Tumgik
#doa berbuka puasa dengan tulisan arab
radad · 9 months
Text
Doa Buka Puasa Dzahabazh Zhoma'u Wabtallatil 'Uruqu
Bahasaarab.ahmadalfajri.com – Doa Buka Puasa Dzahabazh Zhoma’u Wabtallatil ‘Uruqu Doa Buka Puasa Dzahabazh Zhoma’u Wabtallatil ‘Uruqu Daftar IsishowDoa Buka Puasa Dzahabazh Zhoma’u Wabtallatil ‘UruquBacaan doa buka puasa Tentang Doa Dzahabazh Zhoma’u Wabtallatil ‘UruquKumpulan Doa-doa Buka Puasa Lainnya Doa buka puasa yang paling populer adalah Allahumma laka shumtu. Dan ada juga redaksi doa…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
yasirmukhtar · 4 years
Text
Renungan Pribadi Soal Takwa
Disclaimer: ini bukan tulisan edukasi tentang konsep takwa. Ini sepenuhnya refleksi pribadi saya. Tidak disarankan untuk menjadikannya referensi. Mohon diproses dengan pikiran sendiri, tidak ditelan bulat-bulat. Jika tergelitik, silakan lakukan penelitian dan perenungan sendiri.
* * *
Pasti kita udah sering denger terminologi “takwa”.
Kalau ditanya apa itu takwa, kebanyakan orang akan menjawab: “Menaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.”
Saya ngga pernah puas dengan definisi itu. Maaf ya, izinkan saya jujur secara brutal, definisi itu normatif dan ngga inspiring. Ngga menggugah selera untuk bersemangat mendapatkannya. (Pahami bahwa saya bukan bilang takwa itu ngga menarik, tapi pemaknaan/penafsiran kita atas konsep takwa yang belum memuaskan).
Iya, menurut saya, kalau sesuatu itu penting menurut sunnatullah (atau hukum alam, versi bahasa universalnya), maka secara alamiah pasti kita akan tertarik ke arah sana. Maka, saya curiga, jangan-jangan ada definisi yang lebih dalam, lebih menggugah, lebih membuka kesadaran daripada yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Misalnya, siapa sih orang waras, berakal yang dalam hidupnya ngga pernah bertanya “Kenapa aku ada?”, “Untuk apa aku ada?”, “Apa yang penciptaku inginkan dengan menciptakan aku ke alam ini?”. Saya percaya ini pertanyaan yang universal, yang kalaupun ngga diajarkan di sekolah, secara alamiah kita akan mempertanyakan ini, cepat atau lambat.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Mereka akan mendorong kita mencari Tuhan, memahami diri kita, mencari petunjuk dari Sang Pencipta--yang semua jawabannya sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita temukan. Karena itu, Allah sudah tanamkan stimulusnya berupa rasa penasaran yang instingtif. Kita tertarik untuk mengenali pencipta kita secara alamiah.
Nah, takwa itu disebutkan di berbagai ayat Al-Quran, menjadi tujuan dari berbagai perintah--yang salah satunya puasa di bulan Ramadhan, maka pastinya penting. Kalau penting, pastinya insting alamiah kita akan bereaksi secara positif (tergugah, terinspirasi) jika kita memahaminya dengan cara yang seharusnya.
Temuan Saya Akan Makna Takwa
Singkat cerita, saya menemukan definisi takwa yang memuaskan bagi hati saya. Saya menemukannya dalam tafsir Al-Quran “The Message of the Quran” karya Muhammad Asad. Definisinya:
Kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasarkan kesadaran ini.
Atau sederhananya, takwa adalah “kesadaran akan hadirnya Allah”.
Buat saya, definisi ini lebih memuaskan daripada yang selama ini saya terima. Coba kita tempatkan kedua definisi takwa dalam konteks perintah puasa Ramadhan.
Dalam definisi takwa pertama, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam definisi takwa kedua, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar kita selalu sadar akan kehadiran Allah.
