Tumgik
fawazsidiqi · 3 months
Text
Guru adalah Pemimpin
(Tulisan 5 Tahun lalu)
Sebenarnya saya belum selesai melakukan observasi tentang tulisan kedua pada judul yang sama ini.
Tetapi karena beredar secara viral sebuah video yang menunjukan tindakan tidak beradab dari seorang siswa terhadap guru, ditambah hal tersebut dilakukan di dalam kelas, maka saya tergerak untuk menulis selekas mungkin dan bisa saja nanti ada tambahan tulisan ke-tiga ketika observasi saya sudah selesai.
Saya akan coba sampaikan sudut pandang saya terkait kasus tersebut, semoga bisa lebih sederhana dan tidak terlalu panjang.
Setidaknya ada dua prinsip penting yang berhubungan dengan kasus di atas.
Prinsip pertama, guru merupakan pemimpin di kelas.
Seorang siswa -terutama selama di kelas harus mau melakukan “apapun” perintah guru sekalipun hal tersebut tidak koheren dengan mata pelajaran yang sedang diajarkan.
Tentu, di dalam Islam konteks apapun dibatasi dengan batasan jelas yaitu : tidak bertentangan dgn syar'iat -perintah Allah dan Rasul-Nya.
Prinsip ini sangat dipahami -dan diamalkan betul oleh para santri di pondok. Seorang santri akan sangat dgn responsif mengikuti permintaan kiyai sekalipun terkesan “aneh”.
Ya, secara tidak langsung ada sebuah sistem organisasi (sederhana) di kelas yang pemimpin tertingginya merupakan guru. Siswa sebagai bagian dari organisasi tersebut harus mau terlibat dalam sistem yang (seharusnya) sudah disepakati di awal pendaftaran dan dilengkapi dengan sistem yang dibuat oleh guru di kelas.
Maka selayaknya sebuah sistem, ada konsekuensi yang harus diterima jika terbukti melanggar ketentuan yang sudah disepakati. Pimpinan sekolah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus ini jika memang sang guru tidak memiliki bargaining yang kuat terutama di hadapan orang tua.
Prinsip kedua, kepemimpinan guru di luar sekolah.
Jika di dalam kelas sudah jelas sang guru menempati posisi tertinggi sebagai komandan bahkan mungkin panglima, bagaimana jika di luar sekolah (?)
Sebenarnya ini merupakan bagian dari observasi saya tentang bagaimana seharusnya seorang guru berperan dalam pendidikan anak di luar kelas (dan sekolah).
Dalam kacamata saya, kepemimpinan tertinggi itu beralih dari guru kepada orang tua.
Guru disini berperan sebagai “konsultan ahli” atau bahkan penasehat bagi orang tua terkait hal-hal apa saja yang perlu ditekankan dalam kepemimpinannya terhadap sang anak di luar sekolah.
Nah, disini lah inti tulisan dalam judul yang saya angkat.
Menjadi “guru” bagi orang tua dalam persepektif saya merupakan tugas yang tidak sederhana karena seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan secara detil dan mendalam tentang apa dan bagaimana seorang siswa ketika di sekolah.
Seringkali karena tak acuh terhadap perkembangan siswa di kelas, guru hanya menyampaikan hal-hal normatif sehingga orang tua pun tidak memiliki panduan jelas mengenai apa yang perlu ditekankan dan apa yang sebenarnya sudah dikuasai sang anak dengan baik.
Terlebih masalah adab. Catatan-catatan guru di kelas mutlak dibutuhkan orang tua, sebagai kisi-kisi pelajaran tambahan yang diperlukan selanjutnya.
Sayangnya, guru juga terkadang justru lebih banyak menyimpan catatan tentang kemampuan dan nilai sang anak dalam menyelesaikan tugas mata pelajaran, tetapi nihil catatan akan adab secara mendalam.
Maka tidak aneh jika orientasi dari anak atau bahkan orang tua sendiri, selalu berujung pada kesimpulan sama : perlunya pelajaran tambahan di luar kelas (hanya) dalam hal kemampuan penalaran. Kesimpulan tersebut diejawantahkan dengan didaftarkannya sang anak dalam lembaga bimbel tertentu di luar sekolah.
Dari kejadian di video tersebut, jelas sekali menunjukan hilangnya adab dari siswa di kelas -karena teman-temannya yang lain terlihat membiarkan malah ikut memanas-manasi.
Jika saya berposisi sebagai guru di kelas tersebut, akan ada “catatan merah” untuk orang tua dari masing-masing siswa yang terlibat.
Sebenarnya masih ada prinsip lain yang menunjang kasus di atas, tapi saya rasa dua prinsip di atas sudah cukup mengakomodasi prinsip yang lain.
