Tumgik
bannanmufida · 2 years
Text
Kelahiran Putri Kecilku: Maryam
Menunggu kehadiran anak pertama ditemani kesibukan kuliah dan tugas yang menumpuk, tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kami mulai bertanya ke orang tua, saudara, dan teman dekat apa saja yang harus disiapkan untuk persalinan. List barang-barang yang harus dibawa saat persalinan di bidan atau di rumah sakit sakit sudah pula kami siapkan di sebuah tas yang siap dibawa kapanpun. Sebuah list lengkap yang dikirmkan oleh sahabatku nurul menjadi panduanku.
Ahad, 22 September 2019
Saat bangun tidur aku dikagetkan adanya bercak darah dan rasa sedikit nyeri. Pagi itu dengan perasaan was-was kami menuju bidan untuk memeriksakan kondisi, ternyata pembukaan pertama. Tapi karena ini anak pertama, bu bidan sudah wanti-wanti kalo prosesnya akan sedikit lebih lama. Aku diminta mempersiapkan diri namun tetap santai dan tidak perlu panik. Kami mengabari keluarga di Jember yang kemudian disambut dengan keputusan ibu dan ayah mertuaku berangkat ke Jakarta. Sesuai rencana ibu akan menemaniku selama satu bulan pertama setelah melahirkan, dan membantuku beradaptasi dengan peran baruku sebagai seorang ibu.
Senin hingga rabu aku masih bisa beraktivitas dengan normal, pergi ke kampus seperti biasa. Senin bahkan aku sempat jalan-jalan ke Margo City untuk merayakan aniversery pernikahan kami yang pertama. Tiga hari berselang, tanda-tanda kelahiran belum juga datang, saat rabu sore aku cek ke Bidan, pembukaannya juga masih stuck di pembukaan satu. Tidak bisa dipungkiri, rasa panik itu mulai datang menyelimuti. Berbagai pikiran tentang bagaimana jika mulai banyak menghantui, suamiku mencoba menenangkan diriku yang penuh kekhawatiran
Kamis pagi, 26 September 2019
Aku diminta ibu berjalan-jalan keliling kompleks ditemani suami, untuk mempercepat proses pembukaan tentunya. Namun, baru setengah putaran aku rasanya sudah ngak sanggup mau pingsan karena rasa nyeri mulai datang meskipun masih jarang. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang, karena jam 8 harus berangkat ke kampus. Hari ini aku berharap masih bisa ikut kuliah karena ada tugas presentasi kelompok. Tapi ternyata kondisiku tidak memungkinkan, dan khawatir juga terjadi hal-hal yang emergency di kampus malah bikin repot banyak orang. Akhirnya, aku periksa kembali ke Bidan, pebukaannya belum nambah juga. Bu Bidan menesehatiku dengan penuh penekanan agar aku tidak terlau panik dan menunggu degan sabar, merasakan getaran-getaran cinta itu, mengatur nafas dengan baik dan menghitung dengan cermat. Aku diminta pulang istirahat, dan kembali saat sudah merasakan nyeri yang intensif setiap 10 menit.
Sejak pagi hingga sore aku mulai merasakan nyeri yang semakin sering, namun masih bisa aku atasi. Sekitar jam setengah lima aku dikagetkan oleh cairan bening yang tiba-tiba membasahi tempat tidurku. Sontak aku berteriak, “Mas sepertinya air ketubannya sudah pecah”. Suami dan ibuku mulai panik, aku segera di bawa ke bu bidan. Benar saja, sampai di sana bu bidan bilang jika air ketubanku pecah dan sudah keruh, sebagai tanda emergency yang mengharuskan aku di rujuk ke RS. Dibantu oleh bu bidan, aku diantarkan ke RS Citra Ar-Rafiq ditemani Ibu, suamiku menyusul menggunakan sepeda motor.
Adzan maghrib berkumandang, aku sempoyongan duduk di atas kursi roda yang didorong masuk ke dalam ruang bersalin oleh para perawat sambil terus menahan sakit yang teramat. Suamiku diminta untuk mengurus administrasi di lantai bawah. Oh iya, sebelum berangkat ke RS tadi bu bidan sempat cek pembukaanku, dan masih di pembukaan dua, padahal untuk dapat melahirkan normal, pembukaan harus lengkap sampai 10. Ya Allah.. Aku perbanyak dzikir, mohon kemudahan kepada Allah.
Sesampainya di ruang bersalin aku segera ditangani oleh perawat yang mengecek semua tanda-tanda vitalku. Samar-samar aku mendengar salah satu perawat yang sedang menelpon dokter spesialis kandungan. Ternyata melalui komunikasi telepon tersebut, dokter meminta untuk dilakukan SC. Awalnya aku tidak diberitahu jika akan dilakukan SC, mbak-mbak perawat hanya mondar-mandir menyiapkan berbagai keperluan untuk SC, menyiapkan kamar oprasi, bius, infus, dll. Sampai aku bertanya, “Mba ini mau di caesar?” Barulah mereka menjelaskan bahwa kondisiku tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal. Air ketuban keruh, pembukaan melambat atau tidak kunjung naik, dan riwayat minus yang tinggi membuat dokter memutuskan untuk SC. Aku kaget dan langsung menolak. Dalam kondisi menahan sakit yang luar biasa aku masih harus berdebat dengan perawat dan kekeh untuk tidak mau caesar. Di saat-saat genting itu aku justru sendiri, ibu sedang sholat maghrib, suamiku entah kenapa lama sekali mengurus adminsitrasi.
Aku diminta menandatangani surat penolakan rekomendasi tidakan, dan harus bersedia menanggung resiko apapun yang terjadi, termasuk tidak bisa diklaimkan semua biaya persalinan ke BPJS. Aku sungguh kalut, berteriak menahan sakit dan bertanya kemana semua orang, suamiku atau ibu? disaat itu aku masih berusaha mempertahankan argumenku untuk tidak di SC, bu bidan pun ikut berusaha membujukku agar aku mau mengikuti rekoendasi dari dokter untuk SC. Aku pasrah, mungkin itu adalah keputusan terbaik. Dan saat itulah keajaiban itu datang.
