vexnane
vexnane
VexNane Pages
26 posts
Me posting my favorite octp here, Vexerys Brennan and Nanette Sevenna. Sometimes posting some headcanon 👀
Don't wanna be here? Send us removal request.
vexnane ¡ 18 days ago
Text
A Black Toy
Based on "A Black Toy" by OLDCODEX.
Semuanya berawal seperti permainan yang sudah sering ia mainkan.
Vexerys Brennan, akrab disapa Vex, memiliki reputasi kuat di kampusnya. Sosok karismatik dengan wajah tampan yang tak sulit mencuri perhatian, terutama dari para wanita. Ia tak pernah mengejar. Ia hanya menunggu, membiarkan pesonanya menarik mereka masuk ke dalam radar.
Dan saat mereka cukup dekat, ia akan menjebak mereka. Entah hanya untuk one-night stand atau sekadar godaan singkat yang tak berbekas.
Julukan playboy melekat padanya. Reputasinya dipenuhi bisik-bisik kampus: pria tampan yang kabarnya sudah meniduri separuh populasi wanita di kampus. Vex tak pernah membantah atau membenarkan. Ia hanya membiarkan rumor itu hidup dengan sendirinya.
Rumor dan gosip tentang dirinya jadi bahan pembicaraan setiap kali ia berjalan menyusuri kampus. Pria maupun wanita, semuanya membicarakannya dikala ia melangkah.
Tapi hanya satu yang menurutnya tidak biasa.
Nanette Sevenna.
Wanita dari Fakultas Manajemen Bisnis, berparas cantik dan tubuh menggoda. Teman-teman memanggilnya Nane. Beberapa menyebutnya princess, meski ia jarang menoleh saat dipanggil begitu.
Tentu saja, kehadiran Nanette selalu mencuri perhatian. Penampilannya sederhana namun memikat—membuat banyak pria, termasuk Vex, tak bisa tak melirik. Ada sesuatu dalam cara ia membawa dirinya—anggun tanpa dibuat-buat, seksi tanpa usaha.
Vex merasa yakin bisa menarik perhatiannya. Apalagi saat hari pertama semester baru, ia sempat menangkap sorot mata wanita itu dari seberang meja. Tatapan singkat, tapi cukup untuk membuatnya percaya diri.
Baginya, mendapatkan wanita sepertinya bukan hal sulit. Ia pikir pesonanya sudah cukup terekam jelas dalam kedua mata hitam yang tajam itu.
Dengan penuh keyakinan, Vex melangkah mendekat dan duduk di sebelah wanita itu, tengah membaca buku, ditemani alunan musik dari headset yang menempel di telinganya.
Perempuan itu melepaskan headsetnya, dan mengalihkan padangannya ke pria yang duduk disampingnya.
"Kamu memang suka sendirian ya? Atau memang hari ini spesial aja?" ujar Vex, sambil menebar senyum andalannya.
Nanette menatapnya, datar dan bosan "Udah ngomongnya?"
Vex terdiam, sedikit terkejut. Ia biasa membuat wanita terpesona, bukan diserang dengan ketus seperti ini.
"Aku tahu kenapa kamu duduk disini. Aku tahu reputasimu. Dan aku bukan kertas yang bisa dibuang kapan saja setelah digunakan. Mending kalau mau nyari sampah, cari orang lain yang lebih bodoh dariku"
Vex mengerjapkan matanya.
Dan Nanette kembali menggunakan headsetnya, kembali pada bukunya.
Vex akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Bukan dengan rasa kecewa, tapi dengan senyum kecil yang terukir di wajahnya—bukan senyum kemenangan, melainkan tantangan. Bukannya mundur, justru penolakan itu membuatnya semakin tertarik.
Hari-hari pun berlalu. Vex kembali mencoba, dengan rayuan halus, candaan ringan, apa pun yang bisa membuatnya menoleh. Tapi yang ia terima hanyalah penolakan yang konsisten dan tak terbantahkan. Wanita itu tak pernah memberi celah—sikapnya jelas, ia tidak tertarik.
Bahkan, tak jarang Vex rela menyebrangi fakultas hanya untuk mencari tahu di mana kelas Nanette berada, lalu diam-diam menunggu hingga Nanette keluar.
Namun keberadaannya tetap tak dianggap. Seolah-olah ia tak pernah ada.
Vex pun sering dibuat bingung—tapi anehnya, justru itu yang membuatnya terus mencoba. Lagi dan lagi.
Entah sejak kapan, penolakan itu perlahan berubah menjadi percakapan yang hangat. Tatapan tajam yang dulu menolak kini melembut. Balasan dingin berganti menjadi obrolan singkat yang diam-diam berarti.
Mereka mulai saling bertukar cerita—tentang buku baru yang akan terbit minggu depan, tentang album musik yang sedang tren, hingga keluhan ringan soal dosen yang terlalu banyak memberi tugas.
Dari percakapan itu, Vex tau kalau Nanette ternyata lebih muda setahun darinya. Ia pun mulai menyadari—Nanette bukanlah wanita polos atau mudah diperdaya. Tatapannya tajam, caranya menilai seseorang begitu cepat dan tepat. Ia tahu persis siapa yang pantas didekati dan siapa yang sebaiknya dijaga jarak.
Hingga rumor tentang dirinya terdengar secara tidak sengaja, bersumber dari teman sebangku dibelakangnya.
"Kamu tahu tidak kalau Nanette Sevenna dari jurusan Manajemen Bisnis itu ternyata escort?"
Awalnya Vex menganggapnya hanya gosip murahan, isu liar yang sering muncul di lingkungan kampus. Tapi keraguan mulai tumbuh saat, di suatu malam, ia melihat Nanette berjalan bersama seorang pria dewasa. Gaun hitam yang membalut tubuhnya menonjolkan pesonanya secara elegan, namun jelas—itu bukan penampilan untuk sekadar makan malam biasa.
Harusnya hal tersebut membuatnya mundur. Tapi entah kenapa, itu membuatnya lebih berhati-hati dan memutar otaknya untuk membuat wanita tersebut jatuh hati kepadanya. Nanette bukanlah teka-teki untuk dipecahkan. Nanette adalah sebuah dinding berlapis baja.
Dan Vex siap untuk meruntuhkannya.
Suatu malam, Vex melihat Nanette dalam keadaan mabuk, sementara seorang pria asing mulai bertingkah seenaknya padanya. Tanpa pikir panjang, Vex melangkah cepat, menghampiri mereka.
Satu pukulan keras mendarat pada pria itu sebelum ia sempat berbuat lebih jauh. Lalu, tanpa berkata banyak, Vex menarik tangan Nanette dan membawanya pergi dari kekacauan itu.
"Apasih, aku bisa balik sendiri!"
"Apaan, jalan aja oleng"
Vex menggandeng Nanette menuju tempat motornya terparkir. "Di mana rumahmu? Biar aku antar," tanyanya, setengah khawatir.
Namun alih-alih jawaban, yang ia terima justru sebuah kecupan singkat yang mendarat di bibirnya—hangat, mengejutkan, dan tak terduga.
Vex membeku sejenak, terdiam dalam keterpanaan, tak mampu berkata apa-apa.
Dalam ciuman singkat itu, Vex merasakan pahitnya whiskey, manisnya lipstik, dan asin air mata yang belum sempat jatuh. Meski hanya sekejap, sensasi ciuman tersebut membekas dalam memorinya.
Vex bahkan tidak dapat berhenti memikirkannya.
"Terima kasih sudah nganterin" ujar Nanette, ketika sampai di depan gedung kosan.
"Yakin bisa masuk kosan ga tumbang?" ujar Vex, dengan nada tidak yakin. Dilihatnya gedung dua lantai tersebut dengan pandangan takjub. Wanita macam Nanette tinggal di kosan saja tidak terpikirkan olehnya.
"Kamarku lantai satu kok" ujar Nanette.
Keduanya terdiam, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Tak ada kata, hanya tatapan yang menggantung di antara udara malam yang lembab.
Hingga akhirnya, Vex mendekat perlahan dan menarik Nanette ke dalam pelukannya—mencium wanita itu dengan hasrat yang tak lagi bisa ia bendung.
---
Sejak malam itu, mereka tak pernah menyebutnya sebagai kencan. Tak ada pengakuan cinta, tak ada janji manis yang terucap di antara ciuman pertama maupun kedua mereka.
Mereka hanya menganggap kalau hal itu biasa. Hanya sebuah kesenangan semata.
Mereka menyebut hubungan mereka dengan "FWB". Friend with benefits. Hanya hadir dikala butuh, dan menghilang ketika fajar tiba.
Tapi Vex diam-diam membenci istilah itu.
Kedengarannya ringan, tanpa beban. Namun bagi Vex, itu terasa seperti kebohongan yang dipaksakan. Karena setiap kali Nanette meninggalkannya di hotel pukul tiga pagi tanpa sepatah kata pun, dalam hatinya juga mendadak terasa ada yang hilang. Dan setiap kali ia melihat Nanette tertawa dengan pria lain, atau menggandeng lelaki kaya di malam hari, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal tanpa sadar.
Vex mencoba bersikap tenang akan hubungan mereka saat ini, begitu juga dengan Nanette.
Tanpa menyadari keduanya adalah sesama pembohong handal.
Memasuki tahun ketiganya di kampus, Vex akhirnya menemukan pijakan yang stabil—pekerjaan tetap sebagai freelance bodyguard. Bayarannya lumayan, cukup untuk memperbaiki kondisi hidupnya, membayar biaya kuliah, bahkan sesekali mentraktir Nanette makan.
Hidupnya mulai terasa ringan. Ia mulai mencicipi rasa kemapanan. Meskipun, di sisi lain, kesibukan itu membuat kuliahnya terbengkalai. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil cuti.
Kabar tentang menghilangnya Vex dari kampus pun menjadi bahan pembicaraan di kalangan para wanita dikampus. Berbagai spekulasi bermunculan, ada yang bilang ia menjadi simpanan seseorang, ada pula yang menuduhnya menjadi gigolo demi uang.
Hanya Nanette yang tahu sebagian kebenarannya. Dan ia memilih diam, membiarkan rumor itu lewat tanpa dibantah. Meskipun dalam hati, ia pun tak benar-benar tahu alasan Vex memilih untuk hiatus dari kuliah.
Hingga suatu malam, Nanette melihat Vex tengah berbicara dengan seorang wanita di depan restoran, ketika Nanette keluar dari restoran tersebut. Wanita itu tak sendiri—di sampingnya berdiri seorang pria paruh baya, berpenampilan mapan dan berwibawa.
Namun suasana pertemuan itu jauh dari damai. Nada bicara Vex meninggi, penuh emosi. Kata-katanya tajam, suaranya terdengar nyaris murka. Nanette yang menyaksikan dari kejauhan, memilih menjauh perlahan. Ia tahu Vex sedang tidak dalam keadaan stabil, dan ia enggan menjadi saksi atas amarah yang ia sendiri tak mengerti alasannya.
Namun ketika Vex kembali ke tempat motornya terparkir, langkahnya terhenti. Di sana, duduk diam di atas motornya, adalah Nanette.
Tanpa sepatah kata pun, tanpa pertanyaan, Vex mendekat dan langsung memeluknya. Erat. Seolah mencoba menenangkan badai yang hanya ia sendiri yang tahu.
Nanette tak bertanya, tak menolak. Ia membiarkan Vex memeluknya dalam diam. Membiarkannya melepaskan beban yang tak pernah ia bagi pada siapa pun, sampai napasnya perlahan kembali tenang.
Sejak hari itu, Vex menghilang tanpa jejak. Tak ada pesan, tak ada telepon. Chat-nya dibiarkan centang dua tanpa balasan. Voice mail pun tak pernah didengar.
Tak ada ajakan makan malam tiba-tiba. Tak ada pesan singkat di tengah malam. Tak ada panggilan penuh hasrat seperti biasanya.
Vex benar-benar lenyap, seperti hantu yang menguap di udara. Dan selama satu bulan penuh, Nanette hanya bisa menunggu dalam diam.
Hingga suatu malam, Nanette menemukan Vex duduk santai di salah satu sudut bar, dikelilingi beberapa wanita yang tertawa riang di sekelilingnya. Wajahnya tampak bahagia, seolah dunia baik-baik saja.
