Pengagum aksara Indonesia dan berbagai tetek bengeknya
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Di Mana Musik Yang Mengusik Berada ?
Produk musik kian membakar hasrat untuk berdendang. Komposisi monoton dan nihil makna bukanlah utopia yang dapat ditelan mentah-mentah. Di bakar oleh sengatan mentari dan diterpa hujan kala senja menyingsing bukanlah soal. Memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas akibat permainan para pejabat itulah soal sesungguhnya. Perbuatan paling manusiawi yang dapat dilakukan manusia toh hanya itu.
Suatu kemunafikan bahwa para manusia yang tak mau diam tersebut tidak dilanda kejenuhan di dalam medan yang bising dengan substansi akan tuntutan KEADILAN. Puja-puji pada yang Maha Kuasa telah mengizinkan saudara-saudara yang sadar seni menyumbangkan kodratnya untuk menciptakan tembang perlawanan. Sehingga, tidak melulu orator itu koar-koar akan nilai kemanusiaan yang itu-itu lagi.
Saudara Iwan Fals dengan lantangnya menciptakan lagu-lagu yang menohok namun nyaman dilantunakan serta lirik yang mudah diingat. Sebut saja karya beliau, Bento, yang kerap mewarnai pojok-pojok areal berkumpulnya warga sekitar. Bukan tidak mungkin Sdr. Iwan Fals telah menciptakan sebuah metode yang ampuh menyentuh segala jenjang usia untuk menyadari realita pahit yang dibalut dengan janji-janji manis. Bongkar menjadi medium khalayak yang sadar untuk bertindak menumpas kedegilan. Kalimat “Robohkan setan yang berdiri mengangkang” teramat memorable saat khalayak berdiri serta melawan aparat yang berpihak kepada pihak yang salah.
Guru yang telah 40 puluh tahun mengabdi, namun gajinya tak seberapa dengan anak-anak yang telah rintiskan menjadi profesor, teknisi, bahkan menteri. Guru Oemar Bakri memberikan pukulan tersendiri bagi pemerintah untuk memberi perhatian lebih kepada pahlawan tanpa tanda jasa tersebut, yang tentunya telah mengabdikan diri melalui terjalnya jalan berlubang dengan sepeda kumbangnya. Bahkan, pada lagu Sarjana Muda tersirat sebuah perjuangan anak bangsa yang murni dari bangku pendidikan tinggi demi meraih pekerjaan. Anggapan umum akan sarjana mudah dapat kerja di patahkan mentah-mentah oleh Sdr. Iwan Fals, bahwa pada hakikatnya kekuatan ilmu yang direngkuh dengan susah payah akan kelah telak dengan kekuatan koneksi orang dalam.
Bimbo yang biasa kita kenal dengan tembang lirih sendu perindu cahaya dan ampunan Ilahi pun tak mau berdiam diri menyaksikan keabsurd-an zaman itu. Tante Sun menjadi simbol akan kehidupan glamor yang dilakukan ibu-ibu pejabat. Sedari fajar menyingsing hingga pancaran sinar purnama tidak meredupkan keaktifannya dalam bersosialita.
Hal-hal diatas menjadi pertanda bahwa masih banyaknya manusia yang peduli dan berusaha menyadarkan sesamanya dari mimpi-mimpi basah akan harta, tahta, wanita.
Zaman sekarang bisa dibilang lumayan nihil musik-musik yang mengusik tersebut. Apabila ada, toh hanya berupa makian-makian tak bermakna yang bukannya justru mengkritik secara cerdas, malah memaki tak pandang bulu tak ubahnya kerbau yang tak kenal bangku pendidikan. Tetapi, semua itu terselamatkan berkat Efek Rumah Kaca yang hadir memberi angin segar bagi pihak-pihak yang gerah akan tindak-tanduk pemerintah.
Di Udara begitu mengudara di atas awan, upaya pengingat Alm. Munir Sayyid Thalib yang diracun di atas pesawat Garuda dengan tujuan Amstredam. Lagu ini dapat memberikan rasa penasaran bagi kawula muda mengorek sepak terjang Alm. Munir yang tak lepas dari perjuangannya menegakkan hak-hak para buruh. Sebegitu murninya hingga oknum-oknum terkait terancam kegembiraanya hidup di atas tanah ajaib yang disebut nusantara ini.
Terus-menerus gelombang musik yang mengusik tak pernah usai, dibawakan oleh grup band asal Univ. di Depok yakni .Feast secara gamblang di semua lagunya memberikan bait-bait protes yang sedang panas-panasnya ini. Mereka membicarakan hidup sebagai minoritas yang tak semestinya selalu menjadi korban, tak kenal ampun untuk menyikut golongan yang dianggap gemar lewat arah kiri, hingga perseteruan apik antara dua golongan yang tak kunjung usai. Sayangnya pada beberapa lagu menggunakan bahasa inggris, sehingga ditakutkan hanya beberapa pihak yang paham akan pesan yang hendak dijadikan poin tuntutan. Bagaimana nasib tukang koran keliling, tukang sayur dalam mobil bak terbuka, tukang abu gosok yang menginginkan pemahaman yang dibalut dengan bahasa inggris tersebut. (Walaupun saya mengimani bahwa bahasa musik adalah universal)
Ditutup dengan seorang Jason Ranti yang dengan penuh kepercayaan diri membawakan tembang Bahaya Komunis, salah satu topik yang tabu untuk dibicarakan di muka umum serta menjadi alat favorit oknum terkait untuk mengadu domba. Namun, ada sudut pandang berbeda yang diberikan beliau, yakni pemahaman akan komunis itu sendiri. Di sini Jeje (sapaan akrab Jason Ranti) tidak membicarakan komunis-komunis bahkan mengutuk dengan sumpah serapah, melainkan mengejek orang-orang yang menelan kata komunis mentah-mentah tanpa disaring terlebih dahulu. Akar dari lagu ini pun merupakan kurangnya budaya membaca yang telah meradang dikalangan WNI. Sehingga berangkat dari penyakit kronis tersebut timbul berbagai persoalan yang sebetulnya dapat diatasi dengan mudah justru menjadi njelimet bukan kepalang.
Banyak yang perlu disadarkan, tolong jangan terus dibuai dengan bait-bait pesona. Berilah pihak-pihak yang patut di usik dengan musik yang mengusik.
2 notes
·
View notes
Text
Pembelengguan
Indonesia diyakini memiliki berbagai fase hingga dapat mencapai tahap, sebagaimana saya kutip melalui statement Jokowi, demokrasi kebablasan. Siapa pula yang tidak akan ingat akan kelamnya fase Orde Baru di penghujung kuasanya, bahkan kaum muda/mahasiswa pun ikut memotori gerak bangsa ke titik cerah melalui demonstrasi yang digalakkan, antara lain peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) maupun yang santer terdengar gaungnya hingga saat ini peristiwa ‘98.
Di saat tajamnya bambu runcing tak mampu, panasnya bedil pun tak mampu, apalagi hanya duduk termangu memanjatkan doa tak mampu pula, maka berhimpun dan kata menjadi alternatif dalam menghadapi setan yang mengangkang. Berkaca pada kemerdekaan Indonesia yang pada salah satu fase nya medio 1900-an mulai marak organisasi dan produk jurnalistik. Tapak perjuangan itupun dimulai oleh seorang pahlawan yang dilupakan dalam buku pelajaran sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, yakni Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Koran Medan Prijaji menjadi corong kepada khalayak luas akan kebengisan pemerintah kolonial mengurus negara jajahannya serta didirikannya Syarikat Prijaji, embrio dari Syarikat Islam, organisasi yang diinisiasi untuk membuka jalan masyarakat Indonesia berkumpul untuk bertukar gagasan akan apa yang hendak dicapai dikemudian hari. Tak ayal banyak mahasiswa menggunakan cara tersebut untuk menginsyafkan kekuasaan yang gendut dan malas.
Turunnya mahasiswa ke jalan dengan rencana matang menjadi obor ditengah-tengah ketidakpedulian khalayak sekitar. Terkadang dibuat kewalahannya penampuk kekuasaan hingga kalang kabut mengatasinya. Apabila mendamprat demonstran menggunakan kekerasan justru akan mencoreng muka pemerintah saat itu yang sebetulnya telah tercoreng, maka diambil langkah untuk mematikan mahasiswa bukan direnggut nyawanya melainkan mematikan sikap kritis mahasiswa sedari hilir.
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) merupakan racun yang ditanamkan pemerintahan saat itu. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan era Kabinet Pembangunan III, menjadi saksi sekaligus petani yang berhasil menanamkan NKK/BKK dengan harapan tidak ada lagi hama yang berkembang biak nan menggila. Dengan alasan normalisasi itulah aktivitas politik di kampus haram hukumnya. Seketika kehidupan kampus menjadi kering, tidak ada lagi malam-malam demi mematangkan aksi, tidak ada lagi kajian-kajian yang menohok, tidak ada lagi rasa skeptis akan pemerintahan suci Bapak Pembangunan. Seketika mahasiswa dikerdilkan dengan sibuk mengerjakan tugas-tugas, belajar didalam kelas wajib dilakukan, serta termakan doktrin IP bagus demi pekerjaan layak sehingga dapat membahagiakan orang tua, calon istri, calon mertua, calon anak, dan berbagai pencalonan lainnya.
