Tumgik
#indonesiapoem
mycieloblu · 6 years
Text
Kamu imajiku
Tumblr media
Dalam ruang imajiku
Kau hadir kala senja mengangkasa
Memadu keselarasan pada cakrawalaku
Perlahan kau selipkan jemarimu
Pada ruang yang Tuhan ciptakan
Diantara rapuhnya jemariku
Rekah senyum kau lukiskan pada parasmu
Teduh tatapmu buatku luluh
Tiada yang tau,
Bahkan kau tak perlu tau
Biar aku saja yang tau
Dan kuyakini penciptamu pasti tau
Aku tak mau bermuluk
Cukuplah bagiku menjadi seorang penikmat
Karena akhirnya ku tau
Perlahan kau mengabur
Bersama senja yang dikoyak sang malam
Kamu, Imajiku.
—RLV
3 notes · View notes
bonitoapplebomb · 6 years
Text
HTM
Hujan turun di atas komputer
Layar menghitam
Membuat waktu jadi copywriter
Hari-hariku makin kelam
Aku coba banting setir jadi broker
Gaji umr tapi punya anak haram
Awal bulan saatnya beli rice cooker
Sirup marjan, nasi, trus sayur sop yang kurang garam
0 notes
saeeraaa · 7 years
Text
Kau pernah berjanji untuk terus berada disampingku. ketika aku tersandung kerikil kecil , kau tak jua ikut membantuku berdiri. Kau berlari tanpa menoleh lagi.
__saeeraaa
1 note · View note
coelogynepandurata · 8 years
Text
Sajak Rindu
Malam ini malam minggu
Aku rindu...
Dan ini selalu
Mengapa begitu
Bagaikan candu
Perlukah kamu tahu?
Agar hati selalu menyatu
layaknya paku dan kayu.
Aku rindu...
tapi jarak selalu menggangu.
Ini aku
untu kamu, yang tak pernah ku ragu
- A.L
2 notes · View notes
lama-lamarindu · 8 years
Text
selamat ulang-tahun
selamat hari kelahiran
untuk manusia yang kudambakan
20 notes · View notes
themysterious-sense · 3 years
Text
California in Love (Part 1)
Tumblr media
Kina's POV
Desember, 2018
Aku menginjakkan kaki di atas aspal berselimut salju. Coat cokelat milik sahabatku ini memang menenggelamkan diriku. Sarung tangan rajut buatanku pun masih senantiasa memeluk lekat kedua tanganku. Tapi, ku sadar bahwa dingin itu masih saja menggelendoti tubuhku ini. Dingin itu seolah-olah menerobos masuk ke sendi-sendi tulangku!
Ya, kali pertamanya untukku, ku bisa merasakan dinginnya butiran salju. Pertama kali juga untukku, berdiri tegak di sebuah negara Paman Sam ini. Alias, Amerika Serikat.
Aku menggesek berulang kali kedua tanganku, mencoba semampu mungkin menciptakan kehangatan alami dari tubuh ini. Yah, meskipun aku tidak bisa merasakan kehangatan itu sedikit pun.
Aku lalu menghela napas panjang, seraya menilik tajam ponsel milikku ini.
Pupilku dengan jeli menatap sebuah aplikasi yang menampilkan sebuah peta. Perlahan juga aku perbesar peta itu, mencoba semampu mungkin menemukan lokasi itu. Lokasi di mana... aku dan dia akan bertemu. Aku berjalan beberapa langkah. Sedikit lagi sampai, pikirku menggebu-gebu.
Lantas, aku melihat sosok itu.
Ya, sosok yang selama ini sangat ku rindukan. Sosok yang selalu berkeliling di benakku. Dan sosok yang... membuatku nekat untuk datang ke negeri besar ini. "Dylan?" panggilku. Ia pun berpaling ke arahku. Sudah lama sekali, pikirku. Aku pun secara lekas memeluk tubuh tinggi itu seerat mungkin. Aku menjinjitkan kedua kakiku, mencoba semampu mungkin meraih lehernya. Aku juga bisa merasakan ia yang mengelus pelan punggungku. "Dylan! Aku kangen banget sama kamu, sayang," ucapku gemetaran, diiringi dengan serpihan-serpihan salju yang hinggap di wajahku ini. Aku tersenyum semringah. Tapi, aku sadar saat itu bahwa... tatapan Dylan terlihat kosong.
Kosong, dan bahkan hampa.
Ia sakit kah? Batinku.
Senyap. Dan dalam kesenyapan itu, aku meneliti jelas wajah tampannya ini. Dahinya itu bertautan ringan, lalu tatapan matanya hanya tertuju ke arah bawah. Seakan-akan, ia tidak ingin menangkap kedua pupil mataku. Sesuatu telah terjadi. Ya.
