cake-with-cherry-on-top
cake-with-cherry-on-top
cake with cherry on top
33 posts
a personal trash can.
Don't wanna be here? Send us removal request.
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
super villain
Right after the break up, i can't even cry. I mean, i really cannot. Feels numb? Is it really my response to this situation? Bro i'm totally in danger rn.
About, yes, is it really my response through this situation, or it just delayed blast of emotions and anger, and the only potential threat growing is the time-bomb. What if it's just my defense, my coping mechanism to proceed broken hearted phase or simply i jump into freeze mode, idk.
Yes, i still have a heart for him ofc but it wasn't close enough to be still identified as 'love' or 'compassion'. It's only the 'idea' that left, no else. Ah… that must be part of the answer.
But the underlying glitch of rage is appears here, there, everywhere. Inevitable. I can feel it. And i am afraid what i will be if it's finally blast out when my defense gone or once i reach my honest, purest, vurnerable peak. Everything'll mess up, right?
Is this type of griefing's right or i just unconsiously lead myself to another type of self-destruction (again)?
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
Mon ami
.
.
Mulanya, ketika Ananta ceroboh meninggalkan tas olahraganya di kursi penunggu sebelum kereta datang, entahlah, saat itu ia benar-benar lelah dan mengantuk sampai tak sadar telah berdiri linglung karena suara interkom, melangkah ke dalam kereta, dan baru ingat pada jam kereta terakhir kalau ia kehilangan (padahal Fai menyebutnya orang yang biasa hati-hati, tapi manusia tetap saja manusia).
Ia pergi ke tempat lost and found keesokan harinya, usai latihan sore itu. Berlari-lari dan kecipak air mengenai sepatu sekaligus ujung jersey. Hujan mampir tanpa diminta, cukup deras. Ananta lupa bawa payung—yah, sepertinya ini hari sial yang lain.
“Nan?”
Oh, jauh lebih buruk rupa-rupanya, Ananta berpikir. Ia refleks mendongak dan matanya bertemu tatap dengan sepasang mata cokelat yang familiar (Ananta bahkan telah menduga ini siapa dari suaranya yang, yah, menyebalkan kadang), dari Lantana Claudia Milna—nama konsonan belakang yang kesemuanya A yang juga menyebalkan—sebelum kemudian ada senyum lugas yang sengaja Milna ulas untuknya.
“Kehujanan, ya?”
Ananta mengerjapkan mata, sekali, dua kali, lalu, “Begitulah,” sahutnya, agak canggung sekaligus bingung. “Tidak pernah berpikir bisa bertemu Milna di tempat seperti ini,” satu deheman kecil, “ketinggalan sesuatu juga?”
Milna mengangkat tas olahraga di lengan kirinya dengan kedikan bahu, Ananta mengerti.
“Itu punyamu?” tanya Milna, menunjuk loker di mana benda-benda lost and found sengaja disimpan dengan rapi. “Cuma anak Delta yang mau pakai gantungan panda imut begitu. Biar kutebak, buatan kimchi-chibi?”
Kimchi-chibi, nama artistik yang dipakai salah seorang anak sekolah Ananta yang sudah terkenal sebagai pembuat benda-benda seni. Kebanyakan digandrungi cewek-cewek, karena bentuk prakaryanya yang cenderung konyol dan kekanakan, seperti gantungan kunci tanda persahabatan yang dibelikan Fai untuk anak-anak satu timnya ini. Dan entah mengapa teman sialannya itu memilih figur panda—yang sekilas amat girlie sekali.
Impulsnya bisa saja berupa perasaan tersinggung, atau sejenisnya, tapi Ananta tidak mau melakukan hal bodoh—cukup untuk hari ini dan kemarin. Kekehan samar adalah balasan yang Ananta pilih, menyeimbangi celetukan Milna yang begitu ringan dan tanpa pikir panjang.
“Manajer kami yang bikinkan, Milna.” Katanya berbohong. Sarah, si manajer galak itu mana bisa bikin perintilan macam begini. Memasakkan telur dadar waktu mereka pergi turnamen saja tidak ada yang benar, gosong, pahit. 
“Ah,” Milna menepuk kening, “Tentu saja. Aku lupa kalau Delta punya wanita cantik. Enaknya…” Ananta melirik cepat, tetapi gadis itu lekas menambahkan. “Bukan apa-apa, yang tadi itu murni pujian. Tentu aku tidak berpikir kalian sekumpulan anak laki-laki yang mata keranjang atau apa.”
Lagi-lagi, dengan nada seringan kapas. Milna memang sosok yang begitu. Ceplas-ceplos. Kali ini Ananta bingung mau menanggapinya bagaimana. Maka ia hanya cukup tersenyum miring sebelum akhirnya petugas muncul dan menanyakan apa barang yang hendak diambilnya. Ananta lalu beringsut, berkata bahwa kemarin ia meninggalkan tas olahraga, dan menjawab setiap pertanyaan si petugas untuk memastikan apakah benda yang tertinggal benar-benar kepunyaannya. Ia harus menuliskan nama dan memperlihatkan kartu identitas, prosesnya cukup makan waktu sampai akhirnya tas olahraganya dikembalikan.
Awalnya Ananta membayangkan apakah baiknya ia langsung pulang dengan hujan yang makin lama makin deras, atau menunggui guyuran air dari langit itu di kedai ramen dekat stasiun, atau bahkan sempat kaget karena tak pernah menduga Milna belum beranjak sedikit pun dari tempatnya semula.
“Hujan, Nan. Aku tidak bawa payung.” Sahut Milna tanpa Ananta minta. “Kamu juga kan?”
“Eh… iya.”
Bahu Milna berkedik tak acuh. “Lupakan dulu soal voli dan lalala lilili-nya.”
Kening Ananta mengerut. “Hah?”
“Aku dengar ramen seberang sana enak. Kata Sherry, sih. Meskipun meragukan.” Gadis itu menepuk perutnya dua kali. Dan Ananta tidak terpikir siapa itu Sherry. Mungkin bestie-nya di kelas, entahlah. “Tapi perutku sudah bunyi dari tadi dan makan sendiri kelihatan jones banget, ya kan? Jadi, mau mampir sebentar?”
Kemudian Ananta bertanya-tanya kenapa pula ia harus sampai sulit menolak.
.
.
Siklusnya berjalan serupa yang tidak Ananta sangka.
Di stasiun kereta terjebak. Lagi-lagi. Hujan hampir tanpa diminta (yah, hujan tidak perlu izin juga lagipula), lagi. Dan… Milna lagi.
Kali ini dia datang dengan dua gelas kertas kopi di masing-masing tangan, berkata kalau sebenarnya ada janji dengan rekan sesama pemain tenis tapi batal secara sepihak. Bukan anak Kolese, kok, kata Milna menyebut nama sekolahnya sendiri. Ya, mereka ini beda sekolah, kenal karena Milna jadi atlet tenis cemerlang sewaktu mereka satu SMP sebelumnya. Ananta sendiri punggawa voli dulu, dan kini ia lanjutkan di Delta—tim yang punya citra super berisik di lapangan itu, yang Milna hapal. Ah, lupa kukatakan kalau Milna ini juga populer di masa-masa SMP itu. Dan sebenarnya Ananta juga salah satu dari sekumpulan anak laki-laki yang melirik Milna tiap kali gadis itu berjalan di koridor sekolah—meski hanya sepintas lalu. Yaaa, tidak cukup benar-benar menyita atensinya secara khusus, karena Ananta bukan tipikal anak lelaki yang gemar memikirkan kehidupan romansa. Hidup ini biarlah berjalan biasa-biasa saja, begitu pikirnya rupa-rupanya.
Dan barangkali kenapa Milna bilang begitu tanpa Ananta minta, mungkin Milna menebak pertanyaan lanjutan yang dibacanya lewat sorot mata kenalannya itu.
Salah satu gelas kertas diulurkan ke depan Ananta, katanya itu gratis, katanya ia tak ingin menghabiskan dua gelas kertas kopi sekaligus dan tak ingin perutnya bermasalah. Katanya suhu cukup dingin dan Ananta tidak sedang pakai jaket, Milna kukuh mengulurkan sebelum kopinya jadi dingin.
Mereka duduk bersisihan sambil menanti kereta selanjutnya, meski jalur yang diambil jelas berbeda. Topik obrolan yang diangkat Ananta lebih sering ke arah olahraga, dan mereka was-wes-wos saja kelihatannya kalau sudah begitu. Jelas nyambung. Tapi kemudian topiknya melipir ke arah lain, tentang tahun-tahun terakhir di sekolah sebagai angkatan kelas tiga, tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya nanti, selain voli, tenis, seandainya suatu saat nanti—cepat atau lembat—olahraga bukan menjadi suatu profesi.
“Aku mau ke Singapura, atau Copenhagen—mungkin Barcelona,” ujar Milna lugas, seolah dia mengucapkan akan lolos ke liga nasional—sebelum kemudian melenggang ke court kelas dunia. Optimis sekali rupanya. “Bagaimana denganmu, Nan?”
Ananta menggeleng samar. Saat itu bunyi interkom kereta selanjutnya bergema, ia spontan berdiri dan Milna mengikuti, sama-sama berpijak di depan garis pembatas. “Kalau boleh jujur, aku masih belum terpikirkan untuk meninggalkan kota ini.”
“Hmm… begitu, ya.”
“Apa yang akan kamu lakukan di Copenhagen dan mana-mana saja tadi itu, Mil?”
Akan tetapi jawabannya tidak lantas keluar. Kereta Ananta lebih dulu tiba, cepat meski tidak dalam sekejap hingga atmosfer di antara mereka pecah karena keramaian kecil oleh jam-jam rush hour. Ananta menunggu sejenak dan lupa akan pertanyaannya yang belum Milna jawab. Ia bisa merasakan gadis itu melepaskan court jacket-nya lalu dia sampirkan begitu saja di sekeliling bahu Ananta. Kedua kakinya yang panjang dan tipis berjinjit agar bisa melakukannya.
“Yang ingin aku lakukan? Kabur, tentu saja,” bisik Milna, sesaat ada jenaka yang terselip. Ananta gagal meloloskan protes begitu Milna mendorong punggungnya pelan tanpa sadar sampai kaki berpijak dalam kereta. Tubuhnya lekas berbalik tapi pintu bergeser setelahnya. Ia hanya dapat melihat seulas senyum yang tersungging di wajah gadis itu.
Ananta mencium aroma citrus berbilur petrikor, lengan court jacket Milna menggantung begitu saja dan dia yakin kepalanya saat ini kosong. Tak menyentuh lima menit lamanya sampai kereta melaju dengan perlahan, pelan, kemudian cepat dan panorama stasiun silih berganti.
Ananta Adilaksa Pramudya—yang ternyata namanya juga semua berkonsonan akhir A yang menyebalkan—kerap kali bertanya-tanya, namun jawabannya nihil.
.
.
“Lama sekali, Nan.”
Napas Ananta tersengal, angka arlojinya berjingkat sepuluh menit sebelum kereta terakhir muncul ketika ia berhenti di hadapan kursi penunggu, malam itu, dan tak menduga akan menemukan Milna di tempat biasa. Lengkung senyum yang sama-sama biasa itu, lalu sorot mata itu.
“Aku pikir kamu tidak akan ke sini,”
Sebelah alis Milna meliuk. “Hah? Kalau tidak lewat stasiun ini aku mana bisa pulang.”
“Bukan,” Ananta menggeleng, “maksudku, kamu kan tidak perlu menunggu sampai kereta terakhir, Milna.”
“Latihanku sampai malam, kok,”
“Tapi Fai bilang dia sempat bertemu Cecil tadi sore.” Ananta menyebut nama kapten timnya yang memang berpacaran dengan rekan atlet tenis sekolah gadis itu.
“Nah, nah, Ananta,” sela Milna, menepuk kedua bahu Ananta dengan ringan. “Kalau begitu pertanyaanku sama, kenapa kamu buru-buru sekali datang ke sini?”
“Ah,” benar juga, rasanya seperti mati kutu. Ananta hanya ingat kalau ia membawa kantong kertas berisi court jacket Lantana Claudia Milna yang telah dicucinya bersih dan wangi. Ia hanya ingat sesusai latihan nanti harus segera pergi ke stasiun (sejenak Ananta menggerutu karena tidak bisa menghubungi Milna lewat ponsel, meskipun tidak bertahan lama. Karena, kenapa pula ia harus menggerutu gara-gara nomor ponsel?). Akan tetapi rencananya buyar saat Pak Lukas menambah porsi latihan dan Fai menyetujuinya secara sepihak, atau karena pada dasarnya Ananta memang enggan menolak. Harapan untuk pergi secepat mungkin batal, barangkali ia bisa menyerahkan court jacket itu nanti, esok, esoknya lagi atau kapan pun, dan terkejut saat dugaannya meleset.
“Tidak dijawab juga tidak apa-apa,”
Ananta tersentak kecil. Oh, rupanya Milna menunggu. “Itu… yah, cuma mencoba peruntungan, jadi—“ ucapannya terputus, manakala ketika dua lengan yang tidak pernah Ananta sangka akan terulur menarik tubuhnya dalam sekejap mata, tanpa tendeng aling-aling, kemudian menariknya dalam satu pelukan hangat. Tubuh gadis itu tentu saja lebih kecil darinya yang bongsor khas anak voli. Tapi hangat itu bisa ia rasakan seketika.
“… Milna?”
Pelukannya tak pernah dikembalikan, dan tidak pula bertahan lama. Milna melepasnya cepat sembari memegang kedua lengan bawah Ananta, lalu mengulas senyum jenaka. “Senang bisa kenal seperti ini denganmu.”
.
.
Ada secarik kertas kecil yang Ananta temukan dalam saku jaketnya, dua hari kemudian, dan bunyinya seperti ini; Omong-omong, tahu gak? Kalau waktu itu tidak hujan dan Ananta pakai jaket, aku tidak mungkin bisa memberikanmu court jacket. Kamu harus tahu betapa gugupnya aku saat itu, astaga, bukan aku-sekali sih. Tapi yah, hujan kemarin itu momen yang bagus. Aku sudah bisa menduga akan ada saat di mana kamu datang untuk menemuiku dan surat—apa ini bisa dibilang surat?—ini bakal sampai. Ananta wangi, ya, aku jadi ingin memelukmu terus, ehe.
Tak ada salahnya kan, ingin mengenalmu lebih dekat? Ini pasti bakal terdengar cheesy, sih. Tapi tak apa lah, sekali-sekali. Aku pasti akan melakukannya, kok, Nan. Jadi tenang saja. Tunggu aku sampai pengobatan cedera engselku di Singapura selesai, ya.
—Lantana Claudia Milna.
.
.
Si Milna, atlet tenis yang agak terlihat sombong dan cenderung ceplas-ceplos itu menyuratinya?—hanya untuk... mengajukan permohonan agar bisa lebih mengenal dirinya, yang, entahlah, anak-cupu-meski-atlet-voli? 
Baiklah, harus Ananta akui tindakan itu teramat manis; ramen, kopi, court jacket, dan secarik surat permohonan. Dan Milna memang gadis yang manis.
Mungkin... mungkin, banyak sisi Milna yang tidak Antanta tahu. 
Lalu, hari-hari berlalu.
Terkadang Ananta mendapati dirinya melamun saat menanti kereta tiba dan tanpa sadar mengharapkan secangkir kopi hangat terulur, meski hasilnya tak kunjung terjadi. Tidak ada pula siapa-siapa, atau lengkung senyum jenaka bahkan afeksi kecil seperti court jacket yang tersampir. 
Namun, hujannya sering kali mampir kala itu.
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
Koffie Oorlogsdrama—Drama Perang Secangkir Kopi
.
Chapter 1
.
1865
Jemari lentik itu terus mengaduk kopi dalam cangkir porselen cantik. Perlahan, memastikan gula menetralisir sedikit demi sedikit pahit dari biji-biji yang dipanen langsung oleh kaumnya dari Residen Bantam [1] sana. Ia mengecap setitik air kehitaman itu dan tersenyum puas kala rasa pahit-manis itu tercecap lidahnya.
—sejujurnya, ia bisa mengecap asin darah kaumnya yang didera demi terkirimnya biji-biji hitam ini ke broker-broker kopi di Amsterdam sana.
Tiga ketukan di pintu jati berukir, “Ned, kopinya sudah siap,” dan yang bisa didengarnya hanya hardikan pemuda berambut pirang itu dalam sederet bahasa ibunya.
“Verdamnt!”
Ada suara orang lain juga, menjawab takut-takut hardikan itu dalam bahasa Belanda berlogat Jawa yang terbata, sebelum satu bentakan final mengantarkannya keluar kerja sang Nederlander. Sorot mata jati itu menggelap sesaat ketika matanya bersirobok dengan sang inlander [2]. Bergidik, pribumi itu segera menggumamkan pamit padanya dan berlalu secepat kakinya membawa. Seringai sinis terulas sekilas di bibir merah jambu perempuan bermanik sewarna jati itu, sebelum ia membuka pintu dan memasang senyum termanis yang ia punya.
—nikmati permainanmu atas pion rakyatku selagi bisa, sebelum api putra bangsaku menjeratmu dalam abu.
“Indie...”
Sorot mata jati itu lembut, meski juga curi-curi pandang pada buku bermata zamrud itu coba sembunyikan darinya, Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandse Handelsmaatschappij [3], menenangkan sang pemilik mata zamrud.
“Istirahatlah sebentar. Sudah kubuatkan kopi. Dan, ah, ada kue talam juga. Jangan mengharap poffertjes. Aku tak bisa memasaknya.”
“Dank u [4],” diiringi senyum tipis maha langka yang hanya beberapa di dunia ini yang bisa melihatnya—dan perempuan ini salah satunya, suka tak suka.
“Sama-sama.”