Hal yang dilakukan pemerintah saat itu amat persis dengan apa yang dilakukan pemerintah kolonial bertahun-tahun lalu. Kala kebangkitan nasional telah tercium di Bumi Pertiwi, banyak masyarakat Tiongohoa yang kontra akan berbagai kebijakan pemerintah kolonial. Upaya yang paling membenamkan wajah Gubermen, tidak lain dengan terbitnya Koran Sin Po yang banyak menelurkan gagasan-gagasan segar serta berusaha membuka mata khalayak luas atas realita yang terjadi kala itu. Di rasa semakin mengancam keberadaan Gubermen maka dididirikanlah sekolah untuk anak-anak keturunan Tionghoa, Hollandsch-Chineesche School, demi mematahkan pemikiran kontra dan menanamkan rasa cinta dan pro terhadap pemerintahan kolonial di kemudian hari.
Apa jadinya apabila kawah candradimuka, tempat suci untuk menimba ilmu di preteli berbagai upaya-upaya pencerdasannya. Indikasi lembaga pendidikan sebagai tempat untuk melanggengkan tampuk kekuasaan nyata adanya. Sehingga menjadi tidak pentinglah apa yang seharusnya penting untuk dicapai berbagai kepala yang ada. Seperti pada pelajaran sejarah, hanya berisi tokoh-tokoh yang berhasil menaklukkan peristiwa terulas secara mendalam sedangkan yang kalah jangan berharap gambarnya terpampang di buku-buku, namanya saja tidak akan disebut-sebut. Fakta tak habis pikir selanjutnya mengapa hari kebangkitan nasional di dasari atas berdirinya Boedi Oetomo yang notabene hadir tahun 1908, sedangkan Syarikat Prijaji hadir tahun 1906 lebih dulu menghimpun untuk bangkit dari keterpurukan. Tan Malaka pun di lembaga pendidikan pun amat jarang bahkan nihil disebut. Padahal jasa-jasa beliau pun cukup besar dan layak disandingkan dengan Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Seorang Tan Malaka lah yang pertama kali menginisiasi gagasan Indonesia berbentuk republik yang dirasa cocok dengan kondisi masyarakatnya dan untuk kedepannya. Pada akhirnya, apakah sekolah/kampus menjadi tempat mencuci otak milik pemerintah yang paling ampuh ?
Rindu dengan lembaga pendidikan yang murni dari intervensi kebablasan. Mungkin hal itu hanya didapat pada jenjang taman kanak-kanak. Sepertinya di Bumi Pertiwi ini untuk menjadi manusia bebas seutuhnya, harus melewati tahap pembelengguan terlebih dahulu.
0 notes
Text
Kala Sekolah Memerkosa Jati Diri
Pagi yang dingin membangkitkan hasrat untuk mengahangatkan jiwa maupun raga, barang tentu sudah tahu apa yang musti diperbuat untuk menenteramkan hal tersebut. Raga dapat diatasi dengan segala jenis kopi panas entah berjenis cappucino, mochacino, espreso, bahkan sebungkus kapal api pun mampu. Sedangkan jiwa musti dipantik dengan sebuah buku entah berjenis apapun bentuk buku yang hadir di permukaan jagat. Hanya saja saat itu mata tertuju pada novel roman Rumah Kaca yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Selembar hingga lembaran berikutnya semakin hanyut ke ranah kolonialisme yang dihadirkan penulis dengan apik-nya. Sampai tertegun pada satu paragraf yang sekiranya fenomena pendidikan di zaman kolonial tersebut masih relevan dengan kejadian hari ini di Bumi Nusantara tercinta.
Apa jadinya apabila sekolah tidak diperkenankan hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat ?
Tentu bisa runyam segala sendi kehidupan yang hidup di kalangan masyarakat. Syukur tiada tara mungkin di hanturkan pada para pionir Politik Etis dengan gagasannya akan balas budi terhadap jasa-jasa pribumi atas tenaga dan keringat yang dimuntahkan untuk Belanda. Salah satunya yakni edukasi yang melahirkan sosok-sosok berpendidikan seperti R.M. Tirto A.S., Soewardi Soeryaningrat, Dr. Soetomo, dsb. Mereka kesemuanya tidak hanya menggunakan ilmu atas edukasi tersebut dengan mengukuhkan status sosial semata, namun juga memberdayakan manusia-manusia seperempat setengah (mengutip ungkapan R.M. Tirto A.S. kepada pribumi zaman kolonial Belanda) untuk menjadikannya manusia seutuhnya dengan banyak hal, antara lain mendirikan sekolah, organisasi, lembaga pers dengan bahasa Melayu, dll. Edukasi ini pun menjadi tonggak bebasnya Indonesia dari belenggu Belanda.
Sekolah pun menjamur tak terkendali dengan jenjang yang telah diatur sedemikian rupa oleh Pemerintah. Kurang lebih 12 tahun menjadi waktu pokok untuk menimba ilmu atau dengan tambahan 4 - 7 tahun bila dilanjutkan ke perguruan tinggi atau bisa lebih bila lanjut ke strata selanjutnya. Niat pemerintah untuk MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA laksana telah terlaksana. Namun, apakah dengan banyaknya jumlah sekolah yang ada telah seiring dengan kualitas yang mumpuni. Di rasa hal ini masih terlalu jauh untuk direalisasikan apalagi diharapkan.
Layaknya realita yang terjadi di Bumi Nusantara ini bahwa anak pintar hanya dilihat dari seberapa besar nilai yang direngkuh, semakin besar jumlahnya makin jenius lah Ia. Sama halnya dengan penafsiran MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA, semakin banyak sekolah/perguruan tinggi yang dibangun maka makin terealisasi lah kalimat tersebut. Otoritas itupun lupa dengan kualitas yang sejatinya menjadi nyawa dari tercerdaskannya bocah-bocah yang tak tahu apa-apa itu.
Segelitir dari pengamatan saya se-alakadarnya ini selaku korban pendidikan 12 tahun merasakan bahwa sedang terjadi apa-apa ditempat berprosesnya anak bangsa tersebut. Kurikulum hafalan menjadi momok bagi semua siswa-siswi sepantaran saya, guru pun menerangkan dengan se-ada nya karena percaya bahwa siswa-siswi pasti akan membacanya sendiri untuk dihafal bahkan ada yang hanya menerangkan suka duka pengalaman hidupnya berharap kisah inspirasionalnya itu dapat tertular ke anak didiknya. Jika ada sedikit keberanian kolektif mungkin saat itu juga seisi kelas akan menyemburkan “PERSETAN DENGAN KISAH HIDUPMU YANG SARAT ILMU”. Bisa jadi itu salah satu cara untuk tidak menerangkan materi dikarenakan malas atau lebih parahnya lagi sudah tidak paham dengan apa yang diajarkannya. Dengan kesewenang-wenangan tiada tara kata-kata teror pun hadir “Baca bukunya besok kita ulangan bab 1″. Seketika diri ini baru paham untuk apa mengahafal bila tidak mengerti, bukankah hakikat ilmu untuk dimengerti agar bila terjadi suatu persoalan berbagai macam maka landasan dasar nya akan tetap.
Takut bertanya pun menjadi momok yang telah mendarah daging, bisa dihitung dengan jari bahkan tidak ada sama sekali sosok-sosok yang kerap bertanya. Bisa jadi ini merupakan efek berantai dari kurikulum hafalan dengan inovasi guru yang dangkal untuk memancing rasa keingintahuan yang tinggi sehingga mematikan sikap kritis para terpelajar. Walaupun disini tidak hanya guru yang turut andil akan phobia bertanya ini, melainkan siswa-siswi itu sendiri yang malas akan membaca buku. Hal ini diperkuat dengan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Kebiasaan ini pun turut serta memerosokkan daya kritis para terpelajar yang budiman. Kerap dasar untuk membaca buku amatlah dangkal, jika besoknya terdapat ujian. Hal itu semua dilakukan demi mendapatkan nilai sempurna agar membanggakan ibu, bapak, dan keluarga besar.
Mementingkan nilai menurut saya merupakan hulu dari segala problema mental terpelajar. Bumi Nusantara ini telah terpatri dengan nilai tinggi dapat mendatangkan penghidupan yang layak. Percaya tidak percaya para terpelajar pun terdoktrin dengan stigma pekerjaan dengan gaji tinggi. Untuk umur yang kesekian banyak terpelajar yang sudah mendamba masuk ke korporasi dibanding mempreteli ilmu yang tengah dipelajari untuk diteliti lebih lanjut. Apakah ke skaralan tempat selaku kawah candradimuka patut dinodai dengan impian-impian usang itu. Kualitas diri pun menjadi urutan kesekian untuk diperhatikan dan dikembangkan. Padahal, kenyataan lebih bersahabat dengan kualitas diri dibanding nilai yang tertera di ijazah.
Maka, hilir dari semua ini adalah sekolah tempat untuk merengkuh ilmu atau merengkuh ijazah ?
Baik-baik lah terpelajar dalam memelajari pelajaran.
1 note
·
View note
Text
Album yang Membekas di ‘17 (Bagian II)
Karena pada Bagian pertama telah gua jabarkan tiap album dengan berbagai latar belakang mengapa kesekian album itu timbul, maka pada bagian ini gua menghimbau dan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang sengaja gua berikan. Mungkin diantara pembaca yanng budiman menganggap latar belakang tidak penting dan segala kritik pedas berbagai macam atas bentuk karya bagian pertama. Mengingat pula Waktu Indonesia Barat telah menunjukkan pukul 1:34 pagi yangmana sebetulnya tubuh telah terbaring nyaman diatas ranjang demi menimbun energi untuk hari esok yang lebih gemilang. Maka, pada bagian kedua kalian tidak perlu memboyong caramel popcorn atau berbagai hal yang dapat dikonsumsi untuk memuaskan hasrat lapar atau kebosanan yang melanda barangkali karena teramat singkat. Atas rasa rendah hati dari lubuk hati paling dalam, tidak lupa gua mengucapkan selamat menikmati.
Juli “The Upstairs - Matraman (2004)”