"Kamu kenap—"
"Kina...," potong Dylan, menyetop langsung kalimatku.
"Maaf," katanya lagi, tanpa melirikku sekali pun.
Detakan keras menerjang jantungku. Tubuhku seperti melemah seketika. Dan, ketakutan luar biasa itu datang menyerang benakku. Aku khawatir. Ya, sangat khawatir.
"Maaf?" tanyaku heran, "ma-maaf kenapa, Dylan?"
—to be continued
Written by : Me (Sunflower)
***
2 notes · View notes
udarasegar-blog · 8 years
Quote
Barangkali aku adalah pagi Yang melewatkan sunrise karena ketiduran dan menunggu datangnya sunset
Suara pagi 03.30
2 notes · View notes
mpurnama-blog · 11 years
Text
SEDERHANA
Hai gelap yang bersinar. Bibir kelu nan kaku ini mulai merekah. Hanya karena kejadian kecil yang acapkali terjadi.
ya, itulah mengapa Bahagia itu SEDERHANA
saya. tempoharidibulanfebruari.
0 notes
themysterious-sense · 3 years
Text
Diary of a woman named Clara.
Aku sudah berusaha. Aku pun sudah memohon padanya. Bahkan, kata-kata itu terucap ditemani oleh beberapa titik air mataku yang mengalir.
Mataku berkilauan. Sementara hatiku tengah berputar, menciptakan sebuah gejolak yang cukup dahsyat. Aku bisa merasakan suatu tekanan yang merambak dalam dada ini, yang memunculkan nyeri luar biasa.
Pupilku lantas dengan tajam memandangnya. Mata besarnya pun juga beralih ke arahku. Alis pekatnya bertautan, memandangku dengan tatapan yang aku tidak tahu apa maksudnya.
Mulutku terkatup beberapa saat. Lalu dengan napas yang sulit, aku berkata, bahwa aku baik-baik saja. Ya, sebuah kebohongan yang keluar dari mulutku.
Keheningan merajai mulutku. Tapi kegaduhan terjadi di benakku.
Sudah beberapa kali ku katakan padanya. Dan sudah beberapa kali juga ia meminta maaf. Tapi tanpa disangka, kejadian itu terulang kembali. Yang secara otomatis, membuat mulutku lelah untuk menjelaskan ulang penyebabnya.
Ia tidak pernah peka. Ia tidak sadar, bahwa ia menyakiti hatiku, menggores dalam hati ini.
Tapi aku pun tahu, bahwasanya, ia menyadari kesalahannya. Ia hanya malas, malas untuk melayani kemauanku.
Kenapa dia bersikap acuh tak acuh? Aku pun tidak tahu. Itu memang masih menjadi misteri.
2 notes · View notes
themysterious-sense · 3 years
Text
California in Love (Part 5)
Kina's POV
Pukul 05.50 sore.
Aku meletakkan kedua tanganku di saku baju dinginku. Baju dingin super tebal yang kupakai memang belum berhasil meredamkan dingin ini. Aku kedinginan luar biasa!
Aku sedang berada di ruangan hotel atasanku, merapikan beberapa berkas penting yang akan dibawa besok. Aku harus segera membereskan ini semua sebelum Dylan datang, pikirku, seraya mengemas kertas-kertas ini dengan tergesa-gesa.
"Na?" panggil atasanku, yang menyetop langsung gerak-gerikku. "Nanti keponakan saya datang. Dylan. Tolong bukain pintu, ya?" ucapnya sebelum ia menutup pintu kamar mandi.
Aku terperanjat akan kalimat itu. Lantas, aku pun mengangguk kikuk. "Iya, Bu Dina," balasku.
Nahasnya, sebelum Bu Dina keluar dari kamar mandi, seseorang sudah tak sabar untuk memasuki ruangan ini.
Ting tong....
Deg!
Mulutku terkatup rapat. Tapi, jantungku lah yang merespon bunyi bel pintu itu. Ku yakin, itu Dylan.
Aku berdiri dari dudukku, lalu beralih ke arah pintu kamar mandi. Bu Dina masih lama enggak, ya? Batinku.
Ting tong....
Aku menghela napasku, lalu dengan lekas aku berjalan membuka pintu itu, dan... ya, itu Dylan.
Aku menangkap raut kagetnya ketika ia melihatku. Kedua matanya membulat dengan cepat, bersamaan dengan kedua alisnya yang terangkat.