Seoramg perawat berkata, “Ini pembukaannya sudah lengkap, sudah keliahatan rambut bayinya, ini bisa lahir normal jika mengejan dengna benar!”. Mendengar itu aku rasanya sangat lega, tanpa basa-basi dan menunggu lagi aku bilang, “Yaudah mbak, ajarin saja saya gimana ngejan yang bener, nggak usah ceasar-caesaran!”. akhirnya semua sepakat untuk membantuku melahirkan secara normal. Tanganku digenggam erat oleh ibu bidan, yang saat itu membisikkan instruksi bagaimana seharusnya aku mengejan. Mengumpulkan tenaga dan mengejan kuat. Hanya dengan dua kali mengejan, bidadari kecilku lahir. Alhamdulillah, semua merasa laga. Rasa sakit yang luar biasa hilang seketika, bahagia dan haru, menyelimuti seluruh ruangan persalinan. Si bayi mungil cantik itu diletakkan di atas dadaku, dan ku dekap dengan erat. Aku sungguh bersyukur Allah membantuku melalui proses yang luar biasa ini.
Selain perasaan bahagia dan haru, ada perasaan kesal karena tak lama setelah kehebohan proses persalinan itu, pak suami datang dengan wajah terheran-heran, kata pertama yang terucap darinya adalah, “Lho kok sudah lahiran?” Kesel nggak sih? wkwk. Setelah proses DBF selesai, Pak suami mengumandangkan adzan yang pertama di telinga anak kami. Alhamdulillah rasa syukur yang tiada tara. Usut punya usut ternyata pak suami lama di bawah itu, ngantri di bagian farmasi ambil obat bius untuk proses SCku, karena tak kunjung datang, dan aku keburu lahiran, akhirnya SCnya batal. ada berkahnya juga, ya meskipun agak kesel karena nggak bisa ditemenin lahiran suami.
Bayiku dibawa ke ruang bayi untuk dibersihkan dan dimandikan, sementara aku melanjutkan proses pemberishan plasenta dan jahit karena terdapat sobekan yang lumayan lebar. Setelah itu aku dipindahkan ke ruang perawatan yang satu kamar berisi 3 tempat tidur. Selama 2 hari aku dirawat, aku ditemani 2 orang pasien lain yang melahirkan SC. aku sunggu banyak bersyukur, proses melahirkan normal ini membuatku bisa pemulihan lebih cepat, dan juga menjalankan tugas sebagai mahasiswa kembali serta ibu baru. The new jouney begin.
Selama 2 hari aku di rumah sakit, selama itu pula aku tidak ketemu dokter kandunganku, karena jadwal oprasi caesarnya yang banyak, sehari bisa sampai 5x. Karena nggak sabar, akhirnya aku minta pulang dan tak kembali lagi. Jadi sampai sekarang tulisan ini publish, aku nggak tau gimana wajah dokter yang menanganiku itu. (Jangan ditiru ya, wkwk).
10 notes · View notes
bannanmufida · 2 years
Text
Kehamilan Pertama
Setiap proses kehamilan memiliki ceritanya masing-masing, maka aku akan mengabadikan setiap prosesnya dalam tulisan-tulisanku. Untuk ku kenang nanti, untuk anakku jika ia telah mengerti nanti. Proses yang selalu terasa berharga saat dikenang.
Usia pernikahan kami menginjak empat bulan, saat alat tes kehamilan menunjukkan tanda positif. Akhirnya setelah menjalani menjalani kehidupan LDM yang melelahkan, kami tinggal bersama, merantau. Sebuah rumah petak kecil di daerah Cisauk, Kabupaten Tangerang menjadi tempat tinggal kami pertama kali. Tinggal di kota besar dengan penghasilan yang bahkan belum memenuhi UMR kota itu membuat kami harus pintar-pintar dalam mengatur keuangan, termasuk berbagai kebutuhan yang ada selama proses kehamilan. 
Thanks to BPJS yang mensupport segala pemeriksaan selama kehamilanku yang pertama, paling hanya menambah susu ibu hamil dan vitamin yang tidak di cover, masih cukup terjangkau. Biaya pemeriksaan dokter, USG, dan laboratorium rutin semua di cover. Alhamdulillah. 
Setelah mengetahui positif hamil, kondisi badan mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Morning sickness sampai usia kehamilan hampir 5 bulan, mual muntah, sensitif sekali sama bau-bauan, sama-sama nggak suka bau busuk atau wangi, sangat mengganggu. Pernah suatu ketika, pak suami ngajakin keluar, tapi aku bilang aku nggak suka sama bau badannya, bikin mual. Pakailah dia minyak wangi biar nggak dibilang  bau, eh malah lebih parah bikin mualnya. Akhirnya pas di mall jalannya jauh-jauhan. hehe.
Aku ngerasain banget susah makan pas awal kehamilan sampai pertengahan trimester ke dua, parah. Nggak bisa makan makanan dingin. Jadi, hampir tiap malem langganan bakso malang beli 5 ribu rupiah demi bisa makan dengan enak. Menu andalan lainnya adalah tempe tahu sambel korek dengan nasi panas. Meski menu sederhana, itu sangat membantu.
Momen paling diingat pas aku harus tes SIMAK UI bulan April 2019. Waktu itu usia kehamilan sekitar 4 bulan, mual muntahnya masih belum hilang. Galau bener mau ke Depok naik apa, naik motor rawan sekali jalanannya. Naik KRL dari Tangerang ke Depok, yah harus siap berjubel dari St. Tanah Abang sampai St. Depok. Akhirnya kami memutuskan naik KRL, 2,5 jam perjalanan yan rasanya lama sekali, bener harus nahan mual pusing, belum lagi aroma-aroma di perjalanan yang amat luar biasa. Tapi akhirnya bisa terlewati juga.