Sederhananya, akhlak seorang anak tidak akan dapat dilepaskan dari siapa orang tua dan guru-nya.
Maka, tugas keduanya untuk saling berkolaborasi dalam ikhtiar mendidik sang anak agar memiliki akhlak yang baik.
Jika pun sudah terlanjur terjadi -bahwa sang anak ternyata memperlihatkan akhlak buruk apalagi ketika sudah masuk tahap baligh, perubahan itu masih sangat mungkin terwujud jika keduanya sepakat untuk manghadirkannya. Bagaimana caranya?
Saya memiliki dua solusi yang sudah terbukti ampuh. Mulai (atau lebih) dekatkan sang anak dengan Al-Qur'an dan dengan majelis ilmu yang di dalamnya dibahas ayat-ayat Al-Qur'an.
Jika sebuah kaum terpinggirkan dan dikenal dengan sebutan jahilliyah karena akhlaknya yang buruk saja bisa bertransformasi menjadi sekelompok manusia mulia dan mampu menjadi pemimpin peradaban dengan Al-Qur'an, maka tentu hal itu bisa saja terjadi pada siapa yang menginginkan hal semisal. wallahua'lam.
4 notes · View notes
fawazsidiqi · 3 months
Text
Saya Dukung Pak Anies, Tapi..
Saya mendukung pak Anies menjadi presiden, tetapi yg saya dukung adalah akhlak (setidaknya yg nampak selama ini), ide dan gagasan secara rasional, bukan semata-mata orang dan sentimen tidak berdasar lain.
Jika setelah nanti terpilih pak Anies justru mengkhianati apa diejawantahkannya hari ini, maka saya akan mencabut dukungan tsb. dan ikut mengkritisi pengkhianatan yg terjadi.
Saya mendukung pak Anies menjadi Presiden, tetapi jika ternyata kalah, saya sama sekali tidak menyesali keputusan tsb., karena saya tidak merasa melakukan kesalahan apapun.
Saya mendukung pak Anies dan menghargai pilihan berbeda orang lain sebagai sebuah keniscayaan, tetapi saya tidak menyukai sikap berkilah atau "mencari pembenaran" terhadap kesalahan yg dilakukan paslon. Akui kesalahan sebagai kesalahan, jangan sibuk "menceboki" apalagi sampai memutarbalikkan fakta.
Saya mendukung pak Anies yg mengikhtiarkan terwujudnya keadilan dan kemakmuran unuk semua, tetapi bukan berarti saya melupakan dan meninggalkan salah satu inti dasar tauhid, bahwa segala hal yg mewujud di alam semesta pada hakikatnya terjadi karena kehendak dan kekuasaan Allah Ta'ala, bukan kehendak dan kuasa seorang manusia.
Bahwa kesejahteraan, keadlian, kemajuan, pun hal sebaliknya (kesengsaraan, ketidakadilan, kemunduran), terjadi atas kehendak Allah sebagai bagian dari ujian untuk kita, manusia.
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita pemimpin yang memiliki rasa takut kepada-Nya dan kasih sayang kepada rakyat-nya. Aamiin Yaa Rabbal'aalamiin
43 notes · View notes
fawazsidiqi · 3 months
Text
Jangan Hanya Meminta Diberikan Nikmat
Tidak ada satu hal pun yg mewujud dalam hidup, melainkan atas kehendak Allah Ta'ala. Dan kita diberikan panduan dalam menyikapi hal yg dianggap baik dengan bersyukur, sementara u/ hal sebaliknya berupa sabar. Keduanya akan mendapatkan konsekuensi yg baik.
Dengan kata lain, nilai dari sesuatu tidak hanya tentang status sesuatu tersebut (sebagai nikmat, atau bahkan laknat), tetapi juga respon atau sikap yg kita tunjukkan. Sebuah nikmat akan berbuah laknat, jika kita malah kufur atau menggunakannya u/ bermaksiat kepada Allah. Sedangkan hal buruk yg terjadi, akan menjadi kebaikan jika setelahnya diikuti dgn kesabaran, pertaubatan dan perbaikan.
Maka, jangan hanya cukup meminta nikmat (karena kita justru sangat mudah terlupa ketika lapang), tetapi minta lah juga kemampuan u/ mensyukuri nikmat agar kebaikan yg didapat semakin sempurna.
Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatika (Wahai Allah, aku mohon pertolongan agar aku selalu ingat (dzikir) kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah yang baik kepada-Mu).'"
4 notes · View notes
fawazsidiqi · 6 months
Note
Kenapa Allah belum atau tidak segera menghapuskan perasaan ini, sementara kepergiannya dgn meninggalkan luka yg cukup serius pun atas kehendak-NYA. Rasanya tidak adil saja, lalu bagaimana dengan perasaanku yg belum selesai ?
