thoseuntoldchapter
thoseuntoldchapter
egaruoc fo egap
5 posts
Have you ever heard about 10 Seconds of Courage? Someone ever told me if I am afraid of doing something, try to count until 10 and whatever happen, just be brave. So silly! But, it becomes my daily spell ever after.
Don't wanna be here? Send us removal request.
thoseuntoldchapter · 1 year ago
Text
Page Five - What If Being "Alive" was Actually a Job?
It's holiday season, dan aku memilih untuk terjebak di sebuah coffee shop terdekat dengan alibi mengerjakan stok pekerjaan yang harus selesai sewaktu-waktu.
Barangkali sudah 2 atau mungkin 3 jam aku berkutat dengan tugas-tugas yang tak kunjung usai itu. Mulai terasa bosan, sesekali kulirik ponsel dengan banyak notifikasi yang isinya tak jauh-jauh dari pekerjaan juga.
Entah kebetulan yang bagaimana, sebuah konten tentang menulis tiba-tiba hadir di beranda Instagram. Teringat sudah lama tak kukunjungi, kuputuskan untuk membaca beranda Tumblr dan kemudian tersadar bahwa rupanya banyak tulisan atau mungkin sekadar quotes yang satu, dua, bahkan tiga kali mewakili perasaan setahun terakhir ini.
Timbul rasa ingin menulis seketika. Ajaibnya, tanpa aba-aba, sebuah ide yang menyamar menjadi pertanyaan pun muncul. Dan hal itu sukses menjadi judul bacaan kali ini.
"What makes you think so?"
Anggaplah pertanyaan ini muncul sebagai bentuk protes terhadap kompetisi antara aku melawan pekerjaan yang tak berkesudahan. Namun entah mengapa kepalaku tenggelam lebih jauh dan kian lama kian.. tak runyam?
Oleh karenanya aku ingin membaginya sedikit untukmu, entah siapapun kamu.
"Where do we start?"
Let's talking about being alive first.
Satu tahun terakhir ini, aku yakin kita punya keputusan bulat bahwa satu dan banyak hal yang kita lalui punya tempat atau dampak yang lumayan major pada kehidupan kita saat ini, bukan? Anggaplah memang begitu setiap tahunnya. Namun bagiku, tahun 2023 benar-benar berhasil menghajarku dari segala sisi.
Hantaman demi hantaman, luka demi luka, dan tak ketinggalan isak tangis serta amarah yang memilih untuk tidak absen menghadiri perjalanan singkat namun terasa panjang tahun ini.
Dalam keadaan terpojok dan babak belur, tentu selalu banyak pertanyaan yang coba kutanyakan pada sang Maha Pendengar. Pertanyaan yang teramat sering kulontarkan:
"Why should I live like this?"
"What makes me live like this?"
"What is actually you want me to do with my life tho?"
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kian hari kian berkonotasi negatif.
Kalau ditanya terjawab atau tidak, kuyakin dijawab. Namun kurasa, menyadari jawaban-Nya seringkali tak semudah atau segamblang itu. Jika boleh merasa ke-pede-an, mungkin salah satu jawabannya bisa jadi saat secara tak sengaja aku menemukan karya-karya seni yang menyelamatkan.
Sebut saja karya terbaru Kunto Aji berjudul Urip yang memiliki lirik "Kita mati setiap malam, untuk bangkit saat pagi." Sederhana namun mampu meyakinkanku untuk tetap hidup karena nyatanya sudah berkali-kali aku mati dan rupanya tetap hidup lagi untuk memulai semuanya kembali. I assume it as a chance.
Nah pertanyaannya, hidup yang bagaimana?
Kusadari bahwa dalam hidup, kita sering menjumpai siklus yang sama tapi tak serupa. Dan saat anomali ini terjadi, segelintir jawaban rasanya menyeruak masuk untuk menyadarkanku bahwa ada beberapa hal yang sepertinya perlu kugeser, kupindah, atau kuubah sedikit arah pandangnya.