Malamnya aku stay di kosan temen yang udah lebih dulu kuliah S2 di UI, jadi bisa istirahat dan bersiap untuk tes esok harinya. Tesnya ada 2 sesi, sesi pertama berjalan cukup lancar tapi udah mulai kerasa kepala pening. Pas masuk sesi ke dua, tes bahasa inggris, buat baca soalnya aja aku kliyengan apalagi buat mikir. Sampai salah satu penjaga menanyakan kondisiku, aku jawab aja kalo lagi mual karena hamil. Aku cuman bisa pasrah, semoga aku beruntung. 
Pas pulang, aku sama pak suami janjian di St. UI. Eh tapi susah banget dapet gojeknya, karena pas itu rame banget dan UI macet. hampir 2 jam nunggu. Baterai HP sudah sekarat, mau jalan ke St. UI dari FEB kok ya takut pingsan di jalan. wkwk parah lah waktu itu. Perjalanan pulang naik KRL hampir sama lah kondisinya. Alhamdulillah perjuangannya terbalas dengan berita kelulusan.
Karena lulus SIMAK waktu itu, aku harus mulai kuliah bulan September 2012, sedangkan HPL adalah awal Oktober. Sempat galau parah mau lanjut atau enggak, karena kondisinya LPDP nggak bisa ngajuin tunda kuliah dengan alasan hamil, dan di UI juga nggak boleh ambil cuti untuk mahasiswa semester 1. Sempat coba ngomong sama kaprodi siapa tau ada keringanan buat ibu hamil ini semisal ada kondisi urgent nantinya, eh keluar mala basah air mata, tidak membantu dan tak ada solusi.Yap mungkin itu memang konsekuensinya. Aku dikuatkan oleh pak suami, kita jalani dan usahakan dengan maksimal. Aku selalu berdoa untuk kelancaran persalinan dan semoga bisa melahirkan secara normal. Kalo secara peraturan aku cuman punya waktu pemulihan sekitar 2 minggu, memanfaatkan 20% jatah ketidakhadiran. Aku juga sounding ke si bayi biar lahiran pas weekend biar lebih panjang waktu untuk pemulihannya. 
Karena harus memulai kuliah, aku dan pak suami akhirnya pindah ke Depok akhir bulan Juli. Udah nggak peduli sama mitos kalo orang hamil nggak boleh pindah rumah. Alhamdulillah proses pindahannya lancar. Bersyukur sekali dapat tempat kontrakan yang luas, nyaman, dan lingkungannya luar biasa hangat. Pemilik kontrakan juga nggak kalah baiknya, kami diberikan banyak kemudahan. Alhamdulillah.
Perkuliahan dimulai tidak terlalu berat. Fisikku sudah cukup kuat, bahkan aku rajin jalan dari Farmasi ke Stasiun Pondok Cina, sekalian nemenin temen dan olah raga buat nyiapin kelahiran. Banyak usaha aku lakukan supaya bisa lahiran normal, yoga hamil, rutin konsumsi kurma (katanya biar kuat nanti ngeden pas melahirkan. hehe), makan manis-manis (karena sampai usia memasuki 34 minggu berat janinnya masih kurang). Semua usaha dimaksimalkan demi melahirkan normal. Nggak ngebayangin kalo harus sesar, butuh waktu pemulihan lebih lama, dan otomatis kuliah nggak bisa dilanjut. Selain itu ngeliat biaya lahiran sesar di Depok, mahal! meskipun mungkin bisa di cover BPJS. 
Sempat ada pemikiran apakah aku terlalu egois dan memaksakan diri. Tapi secepatnya pikiran itu harus ku buang jauh-jauh. Kesibukan kuliah membuat waktu berlalu cepat. Sampai akhirnya tak terasa pembukaan pertama.
(Bersambung…)
1 note · View note
bannanmufida · 2 years
Text
 Tahun 2021: Recapt!
Nggak Usah Dipikir, Dilakoni Ae!
Sebuah frasa singkat dalam bahasa jawa yang artinya; tidak perlu dipikir, dijalani saja. Tahun 2021 adalah tahun dimana aku berulang kali mengatakan frasa ini dalam hati dan menanamkan dalam pikiran. Bagiku tahun ini adalah tahun perjuangan yang lebih berat dari tahun-tahun sebelumnya. 
Di akhir tahun 2020, Allah berikan amanah padaku kehamilan anak kedua. Sebulan setelah aku mengetahui bahwa aku sedang hamil, tepatnya pada awal bulan November, kami mendapatkan berita sekaligus tawaran pekerjaan untuk suamiku. Sebuah perusahaan tepung di Nigeria, Afrika. Kami hanya punya waktu satu minggu untuk memutuskan. Menerima atau menolak tawaran itu. Aku jelas galau, sedih dan senang menjadi satu tak terpisahkan. 
Setelah sekian lama, suamiku mencari pekerjaan yang baik dan sesuai bidangnya, akhirnya Allah jawab dan berikan sebuah kesempatan. Namun, membayangkan bagaimana harus kembali LDM (Long Distance Marriage)  dalam kondisi hamil, belum lagi aku harus menyelesaikan studi magister di UI, jadi pasti belum bisa ikut membersamainya. Setelah diskusi dengan berbagai pertimbangan, akhirnya tawaran itu kami terima dengan segala konsekuensi yang ada.
Kami bersiap. Suamiku mempersiapkan dokumen untuk keberangkatan serta melaksanakan beberapa training sebagai bekal bekerja di sana. Aku, menyiapkan mental. Aku harus memikirkan bagaimana menyelesaikan studiku tepat waktu, melahirkan dengan aman, dan mencari orang yang akan menemaniku dan anak pertamaku di Depok. Saat itu aku juga terancam harus berpisah dengan anak sulungku, jika tak ada yang bisa menjaganya ketika aku pergi ke kampus. 