Hidung mancung itu membaui aroma kopi dan beragam rempah di dalamnya—jahe, cengkeh, kapulaga, dan daun salam—yang masih mengepulkan uap panas, “Kopimu selalu nikmat, Indie.”
Perempuan yang dipanggil ‘Indie’ hanya tersenyum saat bibir kasar itu mengecup dahinya—sekarang ia hanya terpaut sekepala dari pria itu. 
—tentu, biji kopiku yang menyejahterakan negaramu, bukan?
—biji kopi yang berselimut darah rakyatku. 
Teruslah begitu.
Anggap aku boneka manismu
yang akan selalu menuntut sekehendak belai jemarimu.
Teruslah begitu. 
.
.
Januari 1909
Malam sudah larut kala derap kuda membelah salah satu pojok School tot Opleiding van Indische Artsen [5]—STOVIA—dan berhenti di belakang asrama siswa. Segera setelah turun dari kuda dan menambatkan tali pengikatnya ke pancang hanya dengan bantuan sebuah obor, perempuan berambut hitam ikal itu memasuki asrama dan tanpa ragu menaiki tangga menuju lantai atas. Ia sudah ditunggu di kamar ketika di sebelah kiri tangga.
“Nona Raya, Anda-uhuk-uhuk.”
Ini STOVIA, dia sudah menduga jika akan disambut aroma obat dan bendel-bendel buku beraroma apak. Namun disambut semburan batuk si empunya kamar begitu masuk—lagipula, kenapa dia sendirian di sini?—hal ini tak pernah terlintas dalam benaknya.
“Saya nemen laramu, War [6].” Raut cemas melintas di wajah si manik jati.
“Kula mboten ‘napa-napa, kok [7].” Senyum lugas terpampang di wajah tuan rumah.
“Bocah keras kepala.” Dengusan, diiringi gelengan kepala antara heran dan maklum.
“Anda juga bukan, Nona?” Saling pandang, dan keduanya larut dalam tawa.
“Raden Mas Suwardi Suryaningrat, engkau berada di sekolah untuk dididik calon dokter. Tidak seharusnya pula engkau sakit begitu,” tegur sang nona bermata sewarna jati seraya mengacak-acak rambut hitam mahasiswa senior STOVIA itu.
Merengut, tidak suka dianggap layaknya anak kecil, Suwardi menyahut, “Tidak mengapakah anda datang kemari, Nona?”
Perempuan yang dipanggil Raya itu mengangguk, “Tidak mengapa. Dia tengah kembali ke Eropa,” meletakkan buntelan bawaannya di atas ranjang bertingkat kamar yang Suwardi dan kawannya tempati, “Di mana pula kawan-kawanmu?”
“Sutomo tengah bertemu pamandanya. Yang lain tidak bisa berkumpul hari ini. Kami diawasi.” 
Mendengus, dia sudah menyangka ini yang akan diperbuat pemerintah kolonial atas kelompok bentukan para putra bangsanya—dia menghenyakkan pantatnya ke atas kasur seraya membuka buntelannya.
“Padahal aku telah berpenat-penat membawakan kalian buah tangan.”
Alis sentono [8] Keraton Pakualaman itu berkerut sejenak demi mendengar gerutuan perempuan yang baru dikenalnya setahun terakhir itu, sebelum mata cokelatnya yang khas pribumi melebar.
“Ini... buku ini dilarang beredar bukan?” Pemuda pandai yang aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo [9] itu tergagap, tumben, “Bagaimana —?”
“Ada banyak sekali buku ini di rumahku. Hilang satu atau dua tidak akan ada yang menyadari,” Raya nyengir, seraya mengambil sebendel buku dari tumpukan yang dia bawa dan menyodorkannya pada Suwardi, “Kalian pasti ingin membacanya, bukan?”
Pemuda yang baru menginjak usia dua puluh itu menyambar buku legendaris yang pertama kali diterbitkan langsung menggemparkan Benua Biru itu dari tangan Raya dan langsung membalik lembar demi lembarnya, “Tentu! Tentu saja! Takkan ada mahasiswa STOVIA, terlebih Boedi Oetomo, yang akan menolak membaca Max Havelaar! Multatuli sudah kami anggap kawan seperjuangan kami sendiri.”
Anak kecil, pikirnya seraya tersenyum melihat raut girang bumiputera [10] yang satu itu, sebelum sekelebat imaji menyambar benaknya...
.
“Enak?”
Ia menatapmu sayang, bertanya tentang sebentuk makanan yang barusan disodorkannya kepadamu.
.
Sosok itu jauh lebih tinggi darimu. Ya, dulu memang begitu. Kau masih sepinggang pria itu kala pertama kali ia datang ke pesisirmu dengan kapal-kapal besar dan wajah disetel kelewat datar. Ia bilang datang dari daratan yang sangat-sangat jauh. Dan ia juga bilang ia dayang hanya untuk menemuimu.
Sesungguhnya, banyak pula yang sudah menemuimu sebelumnya. Kakak berambut panjang yang mengajarimu berhitung. Kakak berkulit gelap yang menceritakan beragam kisah dewa-dewi. Kakak berpakaian serba panjang yang mengajarimu tentang Tuhan yang satu. Kakak yang kelewat ceria dan menanyaimu macam-macam tentang rempah dan kegunaannya. Namun ia berbeda. Ia tidak hanya datang sejenak. Ia terus ada di sampingmu, menggendong tubuh mungilmu ke mana-mana. Ia memeluk dan mengecupmu. Ia begitu memperhatikanmu.
.
Tanpa takut, kau menggigit secuil makanan dalam genggamanmu dan tersenyum ketika sebentuk rasa menggelitik lidahmu, “Hem. Ini manis...”
Pria itu mengacak rambutmu lembut.
.
Namun entah sejak kapan—dan sepertinya saat kau mulai tumbuh hingga setinggi dada pria itu—ia mulai tak lagi sekadar memeluk serta mengecup pipi dan dahimu. Ke bibirmu yang merah ranum, ke lehermu yang sewarna sawo matang, ke telinga mungilmu yang dinaungi rambut ikal hitam nan lebat, hingga... ah, tak bisa kau menjabarkannya. Dan pelukan itu tak lagi sekadar mengandung afeksi. Namun juga... birahi.
.
“Tentu saja. Ini kan kue, mijn Indie [11]. Dan namanya poffertjes.”
.
Dan namamu berganti. Tak lagi engkay dikenal sebagai Nusantara yang berjaya dengan semua kerajaan adidayanya. Sekarang kau beralih nama menjadi Nederlandsch Indie, Hindia Belanda.
Nama yang melambangkan bahwa kau milik pria itu—kau milik Koninkrijk der Nederlanden. Dan, ya, untuk sesaat kau merasa bahagia--karena kau belum tahu apa-apa. Kau dicintai, dilindungi, diajari beragam hal olehnya. Kau mempercayainya. Dan perlahan kau... jatuh cinta. 
.
“Pop-poppe—”
Ia tertawa mendengar pelafalanmu yang lucu. Bahasanya terlampau sulit kau lafalkan. Kau mengerti ucapannya. Tapi kau tak bisa—belum—bisa mengucapkannya.
.
Dan perlahan pula kau mengetahui segala yang ia sembunyikan mati-matian darimu—bagaimana pun ia menempatkanmu di kediaman megang yang ia dirikan di tanahmu, di pinggiran Batavia namun jauh dari mana-mana, tak mengherankan kalau kau tak bisa mendapatkan kabar tentang dunia luar. Rakyatmu, ia mendera mereka semua demi rajanya. Beragam peraturan yang ia bilang padamu akan mengatur bangsamu dengan lebih baik, yang ia bilang akan membuat rakyatmu lebih sejahtera, ternyata hanyalah kedok untuk mengeruk keuntungan bagi bangsanya sendiri. Landelijk Stelsel, Regeeringsreglement, Cultuur Stelsel, Agrarische Wet [12]. Segalanyahanyalah kepalsuan, topeng yang ia kenakan pada usahanya demi memeras emas dari tanahmu, demi menyarikan gulden demi gulden dari darah rakyatmu.
.
“Sudahlah. Tak masalah kalau kau kesulitan mengucapkannya,” tangan kirinya mengangkat dagumu dengan lembut, tangan kanannya menyeka remah kue di mulutmu, “Yang penting, kau suka?”
Ia menyunggingkan senyumnya yang langka itu—saat itu kau tak tahu, bahwa kau, terlepas dari segala yang ia lakukan padamu, adalah sosok yang teramat berharga baginya.
.
Puncak dari segalanya adalah saat kau bertemu salah satu rakyatnya di tanahmu. Ia tersesat saat hendak kembali ke kediamannya di Lebak sana dan ia sangat butuh pertolongan. Ia heran melihatmu ada di rumah semegah ini, sendiri pula—si mata zamrud sedang pergi ke pusat kota, mengurus beberapa hal dan meninggalkanmu sendiri bersama beberapa ambtenaar [13] yang ditugaskannya untuk menjagamu dan babu untuk melayanimu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Eduard dan menceritakan segala yang ia dengar, lihat dan alami padamu di tempatnya bekerja sebagai asisten residen di Lebak, Residen Bantam. Juga tentang bagaimana ia melihat kekejian rakyatnya terhadap rakyatmu, bahkan rakyatmu terhadap sesamanya sendiri di perkebunan kopi di Preangan [14]. Kau terkejut bukan kepalang. Amarah menggelegak di sekujur tubuhmu.
Sekarang segala pertanyaanmu terjawab. Kenapa dia sela setiap sentuhannya yang memabukkan ada friksi pedih dan perih yang juga membuncah, kenapa kau sering merasakan sakit tak tertahankan di sekujur tubuhmu padahal tidak terjadi apa-apa—ia bilang itu karena kau sedang ‘tumbuh’, semua yang tumbuh akan merasakan sakit yang sama, katanya—juga apa yang ia tutup-tutupi darimu selama ini.
.
“Hem.”
Senyum tersungging di bibirmu. Semanis madu, selembut beledu. Hanya untuknya. Hanya untuk pemuda bermata hijau pucuk nyiur di pesisirmu dan rambut merona lazuardimu tatkala senja tiba.
.
Kau mulai menanyai para babumu, tentu dengan diam-diam saat ia tak ada di rumah. Kau juga mulai membaca semua dokumen yang ia simpan di luar jangkauanmu—terima kasih kepada para babumu yang berterus terang kepadamu tentang di mana ia meletakkan semua dokumen itu. Kau tetap tersenyum pedanya seperti biasa, kau tetap merengkuhnya dalam peluk cumbumu seolah tak ada apa-apa. Namun di balik itu, tiap kali ia pergi, kau pun menyelinap dari kediamanmu. Kau singgahi perkebunan demi perkebunan, kau sambangi kampung demi kampung, kau datangi sekolah demi sekolah, kau hampiri markas demi markas pejuang bumiputera. Kau kobarkan semangat juang rakyatmu, kau ajarkan pada mereka segala pengetahuan yang ia beri padamu, kau suplai mereka dengan segala informasi yang kau tahu. 
Ya, di atas semua perasaan bernama ‘cinta’ yang terpatri arat dalam benakmu sebagai seorang Raya, kau sepenuhnya ingin lepas dari genggamannya—sang penjajah Koninkrijk der Nederlanden—sebagai sang Nusantara. 
Sebagai pewaris dua kerajaan luar biasa—kakek dan nenekmu, Majapahit Yang Agung dan Sriwijaya Yang Masyhur—sebagai kristalisasi jiwa seluruh nyawa di tanah airmu, kau sudah memutuskan, bertekad, bahwa kau, sang Nusantara, akan merdeka...
... atau mati.
.
“Nona Raya?”
Raya terhenyak dari lamunannya.
“Panjenengan mboten punapa-punapa? [15]” tanya Suwardi sebelum kembali tebatuk. 
Raya tersenyum, menggelengkan kepala dan berdiri, “Wong lara aja nguwatirna wong liya. [16]”
Suwardi mengernyitkan alisnya dengan wajah aneh—upaya gagal untuk menahan raut wajah yang hendak merengut. Raya heran, bagaimana pemuda yang dinilai para sahabatnya sebagai sosok yang kras maar noit grof—keras namun tidak kasar—itu bisa tampak layaknya bocah di hadapannya. 
Inikah rasanya sebagai seorang perinsanan negara—menganggap tiap rakyat adalah anak dan tiap individu adalah bakal sel yang membentuk jiwa dan raganya?
“Aku pergi dulu. Aku ada janji lain pula. Titip salam untuk teman-temanmu, War,” menyunggingkan senyum seraya menepuk sang priyayi Keraton Pakualaman, Raya berlalu.
“Inggih, Nona.”
.
.
Maret 1910.
Kertas itu hampir remat di antara jemari pemuda bermanik sewarna jati. Kertas putih bertuliskan rapi aksara Jawa bersandi dari salah satu putra bangsanya. Mengabarkan bahwa pergerakan mereka makin dipaksa tiarap dan mengharuskan mereka untuk berorganisasi dengan cara gerilya. Juga mengabarkan bahwa salah seorang anggota inti mereka telah rehat dari STOVIA dan organisasi mereka karena sakit, membuat mereka makin kesusahan. 
Perempuan itu mengeratkan genggamannya hingga buku-buku jarinya memutih. 
—kekang aku dengan segala dayamu, selagi kau mampu, selagi aku masih menunggu.
KRIEET.
Derit pintu membuat pemuda itu refleks menjejalkan deluang di tangannya ke dalam laci meja. Tepat sebelum pintu terbuka dan sosok tinggi itu memasuki kamarnya—kamar mereka, klaim si tinggi. 
“Aku pulang, Indie.”
Perempuan itu berbalik badan, tersenyum begitu rupa dan menyambut kedatangan sang pemuda Eropa. Begitu keduanya berada dalam jangkauan lengan satu sama lain, satu pelukan mesra dan satu kecupan panjang dipertukarkan. 
Rindu. Perasaan manusiawi ketika orang terkasih pergi—perasaan yang tak pernah semestinya masih ia miliki setelah mengetahui segala yang telah disembunyikan darinya. Aah, ternyata bagaimana pun juga ia tak bisa menyangkalnya. Ia memang mencintai pemuda di hadapannya—tapi ia lebih mencintai rakyatnya. 
“Welkom, Ned,” demikian lembut ucapnya ketika akhirnya bibir mereka tak lagi saling taut, “Bagaimana perjalananmu?”
“Luar biasa. Kau tahu, aku menemukan naga di ujung timur tanahmu [17],” kisahnya dengan nada riang, terdengar datar bagi orang awam, tapi tidak bagi mereka yang sudah bersamanya tiga ratus tahun, sepertinya.
Aah, warita yang menyenangkan lainnya. Ia hanya akan menceritakan kisah-kisah ceria, petualangan mendebarkan, dan cerita-cerita mengangumkan tatkala kembali dari perjalanan—bukan fakta bahwa rakyatnya telah ia dera—pada si manik jati.
—tipu aku dengan segala mantra katamu, aku akan pura-pura tak tahum demimu. 
“Benarkah? Bisa tidak kau perlihatkan padaku? Aku ingin melihatnya,” celetukan polos terlempar—disengaja, tentu saja.
Senyum, “Ja”, dan lengan itu merengkuh tubuhnya lebih dekat, lebih dekat sebelum bibir kasar itu memerangkap bibirnya lagi. Di antara desah dan engah tatkala tangan besar sang kolonialis mulai menjelajah tubuhnya, ia hanya bisa berharap bahwa esok ia masih akan bisa bangkit dari ranjang—karena bisa dipastikan malam ini tubuh sang perempuan bermanik sewarna jati tak hanya akan menjadi miliknya pribadi. 
—aku akan menahan diri, seperti Adinda terus menanti Saidjah [18] hingga mati.
—aku akan menahan diri, sampai tiba hari. 
.
.
Desember 1912.
“Nona Raya!”
Pemuda berusia 23 tahun itu menghampiri Raya yang baru saha turun dari kudanya di depan gedung apartemen mungilnya dan menjabat tangannya dengan semangat. Di sampingnya berdiri dua orang pria—yang kemudian dikenalkannya pada Raya dengan nama Tjipto Mangunkusumo dan Ernest Francois Eugene Douwes Dekker—yang wajahnya tak lagi asing bagi Raya. 
“Kowe iki—! Cah gemblung! Metu sekolah ora kandha-kandha, saiki malah ngadegna partij! [20]”
Tertawa-tawa, Raya memeluk dan berusaha menjitak Suwardi—yang hengkang dari STOVIA dua tahun lalu karena sakit—yang jujur saja agak sulit mengingat tinggi badan Raya tak melebihi target jitakannya. Dia terkejut, saat tadi memperoleh surat yang mengabarkan bahwa telah terbentuk National Indische Partij, partai politik pertama dari kalangan bumiputera—belum disahkan pemerintah kolonial memang, Raya berani bertaruh gunung Krakatau bakal meledak lagi kalau kelompok revolusioner ini mendapat izin pengesahan. Dan yang lebih mengagetkan, salah seorang pendirinya adalah bocahnya yang satu itu! Segera ia menyambar kudanya—untung saja pemuda berambut pirang jabrik itu sedang pergi ke pusat kota, dia harus kejar-kejaran dengan waktu memang, tapi persetan sajalah—dan bergegas pergi ke alamat yang ditunjuk surat yang ditulis dalam aksara Jawa bersandi itu. 
“Kula mboten pengin panjenengan kuatir, Non. [21]”
“Dalam situasi seperti ini, akan sangat aneh jikalau aku tidak khawatir, War. Dan, Meneer Douwes Dekker?”
Sayang sekali Raya tidak dapat mengatakan sebab dia senang bertemu pria separuh Nederlander-separuh Indo di hadapannya ini. Tentu ia tak bisa katakana bahwa puluhan tahun lalu ia bertemu dnegan sesepuhnya yang menuliskan buku terkenal yang memicu Yang Mulia Ratu Wilhelmina menerapkan ethische politiek—politik etis—di negerinya sini bukan?
