badclues
badclues
looking for some clues?
9 posts
please have a sit and see what we can find
Don't wanna be here? Send us removal request.
badclues · 5 months ago
Text
Tumblr media
Hidup Tak Melulu Tentang Jawaban —Wait, What? Dan Pertanyaan Mendasar Lain dalam Hidup
Sebuah resensi oleh Ghina Hasna Afifa (instagram.com/oghinaa) Jumat, 31 Januari 2025
“Meski orang lain bosan mendengarnya, atau tidak bisa menjawab, jangan berhenti memberikan pertanyaan itu kepada diri sendiri.” Wait, What? Dan Pertanyaan Mendasar Lain dalam Hidup Halaman 35
Identitas Buku
Judul Buku : Wait, What? Dan Pertanyaan Mendasar Lain dalam Hidup Judul Asli : Wait, What? And Life’s Other Essential Questions Penulis : James E. Ryan Penerjemah : Annisa Cinnantya Putri Tahun Terbit : 2018 Penerbit : Gramedia Pustaka Utama ISBN : 978-602-06-4421-9
Sinopsis
Dengan menggunakan contoh dari bidang politik, sejarah, budaya populer, dan gerakan sosial, juga kehidupan pribadinya, James E. Ryan menunjukkan bagaimana pertanyaan-pertanyaan penting ini menghasilkan pemahaman, memicu keingintahuan, memulai kemajuan, memperkuat hubungan, dan menarik perhatian kita pada hal-hal penting dalam kehidupan. Dengan secara teratur mengajukan lima pertanyaan penting ini, Ryan berjanji bahwa kita akan lebih mampu menjawab pertanyaan hidup yang paling penting. Buku ini adalah kebijaksanaan yang menginspirasi, yang akan mengubah cara Anda memikirkan pertanyaan untuk selamanya.
Resensi
Manusia seringkali membebani diri dengan ekspektasi, entah dari lingkungan atau dari diri sendiri, tentang menjadi sosok yang serba tahu dan seakan harus memiliki jawaban atas segala hal. “Sindrom Juru Selamat” adalah istilah yang digunakan penulis untuk menjelaskan fenomena ini. Mengapa kita selalu menjadikan jawaban sebagai pilar dalam hidup, ketika sejatinya peran pertanyaan ternyata sama pentingnya?
Ryan mengibaratkan pertanyaan sebagai kunci. Pertanyaan yang tepat jika disampaikan dengan cara dan pada saat yang tepat, akan membawa kita kepada hal-hal yang belum kita ketahui, yang acap kali tak kita sadari, yang bisa jadi kita lewatkan jika kita tidak ‘bertanya’. Terbagi ke dalam lima bab saja, penulis membuka buku ini dengan menjelaskan terlebih dulu mengapa pertanyaan dan bertanya itu penting untuk menjadikan hidup lebih baik. Jika dirangkum, kurang lebih seperti ini:
(Pertanyaan yang baik) menghidupkan pengetahuan dan menyalakan api rasa ingin tahu;
Memaksa kita agar tidak terpaku pada jawaban yang konstan serta mengungkap probabilitas lain yang tak terlihat;
Menjadi hal yang memanusiakan kita, sebagaimana bertanya adalah hasil dari proses berpikir sekaligus merasa yang hanya dapat dilakukan oleh kita manusia.
Ryan menyatakan ada lima pertanyaan penting dalam hidup dengan tujuan dan manfaatnya tersendiri. Masing-masing disampaikan dalam satu bab khusus untuk tiap pertanyaan dan dilengkapi dengan berbagai peristiwa personal penulis yang berkaitan sebagai contoh.
Eh, Bagaimana? (Wait, what?)
Berbeda makna tergantung dari pada intonasi yang digunakan. Bisa jadi berupa ekspresi penekanan untuk mengulangi perkataan lawan bicara atau mengonfirmasi sesuatu fakta. Pertanyaan ini penting sebagai langkah dalam memahami pendapat atau ide agar kita dapat berpendapat dengan yakin tanpa perlu merasa ragu atau keliru, memperdalam hubungan dengan orang sekitar, dan menghindari konflik yang tak perlu akibat kesalahpahaman.
Kira-kira…? (I wonder…?)
Pertanyaan yang bersifat mendasar dan merupakan wujud dari rasa tahu itu sendiri. Dapat menjadi cara kita lebih terhubung dengan dunia sekitar, menemukan peluang dan kebahagiaan yang bisa saja terlewat, dan menjadikan diri kita lebih menarik di mata orang lain.
Bisakah kita setidaknya…? (Couldn’t we at least…?)
Sifatnya sangat krusial karena dengan menanyakan ini, kita akan bisa memulai sesuatu yang tadinya kita ragu dan enggan untuk lakukan. Lewat pertanyaan ini, kita akan terhindar dari rasa penyesalan karena berdiam diri, karena tidak membiarkan diri ini mencoba dulu. Satu pertanyaan, dan kita siap untuk maju.
Bagaimana saya bisa membantu? (How can I help?)
Alih-alih menawarkan pertolongan sebagai pertanyaan, Ryan memberi pencerahan mengapa menyampaikannya sebagai pertanyaan lebih penting. Dengan menawarkan diri, lawan bicara tak akan merasa tertekan dan kita akan dapat membantu secara efektif sesuai dengan yang dibutuhkan. Bahkan jika ditolak, pertanyaan itu sendiri sudah berupa uluran tangan dan menunjukkan bahwa kita peduli.
Apa yang benar-benar penting? (What really matters?)
Hal yang sering dilupakan di tengah dunia yang hiruk-pikuk dengan segala distraksinya. Ryan menganjurkan pembaca untuk meluangkan waktu, menyempatkan diri, untuk bertanya pada relung hati, “Apa yang sebetulnya penting bagi kita?” Penulis mengingatkan kita perlunya fokus untuk mencapai tujuan dan kebahagiaan yang diidam-idamkan.
Terakhir, penulis menyediakan satu pertanyaan bonus nan pamungkas yang hanya bisa dijawab jika kita sudah menanyakan kelima pertanyaan tersebut dan menemukan jawabannya. Lewat 130 halaman buku ini, Ryan mengajak pembacanya rehat sejenak dan merenungkan hidup dengan bertanya. Dan meski tak ada yang menghiraukan atau tak seorang pun mempunyai jawabannya, teruslah bertanya.
Kelebihan Buku
Pembahasan yang diberikan cukup padat tanpa banyak membawa detail yang tak relevan dan bisa dengan baik menjaga fokus dan minat pembaca untuk membaca buku ini sampai habis. Contoh yang diberikan beragam dan diambil dari berbagai bidang sehingga bisa banyak menjangkau pembaca dari kalangan berbeda.