Agustus “Eros Djarot - Badai Pasti Berlalu (1977)”

September “Mooner - Tabiat (2017)”

Oktober “Vira Talisa - Vira Talisa EP (2016)”

November “.Feast - Multiverses (2017)”

Desember “Jason Ranti - Akibat Pergaulan Blues (2017)”

0 notes
Text
Album yang Membekas di ‘17 (Bagian I)
Kembang api bertebaran di langit gelap tanda kalender masehi beranjak ke angka ‘18. Berbagai rasa yang dirasa tahun lalu pun sirna seketika terkecuali album-album yang menemani di tiap bulannya. Tiap bulan memiliki corak tersendiri entah karena didorong tuntutan hidup yang memberikan rasa nano-nano (kesal bercampur gembira atau gembira bercampur kesal dan berbagai efek karakter yang dapat terpancar dari relung jiwa), menimbulkan pemilihan karakter sebuah album yang dinikmati pada saat terjadi pergumulan yang mencekam tiada tara. Tulisan ini pun dipelopori oleh artikel milik majalah Rolling Stone Indonesia yang mengulas tentang album terbaik pada tahun 2017. Hal ini mau tidak mau mendorong gua untuk unjuk gigi dengan kaliber album yang patut juga untuk disimak walaupun tidak terpaku album keluaran tahun 2017, melainkan ada pula album yang dirilis pada tahun 1977 namun masih pantas untuk disimak maupun dihayati oleh khalayak, but beware this article is so long so bring your caramel popcorn or anything that can feed your appetite. Tak usah ber mukaddimah yang berkepanjangan, enjoy the ride :
Januari “Dewa 19 - Terbaik Terbaik (1995)”

