Kina
Aku jatuh cinta, dengan Kina, seorang anak magang di tempatku bekerja, di sebuah toko buku bernama, ya katakanlah, GM. Ini cukup langka, mengingat aku sangat jarang jatuh cinta.
Hatiku luluh, sejak pertama kali kami saling menatap. Kulihat pantulan diriku salah tingkah, ketika kutatap bola matanya. Ia sempurna. Kecantikan wajahnya, mengalihkanku dari dunia. Bagaimana wajahnya tanpa riasan, tanpa bedak, hanya bibir mungilnya yang sewarna mawar.
Selalu saja, jantungku berdegup cepat, sampai-sampai keringat mengucur di pelipis mata, setiap ia memukulku ketika tertawa terbahak-bahak, sampai mengeluarkan air mata. Wajahnya berubah merah, seperti hendak menangis.
Aku juga selalu gagal fokus ketika ia membantuku di gudang. Bagaimana aku yang suka curi-curi pandang, menunduk dan menoleh perlahan, saat ia duduk bersila di sebelah kiriku, menempeli lebel harga ke tiap-tiap buku. Aku ingin selamanya terus begini, cukup memandangi wajahnya. Tangan mungil Kina terus melebel, satu per satu, dan tak terasa, ia berkata, "Selesai! Yaaay! Cepet kan Kina sekarang ngelebelnya?"
Aku sadar kami berbeda kasta, dan sekuat apa pun aku berusaha, mustahil kami bisa bersama. Meski hanya untuk satu malam. Ia adalah bintang kecil yang paling terang di langit malam, semua manusia rela melakukan apa pun demi dia, karena ia berharga.
Meski demikian, aku dan Kina akhirnya bisa juga berteman. Kami suka bercanda, dan ngobrol sewaktu jam kerja. Aku ingat, topik obrolan pertama kami.
"Kakak tau darimana Kina suka nge-cosplay? Ayo jawab," kata Kina, sewaktu aku membahas serial manga dan cosplay. Asal tebak, cuman modal yakin perempuan cantik dan lucu seperti dia, biasanya hobi ikut kontes cosplayer.
"Nebak aja." Aku menatap wajahnya yang memerah.
"Di sekolah itu, tau nggak, cuman Kina aja loh yang suka Jepang-Jepang gitu," katanya.
Aku tersenyum. Ini menarik. Kami terus mengobrol dan mengobrol, sampai lupa waktu. Ia mendominasi obrolan dan amat antusias, aku cuma mendengarkan. Obrolan kami lebih banyak soal jejepangan. Mulai ia hobi jadi cosplayer, sampai memberitahu deretan anime favoritnya, yang nyaris semuanya tidak aku ketahui. Seleranya horor atau tokoh utamanya kawaii, beda denganku yang suka romantis.
Di ujung topik obrolan, aku berucap, "Kita ke Jfest bareng nanti kuy." (Jfest: Japan Festival).
"Boleh, boleh," ia sumringah. "Kapan?"
"Di mana aja, nanti kamu cari acaranya, aku ngikut kamu aja," kataku, yang ia iyakan.
Dari obrolan siang itu, malamnya kami lanjut chatting, bercerita banyak hal, dan masih didominasi olehnya. "Maaf ya, Kak. Kina lama balesnya, soalnya sambil main PUBG."
Begitulah Kina. Ia bisa begadang sampai jam tiga pagi cuma untuk main game. Kalau sudah begini, keesokan paginya aku akan menemuinya dalam keadaan muka lusuh dengan mata merah, lengkap dibundari lingkaran hitam.
"Ngopi dulu, itu ada kopi di tasku," kataku. "Kurangin begadang lah, jangan sampe jam tiga pagi juga baru tidur."
Kina cuma cengengesan.
Perlahan, obrolan kami mulai berubah. Kina mulai bercerita soal keluarga, dan mantan. Bagaimana cinta terakhirnya yang berujung pilu. "Mantan Kina tuh kemaren ngajakin ngesex ke hotel, tapi Kina gak mau. Terus ia malah ngesex sama orang lain," katanya, lalu menatapku tajam. "Tau nggak sama siapa ia ngesex?"
