Text
kalau ditanya capek gak? ya, sebetulnya capek banget. tapi entah kenapa masih aja diulang terus —padahal sudah tahu ujungnya bagaimana, sudah hafal pola nya seperti apa, sudah tahu baik dan buruknya juga.
sebenernya yang dibutuhkan ialah; lingkungan yang mendukung untuk lebih baik, penguatan yang positif, serta ilmu agama yang kuat, dan harus ada teman ngobrol yang baik.
karna kita gak bisa merubah orang, maka ubahlah dirimu. fokus pada dirimu, kalau sudah jam malam, tidur. makan yang cukup sayur dan buah, olahraga. dll
kamu berharga, kamu pantas untuk menjadi lebih baik. gak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri dan belajar menjadi wanita tangguh, cerdas, tegas, percaya diri, dan berani.
Rabu, 13 Nov 24 || 02.30
45 notes
·
View notes
Text
catatan di penghujung hari✨
Kata Buya Hamka, warna langit senja hari ini gaakan pernah sama dengan yang kemarin atau besok, pun setahun yang lalu atau bahkan abad yang lalu. Warnanya berbeda setiap hari.
Begitupun hati manusia. Iya nggak?
0 notes
Text
surat semesta;
Halo! Selamat hari Selasa.
Ini aku lagi, sedang menitipkan surat ini pada semesta, untuk nantinya disampaikan ke kamu.
Semoga kamu selalu dalam keadaan baik dan damai. Dimanapun dan kapanpun kamu berpijak pada bumi.
Apa kamu tahu? Perihal melupakan ternyata sesulit itu. Dahulu, aku kesusahan setengah mati melakukannya.
Tapi sampai sekarang terus aku usahakan. Lepas dari itu, bagaimana hidup? Apakah lebih tenang dari biasanya? Apa tujuan dari langkah-langkah kecil yang sering kamu ceritakan dulu mulai nampak wujudnya? Aku harap iya. Aku harap kamu selalu dekat dengan apa yang sedang kamu tuju dan impikan.
Tulisan ini merupakan segelintir lara sekaligus setumpuk keluh kesahku dalam hati. Kalau kalau mau aku keluarkan, ledakkan semua bersamaan, mungkin kamu akan takjub. Bagaimana bisa aku pendam beban yang menghimpit itu hingga tak satupun orang menyadarinya, begitu pun kamu.
Aku hebat dalam memendam segalanya diam-diam. Kalau kamu ingin tahu, aku masih melakukannya. Tidak tahu sampai kapan. Mungkin sampai lelah itu datang dengan sendirinya. Memendam semua kepada siapa? Siapa lagi kalau bukan kamu.
Walau semua yang sudah dibangun hilang, walau waktu yang telah lama dipupuk dan diusahakan itu usai, walau dunia terus berputar tanpa ada ‘kita’ di dalamnya, aku tetap ingin melakukannya. Memendam. Entah sampai kapan.
Jika memang ingin puas berkelana, tentu aku ijinkan. Aku juga belum punya kuasa untuk menahan seorang manusia agar bisa terus bersama di sampingku, bukan? Jika masih ingin mencari bebas, akan aku tunggu sampai dapatkan apa yang kamu incar selama ini. Aku persilahkan dengan senang hati. Tapi kalau sudah menemukan tujuanmu, tolong jangan lupakan aku, ya? Mungkin bertemu sesekali boleh. Sedikit cerita ringan untuk melepas rindu, berbagi hal-hal kecil yang mengiringi kala menjalani hidup masing-masing.
Dulu, mungkin rasanya aku memang terlalu memaksakan. Bagaimana aku yang sulit berhenti, hanya karena takut jika diri semakin hilang saat tak ada lagi yang bisa digenggam. Tapi itu dulu. Syukurnya, semua berlalu dengan amat baik, dan akupun melewatinya dengan hebat. Begitupun kamu, iya kan?