Penulis juga secara konsisten menaruh pengingat jika hendak membahas kembali topik, kejadian, atau seseorang yang sudah pernah disebut sebelumnya lengkap dengan titik koordinat, seperti di bab berapa dan menyangkut kisah yang seperti apa sehingga pembaca tak perlu memusingkan diri untuk mengingat seandainya ada detail yang terlewat.
Kekurangan Buku
Ada bagian saat penulis mengatakan bahwa, “Menurut para ilmuwan sosial, rasa ingin tahu baik untuk kesehatan dan rasa bahagia.” Akan tetapi, penulis tidak secara spesifik menyebutkan judul penelitian atau artikel yang disebut dalam bentuk catatan kaki (footnote), sehingga kutipan atau fakta tersebut diragukan kredibilitasnya.
2 notes · View notes
badclues · 5 months ago
Text
Tumblr media
Kelimpahan Pilihan, Berkat atau Bencana? —Fear of Missing Out – Tepat Mengambil Keputusan di Dunia yang Menyajikan Terlalu Banyak Pilihan)
Sebuah resensi oleh Ghina Hasna Afifa (instagram.com/oghinaa) Selasa, 28 Januari 2025
“Ada begitu banyak yang harus dilakukan, tapi waktu begitu terbatas. Akhirnya kita berusaha—dan gagal—melakukan segalanya.” Fear of Missing Out – Tepat Mengambil Keputusan di Dunia yang Menyajikan Terlalu Banyak Pilihan Halaman 46
Identitas Buku
Judul Buku : Fear of Missing Out – Tepat Mengambil Keputusan di Dunia yang Menyajikan Terlalu Banyak Pilihan Judul Asli : Fear of Missing Out – Practical Decision-Making in a World of Overwhelming Choice Penulis : Patrick J. McGinnis Penerjemah : Annisa C. Putri Tahun Terbit : 2020 Penerbit : Gramedia Pustaka Utama ISBN : 978-602-06-4408-0
Sinopsis
Apa yang sebenarnya kita lewatkan?
FOMO, yang pertama kali muncul dalam artikel Harvard Business School, menjadi istilah global untuk kondisi tak nyaman ketika kita berpikir orang lain memiliki pengalaman yang lebih baik dan lebih kaya daripada diri kita. Diperkuat dengan maraknya media sosial, FOMO telah menjadi krisis budaya. Lalu apa obatnya? Patrick McGinnis, pencipta istilah FOMO, telah memikirkannya selama tujuh belas tahun dan menemukan solusinya: pengambilan keputusan.
Belajar menimbang biaya dan manfaat dari pilihan yang kita ambil, membuat skala prioritas untuk keputusan-keputusan kita, dan mendengarkan suara hati sangatlah penting untuk meredakan FOMO dan kerabat dekatnya, FOBO—Fear of a Better Option.
Buku yang dilengkapi bagian evaluasi diri ini membantu kita memastikan dan menyingkirkan bagian-bagian dalam hidup yang lebih sering menimbulkan kecemasan daripada kebahagiaan.
Resensi
FOMO—Fear of Missing Out—adalah istilah yang kini sedang ramai dipergunakan, jadi meme yang entah bagaimana hampir semua orang pernah merasakan, terutama di era maraknya media sosial. Tapi, apa sih sebetulnya FOMO itu?
Sesuai judulnya, Fear of Missing Out mengupas tuntas FOMO oleh pencetus istilah FOMO itu sendiri setelah selama tujuh belas tahun terus menggali dan mengaji fenomena ini hingga menemukan solusinya. Di sini dipaparkan apa itu FOMO berikut penyebab dan latar belakang meledaknya perasaan gundah ini di berbagai kalangan, ‘kekerabatan’ FOMO dan FOBO yang mematikan, serta solusi untuk memberantas FOMO dalam mengambil keputusan.
McGinnis menjelaskan bahwa FOMO bukanlah sesuatu yang kita harus merasa malu karenanya, sebab cikal bakal FOMO sudah termasuk ke dalam setelan pabrik alias sudah menjadi sifat biologis dari manusia itu sendiri. Ditambah dengan adanya pengaruh luar seperti faktor budaya dan teknologi, perasaan untuk selalu dilibatkan dan menjadi bagian dari pada kelompok semakin dipupuk hingga menggiring kita kepada hidup yang diliputi keputusasaan. Kemajuan teknologi khususnya, sudah mengubah gaya hidup dan bersosialisasi kita menjadi tanpa batas dengan derasnya arus informasi serta interkonektivitas antarsesama pengguna yang terlampau ekstrem. Pada level tertentu, hal ini bisa menimbulkan sesuatu yang disebut reference anxiety, yakni ketika kita dengan mudahnya menilai dan membandingkan diri sendiri dengan orang lain—bahkan yang tak kita kenal sekalipun—dan secara tak sadar menjadikan kesuksesan mereka sebagai patokan diri. Jadi, FOMO bukan diprakarsai oleh meledaknya media sosial, namun media sosial hanya jadi sarana juga katalis yang membuat FOMO semakin menjadi-jadi. Bisa kita cermati bahwa fenomena FOMO jauh lebih kompleks, lebih dari sekadar meme.
Satu lagi FO yang masih kerabat dengan FOMO, namun jauh berbeda sifatnya dari FOMO adalah FOBO (Fear of Better Options). Apabila mengalami FOMO kita memforsir diri untuk terus bergerak mengikuti tren, lain halnya jika mengalami FOBO. Dengan FOBO, kita justru lumpuh, enggan beranjak dari kelimpahan pilihan dengan berkomitmen pada salah satunya. Terdengar aman dan positif, memang, tapi dengan FOBO kita akan terlatih menjadi orang yang gemar menunda-nunda mengambil keputusan. Orang yang mengidap FOBO terus merasa aka nada pilihan yang lebih baik dan sebab takut melewatkan pilihan “terbaik”, cenderung mempertahankan opsi-opsi yang ada. Pemikiran ini bisa berdampak buruk terhadap karier dan hidup secara general. Hal terburuk yang mungkin ditimbulkan adalah kita bisa dicap sebagai orang yang plin-plan atau indeceisive dan tidak profesional.
Tak cukup sampai di situ. Jika satu individu merasa FOMO dan FOBO pada saat bersamaan, maka timbullah FODA (Fear of doing anything). Kita akan merasa ditarik ke dua arah berbeda. Keinginan untuk melakukan segalanya dan terlibat dalam segala hal bertemu keinginan untuk merasa aman dikelilingi probabilitas tiada habis. Hasilnya, kita akan terjebak dalam lingkaran dan hanya mampu berangan-angan. Dengan demikian, kita tak akan berkembang, tak akan meraih apa pun. Inilah puncak dari FO yang diusung McGinnis sekaligus skenario terburuknya.
