Tak perlu cemas krn lelah dan sulit memahami, asalkan tetap berjuang untuk terus belajar. Fakir Ilmu | mathteacher | ❤ math | ❤children & teenagers
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Dengan mengikhlaskan sesuatu.
Berarti bebas dan tuntas
Tak ada lagi rasa cemas
Pada akhirnya mengingatkan pada diri, mengharapkan pada makhluk, benda, atau apapun selainNya itu menyakiti diri.
Terbanglah, hempaskan segala beban. Fokuslah atas tujuan2 yg akan dicapai
4 notes
·
View notes
Text
“Semoga kita bukan termasuk ke dalam golongan orang orang yang menilai pencapaian dari sudut pandang popularitas. Seberapa banyak teman, seberapa banyak follower, seberapa banyak likers status, seberapa banyak dieluh eluhkan dan dipuja puji. Melainkan menilai pencapaian dari kualitas diri baik ibadah maupun pengetahuan, kebermanfaatan, kontribusi, dan karya. Sebab sedari dulu sudah sering kita dengar bahwa yang tak dikenal penduduk bumi, bisa jadi begitu dikenal penduduk langit :)”
— ©Alizeti
173 notes
·
View notes
Text
Sayangku, ulama terdahulu semakin berilmu semakin ia ingin menghindari ketenaran, popularitas. Ingin berduaan saja dengan ilmu, dengan kitab kitabnya. Ingin mengajari murid murid khusus saja yang memang serius belajar, yang pada murid muridnya itu mereka tenteram untuk mewariskan ilmunya.
Jadi bila hari ini kamu masih menulis agar dikenal orang. Tujuannya agar bukumu best seller, agar tulisanmu dilike, direspon, direblog banyak orang. Supaya subscribermu banyak, kelak bila memang rezeki pemahaman itu milikmu maka akan kamu dapati pemahaman bahwa 'tidaklah tulus kepada Allah, orang yang mencintai ketenaran' ah, itu bukan kataku itu kata ibrahim bin adham dalam hilyatul auliya.
Menulislah, berbicaralah, mengajaklah, belajarlah dalam kerangka ketulusanmu sebagai hamba yang memberikan terbaik pada Allah. Sebuah bentuk syukurmu karena telah menerima banyak kebaikan, sehingga kau ingin orang lain juga ikut mendapatkan kebaikannya. Berkaryalah, sebagai bentuk baktimu, sebagai bentuk kekagumanmu akan ilmu Allah yang begitu luas.
Sementara ketenaran yang datang, biarlah itu jadi sebentuk fasilitas yang Allah titipkan padamu agar kebermanfaatanmu dapat kamu sebarluaskan pada begitu banyak orang. Yang kelak kebaikannya akan kembali pula padamu.
Nabi dan rasul, para sahabat, dan para ulama adalah manusia manusia paling terkenal yang karya karyanya begitu berkah ribuan tahun telah berlalu kita masih mempelajarinya. Tapi mereka jelas, orang orang yang menghindari ketenaran. Namun cahaya jiwa mereka bak pelita, yang Allah pancarkan pada begitu banyak manusia :)
269 notes
·
View notes
Text
Pernah kan?
Pernah kan? di suatu ketika ngerasa. ga selamanya ekspresif itu baik. Ada yg perlu dipendam, pun ada yg perlu diutarakan. Dengan komunikasi yg baik tentunya.
Pernah kan? disuatu moment. Memilih diam dari percakapan percakapan.
