adlnd
adlnd
du quartier
269 posts
Adella, 19 (now 29) / Sometimes write, sometimes read.
Don't wanna be here? Send us removal request.
adlnd · 2 months ago
Text
Timur, Untuk Sementara
Buat saya, musik bukan cuma soal nada dan lirik—dia adalah penanda waktu. Lagu tertentu bisa membawa saya kembali ke sebuah kafe, ke sebuah perjalanan, atau satu fase hidup yang mungkin tidak akan saya ingat kalau bukan karena lagu itu. Dan di awal tahun ini, ketika semuanya terasa berubah dan agak berantakan, satu lagu muncul sebagai penanda baru: Timur, dari The Adams.
Waktu itu saya sedang menempuh perjalanan pulang dengan KRL. Seperti robot pekerja, saya dan penumpang lain saling terdiam, entah sambil menatap ponsel atau jendela kereta yang gelap. Di tengah suara mesin kereta yang menderu, kepala saya enggan untuk ikut diam. Pikiran mengular, dari satu topik ke topik yang lain, dari satu orang ke orang yang lain. Samar-samar saya melihat pantulan wajah berkat gelapnya malam—wajah yang tak asing yang ingin berteriak sekencang-kencangnya. Kala itu, saya mencari pelarian, dan musik pun hadir sebagai peredam. 
Saya tidak ingat pasti bagaimana lagu Timur masuk ke dalam playlist. Asumsi saya, berawal dari algoritma yang memutar lagu-lagu indie tahun 2010an, saya bertemu lagi dengan The Adams. Asik juga, batin saya ketika mendengar Konservatif. Enak juga, batin saya ketika Hanya Kau muncul dalam bentuk video klip jadul. Kemudian Timur pun mengalun dan membuat saya berhenti sejenak. Rasanya ada sesuatu yang terasa familiar sekaligus baru. 
Saya memutar ulang lagu itu berkali-kali, mencoba mendengarkan dengan baik setiap baitnya. Ada yang bikin saya terdiam. Ada yang bikin saya merasa seperti sedang menonton sebuah film: ada pembuka, konflik, dan resolusi. Mungkin itu yang membuat lagu ini begitu melekat—karena dia bukan cuma enak didengar, tapi juga punya alur bercerita yang nyaman disimak. 
Saat membaca liriknya, saya tidak punya interpretasi apa-apa tentang lagu ini, tetapi alam bawah sadar saya merasakan gambaran sebuah hubungan yang erat—entah antara siapa dengan siapa. Belakangan saya tau, lagu ini ditulis sebagai ungkapan kasih dan sukacita atas kelahiran anak dari salah satu personilnya. Kenyataan bahwa ini adalah pesan sekaligus doa untuk sang anak (dan sang ayah) agar tidak cepat menyerah, membuat lagu ini terasa semakin tulus.   
Tapi tentu saja setiap pendengar berhak membawa cerita hidupnya sendiri ketika mendengarkan sebuah lagu, dan saya pun merasa Timur adalah lagu yang datang di waktu yang tepat. Saat langkah terasa berat, lagu ini memberi jeda. Ketika pikiran terasa terlalu penuh, dia memberi ruang. Lagu ini saya anggap sebagai versi diri saya yang lain, yang lebih hangat dan tenang, yang membuat semua huru-hara yang terjadi di kepala saya menjadi lebih kalem. 
Dari semua bait yang ada, saya paling suka bait terakhirnya. Didukung dengan musik yang memuncak dan nada yang meninggi, bait ini adalah penutup yang sempurna dan melegakan. 
Dan di hariku yang paling kelam  Semoga aku akan mengingat Bahwa ini sementara  Dan akan segera pergi  Dengan cepat 
Sampai hari ini, saya masih mendengarkan Timur dalam perjalanan pulang. Kadang kala saya mendengarkannya sambil bengong, tidak jarang sambil scroll Twitter atau lihat-lihat Instagram. Terlepas dari momen dan waktu yang bergulir, lagu ini tetap menjadi jeda yang sederhana; bahwa semua ini hanya sementara—dan untuk saat ini, saya merasa cukup.
youtube
1 note · View note
adlnd · 3 months ago
Text
Answering My Last Entry in 2019
In June 2019, I decided to stop writing on my blog—the one with a Blogspot domain that you could easily find just by typing my name into Google Search.
I remember that time vividly: I had just finished college, was unemployed, unsure of where life would take me, and starting a new relationship. In one word, I was in the middle of uncertainty—caught between happy times and broken times.
My era of blogging and shit-posting was coming to an end because the more I wrote, the more exposed I felt—and I didn’t know why that made me so uncomfortable. The last few entries I posted were signs of anxiety, anti-social tendencies, and a lack of self-awareness that made it difficult for me to express what I was feeling—even to myself.
Adding to that, I was financially unstable and grieving for my father, so I decided to stop writing, leaving behind a deep statement I didn’t even realize I had written: “...it’s time for me to know more about myself, know what I want and what I don’t want, and be firmly accept it as my personality.”
Tumblr media
Since that last entry, I’ve gone through a lot. And to make it worthwhile, I’ve learned a lot too. With the death of my father, I learned that “manusia hanya bisa berencana” is true to its meaning. With the start of my career, I lowered my expectation of doing things for my own pleasure. With the end of my relationship, I realized that I wasn't mature enough and thought that things would just work the way we want, effortlessly.
Along the way, as I took more time to understand myself, met new people, and learned to articulate my feelings while making sense of everything within me, I reminded myself to stay grounded—to truly understand how this part of my life works.