Kenapa Allaah tidak memihak padaku?
Apa yang Allah kehendaki terjadi, maka pasti terjadi. Dan, apa yang tidak Allah kehendaki terjadi, maka pasti tidak mungkin terjadi.
Salah satu rukun dalam iman, ialah beriman kepada takdir Allah, baik yang kita rasakan sebagai takdir yang baik, maupun buruk. Keduanya adalah ketetapan dari Allah Ta'ala yang harus kita imani.
Barangkali sesuatu yang kita anggap baik, sebenarnya menyimpan dampak buruk yang tidak pernah dikira sebelumnya. Sebaliknya, apa yang tidak kita senangi, bisa jadi sebenarnya adalah apa yang kita butuhkan.
Allah selalu berpihak kepada hamba-Nya. Pertanyaanya, sudahkah kita benar-benar menjadi hamba Allah dengan benar?
Keberpihakan Allah terhadap hamba-Nya juga jangan dimaknai bahwa Allah pasti akan memenuhi segala keinginannya, sesuai dengan yang diinginkan.
Allah bisa saja menghindarkan seseorang dari keburukan, dengan tidak memenuhi keinginannya tersebut. Dan itu merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
Dan bahkan, Allah bisa saja membiarkan seseorang terlena dalam keburukan yang mencelakakan, karena orang itu sendiri yang tidak mau mengikuti perintah Allah.
Pesan saya untuk siapapun yang mengirim pesan ini, berusahalah sekuat mungkin untuk menerima takdir, sekalipun hal itu berat. Jika ada dorongan untuk menyesal dan menolak, maka selalu coba berhusnuzhan kepada Allah Ta'ala, barangkali melalui hal yang tidak kita senangi itu, justru Allah sedang menyiapkan balasan terbaik, selama kita bersabar.
Dan, ujian setiap orang itu berbeda. Ada yang diuji dengan rasa senang, sehingga Allah akan menilai apakah orang tersebut bersyukur atau justru malah kufur. Kemudian, ada juga yang diuji dengan rasa sedih, sehingga hamba-Nya yang bersabar akan mendapatkan pahala besar, sedangkan yang ingkar justru akan semakin tersiksa dan celaka. Na'udzubillah.
Selain itu, tidak ada yang salah dengan rasa cinta maupun kecewa, menjadi salah ketika kita mengekspresikannya diluar apa yang Allah perintahkan.
Sampaikan kepada Allah, mintalah untuk diberikan kecenderungan hati kepada hal yang baik, lupakan segala hal yang membuat kita malah semakin sedih, dan lakukan segala hal yang membuat kita bahagia berada dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala. Wallahua'lam
15 notes · View notes
fawazsidiqi · 7 months
Text
Cara Berdo'a agar Mustajab
Berikut 6 adab Berdo'a yg Allah janjikan akan terkabul, sebagaimana terkabulnya do'a Nabi zakariya. Disarikan dari kajian Tafsir surat Maryam ayat 1-9 oleh Buya Yahya.
1. Menyadari kelemahan. Ungkapkan kelemahan dan keterbatasan kita selaku manusia. misalnya do'a Nabi Zakariya diawali pernyataan "Ya Allah sesungguhnya tulang ku sudah lemah dan rambutku sidah putih (baca : berusia tua).."
2. Sebutkan Hajat/permohonan kita. Hajat yg paling utama ialah dikuatkan iman, diperbaki alhlak dan dimudahkan taat, serta dijauhkan dari maksiat. Juga hajat lain misalnya : ingin menikah, punya anak dsb.
3. Khusyuk dan menyadari keagungan Allah. Sadari dan yakini bahwa Allah Maha Kuasa. Tidak ada yg mustahil bagi Allah.
4. Bersyukur atas kenikmatan yg dimiliki. Jangan hanya mengeluh, sadari nikmat yg Allah berikan. misalnya ketika hendak berdo'a agar anak menjadi sholeh (saat itu masih nakal) maka ungkapan rasa syukur bisa berupa : "Ya Allah, Alhamdulillah engkau beri aku karunia berupa anak, karena ternyata tidak semua orang dapat memiliki anak."
5. Jelaskan kegunaan/fungsi/tujuan/motivasi hajat. Misalnya (do'a Nabi zakariya) : "Aku takut tidak ada yg mewarisi kebaikan yg Engkau berikan kepada-ku dan kebaikan keluarga Ya'kub.." contoh lain ketika minta harta bisa dijelaskan kegunaan harta tsb : membayar hutang, bersedekah dsb.
6. Didasari rasa tulus dan husnuzhan. Yakini bahwa Allah pasti mengabulkan sesuai kehendak-Nya yg hal itu adalah pasti baik untuk kita. Jangan putus asa. Pengabulan do'a bisa jadi dalam bentuk lain yg lebih dibutuhkan, atau bahkan nanti di akhirat.
