cupcakestraws
cupcakestraws
sabrina ♡
6 posts
kepada yang terkasih, tulisan-tulisanku adalah upaya untuk meraih.
Don't wanna be here? Send us removal request.
cupcakestraws · 11 months ago
Text
Teruntuk Melly
Berbulan-bulan ke belakang, kamu banyak bingung dan menangisnya. Mungkin, lebih sering merasa hampa dan hidup nggak ada gunanya. Setiap buka sosial media, serasa ingin menangis karena rasanya kamu nggak ke mana-mana, sewaktu orang lain sudah jauh jalannya; foto sidang tugas akhir, wisuda, penerimaan kerja, pasangan yang dibanggakan, juga seribu satu ingar bingarnya jadi penghias sosial media. Barangkali benar, ada masanya kamu perlu berhenti menggulir layar setengah palsu itu supaya tidak jadi racun untuk kepala dan tubuhmu sendiri.
Jika kamu memandang hidup ini sebagai kompetisi, maka perasaan "tertinggal" akan terus menerus mendominasi. Sebab kanan kiri akan selalu tampak berkilau dan menarik hati.
Berkali-kali kamu berusaha meyakinkan diri sendiri, “Hei, kamu sedang berusaha. Nggak apa-apa, nanti juga sampai. Kamu berusaha.” Kamu sering lupa kalau orang-orang yang kamu lihat tadi, pasti juga berusaha seperti apa yang kamu lakukan sekarang. Hanya saja kadang sosial media cuma membungkus kabar bahagianya saja, mana mungkin jerih payah dan jatuh bangunnya ditampilkan juga.
Melly, kamu itu keren, cuma kamu nggak bisa lihat itu... karena yang memenuhi isi kepala kamu itu cuma kekhawatiran akan tertinggal. Sampai kamu nggak bisa lihat kalau kaki kamu juga berjalan, kamu juga berkembang.
Aku yakin kedua orang tua kamu juga selalu nomor satu soal merasa bangga akan dirimu. Bagi mereka, kamu sudah yang terbaik. Kamu yang sering merasa tertinggal ini, bagi mereka sudah jadi titipan Allah yang paling baik. Kamu yang sedang merasa hidup nggak berjalan ke mana-mana ini, bagi mereka adalah sumber bahagia dan kekuatannya. Orang tua yang membawamu ke dunia ini, membawa napas pertamamu, dan mereka juga yang akan selalu jadi alasan kamu akan tetap mengembuskan napas dengan usahamu, nggak peduli dunia sedang sejahat apa. Mama, Papa, dan keluargamu adalah alasan kamu masih mampu bertahan sampai hari ini.
Hari ini, kamu sudah membaik. Kamu sudah lebih lega dan rela. Hatimu sudah lebih lapang. Akhirnya, hari yang kamu nantikan tiba juga. Terima kasih ya... sudah mau bertahan dan berjuang. Terima kasih ya... sudah tidak menyerah. Selamat sudah berhasil menempuh ujian sidang skripsi, semoga apa-apa yang kamu citakan, senantiasa tercapai 💗
1 note · View note
cupcakestraws · 3 years ago
Text
Aku harap kamu temukan sebenar-benar rumah, yang menerima semua marah dan lelah. Tempat pulang paling aman saat kau ketakutan dan merasa sendirian, juga muara kala kau tak lagi tahu harus lakukan apa. Bukan rumah yang hanya berisi murka saat kau kalah atau tak sengaja berlaku salah.
Aku harap kali ini kau tahu cara menangis, jangan lagi menggigit bibir dan menahan semua air mata, karena kau juga berhak kecewa dan tak semua kuat harus dipaksa. Aku harap kau temukan peluk yang senantiasa melegakan semua sedih yang bahkan gagal kau ceritakan—semoga kau berhenti merasa sendirian.
Semoga (setelah ini) telingamu hanya mendengar hal-hal baik; kata-kata yang paling ingin kau dengar—sebab tumbuh dengan makian hanya berujung buatmu kebingungan. Kau tak lagi tahu mana benar dan salah sebab terlalu sering disalahkan.
Semoga kau diberi dada yang lapang; yang memaafkan segala luka, menerima setiap trauma dan menyisakan ruang baik bagi mereka yang bahkan tak lagi kau harap keberadaannya. Sebab betapapun keras kepalanya kau, aku tahu betapa besar cinta yang kau punya.
