintah dikatakan menciptakan eksternalitas apabila dalam suatu kebijakan publik memberikan dampak kerugian atau keuntungan kepada masyarakat lain yang tidak terduga dan tidak termasuk ke dalam struktur biaya (marginal cost of production).
Sebagai contoh, proyek pemerintah yang menimbulkan eksternalitas negatif adalah pembangunan pabrik (milik negara) di lahan pertanian. Meskipun pembuatan pabrik di lahan pertanian sudah melewati tahap pembebasan lahan dan legalitas, hal tersebut tetap dapat menyebabkan sungai atau irigasi yang digunakan oleh lahan pertanian di sekitaran pabrik menjadi tercemar oleh limbah. Hal ini secara tidak disadari mengurangi kesuburan sawah dan mengurangi kesejahteraan petani. Namun, tidak hanya negatif, di sisi lain pemerintah juga berpotensi menciptakan eksternalitas positif. Contohnya adalah program pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu program yang paling banyak menciptakan eksternalitas positif. Artinya, orang yang mendapat manfaat dari adanya pendidikan bukan hanya orang yang mengenyam pendidikan tersebut, tetapi juga kepada masyarakat di sekitarnya. Manfaat tersebut berbentuk dengan tingkat kriminalitas yang turun. Sebagaimana apabila kita berpikir rasional, meningkatnya angka partisipasi pendidikan dapat menurunkan tingkat kriminalitas di suatu kelompok masyarakat.
Pigouvan Tax dan Externalities Cost sebagai Kompensasi
Masih berbicara mengenai eksternalitas, penulis berfokus kepada dampak dari adanya eksternalitas negatif yang secara tidak langsung mengurangi kesejahteraan beberapa pelaku ekonomi lainnya. Namun, salah satu ekonomi publik, David Hyman dalam bukunya yang berjudul Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy pada tahun 1983 telah mengemukakan sebuah model yang penulis sebut sebagai ‘kompensasi’ atas eksternalitas yang ditimbulkan oleh pemerintah maupun sektor swasta. Semuanya tertuang di dalam transaction cost:
Marginal Social Cost = Marginal Cost + Marginal Externalities Cost
Hal yang menjadi fokus utama penulis disini adalah mengenai Marginal Externalities Cost (MEC) yang muncul dalam biaya transaksi tersebut. Secara sederhana, MEC adalah kompensasi yang diberikan kepada kelompok atau pelaku ekonomi yang terkenda dampak dari eksternalitas negatif. Jadi, dalam sebuah kegiatan produksi, supplier hendaknya tidak hanya melihat seberapa Marginal Cost (MC) yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan produksinya, tetapi juga harus memikirkan berapa biaya yang harus dibayarkan akan dampak dari kegiatan produksinya. Kata ‘melaksanakan’ dan kata ‘dampak’ harus digarisbawahi karena memiliki pengertian yang sangat berbeda.
Untuk sektor swasta, MEC dirumuskan oleh ekonom Arthur Pigou, yang kemudian menamakan modelnya dengan sebutan Pigouvian Tax, dimana kompensasi yang diberikan oleh suatu perusahaan swasta atas timbulnya eksternalitas diberikan dalam bentuk pajak. Indonesia memberlakukan pigouvian tax ini dengan sebutan ‘pajak korektif’, yang sifatnya digunakan sebagai regulator untuk mengurangi supply dan output barang yang menciptakan eksternalitas. Selain itu, pajak korektif ini juga dapat digunakan sebagai kompensasi kepada pelaku ekonomi yang terkenda dampak negatif dari eksternalitas. Begitupun dengan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah, seharusnya, ada bentuk kompensasi khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yang terkena dampak dari eksternalitas. Dapat berupa cash transfer atau in-kind transfer sebagai pemenuhan MEC dalam kegiatan produksinya.
Selain kedua upaya diatas, juga terdapat upaya penanggulangan eksternalitas yang sifatnya lebih kepada arah politis, yakni Teorema Coase. Ronald Coase (1991), mengatakan bahwa permasalahan mengenai eksternalitas juga dapat melalui negosiasi dan kesepakatan diantara kedua belah pihak yang bersangkutan. Coase berpendapat bahwa eksternalitas dapat diselesaikan dengan cara penekanan mengenai hak kepemilikian (property right) dan kesepakatan diantara kedua pihak yang sifatnya lebih politis.
Ekonomi dan Politik, Semua Berangkat dari Moral
Setelah penulis jabarkan mengenai apa saja interelasi antara ekonomi dan politik yang dijabarkan melalu kebijakan publik dan pemerintah, ada benang merah yang dapat diambil. Berbagai permasalahan yang timbul dari adanya hubungan ekonomi politik dapat diselesaikan dengan satu variabel, yakni moral.
Sebagai contoh, untuk permasalahan mengenai elit politik dengan sifat homo economicus-nya dapat diselesaikan apabila ia memiliki moral untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, tentang mana yang harus didahulukan dan ditinggalkan. Keputusan-keputusan kolektif yang dibuat oleh para elit politik selalu berhubungan dengan dua hal, memaksimalkan utilitas pribadi (self choice) atau ulilitas masyarakat (public choice). Apabila para elit politik dapat mengedepankan moralitasnya, maka kedua pilihan tersebut seharusnya tidak menjadi permasalahan karena memiliki skala prioritas yang jelas. Belum lagi dengan upaya melaksanakan good governance yang telah digembor-gemborkan melalui beberapa undang-undang, tidak lain untuk menampar para elit politik agar mengingat apa tujuan sesungguhnya menjadi seorang pemerintah.
Selanjutnya, untuk permasalahan eksternalitas yang kerap timbul dari adanya eksternalitas kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah. Ada beberapa statement yang beredar di masyarakat bahwa ‘Setiap kebijakan publik pasti mengorbankan moral dan masyrakat’. Untuk statement ini, penulis tidak setuju. Ketidaksetujuan penulis dilandaskan kepada apa yang menjadi hakikat dari adanya ilmu ekonomi itu sendiri. Pertama, untuk statement mengorbankan masyarakat, pada hakikatnya di dalam ilmu ekonomi tidak hanya berbicara menganani output (hasil), tetapi berbicara mengenai outcome (dampak). Dalam proses kebijakan publik, tentu akan terjadi yang namanya trade-off, pertukaran yang tidak dapat dipisahkan. Selalu ada dua sisi better-off dan worst-off, ada yang diuntungkan dan ada yang dikorbankan. Kebijakan publik berujung kepada apa yang disebut greater goods, dampak-dampak yang lebih menguntungkan di masa mendatang dari apa yang dikorbankan di masa sekarang.
Kedua, mengenai kebijakan publik yang selalu mengorbankan moraliltas individu. Ketidaksetujuan penulis sudah digambarkan dengan betapa banyaknya landasan-landasan dan model berpikir dari para ekonom terdahulu yang sudah disampaikan di dalam tulisan ini. David Hyman dengan struktur Marginal Externalities Cost-nya, Arthur Pigou dengan Pigouvian Tax dan pajak korektifnya, semuanya adalah kompensasi yang diberikan kepada pihak yang menjadi worst-off, yakni pihak yang dikorbankan. Mereka paham bahwa seberapa bagus alasan mengenai greater goods yang dijanjikan atas adanya kebijakan publik, pihak yang dikorbankan juga berhak mendapatkan kompensasi atas apa yang mereka korbankan di masa sekarang. Semua model dan teori kompensasi tersebut, muncul darimana, kalau bukan dari moralitas yang mereka kedepankan sebagai seorang ekonom?
Sebagai penutup, ilmu ekonomi adalah ilmu yang sangat lengkap. Para ekonom terdahulu telah membuktikan moralitas mereka sebagai seorang ekonom melalui model dan teori yang diciptakan. Mereka berharap, agar manusia di masa mendatang, dapat menggunakannya sebagai landasan dalam melaksanakan keputusan-keputusan ekonomi yang berlandaskan moral. Tinggal kita, sebagai ‘manusia yang hidup di masa mendatang’ ini, mau mencontoh atau tidak?