Wallahua'lam.
422 notes · View notes
fawazsidiqi · 8 months
Text
Syukur dan Takdir
Saya sempat berpikir bahwa syukur itu membutuhkan syarat : berhasil, atau jika diuraikan ialah tercapainya keinginan. Sampai kemudian secara berulang mendapatkan penjelasan dari Gus Baha ttg bagaimana selayaknya kita sebagai muslim memandang hidup, termasuk syukur itu sendiri.
Misalnya, satu kali Gus baha pernah memberikan maklumat bahwa tidak terpenuhinya keinginan (baca : nikmat) juga bisa disyukuri karena kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas nikmat tsb.
Orang yg memiliki banyak harta (tentu) harus bersyukur karena mendapatkan nikmat, tetapi orang yg tidak memiliki harta harus bersyukur karena tidak akan dimintai pertanggungjawaban akan harta tsb.
Pesan inti yg saya dapatkan dari penjelasan Gus Baha ialah penerimaan secara penuh terhadap takdir atau ketetapan Allah, sekaligus kepahaman dan kesadaran bahwa takdir Allah itu pasti baik.
Dan jika boleh disimpulkan, salah satu sebab utama saya mendapati perasaan negatif seperti rasa menyesal, minder, iri, malu, atau dalam sisi lain merasa ujub dan sombong, karena salah dalam memahami dan menyikapi takdir.
Alhamdulillah, sejauh saya berusaha memahami dan menerima takdir dgn baik, sejauh itu juga perbaikan dalam memandang dan menjalani segala kejadian dalam hidup saya rasakan.
Allahulmusta'an
14 notes · View notes
fawazsidiqi · 8 months
Text
Cerdas Tidak Cukup
Sudah sering kita dengar bahwa orang tua (terlebih ibu) adalah madrasah pertama bagi anak. Dengan dalih itu juga, banyak yg menganggap bahwa orang tua selayaknya memiliki kecerdasan dan menempuh jenjang pendidikan hingga level tertinggi sebagai bekal mendidik anak. Sayangnya, kampanye itu berhenti sampai dua hal ini : cerdas dan berpendidikan tinggi.
Padahal, betapa banyak orang tua yang cerdas dan berpendidikan tinggi, tetapi qadarullah sang anak justru menunjukkan sifat sebaliknya. Di sisi lain, banyak juga ulama dan tokoh besar peradaban yang hadir dari orang tua yang secara kecerdasan dan tingkat pendidikan biasa saja.
Selain tentu sangat berhubungan dgn ketetapan Allah (baca : diluar kuasa manusia), mengandalkan kecerdasan dan pendidikan tinggi dalam menjalani peran sebagai orang tua tidaklah cukup. Terlebih kecerdasan memang bukan faktor penentu keberhasilan pendidikan.
Keduanya perlu dilengkapi dgn kesungguhan u/ hanya mencari nafkah halal thayyiban, menggumuli amal shaleh dan akhlak mulia, serta "tirakat" sepanjang hayat. Terlebih seorang anak memang cenderung akan mengikuti apa yang ia lihat dalam keseharian, dibandingkan pelajaran yang orang tua sampaikan.
Pertanyaannya: apakah pendidikan (bahkan di level tertinggi) hari ini mampu menghadirkan lulusan yg memiliki kriteria di atas?
Wallahua'lam.
22 notes · View notes
fawazsidiqi · 8 months
Text
Musibah yang Baik
Selalu ada insight baru dan menggugah saat menyimak rekaman ngaji bareng Gus Baha. Kali ini, video yang saya simak adalah ngaji bareng Gus Baha dengan tema Islam Rahmatan lil'alamin di akun Universitas Islam Sultan Agung Semarang (berikut link-nya : https://www.youtube.com/watch?v=seQhj6Vtk1M&t=480s )
Kebanyakan orang, termasuk saya sendiri, sangat mungkin memahami musibah sebagai sesuatu yang (terkesan) buruk, baik berupa materil maupun imateri. Contoh paling mudah ialah kematian keluarga dan/atau bencana alam, keduanya seringkali dilabeli sebagai musibah dan dimaknai sebagai sesuatu yang buruk.
Padahal, Gus Baha menjelaskan bahwa arti kata musibah ialah sesuatu yang mengenai seseorang, yang tidak hanya (terkesan) buruk tetapi juga sesuatu yang baik. Beliau lalu mengutip surat An-Nisa ayat 79 :
مَّآ أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدًا
"Artinya: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi."
Lalu kenapa musibah menjadi identik dengan keburukan?