Semoga kau hidup damai, tak lagi bertikai dengan mereka yang memaksamu lebih dari yang kau bisa. Tak lagi menunduk karena terus menerus rasakan takut, tak lagi memejamkan mata hanya karena terlalu banyak sakit yang dirasa.
Semoga kau dapat bersuara, lalu bisa utarakan pendapat yang dulu selalu mereka tolak, juga sampaikan keinginan yang harus berkali kau pendam padamkan. Semoga kali ini, kau temukan mereka yang berbaik hati dan peduli pada hal-hal yang paling kau impikan dan yakini.
Semoga kau selalu dikaruniai tidur nyenyak, bahkan saat berbagai pelik masalah hampirimu serentak. Tak lagi berkali terbangun atau tak bisa tidur karena kepalamu terlalu berisik dan tak bisa diam. Semoga kau diberi mimpi indah, bahkan di hari-harimu yang paling buruk.
Semoga kau temukan orang yang mencintaimu dengan sederhana, yang menyayangimu bahkan di saat-saat kau sendiri tak lagi tahan dengan keberadaanmu. Ia yang mencintaimu dengan selalu. Ia yang tak mengungkit segala usahanya kala marah, ia yang tak merasa berjuang dan begitu kesal kala kau tak sengaja lakukan salah. Bukankah cinta yang sebenarnya tidak pernah merasa berusaha?
Semoga kau mengerti, telinga mana yang harus kau cari saat tak tahu lagi bagaimana cara kurangi sedikit sedih—dan kau selalu tahu, dari dulu aku tidak pernah dan tidak akan ke mana-mana.
Semoga kau punya hidup baru yang berbeda, di mana kau bahagia di dalamnya.
1 note · View note
cupcakestraws · 3 years ago
Text
Kind of person that always succeeded to attract me
There are a few types of people that never failed to attract me. Here are they:
A person who knows what they like and what important to them.
It’s always a good time to spend with this kind of people. Sitting and hearing them telling things they like with their bright sparkling eyes and passionate expression, is wonderful. It will be even more fun when they tell about the things they love in so much detail that when they realize they lost track of time, they close the story by apologizing to the listeners. Hahaha, what a template I like. Surrounded by these people make me realize how unique each of us is. It doesn’t matter how weird and different our things are, as long as we find what we do as something that brings us joy and serenity, we can do it over and over again. A person who already knows what they like is the least to mind people. They are busy doing things that raise them up and don’t bother to give any comments. The most likely comment they will utter is either congratulation or some other nice words with truthful pleasure in their eyes.
People who are emotionally mature and live by their basic principles.
Making friends with these people ‘helped’ me in many ways. I somehow feel more comfortable and actually free to be myself in front of them. Sounds anomaly but that is what happened. These people don’t get carried away easily. They won’t let other people tell them what to do and rather try to control what happens themselves. Their heads are preoccupied with things that have long-term benefits to their lives. Talking to them will definitely broaden and deepens insight, especially about life. These people are generally good listeners. They are not easy to justify someone by just seeing some side of other people. What comes out of them can often be used as a life-lessons.
‘Smart’ People.
By saying smart, I definitely don’t take it to a degree where someone has to be highly ranked in the class or got into the top uni. It is always more than that. To me, smart people are those who actively use their minds to give meaning to many things in life. All the things that are faced, be it a success, failure, trials, problems with friends, parental advice, time spent, self-evaluation, or even the smallest things such as evening talks with friends can be invaluable lessons that enrich them in some way.
Family oriented-people.
Be girls or boy, I love to spend time with any kind of human who have wide visions of how family works and impacted their life. Those who talk a lot about family are people who have a very big chance to be friends with me. I often bring up the topic of ‘family ‘with my friends. The components that make up the family are complex and full of dynamics, making the discussion of the family an endless one. Understanding that every family is unique and has a story to tell gives me a kind of emotional storm whenever I hear it.
I once have a nice conversation with a friend whose parents were just divorced. I thought I can feel sorry for her, but even her energy refuses my sympathy. I got impressed by how she take lessons and bear with the tiring long process of her parent’s divorce. She keeps telling me that she eventually learned from her ‘broken-home’ family. She even told me about the big problem that made her parents separate. Learning from it, Her idea about the future family she will build with her partner is something I could never think of.