0 notes
Text
PEMBELAJARAN DARING DI MASA PANDEMI
oleh: Muhammad Firhan Arkananta (2019120022) Perencanaan strategik UMJ
Pandemi covid 19 menyebar sejak akhir tahun 2019 hingga kini di beberapa wilayah dengan masa berbeda, terhitung 193 negara telah berjuang melawan serangan Covid yang tidak pandang bulu. Wuhan adalah salah satu kota di China sebagai tempat domisili penderita covid yang pertama kali ditemukan sebelum virus ini berstatus pandemi. Berita dan informasi pergerakan penyebaran virus tersebut telah mewarnai berbagai laman media karena jalur sebarannya kian hari semakin massif. Setiap negara yang telah lebih dulu diserang covid 19 menjadi model bagi negara lain dalam melakukan tindakan preventif penyebaran covid 19, meskipun terdapat perbedaan tatanan politik, sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan pada setiap negara tersebut. Pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan kebijakan terkait pencegahan penyebaran Covid 19 yang berdampak pada kondisi internal dan eksternal wilayah pemerintahan Indoneisa. Salah satu keputusan pemerintah yang memberi dampak luas adalah kebijakan pada segmen pendidikan, baik pada komponen praktisi maupun pada komponen regulative dan lingkungan. Kebijakan dari hulu ke hilir tersebut bersinergi dengan kebutuhan dan kepentingan pencegahan penyebaran Covid 19. Dampak ini saling bersinggungan antar segmen dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.Kajian ini secara khusus mendeskripsikan dinamika pembelajaran sebagai bagian dari segmen pendidikan selama masa pandemi Covid-19 yang berlangsung di Indonesia dengan mengacuh pada fenomena yang dirangkum melalui pengamatan, wawancara dan studi dokumen terkait pelaksanaan pembelajaran berbasis daring pada jenjang pra sekolah hingga pendidikan tinggi. Penyelenggaraan sistem pendidikan mengalami transformasi dalam berbagai lini kegiatan, termasuk kegiatan pembelajaran yang seluruhnya terpaksa berlangsung secara online. Kajian ini menegaskan bahwa setiap unsur yang terlibat dalam aktivitas pembelajaran mengalami ketidaksiapan terhadap perubahan spontan di masa pandemi Covid-19.Pelaksaan sistem pembelajaran pada satuan pendidikan mengalami perubahan bentuk operasional yang digeneralisasi melalui kebijakan pembelajaran dan mengikut pada kebijakan sosial, yaitu instruksi social distancing hingga berujung pada himbauan lockdown. Respon masyarakat terhadap kebijakan tersebut sangat variatif, pada awalnya terbatas pada kondisi sensitisasi, menurut Hebb kondisi ini dapat membuat setiap individu akan lebih responsif terhadap aspek tertentu pada lingkungan. Aspek tersebut adalah perubahan yang dilahirkan oleh pembatasan sosial tersebut. Menilik teori generalisasi dan diskriminasi maka respon tersebut terpetakan secara alami.Gerakan massif pembatasan sosial terjadi pada komunitas terkecil (keluarga) hingga pada komunitas terbesar (masyarakat). Setiap individu dituntut untuk menyadari eksistensi peran bagi individu lainnyatetap berjalan dengan rel mandiri yang berpegang pada jargon “mulai dari diri untuk keselamatan bersama”. Jargon ini dapat ditemukan di berbagai informasi, baik yang disampaikan melalui lisan maupun tertulis. Penyampaian lisan biasanya pada komunitas kecil dan penyampaian tertulis lebih akrab dikomsumsi oleh komunitas besar melalui media sosial, seperti status pada facebook dan Whatsapp, hastag pada Instagram dan kalimat bijak pada spanduk himbauan. Jargon tersebut beririsan dengan himbauan bekerja dari rumah yang popular dengan istilah Work from Home (WFH) dan dimaknai sebagai representasi gaya bekerja yang aman pada masa pencegahan penyebaran Covid 19.Social distancing memberi pembatasan ruang dan waktu terhadap segenap kegiatan rutin dalam sistem pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan, mulai pra sekolah, sekolah dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi. Banyak hal yang terlihat jelas setelah menyimak perubahan sistem pembelajaran pada setiap jenjang tersebut. Pembelajaran lasimnya berlangsung di ruang kelas dengan jadwal tertentu berubah menjadi pembelajaran di ruang masing-masing dengan waktu yang tidak praktis sesuai jadwal pembelajaran. Inilah yang lahir sebagai dampak dari himbauan pembatasan sosial, selanjutnya menciptakan pembatasan operasional pendidikan. Kondisi ini lebih popular dengan istilah pembelajaran “daring” (pembelajaran dalam jaringan) yang sebelumnya juga sudah sangat familiar dan sering dilakukan, namun sebagai alternatif di antara beberapa bentuk pembelajaran yang lebih efektif.Pembelajaran “daring” sebagai pilihan tunggal dalam kondisi pencegahan penyebaran covid 19memberi warna khusus pada masa perjuangan melawan virus ini. Bahkan bentuk pembelajaran ini juga dapat dimaknai pembatasan akses pendidikan. Pendidikan yang lumrah berlangsung dengan interaksi langsung antar unsur (pendidik dan tenaga kependidikan dan peserta didik) beralih menjadi pembelajaran interaksi tidak langsung. Pembatasan interaksi langsung dalam pendidikan terkadang terjadi pada situasi tertentu namun tidak dalam rangka pembatasan sosial seperti yang masyarakat jalani sebagai upaya pencegahan penyebaran virus. Pembatasan ini membawa dampak potitif dan negatif dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Pembatasan sosial memberi dampak pada kebijakan penyelenggaraan pendidikan, pembelajaran harus diupayakan tetap berlangsung dengan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan. Hal ini sangat berpengaruh pada masa adaptasi akibat perubahan mekanisme dan sistem pembelajaran tersebut.Pertama; dampak positif dapat dimaknai dari kondisi praktisi pendidikan melaksanakan kegiatan akademik dengan bekerja dari rumah(work from home). WFH membuat setiap individu yang melakukan aktivitasnya menjadi lebih mandiri dalam memaksimalkan pemanfaatan teknologi dan informasi. Sebelumnya, tidak semua individu memiliki kebiasaan bekerja berbasis IT, namun kondisi ini membuat mereka bisa lebih terbiasa dan terampil menyelesaikan pekerjaan dengan IT. Betapa tidak, praktisi pendidikan dibenturkan pada kondisi yang memaksa dan mengharuskan mereka menjadi mahir secara instan. Beberapa pengakuan legah praktisi tersebut menunjukkan moment social distancing ini membuahkan hasil peningkatan kreativitas dan kompetensi dalam pelaksanaan tugas masing-masing.Tenaga pendidik dari semua jenjang usia bisa melebur diri untuk mengenal kemudahan dalam mengajar berbasis IT. Tenaga kependidikan menuntaskan dan merapikan urusan administrasi dengan bantuan IT. Para peserta didik yang pada umumnya adalah generasi milineal semakin bersenyawa dengan kemahiran mereka menyelesaikan kegiatan dan tugas belajar berbasis IT. Hikmah ini menjadi langkah tidak terencana dan di luar dugaan sebagai upaya pengembangan keterampilan dan pengetahuan setiap unsur praktisi pendidikan relevan dengan zaman. Selain dampak positif tersebut, terlihat pula dampak negatif pada keterbatasan praktisi pendidikan dalam tanggap kondisi, kesiapan personal membutuhkan pendampingan bahkan pedoman khusus untuk memahami IT sebagai jalur pilihan dalam bekerja. Celakanya, kemampuan dasar sangat beragam sehingga melahirkan respon yang tidak seragam dan potensial menciptakan kesenjangan pencapaian tujuan atau target pembelajaran.Respon pro-kontra terhadap bentuk pembelajaran “daring” ditemukan dalam varian komentar beberapa unsur, yaitu; siswa-mahasiswa, para orang tua dan guru-dosen pada ruang obrolan di berbagai media sosial (facebook Whatsapp dan Instagram). Komentar setiap unsur tersebut memiliki pesan kuat yang mewakili pendapat mereka dalam menyikapi aktivitas belajar berbasis sistem pembelajaran daring selama masa pandemi. Siswa (jenjang pra sekolah hingga jenjang menengah) berekspresi pada tatanan teknis pelaksanaan kegiatan belajar dan penyelesaian tugas pembelajaran beralih seluruhnya terasa menjadi Pekerjaan Rumah (PR) karena seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran yang berlangsung lebih lama dan bahkan bisa lebih intens berinteraksi dengan komunitas kecil (keluarga) dalam situasi belajar lebih bermakna.  