Masih dijelaskan Gus Baha, karena memiliki nafsu yang besar (barangkali yang dimaksud adalah karena manusia cenderung mengikuti hawa nafsu) maka musibah yang tidak dikehendaki dimaknai sebagai masalah atau hal buruk, sedangkan musibah yang baik dimaknai sebagai kenikmatan dan tidak disebut sebagai musibah.
Gus Baha kemudian menegaskan bahwa musibah maupun nikmat ada yang hakikat dan ada yang menurut kita, manusia. Sedangkan kita sangat terikat pada subjektifitas. Sesuatu yang menurut kita baik, bisa jadi hal tersebut termasuk keburukan bagi orang lain. Begitu sebaliknya.
Maka penting untuk berlatih dan memaknai sesuatu selalu dengan sudut pandang positif, sekalipun kita tidak tahu hakikat dari sesuatu tersebut. Pemaknaan tersebut pada akhirnya akan membuat kita mampu untuk selalu berhusnuzhan dan menyikapi dengan baik apapun ketentuan yang Allah tetapkan. Dan kita tidak melihat sesuatu dengan ukuran nafsu, tetapi dengan ukuran menurut Allah Ta'ala.
Wallahua'lam.
9 notes · View notes
fawazsidiqi · 9 months
Text
Amal Mulia
Sewaktu kecil, ada 3 kiyai yang seringkali kajiannya secara tidak sengaja didengar (karena diputar oleh mamah di rumah atau tetangga sebelah), salah satunya ialah Kiyai Jujun Junaedi.
Kedalaman materi, kemampuan story telling yang bagus, pemilihan contoh kasus, dan (yg paling penting) penggunaan basa Sunda, membuat ceramah beliau sangat menyentuh dan memberikan kesan tersendiri.
Beberapa waktu lalu, saya sengaja memutar ceramah kiyai Jujun sebagai teman selama perjalanan Sukoharjo - Jogja. Dan hampir sepanjang jalan itu juga, saya merasakan ragam ekspresi : dari serius, ketawa, sampai nangis. Selain karena pesan yg disampaikan begitu menohok, ada semacam kenangan kuat ketika mendengar beliau berceramah.
Dua diantara pesan yg beliau sampaikan dalam ceramah tsb, ialah
(1) pentingnya mendawamkan amal shaleh semisal mengaji, sehingga kehidupan kita hanya akan berakhir pada 1 dari 3 kemungkinan : sebelum mengaji, ketika mengaji, atau setelah mengaji.
(2) seorang anak yang hormat dan baik kepada orang tua termasuk kebaikan, tetapi ketika ia juga bisa hormat dan baik kepada mertua, maka hal tersebut adalah kemuliaan.
4 notes · View notes
fawazsidiqi · 9 months
Text
Tumblr media
Karena belum ngerasa ngantuk akhirnya semalem menyempatkan baca buku yang beberapa waktu lalu di pinjam dari perpus Jogja, sekalian buat persiapan ngisi kelas menulis di salah satu pondok besok paginya.
Ga kerasa, 178 halaman habis dibaca hanya dalam waktu 60 menit. Selain memang berbentuk kumpulan tulisan ringkas, buku ini juga lebih banyak menekankan sisi praktis dibandingkan teoritis.
Menarik dan bernas, terlebih karena penulisnya (yang ternyata juga lahir dan besar di Tasikmalaya) merupakan alumnus jurnalis sebuah media terbesar di Asia tenggara.
Kang Pepih Nugraha secara jujur bercerita mengenai pengalamannya dalam menulis (kreatif), dari mulai motivasi, penggalian ide, pengembangan tulisan, hingga membangun konsistensi dalam menulis.
Buku yang baru terbit tahun 2022 ini bisa dijadikan sarana refreshing atau bahkan suplemen bagi para penulis pemula, termasuk yang sedang dalam proses meyakini diri untuk menjadi penulis.
Gaya bahasa yang ringan dan disertakannya beberapa contoh dalam penjelasan satu teori, akan sangat membuat kita nyaman membaca hingga halaman terakhir dari buku dengan tanpa merasa kesulitan.
Sebagai penutup, satu kutipan menarik dari buku terbitan Elex media tersebut ialah "Penulis yang baik bukanlah yang menghasilkan tulisan terbaik, tetapi ia yang tidak pernah berhenti menulis".
Sleman, 6 Agustus 2023
1 note · View note
fawazsidiqi · 9 months
Text
Karomah Sesungguhnya
Gus Baha' seringkali menegaskan pentingnya menerima takdir (yang memang termasuk rukun iman), entah takdir itu dirasa baik ataupun buruk. Sebagaimana akan banyak kebaikan yang hadir dari penerimaan terhadap takdir, kita juga melihat secara nyata bahwa mengingkari takdir menjadi sebab lain kesengsaraan hidup.
