Tumgik
#indonesiapuisi
themysterious-sense · 3 years
Text
California in Love (Part 2)
Tumblr media
Dylan's POV
**** 3 tahun kemudian ****
Desember, 2021
Aku mendongakkan kepalaku ke arah langit. Ku lihat awan telah berkerumun menjadi suatu gumpalan besar. Gumpalan pekat, yang membawa segunung air. Sebentar lagi akan hujan, batinku.
Aku beralih ke arah jam tangan yang melilit di tangan kananku ini.
Pukul 8 lebih pagi.
Aku lantas memasuki mobil, lalu membiarkan sang supir membawa mobilku ke tempat di mana aku akan singgah nanti.
Macet. Sangat. Ya, suatu ciri khas dari kota metropolitan yang amat sibuk dan ramai ini. Jakarta.
Tetesan hujan mulai menyerbu kaca mobilku. Kilat juga beberapa kali mulai menyambar. Aku pun hanya termenung di sana, menatap ke luar hanya dengan tatapan kosong.
Tanggal 15 di bulan Desember. Aku ingat hari ini.
Ya, hari di mana aku menganggap diriku sendiri adalah orang terbodoh yang pernah lahir di muka bumi.
Hari di mana... aku melepas kebahagiaanku. Hari di mana... aku terakhir kalinya melihat senyumnya, tawanya, mata indahnya, dan bahkan... tetesan air matanya.
Aku ingat hari itu. Tepatnya tiga tahun silam, di kota California, Amerika Serikat.
****
"Maaf?" tanya perempuan itu, "ma-maaf kenapa, Dylan?
Aku bergeming beberapa saat, lalu mataku beralih menyapa mata indahnya. Kina. Mata indah itu berkilauan, dengan raut wajah resahnya.
Aku berdeham, mempersiapkan kalimat yang segera ingin ku lontarkan. "Maaf, kita kayaknya... enggak bisa lanjut, Na," kataku.
Kina terdiam beberapa detik. Dan masih, ia meremas baju dinginku ini. Tatapan matanya kali ini meredam. Dan dengan perlahan, ia melepas cengkramannya dari bajuku.
"Maksudnya?" tanya perempuan itu.
"Iya. Aku ngerasa hubungan kita ini udah enggak ada apa-apanya, Na. Dan aku... lihat kamu... udah hampa," ucapku, yang menghadirkan butiran air mata dari sebelah matanya.
"Dan—" Aku terdiam saat itu, memandang wajahnya dalam balutan perasaan cemasku. Aku melihat air mata Kina yang menetes. Dan tidak tahu mengapa, aku seperti tidak sanggup melihatnya tersiksa seperti ini.
"Dan apa lagi?!" pekik perempuan di hadapanku. "Dan ada cewek lain?" tanyanya lagi.
Hening.
Bisingnya aktifitas jalan raya yang bercampuran oleh terpaan angin sejuk itu menjadi satu, berkeliling dan meramaikan gendang telingaku. Sementara diriku sendiri masih membisu, tidak tega untuk mengatakan hal itu.
"Iya," ungkapku yang akhirnya bersuara.
Aku pun tersadar kala itu, bahwa, sayatan tajam telah berhasil menggores dalam hati ini. Aku merasa dirasuki oleh sesuatu, hingga kalimat bodoh itu pun terucap oleh mulutku.
Aku... melihat dia... yang menangis karena ku.
Kina membatu dalam beberapa menit, memandangku dengan titisan air matanya yang makin menderas. Kalimat yang keluar dari mulutku itu seakan-akan telah berhasil membekukan sekujur tubuhnya. Yang membuatnya hanya diam terpaku.
"Siapa?" tanya Kina, suara itu bergetar, dan bahkan hampir berbisik. "Teman kampus kamu, kah?" tanyanya lagi.
Kesunyian menyerangku. Aku melihat Kina yang meremas pelan dadanya. Menekan dada itu sekuat mungkin. Aku tahu arti itu. Ya, sebuah kebiasaan baginya yang mengartikan bahwa ia sudah terlalu sakit. Hingga ia tak sanggup untuk menahannya lagi.