Contohnya cara pandangku soal menjadi dewasa yang seringkali berkaitan dengan "berpikirlah" atau "bertindaklah" secara kompleks. Maksudku, kita mungkin sama-sama sepakat bahwa semakin berat dan runyam suatu masalah yang kita hadapi, maka semakin dewasa lah kita. Apa karena saat kita kecil, kita diajarkan untuk menyerahkan hal-hal kompleks ini pada orang dewasa? Tanpa sadar kita bertumbuh dengan pemahaman bahwa kita akan menggantikan posisi mereka di suatu hari.
Dan lucunya kalau dipikir-pikir lagi, saat belia kita sangat mengidam-idamkan hal yang dilakukan para dewasa. Semua hal yang mereka lakukan terlihat menarik. Dan lebih lucu lagi ketika sudah berhasil jadi mereka, kita justru iri melihat anak-anak SD yang sedang berlarian di lapangan sekolah itu.
"Wait, I don't see the connection-"
Ha! I know you might think that way.
Mungkin terdengar terlalu melantur, tapi menurutku penting untuk menjelentrehkan ini sebagai pondasi bacaan kali ini.
Ingat-ingat kembali masa di mana masing-masing dari kalian sempat berdiskusi secara asik dengan teman sepermainan atau mungkin orang tua kalian. Tentang apa yang mereka sebut sebagai cita-cita.
Cita-cita secara konseptual adalah tujuan yang ingin kamu capai. Bisa jadi terbentuk karena faktor internal seperti sifat dan perilaku, atau bahkan faktor eksternal seperti input lingkungan sekitar. Apapun faktor yang mempengaruhi, hal yang sama tentang mencapai sebuah cita-cita adalah niat menanam dan menumbuhkan-nya dalam diri.
Sekarang aku ingin mengajak kalian untuk sesaat menjadi seorang dewasa yang terjebak di tubuh masa kanak-kanak kalian pada rentang usia 5-10 tahun.
Rasanya mudah sekali ya untuk mengucapkan Dokter, Guru, Astronot, atau mungkin Presiden? Padahal saat itu kita belum benar-benar tau kenapa kita harus punya cita-cita. Yang kita tahu, punya pekerjaan itu harus. Dan pekerjaan yang kita sebut? Bisa jadi karena terlihat keren atau mungkin terlihat misterius.
Kita breakdown lagi. Kenapa di rentang usia tersebut cita-cita selalu di-linear-kan dengan pekerjaan? Kenapa jarang ada yang mengajarkan kita untuk memiliki cita-cita menjadi orang yang jujur atau mungkin orang yang bahagia? Alih-alih me-label-i diri sendiri dengan kata sifat, kita malah memilih label pekerjaan yang.. fana?
Sekarang, mari kita buat sebuah unrealistic storyline tentang kita semua yang di masa belia diperkenalkan dan diarahkan untuk bercita-cita menjadi..
Being Alive.
Responsibilities:
Mampu berperilaku baik pada dirinya sendiri dan sekitarnya
Dapat membuat life-planning jangka pendek dan jangka panjang untuk dirinya sendiri
Mampu melakukan self-evaluation dan menemukan formula terbaik menjalani hidup setiap harinya.
And what about the salary? Hmmm I think, we can get:
Versi terbaik dari diri sendiri
Unlimited journey dan pengalaman menemukan dan ditemukan
Menghargai perjalanan dan diri sendiri.
"Wait... Sounds unprofitable…"
Exactly! I want you guys to realize..
There are countless things you have not experienced and have not seen in this life.
Bukannya beberapa hal tercipta memang tidak untuk dihitung? Tidak berangka? Dan tidak ternilai?
Memang, lagi-lagi perlu ku ingatkan bahwa yang aku coba tulis di atas adalah hal yang tidak nyata dan dibuat-buat.
Namun, yang kusadari.. tak ada salahnya menempatkan pekerjaan ini sebagai my secondary job. At least it help me to be more.. alive?
"But why should you?"
Karena memasuki usia 24 ini, aku sadar bahwa pekerjaan mengambil banyak celah dan ruang dalam kehidupanku. Banyak waktu, tenaga, dan emosi yang kucurahkan pada pekerjaanku hingga saat tak ada yang perlu kukerjakan, alam bawah sadarku mencoba mencari hal-hal yang bisa kukerjakan.
Kusadari aku suka bekerja. Namun sayang, belum ada pekerjaan yang client-nya adalah diriku sendiri.