Sikap hasad (iri/dengki) misalnya menjadi representasi dari ketidakmampuan dalam memahami dan menerima takdir. Orang yang hasad merasa tidak senang ketika orang lain mendapatkan nikmat, bahkan sampai menginginkan nikmat itu hilang dari orang tersebut. Lalu, ia pun akhirnya tersiksa oleh sikap hasadnya sendiri.
Gus Baha pernah mencontohkan bahwa sekalipun bodoh itu tidaklah baik, tetapi menerima takdir sebagai orang bodoh tetaplah baik.
Salah satu hikmahnya adalah tidak hasad, tidak malu untuk belajar, dan tidak berusaha agar terlihat pintar.
Penerimaan terhadap apa yang mewujud dalam hidup, disertai kesadaran bahwa semua itu adalah kehendak Allah Ta'ala menjadi jalan menuju kemuliaan, sebagaimana ditegaskan Syeikh Yusri Al-Hasani bahwa "keridhaan dengan apa yang sudah ditakdirkan adalah karomah sesungguhnya".
Wallahua'lam
12 notes · View notes
fawazsidiqi · 9 months
Text
Orang Asing
Tidak terasa, 7 bulan lamanya sudah dilalui sebagai orang yang berdomisili di Yogyakarta, tepatnya di kabupaten Sleman. Tujuh bulan ini tentu menyediakan kisah baru, karena saya harus memulai kembali sebagian besarnya dari awal : tempat tinggal, teman, pekerjaan, kebiasaan, dan sebagainya.
Sejauh 28 tahun hidup ini, baru ada 2 kota yang saya tinggali dalam waktu lebih dari satu tahun, yaitu : Tasikmalaya sebagai tempat kelahiran hingga lulus SMA, dan Semarang sejak masuk kuliah di tahun 2013 hingga akhir tahun 2022. Selain dua kota tersebut, saya sebenarnya pernah tinggal lebih dari satu bulan seperti di Kudus waktu KKN dan di Nganjuk (rumah mertua) ketika awal pandemi.
Kembali menjadi orang asing.
Iya, rasanya setelah tujuh bulan berlalu saya masih seperti orang asing. Hampir tidak memiliki teman (dekat), bahkan saya belum pernah berolahraga selain sendiri atau bersama anak-istri. Padahal, baik ketika di Tasik maupun Semarang, olahraga jadi kegiatan favorit, terutama futsal, voli, atau juga badminton.
Ada sebenarnya teman lama, baik semasa SMP-SMA maupun kuliah. Namun, karena sudah sama-sama berkeluarga dan pekerjaan mereka yang padat, serta jarak tempat tinggal yang lumayan jauh, membuat teman lama pun belum sepenuhnya mengisi posisi “kekosongan teman” sejauh ini.
Saya juga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (yang sebenarnya sudah disadari sejak lama, tapi mendapatkan penguatan dalam tujuh bulan ini) bahwa saya memiliki keterbatasan dalam hal membangun hubungan pertemanan. Bukan, saya bukan orang yang antisosial. Saya bisa dengan mudah mengobrol banyak hal, bahkan dengan orang yang baru ditemui dan mungkin tidak akan pernah bertemu lagi di kemudian hari.
Tapi, untuk mencari dan membangun hubungan pertemanan, rasanya memang masih jadi PR besar yang belum bisa saya selesaikan. Setidaknya hingga hari ini. Mungkin juga sebenarnya saya memang belum berusaha lebih keras aja sih. Iya, saya ga menyangkal kalau memang masih belum berusaha dengan baik.
Biar ga kepanjangan, apa hikmah dari perjalanan tujuh bulan (yang berlanjut di bulan ke delapan nanti) mencari teman? Saya menyadari bahwa pertemanan tenryata memang menjadi hal berharga yang sulit digantikan, atau setidaknya untuk saya sendiri.
Saya merasa asing di tempat ini karena memang belum memiliki teman. Sesuatu yang tidak saya rasakan ketika berada di satu tempat asing, karena ada teman atau kerabat di tempat tersebut.
Oh iya, saya sama istri juga tidak memiliki kerabat dekat di Jogja ini. Jadi, tambah lengkap kan nuansa asingnya? apalagi saya orang sunda hehe
Udah, nanti dilanjut ya, in sya Allah
Sleman, 28 Juli 2023
15 notes · View notes
fawazsidiqi · 9 months
Text
Keseimbangan Dua Sisi
Manusia setidaknya memiliki dua dimensi utama, yaitu ruh/jiwa dan jasad. Selain dituntut untuk menjadi saleh secara ruhani/jiwa, sebagai muslim kita juga harus berusaha mencapai kondisi jasad terbaik. Begitu juga dalam ibadah, dimana selain kewajiban untuk menjalankan ibadah personal, kita juga dituntut untuk melaksanakan ibadah sosial dengan baik. Artinya, seorang muslim ideal harus memiliki sifat kesalehan baik personal maupun keshalihan sosial.