Tapi jangan khawatir, di buku ini penulis juga menawarkan solusi atas permasalahan FO-FO tersebut di pengujung buku lengkap dengan bagaimana kita bisa memanfaatkan FOMO dan FOBO sampai akhirnya dapat mencapai ketenangan berupa JOMO (Joy of missing out).
Kelebihan Buku
Pembahasan buku ini disampaikan dengan sangat sederhana dan menggunakan contoh remeh yang terasa dekat dengan pembaca. Buku ini mampu memvalidasi perasaan pembaca dengan sangat baik serta bisa mendefinisikan perasaan bimbang dan resah yang sebetulnya hampir mungkin ada di setiap individu yang disebut FOMO ini. Dilengkapi dengan angket sebagai sarana evaluasi diri, buku ini dibuat interaktif sehingga pembaca dapat ‘mendiagnosis’ dan menganalisis kadar FOMO dalam diri sendiri secara mandiri. Pun solusi dan kiat yang diberikan cukup sederhana, disajikan dengan runut, dan sifatnya praktikal dalam berbagai ranah dan keadaan..
Kekurangan Buku
Pembahasan di dua bab terakhir terlalu melebar dari topik utama sehingga terasa seperti membaca buku yang sama sekali berbeda. Setelah di bab sebelumnya membahas solusi mengatasi FOMO dan FOBO yang jadi nilai jual buku ini, rasanya pembaca akan sudah kehilangan minat untuk membaca dua bab menjelang akhir ini.
1 note · View note
badclues · 5 months ago
Text
Tumblr media
Think Out of the Box! —Berpikir yang Tidak Dipikirkan Orang Lain
Sebuah resensi oleh Ghina Hasna Afifa (instagram.com/oghinaa) Kamis, 26 Desember 2024
"Terkadang, Anda menyamakan apa yang nyaman untuk Anda dengan apa yang Anda kuasai dengan baik. Berpikir tak lazim adalah tiket Anda untuk keluar dari jebakan itu." Berpikir yang Tidak Dipikirkan Orang Lain - Eli Broad Halaman 31
Identitas Buku
Judul Buku : Berpikir yang Tidak Dipikirkan Orang Lain Judul Asli : The Art of Being Reasonable Penulis : Eli Broad Penerjemah : J. Dwi Helly Purnomo Tahun Terbit : 2024 Penerbit : Gramedia Pustaka Utama ISBN : 978-602-06-7655-5
Sinopsis
Anda terbiasa melakukan kebiasaan orang-orang berakal sehat—dan tak mendapatkah hasil yang Anda inginkan? Biarkan Eli Broad menunjukkan kepada Anda cara berpikir yang tidak dipikirkan orang lain dan lihat sejauh mana hal itu akan membuahkan hasil luar biasa! Melalui buku ini, Eli Broad membagikan prinsip-prinsip "tidak masuk akal" yang bertolak belakang dengan pemikiran orang-orang "berakal sehat"—mulai dari negosiasi hingga pengambilan risiko, investasi hingga perekrutan—yang membuatnya sukses besar.
Resensi
Eli Broad adalah seorang perintis, pebisnis, sekaligus seorang filantropi, itu terdengar biasa terlebih di Amerika Serikat sana. Namun, setelah kuselami halaman demi halaman buku ini, aku bisa tahu apa yang membuat beliau berbeda: pemikirannya. Beliau membagi kisahnya dalam membangun bisnis ‘Kaufman and Broad’, perusahaan pembangunan yang berfokus membangun dan menjual rumah. Broad punya intuisi canggih dalam berburu ceruk dalam suatu fenomena bisnis. Alih-alih putar balik ketika menemui ketidakmungkinan, Broad justru mempertanyakan, “mengapa tidak?” lalu menggagas hal yang tak pernah orang lain pikirkan, berpikir secara tidak masuk akal dengan seni.
Satu dari sekian banyak penuturan Broad yang paling menonjol adalah tentang bagaimana kita tak bisa menginginkan hal besar jika tidak mengambil risiko yang besar. Mengambil risiko besar bukan selalu berarti gegabah, karenanya Broad menekankan untuk selalu mengerjakan pekerjaan rumah dalam hal apapun—riset tentang bidang terkait, tren masa kini, catat hal-hal penting nan tidak kita ketahui—sebagai bagian dari mitigasi risiko dan perencanaan yang matang. Hal lain yang tak luput dari perhatian adalah kesuksesan Eli Broad—selain berkat kerja kerasnya—juga merupakan buah dari sifat dermawan dan visionernya sebagai filantropis. Seperti kata pepatah, ‘Jika seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain, maka kebaikan itu akan kembali kepadanya’. Broad tak segan menggelontorkan jutaan bahkan milyaran dolar asetnya untuk membantu kepentingan publik seperti mengembangkan kota, menyediakan wadah untuk karya seni dan para seniman, juga memperbaiki pendidikan daerah. Kata ‘kagum’ rasanya tidak cukup menggambarkan perasaan yang timbul ketika membaca buku ini.
Lewat buku ini, Eli Broad mendorong pembaca untuk berani berpikir out of the box dan mengambil keputusan yang tidak diambil bahkan dipikirkan orang lain serta tak melepaskan prinsip improvisasi dan negosiasi ketika semuanya tak berjalan sesuai ekspektasi.
Kelebihan Buku
Penjelasan buku ini didominasi kiat-kiat berbisnis yang secara personal dituturkan oleh Eli Broad selaku pelaku bisnis sukses itu sendiri. Meski demikian, penjelasan di buku ini sebisa mungkin dibuat untuk dapat dipahami dan dijangkau tak hanya oleh kalangan yang tertarik dalam dunia bisnis dengan cara menerjemahkan sekaligus menganalogikan tips dan langkah bisnis dengan keputusan dalam kehidupan sehari-hari terlebih dalam meraih mimpi juga meniti karir.
Penggambaran kesuksesan dan kegagalan yang dialami Eli Broad sepanjang karirnya dipresentasikan sebagai hasil atas macam-macam keputusan 'tak biasa'-nya seakan memberi ruang kepada pembaca untuk merenung juga membayangkan konsekuensi dari saran dan ilmu yang disajikan di buku ini dengan lebih baik.
Kekurangan Buku
Satu kekurangan yang paling menonjol adalah cara penyampaian buku ini. Berlabel buku bisnis, kesan yang diberikan buku ini justru lebih dekat kepada autobiografi yang secara rinci menggambarkan seluk-beluk Eli Broad dan pencapaiannya ditambah dengan sekelebat masa kecil dan kehidupan pribadinya. Sementara, anggaplah pelajaran konkrit yang hendak disampaikan terkait dengan judulnya, intensitasnya justru berbanding jauh dari tutur tentang perjalanan hidupnya.