Younger Adella in 2019 wouldn’t be able to say this. Well, maybe she could, but she must be still holding that idealism, thinking she was always right. She wouldn’t be able to love herself—not fully, but at least to understand that she would live in this body forever and there’s nothing she could do to change it. She would always feel afraid of making mistakes when it’s the only way she could do better.
Am I better now?
Nah, instead I have turned into an old grumpy sissy who lives a boring routine and always wonders where the hell all of her money has gone. I curse everyday—I like saying “tolol” to those people on KRL—but still in a reasonable amount. I can firmly say that I hate social interaction, but enjoy myself when I’m with the right people. I still repress my feelings, I still have one flat expression for happy, angry, and confused—I still do and have shitty harmful traits.
But despite all that, I now put some effort to track all the whys, so that I can decide whether I’m just being a cegil or simply human. I try not to think too much about what I say to people (or what people say to me), because now I know what to serve on different tables. I maintain my quiet personally but when I speak, I speak with punchlines. I know, it sounds like I’m just becoming such an ordinary person, but for now I’m liking it and that’s enough.
So, what now? I don’t know. I still have a bad experience with “hope”, so I'm avoiding saying this kind of words to close this one. No promise of upcoming short story or even a novel (boo 👎). Let’s just see, five years from now, what kind of person Adella will become (say hello to mid-30s, OMG). I guess becoming a rich, healthy, cool auntie is a good option.
Tumblr media
0 notes
adlnd · 11 months ago
Text
Tumblr media
— unknown
46K notes · View notes
adlnd · 2 years ago
Photo
Tumblr media
320 notes · View notes
adlnd · 2 years ago
Text
Tumblr media
via my instagram
213 notes · View notes
adlnd · 2 years ago
Text
Tumblr media
— Carol Rifka Brunt in Tell The Wolves I'm Home
56K notes · View notes
adlnd · 2 years ago
Photo
Tumblr media
218 notes · View notes
adlnd · 2 years ago
Text
Kenapa Melepas Orang Itu Sulit
Walaupun akhirnya terpaksa harus dilakukan.
Tulisan ini lagi-lagi berangkat dari keresahan diri sendiri yang ternyata setengahnya berdasar pada hormon menjelas menstruasi alias--
Nevermind.
Aku di sini cuma pengen curhat karena semalam aku mengalami patah hati untuk kesekian kalinya dari orang yang sama. Cie gitu. Tapi kalian tau nggak sih yang bikin sedih tuh apa? Ternyata ngeliat orang yang pernah kita kenal berubah jadi orang yang nggak banget di mata kita, itu sedih banget rasanya. Kayak ada campuran perasaan antara, sedih karena perubahannya dan sedih karena ternyata kita nggak bisa ngelakuin apa-apa untuk mencegah itu.
Tumblr media
Terlebih lagi, karena kita ngerasa kita harusnya bisa, tapi yah, mau gimana lagi. Orang ngejalanin hidup yang berbeda. Mungkin waktu masih kenal bareng, kita ada di tempat yang sama, makanya bisa punya pandangan yang sama. Tapi setelah pisah, yaudah, nggak ada yang tau apa yang dihadapi mereka setiap harinya, nggak ada yang tau apa yang sebenernya bikin mereka nyaman. Nggak ada yang tau.
Intinya, aku udah ikhlas. Aku sadar nggak ada yang bisa diperbuat apalagi kalau udah menyangkut hidup orang lain. Maksudku, yah, seberapa besar atau seberapa baik niatku untuk bisa jadi orang terbaik buat orang itu, tetep sia-sia kalau dia nggak anggap aku ada.
Aduh jadi sedih lagi.
Jadi, yaudahlah ya, manusia cuma bisa berharap, keputusan tetep di tangan Tuhan. Kayaknya emang nggak jodoh. Lagipula setelah dipikir-pikir, kalau dia yang sekarang adalah dia yang selamanya, aku nggak bakal mau sih. Selama ini aku masih nunggu dan berharap karena dia yang aku kenal bukan dia yang sekarang. Kasihan, kasihan sama dia. Kayak, I can't imagine him being like this. I knew him, not in a short time though, and I can't imagine him being such a low person like that. Aku nggak tau apakah memang pengaruh pacarnya saat ini bener-bener mengubah segalanya, but I wish he can do better. I know he can do better.
Tapi yaudahlah. Orangnya udah nggak peduli sama aku. Jadi ya, bye bye.
Tumblr media Tumblr media
0 notes
adlnd · 2 years ago
Photo
Tumblr media
my home. 
2K notes · View notes
adlnd · 2 years ago
Text
Catatan Lagi: Menyadari Beberapa Hal yang Selama Ini Selalu dalam Penyangkalan
[posted on Medium March 2, 2023]
Sebuah refleksi diri (yang nggak jaminan bakal terus dilakukan tapi setidaknya udah dimulai).
Ocehan kali ini lagi-lagi, dan lagi-lagi, tentang hubungan interpersonal dengan orang-orang di sekitar. Hah. Lama-lama aku ngerasa karakter utama di novel Gagal Jadi Manusia adalah cerminan diriku yang sebenernya amit-amit banget jadi orang kayak karakter itu. Aku nggak suka karena he was a part of me that I don’t want to be. Di novel itu, karakter utama struggle dengan pikiran dia sendiri dan bagaimana itu memengaruhi sikap dia dengan orang-orang di sekitar. Yang akhirnya berakibat buruk buat dirinya sendiri sampai akhirnya ybs bunuh diri.
I don’t want to be like him. At all.