Aku lantas meraih tubuh mungilnya. "Kina?" panggilku dengan lembut. Aku... tidak sanggup melihatnya seperti ini.
"Na?" panggilku lagi. Dan masih, perempuan itu hanya menangis, menunduk, dan menekan keras dadanya.
"Heei...," ucapku lembut, seraya menyelipkan helaian rambutnya ke balik telinganya. Ya, sebuah pergerakan refleks olehku. Dan ini memang sudah menjadi suatu kebiasaan bagiku.
Kina mengatur napas sulitnya. Lantas ia berkata, "Kamu lupa siapa yang selama ini ngedukung kamu? Sampai kamu bisa ada di sini? Mimpi-mimpi kamu? Cita-cita kamu?"
Senyap.
"Kamu lupa sama apa aja yang udah kita laluin?" katanya.
Lagi-lagi, senyap.
"Secepat itu kamu bisa gantiin aku dengan cewek lain, Lan. Secepat itu kamu bisa lupain... kenangan kita." Kina berkata lirih.
Aku masih terdiam, mencerna apa yang sedang terjadi, lalu memutar kembali memori indah bersama perempuan di hadapanku ini. Dan saat itu aku semakin yakin bahwa... tindakan ini adalah hal terbodoh yang pernah ku lakukan untuk Kina. Untuk cinta pertamaku, bahkan, untuk ciuman pertamaku.
Ya, aku masih ingat kecupan lembut itu.
"Na...," panggilku, ingin menarik kembali perkataanku sebelumnya.
Tapi sayang, Kina langsung menepis kasar pergerakanku. Dan saat itu ia berkata, "Hari ini adalah hari terakhir aku ngelihat kamu." Simbah air mata masih membanjiri kedua pipinya yang merona.
Dan ia... lari dariku.
"Kina!" pekikku dengan lantang. Derap langkah lebarku mengikuti jejak kakinya.
Tapi sayangnya, sesuatu memutus langkah kakiku begitu saja. Lajunya kendaraan menutupi langkahku untuk meraihnya. Aku lihat dia yang berlari ke arah barat. Lalu secara lekas ku berlari ke arahnya sesaat setelah kendaraan itu sirna.
Tapi nahasnya, aku tidak dapat menemukannya.
Sejak saat itu, sejak hari itu, aku sulit untuk mendapatkan keberadaannya. Aku pulang ke Indonesia setelah satu tahun kejadian itu berlalu. Aku sudah mencarinya ke mana pun. Tapi, hasilnya selalu nihil.
Ia memblokir nomorku, lalu ia pindah apartemen setelah ia pulang dari Los Angeles. Ia menghindar dariku. Ia tidak ingin menemuiku. Ia melarang orang-orang memberitahuku di mana ia berada, dan ia menghapusku dari seluruh sosial medianya. Seakan-akan, ia benar-benar sudah menghapusku dari hidupnya.
Aku... tidak dapat menemukannya.
Dan sekarang, serpihan luka masih membekas jelas di dadaku. Penyesalan juga masih merekat lengket di kepalaku.
Aku... telah kehilangan kebahagiaanku, selamanya.
****
"Sudah sampai, Mas Dylan!" kata supirku, memadamkan ingatan pedih itu.
Aku tersentak. "O-oh iya. Makasih ya, Pak," balasku kepada supir setiaku ini, lalu dengan segera aku keluar dari mobil.
Syukurlah, cuaca di daerah ini terlihat cerah dan tidak mendung, pikirku.
Mataku lantas berputar ke arah suatu tulisan yang terpampang jauh di ujung sana.
Keberangkatan Internasional
International Departure
Tiga tahun berlalu semenjak kejadian pahit itu. Dan kini, aku akan kembali ke sana, ke California, Los Angeles.
****
****
****
—To be continued
Written by : Me (sunflower)
Check out the first part on my profile!