“Ja. Het is een groot genoegen om jij [22], Nona Raya. Suwardi banyak bercerita tentang Anda.”
“Het genot is van mij [23], Meneer Douwes Dekker. Kutebak dia menceritakan yang buruk-buruk tentangku.”
Raya senang, sungguh senang. Suwardi, bocah penyakitan itu, kini menjadi pendiri politiek partij—partai politik—pertama yang pernah didirikan bumiputera, dengan cucu jauh Edward Douwes Dekker pula. Hah. Mulai sekarang, perlawanan kepada pemerintah kolonial akan semakin gencar. Pasti. Ia yakin itu. Dan mereka yang ada di hadapannya kini, mereka semua akan menjadi tokoh kunci.
.
Raya tak menyadari, dalam kereta kuda yang lewat dengan kecepatan tinggi di jalanan di sebelahnya, sepasang mata sewarna zamrud terbelalak melihatnya bersama dengan seorang pemuda berbusana khas Jawa. Raya tak menyadari, sosok itu tak sempat menghentikan kereta kudanya dan turun mengejarnya karena tak cukup percaya dengan apa yang dilihatnya. Raya tak menyadari…
.
“Waar is zij? [24]”
Bentakan itu membahana begitu keras saat engsel pintu keretanya menjeblak terbuka. Para babu yang menyambutnya tentu saja kebingungan.
“M-meneer…”
“WAAR IS INDIE?!”
Naik dua oktaf setidaknya dan semua orang mundur teratur, berusaha keluar dari jangkauan laras pistol yang tersemat di pinggang sang majikan. Tahu begini mereka tidak akan membiarkan saja saat sang ‘tawanan’ melarikan diri untuk sementara seperti biasa. Tahu begini mereka akan menentang mati-matian meski harus disepak kuda hitam tunggangan sang ‘tawanan’.
“Ned? Je thuis al—kau sudah kembali?”
Sapaan lembut itu sangat kontradiktif dengan ucapannya. Terlampau berlawanan. Apalagi diserta air muka sang pengucap juga dibandingkan—barang luar biasa versus kalem tiada tara, tiada banding, bukan?
“Indie…”
Hampir ia tak mempercayai matanya sendiri. Indie-nya ada di sini? Dia ada di rumah? Lalu yang dilihatnya di jalanan pusat kota Batavia tadi? Matanya sehat dan awas, dia yakin—dia tak perlu kacamata seperti maniak musik tertentu di Eropa sana—jadi, itu tadi siapa?
Para babu sudah menghembuskan napas lega. Anda luar biasa tepat waktu, Nona.
Perempuan pribumi itu tersenyum, tangannya memeluk baskom berisi rumpun-rumpun melati—tampaknya akan ia gunakan sebagai pengharum pakaian seperti biasa—dan menghampirinya, “Tahu kau pulang cepat begini sudah kujerangkan air untuk membuatkanmu kopi. Baru saja kita mendapat kiriman—dari Preangan—kau pasti—hmph!”
Perempuan bermata sewarna jati itu tak diberinya kesempatan menyelesaikan kalimatnya. Bibir merah delima itu dikuncinya dengan bibirnya sendiri tanpa ada aba-aba. Di depan mata semua para ambtenaar dan babu. Tak mempedulikan semua tabu dan aturan yang ia buat sendiri—kecupan intim mereka hanya terjadi di balik kelambu, bukan untuk dipertontonkan di hadapan para babu. Rumpun melati dalam wadahnya di pelukan sang perempuan tadi? Sudah tercecer terlupakan tersaput lumpur debu.
Kecupan itu beringas, menutut, putus asa. Gesek gigi-geligi, kecap lidah dan pertukaran saliva, remasan jemari di rambut panjang perempuan yang ia dominasi—ia ingin meyakinkan diri. Bahwa bukan Indie yang dilihatnya tadi. Ia ingin meyakinkan diri—bahwa semua fakta masih tersembunyi.
Jangan sampai, jangan sampai Indie-nya tahu. Ia tak mau. Sungguh.
.
Sungguh keputusan tepat ia menolak ajakan bocahnya untuk masuk dan menikmati secangkir the seraya memperbincangkan langkah ke depan partai mereka. Sungguh tepat.
Karena jika tidak, ia takkan sempat kembali tepat waktu—ia memilih jalan pintas menerobos hutan saat kembali, kuda kesayangannya itu tahan banting, untung saja. Sebab jika tidak, ia takkan sempat menyambar baskom berisi rumpun melati di dapur sebagai bukti ia tak meninggalkan kawasan kediaman mereka. Karena jika tidak, ia tak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
Melihat sikapnya, apa dia sudah tahu bahwa ia sudah tahu?
Jangan, mohon jangan dulu. Momentum belum datang. Rakyatnya belum siap. Sampai kesempatan bertemu dengan kemampuan, sampai itu tiba… ia mohon dengan sangat, jangan dulu…
—kini belum sampai waktu, janganlah dulu tahu.
.
.
.
Catatan kaki:
[1] nama lama Provinsi Banten dalam peta wilayah pemerintah kolonial Belanda—diambil dari Bab V Max Havelaar oleh Eduard Douwes Dekker.
[2] sebutan untuk warga pribumi dalam bahasa Belanda.
[3] Max Havelaar Atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda. Novel karya Eduard Douwes Dekker yang menggemparkan Eropa saat diterbitkan pertama kali di tahun 1960—meski sudah melalui revisi yang tidak diketahui Eduard dan editornya—karena menyoroti kekejaman pemerintah kolonial Belanda atas rakyat Hindia Belanda.
[4] terima kasih (Dutch)
[5] Sekolah Pendidikan Dokter Hindia. Cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Merupakan perguruan tinggi kedokteran khusus untuk pribumi di masa penjajahan Hindia Belanda dulu.
[6] semakin parah sakitmu, War (Jawa)
[7] saya tidak apa-apa, kok (Jawa)
[8] kerabat keraton. Raden Mas Suwardi Suryaningrat merupakan cucu dari Sri Paku Alam III
[9] organisasi nasional pertama Indonesia. Didirikan Minggu, 20 Mei 1908, pukul 09.00 pagi di salah satu ruang belajar STOVIA. Meski bertitel nasional, para founder organisasi ini kesemuanya orang Jawa—kebanyakan priyayi atau bangsawan keraton.
[10] sebutan lokal untuk warga pribumi.
[11] Hindia-ku (Dutch)
[12] Landelijk Stelsel: sistem sewa tanah buatan Raffles (1811-1816). Regeringsreglement (1854): pembaruan konstitusional untuk daerah Hindia Belanda, memuat pula pemisahan yang ketat antara warga Eropa dan kaum Inlander. Cultuur Stelsel (1830): kata lain dari sistem Tanam Paksa. Agrarische Wet (1871): kata lain dari UU Agraria, merupakan kebijakan politik pengganti sistem Tanam Paksa.
[13] nama lain bagi pegawai negeri di zaman Hindia Belanda.
[14] nama lama Priangan dalam peta wilayah pemerintah kolonial Belanda—diambil dari Bab V Max Havelaar oleh Eduard Douwes Dekker.
[15] anda tidak apa-apa? (Jawa)
[16] orang sakit jangan mengkhawatirkan orang lain (Jawa)
[17] Ekspedisi Belanda ke Pulau Komodo melaporkan penemuan komodo kepada masyarakat di Eropa untuk pertama kalinya di tahun 1910
[18] Kisah cinta sepasang pribumi yang diangkat E. Douwes Dekker dalam bab XVII Max Havelaar. Disebut-sebut sebagai kisah Romeo versi Hindia Belanda.
[19] Douwes Dekker sang Multatuli dan Douwes Dekker yang beralias Danudirja Setiaboedi adalah dua orang yang berbeda.
[20] anak ini—! Bocah bodoh! Keluar sekolah tidak bilang-bilang, sekarang malah mendirikan partai! (Jawa—kata terakhir bahasa Belanda)
[21] saya tidak ingin Anda khawatir, Non (Jawa)
[22] ya. sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bisa bertemu Anda (Dutch)
[23] aku yang senang (Dutch)
[24] di mana dia? (Dutch)
.
.
p.s.: tulisan ini, (gimana bilangnya ya) adalah cerita tentang dua sosok yang menjadi representasi sebuah nation/negara—di sini, tentu, Belanda sama Indonesia—dan itulah kenapa Raya dan Ned (yep, diambil langsung dari nama negaranya, Nederlandsch) berpuluh tahun bersama, dan mereka berwujud pasangan muda; karena mereka hasil manifestasi lain yang disini jadi tokoh. Tokoh yang membaur sama manusia-manusia faktual yang tertulis di buku sejarah, hahaha. Tidak terlampau kompleks untuk dipahami, kan? Ini cuma fragmen-fragmen sejarah yang di-blend sama fiksi, so, that’s it. 
1 note · View note
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
If bloom was a feeling.
.
Kala melihat seseorang tertidur lelap di samping kemudi, dengan posisi kepala sedikit miring dan bibir setengah membuka (suara napasnya terdengar teratur), yang terlintas dalam benak pertama kali adalah, bagaimana semua ini bermula dan bagaimana semua ini berakhir. Berakhir, dalam artian banyak hal.
Kali lain pada detik berikutnya, lagi, memandang wajahnya yang teramat damai. Terbayang dalam otakku sekelebat memori kecil, seperti fragmen-fragmen yang meloncat-loncat bebas dengan teratur.
Mulanya adalah: selama ini kupikir aku anak jenius.
Semua sanak-saudara memujiku, lantas membandingkannya dengan anak-anak mereka—yang sama sekali tak ada apa-apanya, jujur saja. Katakanlah, aku ini anak songong waktu usia belia. Bagaimanapun, aku lumayan dimanja karena menguasai berbagai alat musik di usia hijau. Siapa anak delapan tahun yang sudah bisa mainkan piano, violin, bahkan sampai kolintang? Bisa jadi hanya aku; ya, memang, boleh kau ada hasrat untuk menonjok hidungku. Aku memang sesombong itu.
Tetapi semua kepercayaan-diri itu luruh dalam satu waktu, dalam sekali pertemuan dengan seseorang yang memang benar-benar terlahir sebagai ‘Si Jenius’. Seketika pertemuan itu membuatku merasa kerdil. Rasanya aku ingin menghancurkan seseorang—atau menghancurkan diriku sendiri. Kenapa begitu? Aku pun bertanya-tanya, sebab dengki dalam diriku terbagi menjadi dua; antara membencinya dan mengaguminya. Tentu, ini soal Cendala Bagaskara. Cuma dia saja yang bisa bikin aku rupa-rupa begini.
Cendala adalah satu-satunya orang yang membuatku berpikir bahwa aku tidak jenius, aku ini adalah jack of all trades, master of none. Tidak ada yang benar-benar kukuasai penuh, hanya sekadar bisa memainkan dengan standar, tanpa keahlian istimewa apalagi polesan bakat. Berbeda dengan Cendala yang dilahirkan untuk menjadi violinis. Aku dapat melihat ia begitu bersinar, begitu terang, begitu jauh, begitu tak terjangkau di masa depan—suatu saat nanti yang tak dapat kuprediksi kapan, tetapi aku yakin pasti. Camkan kata-kataku, ini pasti.
Meski tak dapat mengenyahkan iri hatiku atas permainan violinnya, tampaknya ia memiliki magnet tersendiri yang bikin aku susah menoleh. Dengan jujur aku katakan; Cendala amat menarik, dari sisi tampang juga bakat. Cendala adalah anak laki-laki paling sempurna yang pernah kutemui seumur hidupku; tampan, pintar, berbakat, dan anak orang kaya. Seolah keberuntungan setiap manusia telah diserap habis olehnya—ia seperti tidak benar-benar terlahir di dunia, bagai orang dari negeri dongeng. Tapi memang begitu kenyataannya. Ia ada. Hidup. Bernapas. Dan dia aku cium.
Karena tidak menerima penolakan, aku tetap kukuh menciumnya. Memang agresiku ini tinggi, meski feminim. Menciumnya, memasukkan lidah, ya, pokoknya bermacam-macam hal bego yang bisa dilakukan bocah pubertas kalau sedang dikuasai nafsu. Cendala anaknya pasif, entah kaget entah syok, yang artinya sama saja intinya; tidak menolak—atau tidak mampu mengelak. Ha, laki-laki!
Banyak hal telah terjadi di antara kami. Dalam rentang waktu yang panjang, masalah datang hilir-mudik. Aku menjadikan alasan perceraian orang tuaku agar bisa tinggal seatap dengannya. Kemudian kami berpisah, berhubungan kembali, berpisah lagi, berhubungan lagi sebagaimana remaja tolol. Kupikir aku sudah cukup mantap waktu itu, ketika kuputuskan untuk meninggalkannya dan berkencan dengan rekan satu band. Pikirku; ya, hubungan toksik macam ini harus diakhiri. Selamat tinggal, Cendala! Dan jangan menangis.
Tentu semuanya tak semudah kata-kataku. Ada sesuatu yang berasa bolong di hatiku—bolong, kosong, aneh. Keseharianku yang biasanya direcoki (atau sebaliknya, aku yang merecoki) Cendala mendadak berhenti total, memberi efek padaku bahwa ini terasa tidak benar. Ada yang salah dengan hidupku pasca dia tak ada. Aku tetap menjalin hubungan dengan Hilman, meski di kepalaku cuma ada Cendala. Sifat kejamku rupa-rupanya masih belum luntur. Aku terbiasa berhubungan dengan siapapun, terlepas apa gendernya, tetapi di otakku sudah tersusun semacam program (bagaimana aku bisa menjelaskannya ya), intinya suatu cara kerja di dalam kepalaku memberi tahu bahwa pada akhirnya aku akan pulang pada Cendala.
Bagaimana mungkin aku tidak belajar dari masa lalu—dari hubungan-hubunganku sebelumnya? Dengan Mahendra, sekarang Hilman. Ujung-ujungnya aku ini hanya menghancurkan status pertemanan yang sudah terjalin, hanya karena aku tak tega menolak seseorang yang begitu jatuh cinta padaku, begitu tergila-gila padaku, sehingga membuatku berpikir tidak ada salahnya mencoba menjalin hubungan dengan mereka. Sebab, itu pula yang dilakukan Cendala padaku. Lebih-lebih, dia anak pasif. Ia akan berpacaran dengan berbagai macam perempuan, meski ia akan tetap pulang padaku juga. Mau tidak mau, harus kuakui bahwa baik aku maupun Cendala, kamu berdua sama-sama tolol.
Tetapi, masalah yang paling gawat bukanlah ketololan kami di masa-masa labil. Ada masalah yang lebih besar, yang menyangkut masa depan Cendala. Soal music. Cendala menjadi sedemikian sukses dan terkenal, bahkan dunia sudah mengenalnya sebagai sosok prodigi. Ia mengadakan konser-konser besar mengelilingi berbagai benua. Ia telah berhasil meraih apa yang paling ia inginkan dalam hidup. Sementara aku? Entah apa aku ini.
Aku tidak menjadi apa-apa. Keseharianku dihabiskan dengan bermain band—bermain yang bahkan belum benar-benar bisa dibilang bermain; bermain-main. Uang yang kuhasilkan tidak banyak, yang membuatku harus bekerja paruh waktu. Lepas kuliah, aku bahkan tidak menemukan gambaran mengenai apa yang hendak aku lakukan agar terus hidup. Sewaktu kecil, aku berpikir aku bisa menjadi apa saja yang kuingin. Setelah bertemu apa yang namanya umur dewasa, aku dihantam oleh kenyataan pahit. Aku bukan siapa-siapa. Dan pemikiran semacam itu membuatku semakin merasa kerdil, semakin merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Cendala.
Mungkin. Mungkin, kalau kami berpisah kali ini, kami akan benar-benar berakhir. Cendala dapat menjalani kehidupannya seperti biasa (ia yang semakin bersinar, dan semakin jauh dari jangkauanku), sementara aku akan tetap berakhir di sini, untuk menjadi bukan-siapa-siapa. Ketika kukatakan padanya dengan jujur soal ini, Cendala memiliki pemikiran yang bertolak-belakang. Ia mengajakku ikut tur, mengajariku bagaimana cara bermain violin dengan benar. Tak bisa kuingat kapan tepatnya terakhir kali aku memegang violin, rasanya ada semacam trauma yang membuatku tidak antusias—lebih jelasnya adalah sekelumit perasaan takut—untuk memainkannya sejak melihat betapa hebatnya permainan Cendala. Tetapi aku tetap mencoba, karena sebegitu tidak inginnya aku berpisah dengannya—tak lagi, jangan sampai.
Pada babak hidupku saat itu, semua terasa berjalan lambat. Aku memutar otak berpikir bagaimana cara mengejar ketertinggalanku. Setahun, dua tahun, tiga tahun, aku terus berlatih di bawah bimbingannya. Kami menjadi semakin dekat, semakin menempel, semakin merasa tak bisa hidup tanpa satu sama lain. Musik telah mempertemukan kami, musik pula yang telah memisahkan kami, dan musik menghubungkan kami kembali—menjadi lebih kuat, lebih erat, tak terpisahkan. Pada tahun kelima, kami merilis album instrumental bersama, berisi kolaborasi yang kami ciptakan. Membutuhkan waktu setahun untukku dan Cendala merampungkan konsep, judul, sampai kovernya. Salah satu instrumental kami dipakai sebagai soundtrack film, yang entah bagaimana bisa membuat nama kami berdua meledak.
Apakah ada yang percaya semua ini bisa terjadi? Tentu tidak mudah untuk percaya. Karena aku sendiri juga kadang susah percaya. Lebih-lebih usai Cendala memutuskan untuk mengakui pada dunia bahwa aku adalah kekasihnya. Ketika itu terjadi, dunia telah banyak berubah. Kami mendapat banyak dukungan dan cinta. Absurd sekali kalau dipikir-pikir. Terasa majikal. Aku tak percaya sekarang sedang berada satu mobil dengannya, dengan Cendala Bagaskara yang tertidur lelap karena kelelahan sehabis resital.