Selain itu, terungkap pula ekspresi perasaan kejenuhan dan kebosanan yang ditengarai oleh keinginan untuk berinteraksi dengan komunitas belajar di sekolah, di antaranya dituangkan dalam bentuk nyanyian, puisi dan video berdurasi pendek untuk menyampaikan perasaan kerinduan mereka untuk bersua di sekolah kembali.Mahasiswa sebagai komunitas belajar yang jauh lebih mandiri mengekspresikan pendapat, sikap dan perilaku mereka lebih produktif. Mereka menjalani aktivitas akademik dengan menunjukkan keragaman adaptasi sesuai beberapa faktor yang mempengaruhi ruang belajar dan pembelajaran yang dijalani. Rangkaian perkuliahan  dimediasi melalui berbagai aplikasi berbasis digital, kompetensi mahasiswa secara otomatis mengalami peningkatan dalam kompetensi IT yang lebih mapan karena tuntutan rangkaian aktivitas yang didominasi dengan media digital. Bahkan keterampilan dalam memproduksi dan mentransfer pengetahuan yang dimiliki dalam bentuk karya ilmiah berbasis digital. Bentuk karya tersebut sangat beragam, di antaranya berupa; video pembelajaran berbasis keprodian yang dipublikasikan pada media sosial dengan akun pribadi maupun akun kolektif (komunitas belajar). Gambaran lain menunjukkan bahwa mereka dapat tetap produktif dalam karya tertulis (artikel-sripsi-tesis) meskipun pembimbingan dalam bentuk konsultasi online dengan memanfaatkan berbagai macam media elektronik dan jalur akses komunikasi yang representatif pada masa pandemi.Kolom obrolan orang tua (siswa dan mahasiswa) juga memberi pesan khusus terkait dinamika dan probelmatika yang dihadapi dalam melakukan pendampingan kegiatan belajar putra-putri mereka di masa Covid 19 ini, terhitung sejak semester genap lalu, seluruh aktivitas pembelajaran mengalami transformasi digital yang pada kenyataannya tidak semua orang tua adalah individu yang familiar dengan IT secara maksimal, sehingga kerapkali komentar orang tua terkait teknis berbasis digital menjadi perbincangan yang kesimpulannya menjadi kendala dalam mewujudkan kelancaran kegiatan belajar dan  pembelajaran untuk mencapai kemahiran tertentu bagi putra-putri mereka.Pada masa 4 (empat) bulan pertama (Februari-Mei 2020) menjadi masa adaptasi yang terkontaminasi dengan kondisi kesiapan mental dan fisik setiap orang tua yang harus mengisi kegiatan belajar dan pembelajaran dalam keterbatasan. Meskipun kegiatan belajar dan pembelajaran tersebut telah dibantu dengan adanya kebijakan pemerintah melalui tayangan pembelajaran di media televisi yang dikemas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayan agar lebih menarik dan memudahkan proses pendampingan siswa (Pra sekolah hingga sekolah menengah) oleh orang tua di rumah masing-masing. Ekspresi lain yang juga ditunjukkan adalah postingan video durasi pendek para orang tua yang sedang mendampingi anak belajar, baik dalam kesan positif maupun yang negatif.Para tenaga pendidik (guru-dosen) memiliki ruang komunikasi yang juga dimanfaatkan untuk mengekspresikan dan mendeskripsikan kesiapan mereka dalam mengawal program dan sistem penyelenggaraan pendidikan tetap berlangsung pada seluruh jenjang. Komitmen mengajar ditunjukkan dengan aktivitas berbasis digital, mereka melakukan pembelajaran dengan tetap melakukan persiapan, melaksanakan pembelajaran dan menyelesaiakan evaluasi sesuai kondisi pandemi. Komentar terkait kendala interaksi antara tenaga pengajar dan peserta didik mendominasi kolom obrolan dan diselesaikan dengan mengakomodir saran dan kritik tanpa banyak membebani setiap unsur sehingga tetap dapat tercipta kondisi belajar.Aplikasi pembelajaran digital menjadi ruang belajar baru bagi para tenaga pengajar yang menjadikan mereka lebih maksimal menguasai gaya komunikasi dan interaksi berbasis media. Pengakuan mereka juga dipublikasikan melalui media sosial terkait kerinduan ingin bertemu langsung dengan para peserta didik di ruang pembelajaran. Para tenaga pengajar tetap dalam koridor pencapaian pembelajaran berbasis tiga ranah pendidikan; yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik, kerapkali para peserta didik dibekali dengan penugasan yang mengasah produktivitas mereka untuk tetap berkarya di masa yang berbatas ini.Respon dan tanggapan beberapa unsur ini mengindikasikan bahwa perubahan itu adalah keniscayaan, setiap individu harus dapat menyiapkan diri untuk menghadapi perubahan. Perubahan sistem pembelajaran di masa pandemi ini adalah wujud transformasi tidak terduga dan selanjutnya akan mewarnai perkembangan dinamika pembelajaran pada seluruh jenjang di masa mendatang saat badai Covid 19 telah berlalu. Pada akhirnya, setiap individu akan terbiasa dengan kondisi ini dan bahkan menjadikan momentum pandemi ini sebagai titik permulaan untuk membudayakan kebiasaan baru dan bernilai positif dalam dunia pendidikan, khususnya dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Bentuk pendidikan di lingkungan keluarga lebih bermakna dari kondisi bermakna sebelumnya karena setiap anggota inti keluarga dapat memediasi kebutuhan belajar dan interaksi personal, intrapersonal dan interpersonal lebih terwujud dalam suasana pendidikan keluarga.Kondisi pembelajaran pada masa pandemi harus dapat dimanfaatkan dengan perubahan pola berpikir, pola belajar, pola inteksi ilmiah yang lebih bermakna sehingga kekakuan dalam menyikapi masa Covid 19 dapat dimaksimalkan dengan produktivitas yang mencirikan kebermaknaan. Perasaan pobia diminimalisir dengan optimis bahwa seluruh aktivitas tetap berlangsung dengan protokol kesehatan tatanan baru (new normal), khususnya dalam segmen penyelenggaraan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah hingga pendidikan tinggi. Setiap individu harus tanggap terhadap keterbatasan di masa pandemi untuk tetap produktif dalam bidangnya dan memaknai kondisi pandemi ini sebagai bagian dari perubahan yang tetap harus mengedepankan sikap dan prilaku representatif pada tatanan baru untuk menciptakan ruang belajar bervariasi. Pada akhirnya, kajian ini menegaskan bahwa setiap perubahan dalam sistem pembelajaran dapat mendesain kondisi baru dan memiliki distingsi dengan kondisi sebelum dan yang akan datang maka setiap unsur terkait harus dapat menyesuaiakan dengan perubahan tersebut untuk mewujudkan keberhasilan pembelajaran secara komprehensif.
5 notes · View notes
ghostzali2011 · 7 years
Link
SPORTOURISM, JAKARTA - Indonesia menggelar International Halal Expo & Conference (INHALEC 2017) di Balai Kartini, Jakarta, 19-21 Oktober 2017. Event internasional yang mengekspos dan membahas 10 sektor industri halal itu diselenggarakan Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) serta didukung Kementerian Pariwisata (Kemenpar).
Ketua IHLC DR Sapra Nirwandar menyatakan potensi industri halal Indonesia sangat besar. Selain negeri ini memiliki banyak produk halal, pasar halal Indonesia juga dinilai sangat besar. "Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara pengekspor produk halal ke mancanegara," papar Sapta Nirwandar dalam acara pembukaan INHALEC 2017, Jumat (20/10).