Aku menggeleng. Kina melanjutkan, "Sama temen Kina sendiri! Coba deh Kakak rasain gimana rasanya. Sakit banget. Abis itu, yang mutusin malah dia juga."
Kina bercerita, patah hati membuatnya melukai dirinya sendiri. Satu malam, ia mengiris lengannya menggunakan pisau. Berkali-kali, hingga darah keluar membasahi lengannya, bercampur tetes air mata yang jatuh dari pipinya.
Yang paling parah, ia pernah sampai harus dilarikan ke rumah sakit, karena mencoba bunuh diri dengan melukai pergelangan tangannya.
Aku lalu berkomentar lewat pesan.
Semua orang punya cara sendiri-sendiri untuk menenangkan dirinya sendiri, walaupun terlihat aneh bagi sebagian orang yang gak mengerti.
"Astagaaaa bener banget," responsnya.
Hari berlalu sejak hari pertama Kina magang. Kami semakin dekat. Kami mulai makan siang di luar. Kami makan bersebelahan, dan tradisi kami selesai makan, kami akan browsing seputar anime. "Coba deh cari Another, Kina suka banget sama karakter utamanya, kawaii," kata Kina, menyenderkan kepala ke pundak kiriku.
Tanganku gemetar.
Dan saat selesai makan dan kembali ke kantor, pasti ada teman kerja yang berceletuk setiap berpapasan, bunyinya hampir selalu sama: "Cieee makan berdua terus. Kasihan Adi, Kina. Nanti baper."
Kami hanya merespons dengan tawa kecil.
Aku menikmati sekali tahap demi tahap pendekatan ini. Mulai dari kirim-kiriman pesan, makan bareng, ngobrol sewaktu jam kerja, hingga mengantarnya pulang. Hingga tanpa terasa, kami sudah berada di pengujung Maret. Kami ada janji ke Jepang Festival tanggal 31 Maret, yang diadakan di sebuah universitas. Dan, aku berencana, akan nembak dia. Diterima atau ditolak, aku tidak tahu, yang penting ia tahu dulu perasaanku.
"Kuncinya, bikin dia nyaman dan ketawa terus. Dan, gue liat, lo berhasil ngelakuin itu," kata seorang teman kerja, sewaktu aku bercerita soal hubungan kami. Ini yang membuatku sedikit yakin.
Dan sekarang, di sinilah aku dan Kina. Duduk berdua di bawah dekapan malam, angin dingin sesekali menggoyangkan rambut panjangnya. Berbeda saat magang, kali ini ia dandan. Ia memakai lensa kontak, membuat matanya hitam pekat. Wajahnya glowing, dengan aroma parfum yang masih bisa kuingat sampai sekarang. Hampir aku tidak mengenalinya.
Kami duduk di bamper mobil van klasik yang parkir di samping lapangan. Banyak tenda stan makanan Jepang di depan kami, dan suara bising pembawa acara di atas panggung di ujung sana. Acaranya sepi, mungkin karena habis diguyur hujan.
Aku menusuk satu takoyaki yang sudah dingin. "Mau?"
Kina memandangi tanganku, tidak menyahut, hanya memajukan badannya, dan membuka mulutnya. Untuk pertama kalinya aku menyuapi makan seorang perempuan. Dengan pacar pun aku belum pernah.
"Hmmmmpp," ia mengunyah, "pedas."
Aku bangkit berdiri. "Bentar, aku belikan minum."
Kami tidak terlalu menikmati acara tersebut. Acaranya sangat garing. Tidak ada cosplayer, live musik. Hanya dance-dance boyband yang tidak terlalu kami suka. Kami malah banyak menghabiskan waktu dengan menonton video-videk kucing lucu di Instagram, di ponsel Kina
"Ihhh, lucunya," katanya, gemas. "Mirip Kina. Hehehe."
Aku tidak merespons candaannya. Pelan, aku menatapnya. Mataku kosong, aku berpikir, bagaimana cara aku nembak dia, tanpa membuatnya canggung?