I also love to hear someone tell me stories about their parents. I know it’s kind of weird, but that’s just what I love.
Those who appreciate the journey more than the destination.
Having close people who have this mentality is a privilege to be grateful for. They are the ones who always encourage me to love the process I am going through. They don’t put me in a rush to achieve things in life. For them, as long as I put in the effort, I have already reached the highest stage of being human. Lucky me, I’ve been surrounded by this type of person my whole life. The way they encourage me to grow and evolve into something better always makes me thankful to have them. These people always bring warmth wherever they are. The respect they give radiates from the way they speak. Usually, they ask about what we are doing in life, then without further ado encourage us to continue to do it with a feeling of pride that can be seen in their eyes. Ah! I really love these people.
People with big dreams.
Have you ever met someone who has such big dreams and is passionate about achieving them? I have ever. One day I visited my distant relative’s house. He was an 11-year-old boy who was just about to enter high school. I didn’t know what kind of energy he had until he was able to pull me into his story when he told us about his dream. I was surprised, I mean, I don’t really know him and he’s an 11-year-old kid. What did I do when I was 11 years old? I guess life taught him a lot of valuable lessons until he could become that mature at such a young age. I remember how his eyes lit up and how he waved his hands as he spoke as if his whole body was in pursuit of the dream. That day I was completely stunned by the spirit that the boy had. Ever since then, I really enjoyed listening to people talk about their big dreams. I believe this world belongs to those who dream big.
Those who celebrate the simplicity of life.
I often think that what is presented by social media today is too much to accept. People who become idols and role models are those from upper economic groups, elites who squander wealth, people who buy luxury goods without knowing the benefits, etc.
The concept of happiness created in society becomes very materialistic and makes people who do not have ‘wealth’ feel unable to be happy. Not to argue that money can give happiness. I strongly agree that money obviously can increase prosperity, reduce stress, and other benefits. But I think, in the end, happiness is born from a sense of contentment and gratitude.
So, in a world where people celebrate life to the max, I’m so happy to find people who celebrate the simplicity that life always has to offer. The concept of happiness possessed by these people gives infinite peace. Those who embrace the concept, “Less is more”, will always be very interesting people to me.
People with high composure.
I’ve always been amazed by people who have good self-control. those who can remain calm in the face of a situation, whether the situation is happy, sad, surprising, or infuriating, without showing any particular emotion in an explosive manner. Those who can hold their anger in any frustrating situation and still try to be aware of their responsibility for their behavior. Those who understand that most spontaneous reactions carried out by humans have long-lasting effects, therefore they prefer to refrain from unnecessary reactions. Those who actually have a lot of sentences to say but are able to manage their desires as well as possible so as not to offend others. I think it takes years of practice to have good self-control. Not everyone can be patient in learning this, that’s why people who have this ability, as far as I know, are very few in number. But, if I found someone like this, I would immediately be attracted to that person.
0 notes
cupcakestraws · 3 years ago
Text
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Ada sebuah analogi yang cukup mengubah pandangan saya dalam memandang berbagai hal. Analogi itu disampaikan oleh seorang bijak dalam suatu lingkaran yang pernah saya hadiri. Ia berkata, “Ibarat air dalam gelas kecil yang jika kita beri sesendok garam ke dalamnya, ia akan menjadi asin. Tapi, bagaimana jika air itu ditempatkan dalam wadah yang lebih besar, seperti baskom misal. Tentu sesendok garam itu tidak akan membuat airnya asin. Sebab wadahnya lebih luas, volumenya pun lebih banyak”.
Terkadang dalam menghadapi berbagai masalah yang terus datang dalam hidup, kita memohon dan berdo’a agar masalahnya dikecilkan. Padahal sekecil apapun masalah yang datang, jika memang hati kita yang sempit, tetap tidak akan ada ruang. Sekecil apapun masalahnya, jika ternyata hati kita lebih kecil, tentu kita tidak akan pernah merasa mampu menghadapinya.
