yu69a
yu69a
Here | There | Everywhere
28 posts
Glory and Gorgeous is My Desires
Don't wanna be here? Send us removal request.
yu69a · 13 days ago
Text
Jejeg Ajeg, Tatag Teteg: Sebuah Refleksi untuk Mahasiswa yang Tengah Menunda
Di antara banyak nilai yang saya pegang dalam menjalani hidup, ada satu prinsip Jawa yang selalu saya bawa ke dalam ruang kelas, diskusi tugas dan kegiatan bersama mahasiswa: Jejeg Ajeg, Tatag Teteg. Sebuah rangkaian kata sederhana yang punya makna mendalam—tentang keteguhan pendirian, kesabaran dalam proses, dan konsistensi menjalani tujuan.
Saya bukan sedang mengidealkan masa lalu atau menutup mata terhadap realitas mahasiswa hari ini. Justru saya ingin mengajak kita semua untuk merenung bersama: mengapa prokrastinasi begitu mudah tumbuh dalam budaya akademik kita?
Menunda Bukan Selalu Salah, Tapi Sering Menyesatkan
Saya paham bahwa tidak semua mahasiswa datang dari ruang yang sama. Ada yang kuliah sambil bekerja, ada yang harus berbagi waktu dengan keluarga, ada pula yang tengah berjuang melawan rasa tidak percaya diri. Menunda tugas atau skripsi bukan semata karena malas. Sering kali, itu adalah hasil dari pergulatan hidup yang kompleks.
Namun, ketika penundaan menjadi kebiasaan, bukan lagi strategi, di situlah masalah dimulai. Kita menunda belajar karena merasa masih ada waktu. Menunda menyusun skripsi karena merasa belum ‘siap’. Menunda kelulusan dengan dalih belum menemukan topik yang ‘klik’. Lama-lama, kita membiarkan diri terjebak dalam ruang tunggu bernama “nanti”.
Padahal hidup, sebagaimana falsafah Jawa tadi, memanggil kita untuk teteg—berani mengambil langkah meski belum sempurna. Untuk tatag—keberanian dalam menghadapi tantangan. Untuk ajeg—konsisten, tak mudah goyah. Dan untuk jejeg—berdiri dengan prinsip, bukan sekadar ikut arus.
Mahasiswa Butuh Nilai, Bukan Sekadar Nilai
Dalam banyak diskusi, saya sering mengatakan bahwa perkuliahan bukan hanya tentang mengejar angka capaian akademis saja, melainkan tentang membentuk daya tahan intelektual dan emosional. Jejeg Ajeg, Tatag Teteg bukan hanya mantra hidup saya, tapi juga pengingat bahwa perjalanan akademik adalah bagian dari pembentukan karakter.
Kita boleh lelah, kita boleh pelan, tapi jangan berhenti. Jangan menunda hal-hal yang bisa kita mulai hari ini. Karena waktu tidak pernah benar-benar menunggu.
Menemukan Irama Sendiri
Saya tidak menuntut semua mahasiswa harus seragam dalam capaian waktunya. Tapi saya percaya setiap mahasiswa bisa menemukan irama kerja dan belajar yang sesuai, asal ada kemauan untuk jujur pada diri sendiri. Jika memang sedang sulit, sampaikan. Jika memang butuh bantuan, cari. Jangan diam dalam penundaan yang menyesatkan.
Saya tahu, tidak semua orang punya kemewahan waktu luang. Tapi semua orang bisa memilih untuk tetap melangkah, satu demi satu, meski pelan. Karena tatag bukan hanya tentang keberanian, tapi tentang keberanian untuk tidak menyerah.
Jangan Lupa untuk Berdiri Tegak
Tulisan ini bukan sekadar refleksi saya sebagai dosen. Ini juga adalah cermin yang saya sodorkan kepada siapa pun yang pernah—dan mungkin sedang—berada dalam fase menunda.
Mari kita latih diri untuk jejeg ajeg, tatag teteg dalam setiap aspek kehidupan. Dalam belajar, bekerja, dan menjalani peran sebagai mahasiswa maupun manusia seutuhnya.
Karena dalam dunia yang penuh distraksi dan jalan pintas, yang tetap teguh dan konsisten adalah mereka yang akan sampai di tujuan dengan penuh makna.
0 notes
yu69a · 22 days ago
Text
Lebih dari Sekadar Medali
Sabtu pagi itu, seperti biasa mengantarkan anak saya mengikuti ekskul robotic di sekolahnya. Biasanya, pukul sembilan sudah bubar, tapi hari itu pintu kelas masih tertutup.
Ternyata hari itu adalah penutupan ekskul robotic untuk tahun ajaran ini—dan sebagai penutup, para siswa mengadakan kompetisi internal. Dua kategori dipertandingkan: free building dan robot soccer.
Saya langsung teringat. Sudah sebulan belakangan anak saya sering tampak gelisah menjelang Sabtu. Ia anak yang cukup perfeksionis dan cenderung overthinking. Ia sangat menikmati robotic, tapi untuk kategori free building—di mana anak-anak diminta membangun robot tanpa panduan langkah demi langkah—ia merasa cemas. “Aku itu gak punya ide harus membuat apa,” katanya suatu malam. “Aku takut bingung nanti harus mulai dari mana.”
Kami mencoba menenangkannya. Bahwa lomba ini bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang mencoba, berproses, dan percaya pada diri sendiri. Tapi tentu, bagi anak seusianya, kalimat itu lebih mudah diucapkan daripada diyakini sepenuh hati.
Sekitar pukul 09.30, anak-anak mulai keluar. Dengan langkah cepat, anak saya menghampiri saya, napasnya sedikit memburu. Di lehernya tergantung medali dan dalam genggamannya ada banyak goodie bags berisikan snack.
“Pak! Aku juara tiga free building! Dan juara empat robot soccer!” serunya bangga.
Saya tersenyum. Lalu memeluknya. Bukan karena medali itu—tapi karena saya tahu betul bagaimana perasaannya seminggu, dua minggu, bahkan sebulan terakhir. Ia melawan keraguannya sendiri, dan itu layak dirayakan lebih dari apapun.
Di hari itu juga kami mendapatkan undangan pesta. Kami harus segera menuju acara ulang tahun teman sekelasnya. Dari sekolah, langsung ke lokasi pesta. Di sana, saya melihat momen yang tak kalah indah.
Anak saya dengan bangga menunjukkan medalinya kepada teman-teman dan guru-guru yang hadir. Yang membuat saya kagum adalah bagaimana semua orang menyambutnya. Teman-temannya menepuk punggungnya, guru-guru memberi selamat.