Aku melihat... sudut bibirnya yang terangkat minim. Ya, ia tersenyum ke arahku. Tapi sayang, diriku masih menolak untuk membalas senyuman itu.
Aku akhirnya mempersilahkannya untuk masuk. Yang tentunya, tanpa berkata sedikit pun.
"Hai, Na. Kamu sendirian?" Suara berat itu berkumandang di telingaku.
Aku menatapnya lekat, hingga akhirnya....
"Eh, Lan. Yuk duduk, Lan!" ucap atasanku yang akhirnya bertemu dengan keponakannya ini.
Akhirnya Bu Dina keluar juga, batinku lega.
Dylan bergeming. Ia lalu melihat kembali ke arahku. Ya, aku memang belum sempat menjawab pertanyaannya. Bahkan, aku juga tidak menjawab sapaannya tadi.
Maaf, Dilan, batinku.
Aku di sini hanya menunjukan senyum paksaku di antara obrolan mereka berdua. Dan masih, aku berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku.
Beberapa menit pun berlalu, hingga suasana tetiba saja hening. Aku pun ikut membisu, dan tidak ingin menangkap salah satu mata dari mereka berdua.
Sampai akhirnya, atasanku memekik, "OH IYA! Ya ampun tante belum sholat maghrib, Lan! Bentar ya tante kelupaan gara-gara kamu!" kekehnya.
Mataku melebar ketika mendengar kalimat itu. Aku lalu menelan ludahku dengan sulit, mencoba membasahkan tenggorokanku yang gersang. Mencoba juga menghilangkan raut panik yang terpampang lewat parasku ini.
Itu berarti... Ibu Dina meninggalkanku berdua saja dengan Dylan, kah?!
Tumblr media
Hening.
Kami berdua diam, dan tidak ada satu pun dari kami yang membuka percakapan. Mungkin Dylan sudah menyerah untuk mengajakku bercakap, pikirku.
Ya, sejak siang tadi ia memang mencoba untuk berbincang denganku. Tapi sayangnya, beberapa kali ia mengajak berbual, beberapa kali juga aku mengabaikannya.
Memang, aku ini... masih tidak kuasa rasanya untuk berbincang-bincang dengan Dylan. Rasa canggung dan asing itu masih menguasaiku.
Lantas, aku pun menyadari sesuatu.
Pupilku secara perlahan bergerak ke arah kiriku. Aku melihat Dylan di sana tengah memperbaiki gelang miliknya. Ya, gelang bulan sabitnya.
Hatiku berguncang. Aku memperhatikan dia dengan jeli, bahwasanya, ia dengan susah payah ingin menyatukan benang-benang yang terlerai itu menjadi satu. Seakan-akan, ia tidak ingin gelang itu lepas berhamburan.
Aku berdeham, lalu berkata dengan lirih, "Kenapa enggak dibuang aja?"
Tak disangka, perkataanku itu menghentikan pergerakan Dylan. Ia lalu berpaling ke arahku. Dan kini, kami bertatapan.
Dylan tersenyum tipis. Lantas ia berkata, "Ini barang berharga untukku."
Sesuatu seperti menggelitik hatiku ketika kalimat itu terucap dari mulut Dylan.
"Aku...," gantungnya. "Aku udah kehilangan seseorang yang sangat berharga bagiku. Dan kali ini, aku enggak mau kehilangan barang yang menurutku sangat berharga juga," katanya, mendegupkan hatiku secara langsung.
Aku hanya membatu. Perkataan itu telah berhasil melahirkan segerombol kupu-kupu yang sama sekali tidak aku harapkan.
Aku lalu memilih diam, memainkan jemari tanganku sembari menundukan pandanganku ke bawah, ingin membuang tatapan matanya dariku sesegera mungkin. Kemudian...
"Ini bukan cuman barang untukku. Tapi, juga kenangan," ucap Dylan.
Aku menatapnya kali ini.
Hening. Dan dalam keheningan malam itu, aku merasakan sebuah kehangatan dalam ruangan ini. Tatapan matanya seolah-olah menelan hawa dingin yang sejak tadi menggelantungi ragaku. Tatapan itu begitu hangat. Dan aku sadar bahwa... aku merindukan tatapan itu.
Ya, aku merindukan seorang Dylan.
—To be continued
Written by : Me
Check out the previous parts in my profile!
3 notes · View notes
themysterious-sense · 3 years
Text
California in Love (Part 3)
Dylan POV
San Francisco, California
Aku melilitkan syal di sekujur leherku. Mengeratkan juga coat tebal yang sedang ku kenakan ini. Lalu, sebuah getaran hebat muncul dari dalam kantung baju dinginku.
Drrrtt...
Sebuah pesan masuk.