Sontak janganlah terkaget-kaget dan menghina gua akan ketakziman terhadap Dewa 19 dengan punggawa yang tak perlu disebut pun kalian sudah tahu akan kontroversi yang kerap dilakukannya, namun janganlah skeptis terlebih dahulu. Album-album Dewa 19 medio 1990-an hingga 2000-an awal merupakan fase terbaik. Terutama menurut gua album ini. Warna yang diberikan album ini sangat beragam, keberanian untuk menelurkan notasi-notasi unik dari semua personil sungguh terasa. Album ini mayoritas berisikan lagu cinta, tapi tidak dengan sudut pandang seorang lelaki atau perempuan patah hati karena diselingkuhi atau segala bentuk arti klise dari lagu cinta. Contohnya, pada lagu “Cukup Siti Nurbaya” tergambar suatu halang rintagan dari sebuah cinta akan realita sosial yang terjadi di masyarakat. Menurut gua album ini betul-betul terbaik dari Dewa 19. Inginnya tidak ada lagu favorit dari album ini, karena semuanya bagus. Hanya saja ada satu lagu yang sangat terngiang-ngiang bahkan sampai saat ini sedari awal mendengarnya, tidak tahu apa ini hanya prasangka sekelabat pribadi atau bisa menjadi renungan kolektif hanya saja judul lagu itu “Restoe Boemi”. Selamat menikmati.
Februari “Oasis - Definiteley Maybe (1994)”

Kesibukan di berbagai organisasi sempat menghilangkan iman untuk mendengarkan musik barang satu pun, bulan ini ialah bulan ter-brengsek yang pernah gua lalui dengan hectic berlandaskan embel-embel pengabdian di BEM (Badan Event Mahasiswa) selaku budak fotografi untuk berbagai bidang didalamnya serta kesibukan yang gua suka di Persma (Pers Mahasiswa) fakultas di bagian litbang yang tiap minggu bertatap muka untuk saling berdiskusi dan mematahkan argumen satu sama lain. Dengan feature milik Youtube berupa next video secara otomatis terbawalah ke suatu tembang berjudul “Supersonic”. APAAN-APAAN INI !!, antara kaget dan kagum ternyata Oasis yang selama ini gua benci akibat fansnya dengan suara memuakkan yang beranggapan dirinya Liam Gallager ditambah selalu menyanyikan “Don’t Look Back in Anger” dimanapun dan kapanpun. Seketika ada rasa penasaran untuk menyelam lebih dalam di album tempat lagu tersebut bernaung. Menggelegar dan fresh merupakan first impression akan album ini. Betapa Gallagher bersaudara yang saling melengkapi ditambah kerapihan ketukan pemain drum dan bass semakin mempermudah suasana untuk jatuh hati selama sebulan penuh untuk mendengarkan Oasis. Bak oase di tengah hiruk pikuk sinar matahari yang menusuk, album ini berhasil melepaskan dahaga gua akan rasa haus demi sebuah lagu-lagu ajib. Selamat menikmati.
Maret “The Sigit - Detourn (2013)”

Seiring berjalannya waktu, rutitnitas kembali berjalan semestinya. Tidak ada lagi bangun kesiangan meengejar kelas jam 7 pagi. Tubuh mau tidak mau harus mengikuti ritme yang sedang berjalan dan alhamdulillah bekerja maksimal. The Sigit bukan nama baru di kancah semesta musik di Indonesia terutama ranah inde. Komplotan Rekti Yoewono ini berhasil mengubah paradigma gua akan sebuah band atau mungkin banyak orang bahwa mereka berhasil memberikan sebuah standar dimana pengemasan sebuah album yang baik ya seperti Detourn. Sependek pengetahuan gua akan The Sigit, mereka selalu memberikan suara baru di setiap albumnya, tidak monoton dengan satu genre saja. Para lelaki lulusan kampus Ganesha ini pun kerap memformulasikan suara-suara absurd namun menjadi mahakarya yang monumental. Terdapat unsur Pshycedelic layaknya Pink Floyd namun tetap dengan porsi distorsi yang pas layaknya Led Zeppelin. Tidak ada lagu spesial di album ini, karena semua lagunya sangat spesial. Hanya ada satu kata yang dapat menggambarkan album ini, yakni speechless. Selamat menikmati.
April “The Last Shadow Puppets - Everything You’ve Come To Expect (2016)”

Heran beribu heran disaat semester satu gua selalu mencari-cari tugas kuliah karena begitu anehnya kuliah tidak seperti dibayangkan, tugas menumpuk dengan pengerjaan hingga larut malam. Seketika hal itu menjadi kenyataan pada semester dua dan gua berusaha untuk lolos dari jeratan maut bernama makalah. ASU. Malam penjang dengan segelas kopi di pojok meja kerja beserta spotify di handphone yang tiba-tiba memutar The Last Shadow Puppets (untuk lebih lanjutnya akan gua singkat TLSP). Luar biasa memang, sebelumnya pun gua sudah tau akan band satu ini hanya saja tidak dengan album dengan perempuan rambut urakan yang tahan goyang itu. Lagu-lagu di album ini amat menyihir dengan mengusung kombinasi genre mainstream yakni pop dengan pshycedelic yang sebagaimana kita tahu tidak terlalu banyak yang menyenanginya. Namun, lagu-lagu yang dibawakan Alex Turner selaku pentolan Arctic Monkeys dengan Miles Kane ini amat sangat berbeda dengan album pertamanya yang mana di album tersebut keduanya seperti masih belum bisa melepaskan identitasnya masing-masing dengan band yang masih digawangi. Pada album ini keduanya pun melebur dan meniciptakan esensi TLSP itu sendiri. Selamat menikmati.
April “Bin Idris - Bin Idris (2016)”

Berjibaku dengan teriknya matahari di siang hari serta bertahan diterpa dinginnya semilir angin di malam hari menjadi makanan sehari-hari di bulan yang penuh sukacita ini. Hari-hari dipenuhi dengan kebisingan orasi di jalan-jalan yang disemburkan melalui toak ditambah semangat yang menyala-menyala dari Warga Kendeng untuk menuntut hak-nya akan sesuatu yang berharga dari alam. Hari yang bising tidak akan cocok bila ditimpali dengan musik keras perjuangan yang itu-itu saja. Mau tidak mau gua mencari alternatif lain sekadar rekreasi pribadi untuk menenagkan kalbu. Jatuhlah pilihan itu kepada album Bin Idris yang sama persis dengan nama soloisnya. Layaknya alter-ego karakter fiksi Dr. Jekyll and Hyde, Bin Idris pun merupakan vokalis Sigmun yang kerap dikenal Haikal Azizi. Pada album ini sungguh terasa relaksasi dramatis dengan lagu-lagu yang berintikan cerminan diri untuk lebih direnungkan kembali. Bin Idris berhasil menyapu rasa gundah gulana gua akan Warga Kendeng yang pastinya berseteru dengun pelu dan kesah demi sejengkal tanah. Folk yang satu ini merupakan anti tesis dari folk kebanyakan yang nyaman mengangung-agungkan senja, hujan, dan kopi. Selamat menikmati.
Mei “The Beatles - Revolver (1966)”

Melihat suatu konferensi di berita layar kaca menimbulkan rasa ingin untuk membantu sebuah kepanitiaan pada suatu pekan di Bulan November. Tak dinyana malam-malam menjadi penuh sesak dengan diskusi hanya demi menemukan titik temu akan sebuah tema yang akan diusung untuk diperdebatkan dengan ekspektasi dikirim pada stakeholder terkait. Tidak tahu apa jadinya apabila brainstorming tidak didampingi dengan album ini, akan seberapa keringnya brainstorming tersebut. Siapa yang tidak mengenal legacy dari The Beatles. Apa masih perlu dirinci secara panjang lebar. Gua rasa ga perlu. Selamat menikmati.
Juni “Scaller - Senses (2017)”