Saya tahu, hari itu bukan hanya tentang prestasi. Itu tentang validasi. Tentang rasa percaya diri yang tumbuh karena lingkungan yang mendukung. Tentang seorang anak yang merasa dianggap.
Hari itu, saya belajar satu hal yang sangat penting: anak-anak kita tidak hanya butuh diajari ilmu, tapi juga dipupuk semangatnya. Kadang yang mereka butuhkan hanyalah ruang untuk takut, dan pelan-pelan diyakinkan bahwa takut bukan berarti tak bisa.
Medali itu kini tergantung di dinding kamarnya. Tapi saya tahu, yang paling berharga bukan benda logam itu. Melainkan rasa bahwa dia mampu melewati sesuatu yang sebelumnya terasa terlalu besar.
Dan mungkin, itu adalah kemenangan yang sesungguhnya.
Tumblr media
0 notes
yu69a · 1 month ago
Text
Koruptor Harus Dihukum Mati!” Tapi… Ada Truk Pertamina Terguling!
“Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang marah pada korupsi, tapi juga bangsa yang jujur ketika tak ada yang mengawasi.” —Kalimat ini tidak ditemukan di buku mana pun, tapi semoga jadi kutipan masa depan.
Beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah meme menarik yang menggunakan karakter SpongeBob SquarePants. Singkat saja ceritanya: sekelompok warga marah besar, berteriak, “Koruptor harus dihukum mati!” Semua setuju. Tapi di panel berikutnya, ketika ada truk Pertamina terguling dan tumpahan BBM mengalir ke mana-mana, mereka beramai-ramai berkata, “Gas lah kita jarah!”
Saya tertawa, lalu terdiam. Meme ini tidak sedang membahas kartun laut. Ia sedang menyindir kita—manusia daratan—yang sering terjebak pada inkonsistensi moral.
Mentalitas Simbolik
Dalam pidato kebudayaannya tahun 1977, Mochtar Lubis menyebutkan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah “hipokrisi” atau kemunafikan. Kita pandai berkata-kata dan bersikap moralis di ruang publik, tapi kerap berbeda dalam tindakan nyata. Sementara Koentjaraningrat (2004) mengkritik bahwa mentalitas masyarakat kita sering tidak disertai rasa tanggung jawab kolektif. Dalam bahasa kampus: kita punya idealisme di PowerPoint, tapi nihil aksi di lapangan.
Sebagai contoh, mahasiswa bisa dengan gagah membela keadilan dalam diskusi kelas. Tapi ketika ujian daring tanpa pengawasan, tiba-tiba saja kolaborasi ilegal dianggap “gotong royong”.
Budaya Opportunistik
Meme SpongeBob tadi merepresentasikan budaya opportunistik. Fenomena menjarah truk terguling memang nyata terjadi di berbagai daerah. Ironisnya, pelakunya bisa jadi orang yang sehari-hari berteriak soal kejujuran dan antikorupsi. Ini bukan semata soal ekonomi, tapi soal nilai. Nilai yang longgar ketika diuji oleh kesempatan.
Seorang teman mahasiswa pernah bertanya, “Tapi Pak, bukankah korupsi itu beda dengan ambil BBM tumpah?” Saya jawab, “Secara hukum ya, tapi secara moral, sama-sama mengambil yang bukan hak.”
Dari Meme ke Diri Sendiri
Kampus adalah tempat di mana idealisme tumbuh. Tapi idealisme tanpa integritas hanya akan jadi dekorasi narasi. Kita sering mengira bahwa ‘melawan’ korupsi berarti membongkar mega-kasus. Padahal, korupsi yang paling dekat adalah mencuri waktu, tugas, atau nilai.
Jadi, sebelum kita mengutuk koruptor, mari bertanya:
Apakah kita konsisten dengan nilai yang kita perjuangkan?
Apakah kita jujur saat tak ada yang melihat?
Kalau jawabannya masih “tergantung situasi”, maka kita punya PR bersama—dan bukan dalam bentuk tugas mata kuliah.
Yuk, Mulai dari Hal Kecil
Kampus bukan hanya tempat menuntut ilmu, tapi tempat membentuk karakter. Mari jadikan kejujuran sebagai budaya, bukan sekadar slogan. Dan lain kali jika ada truk terguling (baik sungguhan maupun dalam bentuk kesempatan ‘curi-curi’), semoga kita memilih untuk menolong, bukan menjarah.
Sebab, seperti kata tokoh fiksi yang bijak (mungkin dosen kita waktu kuliah):
"Integritas adalah melakukan hal benar, bahkan saat tidak ada yang menonton."
0 notes
yu69a · 1 month ago
Text
Saat Orang Tua Belum Selesai Menjadi Anak
Di balik senyum seorang ibu yang mengantar anaknya sekolah, atau raut tegas ayah yang memarahi anaknya karena nilai ujian, seringkali tersembunyi cerita yang tak pernah tuntas dari masa lalu. Cerita tentang seorang anak yang dulu juga sering dimarahi karena nilai, tapi tak pernah tahu cara bicara. Cerita tentang anak yang tumbuh besar dengan beban ekspektasi, namun tak pernah punya ruang untuk bertanya: "Apa kabar hatiku hari ini?"
Kita hidup di tengah generasi orang tua yang, secara usia, memang dewasa. Tapi secara emosional, banyak dari mereka belum selesai menjadi anak.
Luka yang Belum Sembuh
Mereka menikah, punya anak, membangun rumah, bahkan karier yang mapan. Tapi tanpa disadari, mereka membawa serta luka masa kecil—luka dari pola asuh yang kaku, cinta yang bersyarat, atau mungkin bentakan yang terlalu sering dijadikan bahasa cinta. Luka-luka itu tidak pernah benar-benar diobati, hanya ditumpuk dan ditutup rapat, lalu tanpa sadar diwariskan kembali.
Ketika mereka jadi orang tua, luka itu muncul dalam bentuk kontrol berlebihan, tuntutan tanpa ruang diskusi, atau cinta yang menyamar dalam bentuk ketakutan: takut anak gagal, takut anak sakit, takut anak menjadi ‘tidak seperti yang diharapkan’.
Orang Tua yang Tak Punya Ruang
Masalahnya bukan pada niat. Sebagian besar dari mereka tidak jahat—mereka hanya tidak sempat punya ruang. Ruang untuk tumbuh, ruang untuk didengar, ruang untuk belajar mengenali emosi, apalagi menyembuhkannya. Mereka dibesarkan dalam era di mana tangis harus disembunyikan, pendapat anak tak perlu didengar, dan yang terpenting adalah ‘tunduk pada orang tua’.