Tante Dina : Dylan... tante udh otw ya. Tante baru selesai meeting
Ibu jariku bergerak, membalas pesan dari tanteku ini.
Dylan : Oke tan, see you!
Aku melanjutkan jalanku. Aku memang baru saja bertemu dengan rekan kerjaku. Ya, salah satu alasan mengapa aku kembali ke sini adalah untuk urusan pekerjaanku.
Aku lalu menghela napas seraya menjelajahi sekitar. Ku pandang kota besar ini dengan senyuman tipisku. Salju sudah berjatuhan secara samar. Dan, kenangan semasa kuliah terlintas jelas dalam benakku. Masa-masa kuliah yang tak terlupakan.
Lantas, senyumku pun surut secara perlahan ketika ku mengingat kenangan pahit itu. Ya, ketika dengan tololnya aku memilih perempuan yang baru ku kenal dibandingkan dengan seorang Kina.
Dan sampai sekarang, aku masih tidak bisa memaafkan diriku sendiri.
Waktu berlalu, hingga jam berhenti di angka 12.30 siang.
Aku duduk di sebuah kedai kopi di area San Francisco. Mataku masih fokus melihat ke arah ponsel. Sampai akhirnya, seseorang duduk di hadapanku.
"Dylan!" sapanya padaku. Ia menepuk ringan bahuku ini, lalu secara lekas pula ia meraihku.
"Eh, hai, Tan. How are you?"
Kami berpelukan.
"Good! Kamu gimana? Ya ampun udah lamaaa banget kita enggak ketemu, Lan! Dari kamu SMA kelas satu, ya?"
Aku terkekeh. "Iya, Tante. Tante sibuk banget sih," candaku.
Ya, tanteku ini memang seorang wanita karir. Ia sering menghabiskan waktunya untuk bekerja dan keliling ke beberapa negara.
Liburan? Atau kerja? Aku pun tidak tahu. Tapi yang pasti, tanteku ini adalah wanita lajang yang pekerja keras. Sebuah definisi workaholic adalah tanteku.
Kami lalu duduk dan mulai berbincang-bincang. Suasana cafe ini memang terbilang cukup tenang. Beberapa orang di belakangku lah yang meramaikan kesepian cafe ini. Aksen british pria paruh baya itu bisa dengan jelas aku terka. Lalu musik jazz pun masih senantiasa melengkapi siang yang sejuk ini.
Aku menyeruput kopiku.
"Kamu udah umur 30 belum ada pacar, Lan?" Tante Dina menggodaku.
Aku lantas tersenyum, memamerkan senyum ringkasku tanpa berkata sepatah pun. Mataku lalu beralih ke arah lain. Perkataan itu telah berhasil mengejutkanku. Membuatku lagi-lagi mengingat sosok itu. Ya, Kina.
Semenjak kejadian menyakitkan tiga tahun yang lalu, memang tidak mudah bagiku untuk menjalin sebuah hubungan baru. Perempuan yang sempat menjadi perusak hubunganku dengan Kina pun ku tinggalkan begitu saja.
Memang benar dugaanku, aku dirasuki sesuatu yang pelik, hingga membuatku meninggalkan seorang Kina tanpa sebab.
Aku pun tidak tahu, bagaimana kabar dia sekarang?
***
***
***
"Bu Dina, untuk jadwal meeting hari Rabu, diganti jadi hari Jumat, Bu...."
Suara tak asing itu menggegerkan indra pendengaranku.
Deg! Jantungku merespon keras kali ini.
Suara itu... membuat sekujur tubuhku seperti disambar oleh sesuatu. Darahku berderai hebat, lalu dengan sigap aku berpaling ke arah sumber suara.
Mataku membulat penuh. Kina??? Batinku meronta-ronta.
Aku membisu dan ternganga,
Mataku kemudian mulai meneliti perempuan itu secara spontan. Aku melihat bibir tipisnya yang bergerak, dengan sebuah ponsel di tangan kirinya, lalu sebuah notebook di tangan kanannya. Ia sedang bercakap dengan tanteku ini.
Asisten Tante Dina, kah?? Batinku lagi. Aku tak kuasa untuk meredamkan wajah tegangku ini. Wajah terkejutku ini. Dan masih, aku tidak menyangka bahwa ini adalah sebuah kenyataan.
Jantungku berdegup begitu intens. Lantas, ia pun berpaling ke arahku....
****
—To be continued
Written by : Me
Check out the previous parts in my profile!
0 notes
themysterious-sense · 3 years
Text
California in Love (Part 7)
Tumblr media
Aku mungkin kehilangan kebahagiaanku di California, tapi, aku akan berusaha semampu mungkin untuk merenggut kebahagiaanku kembali di sana. Di California, Amerika Serikat.