Pema Chodron, seorang figur Biksuni dan penulis terkemuka di Amerika Serikat pernah berkata,
“If we learn to open our hearts, anyone including the people who drive us crazy, can be our teacher”
Ketika kita belajar melihat dari hati, kita akan temukan bahwa segala hal di dunia ini nyatanya tidak cukup dilihat oleh mata dan kepala. Banyak hal yang menjadi bermakna, jika hati ikut mengambil perannya. Lihatlah daun yang jatuh atau kucing yang mencari makan. Bukankah jika hanya mata dan kepala yang bekerja, daun yang jatuh hanya akan terlihat seperti daun yang jatuh? Kucing yang mencari makan hanya terlihat seperti makhluk yang berusaha bertahan hidup? Tapi, jika kita buka hati kita, akan ada lebih banyak makna yang disajikan oleh alam hanya dari sebuah daun yang jatuh dan seekor kucing yang mencari makan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Imran : 190,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Jika saja sesuatu seperti gunung, lautan, binatang, dan tumbuhan yang jelas terhampar megah di depan mata saja tidak bisa kita ambil hikmahnya, bagaimana dengan sesuatu yang tidak tampak wujudnya seperti takdir? Bagaimana bisa kita mengambil hikmah dari sesuatu yang tidak kita ketahui proses terbentuknya? Disinilah peran hati.
Dimanakah sebetulnya letak hati?
Imam Al-Ghazali memberikan dua definisi terhadap hati. Secara Fisik (Bahasa) dan spiritual. Secara bahasa, hati (Arab: Kabid) adalah segumpal daging dalam tubuh manusia yang terletak di dada sebelah kiri. Secara spiritual, hati (Arab: Qalbu) adalah sebuah organ yang bersifat tidak berwujud namun juga menjadi titik sensor akan kebenaran dan kesalahan. Sifat tidak berwujud ini juga dapat kita jumpai pada akal, ruh, dan hawa nafsu. Sama seperti hati, akal pun tidak terletak pada otak kita. Ia adalah sebuah sistem, atau alat untuk berpikir. Begitupula ruh dan hawa nafsu yang tidak dapat ditangkap oleh indra. Perpaduan antara akal, ruh dan hawa nafsu itulah yang kemudian disebut dengan hati (Qolbu) yang sekaligus menjadi sebuah bagian yang paling sensitif dalam tubuh kita. Maka, jika hati seseorang sudah mati, mati pulalah kebaikan padanya dan jika hati seseorang lapang, maka lapanglah kehidupannya. Seperti yang disampaikan oleh An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah Qolbu” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)
Satu hal yang saya pelajari, sama seperti meminta uang jajan kepada orang tua yang memiliki uang, kelapangan hati pun harus diminta kepada zat yang memiliki hati.
Dalam memohon kelapangan hati setidaknya ada tiga hal yang perlu diingat; Kelapangan hati dalam menerima ketetapan (Takdir baik dan buruk), kelapangan hati untuk bisa mengambil hikmah dari ketetapan itu, dan kelapangan hati untuk bisa belajar dari hikmah yang diambil dan melanjutkan hidup dengan sebaik-baiknya.
Dee Lestari dalam salah satu bukunya, Kstaria, Putri, dan Bintang Jatuh pernah menulis,
“Anda adalah pengamat dan penikmat. Bukan Hakim”.
Kita ini hanya pengamat dan penikmat, maka bukan tugas kita untuk berlarut-larut dalam pemikiran dan perasaan akan suatu hal yang tidak ada dalam kendali kita. Mintalah kelapangan dan kekuatan hati pada zat yang menciptakannya. Mulailah untuk melakukan segalanya semampu kita, dan lepaskan apa yang tidak bisa kita kendalikan.
Bukankah hidup ini serba absurd? seperti yang ditulis oleh Albert Camus, seorang sastrawan Prancis, bahwa yang bisa menjelaskan munculnya banyak kesedihan yang tidak beralasan adalah bahwa pada hakikatnya, hidup adalah absurd. Kita tidak akan pernah paham kenapa banyak hal terjadi.
Maka, satu hal yang perlu dilakukan hanya jalani saja hidup ini.
Saya tidak tau apa yang akan terjadi pada hidup saya sehari kedepan, begitupula orang lain. Konsep dualitas akan selalu berlaku. Ada awal dan akhir, ada menang dan kalah, ada benar dan salah. Berhenti menebak-nebak kita akan ada di posisi yang mana. Cukup lakukan sebisa kita. Menang berarti bonus, kalah berarti belajar. Tidak ada yang sia-sia di hidup ini. Semua hanya tentang kemauan hati untuk menerima.