Meskipun tetep masih ada saat di mana aku bertanya-tanya kenapa orang-orang yang aku kenal berperilaku seperti anjing (bukan kencing di jalan dan suka menggonggong) dan di saat yang sama aku cuma bisa mengutuk dalam hati dengan bilang, “Aku benci manusia.” Tapi kalau sepanjang hidup aku punya pilihan untuk terus-terusan membenci manusia, jelas aku nggak mau sama sekali. Aku akuin aku masih butuh manusia. Ada banyak hal yang nggak bisa aku lakuin sendiri, misal: masak, pasang keran, pasang kabel TV, pasang gas kompor, dan hal-hal non-material lainnya seperti ngobrol, physical touch, dan mengisi tangki ego sendiri dengan puja dan puji dari orang lain (apasih). Kalau ini spektrum, maka aku ada di tengah-tengah persis antara pengen sendiri dan pengen dikelilingi orang-orang baik.
Balik lagi. Sebenernya masalahnya nggak sedalam itu, nggak serumit itu juga. Yang bikin rumit memang cuma pikiran dan perasaan yang nggak pernah (atau belum) sempat dikeluarkan. I have to say, meskipun udah berniat dan memutuskan kalau menyuarakan perasaan dan pikiran ke orang ybs adalah sebaik-baiknya pilihan dalam any kind of relationship, tapi karena nggak pernah mempraktikan itu, selalu ada rasa gugup tiap kali mau ngomong — yang nggak jarang bikin niat itu jadi urung. Selain itu ada juga halangan lainnya yaitu dari orang ybs, yang belum bisa nerima habit “Ngobrolin Masalah yang Muncul Tanpa Mengurangi Rasa Sayang atau Peran Masing-Masing dalam Relationship dan Tanpa Memunculkan Maksud untuk Menyinggung Satu Sama Lain”. Yang kedua inilah yang terjadi belakangan.
Kata Andi, kesalahan dimulai ketika kita udah attached sama orang tertentu. Ngerasa kalau orang ini menyenangkan, nggak bakal ngecewain kita sama sekali, dan nggak bakal berubah in a long time. Kata aku, ya gimana, aku anaknya gampangan apalagi kalau orang ybs butuh aku. Ya, toxic trait tuh emang selalu bermula dari diri sendiri, bukan dari orang lain. Kasus kayak gini bisa dibilang jarang, either aku udah kabur duluan, atau orang-orang yang aku attached-in (?) bisa dihitung jari. Dulu, responku terhadap kasus ini adalah menangis meraung-raung seperti orang ditinggal mati padahal cuma putus hubungan doang. Sekarang, responku terhadap kasus ini adalah menangis meraung-raung seperti orang ditinggal mati padahal cuma putus hubungan doang, dan setelah puas dan tau apa sebab yang bikin hati ini perih (anjay) aku mulai bisa memutuskan untuk bilang, “Yaudahlah, mau gimana lagi.” Seperti yang aku bilang tadi, nggak semua orang siap untuk nerima habit — aduh panjang banget, pokoknya habit itu — dan karenanya, aku mutusin untuk segera tutup masalahnya untuk aku sendiri dengan bilang, “Aku minta maaf, aku nggak tau aku salah apa dan nggak harus tau juga kalau emang kamu nggak mau ngomongin itu (ya, ybs ngasih gestur kalau dia nggak mau ngomongin ini, so), tapi aku minta maaf,” plus memutuskan dalam hati bahwa hubungan ini cukup sampai sini.
Ah, sedih ya. Tapi mau gimana.
It wasn’t an easy decision. Ada hal-hal lain yang bakal ngaruh karena satu masalah ini; but, it’ll pass. Dan, meskipun bukan jadi alasan utama, tapi masalah ini jadi salah satu faktor pendukung tambahan untuk akhirnya pergi dan mulai lagi dari nol. It’s never easy, ditinggal ataupun ninggalin. Dan yang jauh lebih sulit dari itu sebenernya adalah bertahan untuk nggak blak-blakan ngikutin ego. Ada banyak pertimbangan, kekhawatiran, kesedihan yang bisa dateng lagi entah kapan, hal-hal nggak terduga yang juga bisa muncul entah kapan — dan bertahan di situasi kayak gitu adalah yang paling susah. Selain sabar, ya bermuka tebal aja. Kalau lagi pengen nangis, ya nangisin aja. Toh ya, it’ll pass.
(Gampang ya ngetik begitu, coba kemarin-kemarin, bisanya cuma meraung-raung dan ngebatin pengen mati (yah, namanya juga fase, entar kalau ada masalah lagi nggak jaminan nggak bakal begitu lagi tapi mudah-mudahan selalu diikuti dengan fase ngetik dari pov di luar aku, kayak gini)).
0 notes
adlnd · 2 years ago
Text
Catatan Kesekian untuk Diri Sendiri
[posted on Medium February 19, 2023]
Tapi isinya cuma penyesalan dan toxic negativity karena itulah yang mendorongku untuk tetap bertahan hidup (apasih).
Hari ini aku menelantarkan (maksudku turned down dalam English tapi karena Bahasa Indonesia-nya menolak dan maknanya kurang tepat, jadi aku pakai menelantarkan) tes freelance gig — yang, well, kemungkinan bisa aku dapetin — cuma karena aku terlalu males buat ngerjain tesnya. I know, konyol banget. Udah tua masih males-malesan. I know. Kalau boleh bela diri sendiri, aku bakal bilang, “Ya kan aku nggak ada waktu, pulang kerja udah capek, jadi emangnya salah kalau aku lebih milih untuk rebahan dari jam 10 sampe jam 12 malem cuma buat liat reels di Instagram? Hah?”
Duh.
Ini penyakit lama, tapi makin bikin stres sendiri karena aku tau salahnya di mana. Ya apalagi kalau bukan karena suka menunda, menyepelekan, dan akhirnya ribut sendiri karena makin nolak makin nggak bisa gerak. Aneh emang, bahkan nulis ini rasanya masih aneh, tapi ini udah berpuluh-puluh kali dialamin, dan tetep aja berakhir dengan aku menyerah.