Ia menghamburkan uang dengan mudah, memesan botol demi botol bir yang bahkan tak mampu membuatnya mabuk. Semua itu tampak berlebihan—nyaris seperti upaya pelarian yang terlalu keras untuk terlihat menyenangkan.
"Oh, jadi itu alasanmu menghilang sebulan? Untuk bersenang-senang dengan perempuan seperti biasa??" ujar Nanette, berdiri tegak di depan meja tempat Vex duduk.
Vex menoleh pelan, menatapnya dengan tatapan datar.
"Kenapa? Kamu cemburu?"
Nanette menyilangkan tangan di dada, mencoba terlihat tenang.
"Engga kok, buat apa juga" jawabnya ringan, meski dalam hatinya ada sesak yang tak bisa ia tolak ketika melihatnya merangkul wanita-wanita itu.
Vex menyandarkan punggung ke kursi, lalu mengangkat gelas birnya.
"Yah, lagian mereka cuma wanita bayaran. Kayak kamu, Nanette. Dibayar untuk menghiburku dikala aku butuh, dan membuangnya ketika aku tidak membutuhkannya"
Nanette terdiam sejenak, membiarkan kalimat itu menggantung di udara.
Anehnya, tak ada yang salah dalam ucapannya, karena itu memang kenyataan. Tapi entah mengapa, ketika kata-kata itu keluar dari mulut Vex, rasanya berbeda. Lebih tajam. Lebih menusuk. Seolah bukan hanya mengungkap fakta, tapi juga merobek sesuatu yang selama ini ia coba jaga rapat-rapat.
Vex menyesap birnya perlahan, lalu melirik Nanette. Dan di saat itu juga ia tersadar. Sorot mata wanita itu tak lagi tajam, melainkan terluka.
Dengan cepat, ia bangkit dari kursinya dan meraih tangan Nanette yang sudah bersiap pergi.
"Nane, maaf—"
"Untuk apa?" balas Nanette pelan, namun tegas. "Kan kau mengatakan sebuah realita"
"Kalimatku menyakitimu…" ujar Vex, dengan sedikit menyesal.
"Kalimatmu tidak menyakiti kok" ujar Nanette. "Kamu sudah membuktikan kalau kamu itu masih seorang pecundang"
Vex melepaskan tangan Nanette dan membiarkannya pergi.
Dan kali ini Nanette mengatakan hal yang sesuai dengan kenyataannya saat ini.
---
1 bulan yang lalu
"Ini siapa mah?" ujar Vex, melihat ibunya membawa seorang pria mapan berdiri dibelakangnya.
"Dia calon suamiku yang baru. Aku mau kamu datang ke pernihakanku besok ya?" wanita didepannya memberikan undangan pada Vex. Dirinya melihat undangan tersebut.
"Besok? Pernikahan?"
Wanita tua itu terdiam. "Vexerys… mama bisa jelaskan…"
"JELASIN APA?" ujar Vex murka. "Mengajakku keluar, lalu meninggalkanku sendirian, 16 tahun yang lalu? APALAGI YANG HARUS DIJELASKAN?"
Sang ibu didepannya terdiam.
"DATANG-DATANG BAWA ORANG ASING? MAMA LUPA SAMA PAPA?"
Seketika Vex membanting undangan tersebut, lalu beranjak pergi.
"Aku ga akan datang, membalas kelakuanmu saat meninggalkanku di dermaga dulu"
---
Dari kejauhan, Vex menatap acara pernikahan yang berlangsung di dermaga. Ia duduk di sebuah kafe yang letaknya agak terpencil, cukup jauh untuk tak terlihat, tapi cukup dekat untuk menyaksikan segalanya.
Pemandangan dermaga itu tak pernah berubah. Laut masih membentang dengan cantik, jembatan kayu yang mengelilinginya tetap utuh, dan suara ombak yang pecah di bawahnya masih sama—menenangkan, sekaligus menyakitkan.
Di sanalah, ia merasakan yang namanya sakit hati. Tempat yang membekas sebagai saksi bisu, ketika ibunya meninggalkannya enam belas tahun lalu, dan tak pernah kembali.
Ia masih mengingatnya dengan jelas, hari ketika ibunya menggandeng tangannya, mengajaknya berjalan di dermaga, tak lama setelah kematian sang ayah.
Dan ia juga ingat, mungkin lebih jelas dari apa pun, bagaimana tangan itu melepaskannya. Bagaimana ibunya pergi, meninggalkannya sendirian di tengah suara ombak dan angin laut. Di tempat itu, Vex belajar bahwa kehilangan bisa terjadi kapan saja, dan dimana saja. Cepat atau lambat, orang-orang akan meninggalkannya.
Vex menyesapi lattenya, sembari sesekali melirik ke arah jendela, memperhatikan pernikahan itu terlaksana dengan indah dan penuh dengan kebahagiaan.
Tapi bagi Vex, tak ada yang indah dari semua itu. Yang ia rasakan hanyalah sayatan tajam yang menghujam dadanya setiap kali tawa dan kebahagiaan dari kejauhan itu terdengar.
Meski begitu, ia tetap di sana. Tidak beranjak. Seolah tubuhnya terpaku oleh luka yang belum sembuh.
Hingga akhirnya, ponselnya bergetar. Seseorang menghubunginya.
---
Malam itu, segalanya akhirnya terungkap. Vex menyadari betapa besar arti Nanette dalam hidupnya. Bagaimana kehadirannya selalu ada, meski dalam diam. Bagaimana Nanette melihat dirinya lebih dari sekadar reputasi, bagaimana Nanette meladeninya, memperhatikannya, dan peduli dengan caranya sendiri yang tak selalu mudah dibaca.
Dan Vex pun sadar, bahwa dirinya pun peduli. Lebih dari yang ia kira. Terlepas dari pekerjaan Nanette yang berisiko dan penuh bahaya, rasa itu tetap ada. Nyata, dalam, dan tak bisa lagi ia abaikan.
Ia sudah lelah hidup dalam kebohongan, termasuk pada dirinya sendiri. Malam itu, ia memilih untuk jujur. Untuk mengatakan semuanya, tanpa menahan sedikit pun.
Tak peduli jika Nanette akan menolak. Tak peduli jika ia harus terlihat rapuh.
Karena jauh di lubuk hatinya, Vex tahu kalau Nanette pun menyimpan perasaan yang sama. Ia bisa melihatnya dari cara wanita itu bereaksi; bagaimana kata-kata kasarnya yang dulu tak digubris, kini justru melukai. Bagaimana, dalam diam, Nanette kerap bergantung padanya.
Nanette hanya perlu sedikit dorongan. Sedikit keberanian untuk mengakuinya. Dan Vex siap menjadi orang yang mendorongnya ke arah itu.
"Dengerin ya, bangsat" ujar Vex. "Aku tuh cinta sama kamu, aku khawatirin kamu setiap kali kerja"
Setelah pernyataan yang panjang dari Vex itu, reaksi Nanette yang memeluknya mendadak membuatnya terdiam.
Dan malam itu berakhir dengan kecupan lembut. Bukan kecupan karena nafsu, atau kebutuhan semata, tapi murni dari perasaan tulus yang mereka pendam.
"Sekarang kamu milikku"
Dan kalimat tersebut mendapat tawa kecil dari Nanette.
1 note ¡ View note
vexnane ¡ 1 month ago
Text
Clingy
Sakit bukannya lanjut cerita Flex, Vex, Se-, malah bikin cerita Vex clingy. Mood banget ngetiknya wkwkwk.
Also, Happy Birthday Vex ❤
Vex melangkah masuk tanpa suara, seperti bayangan yang tahu persis ke mana harus pergi. Pintu VIP tertutup kembali di belakangnya, pelan—nyaris tak terdengar di tengah denting gelas dan desakan musik jazz dari sudut ruangan. Tak ada yang berhenti bicara, tak ada yang menoleh dengan sengaja. Tapi satu-dua pasang mata sempat mencuri pandang, diam-diam terperangkap oleh sosok asing itu.
Rambut cokelatnya jatuh lembut, membingkai wajah yang terlalu tenang untuk pria semuda itu. Dan mata merahnya yang tidak biasa itu, bukan mata yang mencari bahaya, tapi seolah-olah mencari sesuatu yang bisa membuatnya merasa hidup—setidaknya, malam ini.
Ruang tersebut berkilau oleh kemewahan—lantainya mengilap, sofa beludru berjajar rapi, dan dentuman musik pelan membuat segalanya terasa melambat. Para gadis yang dibalut dalam gaun sutra dan bertumit tinggi tertawa seolah mereka dibayar untuk itu.
Vex melangkah menembus kerumunan bagaikan kabut—halus, senyap, dengan tatapan siaga. Ia menuju bar dan bersandar seolah tempat itu memang miliknya.
Beberapa pria kartel yang lebih tua duduk tak jauh, mengisap cerutu sembari menyesap wiski dari botol yang sudah setengah habis. Vex menarik perhatian salah satunya dengan sebuah anggukan kecil.
"Kau tersesat, atau sedang berburu?" ujar pria didekatnya, lalu memberikan segelas whiskey kepada Vex.
Vex menyeringai tipis, menerima gelas tersebut. "Katanya tempat ini memliki wanita cantik favorit semua tamu. Kupikir tak ada salahnya melihat sendiri apa yang jadi bahan pembicaraan."
“Mencari Sevenna, ya?” pria kedua tertawa. “Susah untuk tidak berpaling darinya. Tapi malam ini dia tidak hadir. Mungkin lagi menghangatkan pangkuan Marco”
“Dia adalah bintang di tempat ini,” kata salah satu pria, menyebut Nanette tanpa menyebut namanya. “Memberi tatapan seolah dia milikmu, lalu menghilang sebelum kamu sempat berkedip.”
“Mulutnya itu,” gumam pria lain sambil setengah tertawa. “Lembut seperti beludru. Sulit membedakan apakah dia ingin melahapmu atau sekadar menciummu.”
Vex bersikap santai. Bersandar di dinding, lalu menyesap minuman ditangannya.
"Dia punya tatapan itu," ujar pria disebelahnya. "Seolah menantangmu buat lepas kendali." pria tersebut meletakkan gelasnya sambil menyengir.
"Terakhir kali dia menari di depanku, aku hampir saja—"
Kalimatnya terputus saat ia menangkap sorot mata Vex yang menurutnya terlalu tenang untuk cerita bejatnya.
Pria yang satunya tertawa kecil, tak menyadari perubahan suasana. "Dia pernah bikin aku menggonggong kayak anjing," ujarnya membanggakan diri. "Katanya itu bikin dia tertarik. Membayangkan dirinya berdiri dan menginjakku sembari memegang tali dan senyum menggoda kepadaku…"
Vex tak menunjukkan reaksi apa-apa, meski genggamannya pada gelas mengeras. "Kedengarannya dia yang menguasai ruangan ini."
“Begitulah” kata pria pertama. “Tapi itu karena Marco mengizinkannya. Sentuh dia tanpa izin, kamu hilang begitu saja. Tak ada jenazah, tak ada bekas.”
"Apakah dia memang semenarik itu?" tanya Vex.
Mereka tertawa.
���Satu malam bersamanya? Kamu bakal jatuh cinta dan tergila-gila dengannya”
“Untungnya, aku masih tahu bedanya antara daya tarik dan delusi,” jawab Vex.
Mereka tak menangkap nada sindiran dalam suaranya.
Ruangan itu sunyi, diselimuti keheningan khas motel—di mana waktu seolah berjalan lebih lambat dan setiap suara terdengar lebih nyaring dari semestinya. Lampu redup di samping tempat tidur memancarkan cahaya di atas seprai, dan Nanette menutup pintu kamar mandi di belakangnya sambil menghela napas lelah.
Dia tak langsung menatap Vex. Tubuhnya terasa nyeri. Tumitnya seolah menggali kerikil di telapak kakinya. Dirinya baru saja terbebas dari riasan di wajah dan tubuhnya yang terasa seperti topeng yang sudah terlalu lama dipakai.
Vex duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggantung di antara lutut, matanya mengikuti setiap langkah Nanette seperti anjing penjaga yang diam dan waspada.
“Kamu diam saja,” katanya sambil meletakkan pouch make-upnya ke atas meja. “Biasanya itu bagianku.”
Tidak ada balasan.
Nanette meletakkan handuk yang sempat melingkari lehernya di kursi terdekat. Ia bisa merasakan tatapan Vex yang terus mengawasinya—terasa berat, tegang, seolah ada sesuatu yang tak beres.