Keseimbangan antara fisik dan ruhani; kesalehan personal dan sosial ini merupakan modal ideal bagi seorang pemuda untuk bisa menghasilkan karya penuh kebermanfaatan. Sosok yang mampu menyeimbangkan keduanya dalam level terbaik sudah pernah diperlihatkan sejak generasi terbaik umat ini, bahkan di sekitar kita hari ini.
Untuk memberikan gambaran mengenai hal ini ada sebuah adagium yang masyhur, berasal dari kesan seorang intelijen yang dikirim petinggi Romawi untuk memata-matai pejuang muslim ketika perang Yarmuk hendak bergejolak. Sebuah perang yang pada akhirnya berhasil meruntuhkan kejayaan Romawi yang terkenal tak tersentuh itu.
"Mereka (pasukan muslim) itu…” sang intel mulai menyampaikan hasil pengamatannya, “seperti rahib di malam hari dan pejuang di siang hari.”
Kalimat yang menggambarkan bagaimana gagah dan kuatnya pasukan muslim, baik secara fisik maupun ruhani. Kalimat yang seolah-olah ingin menyatakan bahwa sekuat apapun kalian (pasukan Romawi) berusaha, kalian tidak akan mungkin mampu mengalahkannya. Kalimat yang menjadikan para petinggi Romawi mulai berpikir untuk mengadakan perdamaian dan membatalkan peperangan, padahal pasukannya lebih banyak dan memiliki peralatan yang lebih canggih, kalimat yang menjadi gambaran utuh generasi yang didambakan hadir kembali di masa kini.
Itulah gambaran generasi muda yang diharapkan hadir di tengah gejolak umat hari ini. Sekelompok pemuda yang memiliki sifat “seperti Rahib di malam hari (saking khusyuknya beribadah seolah tidak mempedulikan dunia) dan pejuang di siang hari (memiliki daya juang dan daya kontribusi tinggi, serta kekuatan prima).”
4 notes · View notes
fawazsidiqi · 10 months
Text
Ketika mengisi beberapa forum dan kajian mahasiswa muslim (bahkan forum untuk ketua LDK), saya seringkali bertanya siapa diantara mereka yang sudah minimal menamatkan 1 buku Sirah Nabawiyah. Mirisnya hampir semua kompak menjawab belum pernah. Sekalipun ada, itu pun hanya satu atau dua orang saja. Saya masih berhusnuzhan bahwa mereka sengaja tidak mengaku untuk menghindari riya' atau ujub.
Namun jika saja hal itu benar, maka ini tentu menjadi fakta yg perlu disayangkan. Di tengah dominasi pemikiran sekuler dan liberal, juga merebaknya publikasi dari orientalis yg  mendiskreditkan sang nabi, para aktivis muslim (setidaknya di forum yg saya temui) seolah dgn sengaja menjerumuskan diri dengan tidak berusaha mengenali Rasulullah secara mendalam.
Sosok yang harusnya menjadi teladan, bisa jadi hanya dikenali dari potongan ceramah atau bahkan postingan. Padahal, sekian banyak buku Sirah sudah ditulis para ulama, dalam berbagai tema dan bahasa, termasuk Indonesia.
Maka, di akhir sesi saya selalu menugaskan atau setidaknya menganjurkan mereka untuk bersegera membaca dan/atau menamatkan satu dulu saja buku Sirah nabi yang lengkap. Bagi yang membaca status ini, dan juga belum pernah menamatkan satu buku Sirah pun atau bahkan belum punya bukunya di rumah, melalui postingan ini saya mengajak untuk bersegera memenuhi hajat tersebut. Karena, bagaimana mungkin mampu meneladani bahkan mencintai sang nabi, jika kita tidak mengenalinya dengan baik. 
Misal dalam hal rumah tangga. Hari ini (sebenarnya dari dulu, dan nanti juga kemungkinan bakal terjadi lagi) kita dibikin khawatir oleh banyak kisah miring terkait hubungan rumah tangga dalam berbagai dimensi: orangtua, anak, mertua, menantu, tetangga, orang asing dsb.
Banyak saya temukan postingan bernada pesimis dan ketakutan u/ menikah, bahkan sebagian besarnya malah dengan sadar mengkampanyekan u/ tidak menikah.
Mirisnya, kita juga justru malah menjauhi kisah rumah tangga teladan yang secara berabad-abad dikaji tanpa pernah selesai. Alih² menyibukkan diri memenuhi hasrat keingintahuan permasalahan rumah tangga orang lain, lebih baik kita mulai pelajari (kembali) bagaimana Nabi dan istri²nya memberikan teladan dalam berumahtangga.