Hiduplah dengan tenang dan penuh dengan kelapangan hati. Sebab, ibu saya selalu mengingatkan bahwa setiap harinya kita bangun tidur untuk menjemput masalah-masalah baru. Daripada meminta untuk diberi masalah yang kecil, berdoalah untuk diberi kelapangan dan kekuatan hati agar selalu mampu menghadapi masalah sebesar badai dan menyerap hikmah walau harus dengan bersusah-payah.
رَبِّ ٱشْرَحْ لِى صَدْرِى
0 notes
cupcakestraws · 3 years ago
Text
Safety Stop
Aku butuh pendaratan. Terutama di tengah hari sibuk yang paling sibuk, atau saat berada di jalur pendakian yang paling terjal, atau ketika terjebak dalam kepadatan paling padat.
Cara kerja pendaratan ini sama seperti safety stop dalam dunia penyelaman.
Ketika menyelam, safety stop dilakukan agar penyelam nggak mengalami dekompresi akibat tekanan udara yang terlalu cepat berubah. Penyelam harus berhenti selama 3–5 menit di kedalaman 5 meter sebelum akhirnya naik ke permukaan. Pada 5 meter itu, penyelam dituntut untuk mengaktifkan kesadaran yang paling sadar untuk menjaga agar tubuh tetap stabil di level ketinggian itu, sambil mengamati keadaan diri, dan keadaan di permukaan. Safety stop adalah pendaratan sementara untuk penyelam sebelum melanjutkan dan menyelesaikan apa-apa yang perlu diselesaikan.
Sementara buatku, pendaratan itu berupa kain 115x150 berwarna biru milikku, yang biasa kusebut sajadah. Padanya kutemukan hening yang menenangkan. Tenang yang mencukupkan. Seperti huftttttttt panjang setelah sekian lama sesak napas dengan hidup yang seperti berlari-lari, dikejar atau mengejar apa aku pun nggak tau.
Omong-omong soal sajadah, kenapa ia menjadi pendaratanku adalah karena eratnya ia dengan satu rangkaian yang bersifat magis dan ajaib. Aku pernah, di suatu hari yang pejal, memaksa untuk berhenti tepat waktu, saat azan berkumandang, yang artinya aku memaksa mengesampingkan hal yang — kupikir — harus segera kuselesaikan. Saat itu kuberi diriku jeda, berwudu, menggelar sajadah, dan sholat. Aku letakkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi di hidupku pada kain biru — sajadahku — , sambil berharap Tuhanku menyelesaikan urusan-urusanku di luar sana saat aku berbincang dengannya.
Hari itu, aku temukan makna baru dari rangkaian kegiatan yang kulakukan lima kali sehari sejak (hampir) dua dasawarsa yang lalu. Sebuah sandaran yang sampai detik ini (dan semoga selamanya) menjadi andalanku ketika hari makin nggak karuan.
Aku nggak paham kenapa aku sering menunda pendaratan ini ketika seharusnya aku menyegerakannya. Mungkin karena yang ada dalam kepalaku, biar 10 menit — 10 menit saja — nggak rela rasanya kalau harus menunda pekerjaan-pekerjaan dunia ini. Yang setelah kupikir-pikir lagi, apa ruginya, sih, ditunda sebentar? Nggak akan lari kemana-mana juga.
Kembali pada aku dan pendaratanku. Di setiap sesak yang ada, aku melihat titik api. Entah itu di dalam kepala, di pundak, di perut, dan di mana-mana, yang memunculkan suatu panas yang nggak terdefinisi. Aku biasa mensimplifikasi dan menyebutnya: pusing tujuh keliling alias pegel alias capek alias tegang banget ih hidup alias bisa-ga-sih-aku-tidur-aja.
[Satu] Wudu;
Momen mewadahi air dengan kedua telapak tangan, adalah hal pertama yang kusuka. Entah sejak kapan aku mulai secara sadar menakar jumlah air yang kutampung di tangan. Harus pas. Nggak boleh berlebih sampai tumpah-tumpah dan jangan juga terlalu sedikit. Setelahnya, saat-saat membasuh muka adalah tahapan lain yang sama menariknya. Aku selalu merasa rangkaian yang kulakukan minimal lima kali sehari ini adalah sesuatu yang perlu dirayakan dengan syukur paling dalam. Pertama, karena nggak semua manusia di bumi mudah mendapatkan air bersih dan kedua, karena banyak yang mudah dapat air bersih tapi nggak berusaha memaknai itu. Entah nggak sadar atau nggak mau sadar.