Cendala yang membuatku merasa aku bukan siapa-siapa justru mengangkatku menjadi seseorang; dia telah mengeluarkanku dari lumpur, membersihkanku, mengulas diriku sedemikian rupa sampai aku tidak lagi menjadi jack of all trades, master of none, tetapi mengembalikanku menjadi sesosok anak kecil yang berpikir bahwa aku ini juga seorang jenius. Yang demikian itu membuatku semakin jatuh cinta padanya. Bagaimana ya, kalau hidupku tak ada Cendala di dalamnya? Atau lebih tepat; bagaimana hidupku saat ini kalau-kalau aku tak pernah kembali padanya?
Aku enggan memikirkannya. Akhir seperti inilah yang paling kuinginkan; bersama Cendala, bersama musik, kami jelas-jelas telah ditakdirkan untuk satu sama lain.
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
Kenang yang Karam
.
[kami berpisah, karena kematian.]
.
Marisa tak tahu mengapa dia berada di sini; di pinggiran kota dekat stasiun Tawang pada pukul dua dini hari.
Jaket dirapatkan, beberapa kali menarik-narik lengan jaketnya untuk melindungi celah-celah kulit lengan yang tidak tertutupi. Udara dingin yang merangsek porinya lama-lama membuat kulitnya kebas. Marisa menundukkan kepala, memandang kedua kakinya sendiri—walau sebetulnya dia tak benar-benar mengamati. Keresahan di hati membuat kepalanya menunduk, seolah takut untuk menengadah. Takut kalau-kalau lelaki itu belum juga menunjukkan batang hidung. Apakah hukuman harus sekejam ini, pikirnya.
Ponselnya bergetar beberapa kali. Seseorang memberi tahu; Alex tidak akan datang, tidak akan pernah. Marisa mengusap hidung bawah yang sedikit berair. Dia benar-benar kedinginan sekarang. Orang bodoh mana yang berdiri menunggu lelaki yang bahkan tak pernah menampakkan muka di hadapannya sejak dua tahun lalu? Bibirnya sedikit bergetar. Kacamata mengembun. Kacamata dilepas, diusap, lalu dikenakan kembali.
Meski sudah pukul dua dini hari, orang-orang sesekali melintas. Kebanyakan dari mereka berjalan terhuyung—sudah tentu mabuk. Beberapa diantaranya menyeret kaki lemas, barangkali lelah karena dipenjara tekanan di tempat kerja. Beberapa lainnya ada wanita—dan lainnya lagi separuh wanita—masih mangkal di dekat monumen bapak negara. Hanya Marisa yang berdiri di trotoar dekat pintu masuk stasiun, menunduk, menunggu seseorang menjemputnya. Mungkin dia memang perempuan cerdas yang bodoh. Marisa menyedot ingus. Hidungnya mulai merah, matanya kini benar-benar berair, bibir tak dapat lagi menyamarkan getar. Dia sudah siap menangis.
Hari ini aku ulang tahun, Lex. Apakah kamu masih juga gak mau datang?
“Kamu ini bodoh ya.”
Marisa mengangkat wajah, memandang muka seseorang yang sangat dikenalnya—seseorang yang selama ini dia tunggu. Alex. Marisa sudah tidak peduli lagi. Perempuan itu melompat ke tubuh jangkung lelaki itu, memeluknya, menangis sesenggukan di sana. Dia katakan apa yang selama ini mengganggu pikirannya. Marisa meminta maaf untuk segala kesalahannya di masa lalu, dia ingin Alex kembali. Alex membalas pelukan.
“Mana mungkin aku bisa balik sama kamu, Sa.”
Alex lalu melepas pelukannya. Lelaki itu memandangi Marisa.
“Aku sudah mati.”
Marisa terbangun. Pipinya basah. Alarm berbunyi tepat pukul dua belas malam. Dia bermimpi, tapi rasanya begitu nyata. Alex ada. Merengkuhnya. Memaafkannya. Alarm dimatikan. Dia mana mungkin mampu kembali lelap. Hari ini hari ulang tahunnya. Dan Alex datang lewat mimpi. Marisa bangkit, melangkah ke depan jendela, lantas menyibak tirainya. Bulan menggantung separuh. Langit seolah lebih gelap dari biasanya. Dia juga memandangi keadaan di bawah; sepi, senyap, seperti kota mati.
Aku sudah mati.
Kamu belum mati. Kamu hanya hilang. Suatu saat nanti kamu pasti kembali padaku.
Mana mungkin aku bisa balik sama kamu, Sa.
Kamu bisa. Pasti.
Kamu ini bodoh ya.
Orang-orang sering bilang begitu—aku jadi bodoh karena kamu hilang.
Aku sudah mati.
Marisa membuka kaca jendela. Dia siap melompat.
Kalau begitu, aku juga akan mati.
Marisa menutup kaca jendela, menutup tirainya, lalu duduk memeluk lutut. Di dalam hati kecilnya, masih ada harapan bahwa Alex hanya hilang. Kapal mungkin memang tenggelam dan banyak penumpang yang tidak bisa ditemukan—atau kalau pun ditemukan, sudah tidak bisa lagi dikenali. Tapi, Marisa tetap berpikir bahwa Alex masih hidup di suatu tempat, entah di mana. Alex hanya sedang menyusun rencana untuk kembali ke kota—bukan mati—kembali padanya. Meski semuanya telah lewat dua tahun lalu dan Alex masih belum juga muncul, Marisa masih menunggu dan tetap menunggu.
.
.
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
Titik Nol
.
[kami berpisah, karena rasa hambar.]
.
.
Perjalanan menuju Budapest memakan separuh waktu hidupnya.
Atau, begitulah kira-kira yang dirasakan Marisa. Dia seakan terbang begitu lama, memandangi langit biru, awan-awan, dia melayang-layang dalam khayal—mengenai secangkir kopi dan cincin emas berkilauan (yang membuat matanya terasa perih, sakit, ada hasrat ingin untuk melelehkan cincin itu sajalah). Kepalanya diisi suara petikan gitar dan nyanyian sumbang dari seorang wanita bergincu tebal; merah menyala, berkilat-kilat tiap kali bibirnya bergerak, di dalam sebuah kafe sederhana yang cuma menghidangkan sedikit varian kopi; espresso, karamel macchiato, crème brulle (wanita itu masih saja bernyanyi, sementara kopinya tersisa setengah lagi—dan pria di hadapannya memandang dalam kebisuan, dengan cincin emas terselip di jari manis, betapa bajingan).
Katanya banyak hal dalam hidup yang harus dipikirkan matang-matang. Marisa tidak berusaha menampik, memang betul, segala sesuatu harusnya dipikirkan matang-matang, jangan sampai meninggalkan penyesalan. Masalahnya, kalimat pria itu, yang memandangnya dalam kebisuan, seolah mengindikasikan bahwa selama ini mereka berdua telah salah menjatuhkan pilihan—bahwa kasih-mengasihi dengan penuh dan kehati-hatian itu tak lebih dari sekadar ketidak-matangan berpikir, yang kelak meninggalkan sesal. Sebelum penyesalan datang, alangkah bijaksana kalau mereka usaikan saja, dan berpisah.
Marisa bahkan tidak bisa menangis (dia tidak tahu untuk apa gunanya menangisi pria bajingan itu—ah, sial, dia hanya ingin melelehkan cincin emas itu, melelehkannya kalau bisa sekalian dengan jari menis si bajingan).
He’s not coming home tonight… he says that he’s left forever!
Suara wanita penyanyi bergincu tebal itu terdengar makin nyaring, terngiang-ngiang di benaknya. Sementara pria itu kini menunduk, enggan beradu tatap dengan matanya. Marisa memandang kopinya lagi, lalu ganti memandang pria itu.
Kau tahu, Alex, sepertinya aku puas kalau bisa menyiram kepalamu dengan kopiku.
Malam itu, Marisa hendak menyampaikan kabar bahagia; bahwa ia telah mendapatkan beasiswa. Tapi, malam itu, pria di hadapannya lebih dulu menyampaikan kabar pahit; bahwa mereka harus berpisah. Marisa menelan habis keinginannya menyiram kopi, sebab kopinya hanya tersisa separuh.
Tapi kopiku hanya tersisa separuh, seperti aku yang kini juga separuh. Mungkin kali lain aku akan menamparmu dengan kenyataan—bahwa kau akan tersumpali sesal tak terperi. Sementara aku tidak.
Mereka berpisah semudah musim semi berubah menjadi musim gugur; meski mereka akan terus mengulang musim-musim itu. Dia meninggalkan sepucuk surat. Dikatakannya dalam surat, bahwa dia akan pergi jauh. Jangan tanya ke mana, karena kau tentu takkan mungkin sanggup mengejar—atau kau memang enggan mengejar.
Di dalam pesawat, Marisa tak henti larut dalam kenang; pahit, manis, dan suara sumbang penyanyi kafe—serta kopi yang (seharusnya) pahit mendadak berasa hambar di lidah kala kalimat berpisah diucapkan pria itu tanpa rasa bersalah.
.
.
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
Wangi Layon
.
—Irlandia, 1863
Malam itu, kala udara terasa lebih dingin, kereka lokomotif uap melintas di antara rel perbukitan kota Wexford. Suara mesinnya terdengar nyaring, memecah sunyi yang membekap malam. Seseorang tentu sedang merapalkan kutukan, membuat gelisah para penumpang. Ada rumor beredar perkara makhluk misterius, makhluk itu memakan lembu-lembu serta biri-biri milik penduduk desa—dan orang-orang telah lama tahu, ada yang tak beres dengan kota ini. Meski begitu, kereta tetap melintas dengan bunyinya yang nyaring.
Melalui surat kabar, berita mengenai kematian misterius meresahkan penduduk. Semakin hari, jumlahnya semakin banyak. Korban memiliki luka yang sama; gigitan di leher dengan perut bolong bersih tanpa isi—organ yang semestinya berburai, lenyap disantap. Orang-orang saling menuduh, siapa yang telah mengutuk Wexford. Siapa pun yang dianggap sebagai penyihir akan dibakar hidup-hidup, dikuliti, hingga dipenggal dan dijadikan tontonan. Sebagian besar dari mereka yang merasa benar dalam menghakimi adalah para uskup gereja; atas nama Tuhan. Kebenaran dan kejahatan tak lagi punya muka.
Dan kereta itu… masih melaju… lambat, lambat… menimbulkan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.
Di atas gerbong tiga, berdiri seorang pria. Jubahnya hitam; segalanya tampak hitam. Pria itu memandang purnama. Lantas, mendengar suara serigala; lolongan yang bersahut-sahutan, seperti memberi pertanda. Dan kereta itu tak lagi melahirkan bunyi. Mesinnya mati. Kesunyian malam semakin pecah oleh jerit-jerit penumpang yang ketakutan.
Seharusnya mereka semua mati.
.
.
Seorang perempuan muda menggembala biri-birinya yang tersisa. Lalu dia berbaring santai di bawah pohon elm. Rambutnya sengaja ditutupi tudung. Rambutnya merah, menyala seperti api berkobar jika tersorot seberkas kandela mentari. Rambut merah dianggap penyihir. Meski ia bukanlah penyihir.
Terik matahari terasa begitu jauh. Panasnya hari ini tak sampai ke rumput. Udara masih sama dingin. Surat kabar beredar dengan topik yang sama; soal kematian misterius. Kali ini korbannya bukan penduduk kota Wexford, tetapi seorang penumpang kereta dari Dublin. Perempuan itu mengambil kesimpulan; semakin dekat musim salju, semakin laparlah makhluk misterius itu. Puncaknya mungkin sebelum salju turun.
Perutnya mendadak bergejolak. Tak dia sadari ada seseorang yang berdiri hanya beberapa hasta darinya, sedang memincingkan mata pada biri-birinya.
“Kupikir, sudah tidak ada lagi penggembala di kota ini.” kata pria yang berdiri.
Perempuan yang menurut rambut merahnya dengan tudung lekas mendudukkan diri. Menilik dari atas kepala hingga kaki. Ah, seperti aristokrat. Pakaiannya tampak elegan dengan jas hitam dan kemeja putih. Topi wellington menutupi sebagian kepalanya. Dia jadi mengingat sesuatu tentang topi itu. Pernah dia memakai topi semacam itu sekali seumur hidup ketika pesta perjamuan para bangsawan. Dia bukan bangsawan, hanya berlagak.
Merespons kalimat si pria asing, perempuan itu menjawab. “Biri-biri ini lah yang tersisa dari yang kupunya. Kalau mati semua, aku tidak lagi menjadi penggembala.”
Perutnya berbunyi lagi. Dia belum makan apapun hari ini.
“Apa kau mengutuk.”
“Hah.”
“Perutmu.”
Pria yang tampaknya aristokrat itu melangkah mengeliminasi jarak. “Kau lapar. Kau mengeluh. Dan kau memandang sedih pada biri-birimu yang tersisa. Dan kau tak bisa berada di tengah kota terlalu lama karena rambut merahmu. Dan kau seorang diri. Dan kau mengutuk.”
Ada bau kematian dari sepasang mata pria itu—yang berkilau keperakan, dalam, tajam. Pada bola matanya dia seperti melihat darah. Darah yang menetes-netes serupa tangisan. Sementara bibirnya menyimpan rahasia; mengenai apa yang dikunyahnya, apa yang ditelannya. Dia tak peduli dari mana pria ini mengetahui soal kehidupannya; bahwa ia adalah penggembala, bahwa rambutnya berwarna merah dan bahwa ia mengutuk.
“Siapa namamu, Tuan?” dia memang berpikir perlu untuknya memanggil pria itu tuan.
“Uri.”
“Oh, kau seorang aristrokrat Yahudi?”
“Aristokrat?”
“Ya, aku menyimpulkannya sendiri dari gaya pakaianmu.”
“Lalu, namamu?”
“Kupikir kau sudah mengetahuinya. Kau mengetahui segalanya tentangku.”
“Tidak, tidak juga. Aku hanya tahu permukaanmu.”
“Kau boleh panggil aku Erin.”
Erin tahu ia mungkin tidak seharusnya bicara dengan pria misterius itu. Pada malam berikutnya, ketika salju turun pukul sebelas, seluruh biri-birinya mati.
Dia menggigil. Kelaparan. Roti di atas meja sudah masuk semua ke dalam perutnya pagi tadi dan dia tak punya makanan lain tersisa. Mau tak mau dia harus pergi ke kota, mencuri apa saja, memakan apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya.
Dari dalam gubuknya, Erin mendengar suara lolongan serigala, Bersahut-sahutan, seakan memberi pertanda. Dan pria itu tiba-tiba saja ada, berupa bayangan di balik malam yang berkabut. Dia jadi tahu siapa sebenarnya pria itu. Bukan aristokrat, bukan bangsawan, bukan manusia. Dia hanya seekor serigala kelaparan yang memakan biri-birinya.
.
.
Uri bukan nama asli. Dia bahkan tak memiliki nama.
“Kenapa tidak kau makan pula aku?”
Uri bisu sejenak. “Aku tidak lagi memakan manusia.”
“Tidak lagi, eh.”
Pada suatu masa, sekian ratus tahun lalu, saat terakhir Uri menikmati daging manusia, perutnya memberontak. Manusia terakhir yang ia makan adalah rekannya, yang tengkoraknya tersembunyi rapat di balik jubahnya. Bau kematian itu Erin duga dari masa lalu Uri.
Makhluk misterius ini, manusia serigala ini, bagi Erin, tidak lebih buruk dari manusia. Manusia membakar manusia, menuduh, membuat keji. Atas nama Tuhan, atas nama kedamaian, kesucian Santa, mereka melakukan pembenaran atas kejahatan.
“Erin…”
Dia ulas senyum hampa. “Hei, katakan padaku, apakah aku lebih buruk dari manusia?”
“Aku abadi.” Uri tidak menjawab pertanyaannya. Tetapi kalimat itu memberi pertanda. “Aku abadi karena aku memakan rekanku. Aku tidak pernah memakan lagi manusia.”
Perutnya bergejolak.
Uri mendekat, membaui lehernya. Pria itu membisikkan sesuatu. Katanya, “Kau boleh makan aku. Aku abadi. Aku tidak akan mati.”
.
.
Di dalam kereka lokomotif uap dari Dublin menuju Carlow sebagai tujuan akhir, Erin berada di sana, kala mesin kereta mati di perbukitan Wexford, di antara penumpang yang menjerit—yang dia makan salah satunya. Erin melihat sosok itu, yang berdiri di atas gerbong tiga, melolong, memberi tanda, ketika dia melarikan diri ke dalam hutan, kembali sembunyi di dalam gubuk tua bersama beberapa ekor biri-birinya.
Rambutnya merah, tapi dia bukan penyihir. Dia pernah datang ke pesta perjamuan para bangsawan menggunakan topi wellington yang sama dengan yang dikenakan Uri, tapi dia bukan bangsawan. Itu hanyalah bagian dari kemuflase. Uri tidak (lagi) memakan manusia, tapi ia membawa hewan ternak penduduk desa. Erin tidak pernah memakan hewan ternak, tapi dia memakan manusia. Namun dia bukan manusia serigala. Dia hanya penggembala yang lembu serta biri-birinya habis dimakan serigala. Dan serigala itu mengintainya.
“Hei… jawab aku, apakah aku lebih buruk dari manusia?”
Uri mati. Tinggal tulang-belulang. Jeroannya tak lagi terburai—telah lenyap, habis, mengenyangkan perutnya. Musim dingin membuat Erin kelaparan. Dia habiskan semua. Uri hidup lagi. Utuh. Hidup kembali untuk dimakan lagi. Ketika suatu malam tubuhnya kembali utuh bak tak pernah tergores sedikit pun, Uri menjawab pertanyaan itu.