Pernah kan? Dibeberapa pertanyaan memilih diam untuk tak menjawab apapun, karena memang pertanyaannya tidak ada jawaban :))
Pernah kan? Dibeberapa titik. Memilih mundur karena agar bisa maju berkali2 lipat. Walau yaa di luar sana lebih bersuara keras padahal si tokoh utama yg mundur aja diam :))
Pernah kan? :))
#ceritaperempuan#ceritawanita#muslimah#hijrah#menulis#cerita#isihati#quotes#tarbiyah#ceritaakhwat#akhwat
0 notes
Text

Ngeliat temen temen ngeshare soal UU cipta kerja, ikut panas dan pengen ngeshare status yang mencak mencak. Tapi ujung ujungnya ketik apus ketik apus akhirnya cuma sanggup mengetikkan ini di story IG. Karena sadar, mungkin diberi ujian punya para pemimpin yang seperti ini, juga karena dosa kita banyak sebagai rakyat, lalai ketika punya amanah untuk memilih, termakan branding, tak cermat menilai kepentingan di balik janji janji palsu, mudah termakan isu buzzer sehingga membenci yang baik membela mati matian yang buruk, abis itu kita rakyat di lepeh gitu aja dengan segala carut marutnya negara ini di tangan orang orang dzalim.
Jadi malah banyak banyak istighfar.. Semoga Allah memberikan kita kesabaran yang banyak. Semoga Allah melindungi rakyat yang terzalimi. Moga para pemimpin itu diberi hidayah. Ingin memintakan laknat, rasanya tak pantas karena kami pun masih bergelimang dosa cuma bentuknya aja yang berbeda.
Astaghfirullah..........
Astaghfirullah.........
162 notes
·
View notes
Text
Trauma di masa kecil
Pengalaman pertama tidak akan terlupa sampai kapanpun. Sangat membekas diingatan. Terlebih itu adalah hal hal menyangkut psikis dan menyakiti hatinya pada pikiran anak-anak mungil yg masih bersih.
Membekas penuh.. mungkin sudah takdir Allah bahwa mereka itulah orang-orang kuat yang ditakdirkan untuk menjadi hebat.
Kala bertemu dengan hal yg sama. Sulit rasanya melakukan hal hal di luar dugaan. Karena yg ada didalam pikiran "pasti ini akan seperti dulu". Wajar :)
Mungkin hanya butuh beberapa kondisi yang dapat menyembuhkan rasa trauma itu. Lagi lagi kembali pada.. "Ia tak akan pernah minta dilahirkan dari sosok orang tua seperti apa dan bagaimana.. Tapi kelak Ia dapat membentuk akan menjadi orang tua seperti apa"
0 notes
Text
Ada yg kuliah mati2an buat ngejar beasiswa
Ada yg kuliah mati2an dari jerih kerja sendiri bertahun2 setelah itu baru lanjut kuliah
Ada yg kuliah alhamdulillah dibiayain sama orang tua atau keluarga
Ada yg setelah lulus langsung kerja
Ada yg sebelum lulus alhamdulillah ga nyari2 tp kerjaan dtg sendiri
Ada yg sudah lulus bertahun2 belum juga dpt kerja
Ada yg lulus langsung nikah
Ada yg belum lulus tau2 dilamar
Ada yg lulus bertaun2 blm juga menikah
Ada yg lulus langsung lanjut s2
Ada yg belum lulus, tau2 dpt rekomendasi beasiswa.
Ada yg udh lulus bertahun2 memang ga lanjut krn fokus kerja
Ada yg udh kerja alhamdulillah nyaman dgn kerjaannya bahkan sampai naik jabatan hanya dlm sekejap
Ada yg sdh kerja tp terus menerus jd bawahan & ga naik2 jd pimpinan
Ada yg udh kerja tp ga nyaman gunta ganti tempat kerja sana sini krn mungkin memang bukan passionnya
Ada yg sdh menikah langsung diberi keturunan
Ada yg sudah menikah tp memang blm kunjung diberi keturunan
Ada yg sudah diberi keturunan alhamdulillah sehat
Ada juga yg sdh diberi keturunan tp Allah menguji kesabarannya melalui kesehatan ibu ataupun babynya
Ada yg setelah melahirkan qodarullah babynya diambil Sang Pemilik
Ada yg pasca melahirkan, syahid ibunya
Ada yg berkelurga bahagia krn harmonis keluarganya, tp diuji perekonomiannya
Ada yg perekonomiannya lapang, tp diuji dgn anaknya, anaknya baik tp org tuanya diuji, org tuanya baik tp mertuanya diuji, semuanya baik tp pasangannya yg diuji atau kesehatannya yg diuji.