Pemikiran orisinil penulis yang tertera secara eksplisit hanya ditemukan pada paragraf awal dan akhir sub bab. Ibarat menonton televisi, kita perlu ikut menyaksikan serentetan tayangan iklan sebelum menyaksikan film atau program yang ingin kita tonton pada awalnya: agak menyia-nyiakan waktu pembaca. Buku ini kurang pas jika yang dicari adalah ilmu dan gagasan praktikal secara eksplisit.
0 notes
badclues · 3 years ago
Text
Tumblr media
Tanpa Berkabung, Tanpa Berkubur
Six of Crows - Leigh Bardugo Sebuah ulasan oleh Ghina Hasna Afifa (instagram.com/oghinaa) Minggu, 03 Juli 2022
Rating: ⭐⭐⭐⭐⭐
—“Keserakahan tunduk kepadaku. Keserakahan menjadi hambaku sekaligus mendongkrak daya tawarku.” (halaman 53)
Kaz Brekker yang dijuluki si Tangan Kotor, haram jadah yang dibentuk di Barrel sana, ditawari menjalankan sebuah misi mustahil—membobol Majelis Es yang konon tak tertembus—seharga puluhan juta kruge. Dia membawa serta kru berisikan Inej si Siluman, Jesper dengan keahlian menembak yang tiada lawan, Nina dan kesaktiannya sebagai Grisha, Wylan si Tuan Muda yang melipir dari rumah, dan Matthias yang semata-mata ikut untuk meraih kembali kebebasannya. Berlandaskan kepercayaan yang tak seberapa, keenamnya bersama-sama melakukan misi dengan taruhan kemewahan atau ajal.
Pernahkah kamu membaca buku yang membuatmu merasa seperti tidak sedang membaca buku? Mungkin bagiku buku ini salah satunya. Buku ini terlampau seru sehingga 614 halamannya sekonyong-konyong habis tak terasa. Dari segi plot, wah, tidak ada yang perlu dikomentari. Menyoroti cerita sekelompok pencuri, tentu buku ini dipenuhi dengan adegan aksi yang dinarasikan secara luwes. Untuk kamu yang belum terbiasa, mungkin adegan di dalamnya akan merasa too much sebab tindak-tanduk kekerasan dijabarkan secara detail dan berdarah-darah, terkadang membuat kita merasa ngilu sendiri. Terlepas dari adegan laga yang mendominasi, cerita ini juga dilengkapi romansa tipis-tipis sebagai pemanis. 
Karakter yang ada di buku ini pun beragam serta diukir dengan sangat apik. Ada Matthias yang digambarkan sebagai prajurit gagah berambut pirang juga karakter Inej si gadis Suli berkulit perunggu. Di setiap babnya, buku ini disajikan melalui sudut pandang orang ketiga dari tokoh-tokohnya. Dengan ini, hal-hal ganjil seperti kenapa Kaz selalu bersarung tangan dan alasan Matthias membenci Nina sedemikian rupa terjawab sejalan dengan kita membaca tiap lembarnya. Perasaan yang dipendam oleh masing-masing tokoh juga turut dinarasikan sehingga memicu timbulnya simpati dan membuat pembaca merasa terikat. Selain itu, buku ini juga diselingi humor—atau mungkin seharusnya sarkas—yang ampuh dalam mengurangi sedikit nuansa tegang. Kalau urusan melucu, Jesper jagonya (padahal sejatinya semua anggota kru sama bobroknya). Dalam keadaan seserius atau seberbahaya apapun, selalu saja ada celetukan-celetukan yang menggelitik perut.
—Kaz memiringkan badan ke belakang. “Apa cara paling mudah untuk merampas dompet seseorang?” “Todong lehernya dengan pisau?” tanya Inej. “Todongkan pistol ke punggungnya?” tanya Jesper. “Racuni minumannya,” usul Nina. “Kalian semua jahat,” kata Matthias. (halaman 168)
Dikarenakan linimasa buku ini terjadi setelah kisah seri Shadow and Bone, untuk pembaca yang suka memerhatikan detail cerita seperti aku, kusarankan untuk membaca trilogi Shadow and Bone dahulu sebelum membaca buku atau duologi Six of Crows ini. Ada beberapa bagian yang mengacu kepada seri tersebut sehingga mungkin akan membuat bingung pembaca baru. 
18 notes · View notes
badclues · 4 years ago
Text
Tumblr media
Satu Hari dan Selamanya
Just One Day – Gayle Forman Sebuah ulasan oleh Ghina Hasna Afifa (@oghinaa) Senin, 30 Agustus 2021
—“Aku akan menyimpanmu di sini.” Dia mengetuk dahi. “Di tempat kau tidak bisa hilang.” (halaman 90)
Dalam tur eropa monoton yang diatur oleh orangtuanya, Allyson Healey tak sengaja bertemu Willem, seorang pelakon dalam pementasan sebuah drama Twelfth Night. Selama delapan belas tahun menjalani hidup penuh keteraturan, ‘kecelakaan’ itu, entah bagaimana, menuntunnya kepada sebuah kecelakaan lain berupa perjalanan satu hari ke Paris bersama Willem. Meninggalkan rombongan penuh rencana untuk Paris dan segala-hal-yang-mungkin-terjadi-tanpa-persiapan-apapun. Siapa sangka satu hari saat mereka menutup telinga dan memunggungi kenyataan, satu hari yang menunjukkan sisi lain dari diri keduanya, adalah satu hari yang mengubah segalanya.
Secara utuh, buku ini adalah permulaan suatu seri buku dari penulis yang terdiri dari dua buku utama dan satu novela. Just One Day adalah buku pertama, disambung dengan buku kedua berjudul Just One Year dan Just One Night yang merupakan pelengkap keseluruhan cerita ini.
Sampul buku ini cantik. Pada buku versi terjemahan yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, terdapat ilustrasi tokoh utama kita, Allyson dan Willem. Allyson di buku pertama, disambut Willem di buku kedua. Bila disandingkan, posisi keduanya akan saling berhadapan. Ilustrasinya memancarkan emosi yang sama dengan ketika kita membaca bukunya. Si gadis jauh mengawang, dan Si lelaki dengan ekspresi mendamba.
Selain sampul yang menggugah hati, premis buku ini tak kalah menarik. Banyak aspek yang menggugah seperti travelling dan perjalanan menuju kedewasaan. Tidak lupa romansa yang dibuka dengan cinta pada pandangan pertama, tipikal cerita yang tak pernah ada matinya (love at the first sight, yes we’re all here for that).