Kalau boleh disederhanakan,
Mungkin ini satu dari sekian cara untuk bisa tetap menikmati hidup yang kusadar, tak selalu menyenangkan? Dan kalau boleh.. aku ingin membuatnya menjadi menyenangkan dalam versiku.
Seiring berjalannya waktu, persepsi ini tentu akan bergeser. Menyesuaikan dengan apa-apa yang sedang kuhadapi dan nikmati.
Karena kalau ditelisik lagi, Hidup tak pernah membatasi ataupun menghakimi cara pikirku kan? Kalau orang-orang di dalamnya mungkin iya.
"Okay, in the end you.."
There's no ending.
That's why we call it..
Alive.
0 notes
thoseuntoldchapter · 3 years ago
Text
Page Four - Manusia Hina.
Tuhan, aku muak.
Tadinya aku tidak ingin banyak bicara karena aku sadar masih kurang sekali literasiku tentang hal ini. Kupikir, dengan merapalkan nama-nama insan baik itu akan cukup sudah keikutsertaanku. Namun ada sedikit hal yang buatku sungguh tak mampu bungkam.  Rasanya hal ini harus ikut aku luruskan.
Dibuka dengan berita duka yang terus bertambah jumlahnya, semua semakin runyam sembari persepsi demi persepsi berjejalan keluar dari tiap individu yang katanya merdeka berpendapat ini.
Dari yang masuk akal hingga yang belum terlihat batang akalnya sama sekali.
Satu statement yang cukup menggelitik,   - lebih lucunya statement ini tidak keluar hanya dari satu orang - 
“Sudah tahu nonton sepak bola 2 klub dengan rivalitas yang tinggi kok bawa anak kecil.”
Begitulah kira-kira isinya. 
Gila, sungguh gila. Lagi-lagi tentang si korban yang tak tahu diri.
Bayangkan betapa sesak ruang berpikirnya. Pasti sudut pikirnya tersumbat oleh entah apa.
Kemarin-kemarin, aku mencoba bersabar dengan statement semacam itu karena aku mengira pola pikir begitu adalah spesial untuk cara berpakaian perempuan yang selalu digadang-gadang mengundang syahwat. (Jangan keliru, aku pun tak setuju. Tapi sudah lah. Aku tak seberapa peduli mau berapa level kepedasan congor mereka terhadap gaya busanaku.)
Namun rupanya kali ini kurasa jahanam sekali,  menggunakan pola pikir serupa di keadaan penuh ketidakadilan seperti ini.
Begitu banyaknya manusia-manusia baik berguguran,  bisa-bisanya pola pikir semacam itu menjadi juara umum di pelbagai isi kepala yang-katanya-manusia.
Kalau lagi-lagi ini tentang si korban, lantas harus kita letakkan dimana sisa-sisa penghormatan pada jerih payah mereka yang bertahan memberantas ketidakadilan itu?
Pada kasus ini,  kurasa bukan rahasia bahwa sepak bola sudah menjadi mimpi besar bagi banyak anak bangsa.
Sekolah-sekolah tak lagi hanya untuk belajar berhitung maupun membaca, ada pula yang ajarkan taktik bertahan dan menyerang agar mampu membobol gawang tim lawan.
Perlu diakui,  olahraga ini raksasa, dan tak bisa serta-merta ditindas oleh opini tak bertanggung jawab. 
Bila lagi-lagi ini melulu tentang si korban, langsung saja kita sepakati bahwa mulai detik ini, kita adalah kaum barbarian.
Meski begitu..
Siapapun kamu yang berpendapat demikian. Bisa jadi mahasiswa biasa, ibu rumah tangga, Remaja yang belum dewasa, Pengusaha juga Penguasa, atau hanya para Boneka,
izinkan aku untuk memberimu nama yang istimewa.
Wahai, Manusia hina.
Teruntuk saudara-saudara kita yang gugur  di kejadian 1 Oktober 2022, beristirahatlah dengan tenang.🖤🥀
5 notes · View notes
thoseuntoldchapter · 4 years ago
Text
Page Three - Rumah Tamah
“Kenapa harus pulang sih?”