Maka wajar jika banyak dari mereka bingung saat menjadi orang tua. Mereka ingin anaknya kuat, tapi tidak tahu cara mendampingi saat anak rapuh. Mereka ingin anaknya sukses, tapi membebani dengan ambisi yang belum sempat mereka raih.
Generasi yang Bisa Memutus Pola
Namun, di sinilah titik baliknya. Kita, generasi hari ini, punya kesadaran yang tak dimiliki generasi sebelumnya. Kita punya akses pada edukasi psikologis, forum diskusi, dan lebih penting: kesadaran bahwa luka itu nyata.
Pertanyaannya sekarang bukan lagi "salah siapa", tapi “mau apa?”
Mau terus menyalahkan orang tua? Atau mulai menyembuhkan diri agar tidak menyakiti yang berikutnya?
Karena sejatinya, menjadi orang tua bukan soal melahirkan anak. Tapi tentang kesiapan menjadi rumah bagi jiwa yang tumbuh. Dan rumah itu tidak bisa dibangun dari reruntuhan yang belum dibersihkan.
Jangan Tunggu Punya Anak
Tulisan ini bukan hanya untuk mereka yang sudah menjadi orang tua. Tapi juga untuk mereka yang akan—atau bahkan yang belum terpikir ke sana. Karena proses menjadi orang tua dimulai jauh sebelum anak lahir. Ia dimulai dari keberanian menjadi manusia yang utuh. Manusia yang mau memulihkan dirinya, agar bisa membesarkan manusia lain dengan utuh pula.
Mari kita akhiri siklus “orang tua yang belum selesai jadi anak”.
Bukan dengan menyalahkan, tapi dengan belajar.
Bukan dengan mengulang, tapi dengan memutus.
Bukan dengan menjadi sempurna, tapi dengan sadar.
Dan…
1. Jika hari ini kamu melihat cermin, sudahkah kamu menjadi orang dewasa yang dulu kamu butuhkan saat kecil?
2. Jika suatu hari anakmu bertanya: “Ayah/Bunda, bagaimana caramu belajar jadi orang tua?” — apa yang akan kamu jawab?
3. Dan yang paling penting: Apakah kamu ingin anakmu mewarisi luka—atau keberanianmu untuk sembuh?
Jawabannya mungkin tidak perlu diucapkan keras-keras.
Tapi dalam diam, hatimu pasti tahu.
0 notes
yu69a · 1 month ago
Text
What My Skin Was Trying to Tell Me During the Pandemic
The Itch I Couldn't Ignore
Atopic dermatitis. It’s not exactly a conversation starter. But if you’ve ever dealt with chronic skin issues, you know they don’t just stay on the surface. They mess with your sleep, your confidence, and, during high-stress periods, your sanity.
Before COVID hit, my skin and I had an uneasy truce. Sure, I had flare-ups now and then — mostly from dry weather or missed sleep. But when the pandemic came crashing down, that truce was over. My skin went into full-blown panic mode, and so did I.
The Pandemic Pressure Cooker
Like a lot of guys, I didn’t realize how much stress I was actually carrying during those early lockdown months. I was constantly on edge — disinfecting everything, watching case numbers climb, worrying about my parents, my job, my future. I barely slept. I ate like crap. And my skin? It exploded.
Rashes flared up in places they never had before — inner arms, neck, back of my legs. The itch was brutal. I tried every cream in the cabinet. Nothing worked. I started wearing long sleeves just to keep from scratching myself raw in meetings.
Skin Isn’t Just Skin
Here’s the thing no one really tells you: your skin listens. It’s not just reacting to weather or soap. It reacts to your stress, your sleep habits, your emotional bandwidth. My body wasn’t just freaking out because of allergens. It was sending a signal I had ignored for too long.
What I thought was a purely physical issue turned out to be a full-body stress response. And I was caught in a loop: the more I stressed, the worse my skin got. The worse it got, the more I stressed. Sound familiar?
Breaking the Cycle
Eventually, I had to change the way I approached it. Not with more medication or harsher creams — but with a mindset shift.
I started seeing skincare not as some cosmetic routine, but as maintenance. Like brushing your teeth or changing your car’s oil. Basic, necessary upkeep. I simplified my products, stuck to a routine, and — here’s the hard part — started actively reducing stress. Less doomscrolling. Better sleep hygiene. Even a bit of meditation when things got rough.
Turns out, moisturizing at night isn’t just for Instagram influencers. It’s a way to slow down, check in with your body, and, yeah, actually feel better.
No Shame in Self-Care
There’s this idea that taking care of your skin — or your health in general — somehow makes you soft. That’s B.S. If anything, ignoring your body and letting yourself burn out is the weaker move.
Now when my skin flares up, I don’t just treat it. I ask: What’s really going on? Am I pushing too hard? Skipping rest? Carrying tension I haven’t addressed?
This whole experience didn’t just help me manage eczema. It forced me to pay attention to myself in a new way — something most of us guys don’t do nearly enough.
Bottom Line
If your body’s trying to tell you something, listen. Even if it’s just an itch.
Because sometimes, healing starts with slowing down, putting on that damn moisturizer, and giving yourself permission to care.
0 notes
yu69a · 1 month ago
Text
“Anak Baik” vs “Anak Siap Hidup” — Sebuah Cerita di Pagi Hari
Suara bel sekolah belum berbunyi, tapi pagi sudah penuh warna. Di depan gerbang sekolah, suasana ramai seperti biasanya — deretan kendaraan berhenti sejenak, ibu-ibu menggenggam tangan anaknya, beberapa ayah tampak tergesa mengantar sebelum berangkat kerja.
Saya berdiri tak jauh dari pagar sekolah, mengantar anak saya. Di samping saya, seorang ibu tampak berlutut di depan anaknya — membenarkan kerah baju, menyisipkan sepotong roti ke saku, lalu berbisik: "Jangan lupa bilang 'permisi', 'terima kasih', ya. Dengerin gurunya, jangan nyela, nanti mama cek buku komunikasinya.”
Si anak mengangguk cepat, wajahnya seperti sudah hafal skripnya.
Di sisi lain, saya melihat pemandangan yang agak berbeda. Seorang ayah menepuk kepala anak laki-lakinya, lalu berkata: "Kalau ada yang bikin bingung, tanya ya. Nggak harus ngerti semuanya langsung, tapi kamu boleh penasaran. Hari ini belajar apa pun, nikmati aja."
Anaknya tersenyum malu-malu, tapi matanya menyala. Tidak ada pesan tentang nilai atau pujian. Hanya izin untuk menjadi diri sendiri.