“Vex,” panggilnya sambil berbalik, menangkap ketegangan di rahang pria itu. “Something on your mind, darling?”
Dia tak langsung menjawab. Hanya menatapnya seolah Nanette akan menghilang. Lalu, tanpa peringatan, dia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang Nanette dan menariknya ke dalam pelukannya.
Nanette yang bertanya-tanya dalam diam hanya bisa mengelus kepala Vex dengan lembut.
"Hei, Vex… Whats wrong?"
Dia menyembunyikan wajahnya di dada Nanette. “Just let me… stay like this for a second.”
Nanette menatap kekasihnya, masih dengan tatapan bingung. Tangannya masih berusaha untuk menenangkan pria yang sedang mendekapnya dengan mengelusnya.
"Aku ke VIP room tadi" ujar Vex.
Tangan Nanette berhenti sejenak. “Lalu?"
“Beberapa bajingan itu berbicara,” kata Vex dengan suara tegang. “Tentang kamu."
Tangan Nanette berhenti sejenak. “Apa yang mereka katakan?”
Vex tak langsung menjawab. Dia hanya mengencangkan pelukannya, menarik Nanette lebih dekat. “Tak penting. Dia bicara tentangmu seolah kamu barang. Tentang fantasi mereka melihatmu”
Nanette menurunkan pundaknya ketika mendengar hal tersebut "Oh…"
“Mereka menyebutmu bintang, Nane,” gumamnya pelan. “Memujimu dengan kalimat yang bikin kulitku merinding.”
Nanette menghela napas. “Vex…”
“Aku ingin memukul wajahnya saat itu juga” suaranya sedikit bergetar. “Tapi aku tidak melakukannya. Aku pergi. Aku tetap tenang. Tapi aku benci itu. Benci mengetahui orang lain melihatmu seperti itu.”
Nanette menjauh sedikit untuk menatapnya, jarinya menyentuh pipinya. “Jadi sekarang kamu kesal?”
“Aku tidak kesal” jawabnya tajam, lalu memperbaiki kata-katanya. “Ya tentu saja aku kesal. But I feel messed up"
Vex kembali menyandarkan kepalanya ke tubuh Nanette. "Mereka berbicara seolah mereka mengenalmu. Seolah mereka memilikimu. Seolah apa yang kita punya di rumah, apa yang kita jalani, tidak berarti apa-apa di sini.”
Nanette seketika bergerak, perlahan duduk di pangkuan Vex. Seketika Vex memeluk pinggang Nanette dengan erat, menariknya dekat. Keningnya menempel di bahu Nanette. Di saat itu juga Nanette dapat merasakan napas hangatnya yang tidak beraturan.
"Aku benci melihatmu harus terus berpura-pura di luar sana, padahal kamu punyaku." ujar Vex. "Tapi aku benci berada di posisi aku tidak bisa melawan mereka untukmu. Mereka tidak tahu apa yang sudah kamu lalui"
Nanette tersenyum tipis mendengarnya. "Kalau soal itu juga orang tidak perlu tahu"
“I know” gumamnya sambil menutup mata erat-erat. “God, I sound insane.”
"You sound like my boyfriend." ujar Nanette
“I am your boyfriend,” katanya dengan penekanan, seolah perlu mengingatkan Nanette, dan mungkin juga dirinya sendiri.
"Vex…" ucap Nanette dengan lembut. "Mereka hanya melihatku dari luar saja. Mereka hanya melihat diriku yang sempurna ketika aku menggunakan make up dan gaun. Mereka hanya tahu kalau aku adalah sang penggoda, yang memenuhi nafsu dan ilusi sesaat mereka" ujarnya.
"Tapi, tidak ada yang tahu kan bagaimana wajah dan tubuhku setelah keluar dari ruang VIP itu, tidak ada yang tahu wajah dan tubuh lelahku setelah bekerja. Diriku yang suka menikmati kue coklat di jam paling absurd.."
Mendengar hal tersebut, Vex tersenyum kecil.
"Ga ada yang tahu, kecuali kamu kan?"
Nanette mengecup pipi Vex, lalu kembali mengusap kepalanya dengan lembut.
"ah.. I miss that" ujar Vex, menatap Nanette "I miss us at home"
"Me too" ujar Nanette, balik menatap kekasih didepannya.
Vex mendekatkan wajahnya ke Nanette, lalu menciumnya. Tidak ada paksaan maupun tersirat nafsu, namun ketulusan dan ketenangan disetiap kecupannya.
Nanette menyandarkan dirinya, menempelkan dahinya pada dahinya Vex. “You’re not losing me. I’m right here.”
Vex mengangguk, lalu menarik Nanette ke arah tempat tidur, menuntunnya dengan lembut untuk berbaring di sampingnya. Dia tak melakukan apapun selain melingkarkan dirinya di sekelilingnya seolah dialah satu-satunya yang membuatnya tetap utuh.
"I need this" gumamnya. "I need you, princess"
Mereka terbaring beberapa saat, terjerat di atas empuknya kasur motel, keheningan menyelimuti mereka seperti obat penenang.
Vex merangkul Nanette dengan erat. Dan Nanette, meskipun merasa lelah, membiarkan dirinya melunak, membiarkan dirinya dipeluk. Karena di balik gemerlap La Fortaleza, inilah dunianya.
Inilah yang nyata.
0 notes
vexnane ¡ 2 months ago
Text
Kalau Nanette ada di Hogwart AU, ceremony-nya kira-kira kekgini
(based on chatgpt ini mah, tapi data lore Nane tuh dah aku jejelin juga sih)
🧠 Inside the Sorting Hat — Nanette Sevenna
“Hmm… well now… what do we have here?”
"Pain. A deep one. A mind like a fractured mirror, but still trying to reflect the light. Interesting..."
“You’re clever… not quite Ravenclaw clever, no, your mind’s been through too much chaos for that. But there’s a hunger to learn. A hunger to understand.”
"Books kept you alive, didn't they? Even when your memory betrayed you, you fought to make sense of the world."
“Slytherin would welcome your survival instincts… The way you calculate risk, the way you hide secrets under silence and smiles. And your ability to adapt? Quite the talent.”
"But you don’t seek power. You’ve seen too many people hurt others in its name. No, ambition doesn't rule you. Protection does."
“Gryffindor? You have courage, no doubt… but not the roaring, sword-wielding kind. Yours is quiet. Daily. Steady. You don’t charge into danger. You endure it.”
"But Gryffindor would shout for justice. You already act, even if no one sees. You protect, without needing the credit."
“Hufflepuff…”
“Oh yes… here we are. Loyalty that burns like embers—not a flame that blinds, but one that keeps others warm. A heart built not for glory, but for staying. For healing. For surviving when no one taught you how.”
"You love. Deeply. Secretly. Desperately. You don’t trust easily, but once you do, you will never betray it."
“Kindness is not weakness, child. You are tired of being alone. And here, in this house, you won’t be. Hufflepuff is where you’ll find peace.”
🎩 The Sorting Hat shouts:
“HUFFLEPUFF!”
0 notes
vexnane ¡ 4 months ago
Text
White day
Vex membuka pintu rumahnya. Cahaya ruang tengah menyambut dirinya dengan cahaya hangatnya, menyisakan suasana tenang setelah hari yang panjang. Vex menghela napas, melepaskan beban di pundaknya sedikit demi sedikit seiring langkahnya memasuki ruangan.
Di tangannya, sekotak kue berlapis krim lembut dan buket bunga mawar segar yang baru saja ia beli dalam perjalanan pulang. Bukan karena kebiasaan atau karena telah membuat suatu kesalahan, tapi karena hari ini merupakan White Day. Bukan karena Nanette memperdulikan hari yang tidak mungkin berada di memori lemotnya itu, tapi entah kenapa, ia tetap ingin membawakannya sesuatu.
Salah satu alasan Vex untuk melihat reaksi Nanette saat menerima kejutan kecil darinya.
Saat Vex melangkah lebih dalam memasuki rumahnya, pandangannya tertuju pada meja makan. Di sana, Nanette tertidur dengan kepala bertumpu di lengannya yang terlipat, napasnya teratur dan tenang. Di sampingnya, ada tab masih menyala, memutar sebuah video tutorial membuat sesuatu.
Vex memperhatikan meja makannya yang kini berantakan sebelum dirinya memutuskan untuk meletakkan sekotak kue dan buket bunga disudut meja, sengaja memisahkan barang pembeliannya dari kekacauan yang Nanette tinggalkan di atas meja makannya.
Dengan helaan napas pelan, Vex menarik kursi dan duduk di samping Nanette. Dirinya menatap wajah kekasihnya yang terlelap, napasnya teratur, kelopak matanya bergerak sedikit—seolah masih berada di dunia mimpi. Perlahan, Vex menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi paras cantik kekasihnya.
Vex menyandarkan punggungnya ke kursi, pandangannya kembali tertuju pada meja yang berantakan. Kotak bersekat yang terbuka menampakkan manik-manik kecil dalam berbagai warna. Ada beberapa warna yang tercecer diatas mejanya, spesifik berwarna merah, putih dan hitam. Di sebelah kanan Nanette, ada benang nilon kusut yang tergeletak begitu saja, bahkan ujung benangnya hampir menyentuh jemari tangan Nanette yang tertidur.
Dan terakhir di samping kiri Nanette ada tumpukkan kertas kosong dengan coretan kasar, sketsa dengan garis-garis sederhana dan juga ada beberapa bentuk melingkar.
Tak butuh lama untuk memahami situasi kalau Nanette sedang mencoba untuk membuat gelang.
Vex mengalihkan pandangannya ke tangan Nanette yang masih tergeletak di atas meja. Di sela jarinya, ada seutas benang nilon dengan manik-manik yang belum sepenuhnya dirangkai menjadi gelang. Dengan perlahan, Vex mencoba untuk menarik gelang setengah jadi tersebut dari genggaman Nanette, tentu saja dilakukan secara hati-hati agar tidak membangunkan tuan putrinya yang terlelap.
Ketika diamati lebih dekat, Vex menyadari bahwa pola dari gelang yang tengah dibuatnya terkesan tidak jelas, tidak seperti pola yang diajarkan pada video tutorial yang masih berputar di tab Nanette. Manik-manik tersusun dalam kombinasi yang aneh, tidak berulang atau berpola seperti desain yang Nanette gambar di atas kertas.
Tidak paham dengan jalan pikir kekasihnya, Vex berniat untuk mengembalikan gelang tersebut. Matanya seketika menangkap sticky note sedang yang menempel di balik kertas-kertas desainnya. Vex meraih sticky note tersebut, dilihat dengan seksama deretan titik dan garis yang awalnya tidak dapat Vex pahami. Namun, tepat dibawah deretan titik dan garis, ada 3 huruf kecil.
V E X
Pola titik dan garis.
Disitu Vex menyadari bahwa pola tersebut bukan sekadar coretan random biasa.
Ini adalah kode morse.
Vex kembali menatap gelang yang hampir jadi itu di tangannya. Jemarinya menelusuri susunan manik-manik yang tampaknya acak, lalu mencocokkannya dengan pola di sticky note tersebut.
Setelah beberapa kali memastikan, Vex tersenyum kecil ketika menyadari satu hal.
Pola di gelang ini ternyata adalah namanya dalam kode morse.
Sekali lagi, Vex menatap gelang di tangannya sejenak sebelum akhirnya menghela napas pelan. Dengan gerakan hati-hati, ia menyentuhkan tangannya ke bahu Nanette, menggoyangnya sedikit.
“Hei..” suara Vex terdengar rendah, cukup lembut agar tidak membuat Nanette terkejut. “Wake up, sleeping beauty”
Nanette seketika mengerjap pelan, kelopak matanya setengah terbuka sebelum akhirnya mendesah lelah dan mengangkat kepalanya. Nanette tampak bingung sesaat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan.
“Oh Vex… kamu sudah pulang..” ujar Nanette dengan suara rendahnya yang baru terbangun. Vex mengelus kepala Nanette dengan lembut.
“Sudah dari tadi sih..” ujar Vex dengan santai. “And I saw you sleeping here, plus a little catch up on what’s happening” ujarnya sambil mengangkat gelang yang tadi ia ambil. “New hobby of yours?”