Setidaknya ada 10 sektor yang diekspos dalam INHALEC 2017. Dari mulai fesyen, pendidikan, pariwisata, perbankan dan keuangan, makanan, dan farmasi, semua dibahas. Begitu juga dengan kosmetik, media, rekreasi, perawatan medis, dan seni pertunjukan. Dan semuanya, dibalut dengan tema “Halal Industry, Cultural and Technology”.
INHALEC 2017 adalah yang kedua dan merupakan kelanjutan dari kesuksesan INHALEC 2016 yang dilaksanakan di Ciputra World Jakarta. Narasumbernya dijamin paten. Semua diambil dari industri dari berbagai negara. “Kegiatan selama tiga hari itu berupa konferensi internasional, pameran produk halal, penayangan film, konser musik, dan peragaan busana muslim,” papar Sapta Nirwandar.
Pembicara di kegiatan ini adalah KH. Ma’ruf Amin (Chairman Indonesia Ulama Council), Bambang P.S Brodjonegoro (Minister of National Development Planning), Mr. M. Yanis Mudja (Chairman Halal Products Foundation), M. Anwar Bashori (Head of Syariah Departement Bank Indonesia), Dr. H.Masyhudi AM, M.Kes (Presdient Director of RSI Sultan Agung Semarang), Dr. Dr. Ahmad Al-Dubayan (Director General of the Islamic Cultural Centre in London), Dr. Kim Jin Woo (Director of International Bussiness Affairs of KIHI-Korea), Rafiuddin Shikoh (CEO DinarStandart), Muliaman D. Hadad (Chairman Islamic Economy Society), Mr. Erwan Mace (CEO and Founder Muslim Pro), dan Mr. Ervik Ari Susanto (CEO Halal Lifestyle Apps).
Kegiatan yang diikuti 350 peserta dalam dan luar negeri ini mempertemukan produsen dan konsumen langsung dengan pembeli. Itu artinya, wholesalers dan retailers akan langsung ketemu. Peluang membangun jaringan kerja sama pun jadi makin terbuka lebar.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara Esthy Reko Astuti menambahkan, INHALEC 2017 ini sekaligus sarana untuk mengenalkan kepada masyarakat luas muslim dan non muslim yang membutuhkan informasi dan produk halal yang ada di pasar.
"Halal menjadi kebutuhan penting masyarakat saat ini, yang ditandai dengan semakin meningkatnya minat masyarakat akan produk-produk sehat dan higienies. Kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat terasa kian terbangun seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat," jelas Esthy yang didampingi Kepala Bidang Promosi Perjalanan Insentif Hendri Karnoza.
Halal Lifestyle Expo yang digelar selama 3 hari mulai dari 19-21 Oktober 2017 di Kartika Expo Center. Etimasi pengunjungnya? Mencapai 6.000 orang lantaran pameran ini akan diikuti pengusaha dan produsen industri dari 10 sektor halal
Sementara untuk Conference, akan akan dilaksanakan 2 hari berturut-turut, 19-20 Oktober 2017. Konferensi akan menghadirkan pembicara skala Nasional dan Internasional. "Peserta yang akan hadir terdri dari industri-industri halal yaitu pebisnis/pengusaha, mahasiswa dan umum," ungkapnya.
Hendri menambahkan, penyelenggaraan IIHLEC 2016 diyakini bakal sangat menyenangkan, karena selain diisi dengan konferensi yang menampilkan para pakar di bidang industri halal akan ada pula berbagai penampilan baik di bidang fashion maupun seni budaya.
Untuk fashion ada 10 perancang nasional yang akan tampil. Selain Dian Pelangi ada desainer Deden Siswanto, Si.Se.Sa, El Hijab, Irna Mutiara yang akan menampilkan kreasi desainnya. Akan ada pula pemutaran film bertema Islami diselenggarakan selama 1 hari, pada tanggal 20 Oktober 2017 di ruang Mawar, tepat setelah kegiatan Conference.
"Berdurasi selama 60 menit, film documenter karya Itallo Spinelii akan menyentuh penonoton dengan nilai Islam sesungguhnya," kata Hendri.
Puncak dari acara ini diisi konser musik bersama Dwiki Darmawan & Orchestra yang akan membawakan sejumlah aransemen musik bernuansa religi yang penuh inspirasi.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia rupanya tidak menjamin untuk bisa jadi magnet wisatawan muslim mancanegara. Sertifikasi untuk optimalisasi pariwisata halal tetaplah sangat penting. Dengan predikat mayoritas muslim itu, tidak berarti Indonesia bebas sertifikasi halal.
Lebih lanjut, Arief menjelaskan, sertifikasi halal untuk pariwisata sangat berdampak strategis. Ia mencontohkan, di negara berkembang yang bukan mayoritas muslim bisa mendapat kunjungan wisatawan muslim dengan jumlah luar biasa karena sertifikasi halal tersebut.
"Yang pertama kita perlu sertifikasi, kedua perlu memberikan pelayanan standar internasional. Saya bisa buktikan. Thailand itu bukan negara mayoritas muslim, tapi jumlah wisatawan mancanegara (wisman) muslimnya lebih banyak," katanya.
Menpar Arief Yahya mengatakan, untuk memajukan industri pariwisata, selain sertifikasi, alokasi sumber daya harus mengikuti. Dengan mempunyai nominal yang tinggi, kemajuan pariwisata mempunyai dampak lebih besar dan bisa dirasakan rakyat menjadi 170 persen.
Oleh karenanya, sertifikasi halal ini sangat disarankan kepada seluruh pelaku usaha agar bisa segera ditempuh. "Terutama pelaku bisnis wisata halal, harus gunakan global standar apa yang telah diakui. Kalau mereka mensertifikasi, kita mensertifikasi," ujar Menpar Arief Yahya.
via SPORTOURISM.ID
0 notes
aldryannyan-blog · 7 years
Text
KPK vs (Hak Angket) Pansus DPR Dilihat dari Sudut Pandang Pendekatan Politik
Seperti yang telah diberitakan oleh news.liputan6.com saya mengutip, “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DPR kini dirundung perselisihan. Anggota dewan menganggap lembaga antirasuah itu melanggar kewenangan otoritas, pada saat proses penyidikan dan penyelidikan tersangka korupsi. DPR yang sejatinya perpanjangan tangan rakyat ini pun membuat Pansus Angket KPK, untuk mempertanyakan kewenangan lembaga antirasuah itu yang dianggap melebihi kewenangannya. Pansus Angket KPK ini muncul bersamaan saat lembaga antikorupsi itu menangani kasus korupsi e-KTP. Banyak anggota DPR disebut-sebut terlibat kasus mega korupsi itu.”
Dari hanya sepenggal kutipan berita diatas mungkin kita sudah bisa memberikan sudut pandang kita mengenai kasus tersebut walaupun isi dari opini kita akan masih amat sangat dangkal dan hanya akan terlihat seperti menghakimi sendiri. Maka diperlukan pemahaman yang lebih akan bagaimana situasi sebenarnya yang terjadi diantara dua lembaga besar negara tersebut. Saya menggunakan Pendekatan Politik sebagai sebuah alat sudut pandang dalam memahami masalah yang terjadi. Lalu bagaimana menurut Pandangan Politik mengenai hal ini?.
1. Pendekatan Tradisional
Dalam pendekatan Tradisional, disini DPR sebagai lembaga legislatif sebenarnya tidak memiliki kewenangan terhadap KPK sebagai lembaga Independen. DPR mengaku memanggil KPK karena punya hak angket, yang mengacu pada UU MD3. Sedangkan menurut putusan MK Tahun 2006, KPK digolongkan ke dalam lembaga yudikatif yang tidak bisa diberikan hak angket oleh DPR  Pasal 79 ayat (3) UU MD3 juga perlu ditafsirkan bahwa kewenangan Hak Angket DPR terhadap KPK tidak memenuhi unsur hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangan.