Kita tempatkan juga kedua definisi takwa itu dalam konteks ayat permulaan Al-Baqarah.
Dalam definisi pertama, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Dalam definisi kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang sadar akan kehadiran Allah. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Gimana?
Apa lebih bisa dipahami? Apa lebih membuka kesadaran? Apa lebih menggugah? Kalau buat saya, iya banget.
Contoh Implementasi Pemaknaan Takwa
Ketika berpuasa, kita bisa aja minum atau ngemil di siang hari, selama ngga ada manusia yang liat. Tapi yang menahan diri kita apa? Kesadaran akan hadirnya Allah, yang mungkin ngga begitu kita ingat kalau kita ngga puasa.
Ketika berbuka, kita seneng banget tuh, kita berdoa sebelum berbuka, “Ya Allah, terimalah puasaku dan segala amal ibadahku hari ini”. Lagi-lagi, kita distimulasi untuk menghadirkan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini disaksikan oleh Allah.
Dari situ, sebenarnya kita bisa lihat bahwa menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (khususnya shaum Ramadhan) adalah stimulan untuk membangun kesadaran akan kehadiran Allah.
Dengan syarat, ketaatan dalam perintah dan larangan-Nya dilakukan dengan benar ya: kalau shalat khusyu’, kalau puasa ikhlas (mindful, aware, niat dari dalam hati), kalau sedekah bukan untuk ngebuang recehan.
Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Allah juga akan memperkuat kemampuan seseorang untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (”Oke, mau menghadap Allah nih, masa aku shalat pake baju bekas bobo?”). Jadi, saya pikir ini seperti continuous feedback loop.
Tips Mengasah Kesadaran Akan Kehadiran Allah
Oke, meskipun ini perenungan pribadi, karena ini dipublikasikan maka saya tetap harus bertanggung jawab menutupnya dengan baik.
“Mengasah kesadaran akan kehadiran Allah” adalah closing yang berat, tapi paling engga saya bisa bagikan beberapa usaha saya untuk melatihnya.
Pertama, bangun mental model hubungan antara kita dan Allah yang lebih personal. Alih-alih berpikir bahwa kita cuma satu makhluk yang ngga signifikan dan mungkin ngga Allah pedulikan karena Dia “sibuk” dengan alam semesta dan manusia lain yang istimewa, ingat bahwa Allah juga Maha Dekat, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Menyayangi, Maha Memperhatikan sehingga kamu bisa berkomunikasi secara personal dengan Allah.
Dia tidak seperti manusia yang kalau banyak kerjaan pusing dan skip, Dia menunggu kamu untuk datang kepada-Nya. Berkomunikasi, berterima kasih, meminta maaf, berharap, menangis.
Ingat juga bahwa Dia available setiap waktu, ngga cuma di waktu shalat--misalnya. Lagi kerja, lagi ngasuh anak, lagi beberes rumah; lagi senang, lagi marah, lagi sedih; kamu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang hal seremeh apapun.
Kedua, pahami bacaan dan doa-doa dalam ibadah. Iya, misalnya bacaan shalat, coba dipahami. Caranya jangan cuma baca artinya secara keseluruhan, tapi pelajari kata per kata.
“Rabbi”--wahai Tuhanku, “ighfirli”--ampuni dosaku, “warhamni”--sayangi aku, “wajburni”--cukupilah aku, “warfa’ni”--tinggikan derajatku, “warzuqni”--berilah aku rezeki, “wahdini”--berilah aku petunjuk, “wa’afini”--sehatkan aku, “wa’fu’anni”--maafkanlah aku.
Bisa pelajari juga akar katanya, misal “ighfirli” dari kata “ghafara”, yang artinya “mengampuni”, asal maknanya “menutup”. Wah ini bisa didalami lebih jauh lagi, silakan cari sendiri ya.
Sedikit belajar Bahasa Arab, biar setiap kita mengucapkan doa dalam shalat, hati kita tahu betul kita sedang berkomunikasi apa dengan Allah.  Biar setiap beristighfar, bertasbih, bertahmid, hati kita benar-benar mean it.