I know, menyerah bukan tanda lemah. Tapi coba mikir deh. Narasi kayak gitu bikin stres sendiri tau, karena ya ujung-ujungnya jadi perang batin; satu sisi pengen nge-push, sisi lain pengen stop aja. Sementara aku suka kejebak di tengah-tengah, maka, congratulations, kamu pusing sendiri!
Balik lagi. Iya, jadi sebenernya emang yang salah aku sih, karena dari awal dikasih tes dan dikasih deadline lima hari, otakku langsung nge-hack dan bilang, “Lima hari cuy, masih lama kok, bisalah nyicil dikit-dikit ngerjainnya. I know you can do it sedikit-sedikit *wink*.” Lalu yang terjadi kemudian adalah aku bangun jam 9 pagi di hari Minggu dan nggak ada niatan sama sekali untuk mulai ngerjain tes freelance itu. Well, ada sih sebenernya, aku bahkan udah mulai nulis satu paragraf. Tapi — ah, anjir, tapi-tapi mulu dari tadi — aku nggak bisa. I just can’t.
Banyak yang bilang kalau ini adalah salah satu gejala ADHD (sial, aku nggak bermaksud bahas ini karena jatohnya aku self-diagnosis tapi yaudahlah aku harus segera menutupi perasaan bersalahku ini dengan — njir, ngelantur), di mana kalau kerjaannya nggak bikin kamu tertekan, maka kamu nggak akan bergerak. Dan sebaliknya, makin tertekan, maka kamu makin menggebu-gebu bahkan bisa sampai lupa waktu dan makan dan pipis (yeah, I did that quite a lot at work). Kerja di bawah deadline dan tekanan emang udah biasa, tapi jadi nggak biasa kalau jadi cenderung nyari-nyari deadline dan tekanan. Sayangnya, ini yang terjadi di aku. Bahkan, kalau diinget-inget, waktu nulis skripsi yang pernah aku terlantarkan berbulan-bulan karena nggak ada motivasi atau tekanan, akhirnya baru bisa aku selesain setelah salah satu dosenku nge-chat dan bilang kalau dosen pembimbingku khawatir dan bertanya-tanya aku kemana. Tekanan karena merasa merugikan waktu orang, bikin aku akhirnya kebut semaleman (hiperbolis) ngerjain bab satu, dua, dan tiga (kayaknya hiperbolis juga karena manusia pemalas mana yang bisa ngerjain tiga bab sekaligus dalam semalem?).
Di kantor sebenernya juga sering begitu, but the stake is a bit higher karena kalau aku keliatan nggak produktif, aku bisa diomongin di belakang panggung dan berakhir dengan teguran yang udah dihalusin oleh HR-ku. That situation really, really can stress me out.
Jadi kemana-mana kan.
Intinya, aku masih merasa bersalah sama diri sendiri karena menelantarkan tes freelance gig tadi yang sebetulnya aku butuhin buat ngumpulin portfolio dan uang tambahan (cicilan HP-ku masih berjalan), tapi di saat yang sama, setelah stres sendiri sambil posting meme nggak jelas di instastory, aku sedikit lega karena nggak ada beban untuk ngerjain tes itu lagi. See? Bingung kan? Nggak make sense kan? Coba kalau aku ngomong ke orang-orang di sekitarku, pasti deh, langsung dibilang, “Ah itu mah kamu emang males aja.” Padahal ya, emang iya, tapi malesku beralasan. “Ah alesan aja, kalau males mah males aja.” Iya, tapi aku stres loh. “Ah kamu stres tapi masih bisa haha hihi, lebay aja itu mah.”
Iya deh, aku lebay. Dah ah.
0 notes
adlnd · 2 years ago
Text
Singkatnya, Semua Orang Ingin Diperlakukan Sebagaimana Mereka Memperlakukan Orang Lain
[posted on Medium September 6, 2022]
Aku menyadari sesuatu setelah mengalami sebuah silent encounter (?) dengan seorang teman.
Sebagai orang yang picky soal teman dan berakhir jadi canggung sosial, aku selalu berusaha menghargai dan menghormati orang yang bisa klik dengan kepribadianku — orang yang mengerti kecemasanku di tengah keramaian, perasaan kalut yang tiba-tiba muncul, dan beberapa hal lainnya yang setelah lama aku perhatikan bisa dimengerti oleh orang ini.
Sayangnya, semua yang aku lihat jadi semacam false picture yang aku buat sendiri di kepala. Dan seperti yang biasa terjadi, false picture mempengaruhi ekspektasiku yang seringnya terlalu tinggi terhadap orang lain. Kalau udah begini, aku berakhir jadi orang yang salah — salah sendiri berharap sama orang; salah sendiri terlalu lekat sama orang, salah sendiri yada yada bullshit.
Jauh sebelum kejadian ini terjadi, aku punya sedikit kepercayaan bahwa setiap orang selalu ingin diperlakukan sebagaimana dia memperlakukan orang lain. Atau, sikap seseorang ke orang lain adalah gambaran bagaimana mereka ingin diperlakukan, sadar atau tidak sadar. Say, orang yang suka senyum punya keinginan bawah sadar untuk disenyumin orang lain. Orang yang suka bantuin sesuatu punya keinginan bawah sadar untuk dibantuin orang lain. Orang yang suka dengertin cerita orang punya keinginan bawah sadar untuk didengarkan oleh orang lain. The list goes on but the point is there.