2, Pendekatan Perilaku
Dari sudut pandang Pendekatan Perilaku, pendekatan ini tidak membahas lembaga - lembaga formal karena tidak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Namun tampaknya bisa dilihat jika anggota DPR berusaha melemahkan kemampuan KPK dalam mengusut tuntas kasus korupsi e-KTP yang terjadi di antara para anggota DPR melalui hak angket sebagai upaya untuk melindungi dirinya sendiri(?). Sedangkan di lain pihak anggota KPK merasa bahwa tugasnya dipersulit dengan adanya hak angket tersebut atas lembaganya.
3. Pendekatan Pasca-Perilaku
Dilihat dari Pendekatan Pasca-Perilaku, disini DPR sebagai lembaga yang memiliki hak untuk mengeluarkan hak angket, menggunakannya sebagai alat pembuktian bahwa lembaga KPK telah bekerja secara sewenang - wenang. Hal ini tentunya jika dibiarkan maka akan dapat menimbulkan terjadinya Abuse of Power dalam sebuah negara hukum atau negara demokrasi. Di satu sisi, lembaga KPK melaksanakan tugasnya selayaknya bagaimana tujuan dari awal KPK dibentuk. Dalam kasus e-KTP ini, KPK mencurigai beberapa anggota DPR sehingga diperlukan pemeriksaan mendalam secara keseluruhan terhadap para anggota DPR yang tentunya ditolak oleh DPR dalam hak angketnya.
4. Pendekatan Neo-Marxisme
Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Keseluruhan gejala sosial merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dibagi - bagi menjadi bagian - bagian tersendiri. Sehingga konflik antara DPR dan KPK antara lain adalah konflik mengenai kekuasaan, KPK sebagai lembaga independen yang terlepas dari kekuasaan mana pun dan juga berfungsi sebagai pengawas akan tindak korupsi di Indonesia. DPR sebagai lembaga legislatif satu tingkat dibawah lembaga tinggi negara MPR juga memiliki kekuasaan pengawasan terhadap pelaksanaan undang - undang. Banyak stigma dalam masyarakat yang berpendapat bahwa anggota DPR kebanyakan adalah para pejabat korup yang mencuri uang rakyat sebagai sumber ekonomi untuk kepentingan partai politiknya. Ketika terjadinya kasus korupsi e-KTP ini pun akhirnya terjadi clash kekuasaan dan kepentingan diantara dua lembaga tersebut.
5. Pendekatan Ketergantungan
Theotonio Dos Santos dalam pendekatannya ini mendefinisikan bahwa “ketergantungan adalah hubungan relasional yang tidak imbang antara negara maju dan negara miskin dalam pembangunan di kedua kelompok negara tersebut”. Sehingga nampaknya tidak ada korelasi antara sudut pandang Pendekatan Ketergantungan terhadap masalah KPK vs DPR yang sedang terjadi ini.
6, Pendekatan Pilihan Rasional
DPR diperlukan karena lembaga ini tercipta sebagai lembaga perwakilan rakyat (legislatif) dalam negara Indonesia yang menganut Demokrasi Pancasila. Sedangkan KPK tercipta sebagai upaya untuk mengurangi dan mencegah tindak korupsi yang marak terjadi kala itu maupun kini. Dalam upayanya mencegah tindak korupsi khususnya pada kasus korupsi e-KTP, KPK melaksanakan tugas sebagaimana mestinya dengan mengusut secara mendalam mengenai pelaku - pelaku yang terlibat. Ketika KPK mulai memanjangkan tangannya kedalam institusi DPR, DPR merasa bahwa KPK mulai sewenang- wenang dalam bertindak sehingga DPR mengeluarkan hak angket atas KPK. Namun bisa saja hal tersebut sebenarnya hanya manuver politik untuk melindungi kepentingan - kepentingan yang ada mengenai kasus korupsi tersebut. Di lain sisi KPK bersikeras bahwa pemeriksaan atas para anggota DPR diperlukan sebagai upaya untuk mengusut kasus korupsi e-KTP yang terjadi.
7. Pendekatan institusionalisme Baru
Pendekatan ini memandang bahwa negara dapat diperbaiki ke arah dan tujuan tertentu. Hal ini dapat tercapai sebagaimana inti yang dirumuskan oleh Robert E. Goden atas institusionalisme Baru sebagai berikut: Anggota dan kelompok melaksanakan proyeknya sesuai dengan konteks dan dibatasi secara kolektif, pembatasan itu terdiri dari institusi - institusi, pembatasan ini mewujudkan, memelihara dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing - masing. Pada kasus ini, DPR sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang juga mengawasi pelaksanaan perundang - undangan merasa bahwa kekuasaan KPK harus dibatasi melalui hak angketnya padahal dengan pembatasan berlebihan atas kekuasaan KPK, KPK akan sulit dalam melaksanakan perannya yang notabenenya KPK adalah lembaga independen yang bebas dari kekuasaan mana pun.
Akan lebih bijak jika kita dapat melihat sebuah masalah tidak hanya dari satu atau dua sudut pandang tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan melihat kasus antara dua lembaga yang berseteru ini dengan sudut pandang pendekatan politik yang ada, akan semakin memperluas pandangan kita akan masalah yang sebenarnya terjadi khususnya melalui kacamata Ilmu Politik.
Makalah Ilmu Politik mengenai Pendekatan Politik Kelompok 3 sebagai referensi. 
http://news.liputan6.com/read/3015174/kpk-vs-pansus-hak-angket
http://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/05150041/hak-angket-dpr-terhadap-kpk-digugat-ke-mk
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/09/10/078907688/11-temuan-pansus-hak-angket-dpr-soal-kpk
https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Republik_Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indonesia
0 notes
strippesdagger-blog · 7 years
Text
Pansus KPK vs DPR dalam Pendekatan Ilmu Politik
A.      Rumusan Masalah
Seperti yang kita ketahui, KPK dan DPR kini sedang bermasalah. Masalah yang tidak kunjung usai tersebut sudah menyita banyak perhatian publik. Pusat dari masalah tersebut adalah pengajuan hak angket oleh DPR. Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Banyak yang berpendapat bahwa pengajuan angket tersebut dikarenakan oleh paniknya beberapa anggota DPR karna namanya disebut-sebut dalam kasus korupsi e-KTP karena Pansus Angket KPK ini muncul bersamaan saat lembaga antikorupsi itu menangani kasus korupsi e-KTP.
DPR yang sejatinya perpanjangan tangan rakyat ini pun membuat Pansus Angket KPK, untuk mempertanyakan kewenangan lembaga antirasuah itu yang dianggap melebihi kewenangannya.
Sebagian besar masyarakat bereaksi. Mereka menentang keberadaan Pansus Angket KPK, yang dianggap berpotensi melemahkan lembaga antikorupsi itu. Di lain pihak menilai DPR punya hak angket melakukan itu.
Kedua lembaga tinggi negara ini saling berkeras hati dengan dalih masing-masing. DPR mengaku memanggil KPK karena punya hak angket, yang mengacu pada UU MD3.
Sedangkan, KPK menilai keberadaan Pansus Angket tak berdasar dan justru hanya berniat melemahkan lembaga antikorupsi menangani kasus korupsi. Kini, Pansus mulai bekerja dengan mendatangi narapidana kasus korupsi di beberapa lembaga pemasyarakatan.
B.      Pertanyaan
Apakah kasus DPR vs KPK ini dapat di kaitkan dengan pendekatan-pendekatan ilmu politik?
 C.      Pembahasan
Dalam kajian ilmu politik terdapat pendekatan pendekatan yang dapat di kaitkan terhadap masalah politik yang ada. Berikut adalah kaitan kasus DPR vs KPK dengan pendekatan-pendekatan ilmu politik.
1.      Pendekatan Legal/Institusional/Tradisional
Pendekatan ini membahas negara sebagai fokus utamanya, yaitu hal yuridis dan konstitusional. Pendekatan ini juga membahas tentang lembaga-lembaga negara. Dalam kasus ini, kedua bahasan itu tercakup didalamnya.