Dua percakapan. Dua dunia. Dua pendekatan dalam membesarkan manusia.
Antara Tunduk dan Tumbuh
Dalam banyak keluarga kelas menengah di Indonesia, termasuk keluarga saya dahulu, “anak baik” adalah anak yang tidak membantah, mengikuti aturan, tidak ribut, dan punya rapor bagus. Pokoknya patuh.
Tapi di satu titik saya mulai bertanya: apakah “anak baik” itu juga otomatis menjadi “anak siap hidup”?
Masyarakat kita — terutama kelas menengah — sering terjebak dalam pola parenting yang menekankan kepatuhan dan pencitraan. Kita bangga saat anak dianggap sopan, disiplin, dan mendapat pujian dari guru atau tetangga. Tapi apakah kita memberi ruang bagi mereka untuk bertanya, meragukan, bahkan berbeda pendapat?
Saya lalu mengenal istilah yang digunakan dalam salah satu akun edukasi parenting:
“Middle-class parents: Raise kids to follow rules and get approval. Grounded parents: Raise kids to think critically and build their own path.”
Itu menjadi tamparan kecil bagi saya juga, sebagai Ayah.
Mengasuh dengan Emosi yang Sehat
Parenting hari ini menuntut lebih dari sekadar perintah dan larangan. Anak-anak tumbuh dalam dunia yang jauh lebih kompleks daripada masa kecil kita. Mereka butuh orang tua yang bukan hanya hadir, tapi hadir dengan kepekaan.
Orang tua yang tidak hanya berkata “jangan” tapi juga menjelaskan “kenapa”.
Orang tua yang tidak hanya memuji saat nilai 100, tapi juga mendengarkan saat anak merasa bingung atau gagal.
Orang tua yang paham bahwa tugas utama bukan membentuk anak yang “tidak bikin masalah”, tapi anak yang tahu bagaimana menghadapi masalah — dengan integritas, empati, dan logika.
Menjadi Orang Tua yang Grounded
Menjadi orang tua grounded bukan berarti melepas kendali. Justru sebaliknya. Kita tetap membimbing, tapi dengan ruang bagi anak untuk memahami, memilih, dan bertumbuh.
Kita tidak memaksa mereka menjadi juara, tapi kita bantu mereka mencintai proses belajar.
Kita tidak marah saat mereka bertanya, tapi kita rayakan rasa ingin tahu mereka.
Kita tidak buru-buru berkata “tidak”, tapi kita belajar berkata, “Mari kita bahas bersama.”
Karena pada akhirnya, anak-anak kita tidak akan tinggal selamanya di bawah pengawasan kita. Yang akan tinggal bersama mereka adalah cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak yang mereka pelajari dari rumah.
Dunia Butuh Lebih dari Sekadar Anak Baik
Hari itu, saya hanya mengamati dua anak sebentar di gerbang sekolah. Tapi momen itu membekas. Mungkin karena saya juga pernah jadi anak yang hanya ingin disukai guru. Atau karena saya saat ini jadi orang tua yang terlalu takut anak saya gagal.
Tapi kini saya belajar, kita tidak sedang membesarkan anak untuk menyenangkan dunia. Kita membesarkan mereka untuk mampu menghadapi dunia — dengan kepala tegak dan hati yang penuh. Dan itu dimulai dari cara kita memandang mereka. Bukan sebagai produk kesuksesan, tapi sebagai manusia utuh yang sedang belajar menjadi dirinya sendiri.
0 notes
yu69a · 2 months ago
Text
Antara Kemudahan dan Kehilangan: Mahasiswa Soshum di Era ChatGPT
Tumblr media
Kalimat di atas beredar di media sosial—nada lembutnya tak menutupi keresahan mendalam yang menyertainya. Ia seolah menguliti satu fenomena besar dalam dunia akademik hari ini: ketergantungan mahasiswa, terutama dari rumpun sosial humaniora (soshum), pada kecerdasan buatan.
Di satu sisi, kehadiran ChatGPT dan teknologi sejenis memberi kemudahan luar biasa. Mahasiswa tak perlu lagi tenggelam berjam-jam di jurnal dan buku tebal untuk menemukan referensi. Cukup ketik pertanyaan, dan jawaban datang dalam hitungan detik. Tapi di sisi lain, justru di sanalah ironi mengintai.
Karena di dunia soshum, esensinya bukan hanya pada hasil akhir, melainkan pada proses berpikir. Kemampuan memahami teks, menguraikan ide, merajut argumentasi, hingga menyusun tulisan adalah keterampilan utama yang dibentuk—bukan sekadar produk tulisan itu sendiri. Maka saat proses itu digantikan oleh mesin, yang hilang bukan hanya pekerjaan rumah, tapi juga kapasitas kognitif yang mestinya tumbuh pelan-pelan.
“Saya pernah minta ChatGPT bikinin esai soal feminisme postmodern,” ujar Lia, mahasiswa semester akhir jurusan Sosiologi. “Cepat, rapi, dan relevan. Tapi setelah saya baca, saya malah sadar: kalau terus begini, saya makin nggak ngerti cara mikir sendiri.”
Pernyataan Lia bukan satu-satunya. Di balik kemudahan yang ditawarkan AI, muncul krisis kepercayaan pada kapasitas diri. Beberapa dosen pun mulai resah. Mereka menemukan esai mahasiswa yang terdengar terlalu sempurna untuk ukuran tugas semalam, namun datar dan tak menyentuh kedalaman analisis.
Padahal, dunia kerja pascakampus tak sekadar menuntut jawaban cepat. Ia menuntut kemandirian berpikir, kemampuan menyelesaikan masalah kompleks, serta ketahanan untuk bergulat dengan ambiguitas. Semua itu tak bisa dipelajari secara instan—apalagi jika seluruh proses belajar justru diserahkan kepada AI.
Tentu, ini bukan soal menolak teknologi. ChatGPT, bila digunakan bijak, bisa menjadi alat bantu luar biasa: sebagai sparring partner berpikir, pelontar ide awal, hingga periksa logika argumen. Tapi saat mesin sepenuhnya mengambil alih tugas intelektual, maka manusia perlahan kehilangan pijakan. Karena keterampilan analisis, sintesis, dan refleksi—yang menjadi inti ilmu sosial humaniora—tidak datang dari copy-paste, melainkan dari kebiasaan berpikir.
Pertanyaannya sederhana: jika selama kuliah kamu membiarkan ChatGPT berpikir untukmu, maka setelah lulus… kamu bisa apa?
