PERKARA MATI LAMPU
Jafaar adalah manifestasi Fayyad dengan dimensi dan bentuk jiwa yang berbeda.
Saban kali, gelagat, perkataan, kebiasaan bahkan gerak laku dua jalu dalam warita ini tiada bedanya. Bagai pinang dibelah dua, sekala membuka pintu pasti beradu tatap mereka berdua, hendak minum dari galon yang disediakan Pak Ruslan, sekonyong-konyong tangan mereka bertemu di bawah selang air, berangkat kuliah selalu bersama, pulang malam berdua, hari Minggu tiba-tiba tanpa janji bertemu di bibir pagar, Jafaar menyapu halaman, Fayyad mengangkat kardus-kardus usang di buncu ruangan.
Fayyad mengaduk gumpalan surai aswadnya sembari menyumpah, listrik mati, 𝙬𝙞𝙛𝙞 tak nyala, koneksi terputus, tak dapat mengakses apapun dari 𝙡𝙖𝙥𝙩𝙤𝙥nya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Jafaar tiba dengan perangai lusuh sehabis bangun dari tidurnya, menilik lamat-lamat Ruh Fayyad kita dengan pelipis nang bengkak dan terpatri bekas bantal pada durja. Yang ditatap menoleh kanan dan kiri bergantian, lalu kembali menatap Jafaar dengan tatapan kosong dan hampa.
“Kenapa, Far?”
“Mati lampu?”
“Iya”, jawab Fayyad singkat.
“Lagi ngapain itu?”
“Aku?”
“Ya siapa lagi?”, tegas Jafaar langsung membelalakan mata.
“Oh ini, lagi nyusun paragraf yang harus direvisi ulang. Lalu baca jurnal-jurnal online. Kenapa, Far?”
“Mau 𝙝𝙤𝙩𝙨𝙥𝙤𝙩?"
Pucuk layu disiram hujan. Sekali Jafaar berucap, mengembanglah senyum Fayyad pada seisi durja. Alis-alisnya bertaut tiada henti, senyumnya merona-rona hingga Jafaar dibuat bingung karenanya.
Tanpa cemooh melenggang seperti biasa, Fayyad bergegas bangkit membawa diri, mengangkat perkakas di samping selira seraya mengekori Jafaar dari belakang. Kamar Jafaar lebih luas sedikit dari Fayyad punya, jendelanya tersusun dua dan dipernis dengan oli agar licin katanya. Kasurnya jua empuk, setiap akhir pekan dijemur lalu diangkat kembali ke dalam kamar, meja belajar Jafaar selalu bersih tiada debu mampir barang sejemang, bagai simulasi rumah idaman setiap orang.
Berbeda dengan Fayyad yang tak bisa mengatur waktu belajar dan jam operasionalnya. Kamar berantakan, alat tulis berserakan disetiap buncu ruang, kuas dan kanvas tak teratur dibiarkan merajalela, baju-baju sekali pakai lupa dicuci, eksemplar-eksemplar skripsi hasil dicoret indah oleh dosen pembimbing berhamburan sana dan sini. Meski begitu, Fayyad bukan anak organisasi seperti Jafaar yang hampir terserang demam karena rapat tengah malam, tahu-tahu minta paracetamol sambil tergopoh-gopoh membawa badan.
Mati lampu begini sudah sering terjadi saban hari. Tanpa dosa pula Fayyad menyumpah nyaring dalam kamarnya, meruntuki PLN karena tiba-tiba memutuskan aliran listrik saat ia masih sakit kepala mengetik kalimat dan abjad dalam paragraf skripsinya. Hadirlah Jafaar tanpa diminta, membagikan tautan 𝙝𝙤𝙩𝙨𝙥𝙤𝙩nya pada Fayyad.
“Masih suka dikembalikan dosen kah skripsimu, Yad?”