3 notes · View notes
machikoareum · 5 years
Text
20.09
Aku capek.
Udah itu aja :v
2 notes · View notes
themysterious-sense · 3 years
Text
California in Love (Part 1)
Tumblr media
Kina's POV
Desember, 2018
Aku menginjakkan kaki di atas aspal berselimut salju. Coat cokelat milik sahabatku ini memang menenggelamkan diriku. Sarung tangan rajut buatanku pun masih senantiasa memeluk lekat kedua tanganku. Tapi, ku sadar bahwa dingin itu masih saja menggelendoti tubuhku ini. Dingin itu seolah-olah menerobos masuk ke sendi-sendi tulangku!
Ya, kali pertamanya untukku, ku bisa merasakan dinginnya butiran salju. Pertama kali juga untukku, berdiri tegak di sebuah negara Paman Sam ini. Alias, Amerika Serikat.
Aku menggesek berulang kali kedua tanganku, mencoba semampu mungkin menciptakan kehangatan alami dari tubuh ini. Yah, meskipun aku tidak bisa merasakan kehangatan itu sedikit pun.
Aku lalu menghela napas panjang, seraya menilik tajam ponsel milikku ini.
Pupilku dengan jeli menatap sebuah aplikasi yang menampilkan sebuah peta. Perlahan juga aku perbesar peta itu, mencoba semampu mungkin menemukan lokasi itu. Lokasi di mana... aku dan dia akan bertemu. Aku berjalan beberapa langkah. Sedikit lagi sampai, pikirku menggebu-gebu.
Lantas, aku melihat sosok itu.
Ya, sosok yang selama ini sangat ku rindukan. Sosok yang selalu berkeliling di benakku. Dan sosok yang... membuatku nekat untuk datang ke negeri besar ini. "Dylan?" panggilku. Ia pun berpaling ke arahku. Sudah lama sekali, pikirku. Aku pun secara lekas memeluk tubuh tinggi itu seerat mungkin. Aku menjinjitkan kedua kakiku, mencoba semampu mungkin meraih lehernya. Aku juga bisa merasakan ia yang mengelus pelan punggungku. "Dylan! Aku kangen banget sama kamu, sayang," ucapku gemetaran, diiringi dengan serpihan-serpihan salju yang hinggap di wajahku ini. Aku tersenyum semringah. Tapi, aku sadar saat itu bahwa... tatapan Dylan terlihat kosong.
Kosong, dan bahkan hampa.
Ia sakit kah? Batinku.
Senyap. Dan dalam kesenyapan itu, aku meneliti jelas wajah tampannya ini. Dahinya itu bertautan ringan, lalu tatapan matanya hanya tertuju ke arah bawah. Seakan-akan, ia tidak ingin menangkap kedua pupil mataku. Sesuatu telah terjadi. Ya.
"Kamu kenap—"
"Kina...," potong Dylan, menyetop langsung kalimatku.
"Maaf," katanya lagi, tanpa melirikku sekali pun.
Detakan keras menerjang jantungku. Tubuhku seperti melemah seketika. Dan, ketakutan luar biasa itu datang menyerang benakku. Aku khawatir. Ya, sangat khawatir.
"Maaf?" tanyaku heran, "ma-maaf kenapa, Dylan?"
—to be continued
Written by : Me (Sunflower)
***
2 notes · View notes
themysterious-sense · 3 years
Text
Diary of a woman named Clara.
Aku sudah berusaha. Aku pun sudah memohon padanya. Bahkan, kata-kata itu terucap ditemani oleh beberapa titik air mataku yang mengalir.
Mataku berkilauan. Sementara hatiku tengah berputar, menciptakan sebuah gejolak yang cukup dahsyat. Aku bisa merasakan suatu tekanan yang merambak dalam dada ini, yang memunculkan nyeri luar biasa.
Pupilku lantas dengan tajam memandangnya. Mata besarnya pun juga beralih ke arahku. Alis pekatnya bertautan, memandangku dengan tatapan yang aku tidak tahu apa maksudnya.