Saat aliran air pertama kali membasuh kulit, beberapa api perlahan padam.
Tapi ada api-api yang terlalu jauh di dalam dan tidak terjangkau oleh aliran air manapun. Tidak dengan wujud gerakan, pun tidak dengan beragam jenis kandungan. Api-api itu terjebak di dalam dan secara konstan meningkatkan suhu jiwa.
Api-api itu hanya padam saat aku meletakkan sumbunya pada penciptanya.
[Dua] Menggelar sajadah;
Dibanding melakukannya sebagai sesuatu yang lugu dan sederhana, proses menggelar sajadah – atau alas sholat apapun — menjadi satu hal yang ku-romantisasi. Fase ini kunikmati sebagai momen menentukan pilihan; memilih sudut terbaik dan permukaan ternyaman. Di kamar kosku, ada sebuah kertas kecil yang kulekatkan di lantai: sebuah penanda arah kiblat, yang sebetulnya kubuat dengan harapan kalau ada tamu yang datang dan menumpang sholat, tidak perlu bertanya kepadaku kemana harus menghadap. Tapi kemudian kertas ini menjadi sesuatu yang secara sadar aku perhatikan setiap sebelum menggelar sajadah, ketika menggelar sajadah, dan setelah menggelar sajadah. Aku akan berusaha menarik garis lurus dari ujung kertas itu sampai ke ujung sajadahku untuk memastikan arah hadapku presisi.
[Tiga] Sholat;
Lalu aku sholat.
Secara zahir, sholat terdiri dari rangkaian gerak berdiri-rukuk-sujud-duduk-salam, yang umumnya gerakan-gerakan ini bisa ditemui dalam aktivitas lain seperti yoga, atau saat berdiri menunggu bis datang, atau saat membungkuk melihat teman yang sedang menunjukkan sesuatu, atau saat duduk di lantai mendengarkan ibu berkisah, atau saat menoleh kanan kiri.
Gerakan-gerakan ini, bukan berarti karena sama dengan banyak gerakan lain, kemudian menjadi kurang bermakna. Sebab tentu maknanya amat dalam. Salah satunya adalah menyoal pemenuhan hak sendi, otot, tulang, dan darah — setiap minimal lima kali sehari — yang kulihat sebagai safety stop tubuhku sebelum pegel linu dan kram punggung makin menjadi-jadi akibat duduk berjam-jam menatap laptop. Kadang kalau kurenungi, luar biasa bagaimana kewajiban yang selama ini kupandang sebagai ihwal yang ya pokoknya harus ditegakkan nggak boleh ditinggalkan! ternyata merupakan penyebab kewarasan otot-ototku sampai hari ini.
Tapi sejujurnya, kesadaran itu muncul baru-baru ini. Dulu, setiap transisi dari berdiri-rukuk-sujud-duduk-salam tidak pernah kulihat sebagai sesuatu yang khusus. Aku bisa saja melakukan gerakan-gerakan itu tanpa melandaskan niatnya untuk beribadah pada penciptaku dan kuyakin banyak orang juga begitu. Tubuh-tubuh yang bergerak melakukan gerakan sholat tapi entah ada dimana isi kepala dan hatinya. Mungkin ada pada layar komputer yang ditinggalkan, mungkin pada masalah yang sedang dihadapi, mungkin pada bahasan dengan teman semalam, mungkin pada rapat yang harus dihadiri nanti siang, atau lainnya.
Tuhanku bilang, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang berserah diri dan bersungguh-sungguh.”
Jika inti sholat terletak pada gerakan, orang-orang yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, nggak akan diperintahkan untuk tetap sholat. Nyatanya, bagi mereka kewajiban mendirikan sholat nggak padam. Walau hanya jari-jari yang bisa bergerak, walau hanya mata yang bisa berkedip. Jika inti dari sholat ada pada gerakannya, tentu orang-orang yang memiliki cacat pada fisik akan dinilai lebih rendah daripada mereka yang berfisik sempurna. Tetapi sejak awal, bukan begitu cara kerjanya. Bukan begitu sistem penilaiannya. Walau tentu nggak melupakan bahwa upaya untuk menyempurnakan setiap gerakan sholat bernilai sama pentingnya.