“Masih. Ini buktinya. Kata Nanda kaya lagi nulis surat cinta, tiap hari diketik tapi dikembalikan terus. Ditolak dosen ya Bang? Katanya.”
“Ya Allah Gaung Nandana. Dikit lagi kemarin mau ku pukul.”
“Kenapa lagi, Far?”
“Lagi mandi, pintunya dibuka. Mau mandi sama-sama katanya, habis nonton Pengabdi Setan. Takut diintip Ibu. Kam pikir aja Yad, aku mandi bujuran lepas semua.”
Berderai-derailah gelak tawa Fayyad. Nada bicara Jafaar tercampur dengan asal lahirnya, khas melodi orang Kalimantan.
“Masih keren Ican.”
“Jelas. Ingat tikus kemarin, Yad? Yang hijrah ke wc-nya Nanda? Ican yang numbuk pakai sapu.”
“Allah.”
Lekas gerak tangan menepuk lapangnya pesisir dahi. Dengan gelak tawa yang mengawang-awang bebas di udara, Fayyad maupun Jafaar saling memeluk pangkal perut musabab tak kuasa menahan gelinya rampai kejadian tempo lalu.
“Skripsimu gimana, Far? Santai betul ku lihat.”
Jafaar menahan napasnya sejemang, mengusap dada sembari menyeruput air putih dalam cangkir yang kapan waktu diisi penuh olehnya.
“Memang santai. Gue masih ngurus anak-anak diorganisasi. Baru semester 8. Kan masih ada sampai 12.”
Fayyad kembali dijamah gelak kalakian mendengar ucapan Jafaar yang dengan ringan lepas dari bilah bibirnya. Seisi durja sudah berlinang air mata, Fayyad tak kuasa.
“Nanti gentayangan di kampus, Far. Ada baiknya cepat ajukan proposal, hubungi dosen, mikir judul, ngetik, ngetik, ngetik, sampai kaya aku.”
“Stress.”
“Mau mengabdi berapa abad?”
“Ayam kampus lebih aduhai, Yad. Coba aja ke kampus gue. Gue jamin betah lo.”
“Kamu pikir di tempatku ndak ada?”
“Et? Ruh Fayyad Wibisana?”
Sepasang alis Jafaar menari-nari gembira, menggoda Fayyad dengan sengaja memalit kulit langsatnya menggunakan sudu telunjuk. Berkali-kali dilaku, diselingi kekeh yang menguar.
“Aku gambar garis masih pakai mistar, Far. Temenku tanpa mistar sudah lurus kaya Jembatan Kalijodo. Pinter semua, ndak kaya aku.”
“Merendah terus, Yad. Berisik. Kerjakan sana skripsinya. Untuk apa kuas sama kanvas di kamar lo kalau jadi anak Seni? Gue lempar juga lama-lama.”
Enggan bicara, Fayyad menggeleng-geleng lekas kapitanya, lalu kembali menjatuhkan binokular pada deretan 𝙠𝙚𝙮𝙗𝙤𝙖𝙧𝙙 𝙡𝙖𝙥𝙩𝙤𝙥 yang kini nyaring bunyi ketiknya. 𝘛𝘢𝘬. 𝘛𝘢𝘬. 𝘛𝘢𝘬. Hingga mencipta sedikit banyak nada yang membelai gendang telinga Jafaar. Diam-diam, ia menggulir layar gawai, mengirim pesan singkat dengan Sadaluri yang mungkin kini tengah sibuk bekerja.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ𝗪𝗛𝗔𝗧𝗦𝗔𝗣𝗣 ── 𝗞𝗮𝗸 𝗦𝗮𝗱𝗮.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ✓✓ Kak kak.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ✓✓ Pppppp
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ✓✓ Assalamu’alaikum kakak Sada.
✓ Wa’alaikumussalam, kenapa Far?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ✓✓ Mati lampu kak, sudah dibayar
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ belum sih ini?