2.      Pendekatan Perilaku
Dalam pendekatan ini, sebenarnya dapat di kaitkan dalam kasus DPR vs KPK karna pemikiran ini tidak hanya mencakup individu tetapi juga organisasi kemasyarakatan, kelompok elite, gerakan ansional, atau suatu masyarakat politik. Tetapi yang memperlemah pendekatan ini adalah pendektan ini beranggapan bahwa lembaga-lembaga formal dianggap tidak begitu relevan untuk dibahas, sedangkan pada kasus ini yang dibahas didalamnya adalah lembaga formal yaitu DPR dan KPK.
 3.      Pendekatan Pasca Perilaku
Pendekatan ini berusaha mengadakan penelitian yang empiris dan kuantitatif, tetap itu hanya membuat ilmu politik terlalu abstrak dan tidak relevan terhadap masalah sosial. Sedangkan pendekatan ini sangat mengutamakan relevansi. Karna itu membuat politik tidak dapat bersentuhan dengan realitas sosial yang membuat pendekatan ini tidak sesuai dengan kasus ini.
 4.      Pendekatan Neo-Marxis
Pendekatan ini menekankan pada konflik yang terjadi pada negara dan konflik kelas. Pendekatan Neo-Marxis menganggap bahwa konflik lain akan mendorong perubahan dalam masyarakat. Kasus DPR vs KPK ini sangat mendapat perhatian masyarakat dan pastinya akan mendorong perubahan dalam masyarakat.
 5.      Pendekatan Ketergantungan
Pendekatan ini masih percaya bahwa masih adanya dominasi yang kuat di bidang ekonomi antara negara kaya dan miskin. Pendekatan ini terlalu bersifat internasional dan tidak cocok dengan kasus KPK vs DPR.
 6.      Pendekatan Pilihan Rasional
Pendekatan pilihan rasional mempelajari bagaimana lembaga membatasi berbagai interaksi aktor-aktornya. Pendekatan ini sangat cocok dengan kasus KPK vs DPR karna di kasus ini terdapat aktor yang terbatasi oleh lembaga yaitu anggota DPR.
 7.      Pendekatan Institusionalisme Baru (New Institutionalism)
Pendekatan ini mempunyai 5 kajian yang mencakup hampir segala aspek dalam pemerintahan. Karna luasnya cakupan itu membuat pendekatan ini sangat berkaitan dengan kasus ini.
D.     Kesimpulan
Dapat di simpulkan bahwa tidak semua pendekatan dapat dikaitkan dalam satu kasus. Setiap pendekatan mempunyai kajian masing masing yang berbeda yang membuat ilmu politik lebih beragam.
E. Daftar Pustaka 
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_Angket_Dewan_Perwakilan_Rakyat
(http://www.tribunnews.com/nasional/2017/09/10/pansus-angket-kpk-dibentuk-karena-anggota-dpr-kaget-namanya-disebut-terlibat-korupsi-e-ktp
http://news.liputan6.com/read/3015174/kpk-vs-pansus-hak-angket
0 notes
rumahinjectssh · 7 years
Text
OPINI : Dibalik Keluarnya Gerindra Dari Pansus Hak Angket KPK Ada Kepentingan Kepentingan Apa ?? - FROM RUMAHINJECT
WARTABALI.NET - Fraksi Partai Gerindra secara mengejutkan keluar dari keanggotaan Pansus Angket KPK. Pada awal pembahaasn, partai besutan Prabowo Subianto ini menolak pembentukan Pansus, akan tetapi kemudian memutuskan mengirimkan perwakilan. Sejak disahkan pembentukannya, tujuh fraksi mengirimkan perwakilannya ke pansus, termasuk Gerindra. Partai ini juga rajin mengirimkan wakil pada sejumlah rapat Pansus. Oleh karena itu, keluarnya Gerindra mengundang sejumlah tanya.
Secara formal, Gerindra menilai pembentukan pansus bermasalah. Partai berlambang Garuda ini menilai pembentukan Pansus tidak memenuhi syarat yang sesuai dengan Tatib (tata tertib) DPR dan Undang-undang MD3. Pasal 79 ayat (3) UU MD3 berbunyi, adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. KPK mempertanyakan keabsahan Panitia Khusus Hak Angket terhadap KPK bentukan DPR. Lima pegawai KPK pun menggugat keputusan tersebut ke Mahkamah Konsitusi. Alasan lainnya adalah kerap diadakan agenda dadakan dengan tujuan kurang logis. Misalnya, soal keberangkatan Pansus ke lembaga pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Dengan meminta keterangan kepada koruptor, Gerindra mengendus ada sinyalemen melemahkan KPK. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon secara terbuka menyebut sejauh ini kerja Pansus Angket KPK belum menemukan bukti yang signifikan. Hal itu, menurut Fadli, juga menjadi alasan bagi partainya untuk keluar dari Pansus. Untuk apa? Secara umum, keluarnya Gerindra tak akan mempengaruhi kinerja Pansus. Pasalnya, meskipun ditinggal Gerindra, Pansus tetap kuorum dan sudah disahkan dalam rapat paripurna DPR. Lantas apa kepentingannya? Tak bisa dipungkiri bahwa politik adalah permainan. Dalam hal ini, tentu ada perhitungan yang matang mengapa Gerindra harus keluar dari Pansus KPK. Sampai hari ini, masyarakat cenderung lebih membela KPK ketimbang percaya kepada anggota DPR. Fakta ini penting dijadikan pertimbangan untuk pencitraan partai. Apalagi Pemilu tinggal setahun lagi. Gerindra tampak ingin mengidentikkan sebagai partai antikorupsi. Kedua, gencarnya opini yang berkembang di masyarakat bahwa Pansus KPK hanya bertujuan untuk melemahkan lembaga antirasuah itu dapat dimanfaatkan untuk membuat kesan bahwa partai pendukung Pansus adalah pro-koruptor. Hal ini masuk akal karena saat ini KPK tengah menggarap isu besar, terutama skandal e-KTP yang menyeret sejumlah politisi besar dari beragam partai, terutama Golkar dengan dua tersangka, yakni Setya Novanto (ketua umum) dan Markus Nari. Selain untuk kepentingan pencitraan, keluarnya Gerindra bisa jadi karena kecewa berat kepada Fahri Hamzah. Fahri adalah orang yang paling getol menginisiasi hak angket tersebut. Kader PKS yang tak diakui ini pula yang mengetok palu sidang untuk mengesahkan pansus tersebut pada April lalu. Fahri melakukannya dengan teergesa-gesa sehingga rapat paripurna itu sempat ricuh. Gerindra bisa jadi kecewa kepada Fahri gara-gara pengesahan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu menjadi Undang-Undang pada rapat paripurna DPR pada 21 juli. Rapat ini diwarnai aksi walk out Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi Demokrat. [ads-post] Fahri saat itu menjadi satu-satunya wakil yang mendampingi Ketua DPR Setya Novanto saat mengetuk palu sidang. Atas sikap Fahri ini, partai-partai pendukung pemerintah sangat diuntungkan. Apabila Fahri ikut keluar dari rapat, legalitas keputusan paripurna soal RUU Pemilu tersebut bakal bermasalah. Di sinilah adanya kemungkinan Gerindra memberikan pelajaran atau balasan kepada Fahri yang ngotot ingin “menertibkan” KPK dengan cara keluar dari Pansus. Selebihnya, Gerindra ingin tampil beda. Dengan atau tanpanya sebenarnya pansus tetap akan jalan. Apabila ternyata pansus terbukti di kemudian hari melemahkan KPK, sikap Gerindra ini akan menjadi modal kampanye yang efektif untuk memenangkan Pemilu 2019 dan Prabowo sebagai presiden. [error title="SUMBER BERITA" icon="exclamation-triangle"]Anda Meragukan Informasi Yang Ada Dalam Tulisan Diatas ?? Atau Anda Melihat Ada Masalah Soal Postingan Diatas, Silahkan Cek Sumber Berita - Atau Anda Dapat Menghubungi Kami Di Halaman Contact - Mari Sama Sama Saling Cross Check Sumber Berita : RIM Judul Asli : [/error]
Terima Kasih Telah Menggunakan Dan Menyebarkan Kembali Berita Dari Wartabali-Media Informasi Kita Yang Senantiasa Dan Selalu Terbuka Untuk Umum - Bookmark Wartabali.net Dan Dukung Terus Perkembangan Kami - Wartabali-Media Informasi Kita 
from Media Informasi Kita http://www.wartabali.net/2017/07/opini-dibalik-keluarnya-gerindra-dari.html
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Kinerjanya Lemah, Menteri Agama Bahayakan Kehidupan Bermasyarakat
Kinerjanya Lemah, Menteri Agama Bahayakan Kehidupan Bermasyarakat
Harianpublik.com – Komisi VIII DPR bakal memanggil Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin atas beredarkan beberapa mushaf Alquran terbitan PT Suara Agung yang di dalamnya tidak ada ayat 51-57 surat Al Maidah.