Angin semakin kencang bertiup, menggugurkan beberapa daun kering dari batang pohon di belakang kami. "Kayaknya mau hujan," aku mendongak menatap langit, bintang sudah pergi.
"Pulang sekarang?" tanya Kina, yang aku iyakan.
Apa Kina sadar bahwa aku menyukainya, dalam satu bulan ini? Mungkin tidak, bisa juga sadar tapi ia diam dan pura-pura tidak tahu. Di jalan pulang, tidak seperti biasa, kami banyak diam. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri.
"Makasih ya, Kak," kata Kina, saat kami sampai di depan pagar rumahnya. Ia turun, lalu melanjutkan, "Hati-hati."
Aku mengangguk.
Aku terlalu pengecut untuk menyatakan perasaan di hadapan Kina. Terlalu takut dengan jawaban Kina nanti. Terlalu takut harus memberikan respons seperti apa. Namun, aku juga tidak ingin hubungan ini dengan ketidakjelasan.
Jadi, aku mengetik di pesan.
Di Jfest tadi aku mau bilang, aku tu suka sama Kina. Cuma aku yakin, kamu bakal canggung. Mau bilang di telepon, tapi hujan, takut kamu ga denger. Jadi, aku bilang di sini aja.
Jujur, aku suka dengan kamu, ga nutup-nutupin. Dan.. aku tau, aku pasti ditolak, karena aku sadar diri aja. Dan aku sadar besok kita pasti canggung pas ketemu. Tapi setidaknya, aku udah jujur.
Kamu ga salah nolak aku, aku yang salah udah naksir orang yang levelnya di atas aku. Jadi ya, aku cuma pengen kamu tau aja, kalau aku suka. Udah, itu aja. Selamat malam :)
Aku mengirim pesan itu, dan tidak lama, Kina membalas.
Kenapa kakak jadi suka ama Kina? Apa yang bikin Kakak suka? Dan aku yakin, besok ga bakal canggung. Aku ga nolak sih, cuma kakak tau sendiri kan, posisi Kina baru udahan sama yang dulu-dulu gitu. Bukan apa sih kak, cuma butuh waktu mengatasi semua yang Kina rasain.
Sesuai prediksi, aku ditolak. Ternyata benar, nyaman belum tentu cinta. Kami terus chatting sampai larut malam. Lebih banyak berisi kenapa Kina menolak aku. Ia bilang, "Aku tu sebenernya suka dengan Kakak, nyaman gitu," dan hampir aku memercayainya, setelah aku sadar, ia hanya mencoba menenangkanku agar aku tidak terpuruk.
Dan penolakan ini, awal dari sumber masalah.
***
Keesokannya, Kina izin tidak masuk. Ia tidak memberi alasan. Dan seperti di film-film, ketika cinta kita ditolak, pasti muncul masalah lain. Itu yang aku rasakan. Aku sudah sadar ada yang tidak beres, ketika seorang teman masuk ke gudang, dan bilang, "Lo dipanggil Mas Indra tuh."
Mas Indra adalah supervisor SDM.
Raut muka Mas Indra tampak serius, saat aku masuk ke ruangannya, lalu duduk berhadapan. Ia membuka obrolan dengan nanya-nanya hal yang tidak penting soal off libur aku kemarin. Lalu, tanpa melihatku, sibuk mengurus berkas di meja, ia bersuara, "Begini, sebenernya aku mau ngasih tau ini kemarin, tapi kamu off."
Aku membenarkan posisi duduk. "Iya, terus, Mas?"
"Kemarin itu, hari terakhir kamu kerja...." Mas Indra terus bicara, tapi aku sudah tidak mampu mendengarkan. Aku menunduk, menatap kakiku dengan tatapan kosong. Sesekali aku mengerjapkan mata.
"Bukan apa-apa, tapi ini emang udah keputusan dari pusat," kata Mas Indra menjelaskan.
Di toko buku GM, kebanyakan teman kerjaku diberi kontrak kerja dua tahun, setelah setahun kerjanya bagus. Tapi, aku? Aku baru satu tahun, dan tidak diperpanjang. Memang ada kasus serupa dulu, yang mana temanku juga kontraknya cuman satu tahun, tapi diberi penjelasan kenapa ia tidak lanjut kontrak kedua. Biasanya karena kerjaannya memang buruk. Tapi, aku? Aku merasa sudah maksimal, dan bagus-bagus saja.