Semua persiapan keberangkatan telah selesai. Sore itu 29 Desember 2020, di Bandara Soekarno Hatta kami melepasnya pergi dengan segudang doa dan harapan. Semoga  keputusan ini tepat, membuat kami memaknai perjuangan yang dapat menjadikan kami pribadi dan keluarga yang lebih baik. Kami tahu ini akan berat, namun keputusan sudah ditetapkan, tak ada yang bisa dilakukan selain menjalankannya.
Singkatnya, aku menemukan orang yang bisa menemaniku dan anakku di Depok, saudara dari teman kantor lamaku. Hal yang paling aku syukuri saat itu. Aku juga memutuskan untuk mengambil cuti 1 semester, untuk mempersiapkan kelahiran. Karena tak mungkin memaksakan untuk melahirkan di Depok tanpa suamiku. 
Perjuangan berat itu pun dimulai, entah seberapa banyak air mata yang telah tumpah sepanjang kami menjalani tahun ini. Suamiku yang harus berjuang sembuh dari covid kemudian malaria sendiri, adaptasi yang harus dilakukan dengan cepat, serta beban kerja yang berat karena ia memulai sebuah sistem di pabrik baru. Aku di sini ditemani si kecil Maryam yang terus bertumbuh dengan amat luar biasa, berusaha menyelesaikan pekerjaan di laboratorium sebelum pulang untuk melahirkan, menjalani proses melahirkan tanpa didampingi suami tercinta, dan melanjutkan penelitian agar bisa selesai tepat waktu. Semua itu nyatanya bisa kami lalui, Alhamdulillah.
Meskipun demikian tetap banyak hal yang patut kami syukuri. Alhamdulillah Allah berikan kembali kesehatan pada suamiku. Allah berikan kelancaran pada segala urusannya di sana.  Allah berikan berbagai kemudahan untuk proses penelitianku. Aku dapat melahirkan dengan normal, dan anakku sehat. Kami dikelilingi orang-orang baik, yang memberikan support penuh, terutama keluarga besar, yang selalu siap untuk direpotin. Aku juga bersyukur dengan adanya teknologi, yang membuat kami bisa berusaha tetap dekat, meski perbedaan waktu dan jarak membentang.
Saat diingat kembali, perjalanan tahun 2021 menjadi sekelumit kisah perjuangan kami. Sebuah masa yang mendewasakan dan memberikan banyak pembelajaran. Terutama, bagaimana aku belajar untuk mengurangi kekhawatiran yang tak perlu, sehingga bisa mengurangi beban pikiran. Menjalani kehidupan dengan ikhtiar dan tawakal kepada Allah. Menikmati setiap masa-masanya. 
Untuk semua yang sedang berjuang saat ini, Jalani saja, dan percaya pada-Nya.
3 notes · View notes
bannanmufida · 2 years
Text
Nasihat Pernikahan dalam Perjalanan
Masih sangat melekat di ingatanku, saat itu perjalanan ku pulang dari kota rantauan. Dua minggu menuju pernikahan. Sembari roda kereta berputar dan kebisingan mesinnya menghiasi perjalanan panjang itu. Aku bertemu dengan seorang bapak, usianya mungkin lebih dari 40 tahun. kami awalnya bertegur sapa, menanyakan dari mana dan hendak ke mana. Lalu perbincangan berlanjut hampir setengah perjalanan, sampai kami dipisahkan oleh kota tujuan.
Samar-samar aku mengingat, bagaimana pembicaraan itu berawal, sampai akhirnya pernikahan menjadi topik yang hangat. Belajar dari beliau yang sudah lebih dahulu merasakan berumah tangga, ada satu hal penting yang akan selalu ku ingat. Pengalaman memang guru yang terbaik, tapi tak harus kita alami sendiri, maka belajar dari pengalaman orang lain adalah hal terbaik untuk menghindari kesalahan yang sama. 
“Kami nyaris bercerai, dek.” ucapnya kala itu memulai ceritanya. Sejak awal menikah beliau dan istrinya harus tinggal bersama keluarga besar istrinya karena beberapa pertimbangan terutama ekonomi. Namun, sepanjang hidup bersama, beliau merasa tak pernah dihargai oleh keluarga istrinya, dituntut ini itu oleh ibu mertuanya bahkan saudara-saudara istrinya. Setiap keputusan yang hendak beliau ambil selalu diinterupsi sehingga jelas tak bisa merdeka. Sampai akhirnya beliau sadar bahwa kehidupan rumah tangganya berada di ujung tanduk, jika terus seperti itu. Sampai suatu ketika terjadi sebuah perselisihan antara beliau dan ibu mertuanya, sampai akhirnya mertuanya itu meminta beliau menceraikan anaknya. Di saat itu justru beliau membuat sebuah keputusan keluar dari rumah ibu mertuanya, dan membujuk istrinya agar mau ikut. Setelah komunikasi yang panjang dan tidak mudah bagi beliau maupun istrinya, akhirnya mereka memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah petak kecil dan hidup sederhana. Berat pasti, untuk semuanya. Bapak itu, istrinya, maupun ibu mertuanya. Tapi badai itu akhirnya berlalu, dan rumah tangga sang bapak masih utuh hingga saat itu beliau menceritakan pengalamannya kepadaku.
Dari cerita beliau aku mengambil banyak pelajaran banyak hal, terutama menjalani sebuah rumah tangga yang merdeka dengan bijaksana. Tak ada posisi yang paling salah atau paling benar, semua punya porsinya masing-masing, maka saling menyalahkan bukanlah jalan untuk membebaskan diri dari masalah, mencari solusi adalah jalan untuk penyelesaian. 
Rumah tangga adalah kehidupan, berharap bebas dari masalah adalah kemustahilan. Sabar adalah benteng baling awal dan akhir dalam menjalaninya. Saat masalah itu datang dari arah yang tak terduga, sabar untuk tidak bercerita pada sembarangan orang adalah langkah awal menyelesaikannya. Memilih orang yang tepat untuk berbagi cerita, jelas bagiku itu bukan orang tua (ada beberapa pertimbangannya). Bukan juga di sosial media, tak dapat solusi justru tanggapan julid netizen akan semakin memperkeruh suasana. Aku pribadi lebih memilih untuk mencari bantuan seorang profesional, misalnya psikolog atau konselor pernikahan yang dapat memberikan pandangan secara objektif, lebih baik lagi jika dapat menghasilkan solusi.