Inti dari sholat adalah soal berserah diri dan bersungguh-sungguh. Soal memahami bahwa aku butuh jeda, menyandarkan urusan-urusanku pada tuhanku, memahami bahwa apapun selain itu bisa diselesaikan setelahnya dan yang terpenting adalah tentang menghadirkan hatiku di dalamnya.
Pada titik ini, aku memandang rutinitas ini sebagai kebutuhan yang ketika kulakukan, dunia seakan-akan terlipat. Luasnya menjadi hanya satu lingkaran kecil yang berisi aku dan tuhanku. Dekat dan mendekap. Apapun di luar lingkaran ini seketika nggak lagi menjadi signifikan. Sebuah camera obscura yang sunyi dan intens. Alam waktu bagiku untuk sejenak meletakkan beban dunia yang nggak ada habisnya.
Safety stopku.
0 notes
cupcakestraws · 3 years ago
Text
Aku bertanya pada Ibu tentang secarik kertas yang remuk di tanganku. Telah kugenggam ia dari tiga hari lalu, setiap lima menit kutarik sudut dan sisinya, berharap keriputnya akan fana dan berujung tak kasat mata. Sia-sia. “Tak apa,” kata Ibu, “Masih ada lembar yang baru.” Ibu lupa bahwa guratan aksara yang terpatri di halaman selanjutnya jauh dari kata sama dengan penantianku sebelumnya.
Lalu masih dengan langkah terseok-seok, setengah mati kuarahkan busungan dadaku ke Bapak; bertanya apa makna dari kata menerima apabila langit sore ini tidak seindah biasanya. Dengan kopi hitam di kanan dan lintingan sigaret di lawannya, Bapak enggan menjawab sambil mengunci mata. Ia hanya bisa berkata, “Tuhan itu pelukis handal. Kali ini, kehendak-Nya melukis kau dengan lusuh dan kelabu. Sama indahnya, hanya saja kau tak bisa lihat.” Alisku mengkerut. “Kemana warna lainnya, Pak?” Jakun Bapak menenggak ampas kafein paginya. “Ia simpan. Kau pintalah. Tak ada yang gratis disini, bahkan air minum harus kau kais dari tanah.” Bapak lupa bahwa lututku sudah lebam dan punggungku sudah remuk dari sembahyang belasan tahun kebelakang.
Kuarahkan pundak ke sahabat kecilku. Kutanyakan perihal cinta: apakah ia benar ada atau hanya fiksi belaka? Dijawabnya dengan mata sayu dibalik lensa silindernya. “Kau lihat bunga di depan pagar itu, kawan?” Kuanggukkan kepala. “Menurut kau, ia bisa mekar karena siapa?” Kelu, lidahku rasanya dililit duri musim panas. “Cinta tak terlihat, Kawan. Tak terdengar. Tapi kau bisa rasakan ia dimana-mana. Layaknya angin malam, layaknya oksigen yang kau hirup, kau hidup karena dia.” Kawanku ini lupa bahwa sahabatnya mati rasa. Bahkan kata patah tidak ada di kamus pribadinya.
Lalu tertatih-tatih kubawa rangkakku ke depan kaca, melihat siluet menyedihkan di dalam sana. Mulutnya membuka dan ia kembali bertanya: hidup kau ini sesungguhnya buat siapa? Empat detik, sembilan detik, tak kunjung kudengar jawabnya. Cerminku berembun, matanya di dalam kaca tak kalah berkaca-kaca. Lalu hujan sore ini datang membawa lembar jawaban: “Untuk tenggakan pertama teh hijaumu esok pagi. Untuk bunga yang harus kau siram tiap hari. Untuk mimpi yang kau timbun di buku tulis. Untuk obat kau yang dosisnya masih sampai dua minggu lagi. Untuk kau. Untuk kau. Untuk kau.”
Kencang kuberlari menjauhi sore hari, kudongakkan daguku ke matahari sebelum ia pergi. Masih terang walau si awan nakal menutupi. Kupejamkan mata tiga detik, lalu ia hilang ditelan garis bumi. Kutundukkan kepala lima detik, lalu bulan gantian datang menduduki. Pasukan bintang kerlap-kerlip meledekku yang kelihatan menyedihkan sekali, seolah-olah berbisik: “Belum selesai. Hari kau masih berputar. Matahari dalam hitungan jam akan kembali datang. Belum selesai, tegakkan pundak kau, jawabannya akan datang sedikit lagi. Sabar, bajingan, tak usah banyak bertanya.”
0 notes