Aku ingin menangis, bukan karena diberhentikan kerja mendadak begini, atau kenangannya selama satu tahun. Tapi, karena Kina. Jika aku berhenti kerja, otomatis aku tidak akan bisa bertemu Kina lagi setiap hari. Kalaupun bisa, paling jarang.
Dari ruang Mas Indra, aku langsung pulang. Pikiranku penuh oleh Kina, saat aku duduk di depan mal, sambil mengisap rokok. Tanpa sadar, sakit hati begini, aku bisa menghabiskan delapan batang rokok, tak peduli tenggorokan yang mulai perih, tak peduli dengan batuk yang menyiksa, hanya ini yang bisa kulakukan.
Aku membuka ponsel, menelepon Kina. Kuceritakan soal aku yang diberhentikan kerja, dan respons pertamanya, "Kok gitu sih?" Aku bercerita dengan suara yang tampak tegar. "Wah, kita bakal kepisah nih, gak bakal bisa ketemu lagi," kataku.
"Gak boleh gitu!" seru Kina.
Tiba-tiba aku berkata, "Maaf ya."
"Maaf buat?" tanya Kina.
"Suka dengan Kina," kataku, dan Kina membalas, yang hampir membuatku setengah mati tidak percaya apa yang ia bilang.
"Aku juga suka Kakak."
***
Semenjak hari itu, semuanya berubah. Aku hampir tidak mengenal Kina yang dulu lagi. Ia yang dulunya fast respons membalas pesan, berubah lambat, padahal online. Dan itu pun responsnya cuma, "Enggak lah, Kak," atau, "Iya, Kak." Dan karena sikapnya itu, aku mulai malas mengiriminya pesan. Mulanya cuma jarang, perlahan menjadi tidak pernah lagi. Hingga akhirnya, tidak ada lagi sesi curhat malam kami.
Beberapa minggu di rumah, aku stres. Kerjaanku cuma mengisap rokok dan menyuruput kopi saat bangun tidur, sambil buka-tutup ponsel melihat last seen Kina. Dan tidur adalah pelarianku, tak peduli siang-malam. Memejamkan mata dengan kuping tersumbat earphone, mendengarkan lagu-lagu mellow yang biasa Kina putar saat kami di gudang dulu.
Hari terus berganti, dan hidup pun berlalu. Aku dan Kina setengah lost contact. Kami sudah sibuk dengan dunia sendiri-sendiri, mulai saling melupakan. Ia sibuk magang, aku sibuk menulis surat lamaran kerja.
"Di Miniso lagi nyari karyawan," kata Obob lewat pesan. Ia adalah rekan kerjaku dulu di toko buku, dan hubungan kami sangat dekat. Kami diberhentikan kerja hampir bersamaan, tapi dengan kasus berbeda.
Banyak yang kami bahas, mulai dari mengenang kerja bareng dulu, lamaran kerja, sampai urusan yang tidak terlalu penting. Misalnya, urusan cinta.
"Jadi, gimana hubungan lo sama anak magang kemaren?" tanya dia. "Udah lo tembak kan?"
"Udah, tapi ditolak."
"Dia bilang apa?"
Kuceritakan proses bagaimana aku ditolak. Mulai kami yang jalan ke Jepang festival, Kina yang butuh waktu sendiri, aku yang nembak lewat pesan singkat, sampai Kina yang ngomong kalau ia nyaman, juga suka denganku.
"Nah! Ini kan udah setengah bulan," kata Obob. "Telepon gih, kali aja dia udah move on dari mantannya. Lagian, dia juga bilang suka kan ama lo?"
Jujur, aku ingin move on dari Kina. Hatiku sudah terlalu lelah, sakit begitu dahsyat. Susah untuk melupakannya, terus terang saja. Namun, Obob ngotot ingin aku nembak Kina sekali lagi.
"Gak yakin gue bakal berhasil," kataku.