Satu lagi, orang tua sampai kapanpun akan begitu, khawatir. Khawatir jika anak-anaknya sakit. Khawatir jika anak-anaknya tak bahagia, Khawatir jika anak-anaknya hidup susah, dan banyak kekhawatiran lainnya yang sudah ada sejak kita kecil. Kekhawatiran yang menjadi salah satu bentuk dari kasih sayang. Maka jangan salahkan kekhawatiran mereka itu.
Masih banyak orang tua yang sulit untuk mengontrol kekhawatirannya itu, sehingga tercermin dalam sikap yang berlebihan. Meskipun sering merasa kesal, setelah memiliki anak aku perlahan mulai memahaminya. Maka salah satu cara untuk menjaganya adalah meredam kekhawatiran itu dengan menunjukkan bahwa kita baik-baik saja, kita bahagia, dan kita bisa melewati ini semua. 
Kebanyakan masalah timbul dari proses komunikasi yang tak baik, tidak lancar, terputus, informasi yang tak utuh, atau mungkin tak dapat menyampaikan dengan cara yang baik. Butuh proses untuk belajar berkomunikasi dengan pasangan kita, saling memahami, dan terus mencoba saling mengenal sepanjang masa. Semangat bertumbuh bersama pasangan kita tercinta :)
1 note · View note
bannanmufida · 2 years
Text
Kenangan itu dirawat, luka itu disembuhkan. Jangan kebalik!
0 notes
bannanmufida · 2 years
Text
Kenangan
(Noun. n) Sesuatu yang tak pernah berubah, ditengah berubah yang terjadi pada manusia dan sekelilingnya.
0 notes
bannanmufida · 2 years
Text
Yang Ada Dipikiranku saat Memutuskan Menikah
Bagi beberapa orang perjalanan menuju pernikahan memiliki arti tersendiri, begitu pula untukku. Jika mengingat kembali masa-masa 3 tahun lalu sebelum memutuskan untuk menikah dan menerima lamaran seseorang, yang sebut saja saat ini Pak Ridwan. Pikiranku bergejolak, hatiku kerap kali merasakan kegalauan tak menentu, membayangkan kehidupan pasca pernikahan nantinya.
Aku paham benar menikah adalah suatu fase yang harus dilewati dan tidak bisa dihindari, aku pun juga menginginkannya pada saat yang tepat. Kapan itu? aku pun tidak mengetahuinya secara pasti. Saat sebuah tawaran untuk proses ta’aruf datang, aku baru memikirkan segala hal tentang pernikahan dengan lebih serius. Yap aku adalah segolongan orang yang menganut pacaran setelah menikah. Sebagai konsekuensinya, aku tak memiliki banyak waktu untuk saling mengenal dan kebebasan berinteraksi dengan calonku itu sebelum menikah, hal ini aku yakini untuk kebaikanku dan keluargaku kelak.
Lantas dalam waktu proses yang cukup singkat itu, melalui beberapa lembar proposal pernikahan, dua minggu proses pemantapan hati yang penuh dengan doa-doa mohon petunjuk pada Allah, satu kali tatap muka untuk proses klarifikasi, dan akhirnya proses khitbah yang kemudian tiga bulan berselang pernikahan dilangsungkan. Sebuah perjalanan yang bukan terlewat begitu saja. Aku berkali-kali bertanya pada diriku, siapkah aku menjalani sebuah kehidupan pernikahan dengan segala konsekuensinya? Banyak berita berseliweran, yang baik maupun buruk tentang pernikahan, semua itu ku terima. Keyakinan bahwa memang tak ada kehidupan yang tanpa cobaan, begitu pula fase kehidupan pernikahan, maka apapun itu ku jadikan pelajaran. Dalam proses memantapkan hati, aku memikirkan banyak hal. Sangat randoms, sampai kadang susah tidur. Kala itu yang aku pikirkan saat memutuskan menikah adalah;
Tak ada manusia yang sempurna, aku dipenuhi banyak kekurangan begitu pula calon suamiku. maka aku sadar tak ada gunanya mencari orang yang sempurna. 
Menikah adalah salah satu fase kehidupan. Selayaknya hidup punya pasang naik dan surutnya, ada bahagia dan sedih pada masa-masanya. Maka mari kita nikmati bersama.
Aku meyakini, tak ada masalah yang tak ada obatnya, seperti Allah menjanjikan tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Tinggal bagaimana kita berusaha mencarinya
Menikah adalah ibadah. Butuh diawali dengan baik, dimulai dari niat untuk mencari ridho Allah dan restu kedua orang tua. Dan kemudian aku menyadari, menjaga niat itu sama sulitnya dengan menjaga pernikahan itu sendiri.
Aku yang sudah merasa dewasa, berhak punya pilihan sendiri dan juga menerima semua konsekuensi yang ada dibelakang pilihan tersebut, dalam hal ini memutuskan dengan siapa aku menikah pasti punya konsekuensi dibelakangnya, mungkin tak tampak di awal tapi aku meyakini pasti ada.
Segala hal perlu dipersiapkan, meski benar-benar siap rasanya tak pernah ada. Begitu pula pernikahan ini, aku mempersiapkannya, tapi aku merasa tak pernah benar-benar siap.
Cara terbaik untuk bersyukur adalah tidak membandingkan diri kita dengan orang lain dalam segala aspek. APAPUN.
Manusia itu berproses dan berubah. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, lala (eh malah nyanyi. hehe). 