Adalah pertanyaan yang paling sering aku lontarkan saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Selalu saja ketika waktunya berpisah dengan teman-teman, aku menjadi yang paling akhir untuk mengucapkan kata perpisahan. Karena aku memang tidak ingin buru-buru pulang. Aku ingin terus menghabiskan waktuku bersama mereka.
Aku benci pulang ke rumah.
Bukan tanpa alasan, rumah tak pernah menjadi tempat yang ramah untukku. Pertikaian yang tiada habisnya dari setiap anggota di dalamnya membuatku jengah dan memilih untuk sebisa mungkin menutup semua mata juga telinga. Karena begitu juga mereka.
Aku benci ada di rumah.
Kalaupun aku sedang di luar rumah, aku selalu menghindari pembicaraan bertopikkan rumah. Aku tidak mau orang-orang di luar sana mengetahui keadaan rumahku sebenarnya. Terlebih tentang luka yang tak kunjung kering justru semakin menganga lebar tiap harinya. Apalagi kalau ada yang ingin main ke rumah. Akan kutolak mentah-mentah. Aku tidak ingin dikasihani. Aku tidak siap melihat tatapan iba mereka.
Apapun tentang rumah, aku benci.
Namun, satu dari sekian kebencian diatas yang tak pernah aku lupakan. Memori terkuatku jatuh pada hari dimana Ayah pernah pulang dengan amarah yang tak terbendung. Entah alasannya apa, ia tak pernah menjelaskannya pada kami hingga akhir hayatnya. Namun yang jelas hari itu adalah hari dimana Ibu tidak mampu lagi menahan diri. Ayah pergi dan memilih tidak kembali pulang untuk jangka waktu yang lama. 12 Tahun… mungkin?
Ayah juga benci ada di Rumah.
Lalu keadaan memaksa Ibuku untuk menjadi seorang Orang Tua tunggal. Banyak hal yang harus ia korbankan terlebih saat aku mulai memasuki Sekolah Menengah Pertama. Mengingat sekolah yang kutuju merupakan salah satu sekolah favorit di kota, beliau bekerja tanpa lelah bahkan ketika harus bersepeda belasan kilo karena motor kami saat itu harus dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Ibu mencoba sekeras mungkin untuk tak membenci Rumah.
Aku dan kedua saudara laki-lakiku, berusaha berbagi kebahagiaan untuk Ibuku dengan setidaknya berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membuatnya kecewa ketika harus menerima rapor di setiap akhir semester. Cukup berhasil, walau tetap bisa kulihat lelah yang harus beliau tanggung setiap harinya.
Aku pun mencoba untuk tak membenci rumah.
Masa Sekolah Menengah Atas kulewati dengan cukup baik. Bahkan bisa dibilang sangat baik sampai akhirnya menjadi boomerang untuk keluarga tak utuhku ini. Mereka berharap aku bisa melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi melihat prestasiku. Pun karena sebelumnya Kakak laki-lakiku tidak diberikan kesempatan untuk kuliah. Mereka ingin, setidaknya ada satu anggota keluarga ini yang bisa menjadi seorang sarjana. Tentu saja aku cemas. Apalagi bila bukan tentang biaya.
Aku masih mencoba tak membenci rumah.
Hari itu aku mendengar suara kurir pengantar paket. Bingungku, aku tidak sedang menunggu paket apa-apa. Apalagi menimbang paket yang dikirim cukup besar dan berat. Sebuah laptop rupanya. Tak lama telponku berdering dari nomor yang tak ku kenal. Suara berat yang kurindukan, “Gunakan saat kuliah nanti. Jangan khawatir tentang biaya”. Tanpa kutahu, Ibu menghubungi Ayah untuk memberikan kabar tentang perkembanganku. Sosok Ayah kembali hadir. Walau taklagi di bawah satu atap dengan kami.
Aku mulai tak membenci rumah.
Kehidupan perkulihan terasa lebih mudah semenjak benang merah tak lagi kusut. Walau keduanya memilih untuk memiliki jalannya masing-masing, setidaknya aku tahu bahwa tulang punggung dan pondasi rumah ini kembali terasa lengkap. Pulang ke rumah tak lagi menjemukan.
Aku tak benci pulang ke rumah.