"Coba aja dulu."
Mencoba mengikuti sarannya, aku menelepon Kina. Napasku mulai tidak santai. Tanganku gemetar saat memegang ponsel di kuping kiri.
Terdengar dua nada sambung, lalu di-reject.
"Kenapa, Kak?" tanya Kina, lewat pesan.
"Teleponan kuy," jawabku. "Ada yang mau aku omongin."
"Bentar, ya, Kak, aku lagi maen PUBG."
Aku pun menunggu. Satu jam berlalu, lalu lebih. Aku masih menunggu. Mataku lelah, mengantuk. Aku melirik jam dinding, sudah lewat tengah malam. Aku masih sibuk buka-tutup ponsel, takut kalau-kalau ada pesan masuk dari Kina. Namun, tidak ada apa pun.
Pukul tiga pagi, aku terbangun. Aku membuka ponsel, tidak ada apa pun.
Aku mengirim pesan. "Ini entah aku yang setia, atau akunya yang bego, sampai ketiduran nungguin kamu begini."
Kina is typing....
Kakak bobo aja :(
2 notes
·
View notes
Mengikis Prasangka
Ada yang tak saya pahami dari tingkah salah satu murid saya beberapa hari lalu. Biasanya ia memang iseng, namu jarang sekali hingga melakukan kontak fisik (seperti memukul dan menendang). Namun hari ini terlihat berbeda. Intensitas keiseingannya jauh dari biasanya. Hampir setiap waktu. Dan sudah beberapa temannya menjadi korban dan menangis.
Gemas rasanya. “Anak ini iseng sekali!”, prasangka ku dalam hati.
Perlahan saya coba beri peringatan. Di kelas, saya mencoba menerapkan warning saat peringatan peringatan kecil tak lagi efektif. Tiga warning maksimal untuk anak-anak, jika sudah lebih dari tiga akan ada konsekuensi yang kami sepakati bersama, kali ini kesepakatannya More than 3 warnings, means learn in kinder B.
Pada akhirnya anak ini pun mendapat tiga warning karna sudah lebih dari tiga kali menggangu temannya bahkan membuat menangis. Konsekuensinya dia harus ke kelas kinder B selama 10 menit untuk belajar sesuatu disana.
“Let’s go K”, ucapku.
“Why i have to go there?”
“You know it really well”
“Ok i know, i got 3 warning. I mean, why it should be Kinder class?”, protesnya yang saat itu ia adalah anak primary.
“Because we will learn something there, even they still kinder, but they behave well”
“should i go now? it’s only take 10 minutes right?”
“Of course, i promise”
Dengan sangat berat hati ia pun pergi bersama saya tentunya. Karena ia amat tahu tak ada cara apapun yang ampuh untuk melobi gurunya itu, rules tetaplah rules, apalagi ini adalah kesepakatan bersama.
Ia pun masuk. Kami meminta izin untuk duduk mengamati anak-anak yang sedang antusias belajar. Saat ia masuk, tak ada satu pun yang tertawa apalagi mengejek, padahal sebelumnya ia sempat ragu untuk masuk karena hal itu.
“They are very nice ms”
“yes, No one laughing at you as you thought before”.
“Yup, it’s good”
“is there anyone disturb his friends?”
“No, they are really nice. i like it, i want to be like them”.
“Really? that’s good, thank you“.
Sepuluh menit pun berlalu. Kamipun berpamitan untuk kembali ke kelas kami.
...
Tak lama setelah itu, ia kembali lagi melakukan kesalahannya. Dan kembali mendapatkan 3 warning.
Tentu rasanya semakin gemas. “Ada apa dengan anak ini, susah sekali mengontrol tangannya untuk tidak iseeeng”, gerutu saya dalam hati.
“Masha Allah K, what should i do now?”, tanyaku heran, kali ini dengan nada yang lebih “gemas” dari sebelumnya.
“I’m sorry ms, i just forget it”.
“why you did it again? you got 3 warning again..”
“Sorry..”
“You know the consequence right?”
“Yes, should i go to kinder A for this time?”