Hal ini natural, menurutku, karena ya that’s how human brain works. Dalam adegan film, penjahat yang biasa berbuat jahat bakal canggung luar biasa ketika diperlakukan baik oleh seorang ustadz. Simpelnya, karena dia lebih terbiasa dengan perlakuan yang minimal setara jahatnya dengan kelakuan dia.
Kenapa aku sebut bawah sadar, karena nggak semua orang menyadari keinginan ini. Sebagian bahkan mengklaim bahwa mereka tulus melakukan kebaikan/perbuatan tertentu ke orang lain. Do good get good, cenah. Atau, treat people with kindness jadi semacam kebiasaan aja tanpa ada harapan yang jelas kalau mereka pengen diperlakukan sama baiknya. Meskipun bawah sadar, keinginan itu tetap ada dan pada saat tertentu keinginan itu perlu dikasih makan.
Pada sisi ekstremnya, keinginan yang secara konstan nggak dikasih makan akan mengendap di dalam, sampai akhirnya dibawa nangis atau mati. Keinginan yang nggak terpenuhi lama-lama berubah jadi pikiran-pikiran semacam: apa aku terlalu baik? apa aku kurang baik? apa mereka nggak merasa aku tulus? apa mereka tetep nggak sadar kalau aku pengen diperlakukan dengan baik juga? dan lain sebagainya. Orang yang suka senyum bisa menumbuhkan pikiran negatif terhadap orang yang nggak senyumin dia balik — prasangka kalau orang ybs marah atau kesal bisa jadi salah satunya. Orang yang suka mengulurkan tangan untuk bantu orang lain bisa punya perasaan nggak enak ketika harus minta tolong ke orang lain, merasa bahwa dirinya selama ini jadi satu-satunya yang bertugas membantu orang-orang sekitar — prasangka buruk terhadap diri sendiri bikin makin susah ketika ada kesulitan. Orang yang suka dengerin cerita orang bisa punya ketersinggungan berlebih ketika orang lain nggak dengerin ketika mereka ngomong — prasangka bahwa cerita yang dia sampaikan nggak semenarik cerita orang-orang sekitar bikin dia memutuskan untuk repress semua dan lanjut dengerin cerita orang aja.
Well, the latter was my personal case, so…
Pada sisi yang semakin ekstrem, prasangka bisa berubah jadi alasan untuk menyerah, saying, “Kirain mereka bakal ngerti, ternyata nggak. Terus buat apa aku tetep perlakukan mereka kayak gini?” Manusia itu punya akal yang seringnya cuma bisa dipakai untuk bertahan hidup, bukan untuk memahami dirinya dan orang-orang di sekitarnya. I know it’s quite harsh but that’s the truth I’ve discovered after living for 26 years. Dan campur tangan permainan keinginan/harapan towards other people cuma bikin nambah masalah aja alias memperburuk hubungan antarmanusia. Setelah menyadari hal itu, kita jadi merasa sia-sia; sia-sia baik sama orang, sia-sia memahami kondisi orang, sia-sia melakukan sesuatu yang kita kira bakal langsung kembali ke kita. Sia-sia adalah best word choice orang-orang yang suka berharap tinggi sama orang lain — like me. Jadi, sebetulnya apa yang harus diperhatikan dari isu ini?
Aku pengen jawab nggak ada tapi buat apa aku nulis? Sia-sia dong.
Menurutku, yang pertama harus kita sadari adalah tidak lain dan tidak bukan adalah diri kita sendiri. No, ini bukan momen untuk love yourself melainkan momen untuk understand your shitty self. Pahami your worst trait yang sering muncul ketika kamu berhadapan dengan orang. Apakah kamu orang yang sensitif, orang yang terlalu santai (yes, this is a worst trait), hal-hal apa yang bikin kamu irritate, di kondisi apa yang bikin mood kamu jadi buruk. Understanding these issues can take a loooooooooooooooooooooooong time. Aku sendiri bahkan belum sampai setengah jalan acan. But you know, baby steps are still good steps.
Kenapa harus understand your shitty self? Kenapa nggak understand your kindy self? Ayolah, ini bukan saatnya untuk jadi narsis. Sebaik apapun kamu, ya udah, good for you, thank you, next aja udah. Kindness adalah basic trait yang nggak perlu kamu pahami, pelajari, atau latih. Jadi baik ya ngalir aja, nggak perlu didikte segala.
Kebanyakan orang menolak untuk memahami their worst trait, bahkan menolak untuk menerimanya. Jarang ada orang yang mau disebut sombong, pemalas, narsis, bossy, you name it. Apakah dengan menerimanya sama dengan mempertahankan that worst trait? Iya, far as I learn, proses penerimaan jadi semacam take-it-or-leave-it moment (untuk diri kita sendiri) di berbagai macam situasi. Say, aku bisa milih untuk jadi pendiam yang nggak mau banyak ngomong, cuma pengen duduk, kerja, lalu pulang, dan nggak menghiraukan omongan orang di belakang. I could choose that option, the only option I crave for. Tapi di situasi seperti kantor baru, I need to compromise with myself apakah aku mau mempertahankan itu dan mengorbankan social life yang ada, atau berusaha untuk adjust myself little by little sekaligus belajar bersosialisasi denga orang-orang. Take it or leave it berlaku untuk diri kita sendiri, kita bisa take the situation dan berkompromi, atau leave it dengan konsekuensi yang juga lain meskipun jaminannya adalah kenyamanan untuk tetap jadi your truly self.
I didn’t expect to be this long.
Proses penerimaan biasanya dibarengi dengan keterbukaan terhadap opsi lain. Menerima sisi terburuk kita berarti kita pelan-pelan membuka diri untuk hal lain, yang kemungkinan besar jauh lebih baik. Seperti kata pepatah bilang, ada pelangi setelah hujan, meskipun sekarang seringnya ada matahari setelah hujan, but you get the point.