“Penjelasanku mungkin tidak menjawab pertanyaanmu, tetapi kau lebih buruk dariku. Kau bukan setan, kau bukan vampir, bukan pula manusia serigala. Aku tidak tahu kau apa tapi aku tahu kau lebih buruk dariku.”
Bau kematian adalah perkara yang menyatukan mereka sebagai sesama pemangsa.
.
.
-fin-
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
The railway and the secret tree.
.
Akhir-akhir ini, Cendala sering memimpikan melihat rel kereta—membentang jauh, ke suatu lokasi yang entah di mana, meski tampaknya rel itu seakan tak berujung.
Sementara di kanan-kiri, hanya rerumputan hijau terhampar, ada pula satu pohon rindang yang tak ia ketahui namanya—barangkali walnut? Atau sebenarnya pohon itu adalah pohon imajinasi; tidak pernah ada di dataran mana pun selain mimpinya. Bisa jadi pohon rahasia; menyimpan banyak bisikan-bisikan rindu dari seorang kekasih yang lenyap ditelan malam. Bisikan-bisikan yang tidak pernah benar-benar diutarakan ketika ia sadar sepenuhnya.
Cendala, apa kau tak rindu aku?
Biarkan bisikan tetap jadi bisikan. Biarkan pertanyaan tetap menjadi pertanyaan. Itu adalah suara yang begitu dikenalnya, terdengar di atas langit—seumpama hujan, membekukan diri, membuat ia menggigil. Suara demi suara kembali terdengar, mempertanyakan hal yang kurang lebih sama; tentang kerinduan. Cendala mencoba mengenyahkan. Alunan Claire de Lune muncul begitu saja dari dalam kepalanya. Debussy. Mengalun lembut, lamat, hentak, menciptakan daya imaji yang lain.
Biarkan bisikan tetap menjadi bisikan.
Cendala memutuskan untuk mengadakan konser seorang diri; di tengah-tengah jalur kereta tanpa ujung, di antara hamparan rumput hijau dan sebatang pohon rahasia. Ia mainkan violinnya penuh gairah, penuh hasrat. Menggebu.
Ketika aku terbangun nanti, bisakah kau tanyakan pertanyaan itu langsung kepadaku dan bukannya melalui mimpi?
Dan ketika terbangun, Cendala tidak menemukan siapa pun di sampingnya. Tidak pernah ada hawa yang tidur di sana, tidak pernah ada sejak… ah. Ia enggan menyebut namanya. Tetapi, tampaknya, nama itu justru semakin kuat menancap di kepala—dengan akar besar, sulit untuk dicabut. Semakin ia sering terlempar ke alam mimpi yang sama. Barangkali nama itu telah menjelma pohon rahasia dan rel kereta—yang adalah jalan panjang yang harus ia tempuh untuk meninggalkan pohon itu, sementara rumput-rumput adalah kenangan yang berserak.
Kembali, dipejamkannya sepasang netra miliknya. Melanjutkan mimpi.
Cendala, apa kau tidak rindu memanggil namaku?
Meski ia memanggil nama itu, pemiliknya tak akan (lagi) menoleh. Meski ia memanggil nama itu, pemiliknya mungkin akan tetap berjalan menjauh. Meski ia memanggil nama itu, keadaan tidak akan berubah.
Bukankah, sudah waktunya kau berhenti mendiami isi kepalaku, Nala?
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
Cerita di Pulau Buru
.
Suara mesin ketik yang suaranya melenggelegaki ruangan dengan berisik itu memecah sunyi malam.
Pulau Buru senyap seperti biasanya. Orang-orang hanyut dalam lelapnya tidur, sesekali ditingkahi tangan yang menepuk nyamuk. Nyamuk-nyamuk berdatangan, dengungannya merangsek telinga, memecah konsentrasi untuk mengistirahatkan tubuh. Ada yang melenguh, bentol-bentol sebesar anggur tercetak jelas di kerak-kerak kulit. Wabah penyakit malaria kala itu sedang ramai, musim penghujan semakin membuatnya riuh. Nyamuk pembawa petaka itu berkembang-biak dengan liar.
Liar, dan banyak.
Lima orang dokter tak akan cukup untuk menangani sekian ribu pasien. Banyak diantara mereka yang pada akhirnya meregang nyawa, mati dalam keadaan pedih—jauh dari sanak-saudara, tanpa ditahu bahwa salah satu anggota keluarganya telah tiada. Tentu, tentu persoalan itu berlaku bagi mereka-mereka yang diasingkan di Pulau Buru.
Siapa tahu orang tua mereka tewas dibantai—atau istri dan anak-anaknya. Atau semuanya. Tewas ditembaki, dipenggal, digorok. Lantas mayatnya dibuang ke sungai. Sungai kala itu bak tempat kuburan masal, bukan lagi tempat bagi air mengalir. Mayat-mayat penuh, amis darah menyemerbak, tak henti-henti. Mayat bergelimpangan tanpa tangan, kaki. Kepala. Mayat tanpa nama. Hanya satu saja identitas mereka: merupakan bagian atau simpatisan PKI.
Apa itu PKI. Ah, sudahlah, jangan dibahas. Akan ada anak-anak menangis karena ketidak-adilan yang mereka unduh akibat sejarah berdarah itu. Lagi pula tidak ada buku-buku yang membahas pembantaian satu juta jiwa pada tahun 1965 sampai 1966. Sejarah mengerikan yang dikubur rapat-rapat. Tapi anyir busuknya masih terasa. Menusuk hidung. Bau busuk yang menutupi segala fakta dan kebenaran. Tidak tahulah.
Kanugra tidak tahu akan seperti apa negara ini dalam puluhan tahun esoknya. Bahkan ia tak tahu sampai kapan dirinya diasingkan begini. Apakah hal mengerikan ini akan berakhir besok atau tidak sama sekali. Barangkali kehidupan tidak selamanya berjalan. Ia barang tentu sudah mati, entah karena apa. Mati di sebuah pulau kecil sempit jalan untuk melarikan diri.
Melarikan diri kemana?
Ada laut membentang. Ada tentara-tentara bersenjata. Kalau ingin bebas, tinggal pilih saja, mau mati tenggelam atau kepalamu dilubangi bijih besi yang dilepaskan para tentara—bahkan itu bukan lagi masuk klasifikasi mimpi terburuk—karena satu tembakan tepat di jantung bukan perkara mengerikan, itu cukup bagus. Tak perlu merasakan sakit, langsung mati saja. Ke surga atau neraka—atau ke mana lagi sekiranya kalau bukan surga dan neraka? Pokoknya ya begitu.
Tentara-tentara itu bukan semuanya orang baik. Banyak lagi kejamnya. Senang sekali mereka menyiksa dulu sebelum menembak tepat di dada—atau kepala, atau apa saja yang langsung membuat orang tewas seketika. Mula-mula kaki ditembak, lantas si tentara bertanya dengan nada iba.
Oh, sepertinya sakit sekali. Mau ditambah lagi?
Jangan jawab dulu kalau ditanya begitu. Terlebih menggeleng-geleng. Jangan. Nanti ditembak lagi. Lagi. Lagi. Begitu terus sampai kehilangan banyak darah. Matinya pelan-pelan tapi sakitnya bukan main. Mending berenang, kalau tidak sial ketemu hiu, ya ujung-ujungnya tidak jauh juga. Mati tenggelam. Paru-paru dibanjiri air garam. Laut ‘kan, memang kubangan besar isi air garam. Asin. Hidup ini pun asin. Asin-asin pahit. Apalagi kalau dituduh bagian dari PKI. Habis sudah. Kalau bukan mati karena ‘pembersihan’, ya, mati karena malaria.
Malaria… era-era koloni nyamuk sedang berpesta. Mereka penghisap darah. Mumpung banyak stok manusia, lemah-lemah, kotor-kotor. Kapan lagi dicoba.
Seorang teman menepuk pipinya sendiri. Kanugra melirik sebentar. Lantas ia lanjutkan mengetik. Menulis surat di tengah malam memang bikin tenang, tak usah risau dipergoki tentara. Sial memang kalau ketahuan. Pasti suratnya dibakar. Abu yang memusnahkan aksaranya sekaligus.
Kanugra acap kali berkhayal. Surat kemarin yang dibakar tentara itu pada akhirnya sampai ke tangan Zamroni. Tidak dalam bentuk utuh, tapi dalam bentuk lain. Contohnya… apa ya. Oh, ya, ya. Surat itu sampai lewat mimpi. Dalam tidur nyenyaknya (tanpa takut kedinginan dan takut akan ancaman malaria), Zamroni bermimpi mendapat surat dari tukang pos. Siapa tukang posnya, boleh siapa saja. Kenapa harus ribut-ribut memikirkan siapa tukang pos.
Kemudian Zamroni membaca surat itu di depan jendela kamarnya (atau di mana pun yang ia suka, di ruang tamu, misalnya). Isinya sama persis dengan surat yang dibakar si tentara. Memberitahu kalau Kanugra ada di Pulau Buru, sedang mati-matian melawan malaria (dan menahan diri untuk tidak melarikan diri). Diakhiri dengan paragraf terakhir yang mungkin akan membuat Zamroni repot kalau harus dikabulkan.
Aku tahu kau memiliki pangkat yang cukup berpengaruh di Angkatan Darat. Maka dari itu, barangkali kau bisa menyelamatkanku karena jabatanmu itu. Orang-orang yang memiliki pangkat sudah tentu mendapatkan apa yang mereka mau. Itu saja. Aku tahu kau orang baik sebab itulah aku mengirimkan surat ini padamu.
Seorang teman yang menepuk pipinya sendiri itu terbangun. Khadiri namanya. Matanya mengerjap-ngerjap. Lantas ia melontarkan tanya. Tanya yang standar sekali, tak perlu dijawab pun boleh.
“Masih menulis surat?”
Kanugra mengangguk.
Khadiri kemudian mendudukkan diri, menguap lebar, menggeliat. Ada bekas luka di kepala. Katanya dipukuli tentara waktu ia diseret paksa. Kenapa dipukul? Jelas saja, karena ia melawan. Tidak terima buku-buku berharganya dibakar begitu saja. Buku-buku yang ia kumpulkan selama dua puluh tahun ia hidup. Ceritanya menyedihkan sekali. Padahal, katanya, buku-buku sangat berguna buat masa depan bangsa. Banyak catatan sejarah. Banyak sekali. Perjuangannya selama dua puluh tahun mengumpulkan buku satu demi satu harus berakhir dalam satu kobaran api.
Memang kejam mereka itu. Tak mau tahu sulitnya berjuang untuk diri sendiri—terlebih untuk bekal bangsa di masa depan nanti, seperti yang dilakukan temannya itu. Kasihan sekali dia. Akibat pukulan keras di kepala, telinganya jadi tuli. Dia harus menderita seumur hidup. Setelah apa yang coba ia pertahankan namun gagal, dia juga harus membayarnya dengan pendengaran. Kanugra heran. Kenapa orang macam ini tidak memilih mati saja? Apa lagi yang harus diperjuangkan dalam hidup?
Kalau mati ya, selesai sudah semuanya. Kalau saya masih hidup, berarti ada hal yang harus saya lakukan. Entah apa itu. Mungkin menulis. Walau tulisan saya dirampas lagi dari tangan saya, saya sepertinya memang harus menulis terus. Saya percaya saya hidup karena saya harus menulis. Menulis apa, tentu saja, menulis ini. Pengalaman diasingkan di Pulau Buru. Agar semua orang tahu, begini-begini kita juga manusia. Kita juga punya keluarga. Kita juga hidup dan harus mempertanggung-jawabkan kehidupan yang tersisa buat dimanfaatkan.
Begitulah Khadiri menjawab. Sok bijak sekali. Memang seperti itu adanya. Mula-mula dilarang menulis, lalu akhirnya mendapat izin. Seorang jenderal yang menaruh simpati pada dirinya memberikan alat-alat tulis. Lantas dia mendapat mesin ketik tua Royalle 470. Betapa luar biasa bahagia.
Mesin ketik inilah yang sedang dipinjam Kanugra untuk menyurati kawannya yang nun jauh di sana, Zamroni Saifullah. Surat yang diketiknya dengan sepenuh hati. Yang penting menulis surat saja dahululah. Tulis apa saja yang dapat menarik simpati Zamroni.
Teruntuk kawan seperjuangan;
Zamroni Saifullah.
Nah. Begitulah ia selalu awali suratnya. Kawan seperjuangan! Enak didengar, enak dibaca. Lalu surat dilanjut dengan keluhan-keluhan selama di kamp konsentrasi. Tidak bisa kemana-mana. Setiap hari makan singkong—atau apa saja yang dihasilkan alam. Membuat tempat tinggal sendiri dari kayu-kayu yang ada. Pohon terpaksa ditebang. Tidak apa-apa, hanya beberapa saja. Nanti juga ditanami lagi. Jadi taman bunga. Tapi orang yang menanam bunga itu sudah mati kini. Katanya.
Kau tentu bangsa ini sedang bergejolak, kawan. Pemusnahan terjadi di mana-mana. Orang-orang dibantai hanya karena mereka dicurigai sebagai simpatisan PKI. Bagaimana jadinya kalau kecurigaan mereka itu tidak benar? Aduh, sudah berapa banyak dosa yang mereka kumpulka. Banyak sekali seperti gunung. Dasa menggunung! Besar sekali yang harus mereka pertanggung-jawabkan. Mereka siapa, tentu, mereka yang menembak, memenggal, menggorok manusia-manusia lantas membuangnya ke sungai. Tentu.
Lalu sungai meluap oleh tumpukan-tumpukam mayat. Bau busuk tersebar ke mana-mana. Belatung-belatung menggeliat di setiap tempat. Mengerikan sekali. Itu juga yang sedang aku rasakan di Pulau Buru. Pokoknya mengerikan sekali. Sudah lima temanku tewas ditembaki karena melawan, sisanya terkena dampak penyakit malaria. Aku jadi bertanya-tanya, akan bagaimana aku saat mati nanti. Tapi kuharap aku tidak mati di sini. Aku mau mati di luar saja. Bersamamu kalau bisa.
“Mau dirikim ke mana?”
Oh, ya, tentu saja, dia lupa kalau temannya itu agak tuli. Maka, ia mengulang jawaban yang sama. Kali ini lebih keras. Kanugra lanjut mengetik.
Sudah sampai mana tadi…? Hmm.
Kau pasti masih ingat perjuangan kita saat muda dulu. Bukankah menyenangkan memperjuangkan sesuatu bersama-sama. Kebebasan bangsa. Aku butuh itu. Kita semua butuh. Hidup terkekang sama sekali tidak ada enaknya. Apalagi yang mengekang adalah bangsamu sendiri—seperti apa yang terjadi padaku dan pada mereka semua yang ada di Pulau Buru.
Pernah terlintas di kepalaku, kenapa aku tak mati saja. Namun aku tidak bisa mati sia-sia. Untuk apa selama ini aku berjuang kalau aku harus mati pada akhirnya. Aku tidak bisa. Lagi pula aku belum menikah. Aku belum punya anak—anak yang kelak aku ceritakan mengenai kisah pilu tahun-tahun mengerikan ini. Dia harus tahu, tentu. Dia juga harus diberi peringatan untuk tidak sekali-kali menentang pemerintahan. Turuti saja. Baik atau buruk. Daripada haru mati sia-sia.
Bukan hanya itu saja motivasiku untuk terus hidup. Lebih utama ialah karena aku belum bertemu denganmu. Aku ingin bertemu, sudah lama sekali. Aku jadi bertanya-tanya apakah kau masih senang merokok. Aku rindu melihatmu merokok.
“Mau dikirim ke mana?”
Lagi-lagi, pertanyaan itu. Kanugra menjawabnya tiga kali. Tapi tampaknya Khadiri masih belum puas.
“Maksud saya, siapa yang mau dititipi surat oleh orang-orang seperti kita?”
Siapa…
Boleh siapa saja. Itu urusan nanti, yang penting menulis surat dulu.
“Saya tahu.”
Tahu apa?
“Saya tahu kamu menulis surat buat dirimu sendiri. menghibur diri sendiri itu memang baik. Tapi apa artinya kalau sia-sia. Ujung-ujungnya kamu mengeluh juga, ujung-ujungnya menderita juga.”
Kanugra berhenti mengetik.
“Nah, sekarang baru sadar.”
.
.
.
p.s.: Khadiri adalah sosok Pramudya Ananta Toer, yang pernah diasingkan ke Pulau Buru. Sedikit banyak tulisan ini terinspirasi dari kisah hidup beliau selama pengasingannya di Pulau Buru.
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
The Edge of the Harbor; Cinta yang Tak Pernah Pulang
Alyssa merenung. Akhir-akhir dia banyak merenung. Banyak penyebabnya, diantaranya adalah rindu, marah, elok, cinta dan penantian yang dirasa tak punya ujung. Tapi hanya ada satu sosok yang membuatnya begini; sosok yang diam-diam datang tengah malam, merangsek pintu dan memaksa masuk ke dalam ruang mimpinya; menggagahi akal sehat. Dia jadi setengah gila.
Narendra.
Hanya Narendra, tak ada nama keluarga. Lelaki seputih alabaster yang menggerakkan malamnya, membuatnya tak mampu menemukan lelap tanpa hadirnya lelaki itu. Narendra menjelma menjadi mimpi buruk—yang secara mengejutkan ia nanti-nanti dengan tidak sabaran. Sebab, lelaki itu datang dan pergi untuk menyakitinya, berulang-ulang, lagi, lagi, lagi. Alyssa serasa candu oleh rasa sakit. Masokis.