Dari tulisan ini, mencoba hanya memastikan bahwa hidup ini penuh ujian. Baik berupa kenikmatan, maupun kesusahan.
Mulai sekarang, yuk berhenti membandingkan hidup kita dgn kehidupan orang lain. Dgn adanya sosial media mungkin kita terlalu terpukau dgn kenikmatan dunia. Jadi tetaplah utk bermawas diri :)
Hidup kita saat ini mungkin baik-baik saja. Bisa menjadi tidak baik-baik saja krn adanya penilaian orang lain. Dan nelangsanya, kadang kita tak menghiraukan :)
Smg Allah lapangkan semua hati kita agar tetap dalam ketaatan dan kesabaran :)
0 notes
Text
Jika saat ini kamu berada di ambang keraguan, coba tanyakan pada hati kecilmu. Untuk apa semua itu? Untuk kebaikan diri sendiri kah? Atau hanya untuk pencapaian rating dari orang lain :)
Pastikan bahwa hati kecilmu bicara. Titik kebaikan ada disana. Jika kamu ragu ataupun cemas. Sungguh itu rayuan syeitan belaka dan tentu kita memahami bahwa manusia beriman wajib menjadikannya sbg musuh terbesar dalam kehidupan nyata.
Perlu kebijakan diri yg bisa didapat dari nutrisi pemahaman kita dengan belajar & menjadikannya sbg kebutuhan. Supaya kita bisa memilah milah mana yg baik & mana yg buruk. Atau.. Mana yg terbaik dari yg baik. Yap butuh kebijakan memang :)
Jika masih ragu. Lagi lagi kembali pada keputusan terbaik, kl boleh.. mungkin ini bisa jadi referensi utk nutrisimu:
"Kehati-hatian itu datangnya dari Allah. Sedangkan tergesa-gesa itu datangnya dari syeitan" HR. Abu Ya'la
Smg senantiasa kita selalu diberikan kesempatan belajar guna menyemai pemahaman yg baik pada diri kita.
Wallahu'alam bishowab
Birusunflower
#menulis#catatan#writing#inspirasi#muslimah#muslimahquotes#islamicquotes#islam#islamituindah#islampost#muslim#generasimilenial#generasitarbiyah#generasiqurani#generasimuda#tarbiyah#hijabmuslim#hijablove#hijabfashion#hijrah#hijrahstory#jadilebihbaik#bebetter#bebenahdiri#akhwat#akhlakmulia
2 notes
·
View notes
Text
Takkan memberi hati
Bagi perempuan yg perasaannya lebih mendominasi, rasa2nya mustahil jika ia tak mudah untuk mencintai.
Bagi perempuan yg lembut hatinya, tak elok spertinya ia tuk mudah berprasangka pada siapapun yg kelak dikehendaki
Bagi perempuan, menjaga hati dan perasaanya di era ini mungkin menjadi benteng ketahanan diri.
Bagi perempuan, memberikan hati pada sang pemilik hati kan berbuah ketenangan yang haqiqi
Bagi perempuan, sudah wajib menggantungkan diri pada ilahi
Bagi perempuan, tak melulu soal siapa yg kelak mengisi hati. Tapi ada ilmu yg dapat mengisi hari-hari jauh lebih membuat kepuasan diri
Bagi perempuan, mudah lelah hati dan terkadang 'sensi' mungkin karena belum tepat tuk memperbaiki.
Bagi perempuan, jika boleh memilih. Ia takkan memberi hatinya kepada siapapun. Cukup gantungkan diri pada Ilahi. Allah pasti kan mengasihi dan merahmati :)
Birusunflower
4 notes
·
View notes
Text
Semakin..
Semakin dewasanya pemikiran. Semakin bertambahnya ilmu dan usia. Semakin tersadar bahwa, diri ini memang bodoh. Semakin tak punya apa apa. Dan merasa memang bukan siapa siapa.
Wajar halnya lubuk hati paling dalam ada setitik insecure dalam diri. Wajar halnya jika memang terkadang jenuh dengan diri. Tapi, bukan berarti menutup diri dari kondisi saat ini.