Setelah understand your shitty self, barulah kita mulai observasi orang-orang di sekitar kita. Observasi also takes a looooong time, apalagi kalau orang-orangnya adalah mereka yang kita temui setiap hari. Everyday we found something different from them, karena mereka pun menjalani hari yang berbeda. Kamu mungkin bisa ketemu dengan orang yang super ramah super baik super perhatian, tapi ketika di belakang suka ngomongin orang (aku sering bertemu orang-orang seperti ini and I admire their fakeness). Kamu bisa ketemu orang yang pendiam banget tapi ternyata dilempar jokes dikit ketawanya bisa berhari-hari (yup, that’s me). Kamu bisa ketemu berbagai macam orang, dan yang perlu kamu lakukan cuma dua: pretend to act stupidly lalu observe.
Percaya deh, we all can do the first kecuali kamu basic-nya adalah orang yang banyak omong dan suka umbar-umbar. Selagi berhadapan dengan orang-orang baru dalam situasi tertentu, coba iyain aja semua yang mereka lakukan, let yourself flow like water but don’t be such a mulut ember di depan orang yang lainnya juga. Follow the stream, lalu observasi apakah memang orang tsb berperilaku seperti itu setiap hari, gimana besoknya, minggu depan, dan seterusnya; observasi dan pelajari. Kalau udah ngerasa nemu pattern-nya, ini saatnya untuk momen take it or leave it. Hidup adalah pilihan (anjay) dan kamu punya kuasa untuk milih apakah kamu mau dive into their behavior atau ya cukup tau aja.
For the latter, cukup tau aja nggak cuma “cukup tau aja”. Kalau sempet, pahami kenapa dia bersikap kayak begitu. Setiap manusia di dunia pasti punya background story. Kalau ada waktu, fill yourself with such understanding sebelum menghakimi sikap orang tsb. Lalu, kalau kamu merasa sikap buruk mereka muncul karena rasa nggak nyaman dalam situasi tertentu, then it’s time for you to truly understand their behavior.
Jujur aku pun masih jauuuuuuuuuuuuuuuuuh dari kata udah bisa memahami orang lain. Jauh banget. Kadang, yang nyebelin adalah, kita nggak sadar sikap kita ternyata bisa nyakitin orang lain. And that’s pretty shitty though. Untuk masalah ini, aku pun nggak tau gimana cara mengakalinya kecuali mungkin adalah dengan menjadi semakin tua, bijak, dan bertemu dengan banyak jenis orang. Kupikir the more you meet people, the more you practice yourself to undertand them. Kayaknya sih iya, cuma itu solusinya.
Balik ke topik observasi tadi, iya, kalau sempet dan ada waktu dan lagi sadar, coba pahami dulu respons orang-orang di sekitar kamu terhadap suatu kondisi, terutama kondisi yang bikin respons dia nggak nyaman. Setelah itu, yang bisa kita lakukan sebagai manusia adalah berusaha sebisa mungkin baca situasi dan stop when you they start to feel unconfortamble. I know, I’m speaking subjectively from the perspective of “victim”, as I happened to encounter that kind of situation as the one who immediately felt uncomfortable after something irritating me happened. Loh kok jadi enggres. So, yeah, selanjutnya yang terjadi adalah aku berusaha mempelajari (si over-analyzing) apa yang salah, siapa yang truly salah, dan kenapa respons aku sampai kayak gitu.
Ternyata, dalam banyak kasus serupa, yang bikin aku merasa nggak nyaman ketika mengalami situasi seperti itu bukan situasinya, tapi pikiran bahwa selama ini aku salah mengira orang-orang itu bisa mengerti aku by at least letting me off for few minutes before I start to reach them by myself. Ternyata, nggak semua orang, bahkan orang yang kupikir bisa, mengerti apa yang bikin kamu merasa nggak nyaman. That was shitty, even after that, I still could feel the awkward ambience between us, making me felt even guiltier for messed things up. That’s how fucked up my brain.
Dari kejadian itu, aku belajar, berusaha introspeksi (cih, tua, tapi bener) apakah selama ini aku pernah melakukan hal yang sama ke orang lain. Jawabannya, iya, pernah. Dan kemungkinan sering banget, sadar maupun nggak sadar. Meskipun terlambat, akhirnya aku berusaha untuk kembali ke awal, kembali ke memahami my own worst trait dan gimana caranya untuk nggak munculin itu terlalu sering. I’m not becoming calmer or wiser or lessen my hope, from that incident, aku sadar kalau harapan/keinginan untuk orang bisa memahami kita memang nggak bisa dihindari. Manusia adalah makhluk pamrih, bahkan sama Tuhannya sendiri. When we do good, we hope for another goodness. But when we do bad, we hope for forgiveness because we can never fully prepare for bad things happen to us. Waw, menyebalkan ya.
Kupikir, di akhir hari, nggak ada salahnya untuk, yah, berusaha sebaik mungkin nggak ngusik kenyamanan orang lain sih. Now I sound so much like GenZ but my point is, kenyamanan dalam artian kondisi yang bikin orang itu nggak merasa terancam, bersalah, terpojok, tersingkirkan, dan ajektiva serupa lainnya yang aku udah nggak tau harus ngetik apa lagi. So, alih-alih treat people with kindness, kupikir akan lebih menyenangkan untuk memperlakukan orang dengan taraf kenyamanan yang sesuai dengan mereka. Dan itu butuh trial and error yang banyak tapi, nggak ada salahnya mencoba. 