Nanette sekilas melirik gelang di tangan Vex sebelum menguap kecil dan menyandarkan dagunya ke tangannya yang terlipat di atas meja. “Pengen coba bikin gelang” jawab Nanette santai. “Terus dikasih ke orang”
Senyum Vex muncul sekilas sebelum ia memutar-mutar gelang di jemarinya. "Oh ya?" Ia meletakkan tangannya di meja, lalu menyandarkan tubuh ke kursi sambil menatap Nanette "Padahal ini kayaknya lebih cocok buat kamu pakai sendiri."
Nanette melirik Vex sekilas, tapi tidak menanggapi pernyataan Vex. Dirinya hanya mengalihkan pandangannya ke gelang yang belum selesai di tangan kekasihnya saat ini.
“Enggak ah, mau dikasih ke orang”
Seketika, Vex meletakkan sebuah sticky note di depan Nanette dengan gerakan santai, tapi matanya mengawasi reaksi dari Nanette.
“Terus ini apa?” tanya Vex, dengan nada penasaran, padahal Vex sudah mengetahui jawabannya. Nanette berkedip cepat ketika melihat apa yang terrtulis di sticky note tersebut, sambil berpikir mencari alasan yang bisa menyelamatkan harga dirinya saat ini juga.
“Itu…c-cuma iseng belajar kode morse!” ujarnya asal. “Lihat-lihat tutorial terus nyoba nulis nama orang”
Di saat itu juga, Vex ingin tertawa dengan jawaban Nanette. Tapi dirinya mencoba sekuat tenaga menahannya.
“Nanette….” panggilnya pelan, membuat sang pemilik nama menegakkan punggungnya. “Kamu itu hapal kode morse”
“Apa salahnya mempelajari kode morse lagi?”
Vex mengangkat alisnya. “Jadi kamu mau bilang kalau kamu belajar sesuatu yang sudah kamu hapal diluar kepala?” nadanya sedikit serius. “I bet you even know my morse code with my full name, love”
Nanette mengalihkan pandangan dari Vex. Gerak geriknya jelas menunjukkan dia sudah kehabisan alasan untuk membela diri.
“Apa salahnya latihan ulang?”
Vex terkekeh dengan reaksi Nanette saat ini, lalu mengangkat gelang yang sudah hampir jadi dengan tangannya.
“Terus, kebetulan sekali gelang ini juga pakai pola yang sama seperti kode morse dari namaku?"
Nanette menelan ludahnya.
“K-kebetulan aja kali…” gumam Nanette, berusaha terdengar santai.
Vex menyandarkan punggungnya ke kursi, bibirnya melengkung dalam senyum penuh kemenangan. "Kebetulan, ya?"
Nanette masih dengan posisinya untuk bertahan.
“Jadi gelang ini bukan buat aku nih?” ujar Vex.
“Pede banget pengen dikasih gelang”
Vex mendekat sedikit, suaranya semakin rendah. "Tapi kamu juga nggak bilang spesifik untuk siapa…"
Nanette terdiam, menyadari bahwa saat ini dirinya sedang dijebak. Vex terkekeh, menikmati bagaimana Nanette semakin salah tingkah di depannya.
Nanette menghembuskan napas panjang, tanda menyerah. Tidak ada gunanya juga mengelak terus-terusan ketika Vex sudah mengetahui semuanya. Dengan ekspresi sedikit enggan, ia mengambil gelang setengah jadi dari tangan Vex.
“Iya, ini buat kamu”
Vex tidak langsung bereaksi, hanya menatap Nanette dengan ekspresi tenang menunggu Nanette melanjutkan kata-katanya.
"Aku nggak ngasih apa-apa waktu Valentine," katanya, jemarinya masih menggenggam gelang yang masih setengah jadi itu. "Menurutku Valentine itu hari tragis dalam sejarah, kematian seseorang, kenapa dirayakan sebagai hari kasih sayang, gitu"
Vex mengernyit sedikit, tapi tidak menyela.
“Tapi setelah bersamamu, aku sadar kalau berpikir egois begitu salah. I should give you something to celebrate it with you” ujar Nanette, lalu menatap Vex dengan sedikit ragu.
“Aku tahu kamu ga berharap apa-apa dariku, dan kalau memang aku ingin memberimu sesuatu, aku bisa membelinya dengan mudah, tapi…” Nanette menunduk, memainkan manik-manik di tangannya. "Sepertinya sesuatu yang aku buat sendiri bakal lebih berkesan daripada sekadar beli sesuatu yang kamu bisa beli sendiri kalau mau"
Vex menatap Nanette di depannya, senyum kecil terbentuk di wajahnya. Nanette selalu punya cara tersendiri untuk menunjukkan bahwa ia peduli dengan dirinya, dan hal itu yang membuat hati kecilnya terasa hangat.
Vex menyandarkan diri ke kursi, matanya tetap tertuju pada Nanette.
“Setelah kalimat panjang itu, intinya aku ini spesial kan?”
Nanette langsung mendengus, wajahnya sedikit memerah. “Ga usah kepedean deh, sinting”
Mendengar balasannya, Vex hanya bisa tertawa kecil, tapi tatapannya tetap lembut saat melihat Nanette yang menunjukkan wajah kesalnya.
“Oh ya soal memberikan sesuatu…” ujar Vex. “Kamu tahu ini hari apa kan?”
“Jumat?”
Vex mau heran dengan jawaban kekasihnya, tapi Vex juga tidak bisa menyalahkannya.
“For your slow brain information” ujar Vex di ikuti dengan helaan napas pasrah. “Kalau Valentine itu biasanya memberikan coklat dari wanita ke pria. Nah, kebetulan ada harinya pria yang memberikan hadiah ke wanita yang memberikan coklat tersebut, yaitu White Day”
Tanpa mengatakan apapun, Vex bisa membaca wajah Nanette bahwa dirinya sedang memproses informasi baru yang ia terima. Vex mencondongkan tubuhnya sedikit mendekati Nanette, lalu mengetukkan jarinya diatas meja, menarik perhatian Nanette.
“Apa?”
Vex menggerakkan dagunya, memberi isyarat ke arah meja. Nanette mengikuti arah pandangannya, menyadari keberadaan kotak kue berhiaskan pita putih dan buket bunga mawar berwarna putih terlihat rapi di sebelahnya.
Nanette menatapnya beberapa detik sebelum kembali menoleh ke arah Vex dengan bingung. “ini…?”
“Hadiah White Day buat kamu” balas Vex dengan santai.
Nanette mengerjap, seperti tidak langsung bisa memproses kata-kata tersebut.
“Loh tapi kan-”
“Meskipun menurutmu Valentine bukan hari yang spesial, aku tetap akan memberimu sesuatu di White Day kali ini” ujar Vex.
Nanette masih terdiam, matanya menatap kue dan bunga itu tanpa ekspresi yang jelas. Jemarinya perlahan menyentuh kelopak mawar putih tersebut, menyusuri teksturnya dengan hati-hati.
“Kok kamu tahu aku suka mawar?” tanya Nanette.
“Tentu saja” ujar Vex, terkekeh. ‘Aku tidak se-brengsek itu sampai tidak tahu detail kecil tentang pacarnya”
Nanette tersenyum kecil.
“Ngomong-ngomong soal kue…” Nanette mengambil kotak kuenya, lalu membukanya dengan penuh antusias. Kemudian menyentuh frosting kue dengan ujung jarinya sebelum menjilatnya pelan. “Kan kamu bisa bikin… ngapain beli”
Vex menghela napas pendek sebelum tiba-tiba mengulurkan tangan dan mengacak rambut Nanette, membuat Nanette mengerang pelan.
“Kamu kan tahu aku sibuk akhir-akhir ini… mana ada waktu untuk bikinin kue” ujar Vex. “aku juga baru kepikiran saat pulang misi”
Nanette mendengus, tapi senyum kecil tetap bertahan di wajahnya.
“Lain kali bikinin, ya?” ujar Nanette, sedikit menggoda. “Aku kangen kue buatanmu”
Mendegar permintaannya, Vex hanya bisa tersenyum, lalu mengelus rambut Nanette dengan lembut.
“As you wish, princess”
0 notes
vexnane ¡ 5 months ago
Text
Warm Mushroom Soup
Nanette membuka kabinet di dapurnya, menatap deretan obat yang tersusun rapi. Ibuprofen, acetaminophen, antidepresan, hingga obat tidurnya—semuanya tersedia dan tersusun dengan rapi. Setelah menemukan obat yang diperlukan, ia menutup kabinet dan berjalan menuju kamar dengan segelas air di tangannya.
Sesampainya di kamar, ia melihat Vex masih terbaring di tempat tidur, wajahnya sedikit memerah karena demam.
"Here, drink this."
Nanette menyerahkan segenggam obat dan segelas air kepada Vex. Lelaki itu membuka matanya sedikit, menatap Nanette yang membawakannya obat dengan malas.
"Gamau. Aku tidur seharian aja cukup," gumamnya lemah, lalu kembali menutup mata.
Mendengar jawaban dari Vex, Nanette menghela napasnya.
"It’s been two days, sinting," katanya, nada suaranya terdengar tak sabar. "Either you take these meds, or I’ll kiss you hard"
Vex membuka satu matanya, menatap Nanette. "Will you?" tanyanya dengan nada liciknya yang membuat Nanette kesal.
Nanette melipat tangannya di dada, mengangkat satu alis. "Ya engga lah, I have an exam in a few days, silly"
Vex hanya terkekeh pelan.
"Since you’re not cooking, I’m gonna order something. Is porridge okay with you?"
"I can cook," ujar Vex, mencoba bangkit sedikit.
Nanette segera mendorongnya pelan agar tetap berbaring. "Nope. I won’t allow you to cook until you get better."
Vex menghela napas dan akhirnya menyerah. Ia menarik selimutnya, menyembunyikan wajahnya di balik selimutnya.
Nanette menggeleng, lalu meletakkan obat dan segelas air di nakas di samping tempat tidur Vex.
“Oke, aku taruh obat dan minumnya disini. Aku akan ambil tab dan bukuku dulu, lalu balik lagi. Kalau obat dan air gelas ini masih sama saat aku kembali…” Nanette memberikan tatapan tajam. “I’m gonna force you to take it”
Setelah itu, Nanette berbalik dan keluar dari kamar.
Vex mengintip dari balik selimut, menatap punggung Nanette yang menghilang di balik pintu. Ia menghela napas pelan, lalu akhirnya bangkit, duduk setengah bersandar. Dengan malas, ia mengambil obat dari nakas, menelannya dengan beberapa tegukan air.
Vex menyadari satu hal tentang Nanette setelah ia tinggal dirumahnya—betapa disiplin kekasihnya itu soal obat. Hal itu terlihat jelas dari salah satu kabinet dapur yang kini dipenuhi deretan botol obat—ada beberapa obat yang harus dikonsumsi Nanette setiap hari, sementara sisanya disiapkan untuk berjaga-jaga jika ia jatuh sakit.
Hal yang tak terduga memang, tapi mengingat bagaimana efek dari masa lalu Nanette saat itu, obat yang dikonsumsinya setiap hari jadi bukan hal yang mengherankan.
Sejenak, Vex tersenyum kecil. Cara Nanette memaksanya minum obat memang menyebalkan, tapi di balik itu semua, ia bisa merasakan Nanette benar-benar peduli kepadanya
Setelah menaruh gelas kosongnya kembali di nakas, Vex kembali merebahkan diri, menarik selimut hingga ke dagunya. Sebelum akhirnya terlelap, ia mendengar langkah kaki mendekat.
Beberapa saat kemudian, dirinya merasakan elusan pelan di kepalanya, disusul dengan kecupan pelan di pipinya.
"Get well soon, sayang."
Tak butuh waktu lama hingga Vex kembali tertidur dengan nyenyak.
---
Vex terbangun, mengerjapkan matanya perlahan, masih terasa sedikit pusing. Begitu kesadarannya mulai pulih, ia menyadari sesuatu, yaitu sentuhan lembut di kepalanya.
Tangan Nanette.
Jemarinya perlahan bergerak di antara helaian rambutnya, elusan itu konstan, menenangkan, dan tanpa jeda.
Vex tidak langsung bergerak. Ia hanya membiarkan dirinya menikmati sentuhan itu, membiarkan kantuk yang masih tersisa perlahan memudar. Matanya bergerak mengamati sosok di sampingnya.