Semoga di masa yang akan datang, kita dapat menemukan bahagia di tempat-tempat menakjubkan yang tidak pernah kita sangka. Semoga kamu temukan sosok berlabuh mu yang menghangatkan, ya! Jangan pernah ciptakan kebencian, tapi pupuk kebaikan dan semangat untuk satu sama lain. Karena intinya, semua ini hanyalah bagian dari pelajaran hidup. Kedepannya, akan banyak pelajaran-pelajaran hidup lainnya yang bisa jadi tumpuan.
Jadi, terimakasih, ya!
Sudah menyelipkan pelajaran hidup berharga yang tentu saja tidak akan pernah aku lupakan semudah itu.
Regards, Leo.
1 note
·
View note
Text
perihal -kehilangan
Mungkin sebagian kalian ada yang ingat sama kutipan Buya Hamka yang ini?
"Lebih banyak manusia menghadapi kematiannya di tempat tidur dibandingkan mati di pesawat. Tapi, kenapa lebih banyak manusia yang takut mati ketika menaiki pesawat dibandingkan ketika berada di atas tempat tidur?"
Dari kalimat itu, pernah kebayang nggak? Betapa tipisnya jarak antara hidup dan matinya manusia? Mungkin nggak sampai sejengkal dari ujung kuku kita. Bahkan saat terlelap dalam damai, Tuhan bisa saja mengambil kita kapanpun ia berkehendak.
Hal ini bikin aku makin hari makin takut. Iya. Apapun pembahasan yang berhubungan dengan kematian memang semenakutkan itu. Tapi, aku bukannya takut mati. Ada hal lain yang bikin aku jauh lebih takut dari kematian itu sendiri.
Menghadapi kepergian mereka yang aku sayang.
Walaupun sebenernya sebagai manusia harus selalu siap dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi sewaktu-waktu, tapi tetep aja. Kalau kepergian itu datangnya mendadak tanpa peringatan, aku yang hati dan dirinya gampang rapuh ini bisa apa?
Bahkan kalau tembok dan lantai kamarku bisa jadi saksi, atau bantal-bantal yang bertumpuk di kasur itu bisa bicara, mungkin mereka sudah mengeluh akan betapa berisiknya tangisan kecilku di malam hari saat memohon pada Tuhan untuk menjauhkan diri dari sakitnya kehilangan. Setiap malam, meringkuk di sudut tempat tidur.
Manusia manusia berharga, mereka yang aku sayangi, yang membersamai alur hidupku hingga detik ini, memang masih ada, masih lengkap dan utuh. Raganya nampak. Dapat kusentuh dan kupeluk jika ingin.
Tapi rasanya nggak pernah puas. Seakan tiap bahagia cuma sekedar lewat. Saat kesenangannya usai, ketakutan itu muncul terus menerus. Lagi dan lagi. Nggak adil, tapi mau bagaimana lagi?
Jadi? Karena kepergian dan kehilangan benar-benar menyakitkan bagi sebagian besar manusia, akan kucoba semaksimal mungkin menabung hal-hal baik dan menyimpannya sebagai memori hangat.
—•
Sedikit pesan untuk yang masih ada.
Semoga bisa hidup jauh lebih lama lagi. Mencipta kenangan bersama yang menggembirakan bila diingat di masa depan. Kalau memang sudah waktunya pergi, mungkin di awal akan terasa berat. Tapi seiring berputarnya waktu, hidup harus tetap berlanjut, kan?
Ketika berhadapan dengan itu, nggak melulu harus siap. Menangis boleh, bersedih pun Tuhan nggak pernah melarang. Tapi ketika meratapi kehilangan yang tiada ujungnya, mungkin Tuhan nggak akan suka. Bukan hanya Tuhan saja. Mungkin mereka yang pergi juga akan marah jika aku, kamu, kita, terus berlarut dalam kesedihan.