Dan mungkin, pertanyaan itu tak hanya ditujukan kepada mahasiswa, tapi juga kepada sistem pendidikan itu sendiri.
0 notes
yu69a · 2 months ago
Text
Finding Strength in the Silence: A Journey Through Mental Health
On a rainy Tuesday afternoon, Maya sat by the window, her fingers wrapped tightly around a cup of tea that had long gone cold. Outside, the world moved on in a blur of grey, but inside, everything felt still — painfully still. She had just come off a difficult week: missed deadlines, restless nights, and the creeping whisper of self-doubt growing louder by the day.
“I thought I had it all together,” she muttered to herself. “Why do I feel like I’m falling apart?”
It wasn’t the first time she’d asked herself that question, but it was the first time she paused long enough to listen for an answer.
A notification lit up her phone. It was a post shared by an old friend, a simple image titled mental health reminders. Maya clicked, and as her eyes moved across the list, something softened in her chest.
“Setbacks are part of the journey,” it began.
The words felt like a gentle hand on her shoulder. In a world obsessed with speed and perfection, Maya had forgotten that progress wasn’t always a straight line. She was still moving — just not in the way she expected.
“Your mental health matters every day.”
That reminder echoed deeply. Maya had been measuring her worth through productivity, ignoring the inner battles she fought just to get out of bed. She had shown up to meetings, smiled at gatherings, and replied to emails with cheerful emojis — all while struggling silently inside.
“Emotions can coexist – life isn’t either/or.”
She exhaled slowly. Maybe it was okay to feel joy and sadness at the same time. Maybe she didn’t have to label her emotions or justify them. Life could be complicated, and so could she.
Her eyes paused on the next line: “Even on the hardest days, hope is still present.”
Maya looked around the room. There were plants she hadn’t watered but still thrived. Books half-read. A journal on her desk with only one page written, yet still waiting patiently. Hope was there, quietly persistent.
“Boundaries help protect your peace & energy.”
She remembered the times she had said “yes” when she meant “no,” and how drained she felt afterward. Maybe it wasn’t selfish to set limits — maybe it was an act of self-respect.
And then came the line that tugged at her heart: “Self-compassion is far more powerful than self-criticism.”
She had been her harshest critic, replaying mistakes like broken records. But what if she spoke to herself the way she did to her closest friend? With patience. With kindness.
“You are allowed to outgrow people, places, and patterns.”
That one hit hardest. Maya thought of friendships that once brought her joy but now left her anxious. She thought of habits she clung to out of routine, not growth. Letting go didn’t mean failure — it meant evolution.
And finally: “Reaching out for help is a sign of strength, not weakness.”
Maya picked up her phone. She typed a message to her therapist — a simple, “Can we talk this week?” Her finger hovered before hitting send.
Then, with a steady breath, she did.
0 notes
yu69a · 2 months ago
Text
Cukup untuk Tenang: Sebuah Cerita tentang Uang dan Ketakutan
Di sebuah pagi yang gerimis, Sari duduk di teras rumah kontrakan kecilnya, menyeruput kopi hitam yang kini lebih banyak rasa pahitnya ketimbang gulanya. Di hadapannya, secarik kertas bertuliskan daftar kebutuhan bulanan yang baru saja dia coret dan ubah, lagi-lagi menyesuaikan dengan gaji bulanan yang belum juga naik sejak dua tahun lalu.
Sari bukan satu-satunya.
Di banyak rumah lain di gang sempit itu, dan di jutaan rumah lain di seluruh negeri, orang-orang memandangi lembar-lembar tagihan dengan rasa yang sama: khawatir. Bukan karena mereka bermimpi tinggal di rumah mewah atau mengendarai mobil sport. Mereka hanya ingin cukup. Cukup untuk tidak lagi gelisah ketika anak mereka batuk selama dua malam berturut-turut. Cukup untuk tidak harus menimbang antara membeli gas atau membayar uang sekolah.
Ada anggapan umum bahwa setiap orang ingin jadi kaya. Tapi dalam keseharian, harapan itu terdengar terlalu jauh, seperti bintang di langit yang terlalu tinggi untuk dijangkau. Kenyataannya, kebanyakan orang tidak bermimpi menjadi miliarder. Mereka tidak ingin jet pribadi, jam tangan berlian, atau liburan keliling Eropa. Yang mereka inginkan adalah hal-hal sederhana: uang yang cukup untuk hidup tanpa rasa takut.
Dewi, seorang buruh pabrik di Wonoayu, Sidoarjo, pernah berkata dalam obrolan santai, "Kalau saya bisa pulang dari kerja, beli makan buat anak, dan bayar kontrakan tanpa mikir gali lubang tutup lubang, itu aja sudah cukup bahagia." Ada senyum lelah di wajahnya, tapi juga ada harapan yang nyata.
Tumblr media
Meme yang beredar di internet menampilkan sosok pria yang menunjukkan papan tulis: “Most people don’t want to be rich. They just want enough money to not worry anymore.” Gambar itu viral, mungkin karena terasa terlalu dekat dengan kenyataan. Ia menyuarakan isi hati jutaan orang dalam satu kalimat sederhana: keinginan untuk hidup dengan tenang.
Bagi banyak orang, kekayaan bukan tujuan akhir. Ketenteraman adalah. Karena pada akhirnya, yang paling melelahkan bukanlah bekerja keras dari pagi hingga malam, tetapi rasa cemas yang menggigit setiap waktu: apakah cukup untuk besok? Untuk minggu depan? Untuk masa depan anak?
Cerita-cerita ini bukan tentang kemiskinan ekstrem, tapi tentang ruang tipis antara cukup dan tidak cukup. Tentang orang-orang yang bekerja keras bukan demi kekayaan, tapi demi kedamaian. Karena di dunia yang terus bergerak cepat ini, ketenangan pikiran adalah kemewahan sejati.
0 notes
yu69a · 2 months ago
Text
Ketika Influencer Berubah, dan Fans Marah
"Aku unfollow. Bukan karena kamu operasi plastik, tapi karena kamu bohong selama ini."
Kalimat itu muncul ribuan kali di kolom komentar seorang influencer yang dulu dikenal vokal menyuarakan body positivity. Setiap stretch mark dianggap simbol perjuangan, setiap lekuk tubuh adalah puisi. Ia adalah wajah dari penerimaan diri. Tapi suatu pagi, ia muncul dengan wajah baru, hidung lebih ramping, dan garis rahang yang tak lagi sama. Caption-nya ringan: "Akhirnya, hadiah untuk diriku sendiri."