✓ Sudah. Kalian ngapain sampai mati lampu?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ✓✓ Baru bangun tidur aku,
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤtiba-tiba mati lampu.
✓ Sudah cek saklar belum?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ✓✓ Saklar di mana kak?
✓ Di dekat pagar. Cek sana. Aku masih kerja, bukan PLN. Gitu aja enggak bisa.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ✓✓ Galak banar kak Sada.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Nanti aku belikan STMJ deh.
✓ Minta Nanda buat ngecek saklarnya, kamu pendek.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ✓✓ KAKAK.
✓ Hehe.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ✓✓ Cuman beda beberapa senti,
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤlangsung dikata pendek.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤKak Sada enggak sadar yang lebih
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤpendek dari kami-kami ini?
✓ Mau ku block Far?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ✓✓ Aku minta tolong sama Nanda
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ sekarang kak.
Peluh keringat sebesar biji jagung telah mengalir bebas dari buncu dahi. Jafaar tanpa sepatah dua kata memilih pergi meninggalkan Fayyad yang masih bercinta dengan skripsi. Lantas, kanan dan kiri netranya berpendar, mencari figur yang dimaksud oleh Sadaluri, Gaung Nandana. Jenjang tungkai yang semenjana dari Sadaluri punya bergerak cepat, mulai dari kamar Adimul sampai Ican, tak kunjung ditemu si Nanda. Jafaar berkacak pinggang. Bergumam kesal seraya menggaruk buncu dahinya, sengat-kesat hawa panas dari mentari kian menjelma, Jafaar semakin merasakan sesaknya di dada. Daripada harus menunggu lama, Jafaar berbalik arah dan menghampiri bibir pagar.
Tanpa menunggu lama, dengan ringan membelah panas hari, Jafaar menatap tingginya letak saklar di atas pucuk jemala, berdecak kesal lah ia kemudian. Lalu,
“Abang? Apa kau buat?”
“Wis, cowok. Mati lampu, Nan.”
“Hah? Yang betul, Bang? Aku habis beli minum lah ini. Mati lampu pula. Sial kali.”
“Lo bisa liat itu enggak, Nan? Saklarnya.”
“Kenapa memang, Bang?”
Jafaar melipat kedua kuasa ke dada, menatap Nanda dengan sinis seraya menunggu pintanya dikabuli.
“Ih, apa pula? Cakap lah, Bang.”
“Minta tolong liat saklarnya, arahnya ke atas atau ke bawah, kalau ke bawah, tolong ditekan lagi ke atas, biar kita semua adam dan tentram bersama, Nan. Terima kasih. Cabut gue.”
Senyum Nanda merekah moksa, kalimat penuh arti didengarnya dari bilah bibir Jafaar. Nadir diucap namun sekali terdengar, membuatnya menyimpul senyum tanpa henti. Dalam minda telah tercipta konklusi terakhir.
“Bilang aja kau tak sampai lah, Bang. Bah, pusing-pusing kau mintak tolong aku.”
Nanda menyentak kapita, ditadah sedikit kala memusat netranya pada saklar, dan benar saja ucap Jafaar sekon lalu. Animo memburu-buru seru dalam benak, Nanda lekas mengulur kuasa di sana dan menekan saklarnya ke atas, hingga tak lama kemudian segala nyaring riuh dari kamar-kamar di atas terdengar. Seperti konser dan festival Kangen Band.
“𝘔𝘢𝘵𝘪 𝘭𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘶𝘭𝘢, 𝘪𝘯𝘪 𝘵𝘦𝘬𝘦𝘵𝘦𝘬 𝘭𝘢𝘩. 𝘈𝘭𝘢𝘩𝘮𝘢𝘬!"
1 note
·
View note
Ruh Fayyad, mau jadi pasienku?