Anggota Komisi VIII DPR Deding Ishak ikut mengecam adanya penerbitan mushaf Alquran dengan menghilangkan sejumlah ayat tersebut. Pasalnya, peristiwa itu dapat berdampak luas terhadap masyarakat.
Politisi Golkar itu juga menyesalkan lemahnya proses verifikasi Alquran oleh Kemenag. Dia mengingatkan, lemahnya kinerja itu bisa membuat situasi menjadi tidak kondusif.
“Mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Kelemahan kinerja Kemenag tak hanya menyulut kemarahan, tapi sudah membahayakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” tegasnya.
Diketahui, peristiwa itu bermula dari laporan KH Basith, pengurus DKM Masjid Assifa Desa Sukamaju, Kecamatan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Ia menemukan mushaf cetakan PT Suara Agung pada Selasa 23 Mei 2017 yang tidak ada Surah Al Maidah Ayat 51- 57. Alquran tersebut kemudian jadi viral di media sosial sehari setelahnya. (rmol) Sumber : Source link
0 notes
ayojalanterus · 3 years
Text
Fraksi PSI DKI Diminta Pahami Lebih Dulu Hak Interpelasi, Jangan Asal Umbar
Tumblr media
 KONTENISLAM.COM - Wacana menggulirkan hak interpelasi yang dilakukan Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait rencana gelaran Formula E di ibukota dianggap berlebihan. Hal itu bergulir seiring dengan diterbitkannya Instruksi Gubernur (Ingub) DKI Nomor 49 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Isu Prioritas Daerah Tahun 2021-2022. Dalam Ingub itu, Anies Baswedan menargetkan ajang balap mobil listrik Formula E digelar pada Juni 2022. Akan tetapi, wacana tersebut justru dikritik Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta, Purwanto. "Pengajuan interpelasi PSI mengganggu dan berlebihan," kata Purwanto kepada wartawan, Senin (16/8), dikutip Kantor Berita RMOLJakarta. Menurut Purwanto, penjelasan mengenai gelaran balap mobil listrik itu dapat dilakukan tanpa harus mengajukan hak interpelasi.   "Apakah hak ini diumbar di setiap persoalan yang seharusnya bisa ditanyakan pada momen-momen rapat biasa," kata Purwanto. Purwanto menegaskan, hak interpelasi diajukan untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. "PSI tolong pahami dulu apa itu hak interpelasi, bukan sekadar hak bertanya saja," kata Purwanto. Purwanto memastikan Fraksi Gerindra tidak akan ikut mengajukan hak interpelasi ke Anies Baswedan. "Gerindra justru menyetujui rencana penyelenggaraan Formula E 2022," tegas Purwanto. Ditambahkan Purwanto, Partai Gerindra yang merupakan pengusung Anies di Pilgub DKI 2017 ini memiliki beberapa alasan terkait hajatan balap tersebut. Salah satunya, keikutsertaan Jakarta sebagai salah satu tuan rumah ajang Formula E membawa nama baik Indonesia serta telah melalui proses yang panjang. Berikutnya, Pemprov DKI juga sudah membayar sejumlah dana commitment fee untuk perlombaan tersebut. "Jika kita mengingkari commitment fee tersebut, artinya mencoreng nama baik bangsa dan ada penalti yang jumlahnya lebih besar," tutup Purwanto.[rmol]
from Konten Islam https://ift.tt/2Xxucdo via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/08/fraksi-psi-dki-diminta-pahami-lebih.html
0 notes
khasiatbuahsayur · 8 years
Text
Apa yang dimaksud dengan hak angket?
Apa itu hak angket?
DPR akan melakukan haknya yaitu hak angket. Tahu gak hak angket itu apa? Apa yang terjadi dari kelanjutan hak angket? kelanjutan hak angket adalah hak " Menyatakan pendapat".
Hak Menyatakan Pendapat adalah Hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket;,  atau dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sedang Hak DPR di bawah hak angket dan hak menyatakan pendapat adalah hak interpelasi. Pengertian hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sekarang ini beberapa anggota dewan sedang berusaha untuk melakukan hak angket terkait kasus tidak dinonaktifkanya BCP sebagai Gubernur DKI. Sikap mendagri dengan mengaktifkan lagi BCP setelah cuti adalah sebuah pelanggaran hukum menurut anggota Dewan sehingga mereka mengajukan hak angket.
0 notes
shtconnectingworld · 8 years
Text
Thought via Path
HAK ANGKET DAN BYPASS REZIM JOKOWI Oleh Suharto Konstelasi politik nasional kembali mengalami eskalasi tinggi, setelah anggota DPR RI atau lembaga legislative mempergunakan kewenangannya berdasarkan UUD 1945 untuk melakukan Hak Angket terhadap pemerintahan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Hak Angket sebagaimana di atur dalam konstitusi Negara yakni pada Pasal 20 A UUD 45 adalah Ayat (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dan pada ayat (3) Selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain UndangUndang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Yusril Ihza Mahendra dikutip di http://yusril.ihzamahendra.com, mengatakan bahwa Hak Angket disebut juga sebagai hak penyelidikan, karena hak ini memang dimiliki oleh DPR untuk menyelidiki sesuatu yang lazimnya terkait dengan hal-hal yang terkait dengan masalah keuangan yang menjadi kebijakan Pemerintah. Namun ketentuan Pasal 176 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR menegaskan bahwa hak angket digunakan untuk menyelidiki “kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Rumusan ini memang sangat luas, karena setiap gerak langkah dan keputusan yang diambil Pemerintah pada dasarnya dapat dikatakan sebagai “kebijakan”. Jadi tidak spesifik terkait dengan masalah keuangan negara sebagaimana pemahaman teoritis tentang asal muasal hak angket. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah mengurangi subsidi BBM dengan sendirinya dapat dijadikan sebagai obyek dari hak angket DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan negara. Namun apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan undang-undang sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus “dibuktikan” melalui penggunaan hak angket itu. Dalam UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat, sekurang-kurangnya 10 orang anggota DPR bisa menyampaikan usulan angket kepada Pimpinan DPR. Usulan disampaikan secara tertulis, disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya. Usul dinyatakan dalam suatu rumusan yang jelas tentang hal yang akan diselidiki, disertai dengan penjelasan dan rancangan biaya. Dalam pasal 177 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan bahwa hak angket harus diusulkan oleh paling sedikit dua puluh lima orang anggota serta lebih dari satu fraksi, disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya materi kebijakan pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikannya. Sidang Paripurna DPR dapat memutuskan menerima atau menolak usul hak angket. Bila usul hak angket diterima, DPR membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR. Bila usulan hak angket ditolak, maka usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. Panitia angket dalam melaksanakan tugas penyelidikan dengan meminta keterangan dari pemerintah dan penjabatnya, saksi, pakar, organisasi profesi, semua pihak terkait lainnya. Panitia angket DPR melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama enam puluh hari sejak dibentuknya panitia angket. Rapat paripurna DPR kemudian mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket. Bila dalam Sidang Paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat kemudian usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali. Pasal Ahok! Politisi Senayan tampaknya mengarahkan tembakannya ke istana Negara untuk menyelidiki kebijakan pemerintah melalui kementeria dalam negeri untuk mengaktifkan kembali gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok setelah dinon-aktifkan karena mengikuti tahapan pemilihan kepala daerarah atau pilkada DKI. Jika situasinya berjalan normal, maka secara normative pengembalian jabatan itu tidaklah menjadi masalah, tetapi akibat dari adanya gonjang-ganjing dan kegaduhan politik yang bersumber dari kandidat petahana Ahok pada saat proses pilkada berlangsung menyebabkan Ahok tersangka dan kini terdakwa dalam kasus hokum terkait pasal penistaan agama, maka situasinya pun tentu berbeda dan abnormal. Sebab, dalam beberapa pengalaman yang telah menimpa kepala daerah di Indonesia, maka aturan yang berlaku untuk menon-aktifkan dan atau memberhentikan sementara atau permanen kepala daerah yang terlibat kasus hokum juga harus diberlakukan untuk Ahok. Pada 12 Pebruari 2017 kemarin, pemerintah sepertinya memberikan perlakuan khusus (hak imunitas) bagi saudara Ahok, yang telah melantik kembali Ahok sebagai gubernur Jakarta meneruskan sisa masa jabatannya sampai gubernur terpilih di pilkada 2017 ini. Pasal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi DPR untuk melakukan pembuktian pelanggaran konstitusi bagi pemerintah melalui hak angket. Lantaran, kebijakan pemerintah tersebut menjadi kontradiktif di tengah masyarakat yang menilai bahwa Negara selain melanggar konstitusi juga suatu kebijakan yang tidak adil, dimana perlakuan terhadap Ahok sangat kontras dengan perlakuan terhadap Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten, Bupati Waringin, Bupati Ogan Ilir, Bupati Katingan, Bupati Buol, Bupati Barru dan Bupati Garut serta beberapa kepala daerah lainnya yang menerima resiko jabatan berupa pennon-aktifan, pemberhentian sementara hingga pemecatan. Saksi bagi kepala daerah tersebut pun bermacam-macam bentuknya, ada yang dipecat langsung meskipun baru tersangka, ada juga yang dipecat karena sudah terdakwah da nada pula yang dinon-aktifkan saat tersangka, ada pula yang dinon-aktifkan tatkala telah terdakwah dengan kasus yang berbeda-beda pula, ada korupsi, moralitas/etika, narkoba, suap dan penyelewengan kekuasaan lainnya. Bypass Rezim Jokowi Jika mayoritas anggota legislative menyetuji hak angket itu, yang pertanggal 13 pebruari 2017 beberapa fraksi pengusul hak angket seperti Fraksi Partai Demokrat, PAN, PKS dan Gerindra, telah membubuhi tanda tangan pengusul dan menyetujui digelarnya hak angket yang sudah lebih dari 100 orang (seperti di rilis di media social), maka jalan tol menuju sidang paripurna menyikapi hal tersebut pun ditempuhi dalam waktu yang relative singkat, karena syarat-syarat untuk mengajukan hak angket sudah terpenuhi berdasarkan tata tertib DPR dan juga UU yang mengatur akan mekanisme penyampaian hak tersebut. Fase berikutnya tentunya adalah DPR segera membentuk pansus atau panitia khusus membidangi Hak Angket yang bertugas untuk mencari fakta dan data terkait dengan pasal yang diselidiki, terutama pelanggaran atas UU yang mengatur seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Apabila, pansus selesai melaksanakan tugas tersebut, maka DPR dalam waktu yang akan ditentukan kemudian akan melaksanakan siding paripurna membahas hasil pansus itu. Kemungkinan kasus Ahok ini akan membawa dampak buruk bagi pemerintahan Jokowi sangat terbuka lebar, sebab jika benar-benar ditemukan sebuah pelanggaran konstitusi pada pengembalian jabatan Ahok sebagai gubernur, maka dramaturgi sidang istimewa akan dimenangkan oleh pihak pengusul hak angket (artinya DPR benar dan pemerintah bersalah), maka pengambilan keputusan dalam sidang istimewa yang memungkinkan untuk voting terbuka dan ataupun voting tertutup, tergantung dinamika forum nanti, tetap akan dimenangkan oleh DPR. Secara matematis, jika Demokrat, Gerindra, PKS dan PAN saja yang secara bulat mendukung Hak Angket, maka sudah hamper separuh. Namun, pada perkembangannya kelak, bukan hanya empat partai tersebut yang akan memainkan bola panas ini, Golkar dan PPP pun diyakini akan diam-diam mengatur strategi agar hak angket ini bisa menanjak ke fase berikutnya. Hak angket baru tahap awal untuk merambah jalan pintas (bypass) pemerintahan Jokowi, sehingga jika ini sukses, maka pemerintahan Jokowi akan guncangan dahsyat. Dan jika terjadi guncangan, maka situasinya pun akan mengalami kesulitan dan amat sulit untuk diselamatkan. Jalan terbaik adalah melakukan pendaratan darurat sebelum tiba masa waktu untuk mendarat di runway yang sesungguhnya dan berdasarkan jadwal yang sudah ditetapkan. Artinya, kemungkinan untuk sampai pada akhir masa pemerintahan Jokowi 2019 mendatang semakin berat, boleh jadi lebih cepat dan ataupun masih bisa diselamatkan, tapi itu semua menunggu hasil dari kinerja parlemen. Kita lihat saja nanti, apakah pemerintah yang berhasil menerobos siasat DPR ataukan DPR berhasil melepaskan tendangan spekulasi di luar kotak pinalti? []wallahu a’lam bisswwab. Jakarta, 13 Pebruari 2017 – Read on Path.
0 notes
thirafisyifa · 8 years
Photo
Tumblr media
_Koenchanayo_
Sebuah ungkapan dari sebuah negara yang memiliki sejarah historis kemerdekaan terpaut dua hari dengan Indonesia yakni pada tanggal 15 agustus 1945.
Dengan luas wilayah mencapai 100.210 km persegi dan populasi warga negaranya yang mencapai 51.448.183 jiwa (pada tahun 2015), korea selatan saat ini tumbuh menjadi salah satu “macan asia” karena basis industrinya..
Secara bahasa, ungkapan koenchanayo diartikan sebagai “alright that is good enough” telah membentuk dasar motivasi untuk tujuan industri korea yaitu melakukan apa yang Jepang telah lakukan, namun melakukannya dengan lebih murah dan cepat.
Jika bercermin dari keadaan historical-nya, sekitar tahun 1950 hingga 1953, negara yang pada awalnya berbasis agraris ini mengalami perang saudara yang cukup berdampak besar pada negaranya..
Dengan semangat etos kerja “Hahn”, warga negara ini pun bahu membahu bangkit dari keterpurukan yang menjadikannya sebuah keunikan tersendiri..
Jika diartikan secara harfiah, kata Hahn artinya adalah kemarahan, frustasi, berkabung, dan dendam. Digambarkan sebagai kemarahan atas kejadian yang lalu dan berusaha untuk memberikan balasan. Tetapi, bagi masyarakat korea selatan, Hahn didenifisikan sebagai energi yang menggerakkan, bekerja dengan tekad tak kenal menyerah (boldness), berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta memiliki disiplin tinggi.
Budaya konfusianisme yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat korea pun secara tidak langsung juga mempengaruhi. Berdasarkan sejarah, konfusianisme adalah suatu ajaran yang dibuat oleh Konfusius, orang bijak dan guru yang tinggal di timur laut China antara tahun 551 sampai 479 SM. Nama sesungguhnya adalah K’ung Ch’lu, namun ia dikenal dengan K’ung-Fu-tzu (guru besar K’ung) maupun K’ung Chung ni. Orang korea menyebutnya dengan Gong Ja.
Filosofi konfusianisme berlandasan kepercayaan bahwa manusia perlu bekerja demi kebaikan bersama serta dalam kehidupan bermasyarakat harus mengikuti suatu struktur dan hirarki yang kuat untuk menciptakan keharmonisan.
0 notes