Ketiga, sering-sering mikirin what this life is all about. Bayangin setelah membaca ini kamu terkena serangan jantung lalu meninggal, kamu ngerasa siap apa engga? Kalau engga, kenapa? Karena ngga ada amal yang bisa dibanggakan? Kalau gitu itu PR kamu, segera bikin amal yang bisa kamu banggakan saat dihisab nanti.
Atau karena banyak dosa? PR kamu adalah taubat + mengubur dosa-dosa dengan amal baik yang banyak.
Kalau ingat bahwa kita belum siap dihitung amal dan dosanya di hadapan Allah, kita jadi bisa melihat apakah karir, bisnis, investasi yang kita upayakan itu adalah sarana mempersiapkan diri atau menjadi distraksi dari apa yang benar-benar penting.
Coba bikin daftar yang harus kamu siapkan agar jika suatu hari kamu terbaring di rumah sakit, sadar ga lama lagi kamu akan mati, hati kamu ngerasa tenang dan siap menghadap Allah, seperti yang dideskripsikan di Al-Fajr:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Misalnya, jika profil kamu adalah seorang ayah dan suami:
1. Sedekah rutin untuk anak yatim (misalnya ini amal andalan kamu) 2. Istri dan anak yang siap ditinggalkan secara mental dan bertekad untuk menyusul saya di surga (melanjutkan berbagai amal sholeh sepeninggal kamu) 3. Rumah untuk anak dan istri biar mereka punya tempat bernaung 4. Passive income untuk menafkahi keluarga meski saya ngga ada, biar mereka ngga susah dan menyusahkan orang lain (3 dan 4 sekilas materialistis, tapi tujuannya bernilai amal sholeh)
Itu daftar simplistik dan contoh aja.
Poinnya adalah sering-sering melatih diri kita mengingat apa yang paling esensial dalam hidup (yaitu siap ketika sudah saatnya kita menghadap Allah) dan mengkalibrasi terus menerus kesibukan kita supaya selalu dalam kerangka membuat Allah ridha sama kita.
So, mari kita membangun, mengasah, dan menjaga kesadaran kita akan ke-Maha-Hadiran Allah.
Wallahu’alam.
2K notes · View notes
britishzee · 6 years
Video
#Repost @pecinta_quran • • • [STATUS HADITS BERBUKA PUASA "DZAHABA" BACA CAPTION] . . Yang lebih rajih adalah pendapat yang mengatakan bahwa Marwan bin Salim Al Muqaffa’ adalah perawi yang maqbul bahkan hasanul hadits karena penghasanan hadits tersebut oleh Ad Daruquthni menunjukkan ta’dil terhadap perawinya, juga dengan mempertimbangkan tautsiqIbnu Hibban karena dalam hal ini ternyata beliau tidak bersendirian. . Syaikh Al Albani ketika menghasankan hadits ini beliau menjelaskan: ثم إن مروان بن سالم قد روى عنه غير الحسين بن واقد: عزرة بن ثابت , وهو وإن لم يوثقه غير ابن حبان , فأورده فى ” الثقات ” (1/223) , فيقويه تحسين الدارقطنى لحديثه كما رأيت وتصحيح من صححه . “Kemudian mengenai Marwan bin Salim, selain Al Husain bin Waqid juga telah meriwayatkan darinya Uzrah bin Tsabit. Walaupun memang, tidak ada yang men-tautsiq beliau kecuali Ibnu Hibban. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat (1/223). . Diperkuat juga dengan penghasanan dari Ad Daruquthni terhadap hadits ini sebagaimana anda lihat, dan juga penshahihan dari para ulama yang menshahihkannya” (Irwaul Ghalil, 4/40). . Syaikh Abu ‘Amr Usamah Al Utaibi menyatakan: . “hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Ad Daruquthni rahimahullah, dan beliau adalah hujjah dalam ilmu rijal. Penghukuman Ad Daruquthni terhadap sanad hadits ini bahwa ia laa ba’sa bihi(tidak mengapa), merupakan ta’dil (pujian) terhadap para perawinya dan penguatan terhadap derajatnya. Maka yang menjadi pegangan adalah pendapat Ad Daruquthni rahimahullah” . Di sebagian tulisan dan gambar-gambar yang tersebar menyebutkan bahwa hadits di atas dishahihkan oleh Al Albani dalam Sunan Abi Daud, atau Irwaul Ghalil atau Shahih Al Jami. Namun pernyataan ini kurang tepat, karena yang tepat adalah beliau menghukumi hadits ini hasan. Karena ada perbedaan antara shahih dan hasan, walaupun keduanya adalah hujjah. Namun boleh saja menyebutkan bahwa “ini adalah doa berbuka puasa yang shahih“. . Namun shahih di sini dimaksudkan sebagai ungkapan bahasa arab biasa yang artinya: benar. Sehingga maknya: “ini adalah doa puasa yang benar”. Bukan “shahih” dalam istilah ilmu hadits. . 💺Syaikh Wahid Abdussalam . 🎬@ismailarafatt . FOLLOW 👉 @pecinta_Quran ❤
0 notes
leobellicose · 7 years
Text
Pelayaran menarik menuju Hidayah......
Pelayaran menarik menuju Hidayah...... -
Jom Baca Kisah Admin Kami Yang Menemui Indahnya Hidayah Islam By Ayman Rashdan Wong  May 29, 2017
Saya masih dikira sebagai seorang mualaf. Ini adalah kali kelima saya menyambut Ramadan sebagai seorang Muslim. Secara peribadi, Ramadan adalah istimewa bagi saya kerana ia mengingati saya tentang pengalaman disapa hidayah Allah. Saya berasal dari keluarga Cina yang mengamalkan kepercayaan tradisional, namun sejak kecil saya mempunyai minat yang tinggi terhadap agama. Waktu sekolah rendah, saya seorang Buddhis. Waktu memasuki sekolah menengah, saya mengalih minat kepada agama Kristian. Saya menghadiri gereja selalu dan Bible menjadi bacaan kegemaran saya. Ada sekali semasa di Tingkatan Dua, saya terjumpa sebuah buku Pendidikan Islam di dalam laci meja. Ditinggal oleh pelajar kelas pagi rasanya. Buku itu ditulis dalam tulisan Rumi. Atas perasaan ingin tahu, saya buka dan baca buku tersebut. Terus saya tertarik dengan senarai 25 nabi dan rasul dalam Al-Qur’an dan penerangan ringkas mengenai mereka. Saya teruja dengan nama-nama yang terpapar: Ibrahim, Lut, Ismail, Ishak, Yakqub, Yusuf. Inikan Abraham, Lot, Ishmael, Isaac, Jacob, Jospeh yang saya baca dalam Bible selama ini? Dan yang paling menarik perhatian saya ialah kisah tentang Nabi Ismail. Dalam Bible kisah tentang Ishmael dan ibunya Hagar tamat dengan mereka dibuang ke tanah Arab. Kisah Nabi Ismail hampir dikorban, Siti Hajar dan telaga Zam-Zam, pembinaan Kaabah semuanya tiada dalam Bible. Ia membuat saya terfikir: yang mana satu benar? Saya cuba korek cerita tentang Islam dari kawan-kawan Melayu saya, namun mereka anggap saya main-main. Malah ada sekali saya ditegur kerana mengucap “insya Allah”. Pengalaman membuat saya serik untuk menyebut Islam di hadapan orang Islam buat seketika. Saya memilih untuk membuat pembacaan sendiri dan dari situ saya membina fahaman asas tentang Islam: Rukun Islam, Rukun Iman, sirah Nabi Muhammad, perkembangan sejarah mazhab dan sebagainya. Cuma bab-bab ibadah seperti cara bersolat tidak begitu faham menerusi pembacaan semata-mata. Pendedahan kepada Islam buat saya tidak dapat beriman dengan Bible lagi, lalu saya berhenti menghadiri gereja mulai Tingkatan Tiga, belum sempat dibaptiskan. Namun pada masa yang sama saya juga tidak bersedia untuk memeluk Islam. Untuk tempoh masa yang panjang, saya menganggap diri sebagai seorang “theist”: percaya Tuhan wujud tetapi tidak terikat dengan mana-mana agama. Walaupun saya seakan tahu Islam itu agama yang benar, namun kekuatan dan keyakinan untuk masuk Islam itu tiada. Itu menjadi masalah ketika saya bercinta dengan seorang gadis Melayu semasa di universiti. Walaupun sudah sampai ke tahap merancang perkahwinan, saya masih tidak mampu melepasi halangan psikologi saya untuk memeluk Islam. Sampai dia pun mengeluh kenapalah hati saya keras sangat. Tapi apakah daya kalau hidayah belum sampai. Saya takut dengan ketidakpastian. Saya tak dapat bayangkan saya menjadi seorang Muslim. Hampir putus asa, bakal tunang saya itu mengirim doa melalui kawannya yang pergi mengerjakan umrah di Mekah agar saya diberi hidayah. Saya bergurau adakah ia berkesan terhadap kafir seperti saya. Tanpa disedari, hidayah semakin dekat kepada saya. Titik baliknya ialah bulan Ramadan 2012. Ketika itu saya ada urusan di Putrajaya di sebuah kementerian yang agak terpencil. Waktu itu tiada kenderaan, telefon bimbit saya mati, tambahan pula dengan keadaan trafik yang sesak di petang Jumaat, maka saya pun nekad untuk berjalan kaki dari situ ke stesen tren. Cuaca amat panas, saya berpeluh-peluh dan terasa memerlukan tempat untuk menyejukkan badan. Saya lalu depan Masjid Besi, dan tak tahu kenapa saya beranikan diri masuk ke situ. Disebabkan tidak dihalang, maka saya pun pergi ke tempat wudhuk untuk mencuci muka, tangan dan kaki. Bila difikirkan balik, rupa-rupanya masa itu saya mengambil wudhuk tanpa sedar, dan saya sebenarnya tak tahu apa cara mengambil wudhuk pada masa itu. Tak tahu apa yang mendorong saya untuk naik ke dewan solat. Kali pertama saya berada di dewan solat sebuah masjid. Suasana di situ itu sungguh menenangkan. Saya pandang sekeliling. Sekali pandang ke atas, Subhanallah, kalimah Allah di bawah kubah membuat saya terpegun seketika, waktu seolah-olah terhenti. Di saat itu saya terdengar suara “sujud”, maka saya pun sujud on the spot. Apa yang berlaku adalah di luar kawalan dan jangkaan saya. Surreal. Pengalaman itu membuat hati saya terpaut dengan masjid. Saya mula mengunjungi masjid, memerhatikan orang bersolat dan meniru gaya solat jemaah masjid. Akhirnya, selepas 4 bulan, saya melafazkan syahadah di Masjid Besi, tempat yang saya menerima hidayah, seusai solat Jumaat terakhir tahun 2012. Ratusan jemaah yang jadi saksi, cuak juga saya nak mengucap. Selesainya syahadah, Allah menganugerahkan hujan, seolah-olah memayungi kehidupan baru saya dengan rahmat-Nya. Dari tahun 2002 pertama kali saya mengenali nama Allah dan rasul, hingga tahun 2012 saya naik saksi bahawa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah rasul-Nya, ia mengambil masa 10 tahun untuk saya melengkapi perjalanan kembali ke fitrah. Saya beritahu mak ayah tentang pemelukan Islam saya. Mereka bukan sahaja tidak marah malah menghormati pilihan saya. Saya tidak mengubah nama Cina saya atas dua sebab: untuk membalas budi mak ayah saya, dan juga untuk memudahkan dakwah kepada kaum Cina suatu hari nanti. “Ayman Rashdan” adalah nama yang dicadangkan oleh tunang saya. Aiman membawa maksud “yang bertuah” manakala Rasydan membawa maksud “yang mendapat petunjuk”. Atas sebab tertentu saya dan tunang tidak dapat melangsungkan perkahwinan. Agak sedih sebenarnya tidak dapat bersama