Bulan Ramadhan menjadi bulan yang berhamburan dengan uang di akhir bulan bagi para perantau, bagaimana tidak, maraknya takjil disertai buka puasa berupa lauk pauk semakin menggiurkan para predator untuk hidup sehat dengan mengurangi siklus makan mie instan. Tidak mudah menenagkan gejolak rasa lapar dan dahaga di daerah utara Jawa yang terknal terik. Album ini sekelebat hadir saja di kepala, baru ingat bahwa Scaller telah mengeluarkan sebuah album. Penjajalan demi penjajalan gua lakukan hanya untuk menikmati efek-efek dari keyboard milik Mba Stella. Terasa atmosfer Radiohead namun tidak sepenuhnya, Signature Scaller dengan efek-efek flanger ditimpali tabuhan drum menghentak semakin memperkaya band yang teramat langka di khazanah musik Indonesia ini. Alhamdulillah bulan yang penuh berkah tersebut bermakna lebih dengan hadirnya album Senses. Selamat menikmati.
0 notes
Text
Sebagai salah satu penikmat Jakarta, saya mendukung penuh tulisan ini menjadi sebuah saksi hidup Jakarta yang ciamik terlepas dari segala keparat yang hinggap.
Tulisan lu emang udah melampaui mahkluk bumi makk hahahaha.
Selamat Datang di Kota!
Sudah berapa lama kalian hidup di kota yang kalian tinggali sekarang?
Gue pernah kenal beberapa orang yang sering banget berpindah-pindah tempat tinggal, sampai mereka harus meredefinisi makna rumah. Gue juga sempet kenal orang-orang yang merasa sudut kotanya terlalu nyaman dan sempurna, sampai mereka nggak mau tau apa yang ada setelah teras habis.
Gue sendiri nggak pernah membayangkan gue menetap di kota lain selain Jakarta, kendati gue nggak cinta-cinta amat sama semua fiturnya. Jakarta udah rela membagi hidupnya untuk ditinggali satu parasit lain yang lahir di kotanya 19 tahun lalu. And I’m forever grateful.
Setiap bagian dari Jakarta punya corak masing-masing. Bagian Pusat yang jadi detak jantungnya, bagian Utara yang liar, Timur yang terpinggirkan, Selatan yang sejuk, dan Barat yang asing. Pertanyaannya: (a) Siapakah kita? (b) Apakah kita benar-benar berhak menarasikan corak-corak yang ada?
Bagi gue, titel di atas cukup tepat sasaran, karena itulah impresi yang gue dapatkan selama ini. Tapi, jangan ngambek dulu kalau kalian netizen yang budiman merasa titel itu nggak sesuai. Toh, ini kan dari pengalaman aing, jadi maneh teh kalo mo sharing boleh juga sok.
Dua bulan terakhir gue didorong untuk menulis tentang kota. Tentu saja, gue memilih menulis tentang Jakarta, tidak lain dan tidak bukan. Gue merasa Jakarta adalah kota yang paling gue kenal dan paling bisa gue ceritakan ulang. Kondisi ini mengharuskan gue benar-benar merasakan dan mengorek pandangan serta kenangan yang gue punya tentang kota ini. Mudah mungkin. Gue juga awalnya mengira itu akan semudah itu, tapi ternyata nggak. Masih kurang otentik, kurang romantis. Kenyataan ini membuat gue benar-benar meniti ulang apa aja yang gue ketahui tentang Jakarta.
Rumah gue masuk wilayah administrasi Kota Jakarta Utara, walaupun secara geografis lebih dekat ke daerah pusat. Masa kecil gue dihabiskan di daerah Sunter dan sekitarnya, bahkan menurut gue Kelapa Gading itu udah berbatasan sama Timbuktu. Baru setelah SMP, gue diboyong untuk sekolah di dekat Pasar Baru, yang menurut Avi usia 12 tahun, lebih jauh dari Timbuktu.
Persepsi gue tentang jarak pun terkonversi dari waktu tempuh kendaraan jadi harga bajaj BBG. Ke manapun yang dibanrol ,kurang dari 15 ribu, berarti masih dekat.
Avi usia SMP sangat eksploratif. Percayalah gue dengan sangat berani dan tidak tau jalan pernah melanglangbuana ke Kuningan tanpa bawa duit. Untuknya semesta memberikan gue teman-teman yang penyayang dan nggak mau gue tiba-tiba jadi badut di perempatan, sehingga gue masih bisa pulang dengan selamat.
Memasuki masa SMA, gue kembali dilepeh ke bagian lain Jakarta, Tanjung Priok.
Sebuah daerah yang selama ini gue kenal sebatas nama kecamatan tempat gue bernaung aja. Gue bahkan baru tau SMA tempat gue bersekolah adanya di mana pas mulai pendaftaran. Di situlah gue sadar, ternyata daerah rumah gue adalah anak tirinya Utara yang siap diadopsi Pusat. Gue merasa sama sekali nggak mengenal daerah ini. Hingga sekarang gue masih merasa asing. Dengan tempatnya, dengan tabiat orang-orangnya… satu-satunya hal yang gue ilhami dari bergulat dengan Teluk Jakarta adalah bagaimana ia membuat orang asing berhasil jadi lebih kuat. Bersemayam di sana selama beberapa tahun membuat gue sadar kalau suka nggak suka, tempat itu ikut menggambar diri gue yang sekarang.
Kini, gue bertransformasi lagi jadi penjelajah ruang dan waktu dari ujung Jakarta ke ujung lainnya.
Setiap cagub bisa bilang mereka mau mengusir banjir dan memotong kemacetan dari aspal Jakarta, tapi bagi gue kadang kebalaan-kebalaan itu yang bikin Jakarta terasa kayak Jakarta. But of course, I’m demanding better infrastructures, Oh Dear Current Your Majesty of Balai Kota.
Gue mulai jatuh cinta dengan trotoar Jakarta yang makin lebar dan rapi. Selama mesin teleportasi belum dijadikan sarana transportasi umum, gue sebagai pengguna transportasi umum merasa diuntungkan dengan perbaikan trotoar ini. jadi, kulo demand, panjenengan jangan usir-usir para pejalan kaki dari jalanan yang sejatinya diciptakan untuk kami. (yes, it might or might be not a political statement of an offended pedestrian. i’m watching your next moves, dear majesties)
BUT ANYWAY
Gue selalu menikmati perjalanan, sampai kadang di tempat tujuan gue jadi suntuk sendiri. I always want to trip to be longer.
Setiap kota punya magisnya sendiri-sendiri, maka dari itu gue selalu suka kota. Setiap berlibur gue selalu suka pergi ke perkotaan dan pegunungan, karena keduanya yang paling punya pemikat paling kuat. Walaupun, memang bagi gue yang paling menghipnotis adalah kandang semrawut ini.
Gue percaya setiap manusia yang berakal budi akan punya kesan yang berbeda tentang kotanya. Dan, percayalah bahwa mereka sangat menarik untuk diceritakan.
Nggak perlu jadi ahli tata kota atau ahli tata kata untuk menceritakan isi kotamu, cukup rasa.
xo,
Kembang Metropolitan
3 notes
·
View notes
Text
Gelagat Jumat
Jumat selalu menjadi hari yang dinantikan sebagian khalayak, pertanda bahwa waktu berbanting tulang hampir usai. Bersindikat membentuk kartel-kartel liburan pun menjamur. Setiap orang me-arrange berbagai situs yang layak dikunjungi. Melupakan sejenak kertas-kertas bertumpuk di meja kantor. “Murni tanpa dicampur”.
Jumat saya di bulan Desember entah kenapa tidak menimbulkan euforia bersuka ria. Sedikit waktu yang saya gunakan untuk mendengkur, karena tidur tidak termasuk ke dalam list hobby yang saya yakini. Hanya berupa kebutuhan. Diri menimbulkan anarki untuk keluar dari kamar yang sejuk menghangatkan dengan berbagai benda penuh faedah di tiap sudut kamar yang sempit. “Ya Tuhan jagalah aku selalu”.