Dia ingin Narendra datang menangkup cinta itu, lalu menaruhnya di atas piring, lalu menyediakan segelas nafsu, untuk mereka berdua bisa menikmatinya bersama-sama. Saling membagi rasa sakit. Menelan cinta yang bernanah, yang berdarah, yang tak lagi berbentuk sempurna. Seumpama dia dan lelaki pucat itu. Hingga rindu yang bertahun menumpuk dibayar tuntas.
Dia merenung karena marah. Setelah sekian lama, Narendra tak muncul-muncul juga. Padahal hari hampir pagi dan Alyssa masih saja terjaga. Jam dinding seperti mengejeknya sekarang. Waktu merangkak, merayap, menggapai-gapai kemustahilan. Alyssa duduk menghadap jendela, memandang pantai dan lautan yang menghamburkan ombak ke tepian karang, sekian kali, menghantam-hantam. Tapi karang tetaplah karang. Dia ingin setegar karang. Dihancurkan berkali-kali tetap tegak dan keras.
Kemudian lelaki itu menjelma ombak. Betapa luka yang abadi. Ahh.
Dia semakin marah karena tak lagi dilukai. Sebab, lelaki itu hilang, lenyap ditelan malam, tenggelam di atas tempat tidur para bidadari yang mencumbuinya dengan nafsu membakar. Tidak. Narendra bukan ombak, lelaki itu adalah angin. Angin yang menjelajah dari satu ranjang ke ranjang lain, yang mengecup tiap-tiap sosok, yang menghembuskan napas di lubang telinga serupa bisik-bisik di malam buta.
Alyssa meremas rambut. Merasa dikhianati tiba-tiba.
Namun perasaan dikhianati adalah luka yang nikmat, yang diam-diam dia telan dengan segenap kesungguhan. Rasa sakit itu indah—perasaan yang elok yang membuatnya merenung. Sebab, dari rasa sakit itu dia akan mengerti satu hal; cintanya masihlah sama, masih pada sosok lelaki berambut hitam sekelam malam dan kulit sepucat bulan, masih sama besar atau barangkali lebih besar dari yang sudah-sudah.
Dari rasa sakit itu dia belajar untuk lebih banyak mencintai. Lebih banyak lagi. Lebih, lebih. Hingga Narendra pulang karena pada perahu kecilnya sudah tak lagi sanggup menampung cinta yang begitu banyak, membludak, tumpah-ruah. Narendra akan pulang dan mengembalikan separuh cintanya. Lalu Alyssa akan kembali menuangkan sepenuh cinta yang dia punya sampai keduanya lelah, sampai keduanya memilih untuk menetap di tanah yang sama, yang menghasilkan anak-cucu untuk melanjutkan kisah mereka kelak.
Dan dengan cara itulah, Alyssa menitipkan sebagian kecil cintanya pada secarik kertas utopia, membubuhkan tinta di atasnya dengan beragam aksara—yang sebagian besar adalah keengganannya untuk bersua dengan lelaki itu lagi, keengganan yang menjelma menjadi cinta, suatu pengharapan agar Narendra mengira dia lelah hingga membuat lelaki itu memutuskan untuk menambatkan kapal di tepi dermaga, lalu pulang menemuinya untuk membuat ia kembali percaya.
Kertas itu dikirimnya melalui angin, melalui surat kabar yang mencakup wilayah, kota, negara, dunia. Dimuat di berbagai koran.
Alyssa memejamkan mata.
Dan menunggu.
.
.
[Aku Enggan Mengingat Dikau
Aku enggan mengingat dikau.
Lantaran ada yang tak terbendung dalam hati
Dan tumpah di tepian bantal, pasti
.
Aku, enggan.
Enggan mengingat dikau.
Dan…
Banyak nian!
Aku ingin mengecup masa depan
Dan dikau,
Biar jadi abu sajalah.]
.
.
Sekian minggu berlalu, Narendra akhirnya datang, mempertanyakan apa yang ditulisnya di surat kabar. Alyssa memainkan jari-jarinya di belakang tubuh, harapannya terkabul. Lelaki itu datang. Dan… barangkali akan membuatnya kembali percaya, percaya untuk kembali pada jemu menunggu, untuk mengenyahkan lelah karena waktu yang terus dipintal kehidupan.
Narendra membacakan puisi itu sembari memandangnya. Lelaki itu lalu membiarkan tangannya terkulai, membuat surat kabar terhempas di atas pasir putih, dibawa angin, terus terbang hinggap ke pucuk air pantai, dihantam ombak.
“Aku mau…”
Alyssa mengerjap. Ia merasa perih mulai merayap. “Kau mau jadi abu?”
Narendra beku. Jari-jarinya mulai bergerak lembut, menyusuri pipi, rahang, lalu berhenti di bibir. Ada yang tak terbaca dari sepasang mata hitamnya, yang membuat Alyssa hanyut ke dalam tanda tanya.
“Aku akan tetap mengingatmu.”
Luka hilang—mati—dihantam kalimat manis dari bibir si lelaki. Ia mendongak, lalu terperangkap dalam kegelapan pada sepadang matanya.
Alyssa bergetar. “Katakan kenapa?”
“Karena hari ini sembilan November.”
Sembilan November. Waktu kali pertama lelaki itu mengecup pedih lukanya. Membuat rasa sakit di dada lenyap tak tahu ke mana. Sembilan… November. Kala keduanya lakukan penyatuan dalam keremangan lampu kerosin. Saling mengikat, saling melebur. Menciptakan kehidupan baru yang belum juga tumbuh.
“Sembilan November adalah hari di saat kita mengikis kepedihan,” kata Narendra lagi. “Aku mengikis kepedihanmu dan kau mengikis kepedihanku.”
Alyssa merasakan basah-basah pada soket netranya. Ia menambahkan, “Aku tidak tahu apakah aku menguatkanmu ataukah kau yang menguatkanku. Tapi kedua hal itu tak ada bedanya. Karena sembilan November adalah hari di saat kita menjadi satu.”
Mengikis kepedihan. Sembilan November, pukul lima menuju senja, pada hari Selasa. Selembar kata-kata puitis tercipta dari tangan kreatif lelaki itu, untuk dipersembahkan padanya sebagai mahar tak ternilai, untuk mengawininya tanpa surat-surat negara, tanpa persetujuan dari kedua keluarga, tanpa ikatan pernikahan. Selembar kata-kata yang Alyssa simpan dalam ruang paling rahasia di suatu bilik di hatinya.
.
.
[Mengikis Kepedihan
Berlembar-lembar tangis kau tumpahkan sudah.
Mereka jatuh ke tepian pantai senja itu,
Bergabung bersama sejuta pilu.
Dan kau, tetap menggenggam asa… meski yang tersisa hanya luka.
.
Andai dapat kuambil tangisanmu itu,
Akan kualirkan mereka ke dasar laut sana,
Akan kubuat keeping tangismu diturunkan awan,
… menjadi hujan.
[titik … titik … titik …] Selepas titik lalu koma, kaulah yang menentukan.
Apakah kau membuangku,
Atau menungguku kembali… untuk menghapus air matamu.]
.
.
Selesai penyatuan panjang, dia putuskan untuk menunggu, seperti yang dia lakukan setiap waktu di sepanjang hidupnya. Menunggu lelaki itu pulang, datang dan kembali memenuhinya; mengenyahkan sepi di dada dan mengusap luka batin.
Dengan pertemuan di tepi dermaga itu, Narendra membuatnya percaya. Lelaki itu mengecupnya, seperti yang sudah-sudah. Menghapus jejak air matanya yang menganak di belah-belah pipinya. Mendorongnya dalam rengkuhan hangat yang manis. Alyssa mengulaskan senyum. Namun senyuman itu hilang sejarak pandang kala Narendra kembali bersuara, membuat telinganya berdengung panjang.
“Aku akan mengarungi samudera lagi.”
Alyssa terpaku. Narendra hendak meninggalkannya, lagi-lagi. Dia dipaksa menunggu dalam ketidakpastian, kosong hadirnya yang membuatnya nyaris gila dilumat rindu, dirayapi penantian yang tak tahu ujungnya di mana. Dia ingin menghempaskan cinta, sekali tiga uang dengan luka, beserta segala-galanya yang membuatnya rapuh tanpa keberadaan lelaki itu.
“Aku tahu kau jahat, bahkan dengan keinginanmu itu.” Alyssa tak sanggup. Ingin dimuntahkannya segenap amarah dalam diri yang terpenjara sekian lama. Dia tersiksa bertahun-tahun hanya karena seserpih memori sembilan November dan secarik kertas Mengikis Kepedihan.
Narendra memandang, sorot matanya teduh, namun terpeta kekalutan sendu. “Ini demi kebaikanmu.”
“Dengan membiarkanku kembali sekarat, kau bilang itu demi kebaikanku?”
“Tentu. Apa kau tidak merasa lebih baik sekarang?”
Seperti apa perasaan lebih baik itu? Sejujurnya Alyssa tak tahu—tak pernah tahu. Sejauh ini hanya remuk yang dapat dia rasakan, remuk beserta sakit yang tiada habisnya. Kepulangan Narendra tidak membuat segalanya tuntas, tak membuat segalanya lebih baik, justru semakin keruh, sakit. Kembali memperdalam torehan luka yang belum juga mengering dahulu, mengoyak hatinya yang semakin tak utuh.
Alyssa tahu ia rindu, rindu lelaki itu, rindu rasa sakit yang merajam dirinya dengan kejam. Tapi ia tak pernah tahu kapan penantiannya berakhir, kapan rasa sakit itu kembali hadir. Mengunyah luka sendirian bukan perkara yang menyenangkan. Dia ingin mengunyah luka itu bersama-sama, seperti sembilan November beberapa tahun lalu, seperti saat mereka menjadi satu.
Kadang dia bertanya-tanya, apakah alasan sebenarnya di balik kesenangan Narendra melintasi berbagai samudera. Dia pernah berpikir, barangkali Narendra ingin tahu sejauh mana cintanya akan bertahan, sebanyak apa perasaan itu apabila terus ditumpuk setiap waktu. Padahal Alyssa telah berkali-kali membuktikan bahwa cintanyalah yang paling megah dan besar. Hanya dia yang paling setia. Tak ada lelaki lain yang mengisi tempat tidurnya.
Ataukah justru karena lelaki itu sudah nihil rasa. Narendra yang mengarungi samudera karena ingin melepas tanggung-jawab atas mahar yang diberikan padanya. Di suatu tempat di penjuru dunia, berangkali ada perempuan bernasib sama dengannya; termakan kata-kata manis dan dibodohi oleh cinta yang dibuat-buat.
Alyssa kembali merenung… dalam penantian panjang, Alyssa berharap rasa cintanya terhadap lelaki petualang itu terkikis bulir demi bulir, lalu hilang disapu waktu. Begitukah.
Alyssa tak mampu menahan setitik air mata. Air mata lagi, kesekian kali. Dia menangis. Terlalu banyak merenung membuatnya depresi. Dia tak tahu lagi mana benar, mana salah. Apakah manis kata dari bibir Narendra, atau kemungkinan-kemungkinan yang tercipta di kepalanya.
Narendra memandangnya, menuntut jawab.
Katakan, apakah dia merasa lebih baik sekarang?
Alyssa menggeleng. “Tidak.”
Lelaki itu menghela napas, seolah lelah dengan apa yang selama ini ia berikan. “Seharusnya kau tidak menjawab tidak.”
Kenapa? Dia ingin sekali melontarkan tanya, namun sesuatu yang menyengat di hatinya menahan pertanyaan itu.
Narendra tak menunggu Alyssa bertanya, lelaki itu dengan kejam melanjutkan. “Dengan jawabanmu itu, dapat kupastikan bahwa kau masih mencintaiku.”
Setelah penantian yang panjang, apakah kau ingin aku tidak mencintaimu?
“Aku tidak mencoba mengelak sejak awal.”
Ya, Alyssa sama sekali tidak mencoba mengelak. Satu tahu, sepuluh tahun, seratus tahun bahkan jika perlu seribu tahun, tak akan dia mengelak bahwa cinta yang dia punya hanya dia persembahkan pada lelaki itu—sepenuhnya. Tak peduli seberapa banyak ranjang yang telah memeluk tubuh lelaki itu.
Narendra terpaku. Alyssa ingin membuktikan bahwa hanya dia yang berdiri sampai akhir untuk mencintainya, tak peduli meski harus membayarnya dengan luka untuk seribu tahun lagi.
“Aku memang mencintaimu. Cinta yang begitu banyak dan tak terhingga.”
Alyssa tak tahu, apakah Narendra yang berada di hadapannya adalah penipu—menipunya agar dia lebih banyak melahirkan cinta, ataukah justru sembilan November hanyalah hasil dari rekayasa—Mengikis Kepedihan tidak sungguh-sungguh dibuat atas dasar hatinya. Narendra bilang ia akan pulang dan menghapus air matanya, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Alyssa telah dan akan banyak menangis.
Narendra pulang hanya untuk menambah luka di hatinya.
Alyssa terisak tanpa terasa. Narendra masih saja bisu.
Lelaki itu memejamkan mata. Ia mendekat, merengkuhnya, lalu mendaratkan kecup di puncak kepala. Kecupan yang membakar jiwa.
“Bunuh aku, Alyssa.”
Alyssa tahu, jawaban itu membuktikan penantiannya sia-sia. Dia adalah pihak yang bodoh disini. Segenap luka yang dia dera menjadi sia-sia, sebab, sekali pun, barangkali Narendra tak pernah benar-benar mencintainya. Dia hanya menjadi bagian kecil dari hidup lelaki itu yang masih sangat panjang, sebagian kecil yang suatu hari nanti terhapus dalam ingatan serupa awan yang bergerak maju dan tak pernah kembali ke tempat semula.
Alyssa tak ingin membunuh Narendra. Justru dia akan membunuh dirinya sendiri. Sudah tak ada lagi arti. Jika ada alasan untuknya hidup dengan menunggu Narendra seumur hidupnya, tak mengapa baginya. Tapi Alyssa tak punya alasan itu lagi. Alyssa tak tahu apa yang harus dia lakukan sepanjang umurnya selain menunggu.
Tanpa Narendra, Alyssa merasa tak hidup.
Lebih baik dia mati. Dengan kenangan yang tercipta mengenai kisahnya dengan Narendra akan terkubur bersama kematiannya.
“Alyssa…”
Suara lelaki itu mengembalikannya ke bumi.
“Aku mencintaimu…”
Alyssa tak mengerti.
“Aku mencintaimu, karena itulah aku harus mengarungi samudera untuk membuktikannya.”
Narendra menyelipkan secarik kertas usang ke dalam genggaman tangannya.
“Aku mencintaimu, karena itulah, kau harus berhenti menungguku.”
Alyssa mengerjap. Dipandanginya gumpalan kertas berwarna kecokelatan di tangannya, jemarinya lalu menangkup gumpalan kertas itu.
“… dan karena itulah, kau harus berhenti mencintaiku.”
Suara ombak besar menghantam karang, berkali-kali terdengar. Dia limbung kebingungan, kebingungan yang memaksanya untuk berpikir dengan benar. Tapi Alyssa tak mampu. Dipandanginya Narendra, sorot matanya menuntut penjelasan. Lelaki itu tampak terburu-buru.
“Ketika kau sudah tak mencintaiku lagi, dan ketika aku menemukan diriku masih mencintaimu, maka aku akan pulang. Aku akan pulang padamu. Kita harus menyerahkan semuanya pada takdir.”
Permintaan terakhir Narendra membuat Alyssa enggan bernapas.
“Alyssa, izinkan aku mengarungi samudera sekali lagi.”
Dia tak ingin melepaskan lelaki itu untuk ke manapun. Dia ingin Narendra bersamanya mulai hari ini. Tapi melihat kesungguhan di wajah lelaki itu membuatnya bingung. Alyssa tak tahu, apakah selama ini yang dia renungkan adalah hal-hal kosong ataukah kini lelaki itu mulai kembali memaksanya untuk menggenggam kata-katanya yang penuh dusta. Alyssa tidak tahu dan jurang kebingungan itu semakin tergali lebih dalam.
… sementara itu, waktu terus dipintal kehidupan. Merangkak, meski terasa lambat, meninggalkannya dipeluk bimbang.
Alyssa tak tahu mengapa dirinya mengangguk.
Narendra berlalu. Lelaki itu melepaskan tali yang menambatkan kapalnya, kemudian kembali bergabung bersama semesta lautan. Alyssa ditinggalkan untuk kesekian kali. Tak bisa dia pahami siapa disini yang berpikir terlalu kompleks—dirinya atau Narendra—atau barangkali gila, tapi Alyssa mencoba untuk mempercayakan segalanya pada takdir.
Seperti apa kata Narendra.
Alyssa berdiri tegak pada tepian dermaga. Dibukanya gumpalan kertas dalam genggaman. Tersenyum, kala dia temukan setangkai bunga layu, yang kelopaknya sudah banyak berguguran namun tetap menguarkan wangi. Narendra ingin Alyssa menjelma serupa bunga itu. Bunga yang barangkali layu dilumat waktu namun harumnya tak pernah habis, seumpama cinta.
Ada bait-bait kalimat yang tertulis dalam kertas usang itu.
Alyssa membacanya saat matahari tergelincir ke ufuk barat.
.
.
[Bunga
.
Esok, ketika matahari pertama kali hadir, ketika manusia mengawali harapan-harapan baru, dan ketika kau menemukan dirimu terbangun dalam kehampaan, ingatlah hal sederhana ini. 
Bunga;
Aku cinta padamu. Lebih banyak lagi, lebih banyak lagi.
Tiap-tiap esok, lebih banyak lagi.]
.
.
Alyssa lupa. Narendra memintanya untuk berhenti mencintai lelaki itu. Tapi dia tak bisa… bahkan setelah seribu tahun berlalu, Alyssa akan tetap mencintai Narendra.
Karena itulah…
Waktu berlari cepat dan Narendra tak pernah kembali.
Sekian puluh tahun terlewati.