Padahal, masih banyak hari yang bisa dilalui dengan menyenangkan. Jadi pesan untuk kita semua, meski harus memendam perasaan takut itu sendirian, bersusah payah menahan perihnya kehilangan, jangan pernah lewatkan hari-hari menyenangkan, ya! Pupuk kebahagiaan selagi masih diberi kesempatan.
Untuk siapapun kita, yang selalu takut akan kepergian dan kehilangan.
Regards, Leo.
8 notes
·
View notes
Text
Untitled
Untuk siapapun yang kedapatan membuka dan membaca ini. Tulisan pertamaku yang didedikasikan sebagai romantisasi akan sebuah perasaan. Supaya kita sadar. Bahwa di kehidupan ini, ada elemen berharga dalam setiap raga. Yang harus kita jaga agar tidak luruh.
Perasaan.
Seberapa banyak manusia di luar sana yang berjuang mati-matian agar perasaannya dapat didengar dan divalidasi, bukan?
-----
Aku. Si perempuan naif dan kisah permulaan yang terasa amat semu.
Tentang bagaimana rasanya menempuh perjalanan baru dengan seseorang yang tak pernah ada di rencana hidupku sebelumnya. Tentang aku yang ternyata bisa menghadapi ini, sendirian.
Begitu banyak yang terjadi. Seperti sekaleng susu bubuk penggemuk badan yang kamu beli beberapa jam lalu, tapi tanpa aba-aba tumpah berantakan begitu saja saat kamu tak sengaja menyenggolnya dengan siku. Padahal kamu baru akan meminumnya. Kamu kebingungan setengah mati harus melakukan apa, bukan?
Di satu sisi, kamu butuh susu itu untuk menggemukkan badan. Di sisi lain, kamu tidak tahu cara membersihkan dan mengembalikannya seperti semula.
Begitulah aku, si perempuan naif. Kala itu.
Saat membangun semuanya bersama, aku mulai bermimpi.
Sebelum itu aku sudah menabung banyak mimpi, sih.
Perihal karir dan pendidikan di masa depan, tertawa ringan selepas kerja bersama mama dan papa di ruang keluarga, dan tak ketinggalan, ada satu mimpi yang setiap malam tak luput aku selipkan dalam doa sebelum tidur.
Mimpi yang didambakan hampir segelintir manusia di muka bumi ini. Aman dan tenang di kehidupan masa depan bersama keluarga kecil nan bahagia. Coba bilang, manusia mana yang tidak berangan-angan tentang hal itu? Apalagi perempuan naif seperti aku.
Ketika akhirnya momentum itu tiba. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku berkesempatan mengenal seseorang dengan segala bentuk sifat serta tingkah uniknya. Menjadikannya bagian dari keseharianku. Tepat di saat itu juga, aku memantapkan hati untuk mulai merajut mimpi-mimpi itu. Sekali lagi, perempuan naif ini sangat yakin tentang mimpinya, begitu pun dengan manusia yang punya andil besar itu di dalamnya. Tentu, perempuan naif ini butuh manusia itu untuk mewujudkannya.
Mimpi yang begitu banyak, sejalan dengan besarnya keinginan agar segala sesuatu berjalan sempurna.
Tapi, apa yang akhirnya lebih parah dari semua itu? Perasaan tak terbalas di kemudian hari? Dua insan saling merajuk sebab isi kepala yang berbeda? Tangisan malam hari setelah menerima fakta menyakitkan?
Sama seperti kecerobohannya mempersilahkan manusia asing untuk masuk mengisi kekosongan hati. Perempuan naif ini tentu saja tak pernah mengira apa yang akan datang. Semua persiapan itu? Nihil. Jadi, apa yang dia punya? Dia hanya punya rasa percaya.