Tembang kreatif kontroversial milik Jason Ranti membuka hari Jumat yang sakral bagi salah satu umat beragama di Astina. “Doa Sejuta Umat” miliknya yang di rekam pada acara musik tahunan WTF (We The Fest) 2017 membelalakkan kedua mata ini dan menggelegarkan kedua telinga ini. Penggalan lirik sarkas nan sprituil menghenyakkan kalbu seperti siraman rohani Mamah Dedeh di tiap pagi hari. Bentuk keresahan yang dikemas dengan lirik nan konyol tidak mengurangi kadar kualitas lagu yang super idealis ini. Mulai dari percintaan, pendidikan, kesejahteraan, hingga pencarian akan Tuhan tidak luput dari insting seorang Jason Ranti dalam mengobservasi kejadian lokal. “Ku rasa Gusti tinggal di hati”.
Akhirnya ada kesempatan untuk keluar dari kamar parasit, untuk mengumpulkan tugas hukum waris. Hukum waris, di mana memiliki soal yang kerap menghadirkan lelaki hidung belang dan suka berreproduksi. Hukum idaman para sarjana untuk mengabdikan usianya demi merengkuh harta, harta, harta. Semoga tidak terjadi pada hamba yang bodoh dalam hitung-hitungan ini. “Ya Tuhan lindungi aku selalu”.
Beranjak ke malam yang tenang, ditemani secangkir kopi, dan partner bicara. Seorang partner yang tidak bisa saya remehkan sama sekali dari kerangka berpikirnya. Satu sama lain saling menginjeksi pemikiran masing-masing. Tidak ayal obrolan utama yang telah diperjanjikan bergeser kepada segala solusi tetek bengek hidup dan Semarang. Jalan keluar urusan percintaan menjadi salah satu pembahasan menohok namun asyik. Penjelasannya yang begitu komperhensif membuka mata batin saya untuk melihat setan-setan bergentayangan yang nantinya akan memiliki dampak negatif. Benar. Sungguh benar. Seketika itu juga Jumat ini menjadi berkah. “Aku selaluuuu berdoa”.
Namun, ternyata hari Jumat tidak ditutup dengan partner bicara di coffe shop pojok jalan. Melainkan sebuah telepon dari seseorang yang hidup di daerah istimewa.
0 notes
Text
Cukup
Tak ada kata yang dapat merepresentasikan kehendak bodoh satu ini. Dilema yang terjadi berjalan begitu cepat, sekelebat tak kentara. Fana memang iya fana. Tipu-menipu bukan barang langka lagi, kejujuran diobral layaknya perempuan Alexis yang masih pada masa jayanya. Mengapa harus berujung buntu jika satu - dua hal ada cara mutakhir yang dapat meruntuhkan ketidakmungkinan. Pribadi yang mudah terbuai bujuk rayu canda tawa begitu berlebih. Takaran kelebihan sudah mencapai titik nadirnya. Indah itu ambigu. Ambigu itu sampah. Sampah itu titik. Titik dari segala pergumulan kolase yang terbuang tak dibutuhkan peradaban. Akhir-akhir ini alur semakin terbaca. Bahwa buaian produk romansa hanyalah fiktif murni. Hal fiktif tidak akan mungkin terealisasi dengan khidmat. Akibat diri yang masih belum cukup, berbagai alternatif dopamin dikerahkan. Cukup lah tahu kalau segalanya hanya butuh berkecukupan. Cukup adalah koentji dari berbagai teror fantasi basi.
Sembari menyelam jangan lupa membawa mutiara secukupnya, karena kantungmu diperuntukkan untuk mencukupi segala lika-liku.
0 notes
Text
Dari Black Sabbath Hingga RUN DMC, Dari Pink Floyd Hingga H. Benyamin Sueb
Begitu banyak turbulensi yang mengahantarkan saya pada kenikmatan tanpa harus mengotak-kotakkan suatu musik. Tak terkira sudah begitu lama hidup dijalani, lika-liku yang dihadapi masih belum seberapa, butuh proses untuk menciptakan rumusan-rumusan lika-liku. Bukan soal kehabisan uang dipenghujung bulan, bukan soal deadline yang beranak-pinak, bukan soal berbagai soal hukum waris yang memuakkan. Namun, lebih kepada ritme yang mengiringi saya ber-orkestra ditengah hiruk-pikuk bertuan ini.
Wawasan akan musik yang saya rengkuh bukan pencapaian atas berguru pada dewa gunung gendeng maupun hasil pertapaan di gelapnya gua selama bertahun-tahun. Hanya otodidak tidak lebih. Keluarga sama sekali tidak mendukung dengan taste yang saya miliki. Bapak penikmat keroncong, Ibu penikmat Panbers dan Meggy Z. Abang penikmat musik random, Mba penikamat The Beatles. Layaknya gado-gado tidak ada yang meng-influence satu sama lain, dapat dilihat dari acak nya selera musik yang tertera tersebut.
Invasi MTV yang membombardir telinga saya masih sangat membekas sampai hari ini. Rindu sekali dengan pembawaan VJ di siang bolong dengan memutar lagu Serieus, Naif, dan The Upstairs. Alhamdulillah masa kecil terselamatkan dengan MTV. Sampai tiba saatnya berkenalan dengan Youtube, disinilah otodidak ini dimulai. Black Sabbath membuat saya tercengang akan distorsi gitar yang menggelegar dan nuansa yang gelap tentang lagu-lagunya. Ditambah kualitas vokal Ozzy Osbourne yang aneh bin ajaib, mampu menyihir saya untuk ber-headbang ria ditengah gempuran acara musik sampah tanah air yang berhasil membuat MTV punah dari tanah air. Pergumulan dengan musik metal pun semakin intens ditambah lingkup teman-teman SMP juga amat sangat mendukung untuk fanatik terhadap musik metal dengan playlist wajib kala itu dengan teman-teman, Metallica, Megadeth, Slayer, dll.
Di basement pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat, terjadilah obrolan hangat dengan Bapak penikmat keroncong. Dibalik kesukaannya akan keroncong ternyata Bapak pun pernah rock ‘n roll, dibuktikan dengan kegemarannya mendengar Queen serta The Police serta karena zaman yang masih kental akan kaset-kaset band tentunya koleksi Bapak pun tidak kalah dengan penjual kaset di Blok M. Sayang kaset-kaset tersebut sudah terpencar-pencar entah kemana. Sampai pada akhirnya saya mendengarkan band paling membosankan namun justru hati berlabuh terlalu dalam terhadap band ini. Pink Floyd, nama yang aneh membawa saya mencicipi lagu-lagunya. Bukan main bosan saat mendengar lagu berjudul Time, merupakan first impression akan band asal Inggris ini. Namun, lama kelamaan saya mengerti dibalik instrumental gitar, bass, keyboard, dan drum yang akut terdapat suatu nilai aesthetic yang tak ternilai. Ternyata Progressive Rock sebab dari segala keanehan Pink Floyd. Setelah mendapatkan momentum yang pas barulah saya melahap se-isi album band ini dan yang menjadi favorit hingga sekarang adalah The Dark Side of The Moon.
Tidak pernah saya sangka buku seorang rapper dari Homicide, Harry “Ucok” Sutresna, berhasil menyuntikkan demam hiphop di sekujur pembuluh darah. Mulai dari Deltron 3030, Public Enemies, hingga RUN DMC. Kelompok hiphop asal Amerika inilah yang menjadi perhatian saya akibat lagu-lagunya yang jedag-jedug namun tetap menghentak. RUN DMC berhasil mematahkan anggapan saya bahwa lagu hiphop identik dengan harta, tahta, wanita. Lagunya berjudul It’s Tricky sampai-sampai tidak pernah saya ganti selama tiga hari. Bosan dengan musik barat, tentunya melakukan pelarian ke negeri sendiri. Sempat tercengang dengan kolaborasi antara H. Benyamin Sueb dengan Bing Slamet yang membawakan lagu “Tukang Sayur”, instrumen musik daerah Betawi dibalut dengan lirik nan humoris tidak menyurutkan kualitas akan lagu yang dibawakan oleh dua dedengkot seniman Betawi ini. Dari situlah landasan awal kenimatan menghayati lagu-lagu H. Benyamin Sueb apalagi dengan lagu fantastisnya “Kompor Meleduk” yang menurut saya sangat fenomenal.