Dan setelah aku tanamkan keyakinan-keyakinan itu, I said yes dengan mengucapkan Basmalah :)
1 note · View note
bannanmufida · 3 years
Text
Menulis untuk Diri Sendiri
Kembali lagi setelah sekian lama, membersihkan debu-debu tebal yang menyesakkan. Mari menjalani hari-hari dengan penuh kesadaran dan pemaknaan. Agar hidup tak terlewat begitu saja.
Aku suka menulis sejak lama, dalam sunyi dan kesendirian. Menulis bagiku memiliki banyak arti, untuk menumpahkan emosi, mengabadikan kenangan dan perjuangan, menyembuhkan luka, menjadi wadah perang antara pikiran dan ego, hingga sebagai sarana penyembuhan atau anak sekarang bilangnya healing. Banyak hal yang terjadi setiap harinya, sayang jika terlewat begitu saja. Tuliskanlah maka itu akan abadi.
Namun, sejujurnya selama ini aku masih takut untuk mempublikasikan tulisan-tulisanku, hingga mereka hanya tersimpan dalam draft, yang entah kapan akan dipublikasikan. Banyak alasannya, takut tulisannya jelek, takut tulisannya tidak bermanfaat, takut dari tulisan-tulisanku orang lain mampu membaca karakter dan pemikiranku (padahal siapa yang peduli, haha), dan banyak ketakutan lainnya. Memang dasar manusia overthinking.
Semakin kesini aku menyadari, ketakutan-ketakutan itu tak memiliki dasar yang jelas, apalagi setelah menetapkan hati dan mengokohkan niat, aku ingin menulis untuk diriku sendiri, bukan untuk pengakuan atau ketenaran. Jika orang lain menikmatinya juga, itu adalah bonus. It’s my first step to make strong why. Mengabadikan setiap momen untuk dikenang, menuangkan setiap ide dan pemikiran. Berusaha konsisten tanpa pengaruh di luar diri ini, apalagi hal-hal yang di luar kendali.
Semoga ini menjadi titik awal untuk lebih banyak menulis dan berkarya. Semangaat!
0 notes
bannanmufida · 7 years
Photo
Tumblr media
MOHON DOA RESTU Assalamualaikum wr wb Bismillah hirrahman nirrahim Sedulur sekalian izinkan saya pada kesempatan kali ini memohon izin dan kesediaan sedulur sekalian untuk membantu saya mewujudkan salah satu mimpi saya, yaitu menjadi seorang penulis, dengan restu dan doa. Lantas, penulis seperti apa? Penulis yang senantiasa berusaha mengabadikan setiap kebaikan agar tak menghilang dari peradaban. Karena kata eyang Pramoedya Ananta Toer, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian" Barangkali saya hanya 1 diantara sekian ribu orang yang bermimpi menjadi penulis. Sang pemimpi yang sedang berusaha untuk mewujudkan mimpi dengan menempuh sebuah jalan. Bergabung dalam kelas @mentoring.menulis.online batch 24 yang diadakan oleh @inspiratoracd dan dimentori langsung oleh mas @briliagung Semoga Allah SWT memudahkan dalam lingkaran kebaikan ini melahirkan karya-karya untuk mengabadikan kebaikan. Aamiinn Jombang, 21 Desember 2017 Sebuah resolusi untuk menyongsong 2018 Selamat membumikan karya dan melangitkan amal 💪 bannanmufida #writing #pray #goodthings #dream #resolusi2018 #book #love #human
0 notes
bannanmufida · 7 years
Photo
Tumblr media
[Samudra memang terlalu luas untuk diarungi sendiri]
0 notes
bannanmufida · 7 years
Text
Merindu barisan-barisan syair yang tak terungkap Walau banyak terlupa termakan usia Ada yang masih disana bertahan menunggu tanpa bertanya Hanya berbekal keyakinan yang dibangunnya sendirian
Saat dunia hingar bingar dengan banyaknya kepentingan Menyisih bukan sebuah kealahan Menyaksikan boneka-boneka itu bermain peran Hanya untuk menjaga diri dari keburukan
Jika kau bukan nahkoda yang baik, banyak yang rela menjadikanmu sebagai kapalnya Mungkin itu makna sekarang yang ku pahami Tinggal memilih dimana kita akan berdiri Atau angin mana yang akan kita ikuti
Batu, 23 Mei 2017
0 notes
bannanmufida · 8 years
Photo
Tumblr media
BARAKALLAH LAKA WA BARAKA 'ALAIKA WA JAMA'A BAINAKUMA FIL KHAIR  Selamat untuk mu saudariku, dan semangat menempuh hidup baru Lebih semangat untuk melakukan perbaikan diri dan berkontribusi, karena sekarang sudah ada yang menyemangati ✊ (padahal dari dulu kami ada pun untuk saling menyemangati, tapi jelas itu beda arti 😀😁) Selamat untuk naik tingkat, dan semangat membangun diri dan negeri dari dan menjadi keluarga robbani dan Qur'ani. Jangan pernah lelah karena ujian akan bertambah, tetap tabah dan raih kemuliaanNya Terimakasih untuk mengajarkan banyak hal, keteduhan, keteguhan, dan keberanian 🌹 Last but not least, doakan kami semua saudaramu yang masih "disini" 😊 Heran kenapa foto di nikahan @rafidatuddini ndak ada yg bener, dan menurut saya ini foto paling bener diantara yang lain. 😅😂😂 Alhamdulillah "semua" bisa tertawa dan tersenyum bahagia 😃
1 note · View note
bannanmufida · 8 years
Photo
Tumblr media
Terlalu banyak hal yang harus disyukuri, hingga membuatmu sering alpa berserah diri Begitu banyak yang telah diberi, hingga menganggap tak perlu lagi berterimakasih Hidup adalah berproses, untuk memahami dan mengilhami Jika tak bisa, mati saja Maka yang tersisa adalah raga tak berjiwa Berproses adalah sebuah keharusan Belajar menerima nyatanya lebih rumit dari yang dikira Yang ku pelajari, bahwa berproses yang terbaik adalah memulai dari hal sederhana menuju kerumitan, dari bawah ke atas, dari yang mudah naik semakin sulit. Bahwa setiap prosesnya menuntut kesabaran. Bahwa yang cepat tak selalu tepat dan yang lambat tak selalu tertinggal. Bahkan setelah sejauh ini melangkah, sering kali ku merasa harus kembali (lagi) Dan yang ku tau tentang manusia memiliki dua kebebasan pasti, untuk memilih jalan hidup dan menilai orang lain. Surabaya, 18.12.16 Dalam kegabutan masa tunggu.