Berbekal sedikit keyakinan dan kepercayaan, dia harus menghadapi gejolak perasaannya, sendirian. Ketika ia membuncah ria karena hal menyenangkan, atau saat ia meredup sebab ada waktu tertentu yang dipenuhi kesedihan. Perempuan naif ini seakan lupa bahwa langit tak selamanya cerah. Rotasi bumi menghasilkan malam. Dan seberapa pun ia membenci gelap, ia tetap tidak bisa menghindari malam. Bagaimana pun, malam dan gelapnya tetap akan terjadi.
Aku, si perempuan naif seakan lupa. Bahwa manusia adalah sosok yang luar biasa kompleks -betapa aku mengagumi kuasa Tuhan karena mampu menciptakan makhluk sedemikian rupa. Mereka bisa berubah sewaktu-waktu. Bahkan tanpa peringatan. Sayangnya, perempuan naif ini terlampau picik saat dibuai romansa klasik yang ternyata malah menjatuhkannya dalam lubang harapannya sendiri.
Lalu ketika hal buruk terjadi, apa yang bisa aku, si perempuan naif ini lakukan dengan nol persen persiapan itu?
Sama seperti perempuan naif lainnya. Pikiran jahat makin berdatangan. Lengkap dengan gemuruhnya yang memekakkan telinga. Perlahan aku mulai menyesali dan merutuki diri, merasa tak pantas, berpikir kesana kemari perihal kesalahan yang sebetulnya tak pernah diperbuat. Di tengah kekacauan itu, satu-satunya hal yang terbesit di pikiran hanyalah, bagaimana cara untuk keluar. Menyelesaikan semuanya, melupakan segalanya, kembali dengan tenang, berupaya menjaga sisa-sisa diri tetap utuh.
Tapi nampaknya, pengaruh romansa sialan itu bukan main. Selama beberapa waktu, aku susah payah menyusun kepingan harapan yang hancur berantakan bersamaan dengan lenyapnya kesenangan itu. Di masa kelam itu, semuanya bahkan masih terasa sama. Seakan aku tidak mampu membedakan mana yang nyata atau sekedar imaji. Seakan segalanya belum berubah.
Jika menghilang adalah solusi, mungkin sudah kulakukan sejak awal.
Pengakuan resmi dari seorang perempuan naif, bahwa ternyata apa yang kualami dulu benar-benar berat dan menyakitkan. Aku memohon pada Tuhan agar tak perlu merasakannya untuk yang kedua atau ketiga kali. Aku bersungguh-sungguh saat memintanya. Pengalaman pahit yang semoga hanya terjadi sekali seumur hidupku saja. Sisanya, aku berharap hanya kesan indah yang membekas saat menjalani kehidupanku berikutnya.
Haha, naif.
Aku katakan sekali lagi. Lembaran usang yang terjadi di masa lalu, rasanya begitu mengerikan sampai-sampai aku bergidik ketika tak sengaja mengingatnya. Lagi pula apa yang perlu diingat? Hal-hal baik lainnya masih menanti jauuuhh di depan sana. Buku yang sudah lapuk dan jadul buat apa disimpan terus menerus? Toh ceritanya juga sudah kamu tamatkan berulang kali? Ingatan buruk memang seharusnya dikubur dalam-dalam saja. Atau diselipkan di tumpukan terbawah kaset-kaset rusak yang pitanya sudah jebol. Atau kalau perlu dibakar saja sekalian.
Dipaksa melepaskan apa yang terlanjur membuat nyaman dan senang dalam satu waktu memang menjemukkan. Siapa yang berani bilang itu semua mudah? Sini, maju berhadapan denganku.
Tapi, hal-hal tertentu memang ada waktunya untuk hilang. Sudah saatnya bagi mereka untuk pergi dan meninggalkan. Sebab hidup di dunia hanya perihal yang pergi dan yang ditinggalkan, bukan? Porsi kita ya cuma menunggu giliran saja. Jadi, buat apa sedih berkepanjangan?
Regards, Leo.
1 note
·
View note