Alih-alih disambut bahagia, unggahan itu memantik badai. Fans yang dulu memujanya mulai melayangkan tuduhan. Katanya munafik. Katanya tak lagi jujur. Katanya hanya menjual narasi untuk menarik simpati dan sponsorship.
Fenomena serupa juga terjadi pada seorang kreator yang selama ini membanggakan kerja 9-5 sebagai bentuk kestabilan dan self-worth. Ia pernah berkata, "Gak semua orang harus jadi konten kreator." Tapi beberapa bulan setelah follower-nya tumbuh drastis, ia resign. Kini, ia mengunggah rutinitas pagi sebagai full time creator, ditemani kopi oat dan ring light. Dan seperti sebelumnya, komentar pun kembali datang, kali ini penuh sindiran.
Kekecewaan yang Bersuara Nyaring
Banyak yang mengira, ketika publik marah pada influencer, itu karena mereka iri. Tapi tidak selalu. Dalam banyak kasus, kemarahan datang dari tempat yang lebih dalam: kekecewaan.
Orang-orang membangun keterikatan emosional dengan influencer bukan sekadar karena kontennya bagus, tapi karena merasa terwakili. Influencer itu seperti sahabat digital — teman seperjuangan dalam mencintai tubuh sendiri, atau rekan virtual yang ikut lembur dari Senin sampai Jumat.
Ketika "teman" itu berubah drastis, apalagi tanpa penjelasan yang cukup, wajar jika penonton merasa seperti ditinggalkan. Atau lebih buruk: dibohongi.
Perasaan ini makin kuat ketika kita merasa ikut berkontribusi dalam perjalanan sang influencer. Kita merasa ikut membesarkan mereka. Like, share, komentar positif, bahkan pembelaan saat mereka diserang. Semua itu membangun rasa memiliki. Maka ketika nilai-nilai yang dibawa influencer berubah haluan, reaksi emosional pun tak bisa dihindari.
Ilusi Kedekatan yang Terlalu Nyata
Sosiolog menyebutnya parasocial relationship — hubungan satu arah yang terasa dua arah. Kita merasa kenal seseorang karena kita tahu isi kulkasnya, warna dinding kamarnya, sampai trauma masa kecilnya. Padahal hubungan itu sebenarnya dibangun lewat algoritma dan editan video.
Namun bukan berarti perasaan itu palsu. Perasaan tetaplah perasaan. Dan media sosial bekerja justru dengan membentuk rasa dekat itu. Platform mendesain algoritma agar kita merasa nyaman, merasa kenal, dan akhirnya merasa percaya.
Inilah mengapa perubahan yang dilakukan influencer bisa terasa seperti pengkhianatan. Audiens tak cuma kehilangan figur, mereka kehilangan bagian dari dirinya sendiri yang selama ini merasa relevan dengan sang influencer.
Antara Kejujuran dan Ekspektasi Kolektif
Apakah salah jika seorang influencer ingin mengubah hidupnya? Tidak. Sama seperti kita yang bisa ganti arah hidup sewaktu-waktu. Tapi ketika identitas itu sudah dibagikan ke publik — dipasarkan, disukai, dan dikomentari — maka keputusan pribadi menjadi milik bersama. Setidaknya, dalam persepsi publik.
Di titik ini, muncul paradoks: influencer dituntut untuk jujur dan autentik, tapi juga diharapkan konsisten dengan nilai yang pernah mereka suarakan. Publik mencintai keaslian, tapi juga ingin stabilitas. Padahal manusia tidak selalu konsisten. Manusia bertumbuh, dan kadang arah pertumbuhan itu tak bisa diprediksi.
Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa sebagian influencer memang menyusun identitasnya secara strategis. Mereka tahu apa yang menarik simpati, tahu nilai mana yang sedang tren. Maka ketika perubahan hidupnya terasa "terlalu tiba-tiba" atau terkesan oportunistik, publik pun cepat curiga. Bukan karena tidak boleh berubah, tapi karena perubahan itu terasa seperti strategi, bukan perjalanan.
Belajar Mencintai Tanpa Menggantungkan Diri
Barangkali, pelajaran terbesar dari semua ini adalah bahwa kita perlu belajar mencintai sosok publik dengan batas. Bahwa inspirasi tak selalu harus diikuti tanpa syarat. Bahwa mereka bisa berubah, dan kita pun bisa memilih untuk tetap atau berhenti mengikuti — tanpa harus membakar semuanya.
Media sosial telah mengaburkan batas antara tokoh dan teman, antara hiburan dan identitas, antara inspirasi dan ekspektasi. Maka tak heran jika perubahan kecil pun bisa memantik drama besar.
Sebab pada akhirnya, kita semua berubah. Kadang, tanpa tahu bagaimana menjelaskannya. Dan itu tidak selalu salah.
0 notes
yu69a · 3 months ago
Text
Magang, Orang Dalam, dan Mahasiswa Zaman Now: Kalau Bisa Nyelonong, Ngapain Lewat Pintu Depan?
Beberapa waktu lalu, seorang kenalan mahasiswa menghubungi lewat WhatsApp. Isinya sederhana, tapi cukup membuat saya berhenti sejenak: dia ingin magang di DPR RI tahun depan, dan langsung bertanya,
Mas, kenal nggak sama anggota DPR yang bisa bantu? Mungkin bisa dibantu urus rekomendasinya?
Saya jawab apa adanya. Saya memang kenal salah satu anggota dewan, tapi saya juga tahu bahwa prosedur magang di DPR RI itu bukan lewat jalur "kenalan", tapi melalui Setjen DPR. Ada sistem. Ada surat menyurat. Ada syarat yang harus dipenuhi. Bahkan, penempatan ke komisi, banggar, atau sekretariat itu semua lewat proses resmi.
Tapi kemudian muncul pertanyaan lanjutan:
Kalau ada koneksi yang bisa dimanfaatkan, kira-kira bisa dibantu nggak mas?
Dan saya pun tersenyum makin kecut.
Fenomena mahasiswa mencari tempat magang memang bukan hal baru. Tapi yang jadi soal adalah cara pandangnya. Bagi banyak dari mereka, magang bukan lagi soal belajar, tapi soal gengsi. Bukan lagi soal pengalaman, tapi soal pamer tempat magang.
Magang di DPR, Kementerian, BUMN besar, atau startup unicorn bukan lagi impian—tapi target citra. Dan alih-alih mencari tahu proses resmi, mengirimkan berkas, mengikuti seleksi, mereka justru bertanya: "Mas, ada orang dalam nggak?"