Alur majunya mengalir cepat. Baru beberapa puluh halaman pertama kamu akan langsung diajak bermanis-manis bersama tokoh utama kita (never felt this single before ‘til I read this book) dan dari sinilah kisahnya mulai berkembang. Ditambah lagi, Forman mampu dengan cerdik membawa kita ke dalam pemikiran Allyson lewat sudut pandang orang pertama. Luapan emosi bingung, gembira, dan putus asa seakan hidup terpancar dari tiap katanya, seakan kita sendiri benar-benar mengalami perjalanan hidup tokoh utama. Sedikit kekurangan dari buku ini adalah build up menuju penyelesaian masalah yang cukup lambat dan terlalu mendetail dari aspek emosi.
Kisah di buku ini menggunakan cukup banyak referensi Shakespeare. Penulis mencantumkan kutipan dari drama yang berjudul As You Like it sebagai pembuka cerita. Bab pertama buku ini pun diawali dengan pertanyaan tokoh utama terhadap kutipan solilokui Hamlet.
—To be, or not to be; that is the question. Tapi bagaimana jika Shakespeare—dan Hamlet—mengajukan pertanyaan yang salah? Bagaimana jika pertanyaan sebenarnya adalah bukan hidup atau tidak, tapi bagaimana caranya hidup? (Halaman 11)
Beberapa kali judul-judul dramanya disinggung, seperti lain Hamlet, As You Like it, dan tentu saja Twelfth Night. Referensi Shakespeare ini selain memegang poin penting dalam cerita, juga menimbulkan percik penasaranku selaku pembaca akan karya-karya Shakespeare. Mungkin dalam masa hangover-ku terhadap buku ini, akan kucoba untuk menyelami satu-dua judul dramanya sebagai bentuk perkenalan kepada dunia William Shakespeare.
Buku ini akan mengenalkan tentang cara menghadapi hidup, bagaimana sulitnya mencoba keluar dari zona nyaman, menyikapi kehilangan, dan masa pendewasaan diri penuh dilema. On top of that, this particular book will give you the best romance, the best heartbreak experience (in good and bad ways) also the best resolution for it.
Just One Day dan Just One Year adalah dua buku pertama yang kuberi bintang lima sepanjang tahun 2021 ini. Keduanya memberikan pengalaman membaca yang penuh dan memuaskan. These books are solid 5 star read. Aku sangat merekomendasikan buku ini berikut sekuelnya untuk:
1. Kalian yang sedang mencari bacaan ringan dan manis untuk mengatasi reading slump.
2. Kalian yang suntuk terkurung di rumah dan ingin merasakan pengalaman melancong keliling dunia.
3. Kalian yang sedang ingin merasakan pengalaman mencinta (Willem bilang, jatuh cinta dan mencintai itu dua hal yang berbeda) sekaligus patah hati. Romansa buku ini yang menggelitik namun berliku ini mungkin cocok untukmu.
4. Kalian yang berada dalam fase coming of age. Buku ini mengungkit dilema dalam masa transisi remaja labil menuju masa dewasa awal dalam berbagai aspek, dilihat dari kacamata orang pertama.
0 notes
badclues · 4 years ago
Text
Tumblr media
Rel Kereta Penuh Cerita
Anak-anak Kereta Api (Railway Children) – E. Nesbit Sebuah ulasan oleh Ghina Hasna Afifa (@oghinaa) Senin, 15 Agustus 2021
—“Aku tak bermaksud sok suci. Tapi susah benar jadi anak baik-baik, ketika kita justru telah berusaha sebaik-baiknya.” (halaman 219)
Alkisah hiduplah tiga orang anak—Roberta, Peter, dan Phyllis—yang sangat menggemari kereta api dan hal apapun yang berkaitan dengannya. Kesukaan ini bermula pada suatu malam janggal yang mengharuskan Ayah pergi entah kemana untuk beberapa lama. Mereka beserta Ibu terpaksa pindah dari London ke sebuah pondok kecil di pedesaan yang segala sesuatunya jauh berbeda dan melanjutkan hidup di sana.
Pertama-tama, aku ingin bilang bahwa aku sangat suka buku ini (banget, banget, banget!). Membaca buku ini di usia dewasa layaknya membaca dongeng waktu kanak-kanak. Pada beberapa bagian, buku ini dilengkapi dengan ilustrasi yang sangat khas buku dongeng lama. Kisahnya sedikit banyak mengingatkanku akan kenangan masa kecil yang penuh kebebasan. Menjelajah ke sana sini, bermain hingga petang, juga berteman dengan banyak orang.
Tumblr media
Tiap lembarnya mengajak kita bernostalgia akan kasih sayang orang tua yang tiada habisnya. Ibu diceritakan sebagai sosok yang lembut layaknya malaikat dan Ayah digambarkan sebagai lelaki bijak serba bisa dan mampu memperbaiki apa saja.
Penyampaian narasi dan dialog di buku ini pun patut diacungi jempol. Sepanjang ceritanya disajikan dengan penuh jenaka. Bahasa formal yang digunakan dalam percakapannya dilengkapi dengan pembawaan narasi secara sederhana, sehingga mengaburkan kesan kaku. Guyonan-guyonannya disajikan dengan apik dalam rasa penasaran anak kecil—karena kalau anak kecil yang bilang, pasti terdengar lebih lucu. Beberapa—banyak—ujaran dibuat sarkastis dan mampu menggelitik perut pembaca, terlebih saat Peter mengucapkan kata ‘tolol’ favoritnya dengan nada sinis yang paling banyak ia utarakan kepada Phyllis, adik perempuannya.
Kalau harus memilih satu adegan yang paling kusuka, pastilah akhirnya, yakni jenis penutup yang sudah kita duga tapi tetap saja mencubit emosi. Sebuah cara yang sempurna untuk mengakhiri kisah yang menghangatkan hati (dijamin bikin nangis hihi).
3 notes · View notes
badclues · 4 years ago
Text
Tumblr media
Jawaban di Balik Payung Rahasia
Goodbye Fairy - Yonezawa Honobu Sebuah ulasan oleh Ghina Hasna Afifa (@oghinaa) Senin, 02 Agustus 2021
—“Manusia, siapa pun dia, memiliki hak untuk bermimpi.” (halaman 219)
Hidup yang dijalani Moriya Michiyuki biasa-biasa saja hingga dia tak sengaja bertemu Maya, seorang gadis asing dari suku bangsa lain yang menyebut dirinya berasal dari suatu negeri nun jauh bernama Yugoslavia. Sejak kebetulan—takdir—yang mempertemukan mereka inilah hidup seorang Moriya berubah menjadi dipenuhi teka-teki yang didasari kalimat andalan Maya, “Apa ada makna filosofisnya?”. Pada akhirnya, semua hal yang dipertanyakan Maya berujung pada satu misteri saat dirinya memutuskan kembali ke negeri asal dan menghilang tanpa kabar setelahnya. Apa sebenarnya kebenaran dibalik kepulangannya itu?