Amat sangat universal, oh kau...
1 note
·
View note
Text
Sambil lalu
bangun sebelum pagi menyingsing
matahari sayup-sayup datang
memberi kabar
tentang mendung
pohon beringin menampakkan maskulinitasnya
putri malu pun tersipu malu
gugur daun tidak menyurutkan laut
dentuman keras menghantam daya
tiap partikel berkemistri
ciptakan kemutakhiran
semarak samsara
meniti kooptasi
0 notes
Text
Apalah Arti Remake
Bangkit dari kubur, mungkin dapat disematkan pada perfilman bumi ibu pertiwi yang sedang panas-panasnya. Di avant garde oleh kisah nyata yang melibatkan bocah-bocah tak kasat mata, Danur, berhasil memecahkan kebuntuan di tengah hiruk pikuk film horor yang telah kehilangan identitasnya dan berakhir dengan penampilan wanita-wanita tak berbalut kain demi menunggak kans penikmat film (atau lelaki berfantasi tinggi). Merasuki horor dengan sebetul-betulnya horor menjadikan Danur sukses besar dipasaran (walaupun jalan ceritanya sungguh klise dan membosankan), namun keberaniannya untuk keluar dari zona aman serta nyaman membuahkan hasil yang bertubi-tubi baik. Dilanjut dengan duo maut Rizal Mantovani dan Jose Purnomo yang berhasil membangkitkan perfilman Indonesia dari kubur pada tahun 2001 dengan Jelangkung, Mereka menebar teror dengan mencetak horor yang hampir sama pada tahun tersebut dengan formula berbeda (pada judulnya), Jailangkung. Mungkin khalayak mengira ini merupakan remake atas Jelangkung, dan ternyata zonk besar karena film Jailangkung berdiri sendiri diatas tanah basah. Penghujung September menjadi saksi bisu atas hadirnya film horor tergila dari tangan dingin seorang sutradara tergila pula, Joko Anwar, menghembuskan nafas baru ke zaman milenial dengan Pengabdi Setan yang notabene merupakan film purba tahun 80-an. Bak roller coster, khalayak tidak diperkenankan bernafas lega sepanjang film diputar terlebih sound effect yang menusuk bulu kuduk. Joko Anwar menyatakan ini bukanlah remake melainkan reboot, karena tidak tumplek plek dengan versi 80-an. Tapi bisa dilihat dari pendauran ulang yang terjadi, tetap saja hampir sama.
Fenomena remake pun semakin menjadi-jadi saat ini. Bak perfilman Hollywood yang sudah mentok ide untuk melahirkan film-film baru. Perfilman bumi ibu pertiwi pun menuju ke arah yang sama. Mulai dari Badai Pasti Berlalu, Bulan di Atas Kuburan, dsb. ditambah remake atas film Jomblo gubahan Hanung B. menambah koleksi film remake dalam khazanah tanah air. Mungkin karena sudah terlalu lelah berekspresi dan takut karyanya dicampakkan ke dalam kubur, menjamurlah film-film lama berwajah baru. Bisa dibilang atas dasar profit oriented film tersebut didaur ulang, atau karena ingin melestarikan (halah) film tersebut agar tidak tergerus zaman sehingga mengobral pada zaman dan mengoplos agar sesuai zaman. Warkop DKI Reborn salah satunya, korban babak belur atas zaman. Film komedi masterpiece yang pernah ada di bumi ibu pertiwi lalu di daur ulang kembali. Dapat diterka hasil akhirnya jauh dari kata ekspektasi. Pemilihan aktor dan penjiwaan yang matang tidak dibarengi dengan pencipta yang humoris sistematis menyebabkan film ini menggali kuburnya sendiri, terlebih trend marak zaman millenial dengan membuat film menjadi dua part semakin memperkeruh suasana. Tak dinyana film warkop dahulu yang Maha lucu di daur menjadi kandas tak berbekas. Basis massa tetap film tersebut juga menjadi alasan tersendiri mengapa film di remake, yang sebenarnya bukan alasan logis untuk memberi kenikmatan pada lanskap lama demi menghadirkan lanskap baru. Egois. Dan pada akhirnya hanya akan ada dua pilihan atas film remake. Film tersebut dapat bangkit dari kubur atau menggali kuburannya sendiri.
2 notes
·
View notes
Text
Setelah November
Hmm….. sebelas bulan bergulir terlalu cepat, apa mungkin ia digiring tanpa ada kehendak pribadi untuk beranjak. Belum rasanya ku nikmati permainan duniawi yang begitu monoton.
Bagiku kebebasan adalah aset. Aset yang tak bisa ditawar-tawar barang satu rupiah atau wanita. Namun, bila jabatan yang disuguhkan mungkin hamba tak akan berpikir seribu kali. Kebebasan hanyalah untuk jabatan. Sesakti madraguna seseorang di muka bumi pun, tak akan ada yang memuntahkan mentah-mentah tawaran ini. Bagai jembatan emas yang membentang ke ranah surgawi menuju berbagai-wi yang nyaman, uang maupun hawa dapat didapat dengan sentuhan jari yang kian gendut.
Tak akan pernah menyesal seumur hidupku, ku relakan berinvenstasi ke lanskap yang tidak biasa. Kavling, tanah, rumah, maupun segala iming-iming yang dibuai oleh pengembang kembung itu tak akan mempan bagi DIRI-KU. Hanya berbagai insan yang telah habis masa tenggang pesugihannya, mau menginvestasikan ke lanskap konvensional itu. Berinvestasi pada penasihat gerak-gerik lebih berfaedah dibanding segala omong kosong yang disembur para penjaja iklan.
Di umur yang sudah tidak enerjik untuk merencanakan gerak-gerik, ku sadar sudah bukan waktunya berpikir sendiri. Harus kolektif jika ingin selamat sampai tujuan. Layaknya lukisan cabul dibelakang truk pengelana “Selamat sampai tujuan lalu kita bersenang-senang”. Ada benarnya memang. Tak dinyana lukisan tak berharga apalagi berseni itu dapat memberiku hidayah akan makna hidup. Maka dari itu, penasihat gerak-gerik ku jadikan pendamping hidup di lingkungan kotor bin ajaib yang nyatanya membawa tiap orang yang berjibaku di lumpur tersebut menjadi sugih.
Penasihat gerak-gerik ku selalu bisa memberikan dasar alasan tiap gerak yang harus ditempuh. Lolos,lolos, dan lolos bukanlah verba yang asing bagi keseharian diriku yang selalu dihimpit adrenalin yang haus akan hak hidup. Sudah selayaknya ulasan kehormatan milik TIME mendarat pada diriku seorang yang selalu selamat diburu buaya.
Sesampainya dibulan November yang dingin, hampir saja ku dioyak ramai. Berbondong-bondong seluruh semesta menghimpitku ke titik terendah dalam pergumulanku. Penasihat gerak-gerik tiba pada titik klimaksnya, tentu disertai dengan argumen berdasar. “Berbaring di kasur putih dengan kondisi yang memprihatinkan hingga berharap sejenak semesta akan lupa dengan berbagai tinta hitam yang telah engkau hamburkan, Paduka”. Jika Tyrion Lannister bukanlah buah imajinasi Goerge R. R. Martin, maka hand of king semestinya tersemat pada dirinya.
___________________
Setelah November pun ………… lolos
0 notes
Photo
Menyaksikan mahakarya arahan beliau, menciptakan suatu ekstasi tanpa risiko yang dapat dihirup untuk kesekian kalinya. Berbagai scene yang satir, score retro zaman baheula, aktor/aktris yang kerap sama namun dipoles dengan karakter yang kuat di setiap film, sehingga terlupa bahwa aktor/aktris tersebut telah berlaga di 5 film arahan beliau. Itulah mengapa Quentin Tarantino.
284K notes
·
View notes
Photo
S e n i (n), k o p (!),
Good as heaven.