Merasa telah melewati titik terendah itu, aku mulai terbuka dengan keadaanku di masa lalu. Aku bisa berbicara bebas tentang keadaan rumah dan bahkan membicarakan pertikaian-tak-ada-habisnya terasa mudah meluncur dari mulutku. Terkadang, teman-temanku memberi semangat melalui kata-kata sederhana mereka. Dan aku tidak lagi bermasalah akan hal itu.
Aku tak benci berbicara tentang rumah.
Menjadi seorang pelajar rantau bukan hal yang mudah, apalagi ketika rumah tak lagi menjadi masalah. Rasa ingin pulang dan bertemu dengan orang-orang di rumah rupanya cukup sulit untuk bisa dianggap sepele. Kalau orang-orang bilang, homesick makes me sick. Dan aku setuju. Hal yang paling sederhana aku pernah merindukan aroma kasur Ibu yang menenangkan. Ingin sekali rasanya memesan tiket kereta dan pulang. Tapi mana mungkin, masih ada tanggungan studi yang harus aku pertanggungjawabkan. Untung saja Ibu tak kehilangan akal, beliau kirimkan sepaket sprei untuk kasur, guling, dan bantal yang beliau jahit sendiri. Setidaknya, melalui paket itu, rasa rinduku terobati.
Apapun tentang rumah, aku tak benci.
Hal tak terduga terjadi pada 21 Januari 2020 silam. Ayah kembali pergi namun kali ini beliau tidak mungkin kembali. Beliau pergi untuk bertemu dengan-Nya yang tak pernah membencinya. Aku dan keluargaku terbang ke pulau tempat ia beristirahat sebagai tanda perpisahan terakhir kalinya. Setelah 12 Tahun tidak bertemu, kami harus bertemu dengan keadaannya diam membisu. Tak ada penjelasan atas luka-luka yang tercipta. 
Apa aku akan kembali membenci rumah?
Pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku. Bersamaan dengan perjuangan hidup yang lagi-lagi kembali sulit karena satu pilar rumah kembali hilang. Ibu mulai menua namun tekadnya dipaksa terus menguat. Namun kali ini ia tidak sendiri. Kakak laki-lakiku dan aku sedikit-sedikit mulai membantu walau memang tak banyak yang bisa kami lakukan. Dan tetap, semua tidak bisa kembali mudah.
Semakin bertambahnya usia, aku mulai cemas dan ragu akan banyak hal. Karena apa-apa yang kulakukan tak lagi untuk diriku sendiri. Mulai tergambar tanggung jawab yang lebih dari sekedar “Aku”. Ada yang harus dipertahankan, Rumah.
“Kau tidak bisa yakin tentang apa pun selamanya. Kau hanya bisa memiliki keberanian dan kekuatan untuk melakukan apa yang kau anggap benar.” 
Bermodalkan pernyataan Mendes Da Costa pada Vincent Van Gogh ketika ditanya tentang bagaimana ia bisa yakin bahwa ia sudah memilih jalan yang benar,
Kuberanikan diri untuk tak lagi membenci rumah.
Karena sejatinya rumah memang akan selalu tak sempurna. Akan banyak hal yang harus selalu rutin dibenahi di dalamnya. 
Kalau retak, perbaiki. 
Kalau roboh, bangun kembali. 
Kalau hilang... temukan lagi.
Dapat menerima keadaan bahkan titik terendah, memang tidak mudah. Banyak hal yang harus dijatuhkan. Salah satunya Ego. Namun menurutku, disitulah puncak kebahagiaan yang sejati. Bahagia ketika aku mampu berdamai dengan keadaan dan mengubah Regret menjadi Regreat.
Rumah memang tak selalu ramah.
Toh dunia memang tak pernah menuntut tentang adanya Rumah Tamah.
7 notes · View notes
thoseuntoldchapter · 5 years ago
Text
Page Two - Insecurities on My Glasses.
"Gila, dia cakep banget. Aku minder banget sumpah."
"Aku mana pantes sih buat berdiri disana?"
"Who the hell I am? Gua ini cuma seonggok daging yang kebetulan aja masih bisa napas."
"Gua gak deserve to be loved by siapapun."
"Kok ada ya manusia sejelek aku.."