Tahukah kalian kalau buku ini sejatinya adalah bagian dari seri Hyouka dari penulis yang sama? Naskah Goodbye Fairy ini diwacanakan untuk menjadi novel ketiga seri Hyouka yang pada akhirnya digubah ulang menjadi kisahnya tersendiri. Fakta tersebut kurang lebih bisa menggambarkan nuansa buku ini yang dinamikanya Oreki-Chitanda banget. Kalau kalian sudah pernah membaca seri buku atau menonton serial animasinya, pasti merasa familiar dengan suasana di dalam buku ini. Dibandingkan dengan Hyouka, buku ini tentu terkesan lebih padat dan intens dari segi permasalahan.
Tumblr media
Berlatar tempat di Jepang, menurutku buku ini bisa dikategorikan ke dalam genre fiksi sejarah karena diceritakan pada era pecahnya Yugoslavia—negara perserikatan yang terdiri dari enam negara—pada tahun 1992 dan sedikit banyak menyinggung tentang konflik tersebut.
Walau tampak berat dan sulit diselami, cerita ini justru dibawakan secara ringan dengan banyak percakapan sehari-hari. Satu hal yang perlu disoroti dari kisah ini adalah bagaimana sang penulis mampu memboyong konflik Yugoslavia kala itu sebagai titik berat ceritanya dan menyelipkannya secara halus ke dalam kehidupan standar seorang murid SMA. Selain itu, kita juga banyak diajak menelusuri arti filosofis hal-hal kecil dalam budaya dan masyarakat Jepang.
Dilihat dari terjemahannya, kalimat-kalimatnya cukup mudah dicerna. Ada bagian-bagian saat Maya yang dijelaskan kemampuan berbahasa jepangnya berlum terlalu fasih, menggunakan kata-kata yang terdengar kaku bagi penutur aslinya, dan bagian ini dapat tersampaikan dengan baik secara makna maupun suasana. Ada juga sebagian kecil celetukan atau candaan yang seharusnya lucu tapi malah terasa hambar.
Bagi kamu para penggemar seri Hyouka ataupun para penyuka literatur Jepang, Goodbye Fairy ini bisa menjadi satu bacaan yang membuatmu hanyut dalam rasa penasaran seiring dengan misteri-misteri yang Moriya dan Maya serta tiga teman lainnya hadapi sepanjang 358 halaman buku ini.
2 notes · View notes
badclues · 4 years ago
Text
Tumblr media
Panggilan dan Sejejak Perjalanan Melacak Jati Diri
The Call of The Wild - Jack London Sebuah ulasan oleh Ghina Hasna Afifa (@oghinaa) Jumat, 23 Juli 2021
—Ia harus menaklukkan atau ditaklukkan; menunjukkan belas kasihan adalah kelemahan. (halaman 113)
Buck—seekor anjing dengan ras St. Bernard—menjalani hidup yang aman, tentram, dan serba berkecukupan di bawah naungan tuannya, Hakim Miller. Tak pernah terbayangkan olehnya saat-saat ia diculik dan dijual akan menjadi titik balik hidupnya. Lingkungan baru memaksanya beradaptasi, bekerja keras tak kenal henti, dan tuan baru datang silih berganti. Dari semua pengalaman baru yang tak disangka akan menggantikan kehidupan lamanya, ada suara yang kerap memanggil dan membangkitkan sesuatu dalam diri Buck. Di sinilah awal mula perjalanan Buck mengungkap jati dirinya.
Untuk suatu karya yang diterjemahkan dari bahasa aslinya, tentu kurang klop kalau tidak kita bahas terjemahannya. Aku salut dengan mas Eko Indriantanto selaku penerjemah salah satu karya terbesar ini. Meski ada beberapa istilah asing terkait kesejarahan kala itu yang sulit dialihbahasakan ke dalam Bahasa Ibu, secara keseluruhan terjemahannya sangat halus (smooth like butter if I have to add) dan memberikan pengalaman yang lain untuk pembaca.
Dari segi alur, London menyajikannya secara lambat dan mendetail. Setiap peristiwa dalam kehidupan Buck ditulis dengan terperinci dan apik. Tokoh-tokoh yang hadir dapat dengan mudah dikenali dari penggambaran fisik dan sifatnya yang unik. Adapun tokoh paling berkesan bagiku ialah Mercedes si nyonya manja yang wataknya bikin geleng-geleng kepala.
Satu hal yang menarik ialah ketika kita menyelami benak Buck si tokoh utama, pembaca diajak berpikir dan menyikapi segala fenomena dengan logika makhluk buas yang sederhana yang entah bagaimana terasa akrab dan masuk akal, atau yang lebih kita kenal dengan nama Insting.
—Bagi Buck, ini bukanlah sesuatu yang baru atau asing, suasana ini menggemakan masa lampau. Seakan-akan semuanya senantiasa seperti ini, berjalan seperti ini. (halaman 63)
Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan, alur buku ini tergolong lambat. Walaupun penyelesaian masalah dalam cerita ini memuaskan, dibutuhkan deskripsi yang repetitif untuk mencapai penyelesaian satu konflik saja, hal ini mungkin agak menimbulkan kesan bosan saat membaca.
Sama seperti kisah Buck, tantangan membaca buku klasik yang diusung @bukugpu @fiksigpu membangkitkan keinginan menjelajahi karya-karya klasik yang selalu ditekan oleh asumsi-asumsi bahwa mulai membaca karya klasik adalah suatu hal yang sulit. Tapi, karena tidak hanya aku saja yang ikut ekspedisi ini (alias banyak sekali teman-teman yang juga antusias dengan tantangan ini), pikiran-pikiran tersebut seakan lenyap.
Untuk kamu yang mau mulai membaca fiksi klasik, atau kamu yang suka tapi merasa sudah terlambat untuk membaca dongeng (terutama fabel), buku ini sangat aku rekomendasikan. Selain karena bukunya cukup tipis (158 halaman saja loh, bisa habis dalam sekali duduk), buku ini berada pada titik tengah antara literatur anak dan literatur dewasa, sehingga tidak terlalu memberatkan pembaca klasik pemula.
1 note · View note
badclues · 4 years ago
Text
Perjalanan Adaptasiku Bersama Buku
Aku pribadi yakin hampir semua dari kita pernah membaca buku atau menonton film tentang wabah, virus, dan berbagai film menakutkan yang di dalamnya orang-orang mesti berbuat hal di luar kebiasaan mereka untuk bertahan hidup. Tapi, pernahkah kita bermimpi atau sekadar membayangkan untuk menjadi bagian di dalamnya? Tiap helaan napas dihantui kecemasan. Kematian adalah hal yang biasa, tapi senantiasa membuat kita berjengit tiap mendengar angkanya. Di tengah kericuhan pandemi, akankah mampu kita beradaptasi?