Mulutku terkatup beberapa saat. Lalu dengan napas yang sulit, aku berkata, bahwa aku baik-baik saja. Ya, sebuah kebohongan yang keluar dari mulutku.
Keheningan merajai mulutku. Tapi kegaduhan terjadi di benakku.
Sudah beberapa kali ku katakan padanya. Dan sudah beberapa kali juga ia meminta maaf. Tapi tanpa disangka, kejadian itu terulang kembali. Yang secara otomatis, membuat mulutku lelah untuk menjelaskan ulang penyebabnya.
Ia tidak pernah peka. Ia tidak sadar, bahwa ia menyakiti hatiku, menggores dalam hati ini.
Tapi aku pun tahu, bahwasanya, ia menyadari kesalahannya. Ia hanya malas, malas untuk melayani kemauanku.
Kenapa dia bersikap acuh tak acuh? Aku pun tidak tahu. Itu memang masih menjadi misteri.
2 notes · View notes
themysterious-sense · 3 years
Text
California in Love (Part 5)
Kina's POV
Pukul 05.50 sore.
Aku meletakkan kedua tanganku di saku baju dinginku. Baju dingin super tebal yang kupakai memang belum berhasil meredamkan dingin ini. Aku kedinginan luar biasa!
Aku sedang berada di ruangan hotel atasanku, merapikan beberapa berkas penting yang akan dibawa besok. Aku harus segera membereskan ini semua sebelum Dylan datang, pikirku, seraya mengemas kertas-kertas ini dengan tergesa-gesa.
"Na?" panggil atasanku, yang menyetop langsung gerak-gerikku. "Nanti keponakan saya datang. Dylan. Tolong bukain pintu, ya?" ucapnya sebelum ia menutup pintu kamar mandi.
Aku terperanjat akan kalimat itu. Lantas, aku pun mengangguk kikuk. "Iya, Bu Dina," balasku.
Nahasnya, sebelum Bu Dina keluar dari kamar mandi, seseorang sudah tak sabar untuk memasuki ruangan ini.
Ting tong....
Deg!
Mulutku terkatup rapat. Tapi, jantungku lah yang merespon bunyi bel pintu itu. Ku yakin, itu Dylan.
Aku berdiri dari dudukku, lalu beralih ke arah pintu kamar mandi. Bu Dina masih lama enggak, ya? Batinku.
Ting tong....
Aku menghela napasku, lalu dengan lekas aku berjalan membuka pintu itu, dan... ya, itu Dylan.
Aku menangkap raut kagetnya ketika ia melihatku. Kedua matanya membulat dengan cepat, bersamaan dengan kedua alisnya yang terangkat.
Aku melihat... sudut bibirnya yang terangkat minim. Ya, ia tersenyum ke arahku. Tapi sayang, diriku masih menolak untuk membalas senyuman itu.
Aku akhirnya mempersilahkannya untuk masuk. Yang tentunya, tanpa berkata sedikit pun.
"Hai, Na. Kamu sendirian?" Suara berat itu berkumandang di telingaku.
Aku menatapnya lekat, hingga akhirnya....
"Eh, Lan. Yuk duduk, Lan!" ucap atasanku yang akhirnya bertemu dengan keponakannya ini.
Akhirnya Bu Dina keluar juga, batinku lega.
Dylan bergeming. Ia lalu melihat kembali ke arahku. Ya, aku memang belum sempat menjawab pertanyaannya. Bahkan, aku juga tidak menjawab sapaannya tadi.
Maaf, Dilan, batinku.
Aku di sini hanya menunjukan senyum paksaku di antara obrolan mereka berdua. Dan masih, aku berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku.
Beberapa menit pun berlalu, hingga suasana tetiba saja hening. Aku pun ikut membisu, dan tidak ingin menangkap salah satu mata dari mereka berdua.