Belajar, semakin banyak belajar kita akan sadar apapun segala kekurangan diri. Cukup kita yg paham apa bentuk aib diri sendiri.
Semoga saja..
Semoga dgn belajar kita dapat membenahi retak dan lubang lubang yg selama ini ikut menggerogoti diri. Selamat berjuang untukmu pembelajar :)
Birusunflower
#selfreminder#life#tulisan#quotes#muslim#muslimahquotes#muslimah#tarbiyah#generasimilenial#generasiqurani#generasimuda#generasitarbiyah#syukur#jadilebihbaik#bebetter#bebenahdiri#rahasiaperempuan#hijrah#hijabmuslim#hijablove
2 notes
·
View notes
Text
Pelajaran Mengupas Salak
Tulisan Bapak Abul Muamar ini, bagi saya bagus bangat. Beneran. Maa syaa Allaah. Betapa dari kemampuan mengupas salak dan rambutan misalnya, dapat memberikan pengajaran parenting yang luar biasa berdampaknya bagi kehidupan si anak. Mulai dari menumbuhkan rasa ingin tahu sampai kemampuan untuk bertahan hidup. Huwaa.
Tulisan di bawah ini, saya salin dari halaman Sahabat Gorga.
Sudah sejak ribuan tahun yang lalu kita meninggalkan pola dan cara-cara hidup purba. Kita tak lagi nomaden, tidak lagi berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain menuruti cuaca dan ketersediaan makanan. Kita, pendeknya, telah lama tak lagi menjadi manusia pemburu-pengumpul.
Perlahan namun pasti, kita juga tak lagi sibuk mendomestikasikan hewan dan tumbuhan—bahan baku makanan kita—karena semuanya bisa kita dapatkan hanya dengan menyentuh layar telepon pintar dari kamar sambil tidur-tiduran. Pertanian dan peternakan memang tetap ada dan akan terus ada, namun mereka tinggal sebagai komoditas dan bukannya metode bertahan hidup, dan sejak saat itu pulalah politik dagang lahir.
Bagaimana mungkin mempertahankan kepurbaan itu sementara apa-apa yang lebih modern, seperti menulis keterangan di karcis, menenun pakaian, atau mengantarkan surat ke kantor pos, pun sudah kita tinggalkan?
Kita telah melesat jauh meninggalkan pola dan cara-cara kuno itu, untuk kemudian menahbiskan diri sebagai homo sapiens “yang lebih beradab”. Dengan kemampuan berimajinasi yang tak dipunyai makhluk hidup lain, kita menciptakan sistem-sistem, norma-moral, keyakinan-keyakinan, adat-istiadat, teknologi, dan pelbagai alat lainnya dengan maksud memudahkan hidup kita.
Dengan itu semua kita kemudian membangun bermacam-macam institusi, termasuk di antaranya sekolah, dengan model dan perangkat pembelajaran yang diandaikan paling ideal untuk diaplikasikan di atas bumi ini. Berbagai macam ilmu pengetahuan kita pelajari di sana.
Kita bisa tahu tentang jarak bumi ke bulan, tentang penemuan mesin uap, tentang zat kimiawi yang bisa mengubah racun menjadi obat, tentang sosok-sosok heroik di masa lalu, tentang ribuan kosakata dan tata bahasa asing yang dibakukan sebagai bahasa internasional, dan banyak lagi. Ringkasnya, ada banyak hal yang jauh dari jangkauan kita yang bisa kita ketahui berkat sekolah.
Tetapi, dalam gegas menuju apa yang kita anggap sebagai kemajuan itu, kita kerap tak menyadari bahwa sesungguhnya kita selamanya akan tetap “purba”: makan, kawin, beranak-pinak, dan saling bersaing untuk bertahan hidup—untuk tidak menyebut saling membunuh. Dalam “kepurbaan” yang inheren itu kita semakin kehilangan modal penting yang semestinya kita miliki–yang dalam kaitannya dengan pendidikan yakni kemampuan dan pengetahuan tentang alam, terutama apa-apa yang berada di sekeliling kita–untuk “bertahan hidup”.