dengan insan yang mengetuk pintu hati saya hingga ke Jannah. Mungkin ada hikmah yang tersembunyi. Kini saya mempunyai lebih banyak masa untuk berbakti kepada keluarga. Saya masih tinggal bersama ibu bapa. Setiap kali memasuki bulan Ramadan, mak saya yang akan mengejutkan saya bangun bersahur dan memanaskan makanan sahur. Mak ayah orang pertama yang mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada saya, dalam Bahasa Melayu pula itu. Kini, saya cuma berharap mereka pun akan dikurniakan hidayah untuk memeluk Islam satu hari nanti. Bagi saya, apa yang menarik mengenai bulan Ramadan adalah suasana spiritual yang tidak terdapat dalam bulan-bulan yang lain. Di bulan Ramadan, otak saya lebih berfokus untuk menghayati ayat suci. Saya akan guna sejam sebelum berbuka puasa di masjid untuk menghafal Quran. Ramadan pertama, saya menghafal surah-surah muqaddam. Ramadan kedua, saya melengkapkan juzuk ke-30. Ramadan ketiga, saya menghafal juzuk ke-29. Ramadan keempat, juzuk ke-28. Masuk ke Ramadan kelima, juzuk ke-27 jadi mencabar, maka tahun ini saya hanya mensasarkan untuk menghafal Surah Ar-Rahman, Al-Waqi’ah dan Al-Hadid.
Bertadarus Al-Quran bersama Dato’ Sri Mustapa ketika Ramadan 2014
Lima tahun cukup membuat saya merasai manis pahit menjadi seorang Muslim. Ada orang Cina yang menganggap saya memeluk Islam hanya untuk memburu habuan. Ada orang Melayu yang meragui niat saya memeluk Islam. Namun semua itu tidak menggugat semangat saya. Saya ingin membuktikan bahawa tiada kontradiksi antara menjadi seorang Cina dan menjadi seorang Muslim. Malah saya berwawasan untuk menjadi jambatan antara dua komuniti. Islam adalah rahmatan lil alamin, ia datang untuk menyatukan manusia.
Bersama Ustaz Don Daniyal dan Syeikh Hussein Yee
Hidayah itu unik, hidayah itu anugerah Allah, hidayah itu di luar jangkaan hamba-Nya. Di bulan Ramadan ini, kalau kita mencari, nescaya kita masing-masing akan menemui hidayah-Nya. “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus” (Surah Al-Baqarah, ayat ke-213)
Pelayaran menarik menuju Hidayah...... merupakan Entri ulangsiar. Credit kepada sumber asal di Pelayaran menarik menuju Hidayah...... via Blogger http://sayupgema.blogspot.com/2017/09/pelayaran-menarik-menuju-hidayah.html
1 note · View note
gubuakkopi · 7 years
Text
Jum’at, 16 Juni 2017, lalu lokakarya Kultur Daur Subur yang diselengarakan oleh Gubuak Kopi sudah memasuki hari ketujuh. Tiga hari lagi lokakarya akan selesai, dan akan dilanjutkan dengan presentasi publik open lab pada 07 Juli 2017 nanti, di Galeri Gubuak Kopi. Siang itu seperti biasa para partisipan mulai mencari informasi lanjutan tentang isu yang akan mereka tulis persentasikan, terkait visi Kultur Daur Subur.
Para partisipan berpencar untuk mencari informasi yang mereka butuhkan, Rizaldi dan Ogy pergi ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di Laing, Kota Solok, untuk mendalami informasi tentang Taman Bidadari. Joe Datuak ditemani Amathia Rizky berkeliling di sekitar Kampuang Jao, mencari informasi tentang petani pinang, distribusinya, dan menelusuri sungai-sungai menjadi tempat pembuangan limbah pinang dan lainnya. Setelah itu Amathia Rizky melanjutkan observasinya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk mencari informasi tentang pemberdayaan sampah di sana.