Nanette duduk dengan posisi nyaman, punggungnya bersandar pada kepala tempat tidur, dengan tablet berada di pangkuannya. Meskipun tidak jelas, Vex dengan jelas mendengar suara seseorang yang sedang menjelaskan materi yang terdengar dari earphone yang Nanette gunakan. Sesekali, tangannya yang bebas bergerak, mencoret sesuatu di buku catatan yang ada di tangannya.
Setelah beberapa detik, Vex menghela napas kecil dan menggeliat sedikit, sengaja membuat gerakan halus agar Nanette menyadari bahwa dia sudah bangun.
"Hello, handsome. Enjoy your sleep?" tanya Nanette pelan, pandangannya teralihkan pada Vex yang terbangun. Tangannya tetap mengelus kepala Vex dengan lembut.
"Mhm" Jawab Vex singkat. "Tapi kayaknya masih demam."
Mendengar jawaban singkat tersebut, Nanette terkekeh kecil. "Aku bakal kaget kalau kamu langsung sembuh cuma gara-gara sekali minum obat."
"Oh mumpung kamu sudah bangun" Nanette meletakkan tabletnya sembarang di kasur, lalu mengambil satu gelas kecil dari nakasnya dan menyodorkannya ke Vex.
"Coba ini... mumpung masih hangat."
Vex menerima gelas itu, merasakan kehangatannya menyentuh telapak tangannya yang dingin. Ia mengangkat gelasnya sedikit, melihat isinya. "Apa ini?"
"Sup Jamur" ujar Nanette. "dari restoran langgananku"
Vex, tanpa basa-basi, menyesap sup jamur yang dihidangkan dalam gelas tersebut. Begitu tegukan pertama melewati tenggorokannya, ia bisa merasakan betapa nikmatnya sup jamur itu. Gurihnya kaldu berpadu dengan kelembutan jamur yang halus, menciptakan sensasi menenangkan. Hawa panas dari sup merambat perlahan, mengusir sedikit rasa dingin yang menusuk tubuhnya sejak tadi.
Nanette tersenyum melihat Vex menikmati sup pemberiannya. Pemandangan tersebut membuatnya lega. Dirinya kembali mengambil tablet yang sempat terlantar di kasur, lalu kembali fokus dengan tablet ditangannya, melanjutkan kegiatannya.
Vex, yang sudah menghabiskan supnya, segera bergeser dan berbaring di samping Nanette, lengan panjangnya melingkari tubuh gadis itu dari samping. Nanette tak berkata apa-apa, hanya tangannya yang secara refleks kembali mengelus kepala Vex dengan lembut.
"Kamu gak masuk kelas hari ini?" gumam Vex, kepalanya menyender di bahu Nanette.
"Aku masuk kelas online saja hari ini" ujar Nanette, sembari memperlihatkan layar tabnya, menunjukkan seorang dosen yang sedang menjelaskan sebuah materi. Dari posisinya pun, Vex bisa melihat ada tumpukan buku dan lembaran kertas di nakas Nanette.
Vex meliriknya. "Oh... Maaf, aku ganggu—"
"Shhh, it’s alright."
Vex mengerutkan kening, antara merasa bersalah tapi juga heran dengan reaksinya.
"Kamu pindah ke meja aja kalau mau fokus."
Nanette menoleh sekilas, lalu mendengus. "Shut up and keep hugging me. Outside’s too cold. Warm me up."
Vex terdiam sebentar, sebelum menyeringai. "Oh, I can warm you up right now, princess. I’m so hot right now..." suaranya rendah, di iringi dengan nada menggodanya. Beberapa saat kemudian Vex dapat merasakan dahinya di dorong oleh tangan Nanette dengan sedikit kasar.
"Minimal kalau udah sakit tuh jangan malah horny, sinting" ujar Nanette dengan kesal.
Vex hanya bisa terkekeh pelan. Tentu saja dia tidak akan melakukan apa yang ia pikirkan saat ini. Membuat tuan putrinya sakit sebelum hari ujiannya akan membuatnya merasa sangat bersalah di kemudian hari.
"Why would you do this... You even skipped class just to take care of me" ujar Vex. "I can take care of myself while you're in class"
Nanette kembali menatap Vex yang kini bersandar di bagian samping tubuhnya
"I just... want to be there for you."
Vex masih menatapnya, menunggu kelanjutan jawabannya.
“Aku yakin kamu tahu rasanya melakukan segalanya sendiri. Apalagi saat kamu sakit dan tidak ada yang bisa dimintai tolong. Kamu harus memaksakan diri untuk bergerak sendiri dan menyembuhkan diri sendiri. I know how it feels because I've been through it too"
Kali ini, Vex tak membalas pernyataan Nanette.
"Aku tahu kamu bisa mengurus dirimu sendiri, dan aku juga ga akan khawatir meninggalkanmu untuk kuliah saja. Tapi sejak kita tinggal bersama... Aku pikir kenapa kita tidak saling ada untuk satu sama lain?"
Tangannya kembali mengelus rambut Vex dengan lembut.
"I don't wanna be the one who always relies on you. You can rely on me too."
Vex terdiam. Semua yang dikatakan Nanette benar. Dulu, ia terbiasa melakukan segalanya sendirian di rumah ini. Tapi sekarang, ada Nanette di hidupnya. Ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, bahkan tanpa diminta.
"You are not the most reliable person I know, princess," ujar Vex, dengan nada sedikit bercanda.
Nanette menoleh dengan ekspresi sebal. "Vex...."
Vex hanya tertawa kecil sebelum melanjutkan, "But thank you, princess. It means a lot to me."
Ia memejamkan matanya lagi, tangannya mengeratkan pelukannya pada Nanette. Kehangatan Nanette di sampingnya terasa menenangkan—sehangat sup jamur yang tadi ia konsumsi.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Vex merasa sakit bukanlah sesuatu yang harus ia hadapi sendirian.
Ia tersenyum kecil, menenggelamkan wajahnya di bahu Nanette, meresapi kenyamanan yang hanya bisa dapatkan dari kekasihnya.
"If being sick means getting spoiled like this… maybe I should get sick more often," gumamnya pelan.
Nanette mendengus pelan. "Maybe I should give you some sleeping pills instead."
Meskipun berkata begitu, tangan Nanette terus mengelus kepala Vex dengan lembut, seolah memastikan Vex tetap merasa nyaman.
Vex tertawa kecil sebelum akhirnya terlelap, dengan hati yang lebih ringan, dan tubuh yang terasa lebih hangat dari sebelumnya.
0 notes
vexnane ¡ 5 months ago
Text
Tumblr media
by Hanami
0 notes
vexnane ¡ 6 months ago
Text
Vex: It's weird that you trust me so much. you're not scared that i might do something that'll hurt you?
Nanette: You have a lot of chance to hurt me, even right now. But I am still alive
0 notes
vexnane ¡ 7 months ago
Text
Vex: Did you know that i have a hard time sleeping lately?
Nanette: oh no.. I'm sorry I didn't know that
Vex: Wanna know why?
Nanette: yeah?
Vex: Cause my reality is finally better than my dreams Vex: And it's all because of you
0 notes
vexnane ¡ 9 months ago
Text
Day 4 - Hobby
Sampai Vex pun tahu, hobiku adalah membaca. Kebiasaan membacaku ini sudah aku lakukan dari kecil, saat aku masih di organisasi gelap dulu.
Mungkin kalau dulu aku membaca buku yang ada di perpustakaan, dari fiksi dan non fiksi, ensiklopedia, buku sejarah, buku cara membaca dan menulis, dan buku tentang kode morse.
Aku pernah mencoba membaca buku uang banyak titik timbulnya, tapi hingga kini aku masih bingung gimana membacanya.
Dan karena terbiasa membaca, sampai aku hidup bebas dan sendiri pun aku masih menyisihkan uangku untuk membeli buku fiksi dan non-fiksi. Buku non-fiksi beberapa biasanya yang akan aku lakukan secara praktikal di ranah bisnis (karena aku kuliah di jurusan manajemen bisnis), sedikit tentang psikologi (direkomendasikan banyak klienku untuk melindungi diri katanya, dan ternyata sangat berguna) dan juga beberapa buku panduan yang tidak perlu aku sebutkan sepertiミ
"Panduan menjalin hubungan agar selalu awet?"
Suara vex yang membaca judul buku yang aku pesan sedikit nembuatku jengkel.
"Kamu membaca buku seperti ini juga?" ujar Vex, yang aku percaya dia sedang menyengir lebar penuh kemenangan.
"Playboy, fuck boy dan punya isu buruk dengan ibunya dilarang komentar" ujarku, mencoba membalasnya.
"kata yang tidak punya orang tua dan sekali gagal menjalin hubungan karena jatuh cinta dengan orang yang salah" balasnya, tidak mau kalah. "But thats a good choice"
Mendengar ada hal positif yang keluar dari perkataannya membuatku bingung, dia sedang memuji atau sebenarnya sedang sarkas?
Anyway, kalau fiksi, aku lebih fokus ke jalan cerita yang bagus. Aku membaca berbagai genre fiksi sebagai hiburan, minusnya dari membaca fiksi dari berbagai genre ini adalah membuat pilihan filmku jadi sedikit, karena rata-rata yang aku baca justru diadaptasi menjadi film.
Aku selalu membawa buku kemanapun aku pergi. Entah itu ke kampus, atau saat aku mendapat pekerjaan escort client, aku pasti membawa buku untuk menghibur diri.
Selain membaca buku, mungkin aku bisa bilang kalau aku hobi makan. Aku suka makanan pedas seperti makanan korea kebanyakan, salah satunya Korean Chicken Wings. Selain itu, aku juga suka dengan kue yang manis, strawberry shortcake dan cheesecake adalah dua desserts favoritku.
Kalau desserts aku bisa meminta Vex untuk membuatkannya, karena entah kenapa kue buatannya sangat enak, lebih dari toko kue yang jadi langganan.
0 notes
vexnane ¡ 10 months ago
Text
Day 3 - Daily Life
Kehidupanku sehari-hari tidak terlalu menarik untuk diceritakan, kecuali saat aku bangun tidur dan melihat Vex masih tertidur pulas.
Aku tidak membangunkannya jika jadwal kelasku siang, tetapi jika aku harus berangkat pagi, mau tak mau aku harus membangunkannya, karena rumahnya jauh dari halte bus.
Vex biasanya sudah menyiapkan sarapan jika dia begadang dengan pekerjaannya. Jadi, hal pertama yang kulakukan adalah membuat kopi sambil memeriksa jadwal hari ini. Sarapanku pun sederhana, hanya semangkuk salad. Namun, sejak tinggal dengan Vex, dia sering membuat kombinasi aneh, seperti menambahkan protein seperti telur rebus, ayam, atau tuna.
Well, kombinasi buatannya tetap enak seperti biasa. Jadi, aku tidak mengeluh.
Setelah itu, aku mandi, bersiap-siap, dan merias wajahku, lalu menyiapkan barang-barang yang harus kubawa jika ada klien yang memanggil.
Setelah itu, aku pergi ke kampus jika ada kelas, atau menuju lokasi klien jika ada pekerjaan. Aktivitas di luar rumah biasanya berakhir paling lambat jam 10 malam, tetapi kalau hanya kuliah saja, biasanya sore hari aku sudah di rumah, bersantai dengan novel atau tablet di sofa, tergantung apakah ada tugas atau tidak.
Terkadang aku bisa tidak pulang ke rumah jika aku tinggal sendiri. Namun, tinggal dengan Vex memaksaku untuk selalu pulang.
Kegiatan di rumah?
Umm… biasanya "meladeni" Vex atau kami sibuk dengan kegiatan masing-masing di ruang tengah.
Sangat membosankan, bukan?
"Bukankah akan lebih membosankan jika kamu masih tinggal di kosmu yang lama?" Vex tiba-tiba mengganggu saat aku sedang menulis jurnal, memelukku dari belakang.
"Siapa bilang?" Aku meletakkan tanganku di atas tangannya yang melingkar di pinggangku. "Aku lebih tenang jika tinggal sendiri."
"Mengganti chicken wings jadi snack dan es krim jadi makan malam? Aku takkan membiarkanmu tinggal sendiri lagi, princess," ujar Vex. "You may be a pain in the ass, but our days here are not boring at all," tambahnya, sambil mengecup pipiku.
"I never said our days are boring," jawabku. "It's mine."
"So, our private activities don't satisfy you enough to say your life is boring?"