 Apa kalian salah satu dari sekian orang yang sering melontarkan kalimat-kalimat di atas? Atau mungkin gak dilontarkan deh, cukup dibatin atau di-tweet aja sambil nungguin ada yang notice dan syukur-syukur dikasih kalimat penyemangat yang bisa bikin kamu percaya diri lagi.
Kalau boleh jujur, aku masih salah satu dari sekian orang tersebut. Gak jarang aku juga suka merendahkan diri sendiri apalagi membandingkan diriku atas appearances atau achievements orang lain. Rasanya gak afdol ketika lihat orang cakep (menurut standart sosial~) atau orang yang populer banget tanpa ngomong “Anjir kebanting banget aku.. aku mah apa?”
Seakan-akan menilai manusia itu emang semudah itu.
Semudah dari apa yang kita lihat atau angka followers sosial media, tiba-tiba kaya ada ranking yang jelas antara manusia satu dengan manusia lain. Mulai deh merasa yang paling rendah daripada manusia lain. Dan kadang bisa dibilang, kita tuh bikin gap yang gak manusiawi antara kita dengan manusia yang jadi pembanding diri kita itu. Sampai muncul kalimat “Kebanting” dan “Aku ini cuma apa.”
Seperti yang aku bilang di awal tadi, aku masih salah satu dari kaum insecure di atas. Tapi, kalau aku tarik kilas balik tentang diriku yang dulu, sedikit demi sedikit.. I think progressing is real. 
Boleh aku jelasin lebih rinci?
Jadi bagian dari standart kecantikan sosial juga memiliki angka popularitas yang lumayan memang bikin kecanduan. Ketika kamu masuk ke lingkar itu, kamu akan menemukan banyak hal yang membuat kamu seakan-akan sedang terbang di angkasa yang luas dan tidak mengenal apa itu jatuh. Padahal, awan saja bisa jadi hujan. Apalagi kamu yang cuma ‘merasa’ tanpa benar-benar terbang secara harfiah?
I’ve been there before. Aku pernah merasa tinggi dari yang lain, aku pernah merasa dominan akan suatu kelompok, pun juga aku pernah merasa sepertinya di dunia ini memang gak ada yang perlu ditakutin asal menjadi bagian dari standart sosial dan menjadi seperti apa yang mereka inginkan agar eksistensiku tetap hidup.
Tapi itu sendiri gak bertahan lama. Aku lupa kalau seiring bertambahnya usia, people changes dan begitu pula dengan standart mereka. Berawal dari ‘kebetulan’ fit in membuat aku harus menjadi ketinggalan jauh karena aku memilih untuk stuck dan tidak berkembang sesuai dengan standart yang ada.
Pro dan Kontra sebenarnya. Fortunately, aku tidak menjadi people pleasure dengan memaksakan diriku harus fit in dengan lingkungan sosialku yang kalau saat itu aku lakukan, mungkin aku akan terbiasa untuk faking myself. But unfortunately, akhirnya aku juga menjadi seorang yang kurang puas dan sulit menerima diri aku seutuhnya karena terus membandingkan diri aku sendiri dengan orang-orang disekelilingku. The pressure is real tho~
Mungkin sejak saat itu, insecurities hit me really hard. Dimana orang-orang terlihat glow up meanwhile aku.. kok ya masih gini-gini aja. Bahkan cenderung glow down.
It’s not easy for sure. Apalagi dengan karakter “Listener” yang membuat aku sering dijadikan tempat berkeluh kesah oleh orang-orang terdekatku, membuat aku terbiasa menjadi sosok yang harus berusaha sok kuat diantara yang lain. Padahal kalau dilihat-lihat juga bukan suatu kewajiban dan bahkan gak ada yang nyuruh. Tapi namanya manusia, kan suka self-proclaim dan ambil kesimpulan sendiri ya~
Bertahun-tahun mencoba deal with my insecurities, bahkan bisa dibilang saat aku lagi ngetik ini di café Lantai Bumi pun aku masih try to deal with this. Tapi yang namanya proses, there must be some things you can learn dong. Termasuk gimana caraku memandang diriku sendiri biar gak ‘sering-sering’ merasa insecure.
Yap, garis bawahi. Biar gak sering-sering.
Again, for me.. Insecurity won’t vanish. It will only hide itself for a while.