Ogy saat bertemu pegawai Dinas Lingkungan Hidup, Kota Solok
Sketsa teknologi pertanian di Solok, bersama Buya Khairani
Sketsa teknologi pertanian di Solok, bersama Buya Khairani
Sementara itu, Volta dan Zekal pergi ke rumah Buya Khairani, menggali kembali informasi tentang alat-alat pertanian pada masa dulu, atau alat-alat pertanian tradisional. Selain itu mereka juga menyempat melihat koleksi kreatif terbaru Buya. Sedangkan Arif mencari informasi tentang Gang Rambutan, kebetulan ia merupakan salah satu warga dari gang tersebut. Gang Rambutan adalah gang kreatif dan merupakan wujud inisiatif dari warga di sana dalam memperindah lingkungan mereka. Teman-teman Gubuak Kopi sebelumnya juga pernah melakukan observasi di gang ini, dan kali ini akan dinarasikan oleh Arif melalui tulisan dengan prespektifnya sebagai anak  yang besar di sana.
Di Gang Rambutan, pertama-tama kita akan disambut oleh gerbang yang unik dengan hiasan bunga-bunga, dan gapura yang penuh warna. Lalu,  di gang tersebut nampak bunga-bunga dan tanaman sayur yang tersusun rapi di sepanjang got. Selain itu, ada juga pot kreatif dari limbah-limbah plastik dan taman mini yang dikelola oleh salah satu warga disana.
Pada sore hari, tepatnya setelah Ashar, para partisipan dan fasilitator kembali ke kantor Gubuak Kopi. Bapak Elhaqi Effendi sudah berada di Gubuak Kopi. Ia hadir untuk membagi pengalamannya dan pembacaannya tentang perkembangan pertanian di Solok. Sebelumnya, memang kami sudah mengundang beliau untuk mengisi diskusi kali ini, dan Jumat ini adalah hari yang tepat. Bapak Elhaqi atau yang akrab disapa Pak El adalah orang tua dari Albert Rahman Putra, salah seorang pegiat Gubuak Kopi juga. Pak El pernah bekerja di Dinas Pertanian sejak tahun 1976, dan sempat pindah ke Dinas Kehutanan dan Perkebunan, lalu pada 2015 ia pensiun sebagai pegawai Dinas Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Ini bukan perjalanan yang pendek untuk diceritakan, lebih kurang 29 tahun beliau menggeluti pekerjaan tersebut. Sempat belajar di sekolah kejuruan pertanian waktu itu bernama Sekolah Perntanian Menengah Pertama (SPMP) setara SMP, dan dilanjutkan di Sekolah Pertanian Menengah Akhir (SPMA) setara SMA. Kemudian mendalami pertanian di akdemi khusus pertanian. Sembari bekerja di pemerintahan, Pak El juga gemar mendokumentasikan kegiatannya melalui fotografi. Selain itu, ia juga sempat berkerja sambilan sebagai jurnalis untuk beberapa media. Waktu itu, di  kediamannya kita mendapat kesempatan untuk melihat beberapa koleksi arsipnya, dan beberapa dipinjamkan untuk kita teliti di Gubuak Kopi.
Kuliah sore itu diawali dengan penjabaran situasi pertanian pada zaman Orde Lama dan masa transisi ke Orde Baru. Waktu itu padi diproduksi hanya satu sekali setahun, irigrasi pun yang belum maksimal, begitu juga dengan alat bajak atau peralatan lainnya yang belum memadai. Indonesia saat itu masih membeli beras ke Thailand untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat se Indonesia. Bahkan, waktu itu beberapa masyarakat kita yang makan nasi dicampur dengan jagung. Sekitar tahun 1970-an barulah masuk berbagai teknologi yang memadai untuk menunjang sektor pertanian. Pada masa ini, program-program pemerintah berfokus pada peningkatan produksi, sebelum berfokus pada peningkatan keuntungan. Kalau, biasanya padi dipanen satu kali setahun, saat itu secara perlahan ditingkatkan menjadi dua hingga tiga kali setahun. Mesin bajak yang memadai dan sistem irigrasi yang baik, kemudian mendorong peningkatan produksi masyarakat, hingga mencapai swasembada.