Aku mencoba memukulnya, tapi dia berhasil menghindar atau menangkap tanganku dengan cepat.
"Fuck off."
0 notes
vexnane ¡ 10 months ago
Text
Day 2 - Self introduction
Namaku Nanette Sevenna. Kalau dipikir-pikir ternyata panggilanku banyak dan beragam, tergantung siapa dan dimana aku berada.
Para pelanggan kerjaanku biasanya memanggilku Sevenna. Teman kampus yang aku kenal biasanya memanggilku Nanette.
Beberapa teman yang dekat denganku biasanya menyingkatnya menjadi Nane, kata mereka pengucapannya lebih enak? Entahlah.
Kalau dari Vex dia memanggilku Nane, tapi lebih sering memanggilku dengan sebutan princess, entah kenapa.
"Kamu tuh kelakuannya udah kayak tuan putri, sayang" Ujar Vex, yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan tanktop hitam dan handuk di lehernya, berdiri di belakangku.
Tentu saja aku mendongakkan kepalaku ke arah Vex, lalu tersenyum padanya.
"Bisa ga sih ga ganggu, sayang?" Ucapku, dengan nada sarkas.
Vex hanya bisa memberikan seringai khasnya yang membuatku selalu sebal. Vex kemudian pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Tidak banyak yang aku ketahui tentang diriku sendiri, selain aku lahir ditanggal 7 Juli, dan orangtuaku menjualku hanya demi kekayaan sesaat. Dari kecil aku tinggal di sebuah organisasi gelap yang isinya korban dari penjualan anak, hingga aku kabur dari organisasi tersebut dan bertemu seseorang yang, secara tidak langsung, mengadopsiku dan merawatku hingga aku kuliah. Awalnya aku tinggal di kosan properti miliknya, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pindah dan tinggal permanen di rumah Vex.
Di pagi hari, aku adalah seorang mahasiswa jurusan Managemen Bisnis. Di malam hari, aku bekerja dari jasa rental pacar, escort hingga menjadi "pemuas nafsu pria" dengan bayaran yang..... besar.
Kalau lagi kosong sih biasanya ada bayi besar yang minta dilayani saat malam tiba. Tidak perlu aku sebut siapa kan?
0 notes
vexnane ¡ 10 months ago
Text
Day 1 - First Meet
Jadi lupa bagaimana ceritanya aku bertemu laki-laki brengsek yang telah menjadi partner hidupku saat ini
Mungkin kalau di ingat-ingat kembali, aku pertama kali melihat Vex di hari pertamaku kuliah. Melihatnya duduk di meja seberang dengan beberapa wanita yang berada di sekelilingnya, terpesona akan senyumannya yang manis dan juga penampilannya yang paling keren di jurusannya, mungkin.
Sebelum mengetahui kalau Vex adalah playboy paling terkenal di kampus. Semua wanita meleleh dengan penampilannya, dengan rayuan manisnya. Mudah menyatakan "I love you" ke siapapun. Tentu saja aku di masa itu sangat tidak suka dengan kehadirannya yang mengganggu. Setiap lewat koridor kampus dia menyapa tidak jelas, dia selalu tepat berada di titik mataku memandang setiap kali keluar dari kelas, mengeluarkan kalimat-kalimat basinya yang menjijikkan bagiku di masa lalu, dan selalu hadir di momen tidak penting dikala aku ingin sendirian di taman kampus sembari menamatkan bacaanku.
Aku rasa dulu dia lebih tepat di sebut stalker deh.
"Well, sampai sekarang aku pun masih menganggap dirinya menyebalkan, meskipun kini dia adalah pacarku."
Aku membalikkan badanku ketika mendengar suara Vex membaca kalimat terakhir yang aku tulis.
"Really, princess? Menyebalkan sampai sekarang?" Vex menatapku dengan tatapan usilnya, dilengkapi dengan cengirannya yang khas.
"Tuh, kamu baru saja menunjukkan betapa menyebalkannya kehadiranmu" balasku.
"Tapi menyebalkan seperti ini kamu juga suka kan, princess?" ujar Vex.
Aku hanya bisa tersenyum, lalu melayangkan kepalan tanganku ke perut Vex, mendorongnya.
"Get off, motherfucker"
0 notes
vexnane ¡ 10 months ago
Text
Tumblr media
Im joining this trend from Nanette point of view 👀
1 note ¡ View note
vexnane ¡ 10 months ago
Text
Confession, vexnane fanfiction.
Baik Nanette maupun Vex sebenarnya memendam perasaan satu sama lain, tapi kalau akhirnya perasaan yang dipendam lama harus keluar, gimana ya reaksi keduanya?
VexNane fanfiction
Nanette duduk di sofa yang berada d ruangan Angga. Seharusnya, setelah sesi pembicaraan penting dengan Angga, ia bisa langsung pulang ke kosannya. Namun, karena sudah malam, Angga bersikeras menyuruhnya menunggu anak buahnya, yang ditugaskan mengantar Nanette pulang.
Dan anak buahnya Angga tak lain dan tak bukan adalah Vex. Pria sinting sekaligus teman benefitnya, yang beberapa saat yang lalu membuatnya galau dengan kalimatnya yang menyebutkan dengan jelas bahwa Vex tidak perlu "wanita bayaran" seperti dirinya.
"Ready to go home, princess?"
Suara itu, suara yang membuatnya jengkel setiap hari akhirnya muncul.
"Can you give me a minute.. I'm on an interesting part" ujar Nanette, yang sedang fokus dengan buku ditangannya. "Kamu bukannya harus melakukan report atau apa gitu?"
"I'm done," jawab Vex santai. "Sekarang tugas baruku adalah mengantarmu pulang sampai ke kosan."
Nanette tetap fokus dengan bukunya, membuat Vex yang awalnya berdiri di depannya kini memposisikan dirinya duduk di sebelah Nanette.
"Oh, bacaanmu erotis juga ya, princess. Aku sekarang tau dari mana skill kasurmu datang," ucap Vex dengan senyuman nakalnya.
Nanette melirik Vex dengan tatapan tajam. "At least this book shows me a good chemistry couple. Bukan kayak kamu yang datang-datang cuma minta jatah," balasnya dengan nada ketus. Nanette kembali ke kegiatan membacanya, kembali mencurahkan semua fokusnya hanya pada buku favoritnya.
Sebelum Vex sempat membalas, suara berat Angga memotong. "Mulutmu, Brennan. Sejak kapan saya mengajarkanmu berbicara seperti itu di depan wanita? Apalagi itu teman dekatmu."
Nanette menahan tawa mendengar nada Pak Angga yang tengah menceramahi Vex. Dinamika antara Vex dan Angga selalu membuatnya merasa bahwa mereka seperti ayah dan anak, sesuatu yang terkadang membuat Nanette iri.
"Following up dengan perkataan sebelumnya," lanjut Angga, kali ini lebih serius. "Kalian ini sebenarnya statusnya apa? Kalian membicarakan perkara kasur, harusnya minimal kalian pacaran kan?"
Vex dan Nanette langsung bertingkah aneh. Vex membuang muka, sementara Nanette pura-pura sibuk memainkan rambutnya, seolah tidak mendengar pertanyaan Angga. Melihat tingkah mereka, Angga hanya bisa menggelengkan kepala, memahami situasi dua orang di depannya.
"Take your time as much as you want, Miss Nanette. Vex, kamu harus lapor ketika Miss Nanette sudah sampai di tempat tinggalnya"
"Yessir…"
Angga kembali fokus pada pekerjaannya, sementara Nanette masih fokus dengan bacaannya, berusaha mengabaikan kehadiran Vex.
"Kamu keliatan antusias banget bacanya," ujar Vex lagi, masih tak mau menyerah. "Sebegitu nikmatnya kah fantasimu dibandingkan realita yang kamu jalani setiap hari?"
"Brennan!" Angga mulai mengeluarkan suara protesnya.
"It's okay, sir," sahut Nanette sebelum Angga sempat melanjutkan. "Ini percakapan sehari-hari kami. Memang terdengar tidak sopan, tapi saya tidak masalah."
Tatapan tajam Nanette kemudian beralih ke Vex. "Dan kamu, kalau gak bisa lihat situasi, mending diam aja! Itu bosmu, tahu!"
Vex hanya tersenyum tipis, tapi tetap menganggap enteng. "Tapi benar kan? Aku tuh kurang apa coba kalau fantasi liarmu lebih memuaskan daripada aku?"
Nanette akhirnya menutup bukunya. Wajahnya menunjukkan ekspresi pasrah dengan segala omong kosong yang keluar dari mulut Vex.
"Kalau kamu bisa gak kasar dan sedikit lebih perhatian, mungkin aku akan mempertimbangkannya."
"Oh? Princessnya request nih?"
"Enggak juga, jangan terlalu percaya diri"
Meskipun sedang beradu mulut, Nanette bisa mendengar Angga tengah menghela napas panjang menyaksikan kedua orang didepannya.
"Kamu gak mau disayang-sayang?" lanjut Vex sambil bercanda. "Baiklah…"
Nanette meliriknya dengan tatapan heran. "Memangnya kamu sayang sama aku?"
Vex terdiam saat Nanette bertanya. Posisi duduknya tiba-tiba berubah dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, yang dimana Angga dapat melihat dengan jelas kalau wajah Vex saat ini memerah atas pertanyaan tersebut.
Hanya dengan melihat keduanya, Angga paham apa yang sebenarnya terjadi diantara keduanya, pertanyaan sebelumnya terjawab dengan jelas tanpa harus dikonfirmasi oleh kedua belah pihak.
Anak buahnya jatuh cinta kepada Nanette. Begitu juga dengan tamunya malam ini juga jatuh cinta kepada Vex, hanya saja Nanette terlihat menahan diri untuk tidak menampakkannya di depan anak buahnya, dengan salah satu faktor yang dapat Angga pahami.
"huh figures.." Nanette kembali membuka bukunya. ".. dan perkataanmu sebelumnya membuat semuanya ma--"
"…mau"
"Mau apa?" tanya Nanette, mencoba memancing jawaban Vex.
"MAU SAYANG KAMU, BANGSAT!" teriak Vex, tanpa peringatan.
Nanette terdiam. Tak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut Vex saat ini. Meskipun Nanette juga sedang mencari dimana letak ekspresi wajah menyebalkannya dikala yang tampak saat ini adalah ekspresi yang serius.
Nanette menutup bukunya, benar-benar tertutup rapat tanpa ada intensi untuk melanjutkan membaca.
"Kau baru saja menyebutkan dengan jelas kalau kau tidak mau dengan wanita bayaran kan?" ucapnya, mengkonfirmasi kata-kata Vex yang lalu, yang masih berputar di kepalanya saat ini. "Jadi laki-laki labil banget"
Kali ini gilirannya Vex untuk terdiam, merasa bersalah.
"Ya maaf, tadi tuh reflek" balasnya. "Karena kamu menolakku dari awal.."
Nanette tetap dalam posisi bertahan. Ada rasa lega kalau saat ini Vex menyatakannya dengan serius, tapi ada rasa kesal karena selama ini Nanette terbiasa dengan Vex yang tidak pernah serius dalam menyatakan perasaannya.
Apalagi riwayatnya sebagai playboy belum sepenuhnya hilang dari mata Nanette.
"Pertanyaan serius, Vex. Kamu mau sama 'wanita bayaran' sepertiku?" Nanette kembali mencari validasi, menentukan bahwa pernyataannya barusan benar-benar datang dari hatinya atau hanya untuk mencuri perhatiannya. "Engga juga kan?"
Vex terdiam lagi, tapi kali ini lebih lama. Ia terlihat mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tentu saja Nanette susah percaya padanya, meskipun memang tidak bisa menyalahkan faktor kenapa Nanette setidak percaya itu padanya. Hanya saja kali ini Vex tidak peduli. Dirinya lelah dengan Nanette yang selalu menganggapnya bercanda.
"Kalau aku mau gimana?"
"Nadamu gak meyakinkan," balas Nanette, mempertahankan sikap skeptisnya.
"Ya udah sih," kata Vex akhirnya, suaranya terdengar kesal dengan reaksi Nanette yang tidak ada sedikitpun rasa percaya kepadanya. "Kalau kamu gak percaya sama apa yang aku ucapkan barusan, mending aku mundur aja. Gak mau ribet."