Dylan's POV
Aku menangkap sinar mata Kina. Ternampak juga olehku, bahwa titik es salju telah hinggap di beberapa helai rambutnya.
Aku... berdebaran secara tiba-tiba. Aku hanya takut, ia pergi begitu saja hanya karena perkataanku ini. Permintaan maafku ini.
"Mau ngomong apa?" tanya perempuan itu kepadaku.
Aku menelan ludahku dengan penuh tenaga, menyiapkan kemampuanku untuk melontarkan kalimat ini.
"Maafin aku, Kina...."
Hening....
Aku masih berpaling penuh ke arah kiriku, ke arah Kina yang sedang duduk di sebelahku.
Ingin rasanya aku raih tangan itu, lalu menghangatkannya dalam genggaman bulat tanganku ini. Tapi tidak, hal itu masih terlalu lancang menurutku.
"Waktu itu... aku bener-bener---"
"Kayaknya kita harus pulang deh," potong patah perempuan itu.
"Bu Dina udah chat aku nih," katanya, lalu ia langsung bangkit begitu saja dari duduknya.
Aku bergeming, mencoba mencerna apa yang ia perbuat.
Bahkan aku pun tak tahu, perkataannya itu memanglah nyata atau hanya sekedar... sebuah alasan untuk menghindar dariku?
Lantas ia pun berjalan lurus ke arah depan. Menghindar begitu saja dariku.
Aku masih terpaku. Sakit rasanya hati ini. Tapi aku tak akan menyerah, pikirku. Lantas aku pun bersuara, "Aku nyesel akan hal itu."
Kina menghentikan langkahnya.
Terjadi keheningan panjang di antara kami. Sampai akhirnya aku kembali berkata, "Aku bodoh," kataku. "Aku ngelepas kebahagiaanku yang sesungguhnya, dan dengan tololnya aku milih perempuan lain."
Masih, hening.
Aku melangkah ke arahnya. Ku lihat ia masih diam membungkam. Tangannya mengepal kuat, seakan ia tengah menahan suatu emosi dalam dirinya. Suatu emosi yang sepertinya... belum dapat tersalurkan.
"Kina?" panggilku.
Ia masih diam, enggan untuk berpaling ke arahku.
"Aku enggak mau ngomongin ini," katanya, "udah jelas dari awal, kalau emang kamu nyakitin aku."
"Aku tahu aku salah. Dan aku nyesel udah milih jalan yang salah. Di saat kamu lari dari aku, di saat itulah aku nganggep diriku ini orang yang paling bodoh, Na."
"Aku... udah ngelepas kebahagiaanku yang sesungguhnya. Aku udah buat kamu lari gitu aja dari hidupku. Dan sayangnya, saat aku ngejar kamu, aku enggak bisa temuin kamu lagi, Kina."
"Kamu benar-benar menghilang dari hidupku. Dan bulan sabitku, enggak akan pernah utuh tanpa kamu...."
Lantas....
"Kamu ngomong apa sih? Bulan sabit apa?" katanya. Ia membalik badannya ke arahku.
"Cukup, Dylan, aku enggak mau denger!" ketus Kina padaku. "Aku udah lupain itu semua. Dan aku--"
"Oh, ya?" selaku, "then? Kenapa kamu masih simpan gelang itu?"
"Huh?" ucap Kina. Wajahnya menegang secara perlahan. Kedua alisnya mengerut tipis, lalu sorot matanya terlihat kosong. Sesuatu tengah berputar dalam benaknya, pikirku.
Aku melangkah mendekat. Dan semakin aku dekat, semakin terlihat jelas kehampaan dari wajahnya itu. Bening air matanya terkuras minim. Ya, aku bisa melihat dalam kegelapan genangan air itu.
"Gelang bulan sabit," kataku. "Aku lihat kamu masih simpen di tas kamu."
Kina lantas tertawa lirih. "Oh, lancang, ya, ngintip-ngintip tas orang?!" cetusnya padaku. Suaranya meninggi. Juga, bergetar.
Aku membeku beberapa saat. Sesungguhnya aku tak sengaja melihat itu dalam tasnya. Dan bukan, aku bukan mengobrak-abrik isi tasnya!
Kina berpaling pergi dariku.
Lantas, aku pun kembali bersuara, "I still love you...."
Tak kusangka, kalimat itu telah berhasil menyetop pergerakannya. Aku kemudian mengulang mantraku kembali, "I love you, Na."
...
...
--To be continued
Written by me
check out the previous parts on my profile!
0 notes