Sementara giatnya usaha peningkatan produksi pertanian, di akhir tahun 60-an hingga tahun 70-an pemerintah merancang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang kemudian memunculkan program-program seperti Panca Usaha dan lima sektor teknis untuk penigkatan produksi pangan. Diantaranya muncul Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) yang waktu itu berfokus pada pemunculan bibit pangan baru, lalu ada Pertani, kemudian di bidang perbangkan mencul BRI Unit Desa, kemudia kegiatan Bimbingan Massal (BIMAS), yang pertama Koperasi Unit Desa (KUD) untuk pengadaan sarana, dan dari pihak dinas muncul program Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL). Dan masih banyak program lainnya.
Saat ini, program terbaru dari Dinas Pertanian yang masih kita tunggu dampaknya yaitu Pertanian Salibu. Ini sebenarnya sudah pernah dilakukan pada beberapa puluh tahun sebelumnya, berganti, dan kemudian dikembangkan lagi. Teknisnya, padi yang sudah di panen atau dipotong dibiarkan tumbuh lagi dengan cara memberi pupuk secara teratur. Pak El baru saja tahu tentang pemberlakukan program ini dari kabar Whatsapp salah seorang mantan anggotanya yang saat ini bekerja di Dinas Pertanian, Kabupaten Solok. Program ini baru di terapkan pada daerah Saok Laweh, dan masih dalam tahap percobaan. Kita masih menunggu hasil dari percobaan Dinas Pertanian ini.
Sebelum masuknya teknologi yang serba mesin dan kemuajuan pestisida, masyarakat di Solok, dahulunya masih menjaga pertaniannya serta mengusir hama, dengan cara-cara tradisional, contohnya, Biasaya para petani mengambil darah sapi dan dioleskan ke ujung daun yang berada di sekitar ladang tersebut, agar kandiak (babi) tidak masuk ke ladang. Atau bisa juga dengan membakar rambut yang biasanya diambil dari sisa tukang cukur. Rambut yang dibakar tersebut mengeluarkan bau yang tidak disukai kandiak tadi. Lalu, untuk mengusir hama seperti pianggang (walang sangit) biasany para petani akan menuliskan beberapa ‘kalimat arab’ semacam doa di daun kelapa. Sekarang ini kepercayaan seperti itu sudah sangat jarang kita temui, karena masyarakat telah diarahkan untuk menggunakan pestisida atau racun untuk mengusir hama. Tapi cara-cara terbaru ini, tidak jarang pula bisa berdampak negatif bagi kesehatan kalau pemakaian yang salah dan berlebihan. Pak El juga menceritan, di Nagari Kubang Duo pernah racun ini membunuh babi, yang kemudian babi itu hanyut dan membusuk di sungai. Alhasil, sungai tercemar, warga yang minum air dari sungai tersebut terkena penyakit begitu pula ikan-ikan yang berada di sekitar sana.
Setelah 2 jam kuliah dan berdiskusi tidak terasa waktu berbuka sudah hampir masuk, dan kami pun bersiap untuk berbuka puasa. Sebenarnya masih banyak materi yang ingin disampaikan oleh Pak El, dan akan kita sambung di lain waktu. Setelah berbuka, seperti biasa para partisipan dan fasilitator saling meng-update perkembangan riset lapangan dan mendiskusikannya.
Kuliah Perkembangan Pertanian Solok Jum’at, 16 Juni 2017, lalu lokakarya Kultur Daur Subur yang diselengarakan oleh Gubuak Kopi sudah memasuki hari ketujuh.
0 notes