1 note · View note
adlnd · 2 years ago
Text
Sekarang Aku Tau Kenapa Aku Mau Sama Kamu
[posted on Medium August 4, 2022]
Agak telat tapi yaudahlah.
Aku sempat merasa bersalah karena tiba-tiba kepikiran hal ini di tengah-tengah solat — pertanda solatku nggak khusyuk. Terlepas dari itu, awal mula kenapa aku bisa kepikiran hal ini sebetulnya agak jauh melenceng. Tapi, mari aku coba jelasin secara singkat.
Tadi sore aku (terpaksa) bikin video TikTok buat kompetisi di acara kantor. Untungnya, nggak keliatan muka, cuma gerak-gerakin tangan buat dicocokin dengan sound-nya. Konsep videonya adalah anak-anak kelahiran 90an yang lagi ngeledekin anak kelahiran tahun 2002. Yang akhirnya bikin aku mikir:
jarak umur antara aku dan si anak tahun 2002 ini enam tahun, tapi kenapa dia bisa enteng banget manggil aku pakai nama aja? Dan nggak, ini bukan masalah yang pengen aku permasalahin, karena aku nggak masalah mau dipanggil nama aja atau pakai atribut lebih tua. Tapi kalau aku jadi dia, apakah aku bisa melakukan hal yang sama ke orang yang lebih tua enam tahun di atasku? Kayaknya nggak. Mungkin kalau lagi cerita di luar ketika si orang yang lebih tuanya nggak ada di sekitar, aku bisa manggil namanya aja. Tapi untuk manggil atau ngajak ngobrol, kayaknya aku belum bisa. Minimal kak, mas, bang, koh, apapun yang nunjukkin kalau aku lagi ngomong sama orang yang lebih tua — meskipun subjeknya bisa pakai gue-elo. Yang akhirnya bikin aku inget tentang:
setiap kali aku denger kamu cerita tentang teman-teman geng kamu itu, aku selalu denger nama mereka aja. Tapi kalau aku balas ngebahas mereka, di kepalaku, aku selalu manggil mereka dengan atribut tadi. Yang tiba-tiba lompat ke adegan:
gimana kalau aku diajak nongkrong bareng teman-teman geng kamu itu, lalu salah satunya, Kak Anu misalnya, nanya, “Kenapa kamu mau sama dia (kamu)?” Lalu sebuah jawaban lewat begitu aja ketika aku lagi solat rakaat kedua:
“Karena dia satu-satunya orang yang bisa aku bayangin bakal duduk di samping aku ketika aku lagi nangis. Nggak ngomong apa-apa, cuma duduk aja, megangin tangan, bahu, kepala, sambil dengerin suara tangisan aku yang jelek.
“Memang aku nggak berhubungan dengan banyak orang, tapi setelah aku pikir-pikir, dengan orang-orang seperti teman atau anggota keluarga pun, aku belum tentu bisa kayak gitu. Tapi sama dia, aku bisa ngebayangin hal itu dan aku pernah berada di posisi itu — walaupun nggak sering.
“Well sebetulnya masih banyak hal lain yang bisa dijadiin alasan, tapi buat aku pribadi, kayaknya itu yang paling utama. Kupikir, kalau dia bisa ada di posisi itu, hal-hal lainnya sangat mungkin bisa dikompromikan. Dan itu cukup untuk jadi alasan aku mau sama dia.”
Aku nggak tau selanjutnya aku mikir apa, selain pikiran kalau aku harus nulis ini segera sebelum aku lupa dan kalimatnya jadi ngalor-ngidul. Tapi aku juga inget ini karena kamu pernah menanyakan hal yang sama ke aku. Waktu itu aku jawab kalau kamu adalah orang yang dewasa, padahal nyatanya nggak juga. Kamu keliatan bersikap dewasa cuma karena kamu lebih punya banyak pengalaman dibanding aku. Kamu sebetulnya orang paling rapuh yang pernah aku kenal, tapi sok kuat dan ngerasa bisa menyelesaikan semua masalah, padahal nyatanya nggak.
Ketika kamu — dari sudut pandang aku — ada di posisi yang cuma duduk dan dengerin aku nangis, aku tau kalau kamu juga pengen dapetin hal yang sama dari orang lain. Aku tau kamu pengen nangis jelek sampai mata kamu bengap, ditemenin sama orang yang megangin tangan kamu, bahu kamu, atau meluk kamu. Kalau waktu itu kamu nggak terlalu egois, kalau waktu itu kamu mau sedikit terbuka sama aku, aku pasti mau ngelakuin itu buat kamu. Semenyenangkan apapun ketika kita ketawa bareng, aku lebih pengen kita nangis bareng, atau sendiri-sendiri, atau ganti-gantian as long as nggak ditinggal sendirian di saat lagi di bawah. Setelahnya mungkin aku tetep bakal nasehatin dan ceramahin kamu karena terlepas dari itu semua, ketika aku mutusin untuk peduli sama orang, secara otomatis aku ngasih tanggung jawab ke diri aku sendiri untuk setidaknya nggak bikin kamu makin berantakan — aku mau bantu ngumpulin dan megangin semua serpihan yang berserakan di lantai, buat ditata kembali supaya lebih rapih dari sebelumnya. Minimal ditaro di rak-rak yang tepat supaya kamu nggak bingung nyarinya.
Egois memang — mungkin kamu nggak nyaman dengan konsep itu — tapi kayaknya cuma itu alasan paling jujur kenapa dulu aku mau sama kamu. 
1 note · View note
adlnd · 2 years ago
Text
Day 20
[published on Medium December 12, 2021]
Hi. It’s been a while.