1 note · View note
bannanmufida · 8 years
Text
Tentang 212
Jumat yang Lembut
Sedari dini hari kemarin (Jumat, 2 Desember 2016), mata ini mudah sekali melelehkan air mata. Tenggorokan tercekat, sesekali sesenggukan.
Entah mengapa hari itu, semenjak bangun tidur, hati saya yang kering ini seperti disentuh kembali oleh Allah. Kasih sayang Allah begitu saya rasakan sejak saya beranjak dari ranjang untuk mensucikan diri. Bahkan, entah bagaimana, saya menangis di kamar mandi karena tiba-tiba terlintas di kepala saya, “Nikmat-Nya yang manakah yang kan kau dustakan, bila kau bernafas dengan udara-Nya?”; sambil teringat akan kemaksiatan dan kelalaian yang saya lakukan terhadap Allah, astaghfirullahahl ‘adzhiim. Hari itu berbeda dari biasanya, sejak di kehidupan personal saya.
Saya tidak hadir bersama kaum muslimin lain yang melaksanakan aksi superdamai di Jakarta. Sedih rasanya, tapi saya berusaha mengobati perasaan dengan benar-benar menguatkan niat bahwa apa yang saya kerjakan hari itu adalah jihad dan amal shalih bagi saya–semoga Allah menerimanya.
Tidak Semua Bisa Memahami
Sembari mengerjakan amanah-amanah, ponsel saya men-streaming video dari kanal-kanal online yang menyiarkan langsung Aksi Bela Islam 3. Lagi-lagi, sekian menit sekali, mata ini membasah meski saya sudah berusaha menahannya. Agak malu kalau sampai rekan di sekitar menemukan saya berurai air mata sambil bekerja, mereka akan kebingungan–apalagi mereka yang tidak peduli dan tidak bisa memahami keajaiban aksi ini.
Ya, aksi Bela Islam ini memang sungguh ajaib. Begitu ajaib sehingga saya yakin orang-orang yang menjadi bagian darinya, baik yang hanya menyimak apalagi yang hadir langsung, tidak bisa menggambarkan seluruh experience-nya secara akurat dan menyeluruh lewat kata-kata. Experience itu begitu kuat, kompleks, dan terlalu indah.
Lihat saja bagaimana orang-orang belum juga kehabisan konten untuk dibahas. Bahkan konten yang sama masih dirayakan secara terus menerus. Tapi, seperti kata Aa Gym pasca-aksi 411, ini adalah persoalan hati. Hati yang belum sefrekuensi akan sulit memahaminya.
Keajaiban 212
Diantara limpahan informasi mengenai aksi 212, kemarin saya tak sengaja menemukan konten tentang demonstrasi besar di Korea Selatan. Massanya ada jutaan, namun tetap berlangsung dengan damai. Seseorang memuji demonstrasi tersebut, lalu membandingkannya dengan demonstrasi di Indonesia yang sepenafsiran saya memaksudkan Aksi Bela Islam. Katanya, kurang lebih, aksi di sana luar biasa damai, dan hebatnya itu dilakukan oleh orang-orang yang diverse–tidak seperti di sini, aksi yang besar namun berasal dalam kelompok yang sama.
Tentu siapapun bebas saja berpendapat. Hanya saja, menurut saya definisi “kelompok yang sama” atau “berbeda” itu sangat relatif. Warga Korea bisa disebut sebagai satu kelompok yang sama, jika kacamatanya adalah negara/bangsa/ras. Tetapi satu universitas, bahkan satu unit keluarga besar, bisa dilihat sebagai kelompok yang berbeda, jika kacamatanya adalah dimensi seperti mazhab pemikiran, afiliasi politik, dan lainnya.
Aksi Bela Islam, khususnya jilid 3, dalam kacamata saya sangat ajaib, jika dipandang dari dimensi yang lebih kompleks dari sekadar identitas agama (well, duh). Apalagi, jika kita terbiasa berinteraksi dengan berbagai gerakan Islam sehari-harinya, kita akan melihat bahwa persatuan ummat Islam adalah sesuatu yang sangat mahal harganya. Bahkan, saya sempat berpikir bahwa mungkin persatuan ummat Islam hanya akan terwujud lagi menjelang hari kiamat nanti, ketika Imam Mahdi muncul atau Nabi Isa diturunkan kembali ke bumi.
Tapi, kemarin itu sungguh ajaib. Jutaan orang, benar-benar jutaan (bukan hanya bualan penebar hoax, silakan hitung sendiri berdasaran ruas-ruas area dan jalan yang diisi oleh massa), berpadu dalam ketertiban, kesantunan, dan ketundukan kepada Tuhannya; dan mereka semua adalah ummat Islam!
Yang kemarin-kemarin saling menjelekkan, kemarin bertemu dan saling menebar senyum. Yang anti-politik, yang lewat politik, yang khilafah-is-everything, yang bid’ah-bid’ah, bahkan mungkin yang kofar-kafir terhadap sesama muslim, Allah damaikan hatinya dan Allah persatukan dalam shaff yang berbaris rapi, berkilo-kilo meter. Tidakkah Anda memahami juga bahwa ini adalah suatu keajaiban yang luar biasa? Tidakkah Anda memahami juga bahwa ini adalah karunia Allah yang nyata?
“dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.“
Al-Anfal, 63
Subhanallah, Allahu akbar.