Adaptasi, sebuah kata yang cukup familiar di otakku yang notabene berjurusan IPA di sekolah menengah atas. Kata adaptasi banyak aku temui di buku pelajaran, khususnya biologi yang erat kaitannya dengan ruang lingkup makhluk hidup. Adaptasi merupakan refleks yang dimiliki makhluk hidup untuk bertahan di lingkungan dan suasana baru dengan cara membiasakan serta menyesuaikan diri. Dengan adanya pergeseran dari kehidupan yang biasa dijalani, kita dipaksa untuk berubah. Kita dipaksa untuk menyesuaikan, membiasakan, dan menempatkan diri pada wadah yang tak lagi sama.
Selama ini kita sudah hidup berdampingan dengan berbagai ancaman penyakit. Jatuh sakit, kemudian sehat kembali. Itu hal yang lumrah. Lalu, apa yang membedakan wabah COVID-19 ini? Jawabannya jelas karena belum ditemukan vaksin yang mampu membebaskan kita dari belenggu pandemi yang telah berjalan hampir dua tahun belakangan ini. Keluar rumah sedikit saja, berinteraksi dengan sesama barang sebentar saja mampu mendekatkan kita pada ancaman kematian.
Hakikat kita adalah sebagai makhluk sosial, tapi nyatanya malah dikurung di sepetak rumah dan dituntut berdiam diri hingga pandemi mereda. Hampir semua lapisan masyarakat terdampak. Aku yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah pun merasa sesak. Di dunia pendidikan, aku yang seorang mahasiswa mesti berhadapan dengan layar gawai hampir setiap saat alih-alih ke kampus dan menghadiri kelas tatap muka. Kurikulum pembelajaran juga banyak mengalami perubahan, konon katanya menyesuaikan dengan keadaan yang justru membuat individu yang terlbat di dalamnya stres. Tidak hanya aku, keluarga, teman-teman, semua orang merasa demikian. Lantas kita bisa apa?
Beradaptasi, menyesuaikan diri. Sebab kita belum punya pilihan lain selain mengatur diri, menanti pandemi usai dengan duduk diam di rumah tanpa harus hidup seperti zombie. Linglung, hilang arah, tanpa semangat hidup.
Di luar kesibukan sehari-hari seperti sekolah, kerja, dan urusan rumahan, kita semua tentu memiliki hobi. Hal-hal yang dilakukan untuk sejenak melepas penat. Hal-hal yang mampu membuat kita merasa kembali hidup. Aku sendiri memiliki cukup banyak coping mechanism di sela-sela kehidupan perkuliahan beserta tetek bengek organisasi yang tidak main-main padatnya. Di antaranya adalah menggambar (aku menyenangi seni walau tidak terlalu mahir), menonton serial film dari berbagai negara (hitung-hitung belajar bahasa juga), belanja buku kalau ada uang, dan yang paling utama adalah membaca buku. Jujur, dua hal terakhir adalah yang paling ampuh, hehe.
Akan kupaparkan sedikit alasan kenapa aku suka membaca. Dari kecil, aku dibiasakan membaca oleh kedua orang tuaku. Aku bersyukur karenanya dan kebiasaan itu masih melekat hingga sekarang. Buku favoritku semasa kecil ialah Cerita Rakyat dari Belanda. Cerita tentang lilin ajaib yang bisa mengabulkan segala permohonan, lonceng bernyanyi, serta kisah kuda kayu yang mengajarkan untuk tidak berputus asa dalam meraih sesuatu masih lekat berbekas dalam ingatan. Setiap ceritanya begitu berkesan entah bagi diriku di masa kecil maupun bagi aku yang telah beranjak dewasa ini. Bukunya masih kusimpan rapi walaupun bukunya sekarang sudah dalam keadaan telanjang (sampulnya lepas, saking seringnya kubaca ulang).
Bagiku, buku adalah pintu kemana saja, tiket keliling dunia. Bukan hanya dunia nyata, tapi juga dunia yang hanya bisa kita kunjungi tanpa benar-benar terlihat entitasnya. Masa-masa lampau jauh sebelum kita lahir, kastil-kastil sarat sihir, dunia dengan makhluk-makhluk yang hanya bisa kita selami dengan imajinasi. Buku menyajikan itu semua.
Selama pandemi, aku coba untuk mengelilingi keseharian saya dengan buku. Setiap jeda waktu, setiap waktu kosong, saya usahakan isi dengan membaca. Beberapa kali aku sempat mengunjungi toko untuk sekadar mengusir suntuk dan memanjakan mata dengan jajaran buku yang dipampang. Intensitas membeli buku pun meningkat tak terelakkan. Kebanyakan masih menumpuk belum terjamah. Biarlah mereka mengendap dulu, begitu pikirku tiap menatap tumpukan buku yang melambai-lambai minta dibaca.
Aku termasuk tipe pembaca yang lamban dan tidak suka membaca banyak buku dalam waktu bersamaan. Fokusku mudah terpecah dan sering kali tertukar antara isi buku satu dengan buku yang lain. Karenanya, tidak banyak buku yang kubaca selama pandemi ini. Mari, akan kuajak kalian berkenalan dengan beberapa judul buku yang telah kubabat habis beserta kesan-kesannya.
Setelah Aku Pergi (Ways to Live Forever) – Sally Nicholls
Tumblr media
Sebagai salah satu tipe orang visual, aku tidak akan mengelak kalau yang pertama kali menarik minat terhadap suatu buku adalah sampulnya. Benar, sampul buku ini cantik sekali. Didesain oleh Martin Dima, sampulnya didominasi warna jingga dengan ilustrasi anak lelaki yang tak kalah lucu.
Pertama, apa yang pertama kali terbesit di pikiran kalian saat melihat sampul buku ini? Buku anak-anak kah? Dengan sampul yang seperti ini, kukira buku ini pasti ditujukan untuk anak-anak yang baru mulai gemar membaca. Jika sempat berpikir begitu, kalian salah besar—aku salah satunya. Kedua, cerita apa yang kalian harap penulis sajikan dilihat dari sampul buku ini? Apabila pembaca sekalian mengharapkan cerita ringan untuk sekadar selingan, kalian salah untuk kedua kalinya. Nyatanya, buku ini jauh dari kata ringan.
Buku ini mengisahkan tentang Sam, bocah laki-laki berusia 11 tahun yang mengidap penyakit Leukemia. Mengetahui jatah hidupnya di dunia tak lama lagi, Sam memutuskan untuk menulis buku mengenai bagaimana ia hidup berdampingan dengan penyakit mematikan itu, bagaimana ia berusaha mewujudkan keinginannya, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terbesit di benaknya. Dengan ditemani orang-orang terdekatnya, Sam berusaha menikmati sisa waktunya sebagai bocah pada umumnya tanpa mencemaskan yang namanya kematian.