Hingga pada suatu pagi seseorang menemukan sebilah kayu yang terdampar di bibir pantai. Barangkali bagian dari badan kapal yang hancur dihantam badai. Pada kayu yang patah dan berlumut itu terdapat ukiran bunga. Bungan indah namun bernasib malang. Seumpama Alyssa yang terus menanti sampai dia mati. Dan kematiannya sudah berlalu lama sekali.
.
.
-fin-
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
a little piece of sad sunflower story
Tumblr media
.
Seperti udara, rasa itu selalu ada. Keberadaannya selalu konstan dan dibutuhkan. Kau tahu, konstan menyalurkan berbagai jenis suara yang ada di bumi, hingga detik ini kau mampu mendengar gemerisik dedaunan yang tereliminasi dari ranting-ranting yang ditarikan angin. Dibutuhkan, layaknya kau yang bernapas, menghirup penuh syukur tanpa harus membayarnya. Ya, Tuhan, untuk itu aku akan selalu bertanya-tanya mengapa Kau baik sekali.
Hanya saja, aku tidak terlalu suka dengan nasib cintaku yang….mengenaskan. Aku ingin protes untuk itu, Tuhan.
.
.
.
Selama yang kutahu, aku selalu jadi stalker untuk makhluk yang satu itu—eksistensi yang dinamai gadis—semenjak masih ingusan. Gadis mentari yang ceria dan membawa-bawa bunga matahari dan lily setiap pagi untuk diberikan kepada guru yang mengajar. Dia akan berkata seperti, “Untuk orang yang kukagumi, yang membuatku pintar!” tiap kali guru bertanya atas tindakan manis itu. Lalu setelahnya ia akan berlari ke mejanya di deretan depan dan mulai berkhayal dengan cita-cita konyolnya menjadi petani bunga yang memiliki seribu hektar padangnya sendiri—membangun rumah kecil di pinggir atau tengah-tengahnya, hidup sederhana dan bahagia dengan pria yang ia cintai, dan punya anak tiga yang semua kepalanya cokelat ikal seperti dia.
“Putra! Kamu sudah punya pacar?” si gadis matahari menanyaiku di suatu siang di bulan Juli yang panas, di ladang bunga desa saat kami berusia tiga belas—liburan kelas bersama. Mata eboninya membelalak ceria, dan kudapati pancaran keingintahuan yang serius disana. Hatiku tercubit, tapi aku tetap tertawa-tawa, mengejar dirinya yang mulai berlari kesenangan ditengah hamparan helianthus yang mulai layu. Aku meraih helai-helai ikalnya dan menariknya jatuh, membuatnya berguling ke rerumputan luas diujung ladang. Aku ikut berguling, kami berdua tertawa bersama.
“Aku selalu punya pacar yang kusimpan sampai nanti aku dewasa.” Jawabku disela napas satu-satu dan kesibukan menyipitkan mata karena menantang matahari. Lalu, dia tertawa—tawa mengejek—dan mengacak rambutku dengan gemas.
“Tipe setia, ya, kamu ini?”
Masih menatap mentari, aku nyengir. “Yeah. Kuharap aku bisa menikahinya saat usiaku dua puluh tiga.”
“Kenapa dua puluh tiga?”
“Supaya ada cukup waktu untuk membuat tiga anak.” Enteng sekali jawabku saat itu. Dan gadisku lagi-lagi menderaikan tawa renyahnya yang sangat dekat.
“Tahu gak, Put? Kamu ini badut banget. Aku suka kamu!”
Lalu gantian aku yang tertawa, mencubit ujung hidungnya sampai memerah—dan akhirnya dia bersin. Tawa lagi.
Tangan kami bertautan disana, saling menelusupkan jemari dengan erat. Berharap agar teman-teman kelas dan guru kami benar-benar tak menyadari aksi kabur itu.
“Anna…” panggilku di sela-sela angin yang menerbangkan sekumpulan serpihan-serpihan bunga matahari yang lepas dari tangkainya.
“Hmm~?” matanya terpejam, menikmati uaran floral itu mengisi paru-parunya banyak-banyak.
“Aku juga menyukaimu.”
Menegaskan ia bagaikan udara bagiku, seperti halnya binar bunga matahari di bulan Juli yang kami hirup bersama-sama. Cinta pertama dan terakhirku. Aku selalu menyukainya, dan yakin dapat membahagiakannya sampai nanti.
.
.
Namun, aku lupa bersyukur.
.
.
Kami berpisah dengan alasan yang kekanakan—khas cinta monyet lainnya di belahan bumi manapun. Kami terlalu dramatis menyikapi keadaan. Gadis mentariku mulai menuntut kasih sayang dariku yang selalu dikatanya kurang. Aku terlalu cuek dan santai. Dia pikir aku mengabaikannya. Karena aku sibuk—mulai punya kegiatan dengan teman-teman bola sepakku dan berpikir bahwa hobi sesama lelaki itu lebih seru daripada berduaan dengannya sepanjang waktu.
“Bosan,” begitu katanya. Kami putus. Menjalani hidup masing-masing secara terpisah, tak pernah bertegur sapa. Dia jadi sosok asing di sisa kehidupan sekolahku.
.
.
Aku, berdiri di depan mahligai serba putih seperti orang tolol di umurku yang ke-dua puluh tiga.
Disana, Anna menjadi makhluk paling indah yang pernah kulihat—berbalut gaun pengantin putih gading yang hangat, dengan bibir merahnya yang jauh menggoda dibandingkan ekspektasiku untuk memvisualisasikan Anna dewasa. Lengannya menggelayut mesra ke lengan businessman kaya raya, yang marganya Hutagalung atau sejenisnya—aku tak peduli soal itu.
Menyadari bahwa aku masih mencintainya, menambah lagi kepingan hatiku yang hancur dengan naasnya. Tapi aku tersenyum, karena aku memang tolol—tolol karena aku lupa bersyukur telah memilikinya di masa lalu, dan terlalu sibuk beroptimis-ria bahwa Anna tak akan pernah lari dariku. Lupa bahwa dia adalah udaraku. Lupa bahwa dia adalah alasanku tertawa. Lupa bahwa dia adalah cinta pertama dan terakhirku—aku termakan sugestiku sendiri.
Lalu mata eboni yang akrab itu jatuh ke mataku. Tatapan bahagia saat menyalami tamu-tamunya seketika luntur digantikan raut nanar yang khas. Ekspresi pias yang kukenali sebagai wajah sedihnya saat kami berpisah—dan saat-saat dia menungguku untuk mengajaknya bicara lagi, mengharapkan pasca-hubungan yang lebih baik, yang sayangnya kuabaikan mentah-mentah sampai kami pergi ke universitas di kota berbeda.
Anna masih mematung di dalam mahligainya. Dan aku tersenyum—cengiran sok ikhlas—yang sudah kulatih berkali-kali di depan kaca sepanjang malam tadi, seraya mengucap tanpa suara;
“Berbahagialah, gadis mentariku.”
Seolah dapat membaca gerak bibirku, kepala ikalnya yang digelung penuh estetika itu mengangguk samar. Setetes air mata timbul dengan senyum manis terkembang. Anna menangis diam-diam, melambai, dan mengucapkan “Terima kasih” dengan gerak bibirnya.
Kuberinya anggukan singkat. Sesaat kuperhatikan sosoknya untuk yang terakhir kali, seraya mengangkat bucket bunga matahari besar yang kubawa sedari tadi. Aku lalu berbalik, menuju meja tamu kosong yang jauh dari perhatian orang-orang. Kuletakkan bucket-ku disana, dan menghilang.
Tuhan, Kau tahu aku jadi pria yang selalu bersyukur semenjak dia menikah. Dan Kau pasti tahu, bagaimana caraku melupakannya—berusaha keras—namun tak bisa. Anna telah menjadi udara bagiku, merenggkut serta tawaku sampai tak bersisa. Jika Kau menjawab rasa syukurku, bagaimana dengan menghadiahiku satu gadis selain dia untuk dicintai?
—agar aku bisa terbebas dari kutukan patah hati ini…
.
.
.
Fin.
.
Cintailah orang sepenuh hatimu. Jangan sampai kau menyesal karena tak mau berjuang selagi bisa ;)
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
Friendly reminder
Indigenous people do not owe you anything related to our race
We do not owe you what tribe we come from, "what percentage" indigenous we are, knowledge on our culture, our opinions and beliefs on every single topic related to us, kindness or understanding about colonization we underwent, sympathy for people who contributed to our oppression, anything.
Hell we don't even owe ourselves that! An indigenous person does not have to know what tribe they come from, or what percentage indigenous they are, or knowledge of their culture, to still be indigenous. Especially when the entire reason so many indigenous people don't know these things is because of colonialism. Because of the oppression our people where put under for decades, even centuries in many places. Colonists did this to us on purpose.
They didn't want us to know our own heritage, our own culture, because they didn't want any remnants of cultures other than their own to exist. They wanted to erase us from history, from existence. They actively tried to forcibly integrate our people into theirs so the blood and heritage of indigenous people was spread as thin as they could get it. Which is why blood quantity will never matter or make someone no longer indigenous. Because taking away someone's indigenous heritage is exactly what colonists wanted.
They wanted indigenous people gone. They wanted our heritage to be spread so thin that they could decide we didn't exist. By telling someone they aren't indigenous enough, you are doing exactly what colonists wanted to happen to indigenous people. And we have been saying this for years.
It isn't just indigenous people who are "barely indigenous" by your standards saying it either. It is all of us, who are trying to hold on to what remnants of our people we have left, no matter how "small" it is in your eyes. And it will never be a non indigenous person's place to tell us not to. To tell us that some of us don't belong in our own community, that some of us should deny our heritage and say we are one of you.
Saying that any of us should do that is helping to prolong the effects of colonialism.
Indigenous people do not owe you anything, but many of you owe us everything for the damage done to our people that is still carried on today through your words and actions towards us.
149 notes · View notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
Sure thing.
“I’ve lived too long with pain. I won’t know who I am without it.”
— Orson Scott Card
2K notes · View notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
tangled
but then i was love struck love struck love struck
and you, too, unconditionally.
(as always.)
.
.
“Kau sudah melihat terlalu banyak,” Linda mengatakannya sambil menatap langit malam penuh bintang. Pepohonan tepi hutan memberikan celah di antara ranting-ranting, dan Nathan bisa mengenali beberapa rasi yang malam sebelumnya diceritakan sebelumnya oleh Linda.
“Kau sudah melihat banyak bagian dari dunia,” Linda melanjutkan, matanya menatap Nathan dengan penuh kasih; sesuatu yang mengikat Nathan. “Apa yang paling kau sukai? Ceritakan bagian favoritmu dari perjalanan-perjalananmu.”
Nathan mendongak.
Katanya, seorang Danvers selalu menjadi yang terhebat untuk mencinta. Mereka mencinta nyaris tanpa batas, kecenderungan yang membuat mereka rentan jatuh pada kegelapan. Jatuh terlampau jauh akan menarikmu ke palung terdalam; nihil cahaya.
Namun menatap Linda lama-lama hanya membuatnya ragu, apakah hanya Danvers yang terhebat? Cinta milik Linda terlalu besar dan itu semua terlihat di matanya.
“Bagian favorit?” Nathan Danvers mengulangi kata-kata Linda. Dia tak melanjutkannya lagi. Tangannya masih menggenggam tangan Linda di atas tanah yang dingin. Linda membalasnya. Nathan kemudian mengecup keningnya tanpa perlu menjelaskan apapun.
Linda tak lagi menuntut jawaban.
.
Ketika seorang Danvers mencintai, itu berarti ia melabuhkan sauh selamanya. Layarnya tergulung, dermaga tak lagi jadi persinggahan; melainkan rumah permanen meskipun gulungan ombak memanggilnya kembali.
Dia menyentuh pipi Linda yang tetap hangat di malam dingin berhujan. Tenda mereka meredam sedikit suara hujan, Linda bergelung di sisinya, menekuk kakinya dan menekan tangannya ke dada, Nathan merengkuhnya karena insting.
Dia sering berpikir tentang masa depan dan ketidakpastiannya, tetapi satu hal yang membuatnya yakin adalah dia akan tetap berjalan bersama wanita ini. Itu sebuah kepastian; sepasti keyakinan seorang Danvers yang selalu loyal dalam mencinta.
.
“Aku bersedia.”
Bagi Nathan, kata-kata itu menyentuhnya seperti ujung runcing jarum es; dan mereka ada seribu.
Roger menatap mereka seolah-olah memberi izin, cium istrimu sekarang, tetapi bukan Nathan jika dia berani mempertontonkan di muka umum, meski hasratnya begitu besar dan nyaris merangsek memberontak. Tidak di depan Julian, tidak di depan semua rekan-rekan yang menghadiri upacara privat itu. Biarlah itu untuk nanti, Linda akan menikmatinya di ruang pribadi mereka dan hanya mereka.
Rekan-rekan mereka mulai gaduh, sebagian bertaruh, beranikah seorang Nathaniel Danvers berciuman di depan orang-orang? Seratus ribu dollar aku berani bertaruh tidak.
Bukan itu yang Nathan pedulikan; tetapi senyum Linda yang tulus di hadapannya membuat batinnya melesak jatuh ke ruang tak terbatas. Linda Danvers? Linda bersedia mengambil nama penuh dengan derita, kegelapan setua waktu.
Kenapa?
Linda mengalungkan tangan di lehernya, masih menatapnya dengan cara yang sama, dan senyuman yang sama. Benak Nathan berdentam dengan dengungan kata-kata seperti; apa aku pantas, kenapa dia bersedia, apakah ini tidak terlalu berat untuknya.
Linda menyelamatkan harga diri Nathan; tidak tergesa-gesa menciumnya di tengah-tengah umum (walaupun umum artinya adalah sekian belas orang). Namun Nathan pada akhirnya tak dapat menahan diri; dia pun akhirnya mengecup kening Linda.
Linda Danvers, ya?
“Sayang.”
Hatinya mencelus.
(Nathan mencium keningnya lagi).
.
Adalah tangisan pertama Ivory yang membuat Nathan merasa dunianya berjalan kembali; sebuah lembar bersih tanpa noktah.
“Selamat datang, sayang,” Linda menangkupkan tangannya pada punggung mungil Ivory. Air matanya mengalir, bibirnya tersenyum, dan meski wajahnya serta rambutnya benar-benar berantakan dan lengket, Nathan tak pernah melihat keindahan nyaris surgawi seperti ini.
Perasaan di dadanya meletup-letup; Ivory Danvers. Simbolisasi kelahiran keluarga yang baru, lebih dari sekadar penghapusan dosa dan pengubah takdir. Ivory lebih dari itu. Ivory serupa riak putih di sungai sunyi berwarna gelap, menulis ulang cerita klan Danvers dengan caranya sendiri. 
Dan dunianya benar-benar dimulai kembali.
Seorang Danvers yang baru.
.
Pada malam yang sunyi, Linda menghitung bintang. Nathan menghitung bintik pada pipinya. Jari Linda seperti membuat sulaman pada langit.
“Nath?”
“Ya?”
“Aku tidak keberatan tidur di sini.”
“Ini musim hujan. Hujan bisa turun kapan saja.”
“Tidak akan. Malam ini tidak akan turun hujan.”
“Kau yakin sekali.”
“Kalau kau ingin tidur di tenda, tak apa.”
“Tidak,” Nathan merapat ke sisinya. “Di sini saja.”
“Hmmm,” Linda menjawil hidung Nathan sembari mengudarakan tawa kecil. “Kau tak bisa tidur tanpaku, ya?”
Nathan mendengungkan kata-kata yang tak jelas. Menyembunyikan wajahnya di leher Linda.
(tidak, tidak ada tempat yang lebih baik.)
love struck love struck love struck
We are.
.
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
endless, as the sky above us
“Langit itu, kau lihat, seperti tidak berujung, ‘kan?”
Jenny berkata, dengan mata tanpa arah, dan pandang-pandang tanpa jeda. “Seperti kehidupan kita, katanya. Yang tak akan habis-habis.”
Daniel menoleh kepada Jenny di sampingnya. Menyedekapkan tangan. Ia tak punya ambisi untuk melihat langit, melihat konversi oranye dan lembayung ungu berarak-arak. Sebab melihat Jenny, dari sini, dengan rambut sewarna dedaunan di musim gugur yang berkibar tertiup angin--beberapa helainya lepas dari kuncir-kuncir yang diikatnya asal, sudah cukup membuat Daniel merasa senjanya selalu hangat.
“Langit itu tak memiliki ujung, Dan,” ucap Jenny belum usai, masih menerawang langit dan tak memilih beradu tatap dengan iris obsidian Daniel. “Tapi benarkah, hidup juga begitu?”
Daniel tak tahu. Ia bukan seorang yang filosofis. Ia pesimistis yang terkadang mencari jawaban tentang keberadaannya, tentang kehidupannya; tentang mengapa ia masih di sini; hanya sekadar untuk bertahan.
“Damian, Benji... teman-temanmu, timmu, bukankah bukti bahwa hidup kita pasti memiliki ujung?”
Memang, Daniel membatin. Sebersit pedih menelusup kala dua nama karib satu divisinya yang telah gugur beberapa bulan lalu disebut. Bahkan kalau kau mau mengubah perspektif, langit pun berujung, tapi Daniel tahu gadis itu akan berstagnasi, pada segala filosofi yang ia dengar, pada langit-langit di atas sana yang nyatanya terlihat infiniti.
Tapi, merasakan udara masih berembus di sekelilingnya, dengung-dengung riuh masih menyakiti telinganya, Daniel hampir saja percaya itu semua. Hampir. Kalau saja ia tak melihat teman-temannya mati. Kalau saja ia tak melihat mata Norah dan Isaac yang berhenti berkedip, di antara darah dan buram-buram luka. Atau timnya yang meraup kosong angin, tanpa tenang, tanpa damai yang dijanjikan kematian.