Sampai akhirnya, atasanku memekik, "OH IYA! Ya ampun tante belum sholat maghrib, Lan! Bentar ya tante kelupaan gara-gara kamu!" kekehnya.
Mataku melebar ketika mendengar kalimat itu. Aku lalu menelan ludahku dengan sulit, mencoba membasahkan tenggorokanku yang gersang. Mencoba juga menghilangkan raut panik yang terpampang lewat parasku ini.
Itu berarti... Ibu Dina meninggalkanku berdua saja dengan Dylan, kah?!
Tumblr media
Hening.
Kami berdua diam, dan tidak ada satu pun dari kami yang membuka percakapan. Mungkin Dylan sudah menyerah untuk mengajakku bercakap, pikirku.
Ya, sejak siang tadi ia memang mencoba untuk berbincang denganku. Tapi sayangnya, beberapa kali ia mengajak berbual, beberapa kali juga aku mengabaikannya.
Memang, aku ini... masih tidak kuasa rasanya untuk berbincang-bincang dengan Dylan. Rasa canggung dan asing itu masih menguasaiku.
Lantas, aku pun menyadari sesuatu.
Pupilku secara perlahan bergerak ke arah kiriku. Aku melihat Dylan di sana tengah memperbaiki gelang miliknya. Ya, gelang bulan sabitnya.
Hatiku berguncang. Aku memperhatikan dia dengan jeli, bahwasanya, ia dengan susah payah ingin menyatukan benang-benang yang terlerai itu menjadi satu. Seakan-akan, ia tidak ingin gelang itu lepas berhamburan.
Aku berdeham, lalu berkata dengan lirih, "Kenapa enggak dibuang aja?"
Tak disangka, perkataanku itu menghentikan pergerakan Dylan. Ia lalu berpaling ke arahku. Dan kini, kami bertatapan.
Dylan tersenyum tipis. Lantas ia berkata, "Ini barang berharga untukku."
Sesuatu seperti menggelitik hatiku ketika kalimat itu terucap dari mulut Dylan.
"Aku...," gantungnya. "Aku udah kehilangan seseorang yang sangat berharga bagiku. Dan kali ini, aku enggak mau kehilangan barang yang menurutku sangat berharga juga," katanya, mendegupkan hatiku secara langsung.
Aku hanya membatu. Perkataan itu telah berhasil melahirkan segerombol kupu-kupu yang sama sekali tidak aku harapkan.
Aku lalu memilih diam, memainkan jemari tanganku sembari menundukan pandanganku ke bawah, ingin membuang tatapan matanya dariku sesegera mungkin. Kemudian...
"Ini bukan cuman barang untukku. Tapi, juga kenangan," ucap Dylan.
Aku menatapnya kali ini.
Hening. Dan dalam keheningan malam itu, aku merasakan sebuah kehangatan dalam ruangan ini. Tatapan matanya seolah-olah menelan hawa dingin yang sejak tadi menggelantungi ragaku. Tatapan itu begitu hangat. Dan aku sadar bahwa... aku merindukan tatapan itu.
Ya, aku merindukan seorang Dylan.
—To be continued
Written by : Me
Check out the previous parts in my profile!
3 notes · View notes
themysterious-sense · 3 years
Text
California in Love (Part 7)
Tumblr media
Aku mungkin kehilangan kebahagiaanku di California, tapi, aku akan berusaha semampu mungkin untuk merenggut kebahagiaanku kembali di sana. Di California, Amerika Serikat.
Dylan's POV
Aku menangkap sinar mata Kina. Ternampak juga olehku, bahwa titik es salju telah hinggap di beberapa helai rambutnya.
Aku... berdebaran secara tiba-tiba. Aku hanya takut, ia pergi begitu saja hanya karena perkataanku ini. Permintaan maafku ini.
"Mau ngomong apa?" tanya perempuan itu kepadaku.
Aku menelan ludahku dengan penuh tenaga, menyiapkan kemampuanku untuk melontarkan kalimat ini.
"Maafin aku, Kina...."