Panggilan 'Mbak Dokter Kalawa' rasanya kepanjangan, ding. Jadi kalau aku sendiri lebih senang disapa, 'Lawa.' Cukup, ya? Karena aku sendiri terkejutnya sudah tak bisa dikiaskan dengan satupun kata. Kalimat-kalimatmu sederhana, memang. Tapi ada yang harus aku koreksi sekali lagi, selagi hari ini belum jatuh ke lusa yang mana kekeliruan masih bisa dirasa.
Syarat jadi pasienku cuman satu, haruslah sakit. Kalau tiada sakit yang menggerayangi tubuhmu, untuk apa berobat?Jangan jadi orang gila yang tabiatnya sehat. Lagipula─ding─aku ini tidak lihai apalagi pandai mengurus manusia. Takutnya esok, sudah tak bernapas lagi akibat salah suntik!
Sekarang aku tepuk jidat dulu. Memang tahu dari mana kalau anjing dan kucing di sini senang kuusap? Sudah pernah lihat sendiri? Nyatanya kita cukup jauh, ding. Jangankan jarak antar kota─ya─baik dalam sandaran kepercayaan, aku masih buta. Betul. Aku si yang tidak bertuhankan oleh apa-apa. Jauh benar dari molek-molek ayat yang biasa kamu baca setiap hari Jumat. Itu aku, dari makna kejijikan. Di surga juga tidak ada klinik hewan, 'kan? Jadi tugasku selama masih berlenggak-lenggok di sini hanya menjadi wadahnya 'mereka' berkeluh-kesah, bersorak-sorai, berderai-derai, berdarah-darah lalu tak lama menjadi keutuhan yang orang pikir 'mereka' sudah dipoles sedari awal dengan cinta.
Ding Fayyad, kabar burung itu benar! Selamat! Sekarang senyumku tidak akan bersarang di peti mati, karena kilaunya roman ding Fayyad masih berseri-seri, begitu juga dengan cendayamnya dua gigi kelinci padamu. Rasanya selain aneh, aku merasa kehilangan satu dari sekian sumber rawiku bila ading Fayyad tidak ber-haha-hihi memenuhi sesaknya kerumunan manusia.
Kalaulah boleh tahu, ading Fayyad sekarang sudah tidak menyimpan dendam di dada, 'kan? Apa huru-hara semalam sudah lapang? Sudah lapang! Karena kemerdekaan euforia ding Fayyad mulai kembali berkibar! Benar, 'kan? Pasti benar.
Kembali ke perizinan menjadi pasien. Lebih baik datanglah dengan kedua tangan yang terbuka. Aku tak akan mengeksplanasi rincinya, tapi sampai sini, dengan berat hati ding Fayyad tidak akan datang sebagai pasien di klinikku!
Tolong dicatat, ya?
Ini peringatan pertama dari sejuta mustahil yang seperti ding Fayyad katakan. Dalam kamusku, sayangnya tidak kutemukan mustahil selagi aku masih bisa merasakan sedapnya nayanika manusia di sepenjuru bumi. Tapi ini tidaklah sebatas ucapan yang bisa menghasilkan bunga-bunga di perut, melainkan fakta yang terkubur oleh keras kepalaku.
Tolong dicatat, ya?
Ding Ruh Fayyad Wibisana tidak akan datang menjadi pasienku, datanglah dengan kedua tangan yang terbuka lebar. Selebar landasan Soekarno Hatta.
Tolong dicatat, ya?
Aku bukan 'Mbak Dokter Kalawa', aku Lawa, yang hanya senang mengulurkan tangan untuk siapa saja.
Tolong dicatat, yang terakhir, ya?
Keluh-kesahku tidak ada. Bilapun ada, pintu di depan rumah masih bisa menyambut kedatangan ding Fayyad yang 'konon katanya' akan menjadi bentengku.
Sampai sini, aku sudah tutup klinik! Tidak akan menyambut pasien seperti ding Ruh Fayyad Wibisana! Dengar, tidak? Tidak akan menyambut ding Fayyad!
0 notes