Langit itu tak memiliki ujung.
Tapi memang ia masih di sini. Di hidupnya yang belum berujung. Daniel ingat masa-masa sebelum ini, sakit sakit sakit, darah darah darah. Ia tantang renggutan misil-misil yang tajam di ujungnya itu membombardir sekeliling. Sempat ia berharap mati, mungkin hidup memang bukan tempatnya. Pada masa-masa yang telah lewat itu, ia masih percaya bahwa mungkin ia tak sepantasnya di sini.
Tapi, kemudian, lagi--
“Langit itu tak memiliki ujung, Dan.”
Suara Jenny datang berkali-kali lebih banyak. Bersama udara yang masih menopang detak jantungnya. Terkadang, hal-hal intoleran yang tak bisa ia tampung di rongga kepala.
Mungkin selama ia masih melihat Jenny, mendengar suaranya yang berdengung setiap hari, berjalan bersama dalam langkah-langkah berat, namun erat, sebab ada kalanya ia melihat bayang-bayang rumah. Yang nyaman, yang terwakilkan dengan aroma pinus latar perang dan aroma shampoo Jenny, juga hangat-hangat matahari di kala malam ia menatap mata cokelat terang itu.
Mungkin, ia tak perlu menanyakan tentang keberadaannya, tentang hidup yang dirasa tak lagi senang menampungnya--namun tak pernah membiarkannya untuk lepas, pergi. Karena apa yang ada pada Jenny, mungkin adalah satu-satunya yang membuat Daniel merasa hidup. Atau bahkan, bertahan hidup. Karena Daniel masih perlu mengucap dua-tiga kata penuh sarkasme di tiap hari, empat-lima umpatan di awal pagi, enam-tujuh serapah di akhir hari. Dan Jenny, hanya Jenny yang akan mampu menanggapi semua itu dengan tawa tak anggun yang dia punya.
Langit itu tak memiliki ujung.
Maka, Daniel akan percaya. Selalu percaya. Selama itu terucap dari mulut Jenny. Selama senjanya masih hangat seperti yang dirasakannya kini. Selama langit di atas sana, masih memiliki stagnasi dan tak terbelah oleh halilintar kehancuran.
Selama ia masih melihat rumah yang ada pada diri wanita itu.
.
.
-fin-
1 note · View note
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
wonderwall
.
Entah sejak kapan Lana berubah, di mata Charlie.
Berubah bukan secara teknis, melainkan fisik, yang kemudian Charlie sadari mampu ditandai dengan adjektif cantik. Yang ia ingat dulu Lana hanyalah gadis kecil dengan pipi tembam, mata sembap sebab dalam dua puluh empat jam sehari, Lana bisa menghabiskan setengah harinya dalam rengek-rengekan menyebalkan. Lana juga pendek, dan suka dikuncir dua. Matanya tak secerah yang sekarang, hanya warna karamel, itu saja. Ujarannya menyebalkan (dan mungkin, mungkin bertahan hingga sekarang). Lagaknya memanggil “Charlie donkey, Charlie donkey, Charlie donkey!” seolah Charlie adalah penjaga pribadinya.
Singkatnya, Lana terlampau kekanakan dan menyebalkan. Dan cengeng. Dan tidak cantik.
Tapi dua puluh tiga tahun lewat begitu saja. Yang Charlie sadari pertama kali, ketika Lana membuang majalah Denise-nya untuk pertama kali.
“Charlie donkey, kau tidak akan dewasa kalau membaca itu terus.”
Charlie mengerutkan kening. “Heh, kau ini tidak tahu isinya bagaimana, Lana. Justru ini majalah laki-laki dewasa.”
“Nah, itu!” Lana menatapnya dengan sepasang bola karamelnya yang menyala. “Lelaki dewasa tidak akan menjadikan majalah dewasa sebagai hobi. Itu kamuflase, donkey. Kamuflase ketidakdewasaanmu.”
Charlie berhenti membeli majalah itu dua hari kemudian.
Maka, atensinya beralih, kepada si gadis Hoffmann. Klo pernah bilang, “Char, kau tak pernah sadar ya kalau Lanny itu lebih cantik dari Denise-mu?” di sisi lain, Jose memberi anggukan afirmatif. “Lanny juga seksi. Tipemu sekali, ‘kan?” Tapi Charlie hanya mendengus dan menganggap itu hal lucu.
Tapi, mungkin, memang dibutuhkan stagnasi akan kebiasaan yang bertahun-tahun ini ia jalani. Charlie terlalu banyak memberi atensi kepada Denise Richard. Sehingga tak ada wanita lain yang mampu masuk ke dalam pikiran-pikirannya selain model seksi itu. Pun Lana. Lana yang selalu di sampingnya, Lana yang juga wanita, Lana yang berambut panjang kecokelatan, Lana yang akan datang ke rumahnya dan menggedor pintu kamar untuk membangunkannya, Lana yang rena meninggalkan Jacob Steinwald si bintang baseball demi memasang mata untuknya.
Lana yang berbeda dari Lana yang dulu; yang lebih dewasa, yang punya senyum-senyum semanis musim semi, yang punya bakat analisis melampaui teman-teman lainnya. Charlie terlalu lama menutup mata, dan ketika ia membukanya, sinar Lana Hoffmann terlampau menyilaukannya.
“Sejak kapan kau jadi begini terang, heh?”
Dan Charlie tersenyum ketika menatapnya. Menelusur kontur wajahnya. Ia punya sosok yang lebih nyata dari Denise—yang eksistensinya lebih meyakinkan. Ia punya sosok yang lebih cantik, secerah matahari, semanis musim semi. Lana akan menerangi gelap-gelap hidupnya, Lana akan mengajarkannya akan kehidupan—selalu, selalu—bagaimana ia tumbuh dewasa lebih dulu dibandingkan Charlie. Tapi setelah ini, ia akan meyakinkan diri sendiri, bahwa ia akan tumbuh dewasa untuk Lana.
(Untuk menjaganya, membawanya dalam hidup yang lebih terang, bersamanya, menawarkan konspirasi akan masa depan yang mungkin menggiurkan. Untuk meyakinkan, bahwa suatu masa ketika mereka keluar dari lingkar persahabatan infiniti ini, cinta adalah adjektif yang akan pertama kali Charlie uarkan. Untuk Lana.)
.
Kemudian, segalanya berjalan begitu saja.
Lana kira akhir mereka akan lebih sulit dari ini. Tapi, semuanya seolah terprediksi pada hari di mana Charlie keledai-nya itu datang padanya, menatap langit-langit sore dengan lama alih-alih menguar kata dan kompulsif mengajak bicara. Matahari ketika itu sudah hampir tenggelam, ia melihat bias oranyenya di pipi Charlie, yang tinggi akan tulang rahang. Seolah sore itu, melembut barang sebentar dan berkonversi pada warna-warni sekitar.
Katanya, “Lana, kita nikah saja, yuk.”
Lana terlampau kaget untuk sekadar menaut refleks—tak ada bibir membulat, netra melebar, teriakan-teriakan penuh tanya. Hanya, tangannya yang kurus terangkat untuk menepuk kepala Charlie, menjambak rambut hitamnya, dan diam-diam berkamuflase menyembunyikan debaran yang tetiba datang.
“Dasar orang mabuk.”
Satu hela napas, Charlie menangkap mata iris karamelnya. “Aku tidak mabuk. Aku serius, Miss Hoffmann.”
Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, bias-bias oranye bersubstitusi gelap yang kemudian hadir. Tapi, Lana masih melihat bias merah itu di pipi Charlie Dunn.
“Kita sudah dewasa. Sudah menggapai impian masing-masing.” Charlie memainkan ujung jersey-nya. “Aku tiba-tiba memikirkan kebiasaan ini—dirimu, dan semuanya tentangmu—bukankah lebih mudah kalau kita bersama? Kita sudah terbiasa, ‘kan? Kau tahu baik-burukku, dan aku tak bisa memikirkan gadis lain yang menyambutku di pintu rumah ketika aku pulang kerja, selain dirimu.”
Tiba-tiba Lana merona. “…Donkey!”
“Aku serius, Lana.” Kali ini, tubuhnya bergerak maju, lurus kepada Lana yang masih menundukkan wajah. Ia mencari-cari mata itu, ia temukan sinarnya, efek-efek sengatan di dadanya yang masih ada.
Charlie mendapatkannya.
Mata itu. Perasaan itu.
“Oi, Lana, aku ada satu penawaran.” Bersama dengan ujaran itu, Lana balas menatapnya lekat. “Kau ingin anak laki-laki, ‘kan? Di awal perjuangan kita nanti… akan kuusahakan mendapat anak laki-laki.”
Satu cubitan bersarang di bahu Charlie. “Charlie donkey! Bisa tidak, berhenti membuatku malu?”
Lelaki itu tersenyum, memberi acakan lembut pada helai-helai kecokelatan milik Lana dan membiarkan tangannya terbiasa. “Jadi, bagaimana?”
Lana menatap langit malam.
Meski di sudut-sudut hatinya ia masih punya sebersit ragu, tapi sudah sejak awal Lana tahu. Bahwa segalanya lebih mudah dari yang ia bayangkan. Segala ekseptasinya, akan datang bahkan sejak awal sebelum Charlie melamarnya.
“Kau tahu jawabannya, Keledaiku.”
.
.
-fin-
0 notes
cake-with-cherry-on-top · 3 years ago
Text
Anything but Love
.
Charlie Dunn, Lana Hoffmann, dan apa pun selain cinta.
.
Orang-orang bilang, gadis Hoffmann itu hopeless romantic.
Berbeda tiga ratus enam puluh derajat dengan anak tertua keluarga Dunn yang mesum setengah kronik.
Tapi, mereka sudah terlalu lama hidup bersama. Mengesampingkan diferensiasi yang kalau dipikir-pikir, ada banyak sekali jumlahnya.
Lana dan Charlie. Dua entitas berbeda gender yang tidak dapat dipisahkan.
Charlie tak peduli meski Lana sering mendatanginya, menerobos kamarnya, bercerita tentang banyak sekali fairy tale yang ujungnya selalu “happily ever after”. Lana juga tidak peduli, ketika sahabat seusia hidupnya itu mengetuk jendelanya, dengan tumpukan majalah Denise Richard yang berpidah ke lantai kamar Lana, untuk kemudian menghabiskan waktu di sana seperti laki-laki mesum yang tuli akan dunia sekitar.
Charlie sudah menjadikan Lana kasualitas yang namanya selalu tercatat dalam daftar kesehariannya. Sebagaimana Lana yang terkadang mencatat pembalut ke dalam daftar belanjaan bulanan Charlie. Dan meski terkadang ia mengesalkan, memarahi Charlie yang begadang, memukul Charlie yang bangun kesiangan, tapi ia tak apa-apa. Ia tak bisa merasa kesal kepadanya. Dan ia akan selalu berada di sampingnya.
“Charlie bodoh, itu sih namanya jatuh cinta.”
Charlie hanya menempeleng kepala pirang Klo. Menggumam tak jelas dan kembali mengunyah burger kesukaannya.
“Cinta itu hanya ketika aku melihat Denise Richard dengan badan seksinya.”
Klo mengumpat lagi. Balas memukul kepala Charlie di sampingnya. “Itu nafsu, donkey-monkey!”
Charlie menggumam lagi, tak mempedulikan pukulan dan umpatan yang Klo berikan. Ia habiskan burgernya, ia sedot habis minumannya, sebelum akhirnya pergi dengan sendawa yang mengesalkan.
“Apa pun aku dan Lana, yang jelas cinta bukan jawabannya.”
.
Sebenarnya, Charlie hanya tak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta.
Atau ia tahu, tapi terlalu bodoh untuk menyadarinya.
Yang Charlie tahu, rasa hangat dan menyenangkan ketika ia menatap Lana itu bukanlah cinta. Rasa bangga dan angkuh ketika ia bisa berjalan bersama di sebelah Lana yang berdandan cantik, itu juga bukan cinta. Atau, perasaan aneh ketika suatu malam Lana tertidur di kamarnya, menyembunyikan mata sewarna karamelnya, mendengkur halus di sampingnya, dan membuat matanya berpindah dari majalah Denise Richard hanya untuk menatap Lana sampai pagi, semuanya bukan cinta. Bahkan, satu dorongan refleks ketika ia mengecup lamat ujung bibir Lana di kala itu, itu juga bukan cinta.
“Memangnya, kau mau bersamaku sampai kapan?” Lana mengujar tiba-tiba, suatu malam, dengan nada angkuh dan menantang ketika Charlie dengan keras kepala berkata bahwa Lana tak boleh ke mana-mana sendiri di malam hari jika bukan dengannya.
Charlie—dengan intonasi yang terlampau yakin, dan wajah mengesalkan, membalas ujarannya tanpa ragu. “Selamanya.”
Dan bagi Charlie, selama-nya itu pun, tetap masih bukan cinta.
.
Charlie, mungkin perlu satu tangisan Lana ketika akhirnya ia sedikit mengerti tentang cara cinta bekerja.
Di usia mereka yang ke dua puluh tahun, Zach Hoffmann, ayah Lana, meninggal. Untuk pertama kalinya ia melihat Lana menangis, dalam konteks yang sebenarnya. Gadis itu mengasingkan diri, beberapa jam setelah pemakaman saat akhirnya Charlie menyadari kepala bersurai cokelat keemasan itu tak ada di ruang keluarga. Lana pergi ke balkon atap rumahnya, bersembunyi di antara kegelapan malam. Lana bisa begitu berani jika sudah berbicara tentang atap. Sebab sejak dulu, mereka terbiasa bercerita di atap, atau rooftop. Saling mencoba bekal masing-masing, saling mencemooh ketika Charlie mendapati Lana membawa masakannya sendiri.
“Oi, Lana.” Charlie berdiri di belakangnya.
Lana tak menjawab, tapi Charlie tahu gadis itu mendengarkan. Maka, ia meneruskan.
“Aku tahu kafe es krim dekat sini yang buka sampai malam.”
Hening. Charlie mengerti Lana sedang tidak ingin es krim.
“Aku tahu tempat kursus masak instan yang bisa membuatmu cepat jago masak.”
Lana tak bergerak, Charlie menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Aku tahu minimarket yang sedang mengadakan diskon pembalut besar-besaran.”
Punggung Lana bergetar, ada suara kekeh kecil yang membuat Charlie menghela napas sedikit lega.
“Jangan menangis,” Charlie berkata pelan, meragu. Ia tak punya bakat mendiamkan seorang perempuan yang sedang menangis. “Aku jadi bingung.” Ia akhirnya melangkah, mendudukkan diri di sebelah Lana tanpa melihat matanya. Charlie takut.
Di sebelahnya Lana masih diam. Tapi kemudian, ia merasakan bahu Lana menyentuhnya, sebelum akhirnya ada sesuatu yang hangat dari sekadar bahu.
Charlie menoleh, mendapati kepala Lana kini telah bersandar di bahunya. Matanya terpejam. Ada sisa air mata belah-belah pipinya. “Sebentar saja.”
Charlie menatap langit-langit malam.
“Lama juga tidak apa-apa,” sahutnya asal.
Terkadang, Charlie merasakan perasaan-perasaan seperti ini, ketika mereka tak sengaja bersentuhan, atau ketika Lana tanpa peringatan memeluknya dari belakang. Perasaan yang tidak mampu Charlie deskripsikan, perasaan yang lebih menyenangkan dari sekadar melihat foto-foto seksi Denise Richard di majalah. Mereka sudah dewasa, Charlie tahu itu. Tapi, mungkin mereka terlalu terbiasa, sehingga Charlie tak bisa membedakan perasaan mana yang salah di antara keduanya; ketika ia menyentuh teman wanitanya yang lain tapi tidak merasakan apa-apa, atau ketika ia menyentuh Lana dan segalanya begitu terasa berbeda.
Ia menatap wajah Lana lagi. Wajah yang begitu familier, yang Charlie hafal segala detil-detil konturnya, yang Charlie pandangi sejak hari pertamanya mampu memperhatikan, yang semakin hari semakin cantik, yang semakin hari semakin ia sukai—
“Char,” Lana memanggilnya singkat. Charlie tersentak. “Jangan menatapku seperti itu.”
Bingung, Charlie mendesah keras-keras. “Sial.”
Satu pukulan kencang bersarang di kepalanya. “Apanya yang sial?”
Tapi Charlie hanya membisu. Ia kembali menarik kepala Lana, kemudian ia benamkan di dadanya. “Oi, Lana dengarkan aku.”
Lana tak keberatan, ia bersandar dengan nyaman pada dada bidang Charlie yang membuat pipi-pipinya hangat. “Apa?”
“Besok” Charlie meneruskan. “Aku akan membuang semua majalah Denise Richard.”
Lana tak sempat terkejut, sebab selanjutnya satu kecupan Charlie di sudut bibirnya mampu membuat gadis itu membeku semalaman.
.
Entah sejak kapan, Charlie mengerti bahwa Lana adalah prioritas hidupnya. Bukan Denise Richard, atau bukan Big Mac burger kesukaannya.
Ia tak peduli akan oposisi di antara mereka. Yang ia tahu, ia mau Lana. Dan Lana pun begitu. Mereka bisa hidup bersama bertahun-tahun lagi, atau mungkin, selamanya kemudian, tanpa rasa bosan dan ingin perubahan. Mereka bisa melakukan dua hal berbeda dalam satu waktu bersamaan, mereka bisa membeli es krim setiap malam, mereka bisa menggabungkan daftar belanja bulanan, mereka bisa berbagi cerita, berbagi mimpi.
Karena bagi Charlie, ada hal lain yang lebih menjanjikan di atas omong kosong cinta-cinta itu; sebuah komitmen.
Sebab Charlie dan Lana, sudah terlalu jauh jika hanya disebut saling jatuh cinta.
.
.
0 notes