"Apa sih susahnya kalian untuk mengakui kalau kalian berdua itu sebenarnya saling menyukai"
Angga yang menyaksikan Vex dan Nanette ribut sendiri merasa risih dengan inti perdebatan mereka berdua.
"Kalian berdua itu terlihat seperti menarik ulur satu sama lain tau ga? Kayak main tarik tambang"
Baik Nanette maupun Vex saat ini sedang memasang wajah protesnya. Meskipun jauh, Angga bisa melihat rona tipis dari kedua insan didepannya.
"Pak, dia jelas-jelas gak mau, padahal aku sudah frontal menyatakan perasaan saya. Kalau dia tetap bereaksi begitu kan berarti sudah cukup jelas" Vex menjelaskan perasaannya kepada Angga.
"Kamu sadar ga Vex, kalau kamu yang dari awal sudah salah ngomong" ucap Angga, bertindak sebagai penengah. "Minta maaf sana"
Vex yang malah di kritik oleh Angga memasang wajah ga terima.
"…kok aku harus minta maaf sama dia?"
"See?" Nanette menyela Vex.
"Kamu menyebutkan Miss Nanette dengan 'Wanita bayaran' kan? Tentu saja omonganmu itu menyakiti hatinya" ujar Angga. "Dan omongan tersebut keluar dari mulutmu, orang yang dia kenal dan suka"
"Ewh ngapain aku ngaku-ngaku suka sama orang tidak jelas kayak dia" Nanette kembali memotong pembicaraan Angga dan Vex dengan nada protesnya.
"Miss Nanette, disini kamu juga salah" Angga langsung mengalihkan pembicaraannya kepada Nanette, yang membuat Nanette memasang wajah protesnya.
"Lah kok saya jadi kena juga?" jawab Nanette.
"Tapi mengenai dia wanita bayaran kan fakta pak" sela Vex.
Nanette menatap Vex dengan wajah tidak percaya.
"Fakta atau bukan, tidak sopan seorang laki-laki berbicara seperti itu" jawab Angga, mencoba memberi paham
"Tidak sopan gimana? Kan memang Nane wanita bayaran?" balas Vex. Nanette kembali menatap Vex dengan tidak percaya atas apa yang diucapkan olehnya.
Angga menghela napas panjang. Lelah memberitahu anak buahnya yang, bisa bisanya, masih bebal setelah diberikan penjelasan."Brennan, ada hal yang sebaiknya kamu simpan dalam hati walau kamu tau kalau itu fakta"
"Aku ga percaya sudah kenal laki-laki paling ga jelas kayak dia" ujar Nanette.
"Dan kamu juga, Miss Nanette. Saya paham kalau kamu suka dengan Vex. Tapi kamu ngeyel main tarik ulur, seolah memastikan memang dia maunya sama kamu"
Nanette tak berkutik ketika Angga memberikan komentar padanya.
"Sekali dua kali tak apa, jika terlalu sering ada beberapa orang yang akan jengah akan hal itu. Dan ucapan yang terlontar dari orang tersebut akan menyakitimu" tambah Angga.
Nanette merasa terpojokkan ketika kalimatnya terdengar seperti membela Vex.
"Tarik ulur gimana? Dia juga di frontalin malah dianggap bercanda. Sudah jelas kan kalau dia tidak mau sama saya?" ujar Nanette
"Jelas gimana sih, aku balas dengan frontal kamunya juga meragukan apa yang aku ucapkan" akhirnya Vex berbicara menghadap ke Nanette. "Males deh jadinya"
"Playboy dan fuckboy kayak kamu emang bisa dipercaya? Paling kamu udah ngomong begitu ke 5 atau 10 wanita lain" ujar Nanette.
Angga yang menyaksikan kedua pemuda-pemudi didepannya hanya bisa mengelus dada, berusaha sabar.
"Tuh, udah kujelasin berkali-kali juga ga bakal di dengerin. Mending aku berhenti kalau reaksimu begitu" ujar Vex.
Nanette merasa emosinya sudah di puncak. Marah-marah dengan Vex pun hanya menguras tenaganya hari ini. Memang benar, Nanette punya rasa dengan Vex. Tapi setelah melihatnya hari ini, Nanette jadi mengurungkan niatnya untuk menyatakan perasaannya juga.
"Vex, kamu pernah tahu gak, minimal mencoba memahami kenapa Nanette sampai menjual dirinya?" Angga mencoba mencari jalan tengah untuk menenangkan kedua belah pihak.
"Memangnya mengetahui alasan dia menjual diri tuh biar apa sih?" jawab Vex dengan santainya.
"ya mencoba paham aja, apa salahnya?"
Dikala Vex dan Angga berbicara satu sama lain, Nanette mulai merapikan pernak-pernik yang dia bawa ke dalam tasnya, termasuk buku bacaannya.
"Aku sayang kok sama dia, ga perlu alasan kenapa aku menyayanginya. Tapi dari awal dia tidak memberikan tanda kalau dirinya merespon atau apa gitu, daripada sakit hati terus mending kan berhenti sekalian" jawab Vex. "lagian bapak juga tahu kan kalau saya tidak main perempuan lagi setelah saya dihukum oleh anda"
"Benar, Vex pernah saya hukum karena ketahuan bolos dengan wanita lain yang bukan merupakan client saya' ujar Angga, yang mencoba meyakinkan Nanette.
"tapi ya Nanette mana mau percaya sama fakta yang tadi bapak bilang" ujar Vex, sembari melirik Nanette yang tengah berberes.
Nanette akhirnya merapikan dirinya, lalu berdiri dari kursinya.
"sudahlah, daripada ribut mulu mending saya pulang" ujar Nanette. "Vex dikasih tau juga ga bakal mengerti. Ga perlu buang energi untuk ini. Selamat malam Vex, pak Angga"
Ruangan itu seketika hening, baik Angga maupun Vex hanya melihat Nanette keluar dari ruangan.
"Brennan, kejar dia," perintah Angga dengan tegas, tetapi dengan nada yang lebih halus kali ini.
"Hah? Ngapain ngejar lagi, kan dia mau pulang," Vex menjawab, kebingungan.
Angga dengan cepat berdiri dari tempat duduknya dan mendorong Vex ke arah pintu dengan paksa. "Kalau kau tidak pulang dengan kabar bahwa Miss Nanette sudah sampai kosannya dengan selamat, kau takkan kuberi waktu istirahat."
Dengan kalimat ancaman tersebut, akhirnya Vex pasrah dan dengan berat hati keluar untuk menyusul Nanette. Meski wajahnya tampak ogah-ogahan, di dalam hatinya ada rasa khawatir yang tidak dia ungkapkan. Dia mempercepat langkahnya keluar ruangan, berharap Nanette belum terlalu jauh untuk dikejar.
Angga menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil, menyaksikan interaksi dua orang itu. Dia tahu betul, meski keduanya saling bertahan, di dalam hati ada perasaan yang lebih dalam dari sekadar pertengkaran biasa. Mungkin mereka butuh waktu untuk benar-benar jujur dengan diri sendiri dan satu sama lain.
Sementara itu, Nanette berjalan sendirian di pinggir trotoar jalan besar yang kebetulan sepi. Wajar saja, ini sudah lewat tengah malam—waktu ketika kebanyakan orang sudah terlelap.
Namun pikiran Nanette tidak bisa fokus pada jalanan. Yang berputar-putar di kepalanya hanyalah kejadian yang baru saja terjadi.
Vex dengan berani menyatakan perasaannya, di hadapannya, dan di depan bosnya. Momen itu jadi sesuatu yang tak mungkin ia lupakan, tapi di sisi lain, juga menyayat hatinya karena respon Vex yang tak pernah ia duga.
Respon itu membuat Nanette merasa, jika ia membalas perasaannya, ia hanya akan terlihat konyol.
"Nanette!"
Langkah Nanette terhenti. Suara yang tak asing memanggilnya. Tapi setelah tahu siapa yang memanggil, ia memilih melanjutkan langkahnya, seolah tak peduli.
Hingga tangan Vex menggenggamnya.
"Hei! Kalau dipanggil ya nyaut, bukannya diem aja," ujar Vex. "Udah malam, bahaya kalau kamu jalan sendirian."
"Lepasin."
Vex tertegun, mendengar jawaban dingin dari Nanette.
"Aku lebih baik pulang sendiri daripada harus menahan emosi pulang bersamamu," ucapnya sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Vex.
Vex menghela napas, tapi tak melepaskan tangannya.
"Oke, oke. Aku minta maaf karena udah ngomong nyakitin, nyebut kamu wanita bayaran," ujar Vex, nadanya terdengar tulus.
Nanette terdiam.
"Aku juga minta maaf soal yang tadi di depan Pak Angga. Aku sadar kalau responku tadi menyakitimu"
Nanette menghela napas panjang, lalu menatap Vex, mencoba mencari tanda apakah ia benar-benar tulus atau tidak.
"Baiklah," jawab Nanette akhirnya. "Sekarang antar aku pulang."
Vex akhirnya melepaskan tangannya dari Nanette dan berjalan di sampingnya, menuju mobilnya yang terparkir di depan kantor Angga.
"Tuh, kamu sekalinya dibaikin langsung manfaatin. Yang nganter pulanglah, yang bayarin makan lah" ucap Vex sambil tersenyum kecil, meski nada protesnya jelas.
"Lah tadi yang nawarin nganterin pulang siapa, kocak" balas Nanette tak kalah sinis. "Lagian kamu juga mau"
"Ya karena aku suka sama kamu, princess" Vex membalas, kembali dengan nada frustasinya. "Kalau aku gasuka kamu, chatmu ga akan aku ladenin. Bahkan mabuk pun aku anter kamu sampai ke kosanmu kan.."
Nanette terdiam saat kembali mendengar pernyataan dari Vex.
"Berhenti," ucap Nanette tiba-tiba, menghentikan langkahnya. Vex yang mendengarnya juga ikut berhenti.
"Apa lagi sih princ—"
"Afeksimu tuh mempengaruhiku. Aku gak suka!"
Vex kini terdiam, bingung dengan pernyataan Nanette.
"Maksud kamu, kamu gak suka kalau aku menyayangi kamu?"
Nanette menundukkan kepalanya.
"Perjanjian kita dari awal tuh fwb Vex, kalau sampai bawa perasaan begini its not friends with benefit anymore" ujar Nanette.
Vex menatap Nanette dengan serius.
"Kamu tuh harusnya udah bisa baca sinyalku, Nanette. Kalau aku gak sayang atau suka sama kamu, aku gak bakal repot-repot balas chatmu, apalagi nganterin kamu pulang tiap kali ada masalah. Kamu pikir aku ngelakuin itu semua buat apa?"
"Karena kamu mau?"
"Tuh tau" ujar Vex, sedikit menahan emosinya. "Bahkan chatmu aku pin, biar kalau kamu ada apa-apa aku bisa langsung nyamperin kamu" tambahnya.
"ngapain harus ngepin segala"
"KARENA PEKERJAANMU LEBIH BERBAHAYA DARIPADA AKU, NANETTE"
Nanette menatap Vex saat dirinya meninggikan suaranya. Nanette tidak menyangkal pernyataan Vex bahwa pekerjaannya emang yang paling beresiko.
"Haruskah kamu bekerja seperti ini terus? Kamu tuh sebenarnya potensial, apalagi tentang uang" ujar Vex, dengan nada protesnya. "Ngapain sih kamu memilih pekerjaan yang pelanggannya aja ga jelas, paling random pula"
"Stop berusaha peduli, udah telat"
Vex menghela napasnya. Mulai lelah berdebat dengan tuan putri yang ga pernah bisa dibilangin.
"Then help me to help you, princess. Kamu butuh apa? Modal? Pekerjaan lebih layak? Aku bisa bantu" ujar Vex.
"Gak. Aku ga mau bergantung padamu" ujar Nanette. "Afeksimu terlalu berpengaruh, Vex. Bikin aku lupa dimana batasnya antara perjanjian kita dan perasaanku sendiri"
Vex menatap Nanette tidak percaya dengan pernyataannya.
"Terus aku harus apa? Di kasih afeksi malah ga suka, terus harus apa?"
Nanette mulai meraba kepalanya yang berdenyut. Permasalahan ini sebenarnya bisa diselesaikan hanya dengan menyatakan satu sama lain. Nanette masih mencari jawaban yang dirinya inginkan dari Vex, tapi dirinya kali ini sudah lelah untuk bersikap tenang.