Tidak perlu terganggu oleh agitasi bahwa meneladani nabi berarti konservatif alias kolot atau jadul. Kita harus yakin, dan sebagaimana dijelaskan para ulama, bahwa keteladanan nabi itu bersifat abadi sepanjang zaman. Ia akan selalu relevan, apapun tantangan dan bagaimanapun kondisi zaman.
Allahumma Shalli ‘alaa Muhammad
11 notes · View notes
fawazsidiqi · 10 months
Text
Kendali Diri
Kemampuan untuk mengendalikan marah saat posisi kita lebih tinggi dibandingkan orang yang membuat marah (seperti suami terhadap istri atau orang tua terhadap anak), jadi hal berat yang sangat perlu dilatih sejak dini.
Jangan karena memiliki kuasa, kita merasa berhak melampiaskan kekesalan, apalagi membenarkan kesalahan.
Perlu dilatih, karena kondisi marah seringkali membuat kita tidak memiliki kesadaran secara penuh, sehingga yang muncul kemudian adalah sisi emosional dari alam bawah sadar. Bahkan, tidak jarang berbuah kegiatan fisik seperti memukul, menendang dsb.
Pengendalian bisa dilakukan dengan menjauh terlebih dahulu, sampai benar-benar dapat mengendalikan diri secara penuh. Dan, jika terlanjur melakukan kesalahan, secepat mungkin meminta maaf menjadi sarana stabilitas emosi, sambil berusaha mengabaikan bisikan u/ memperlama konflik atau kemarahan.
Dan sejauh yg saya alami, ujian terbesar dalam sebuah hubungan (entah orang tua-anak, maupun suami-istri) ialah ketika salah satunya melakukan kesalahan.
Dapatkah kita tidak menjadikan kesalahan tersebut sebagai pembenaran u/ melakukan kesalahan yang sama, atau bahkan lebih berat, sehingga yg muncul justru dorongan u/ memaafkan dan saling memperbaiki diri, serta berfokus pada penyelesaian masalah.
Allahulmusta'an
6 notes · View notes
fawazsidiqi · 11 months
Text
Pucuk Sinar
Dulu, terbit dari balik sepi yang dalam Menelan sunyi di pangkuan malam Sinar tak lagi tertutupi tabir Menjelma sebangsa insan penuh kesadaran Lalu, malam berlalu menjadi dhuha Petani pergi menggendong cangkul dan teko Sekelompok ayam berkokok tanpa induk Sekolah berbunyi liris mendendang algoritma Kini, cahaya menjelma tanpa lebih bayangan Segala warna telah mampu dirajut Dipukulnya bukit tanpa tersisa walau sedikit Hasrat tumbuh menyelimuti diri Kelak, Ia tak lagi dapat dipanggil nama Wajahnya gelap tertutupi bayang-bayang Pucuk sinar telah kembali layu Menelan sunyi di pangkuan malam Sleman, 9 Juni 2023
6 notes · View notes
fawazsidiqi · 1 year
Text
Hidayah Bukan Barang Murah
Setidaknya 17 kali dalam satu hari kita memohon untuk selalu diberikan hidayah. Sadar maupun tidak, kalimat permohonan itu terucap melalui lisan kita dalam setiap rakaat shalat. Karena memang hidayah, bukanlah barang murah. Ia juga tidak bisa ditebus dengan materi berlimpah. Bahkan, bisa jadi ia justru malah terhalang akibat ulah kita dalam menuhankan uang. Melalui do'a "ihdinash shiratal mustaqiim" yg wajib dibaca dalam shalat, kita seolah diajarkan u/ selalu merasa rendah hati dan meminta agar diberikan petunjuk sepanjang waktu. Bisa jadi saat ini kita sudah merasakan nikmatnya Islam, tetapi kita perlu petunjuk agar dapat memahami syariat Islam secara benar, baik perintah maupun larangannya. Bisa jadi ilmu kita banyak, tetapi kita tetap perlu petunjuk u/ dapat mengamalkannya. Apalagi, banyak kita temukan orang yang malah jumawa dgn ilmu-nya. Begitu juga setelah mengamalkan semua ilmu, kita perlu petunjuk u/ bisa ikhlas dan Istiqomah dalam pengamalannya hingga akhir hayat. Dan karena itu juga, persoalan "hidayah" ini harus selalu menjadi perhatian utama. Terlebih semakin tinggi kondisi diri, semakin berat juga ujian yang akan dihadapi. Semoga kita termasuk hamba yang Allah Ta'ala berikan karunia berupa ke-istiqamahan di atas jalan yang diridhai-Nya. Aamiin..
17 notes · View notes