Lucunya, mereka bukan nggak tahu harus mulai dari mana. Informasi soal magang bisa dicari. Website, media sosial, call center, semuanya ada. Tapi karena sudah terbiasa hidup dalam budaya shortcut, mereka berpikir: kalau bisa cepat, kenapa harus ikut prosedur?
Dan ini bukan salah mahasiswa sepenuhnya. Kita hidup di ekosistem yang secara tidak sadar membiakkan mental "asal bisa tembus". Dosen-dosen sibuk bangga bisa "titip anak magang ke kenalan", orang tua berlomba-lomba pamer akses, dan sistem pendidikan pun belum terlalu menghargai proses.
Padahal, tempat magang bukan sekadar tempat menempelkan logo di CV. Ia adalah ruang pembelajaran nyata—tentang dunia kerja, etika, tanggung jawab, dan tentu saja: tentang bagaimana kita berjuang sendiri.
Saya selalu percaya, pengalaman yang dicapai dengan usaha sendiri, sekecil apa pun, jauh lebih bermakna daripada pencapaian instan yang ditempuh dengan jalur belakang.
Dan untuk para mahasiswa yang sedang sibuk mencari tempat magang: Jangan buru-buru cari orang dalam—cobalah dulu masuk lewat pintu depan. Siapa tahu, di sanalah pengalaman paling berharga sedang menunggu.
1 note · View note
yu69a · 3 months ago
Text
When Life Doesn’t Hand Me Lemons—But Tangerines Instead
Life’s funny sometimes. It doesn’t always give you lemons like the saying goes. Sometimes, it throws you tangerines. Small. Bright. A little sweet, a little sour. And yeah—there are days when they keep coming, over and over again.
I watched When Life Gives You Tangerines not expecting too much. Thought it’d be another soft, slow-paced K-drama. But somewhere along the way… it hit me. This wasn’t just about a love story. It was about people like me.
About guys who don’t always say a lot. Who aren’t dramatic. Who don’t make grand gestures or poetic speeches. But we show up. Every day.
And there he was—Gwan-sik. The quiet one. The steady one. Not the hero in the spotlight. But the reason someone else could stand in it.
And honestly? I saw myself.
As a husband, as a father… sometimes it feels like you’re just there. Not flashy. Not viral. Just making sure the house works. The lights stay on. The fridge stays full. Being the calm in the chaos. The hand that holds steady, even if it doesn’t get held back.
They call it being a “provider.” But it’s more than just the paycheck, isn’t it?
It’s listening without needing to fix everything. It’s staying even when you’re tired. It’s remembering the little things. It’s being the quiet backbone—when everyone else is running on emotion.
Tangerines. Sometimes life hands them to me again and again. And I’ll be honest—some days I wish I could toss them right back.
But over time, I’ve learned… You can make something out of them. Juice. Jam. A cake your kid brags about at school. Something new. Something meaningful. Even if it’s made from a handful of hard days.
So here I am—maybe not Gwan-sik exactly. But maybe close.
And if you’re like me, quietly carrying your piece of the world, just know—you matter too. Even when you’re not in the spotlight. Even when no one claps.
Because sometimes the strongest kind of love is the one that doesn’t need to be loud.
0 notes
yu69a · 3 months ago
Text
Strava Cheaters and Faux Patriotism: When Even Morning Runs Get Outsourced
Let’s be honest: if creativity were an Olympic sport, Indonesia would be standing proudly on the podium—especially in the category of bending the rules. Case in point: the recent online stir over Strava jockeys. Yes, you heard it right. There are now people you can pay to run or cycle on your behalf, so your Strava account can flex those impressive routes and paces... while you sit at home sipping iced coffee.
It’s 2025, and apparently, even fitness can be freelanced.
To be fair, they’re not cheating in a race. There’s no prize money or medal at stake. They’re just cheating... for the likes. For the comments. For that sweet, sweet validation. Because nothing screams "healthy lifestyle" like a fake 15 km uphill ride done by someone else.
But let’s not kid ourselves—this isn’t just about fitness. This is a microcosm of something much deeper, something more Indonesian: the obsession with results over process. Or in its more mature, dangerous form: corruption.
Because really, what is corruption if not just cutting corners to look successful?
The corrupt politician siphons off budget funds to get rich quicker. The Strava jockey helps you "earn" bragging rights without breaking a sweat. The difference? One steals from the nation. The other steals... from your own cardiovascular system. But philosophically, they’re siblings. They both worship the same god: Perception.
Let’s not forget, we also have thesis ghostwriters, civil servant exam proxies, fake diplomas, honorary titles bought online, and the occasional instant PhD. We’ve even become experts at outsourcing shame.
The Strava jockey phenomenon is funny, yes. But it’s also kind of sad. Funny, because it’s absurd. Sad, because it fits us too well. We’ve perfected the art of looking good, rather than being good.
We love the shortcut. The highlight reel. The illusion of effort.
But maybe it’s time to ask ourselves: Do we actually want to move forward, or do we just want people to think we are?
Because at the end of the day, it’s not about who finishes the run fastest—it’s about who actually ran. And if we’re outsourcing our workouts now, is it any wonder that someone else is also outsourcing our future?
0 notes
yu69a · 3 months ago
Text
Merayakan Lebaran dengan Memaafkan Diri Sendiri
Lebaran selalu identik dengan silaturahmi, saling meminta maaf, dan merayakan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Namun, di tengah tradisi saling memaafkan dengan orang lain, pernahkah kita berpikir untuk memberikan maaf kepada diri sendiri?
Tahun ini, mungkin ada yang merasa sudah berjuang terlalu keras, memaksa diri untuk tetap kuat menghadapi berbagai tantangan, hingga tanpa sadar mengabaikan perasaan dan kebutuhan diri sendiri. Kadang, kita terlalu keras pada diri, menuntut lebih tanpa memberi ruang untuk beristirahat atau sekadar menerima bahwa tidak apa-apa merasa lelah.
Menurut psikolog Kristin Neff, pelopor penelitian tentang self-compassion, "Berbelas kasih kepada diri sendiri berarti memperlakukan diri dengan kebaikan yang sama seperti yang kita berikan kepada teman ketika mereka menghadapi kesulitan." Jadi, mengapa kita begitu mudah memaafkan orang lain, tetapi sulit untuk memaafkan diri sendiri?
Maka, di momen Lebaran ini, sebelum meminta maaf kepada orang lain, mari luangkan waktu sejenak untuk diri sendiri. Ucapkan maaf atas segala tekanan yang kita berikan, atas ekspektasi yang terlalu tinggi, atas rasa lelah yang sering diabaikan. Peluk diri sendiri, dan katakan dengan lembut, "Terima kasih sudah bertahan. Aku mohon maaf, kamu yang selama ini terus berjuang tanpa henti."