“.....”, saya tak tahu harus bicara apalagi. sepertinya cara ini sudah tak ampuh.
“Miss, can i have another choice?”, tanyanya memelas.
Karena saya pikir ini sudah tak ampuh lagi, maka saya mencoba cara lain. Ini sudah di luar kontrol dirinya. Biasanya tidak sampai 3 warning pun sudah berhenti. Kali ini pasti ada yang tak bisa ia kendalikan dari dirinya.
“ok, i have two choices. First you go to kg a or second just talk to me at library”, tegasku.
“I choose the second”.
“Ok then”.
...
Pembicaraan itu dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun tidak memojokan. Hal tersulit saat itu adalah mengontrol kata-kata yang keluar dari label-label untuk anak. Terlebih saat emosi sudah menguasai. Biasanya, saya cenderung menyukai cara simpel untuk bertanya saat emosi, namun sarat label dan judgment pada anak. “Tuh kaan kaya gitu lagi, kenapa sih ga bisa jaga tangan kakinya”, atau “Ya Allah K, iseng banget sih sama temennya, udah ga usah deket deket sama temen yang lain ya..” dan pernyataan pernyataan penuh tuduhan lainnya. Padahal kita belum tahu apa yang sebenernya terjadi. Alhamdulilllah, saat itu saya diberi kekuatan sama Allah untuk belajar dan mengontrol tiap kata yang keluar meski sedang dalam keadaan emosi. Jadi pelan-pelan saya gali informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Hari ini sudah berapa kali K buat teman menagis?” tanyaku.
“tujuh eh delapan ding”
“Kenapa ?”
“Aku ada secret ms, tapi jangan bilang-bilang ya. ini alasannya secret”.
“Ok, did i ever break my promise?”
“Oke miss, i just really mad”
“Mad? with who? did your friends make you mad?”
“No”
“so? with who?”
“I just mad because i don’t have family”, jelasnya.
Saat itu air mata saya hampir jatuh. Saya tahu persis apa yang terjadi pada keluarganya. Masalah yang tak mudah untuk dialami anak seusianya. Disitulah saya mencoba mengerti apa yang ia rasakan, begitu sedih rasanya saat ingat bahwa saya sudah berprasangka banyak pada anak ini.
“Okay, i know how you feel. I feel your pain, and it’s ok”, saya mencoba untuk memahami.
“But is it fair if you mad to your family but you throw away your madness to your friends like today?”, lanjutku.
“No, of course not, but i’m so angry so i just do it”
“Okay, i have a tip for you”
“what?”
“when i was child i also mad with my mom and dad, and i disturb my friends because i feel that i’m so angry. you know,i disturbed all of my friends. Until no one wants to play with me. But my teacher told me to throw away my madness on my drawing book”
“how miss?”
“You just draw everything to throw it away”
“Who is your teacher’s name? you still remember?”
“Yup, she is Ms R... and Ms M....”
“Woow, cool. Okay i will try it”.
“Really? good job. Okay now, every time you feel that you angry you may take your drawing book and you may draw everything there. Just throw away your madness on your book, deal?”
“Ok, deal”
“Let’s back to the class then”
“Let’s go”, ucapnya bersemangat.
...
Lagi - lagi saya diajak belajar menjadi manusia yang lebih baik melalui anak-anak ini. Untuk lebih mengedepankan konfirmasi atau tabayyun sebelum menuduh yang tidak tidak. Sebelum melebel dan menjudge tingkah mereka yang tak biasa. Untuk lebih meredam kata-kata kurang baik yang rasanya ingin keluar saat kita dibuat kesal.
Tak ada anak nakal. Tak ada anak usil dan jail. Tak ada anak bodoh.
Yang ada, terjadi ketidakseimbangan dalam diri sang anak, entah itu apa. Tugas kitalah yang mencari tahu. Membimbing kepada solusi yang solutif untuk kebaikan mereka.
...
Seperti kemarahan yang tak pernah dipahami anak ini. Kemarahan yang dia sendiri tidak tahu persis mengapa, kepada siapa, dan harus bagaimana.
Yang ia tahu, ia hanyalah sangat marah.
2 notes
·
View notes