Ya, kata kuncinya adalah bertahan hidup. Dalam kemodernan (beserta segala kecanggihannya) maupun dalam kepurbaan, tujuan kita belajar intinya adalah demi bertahan hidup, demi persaingan, demi prinsip survival of the fittest. Namun justru, dalam konteks bertahan hidup itu saya kira kemodernan dan kepurbaan adalah dua hal yang–semestinya–tak terpisahkan.
Di bawah kondisi tak sadar tadi kita melupakan—nyaris sama sekali—cara berburu dan cara membuat api dengan bantuan sinar matahari, misalnya. Di saat yang sama, sebagian besar kita memandang orang-orang yang masih menjalankan pola-pola hidup purba itu dengan tatapan merendahkan, menganggapnya aneh atau—paling banter—unik dan lucu.
Saya kira sistem pendidikan, setidaknya yang diterapkan di Indonesia, tidak jauh-jauh dari ketaksadaran semacam itu. Dari situ kita bisa paham, mengapa anak-anak kita, bahkan juga teman-teman kita yang kini sudah bergelar sarjana, tidak mengenal tumbuhan dan hewan-hewan yang ada di sekitar lingkungan tempat mereka tinggal. Setiap hari mereka memapasi tumbuhan dan hewan-hewan itu tanpa merasa perlu mengetahuinya, karena semuanya memang tidak pernah dianggap sebagai pelajaran oleh sistem pendidikan yang ada.
Suatu hari, seorang keponakan saya yang duduk di bangku kelas IV SD, meminta pertolongan saya untuk mengupaskan rambutannya. Dari ibunya saya tahu bahwa keponakan saya itu tidak tahu cara mengupas rambutan. Bagi saya itu sungguh celaka. Sama celakanya dengan seorang perempuan bersuami yang tak pandai mengupas salak (benar atau tidaknya dia tak pandai mengupas salak tidak penting. Untuk apa yang hendak saya sampaikan dalam tulisan ini, anggaplah dia memang benar-benar tak bisa mengupas salak.)
Saya membayangkan, seandainya orang macam ini dicampakkan ke hutan bersama beberapa orang lain yang fasih soal tumbuh-tumbuhan, saya pikir dialah yang lebih dulu akan mati (tentu perkiraan ini bisa meleset oleh sebab faktor-faktor lain, dan karenanya pengandaian ini hanya bersifat olok-olok).
Mengaitkan fenomena orang yang tak pandai mengupas salak dengan sistem pendidikan yang tak beres barangkali terdengar tidak nyambung. Namun dalam pikiran saya, keduanya berkelindan sebagai bagian dari hukum sebab-akibat. Karena sekolah tempat orang itu menimba ilmu tak pernah mengajarkannya cara mengupas salak (sebab), maka dia menjadi tak pandai mengupas salak (akibat). Menyalahkan orang tua dan gaya hidup yang bersangkutan? Oh, itu hal lain dan tentu bisa dibahas di tempat lain.
Apakah hal seperti ini ditanggapi secara serius? Sayangnya, tidak. Orang-orang hanya tahu menertawakan, mengejek, atau mengumpat, tanpa merenungkan mengapa hal demikian bisa terjadi. Pembuat kebijakan sekalipun juga tidak.
Tak pandai mengupas salak, tak tahu cara membelah durian, tak tahu kalau ciplukan yang banyak tumbuh di sawah itu enak rasanya, tak tahu kalau buah yang kulitnya bercangkang seperti telur yang merambat di semak-semak itu bernama gambutan dan rasanya manis seperti markisa, atau tak tahu cara membedakan jenis-jenis mangga yang tumbuh di sekitar lingkungan tempat tinggal, pada dasarnya adalah senapas.