Back to the topic, caraku sendiri bisa dibilang sedikit simple. Aku mencoba mengubah perspektifku akan kalimat-kalimat yang aku sering katakan ke diri aku sendiri ketika aku sedang tidak percaya diri. Contoh kalimatnya bisa kita ambil dari kalimat-kalimat pembuka post aku kali ini.
Coba scroll up dikit dan baca lagi yuk~
Nah, gimana? Mungkin terlihat biasa aja ya? Ya karena emang sesering itu kalimat-kalimat di atas secara gak sadar terucap secara lisan atau mungkin sekilas lewat di benak kita ketika lagi insecure. Tapi nih, coba posisikan sudut pandang kamu menjadi sudut pandang orang kedua/ketiga.
Misal dari kalimat “Gua gak deserve to be loved by siapapun” dan “Kok ada ya manusia sejelek aku?”
Kita ubah menjadi
“Lu gak deserve to be loved by siapapun.”
“Kok ada ya manusia sejelek Dia?”
Kali ini gimana? Ada yang beda?
Right, it sounds rude dan super duper jahat banget. Kamu bahkan gak akan tega buat ngucapin itu ke orang lain kan?
That’s the point.
Tanpa kita sadari, kita sering sekali berusaha baik terhadap orang lain sampai kita lupa bahwa diri kita sendiri juga perlu untuk tidak dijahati.
Kamu takut menyakiti orang lain karena mereka punya perasaaan? Pun juga kamu.
Diri kamu berhak untuk menerima kata-kata yang kamu ucapkan pada orang lain.
Diri kamu berhak untuk dicintai oleh kamu.
Diri kamu berhak untuk dianggap special seperti kamu menganggap orang-orang disekelilingmu.
Diri kamu berhak untuk sesekali kamu kamu dukung.
Biar apa?
Ya, gimana kamu mau baik-baik saja kalau kamu sendiri aja selalu berbuat jahat terhadap dirimu sendiri? 
Is it clear enough?
Hehe, tenang guys. Ini bukan satu-satunya cara untuk deal with insecurities. Apa yang aku sampaikan cuma satu dari sekian cara untuk kamu menghadapi problema ketidakpercayadirian ini. Kalau kamu punya cara yang lebih I Love You But I’m Letting Go alias Pamungkas daripada ini, feel free to do it or share it with me, perhaps?
Tapi aku harap, setelah kamu selesai membaca tulisan ini. Kamu jadi tahu bahwa jika orang lain berhak untuk mendapatkan kebaikan darimu, diri kamu sendiri juga sangat berhak untuk mendapatkan itu.
Ingat, Self-love is a must.
Thanks for enjoying my stuff,
Be wise and cheerio!
4 notes · View notes
thoseuntoldchapter · 5 years ago
Text
First Page - A Little Introduction
Woohoooo finally!
Lately I’ve been thinking untuk bikin sebuah blog berisi tulisan-tulisanku yang entah nantinya akan dibawa ke arah mana. Dan baru hari ini kesampaian buat literally bikin sebuat writing page.
Ya walaupun mungkin beberapa tau aku orangnya sangat bacot di Twitter apalagi masalah shit posting dan bikin thread gajelas. But, i think it’s not enough kalau cuma brisik di twitter.
Seems like aku butuh tempat lebih luas lagi buat menyampaikan banyak hal yang ada di pikiranku. Itulah kenapa aku kasih judul blog ini “Page of Courage” yang tulisannya sedikit aku acak acak spasinya hehe.
Someone ever told me tentang 10 Seconds of Courage. 
Dia bilang “Ketika lu takut buat ngelakuin sesuatu, coba itung selama 10 detik buat kasih makan rasa takut lu itu. Abis itu lu lakuin ketakutan lu itu di detik ke 11.”
Pertama denger I laughed over it. Kaya buat apa sih, gak bakal ngaruh juga? 
But damn, it works! 
And it becomes my favorite spell ever after.
Enjoy this page of courage yang aku bikin di waktu senggang dan overthinking ku ya. Semua yang aku tulis disini butuh keberanian, tapi bukan berarti semuanya benar secara paten. Ambil baik dan buang buruknya.
Be wise, cheerio!
1 note · View note