"AKU GATAU CARA NGADEPINNYA VEX" ujar Nanette, akhirnya mengeluarkan suaranya.
"KALAU AKU SUKA PADAMU DAN SEBALIKNYA, BERARTI DEAL KITA BERAKHIR DONG. Gimana sih"
Vex menghela napasnya. Vex terkadang lupa kalau princess yang paling dicintainya ini bodoh.
"Yaudah, aku suka sama kamu. Aku serius nih" ucap Vex tanpa ragu.
Nanette menatap Vex dengan getir.
"Yakin? Kan aku "wanita bayaran" yang tidak kamu suka"
"YATUHAN MASIH DIUNGKIT LAGI" seru Vex frustasi.
"Kamu sendiri yang bilang!"
Vex mulai memijat kepalanya, merasa kehabisan kata-kata.
"Capek ah. Pulang aja mending" ujar Vex. "Kamu benar, berdebat seperti ini membuang tenaga"
Vex akhirnya berjalan menuju mobilnya yang terparkir di dekat kantor Angga. Nanette, tanpa banyak kata, menyusul Vex. Malam semakin larut, dan udara dingin menusuk kulit mereka, diiringi suara gemerisik daun yang tertiup angin.
Dalam perjalanan menuju parkiran, suasana di antara mereka hening. Tak ada lagi debat, hanya keheningan yang terasa berat.
"Aku masih minta maaf atas perkataanku tadi," Vex memecah keheningan. Suaranya lembut, hampir seperti bisikan yang disapu oleh angin malam. "Mulai malam ini, aku akan berhenti memberi afeksi padamu. Jadi kamu gak perlu lagi bingung atau merasa terganggu."
"Oke," jawab Nanette singkat, sedikit menahan emosinya. "Tapi kita masih fwb, kan?"
"Iya."
"Tuh, kan," balas Nanette sinis. "Pasti kalimat tadi udah pernah kamu sampaikan ke wanita lain. Aku gak bakal tertipu sama mulut manismu lagi."
Vex menghela napas panjang. "Terserah kamu deh."
"Playboy sinting"
"Ya, aku gila gara-gara kamu," balas Vex, dengan nada yang sudah tak lagi bersemangat untuk berdebat.
"Emang dasarnya kamu gasuka sama aku. Jujur aja deh, gausah maksain suka sama 'wanita bayaran' sepertiku. Yang ada sakit hati" ucap Nanette.
Vex berhenti melangkah dan menatap Nanette. Emosi yang selama ini ia tahan tampak tak lagi bisa dibendung. Tiba-tiba, ia meraih tangan Nanette dan mendorongnya dengan lembut ke dinding terdekat, lalu meletakkan tangannya di samping kepala Nanette.
"Dengerin ya, bangsat" ujar Vex, suaranya rendah namun tegas. "Aku cinta sama kamu, aku khawatirin kamu setiap kali kerja"
Nanette menatap Vex, kali ini bisa dipastikan kalau Vex benar-benar serius menyatakan perasaannya.
"Aku tidak pernah bermaksud untuk menghinamu, malah aku sangat kagum denganmu karena kamu tuh wanita yang kuat dan juga mandiri, aku justru sangat respect padamu princess. Aku ga peduli kamu tuh wanita bayaran semua pria atau apalah itu. Aku suka sama kamu, cinta sama kamu"
Nanette menatap Vex dalam diam. Ia bisa merasakan ketulusan dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Kamu tau ga betapa sakitnya setiap kali kamu mengelak seperti tadi? Kamu sih harusnya tau karena aku sering melakukannya padamu"
Nanette menunduk, tak mampu membalas. Ia tahu. Ia tahu betul apa yang Vex maksud.
Bukannya menjawab, Nanette perlahan memeluk Vex. Tindakannya membuat Vex terkejut.
"Tolol. Harusnya kamu bilang dari awal"
"AKU UDAH BILANG" seru Vex, nadanya terdengar sedikit frustrasi. "Tapi kamunya begitu"
Vex masih kaget melihat reaksi Nanette yang justru memeluknya, bukannya menjawab apalagi membalas pernyataannya.
"…. bodo ah fwb anjir"
Vex melepas pelukan dari Nanette.
"Hah? Kok fwb?"
Nanette menatap Vex sembari tersenyum kecil.
"Bodo amat sama fwb, kamu mau minta lebih akan aku kasih"
Vex sedikit menghela napas lega.
"Yang benar? Awas kalau kamu minta bayaran dibelakang"
"Enggak. Ga bakal"
Vex tersenyum kecil sebelum mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut bibir Nanette. Ciuman itu bukan karena nafsu atau paksaan, tapi murni dari perasaan tulus yang sudah lama mereka pendam.
Ketika akhirnya mereka melepaskan ciuman, Vex dan Nanette saling menatap, dahi mereka bersandar satu sama lain. Tangan Nanette melingkari leher Vex, sementara tangan Vex melingkari pinggang Nanette.
"Aku gak peduli kamu kerja apa, yang penting kamu selamat dan…" Vex mengangkat tangannya, mengelus lembut pipi Nanette. "Sekarang kamu milikku."
Nanette tertawa kecil mendengar kata-kata Vex.
"Gak gitu prosesnya, udah main klaim aja."
"Biarin," balas Vex sambil tersenyum. "Kenapa? Kamu gak suka? Ngomong sini, sekarang."
Nanette hanya menatap Vex dengan senyum tipis yang mengandung sejuta arti.
"I love you, Vex," ucap Nanette lembut.
Vex tersenyum lebar mendengar kata-kata yang akhirnya keluar dari mulut Nanette.
"I love you too, Nane. My princess."
Tanpa kata, mereka saling mendekat, kembali tenggelam ke dalam ciuman penuh hasrat, membiarkan setiap kecupan dan tatapan mata berbicara lebih dari yang bisa diungkapkan.
0 notes
vexnane ¡ 10 months ago
Text
Down
VexNane short fanfiction
Hari ini cuaca sedang tidak bersahabat, membuat semua orang yang biasanya beraktifitas di malam hari harus mendekam dirumah, termasuk Nanette. Langit mendung dan disertai dengan angin kencang membuat Nanette harus pulang lebih cepat dari yang biasanya, bahkan tidak mengambil pekerjaan terlalu malam karena khawatir cuaca saat ini bisa membahayakan dirinya.
Well, part terakhir itu sebenarnya merupakan nasehat dari Vex yang menjadi topik utama mereka saat sarapan. Mengingat kini Nanette tinggal di rumah Vex, mau tak mau Nanette harus mendengarkannya.
Untuk menghabiskan waktunya, Nanette fokus dengan tab di tangannya. Sesekali Nanette mengetik sesuatu, sesekali juga mencoret sesuatu dengan stylus pennya. Sesekali pula ia melihat ke ponselnya, memeriksa apakah ada pesan masuk dari klien yang akan menggunakan jasanya untuk beberapa hari kemudian, ataupun kabar dari Vex yang, entah kenapa, sampai saat ini belum pulang juga. Padahal malam sudah semakin larut.
Baru saja Nanette memikirkan Vex, suara mobil terdengar dari depan rumahnya. Nanette paham betul kalau mobil yang berhenti di depannya adalah mobilnya Vex.
Beberapa saat kemudian, Vex masuk ke dalam ruangan. Nanette awalnya ingin menyapa dan bertanya kenapa pulangnya lebih lama dari biasanya, tapi setelah menyaksikan Vex yang hadir dengan pakaiannya yang berantakan dan juga berlumuran antara darah dan tanah, Nanette hanya bisa diam.
“Welcome home, darling” sambut Nanette, selembut mungkin.
Vex terdiam saat Nanette menyapanya, tidak menjawab sama sekali. Tatapannya terlihat kosong di balik penampilannya yang berantakan itu, seolah baru saja melalui pertarungan yang sengit, dan Vex kalah dalam pertarungan tersebut.
Nanette paham kalau ada sesuatu yang terjadi pada pekerjaannya, dan siapa yang tidak kepo dengan apa yang terjadi sampai membuat Vex seperti ini. Namun, dari aura kehadirannya, jelas bahwa Vex tidak ingin membicarakan pekerjaannya, apalagi tentang alasan mengapa dirinya kembali dalam kondisi yang kacau saat ini.
Nanette menutup tabnya dan meletakannya di meja. Ia langsung berdiri, menghampiri Vex yang sedang melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Nanette berdiri di hadapannya, menghalangi langkahnya.
"Nane, aku.."
Tanpa berkata apapun, tangan Nanette seketika mendekap tubuhnya, menariknya dalam satu pelukan yang erat. Vex terdiam saat Nanette memeluknya. Tidak melawan, tapi tidak juga mendorongnya untuk melepaskan pelukannya.
"Nane, aku kotor hari ini."
Tanpa menanggapi Vex, Nanette dengan cekatan membuka kancing bajunya. Ia menarik kemeja Vex yang berlumuran tanah dan darah, melemparkannya ke sofa, menyisakan tank top hitam yang dikenakan Vex.
Sekali lagi, Nanette memeluk Vex dengan erat. Tanpa kata-kata, hanya memeluknya. Merasakan tubuh Vex yang dingin, akibat dari cuaca yang tidak jelas hari ini.
Tidak butuh waktu lama, Vex membalas pelukan dari kekasihnya. Vex memeluk Nanette lebih erat, merasakan tubuh ramping Nanette yang memberikan kehangatan dan juga ketenangan padanya.
Tidak perlu kata-kata, tidak perlu penjelasan. Kehadiran Nanette sudah cukup untuk meruntuhkan segala emosi yang Vex tahan sepanjang perjalanan pulang.
Sembari memeluknya, Vex menyandarkan dahinya ke bahu Nanette, menghirup aroma Nanette yang cukup untuk menenangkannya, cukup untuk merasakan bahwa dia berada dirumah. Sentuhan tangan Nanette yang mengelus kepalanya membuat pertahanannya runtuh, dan air matanya mulai mengalir dalam diam. Hanya Nanette yang tahu kalau dirinya sedang dalam kondisi yang berantakan.
Pelukannya menjadi semakin erat, tidak terlalu erat untuk membuat Nanette tidak nyaman, tapi cukup erat untuk memberitahu kalau dirinya tidak akan membiarkan Nanette pergi dari pelukannya.
"Something happen at your work, right?"
Akhirnya Nanette memecahkan keheningan. Vex tidak menjawab pertanyaan tersebut, tapi tidak menyangkal kalau sesuatu memang terjadi pada kerjaannya yang membuat dirinya tidak stabil.
Nanette perlahan melepaskan pelukannya, menatap Vex yang terlihat sangat terguncang hari ini, dari rambutnya yang berantakan hingga matanya yang sembab. Dengan lembut, Nanette mengusap air mata di wajah Vex dan sedikit merapikan rambutnya.
"Your warm bath is ready if you need time alone" Ujar Nanette. "Aku anggap kamu tidak memasak hari ini, jadi aku order mushroom soup untuk menghangatkan diri. Is that enough for you?"
Vex tersenyum tipis, mengecup kening kekasihnya dan kembali memeluk Nanette dengan erat.
"Yeah, that enough for me"
0 notes
vexnane ¡ 11 months ago
Text
Tumblr media
"Go back to sleep, princess. I'm here to protect you" bisik Vex sambil mencium kening Nanette dengan lembut. Melihat kekasihnya terbangun dari mimpi buruknya dengan mata sembab, Vex pun merasa sedih.
"I can't.." jawab Nanette sambil menyeka air matanya. "I can't go back to sleep if those dreams haunt me again"
"Nane..." Vex menghela napasnya, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "You've been working hard today, get some rest"
"All right" Nanette kembali memutuskan untuk memposisikan dirinya untuk kembali tidur. "I will go back to sleep if promise me you will protect me from the Orc" pintanya, dengan nada setengah mengantuk.
Vex meletakkan tangannya di kepala Nanette, membelainya dengan lembut sambil tersenyum.
"I intended to vanquish Sauron for you if that would help you drift back into slumber, my precious."
ミミミミミミミミミミミミミミミ
vexnane by Kae Hara
0 notes
vexnane ¡ 11 months ago
Text
Tumblr media
Ini sebenernya art gift kelar sidang dari authornya Vex BUT THIS IS SO CUTE I HAVE TO UPLOAD IT HERE 😭❤️
As always, Vex's face looks so punchable.
0 notes