Hal-hal “tak penting” ini hendaknya tidak ditanggapi sebagai sekadar soal pengetahuan tentang buah-buahan atau tumbuhan belaka. Jangan. Ini adalah tentang bagaimana kita, utamanya anak-anak kita, belajar mengenal hal-hal yang dekat dengan keseharian kita. Tahu cara mengupas buah hanyalah satu hal, dan itu bisa menjadi “pintu masuk ingin tahu” bagi anak kita untuk memperoleh pengetahuan yang lebih kaya. Lewat “pintu masuk ingin tahu” itu anak kita akan belajar tentang bagaimana menikmati buah-buah tersebut, mengenali ciri-cirinya, mempelajari aromanya, membedakan kualitasnya yang baik dan yang buruk, dan belajar merasakan sensasi memakannya.
Berikutnya mereka akan (mencari) tahu bagaimana cara perkembangbiakannya, pola berbuahnya, hubungan antara satu tumbuhan dengan tumbuhan lain, memeriksa kemiripan dan perbedaannya, sebelum kemudian mempelajari anatomi biologisnya. Prinsip pembelajaran seperti ini, saya ragu bakal diadakan di sekolah-sekolah. Sebab di sekolah, yang lebih penting adalah tahu dan hafal tentang kingdom, filum, kelas, dan nama latin buah-buahan, ketimbang tahu, misalnya, membedakan mangga arum manis dan lokmai yang tumbuh di pekarangan rumah sendiri.
Seorang menteri pendidikan dengan otak bisnis yang gilang-gemilang mungkin tak akan menganggap hal ini sebagai persoalan yang perlu dievaluasi secara serius. Kalaupun kemudian dia merasa harus bertindak, yang dilakukannya barangkali adalah menyediakan layanan jasa berbasis aplikasi dengan nama ‘Go-Kupas Buah’, dan orang-orang akan menyambutnya dengan gegap-gempita dan menjadikannya tolok ukur pencapaian intelektualitas.
362 notes
·
View notes
Text
Doa-doa di Ujung Langit
Sejak awal tahun, atau bahkan lebih lama lagi, apakah kamu punya doa-doa yg terus kamu rapal setiap hari? Yup, setiap hari! Seperti kaset rusak, doa-doa itu selalu berisi pinta yg sama setiap harinya. Itu-itu lagi! Bosan dan malu tersebab terus meminta memang pernah datang, tapi keduanya kalah dgn kebutuhan jiwa utk terus meminta kepada-Nya. Alhamdulillah, Rabb kita tak seperti manusia, yg akan geram jika terus mendengar kalimat yg sama, dari orang yg sama, di sepanjang waktu yg berbeda-beda.
Setiap ada kesempatan baik, kita selalu mengulang doa yg sama: saat berpuasa, saat bersujud di rakaat terakhir, saat hujan turun, saat sepertiga malam, saat safar, dst. Seraya berdoa, tak lupa kita pun menggenapkannya dgn upaya, bukan utk mendikte hasil akhir, namun agar sekecil apapun upaya dapat menjadi sesuatu yg bernilai di hadapan-Nya.
Bukan tak lelah, berkali-kali kita gagal hingga rasanya ingin berhenti saja, termasuk berhenti merapal doa-doa yg sama: menghentikan kaset rusak berputar dari putarannya. Tapi, ada sesuatu yg selalu menggagalkan pemberhentian itu, yaitu sikap percaya bahwa jawaban doa selalu iya: iya boleh, iya nanti, atau iya tapi yg lebih baik. Maka, kita pun berdoa lagi, doa yg sama.
Bukan mudah, berkali-kali kita pun kehilangan kata-kata. Kalimat-kalimat yg sebelumnya tersusun seolah hilang begitu saja. Satu-satunya yg keluar dari lisan hanyalah, “Ya Allah …” kemudian hening, berganti tangis-tangis tanpa suara yg tak jarang lama redanya. Namun kita yakin, dikatakan atau tidak dikatakan, doa tetaplah menjadi doa.

Kita tidak tahu, barangkali kesempatan utk terus berdoa adalah jawaban dari doa itu sendiri. Jika doa-doa itu belum bertemu dgn jawabannya, tak mengapa. Jika Dia memberikan yg sebaliknya, tak mengapa. Sebab, boleh jadi tidak atau belum dikabulkannya doa adalah ladang dimana pahala sabar dapat kita raup sebanyak-banyaknya.