Lebih Dari Soal Penistaan Agama
Awalnya, mendengar ada rencana aksi lanjutan pasca aksi 411, saya skeptis dan bertanya-tanya, “Mengapa masih perlu? Bukankah proses hukum sudah berjalan? Sebenarnya apa yang kita inginkan? Jangan-jangan memang ada agenda lain selain menuntut keadilan?”.
Tetapi setelah 212, saya mendapat dimensi pemahaman yang baru dan berbeda. Entah apa yang sebenarnya terjadi, entah apa yang sebenarnya diagendakan oleh para ulama di GNPF MUI, tetapi jika memang ada “agenda lain” yang direncanakan GNPF MUI, dan agenda lain itu adalah “persatuan ummat Islam”, maka Insya Allah saya akan ada dalam gulungan bola salju itu.
Bersatunya ummat Islam dan tegaknya keadilan jauh lebih mahal daripada menghukum seseorang yang jahat mulut, perilaku, dan kebijakannya. Jadi, jika ada pandangan, “Kenapa ummat Islam begitu besar reaksinya dan begitu panjang mempersoalkan Ahok?”, mungkin pandangan tersebut belum mampu melihat gambaran besarnya: ummat ini sedang mendapatkan momentum untuk bersatu.
Maka, kita maklumi saja jika yang memiliki pandangan tadi mengatakan, misalnya, bahwa jutaan ummat Islam kemarin seperti buih di lautan. Atau mengatakan bahwa aksi tersebut sia-sia, dan lebih baik dananya diberikan kepada yang membutuhkan (tentang ini, bagaimana jika ternyata mereka yang turun aksi juga rajin melakukan ide itu–bersedekah dan membantu yang membutuhkan? Problem? No?). Sebab, seperti gunung es, Ahok hanyalah persoalan yang bisa diobservasi di permukaan. Di bawah itu ada hal-hal yang lebih besar yang menopangnya, dan hanya bisa dimengerti jika kita meluaskan area observasinya.
Doa dan Harapan
“Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu”
Saya ingin berharap, namun di saat yang sama terlalu takut berharap, persatuan ummat Islam ini bisa terus terjaga, terbawa dalam kehidupan sehari-hari, dan semakin kuat dari waktu ke waktu. Saya mencintai situasi ini, namun khawatir bahwa landasan persatuan ini tidak seindah yang saya kira, yaitu keimanan kepada Allah.
Saya khawatir semua ini memang hanya karena Ahok dan mulutnya yang sembarangan, sebab preman yang tak pernah sholat pun bisa marah jika identitasnya (termasuk identitas agama) dihinakan. Bukan karena keimanan, sekadar emosi sesaat saja.
Tapi, mengingat surah Al-Anfal ayat 63 tadi membuat hati ini lebih lega dan lebih optimis dalam meminta kepada Allah. Tidak akan terjadi persatuan kemarin, jika bukan Allah yang merekayasa. Bukan karena Ahok kita semua terpanggil, tetapi karena Allah yang menyentuh hati kita.
Wahai Allah, ampuni kami yang hatinya kotor.
Yang gemar membenci dan mencari kesalahan.
Allah, kami menyaksikan dan merasakan indahnya ukkhuwwah Islamiyyah.
Sehingga kami bertanya-tanya, inikah yang dirasakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar saat pertama kali berjumpa?
Inikah yang dirasakan para mujahid di perang Tabuk yang mendahulukan air untuk saudaranya, hingga mereka semua syahid?
Inikah yang dirasakan para mujahid kemerdekaan Indonesia setiap melewati perkampungan, lalu masyarakat memberikan apa yang mereka miliki untuk kebutuhan dan perbekalan?
Wahai Allah, terima kasih atas segala nikmat ini. Terima kasih atas semua pelajaran ini. Segala puji bagi-Mu, ya Rabb.
Izinkan kami menggenggam nikmat pertalian hati ini lebih lama lagi ya Allah, hingga indahnya cahaya Islam menerangi seluruh pelosok dunia.
Izinkan kami menggenggam nikmat ukhuwwah Islamiyyah ini lebih lama lagi ya Allah, hingga keadilan tegak di seluruh penjuru bumi-Mu ya Rabb.
Ampunilah kami, jagalah kami, dan tambahkanlah nikmat ini kepada segenap muslimin yang hidup hari ini, maupun yang akan hidup di masa setelah kami.
Aamiin, kabulkanlah ya Allah.
487 notes · View notes
bannanmufida · 8 years
Quote
Sahabat sejati adalah yang menyebut-nyebut nama Allah di hadapanmu tuk mendzikirkan dan menyebut-nyebut namamu di hadapan Allah tuk mendoakan.
Ustadz Salim A. Fillah :)
234 notes · View notes
bannanmufida · 8 years
Photo
Tumblr media
Tersimpan rapi dalam setiap bingkai perjuangan Yang tersusun atas berlapis-lapis cinta Berbaris-baris bait doa, dan Berulang-ulang usaha Sebuah tahap yang bukan menjadi akhir, dan harus tetap mengisi cangkir untuk jadi seorang mahir. Mari berproses bersama, sampai tak ada kata sia-sia dalam diri kita Menebar kebaikan menumbuhkan harapan. Terimakasih untuk semua yang telah dan tetap menemaniku berproses hingga saat ini, aku menjadi seperti ini Aku tetap butuh kalian, doa, senyuman, dan harapan Mari berbagi kebahagiaan!!! 😊😊😊 #graduation #unej #success #done #happy #smile #sarjana #S.Farm #pharmacy
0 notes
bannanmufida · 8 years
Photo
Tumblr media
Aku hanya ingin terus berjalan, tak pernah henti penuh pengharapan Sejauh yang ku mampu, berpacu bersama waktu Hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang, hanya satu kesempatan yang diberikan, maka tak ada cela untuk ratapan, tak ada tempat untuk kemalasan. Bergerak atau tergantikan!! Kawah Ijen Bondowoso, 23 Juli 2016 #explorebondowoso #journey #treveler #tadaburalam (at Gunung Kawah Ijen)
0 notes