Hening....
Aku masih berpaling penuh ke arah kiriku, ke arah Kina yang sedang duduk di sebelahku.
Ingin rasanya aku raih tangan itu, lalu menghangatkannya dalam genggaman bulat tanganku ini. Tapi tidak, hal itu masih terlalu lancang menurutku.
"Waktu itu... aku bener-bener---"
"Kayaknya kita harus pulang deh," potong patah perempuan itu.
"Bu Dina udah chat aku nih," katanya, lalu ia langsung bangkit begitu saja dari duduknya.
Aku bergeming, mencoba mencerna apa yang ia perbuat.
Bahkan aku pun tak tahu, perkataannya itu memanglah nyata atau hanya sekedar... sebuah alasan untuk menghindar dariku?
Lantas ia pun berjalan lurus ke arah depan. Menghindar begitu saja dariku.
Aku masih terpaku. Sakit rasanya hati ini. Tapi aku tak akan menyerah, pikirku. Lantas aku pun bersuara, "Aku nyesel akan hal itu."
Kina menghentikan langkahnya.
Terjadi keheningan panjang di antara kami. Sampai akhirnya aku kembali berkata, "Aku bodoh," kataku. "Aku ngelepas kebahagiaanku yang sesungguhnya, dan dengan tololnya aku milih perempuan lain."
Masih, hening.
Aku melangkah ke arahnya. Ku lihat ia masih diam membungkam. Tangannya mengepal kuat, seakan ia tengah menahan suatu emosi dalam dirinya. Suatu emosi yang sepertinya... belum dapat tersalurkan.
"Kina?" panggilku.
Ia masih diam, enggan untuk berpaling ke arahku.
"Aku enggak mau ngomongin ini," katanya, "udah jelas dari awal, kalau emang kamu nyakitin aku."
"Aku tahu aku salah. Dan aku nyesel udah milih jalan yang salah. Di saat kamu lari dari aku, di saat itulah aku nganggep diriku ini orang yang paling bodoh, Na."
"Aku... udah ngelepas kebahagiaanku yang sesungguhnya. Aku udah buat kamu lari gitu aja dari hidupku. Dan sayangnya, saat aku ngejar kamu, aku enggak bisa temuin kamu lagi, Kina."
"Kamu benar-benar menghilang dari hidupku. Dan bulan sabitku, enggak akan pernah utuh tanpa kamu...."
Lantas....
"Kamu ngomong apa sih? Bulan sabit apa?" katanya. Ia membalik badannya ke arahku.
"Cukup, Dylan, aku enggak mau denger!" ketus Kina padaku. "Aku udah lupain itu semua. Dan aku--"
"Oh, ya?" selaku, "then? Kenapa kamu masih simpan gelang itu?"
"Huh?" ucap Kina. Wajahnya menegang secara perlahan. Kedua alisnya mengerut tipis, lalu sorot matanya terlihat kosong. Sesuatu tengah berputar dalam benaknya, pikirku.
Aku melangkah mendekat. Dan semakin aku dekat, semakin terlihat jelas kehampaan dari wajahnya itu. Bening air matanya terkuras minim. Ya, aku bisa melihat dalam kegelapan genangan air itu.
"Gelang bulan sabit," kataku. "Aku lihat kamu masih simpen di tas kamu."
Kina lantas tertawa lirih. "Oh, lancang, ya, ngintip-ngintip tas orang?!" cetusnya padaku. Suaranya meninggi. Juga, bergetar.
Aku membeku beberapa saat. Sesungguhnya aku tak sengaja melihat itu dalam tasnya. Dan bukan, aku bukan mengobrak-abrik isi tasnya!
Kina berpaling pergi dariku.
Lantas, aku pun kembali bersuara, "I still love you...."
Tak kusangka, kalimat itu telah berhasil menyetop pergerakannya. Aku kemudian mengulang mantraku kembali, "I love you, Na."
...
...
--To be continued
Written by me
check out the previous parts on my profile!
0 notes