Jadi, bagaimana jika kita berdoa sekali lagi, lagi dan lagi? Bukankah Dia suka jika kita terus meminta?
___
Picture: Pinterest
1K notes
·
View notes
Text
Realistis Aja
Dunia ga peduli apakah kamu seorang manager yang susah untuk constantly reading articles atau sering ikut meetup karena ngasuh anak di rumah. Atau apakah kamu seorang mahasiswa yang gabisa ke perpustakaan just for the sake of seeking knowledge karena menanggung kehidupan sekian orang adik. Atau apakah kamu seorang wanita karir yang cari nafkah sekaligus urusin rumah sementara suaminya gabut.
Yang dunia pedulikan itu hasil, output, sesuatu yang keliatan. Sorry this is harsh, but empathy-thingy itu kemewahan. You can’t expect the world to listen to your story and menye-menye.
You know what to do in this condition?
Firstly, communicate, talk, pray, to God, “Dear God, this is hard for me. Aku ingin mengeluh, tapi aku tau Engkau sedang melihat bagaimana aku melalui ini. Maka catatlah kesabaranku ini sebagai pahala yang banyak. Jadikan ini keistimewaanku dibanding makhluk-Mu yang lain.”
Secondly, stop caring about what people would think about you. Just do your best to tackle this and that, finish this and that, but shut your inner voices yang bilang, “Wah nanti aku dinilai ga perform”, “Wah nanti aku keliatan bodoh”, etc. Be a bodoamat person selama kamu udah lakuin yang terbaik yang kamu bisa. Biarkan hatimu bertawakkal–”I’ve done my very best, so whatever will be, will be.”
Thirdly, just keep moving forward, don’t look back, you can slow down but don’t stop, because hardship won’t last forever. At some point things will get easier. If not, then you haven’t pass through the storm, maybe you haven’t faced the center of the storm–brace yourself, but after that things will get better. Remember Dory’s song, “Just keep swimming.. Just keep swimming”
Good luck!
Butuh meluapkan kisahmu? Kirim ke https://yasirmukhtar.tumblr.com/submit.
2K notes
·
View notes
Text
Triggered.
Setiap kali aku terpicu dengan pencapaian duniawi orang lain yang tidak aku capai. Aku selalu mengingatkan diri akan pencapaian di mata Allah. Sering kali tak tampak mulia di mata manusia. Tapi dimensi 'lillah' membesarkan nilai perkara itu.
Tapi tak berhenti di situ. Setelah aku menahan rasa membandingkan diri tumbuh. Aku juga perlu menyadarkan diri. Bahwa sudah semestinya hamba dari Sang Maha Pemilik Semesta bisa melakukan hal hal terbaik yang bisa dilakukan, menjangkau hal hal terjauh yang bisa dijangkau. Sebab kita adalah cermin keagunganNya. Tidak ada kata biasa saja. Hanya saja label luar biasa ketika bertemu dengan dimensi lillah, sering kali bukan soal besar dan kecil menurut ukuran materi :)
Juga jangan jadikan alasan 'lillah' sebagai pemakluman bahwa tak apa jika diri masih begini begini saja. Tanpa ada yang meningkat. Sungguh jangan :')
Alizeti, Jakarta
129 notes
·
View notes
Text
Ajaklah Hatimu Bicara
Banyak orang ingin hidup senang dan tak mau hidup susah. Tapi tak banyak yang berhasil punya definisi komprehensif tentang susah dan senangnya hidup.
Mereka berjalan tak tentu arah, berlari tapi tak tau kemana, seperti sudah sampai di tujuan tapi ternyata tersesat di persimpangan.
Kalau ukurannya adalah materi, orang susah adalah yang sedikit penghasilannya, sedikit hartanya, dan sedikit tabungannya.
Kalau ukurannya adalah hati, orang susah adalah yang banyak serakahnya, banyak sombongnya, dan banyak dengkinya.