I came back here because it’s too overwhelming; the feeling, the emotions, the thoughts, the tasks, the-almost-everything. I came back here because it’s eventually my last stop when there seems no one’s around to at least lean my head on. And I came back here because I need to write something, and therefore this is my short escape to enlighten my brain.
I’m still doing that 30-days-period journal because it’s the least I can do for myself (that don’t require too much energy). It’s my second month and I started to invaliding my hormones, that being grumpy at the exact 10 days before ovulation is not making any sense at all because — how come the number is exactly the same? I started to think, maybe I overthink it too much, or over-evaluate it too much, that it becomes too valid to be true. But I honestly feel comfortable doing this, as it’s been my goals to track and analyze whatever happens to me.
Because I don’t want to bother anyone anymore. Because people don’t care anymore. So —
Repress. Repress. Repress.
But, is it worthy to let my room scattered, skip my skincare routine, not pay attention to what I eat, only to —
Repress. Repress. Repress.
I came back here because it has been too suffocating, though it’s not as heavy as I ever had the last two years. I wish I had a quick restart to it, know what’s better to overcome it than having to keep it and let it out intendedly just to poke someone. It’s a shit cycle, the feeling of unable to reach someone, start to think that they are a prick for taking me for granted, and having to pass it all alone. It’s a shit cycle to ever feeling lonely but at the same time you know that people will make you angrier. It’s a shit cycle, but I’m better in tracking it down, in stating what exactly I feel and how it feels to me when I’m being irritated. I know, like what we’ve always said each month, that this will pass as soon as the blood coming out. Sometimes I wish to not aware about this, to just rant out over small things, crying, regret it, and be nice again. Realizing this means you have to figure out — or trying out — many things to overcome it. Because at the end of the day, I want to tell them that this isn’t a bother anymore, or, I can handle it myself. It is between me and myself. And I want to show them that I can get through this without their help. I don’t need help. I don’t need them. I better —
Repress. Repress. Repress.
I wish to not coming back here again some time later. If I did, it means I’m repeating the shit cycle and I’ll be really upset about it.
0 notes
adlnd · 2 years ago
Photo
Tumblr media
lizzy hadfield
1K notes · View notes
adlnd · 2 years ago
Text
Serial TBT alias Tidak Bisa Tidur
Berangkat dari coping mechanism yang muncul setelah memberi selamat kepada seorang teman lama karena baru saja melahirkan anak pertamanya, saya berniat untuk mulai menulis lagi (dan lagi). Kali ini dalam format serial tidak bersambung bertajuk TBT alias Tidak Bisa Tidur. Kenapa namanya norak? Karena saya belum bisa mikir untuk jangka panjang. Bisa buka laptop, ngetik, dan masih ngetik sampai ketikan ini aja udah syukur Alhamdulillah.
Lalu, apa isi serial ini? Ya apalagi kalau bukan ocehan lepas saya yang udah nggak ketampung dan berantakan dimana-mana. Saya yakin ini nggak akan bertahan lama karena saya sendiri masih nggak tau gimana cara memotivasi diri untuk nulis buat diri sendiri. Tapi setidaknya saya ingin mulai lagi (dan lagi) kebiasaan meracau yang dulu pernah saya tinggalkan--entah karena apa.
Tumblr media
Untuk tulisan pembuka, saya cuma mau bilang, ini adalah salah satu kebiasaan saya ketika melihat pencapaian orang lain--seperti yang udah saya singgung di awal. Coping mechanism saya ini memang terlalu positif sepertinya, kalau nggak nulis ya bebenah. Analisis sementaranya sih, ya sesederhana karena saya ngerasa nggak punya pencapaian apa-apa, makanya saya berakhir dengan berusaha membenahi diri saya lewat dua kegiatan tadi. Apakah ini baik untuk kesehatan? Seharusnya sih iya, kalau ditekuni dengan baik. Sayangnya, saya ini suka angot-angotan, nggak bisa itu namanya bikin jadwal khususon untuk meracau, nggak bisa saya. Jadi yah, untung-untungan aja sih, kalau inget, kalau pengen, kalau lagi ada kelebihan tenaga kayak sekarang (fuck you, kopi).
Terus apa lagi ya, oh iya sepertinya saya juga pengen bikin draf kasar untuk tulisan-tulisan saya yang lebih serius. Kayak misalnya draf cerpen, novel (amin aja dulu), atau tulisan yang bisa saya jual ke recruiter. Ah, jadi keinget lagi, saya mau resign tapi belum ada lamaran yang betul-betul nyangkut sampai sekarang. Saya sempet kepikiran apa portfolio nulis saya kurang banget ya? Nah, mungkin itu juga yang memotivasi saya untuk nulis lagi di sini. Aduh, banyak cingcong.
Tumblr media
Oke, apakah ini akan saya bagikan dengan orang-orang yang saya kenal? Kayaknya nggak. Ya, nggak usahlah, siapa sih yang mau baca ocehan orang tua yang pikirannya nggak berkembang? Ups.
Damn, toxic negativity sungguh sangat efektif untuk membangkitkan semangat. Baiklah. Supaya nggak dibilang pemikiran nggak berkembang lagi sama diri saya yang skeptis, saya akan berusaha untuk mulai nulis hal-hal yang nggak kalah berbobot, seperti politik, teknologi, dan ekonomi.
Oke, mungkin teknologi aja kali ya.
Terus saya harus mulai darimana? Yaudah, nanti deh dipikirin. Sekarang udah jam 1 dan saya nggak mau lingkar hitam di bawah mata saya makin ketara. Dadah.
1 note · View note
adlnd · 2 years ago
Text
“Isn’t it funny how day by day nothing changes, but when you look back, everything is different.”
— C.S. Lewis
1K notes · View notes