Seperti yang dikatakan oleh Carl Jung, "I am not what happened to me, I am what I choose to become." Memaafkan diri sendiri bukan berarti menyerah, tetapi justru bentuk kasih sayang terbesar yang bisa kita berikan kepada diri sendiri. Dengan begitu, kita bisa melangkah ke depan dengan hati yang lebih ringan, merayakan Lebaran dengan kebahagiaan yang lebih utuh.
Selamat Lebaran. Mari berdamai dengan diri, sebelum berdamai dengan dunia. (YK)
0 notes
yu69a · 3 months ago
Text
A Seat in the Carriage and a Lesson in Discipline
In 2008, Alby took a deep breath as he entered the station. He knew that today's journey would not be just about waiting for the train to arrive and sitting comfortably until he reached his destination. No, traveling by commuter train at that time was a battlefield. As soon as the train arrived, hundreds of people would scramble to get in, pushing each other and squeezing into whatever space was available to stand. There were no orderly queues, no passenger limits. Street vendors roamed freely, buskers sang loudly, and during peak hours, the air inside the carriage felt more like a moving sauna.
Fast forward to 2020. Alby boarded the commuter train again after years of absence. This time, he stood on the platform and saw a completely different scene. Passengers were lining up neatly, waiting their turn to board without shoving. Inside the carriage, people sat according to their seats, stood in designated areas, and announcements echoed calmly through the speakers. No more chaos, no more pushing. It felt as if she were in a different country.
How could something that once seemed impossible change in just a few years? The answer is simple: clear and consistently enforced regulations. PT KAI implemented a new system, from organized boarding queues and passenger limits to penalties for violators. Changes that initially felt difficult for some gradually became habits. Those who once refused to queue now did so automatically. Those who used to ignore the rules now followed them consciously.
This phenomenon teaches us an important lesson: Indonesians can be disciplined when rules are enforced clearly and consistently. It is not that discipline does not exist within us, but often, what is lacking is a supportive system and firmness in implementation. Change does not happen magically; it occurs through a continuous process—starting from socialization and strict rule enforcement to imposing penalties on violators. Society needs assurance that regulations apply to everyone, without exception. If train culture can change in just a few years, why can't other aspects of our lives?
Perhaps, we simply need more "seats in the carriage" in life—places where we understand that rules exist, rights must be respected, and responsibilities must be fulfilled. Because, ultimately, discipline is not just about regulations; it is about habits shaped through firmness and time.
0 notes
yu69a · 3 months ago
Text
Religion must be taught as a journey of understanding, not just as a set of rules to follow blindly.
0 notes
yu69a · 4 months ago
Text
Cara Lembut untuk Membangun Kepercayaan Diri
Suatu malam, saat bersantai di rumah selepas sholat Tarawih, Dira (8 tahun), dengan raut wajah murung, "I'm ugly Pak!," katanya pelan. "I don't want to take selfie anymore."
Sebagai orang tua, hati saya mencelos mendengar kata-kata itu. Dira yang biasanya ceria dan penuh percaya diri, kini menghindari kamera dan menolak tersenyum. Semua bermula ketika alergi di kulitnya kambuh serta ada ruam merah di wajahnya. Sejak itu, ia merasa bahwa kecantikannya berkurang dan mulai ragu dengan dirinya sendiri.
Mengapa Anak Bisa Merasa Seperti Ini?
Di era digital, di mana foto-foto penuh filter bertebaran di media sosial, anak-anak pun mulai memahami standar kecantikan—bahkan sejak usia dini. Jika orang dewasa saja bisa merasa insecure, apalagi anak-anak yang masih membentuk konsep diri mereka?
Pada usia 8 tahun, anak mulai lebih sadar akan penampilan dan membandingkan dirinya dengan orang lain. Komentar kecil dari teman atau orang lain bisa berdampak besar, membuat mereka merasa kurang percaya diri. Namun, sebagai orang tua, kita bisa membantu mereka melewati fase ini dengan cara yang lembut dan penuh kasih.
Membangun Kembali Kepercayaan Diri Anak
Saya tahu bahwa mengatakan "Kamu tetap cantik" saja tidak cukup. Anak butuh lebih dari sekadar kata-kata manis—mereka perlu memahami bahwa kecantikan bukan hanya soal wajah yang mulus. Berikut beberapa hal yang saya lakukan untuk membantu Dira:
Mengenalkan Konsep Kecantikan yang Lebih Luas Saya bercerita tentang tokoh-tokoh inspiratif yang dikagumi bukan karena wajahnya, tapi karena kebaikan dan keberaniannya. Saya ingin Dira tahu bahwa kecantikan sejati datang dari hati dan cara kita memperlakukan orang lain.
Membantu Anak Menerima Perubahan di Wajahnya Saya jelaskan bahwa ruam alerginya adalah sesuatu yang sementara dan bisa sembuh. "Sama seperti kalau kamu jatuh dan lututmu luka, nanti juga akan membaik," kata saya, memastikan bahwa ini bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan berlebihan.
Mengajak Bercermin dengan Perspektif Positif Alih-alih fokus pada ruamnya, saya membantu Dira melihat hal-hal yang membuatnya istimewa. "Lihat mata cerahmu, lihat senyummu yang manis! Kamu adalah kamu, dan itu yang membuatmu spesial," kata saya sambil tersenyum di depan cermin bersamanya.
Membuat Foto Jadi Menyenangkan Lagi Saya tidak memaksa Dira untuk berfoto, tapi saya coba membuatnya merasa nyaman dengan cara lain. Kami bermain dengan filter lucu, mengambil foto bersama kucing kesayangannya, hingga mencoba gaya candid saat ia sedang tertawa.
Menunjukkan Cinta Tanpa Syarat Setiap hari, saya memastikan bahwa Dira tahu ia dicintai bukan karena tampilannya, tapi karena siapa dirinya. Saya ingin ia tumbuh dengan keyakinan bahwa keindahan sejati ada dalam kepribadian dan kepercayaan diri yang ia bangun.
Setiap anak akan menghadapi momen ketika mereka merasa tidak cukup baik, tidak cukup cantik, atau tidak cukup hebat. Tugas kita sebagai orang tua bukan hanya meyakinkan mereka bahwa mereka cantik, tapi juga membantu mereka membangun fondasi kepercayaan diri yang kokoh.
Kecantikan bukan tentang memiliki wajah sempurna, tapi tentang mencintai diri sendiri apa adanya. Dan itu, adalah pelajaran yang paling berharga yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak kita.
0 notes