Dari sinopsisnya saja, sepertinya anak-anak akan ngeri duluan begitu menemui kata kematian. Apalagi kata tersebut banyak disebutkan secara eksplisit di tiap babnya.
Tulisan-tulisan yang Sam buat kebanyakan berupa daftar. Pada bab-bab awal, Sam menuliskan beberapa keinginan yang ingin diwujudkannya dengan bantuan sahabat seperjuangannya, Felix.
Tumblr media
Dilihat dari mana pun, poin-poin tersebut rasanya sulit direalisasikan oleh seorang bocah yang waktu hidupnya tak lama lagi. Tapi, si tokoh utama dan sobatnya tidak berpikir demikian. “Kita bisa melakukan apa saja, apa saja!”, begitu katanya. Saat salah satu keinginan tersebut mustahil diwujudkan sebagaimana harusnya, Sam akan mencari jalan lain, jalan yang tak terpikirkan oleh orang dewasa.
Tumblr media
Ada pun beberapa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis dalam kertas kecil. Semuanya diberi nama pertanyaan-pertanyaan tak terjawab lengkap dengan nomor. Pertanyaan yang tertera kurang lebih seperti, ‘Kenapa Tuhan membuat anak-anak jatuh sakit?’, ‘Sakitkah kalau mati?’, atau ‘Bagaimana kita tahu kita sudah mati?’. Tidak ada setitik ketakutan, yang tersirat murni rasa ingin tahu anak kecil terhadap ranah abu-abu kematian.
Meskipun gaya penulisan yang digunakan sederhana, buku ini lebih cocok dibaca oleh orang dewasa yang merasa jenuh dengan hidup. Walau bertokohkan anak-anak, makna yang berusaha disampaikan penulis terasa menohok hati. Kita seakan dikenalkan kembali pada kepolosan bocah yang diperkenankan bebas bermimpi dan dengan penuh harap menggantungnya tinggi-tinggi. Sesuatu yang sulit diwujudkan bukan berarti tidak bisa. Tuhan tak menciptakan satu jalan saja menuju Roma. Ingat, yang penting adalah perasaan yang ditimbulkannya.
Selain itu, kisah ini mengajarkan kita untuk menghargai waktu. Apa yang bisa dilakukan sekarang, lakukan. Dengan selesainya membaca buku ini, aku jadi tergerak untuk melakukan hal-hal yang telah lama kutunda-tunda, mimpi-mimpi berdebu yang sudah lama tersimpan. Kita mungkin bisa menunggu dan menunda, tetapi waktu tidak. Sebab tidak seorang pun tahu sejauh mana garis hidup kita membentang.
Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 – Cho Nam Joo
Tumblr media
Buku ini pertama kali diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2019. Pada masanya, buku ini sempat menjadi best-seller dan masih begitu hingga sekarang karena ternyata buku ini telah dibaca oleh artis kelas dunia, RM dari BTS, yang menyebabkan buku ini makin populer saja.
Di dalam buku ini, kita akan dibawa mengarungi kehidupan seorang wanita korea Kim Ji-Yeong yang hidupnya biasa-biasa saja melalui kacamata Kim Ji-Yeong sendiri. Mulai dari Kim Ji-Yeong kecil yang hidup dengan keluarganya, Kim Ji-Yeong yang mulai mencari jati diri saat beranjak remaja, hingga lika-liku kehidupan dunia nyata saat mencapai usia dewasa dan menikah.
Tumblr media
Si tokoh utama, Kim Ji-Yeong, berhasil menarik simpatiku karena kami memiliki kesamaan. Tidak, aku tidak mengalami hidup seberat yang dialami Kim Ji-Yeong, tapi aku cukup mengerti perasaannya sebagai sesama perempuan. Apalagi di usia yang mulai menginjak dewasa, gambaran-gambaran tentang kehidupan wanita dewasa yang dipaparkan sangat menarik untuk diikuti.
Poin utama yang kutangkap sepanjang cerita adalah bahwa perempuan tidak lebih baik dari laki-laki. Jarang ada yang namanya kesetaraan dan kaum wanita selalu berada di bawah. Diskriminasi antar gender seakan bukan hal besar. Banyak juga dipaparkan stigma yang berkembang bahwa perempuan harus seperti ini lah, menjadi itu lah, tidak boleh begini, dan dituntut mematuhi pikiran-pikiran tertentu. Para wanita didikte mesti menjadi perempuan yang demikian, sesuai dengan batasan yang ditetapkan orang-orang.
Contohnya, ada satu masa ketika Kim Ji-Yeong hampir mengalami pelecehan oleh teman lelakinya. Usai kejadian, tebak tiapa yang disalahkan? Kim Ji-Yeong, pihak perempuan, tentu saja.
‘Kenapa berbicara kepada sembarang orang?’ ‘Kenapa mesti sekolah jauh-jauh?’ ‘Kau perlu banyak belajar.’ ‘Kau harus berpakaian pantas, harus bersikap pantas.’
Pernyataan serta pertanyaan semacam itu membingkai dan seakan menyudutkan bahwa hal buruk seperti pelecehan yang terjadi pada perempuan adalah kesalahannya sendiri. Sesak? Tidak adil? Tentu saja.
Di dalam salah satu bab yang menceritakan Ibunya, terkandung ide bahwasanya perempuan tak ayal hanya sebagai peran pendukung dalam hidup orang lain tanpa memiliki kisah sendiri. Segala jerih payah semata-mata dilakukan untuk orang lain hingga rela harus menjual mimpi.
Buku ini memberikan gambaran bahwa terlahir dan hidup sebagai seorang perempuan tidaklah mudah. Dalam setiap hela napas, banyak pemikiran yang harus kita patahkan, banyak mimpi yang mesti kita raih untuk membuktikan bahwa perempuan tak hanya sekadar diam dan berkutat mengerjakan urusan rumah tangga. Perempuan juga berhak sekolah, berhak berilmu. Perempuan bisa terbang tinggi tanpa dikekang statement-statement menjatuhkan. Perempuan bisa dan bebas melakukan apa saja. Perempuan memiliki hidup penuh mimpi yang ingin diperjuangkannya. Bukan untuk orang lain, tapi demi diri sendiri.
Setelah beberapa bulan mogok menulis, akhirnya aku bisa menuangkan pikiran lagi sekian lama. Sepertinya ini pertama kalinya aku menuliskan sesuatu yang sifatnya pribadi nan penuh pendapat, ternyata asyik juga ya. Tulisan ini kubuat dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun Gramedia Pustaka Utama yang ke-47. Selamat ulang tahun GPU dan terima kasih telah menemani perjalanan membacaku dengan buku-buku hebat. 
Akhir kata: Di saat kita terbelenggu dalam kubah karantina, buku adalah teman yang setia.
2 notes · View notes