Banyak orang sebenarnya hanya ingin bahagia, tapi mati-matian mengejar materi dan lupa pada hati. Padahal susah dan senang itu letaknya di hati.
Tak ada yang salah dari mengejar materi. Yang masalah adalah jika kamu ingin bahagia tapi tak tau caranya. Mengejar tapi tak mengerti apa yang dicari. Sekadar ikut-ikutan atau hanya manut apa kata orang.
Karena bahagia tempatnya di hati, maka ajaklah hatimu bicara. Apa yang diinginkannya, apa yang menenangkannya, apa yang melegakannya. Ada kalanya kamu perlu mengambil jeda, menepi dari kerumunan, dan mendengar kata hati.
Tak apa tertinggal satu putaran. Pencapaian tak selamanya tentang menang kalah. Kebahagiaan tak melulu soal siapa yang lebih dulu mencapai garis finish.
Ajaklah hatimu bicara...
Taufik Aulia
1K notes
·
View notes
Text
Bisa jadi..
Bisa jadi aku yg kurang bersyukur, padahal Allah memberi tanpa mengukur
Bisa jadi terlalu tinggi aku mendongak, padahal bumi terlalu indah untuk dipijak
Bisa jadi terlalu samar penglihatanku akan nikmatNya, padahal Ia slalu memberi tanpa tanya-tanya
Bisa jadi aku terlalu banyak meminta, padahal Ia slalu memberi tanpa dipinta
Ah terlalu bodoh diri ini, minta ini itu tanpa sadar "kok banyak pinta, tp aku sudah berbuat apa?" padahal belum apa-apa :)
Birusunflower
#selfreminder#cinta#catatan#menulis#mawasdiri#syukur#pemudahijrah#pemudamuslim#pemudaislam#hijablife#hijabmuslim#hijablove#hijab#muslimahquotes#muslimah#jadilebihbaik#hijrah#generasimilenial#generasiqurani#generasimuda#tarbiyah#generasitarbiyah
0 notes
Text
Ikhlaskanlah, dan biarkan Allah yang menyelesaikannya. Lepaskanlah, dan biarkan Allah yang menggantinya.
Untukmu yang hatinya sedang bergemuruh hebat, ketahuilah bahwa pada setiap hati itu terdapat surga, setiap darimu tidak akan bisa mencicipi surga yang hakiki sebelum kamu mencicipi surga hati. Surga yang terletak pada hati setiap hamba yang khusyu’ dalam ibadahnya, mengalir lembut doa-doa tangisan dari lisannya, dan ia memainkan peran dengan sebenar-benar penghambaan. Patuh dan tunduk padaNya dengan apapun jabatan juga gelar yang didapat dari dunia, patuh dan tunduk tanpa tapi.
Doa itu menandakan bahwa hatimu hidup, karena darinya ada keyakinan dan harapan besar yang hanya terpaut pada sang penentu takdir. Mengubah segala jalan kebuntuan menjadi jalan yang lapang.
Tidak perlu ada tangisan yang lama untuk setiap hati yang patah atau harapan yang terbuang oleh manusia, justru bersyukurlah bahwa hatimu kini telah aman dari penjara dunia, penjara yang akan mengekang hatimu pada seseorang yang bukan milikmu dan tidak layaknya kamu mengemis pada manusia.
Indahnya hidup ini bisa dilihat setelah perih yang terobati, setelah jatuh yang kembali bangun lagi, meneruskan perjalanan dan membenarkan kompas kehidupan. Mungkin dulu arahmu salah, hingga Allah membuatmu jatuh agar kamu berbelok haluan menuju jalan yang benar, istiqomahlah.
Selalu berikan senyuman pada setiap kejadian dalam hidup ini, baik dan buruknya sudah menjadi ketentuanNya, menerima dengan lapang dada dan penuh keridhoan. Alloh itu Maha baik.
Mari, kita lanjutkan perjalanan. Semangat menjemput keberkahan, Insyaalloh fiihi khoir.
@jndmmsyhd
2K notes
·
View notes