631 notes
·
View notes
Photo
Plokis (bahasa prokem polisi), kerap di salah artikan jalan pikirannya. Alangkah dilema itu plokis...

Shibuya,Tokyo
69 notes
·
View notes
Link
Listen to Balada Kera by WHIPLASH99 #np on #SoundCloud
0 notes
Text
Terasa Namun Abstrak
Hai para pembaca, bacalah ini dengan khidmat. Suatu kisah yang ‘kan kusajikan dengan penuh keluh, peluh, kesah. (Berdasarkan kisah nyata).
Terdapat suatu pulau di jajaran Benua Asia yang berhimpitan dengan Australia dan Asia serta Samudera Hindia dan Samudera ... (maafkan ilmu yang alakdarnya). Sayangnya daratan harus terpisah-pisah akibat lautan yang dengan angkuhnya mengakusisi sebagian wilayah. Kera tegak pun tak bisa ber-silaturahmi satu sama lain, bahkan saling sapa pun hanya sebatas angan. Karena bosan dengan kehampaan, maka para kera pun membuat sebuah hiburan yang dapat mengatur tata kehidupan. Tari-tarian, nyanyian, kuliner, alat perang, rumah, obat, dsb. Hingga pada satu titik tertentu, kehampaan masih melanda para kera. Sehingga, terciptalah suatu puja-pujaan pada sesuatu agar hidup semakin ramai.
Hingar bingar itupun membuat para kera nyaman. Hingga suatu kapal datang membawa kawanan bernama “Manusia”. Pendatang ini mencoba memahami arti kata yang sulit diartikan dengan pikiran maupun perasaan. Tujuan “Manusia” ke pulau ini ialah memasarkan barang dagangan berupa hal yang tak pernah dijumpai para kera. Betapa kagumnya “Manusia” dengan keramah-tamahan yang alami ini, hingga mereka tak hanya sekadar memasarkan barang dagangan, namun sesuatu yang berarti dalam hidup mereka sehingga, mereka dapat menjadi “Manusia”.
Mulailah fase dimana kera ini bertransformasi menjadi “Manusia” dengan mengenal apa yang disebut “Tuntunan hidup yang membawa pada keselamatan hakiki”. Suatu keramahan dan keanekaragaman yang lebih disempurnakan lagi dengan “Tuntunan” ini menjadi suatu ciri khas yang tak dapat didapatkan di pulau manapun. Ketaatan, kecintaan, ketulusan terhadap “Tuntunan” ini begitu besar, sehingga “Manusia baru” ini mencoba untuk mengahlikan diri untuk melestarikannya dengan menelurkan “Manusia baru” yang dapat membimbing para “Manusia baru” yang lain. Muncullah para “Pemuka” yang dengan suka rela mengorbankan berbagai hal-hal yang dikorbankan demi terjunjungnya “Tuntunan” ini dalam berbagai sendi kehidupan.
Zaman berganti ..............................
Akhirnya suatu hari ada “Manusia baru” yang memiliki perawakan layaknya raksasa bengis tetapi memiliki jiwa kerdil. Hingga saat Ia tidak suka dengan isu yang selalu menerpa dirinya, Ia pun mengucapkan kata yang semestinya tidak diucap oleh “Manusia baru” yang tidak memiliki kapasitas apalagi wewenang layaknya para “Pemuka”. Seketika para “Manusia baru” yang memiliki secercah keyakinan tersulut amarahnya tetapi tetap menempatkannya dalam koridor hukum yang berlaku.
Berwujud namun tak dapat disentuh, itulah yang dialami oleh pulau yang tak ada duanya. Berangsur-angsur “Persoalan khalayak” ini mengalir deras, namun tak ada satu indikasi pun akan diubahnya status “Manusia baru” (akal kera) menjadi “Manusia yang patut diadili”.
Alangkah ternodainya keindahan pulau itu, bila para “Penegak ketertiban” tunduk patuh terhadap semilir angin yang menggiring jiwa & raga menuju penyelesaian utopis.
“Berbahagialah dirimu saat ini”
“Bersenang-senanglah dirimu saat ini”
“Berfoya-foyalah dirimu saat ini”
“Tertawalah dirimu saat ini”
“Maka nanti, hari dimana orang-orang bertelenjang bulat dan tak ada yang berniat untuk menyetubuhinya, orang tua yang tidak memperdulikan nasib darah dagingnya, pemimpin yang terbangun dari alam mimpinya.”
BARULAH KAU ‘KAN MENGERTI BAHWA SEMUA INI ADA HARGA YANG HARUS DIBAYAR..
0 notes