Text
regresi
Jika pada akhirnya pesawat-pesawat terbang rendah itu menjatuhkan bom dan meleburkan seluruh kota, pria itu berharap—kalau selamat, tentunya—ia bisa menemukan satu tempat. Terpencil tak masalah. Sempit tak mengapa selama tempat itu sunyi, bersih, dan menentramkan. Bukan berwujud kubus sempit dan gelap, duduk beralas debu sementara sekujur tubuh berselimut gentar dan gemetar.
Di tempat baru itu ia akan merayakan jiwa yang masih utuh di antara tanah kelahiran yang lebih dulu berkecai, berpayung jelaga menggantung, hancur karena gemuruh, nyaris binasa karena adu kuasa. Dan ia tak benar-benar peduli lagi soal itu karena ia terlebih dulu membawa seseorang yang paling dikasihi. Persetan dengan peran yang sedang dilakoni. Tak peduli jika kekasih hati adalah musuh sendiri.
Ia akan menahannya dalam dekap erat dan jika diperbolehkan ia akan menciumnya banyak-banyak. Bukan karena tak tahu aturan. Bukan menikai kenyataan. Bukan karena terlanjur dirundung rasa memabukkan. Tapi ia tahu, meski negeri sedang di ambang kiamat sekalipun, hidup tak semudah itu untuk binasa. Ada kehidupan yang dititipkan di antara jiwa-jiwa yang telah kembali.
Ada harapan di balik situasi terburuk sekalipun, meski itu sedikit sekali.
Namamu dilirihkan di antara napas tersekat. Ia menjawab dengan membelai dahinya yang lekat berkeringat. Sementara pangkuannya ditinggikan, bersikeras untuk tersenyum, meski hati hancur berantakan menemukan merah pekat yang mengalir deras di antaranya.
“Setelah perang ini berakhir, aku ingin ke danau bersamamu.”
2 notes
·
View notes
Text
hujan
Perempuan itu menyukai hujan. Ia menyukai bagaimana bulir-bulir air berlompatan di permukaan dedaunan, bagaimana suara tempias air menerjang kaca mewakili simfoni alam, juga bagaimana tirai air tipis melapisi permadani alam.
Namun, hari itu alam lebih menyalak dari biasa.
Bahkan sekedar untuk tenggelam nyaman di balik selimut, ia tak bisa. Rasanya tak nyaman, takut, dan gelisah. Angin bercampur tangan. Langit meronta dengan gelegar gahar. Ranting-ranting pohon berayun agresif. Bulir-bulir air menjelma jadi serbuan peluru masif. Dari balik jerjak jendela, ia meratapi dalam diam bagaimana cabang dan ranting berderak patah. Dan, remaja itu merutuki teras rumah yang basah bercampur kotor karena debu yang singgah dibersamai angin.
“Kau tampak gelisah,” tanya ibunya.
“Langit seperti sedang marah, Ma.”
Dengan kedua matanya, wanita berambut pendek itu tersenyum. Seketika ia terpekur karena selintas ia bisa melihat bayangnya sendiri di wajah ibunya. “Mungkin langit hanya lebih bersemangat dari biasa. Hujan deras bisa saja membuatmu resah tapi bagi sebagian yang lain hal ini bisa jadi adalah berkah, termasuk untuk Mama.”
“Kenapa?”
Lagi-lagi, senyum mengisi bibir ibunya. “Pertama kali Mama bertemu ayahmu setelah hujan deras.”
“Ma, omong-omong soal Ayah, bagian mana dariku yang mirip Ayah? Semua orang bilang aku mirip Mama. Dan aku nyaris tak bisa membantah lagi saat aku bercermin.”
“Bagian kau menyukai hujan.”
0 notes
Text
Pertemuan di Hutan
Tangan pemuda itu bergetar. Mata pisau siap berlaga dengan nadi. Iya atau tidak, pemuda itu masih menimang-nimang. Figurnya ditelan gelap bayang pohon-pohon tinggi. Gesek daun bergesekan angin semakin dekat.
Arahnya dari balik punggung.
Mungkin binatang buas, pikir si pemuda sambil beringsut ke balik pohon besar.
Ia tak berani menolehkan kepala ke belakang. Harimau. Beruang. Bisa jadi ular piton raksasa. Tapi pilihan terakhir sangat mustahil mengingat bunyinya lebih mirip langkah-langkah. Hanya satu yang ia ketahui.
Dia harus bergegas.
Harus lekas sebelum ia mati dengan cara lebih konyol dari bunuh diri.
Dia punya mantan pacar. Mantan pacar yang akan dibuatnya menyesal seumur hidup. Rusak raga membuatnya tak akan dikenali. Hal itu yang membuat mati dikoyak harimau bukan sesuatu yang bijaksana. Dia juga sudah merangkai pesan terakhir sebanyak dua paragraf dalam tiga jam. Sayang sekali jika usahanya mubazir.
Srek. Srek.
Langkah itu berhenti seolah sedang menentukan buruannya. Pemuda itu panik. Setengah berlari, ia berpindah pada tubuh pohon yang lebih besar. Dia berjongkok. Pisau itu masih gemetar di antara rengkuh jari-jari, meronta-ronta tak sabar untuk menghujamkan diri ke pergelangan si pemuda.
Pisau tolol, aku ingin cepat mati.
Srek. Srek. Srek.
Pisau di tangannya bergetar semakin dahsyat.
Dia tak percaya diri jika arterinya bisa putus dalam satu iris.
Lima meter.
Suara itu hampir mencapai punggungnya. Mata pisau dan nadi hanya dipisahkan kulit.
Tiga meter.
Matanya pejam. Dalam satu sayatan ia gores pergelangan tangannya.
“Aaaaah....”
Sakit melegakan. Merah gelap meluap-luap dan mengalir melalui ujung jari.
Tapi satu detik kemudian, ia teringat bahwa jika berhasil pun, raganya bisa jadi tinggal tulang saja setelah di makan binatang. Ia tak punya waktu lagi untuk sembunyi. Sial. Sial. Visinya mulai goyah. Untuk berlari dia tak lagi mampu.
Sreksreksreksrek. Bangsat, dia sudah dekat.
Sakit di tangannya makin menyengat dan lolongannya serupa serigala terluka.
Visi mulai dibutakan.
Raga ambruk. Wajah mencium tanah. Kedua matanya menutup tirai kehidupan. Sejauh mata memandang hanya ada gelap. Tak ada siapapun. Bahkan tak ada orang-orang mati lain.
Eh, tapi mana kaleidoskop kehidupan yang kata orang-orang tayang sebelum nyawa tercerabut dari raga? Batin pria itu.
“Hoi..”
Sebuah bass menggema. Perutnya mulai dilingkupi sakit. Seperti ditendang dengan sesuatu yang tumpul. Mau berteriak tapi tak bisa. Mau berlari tapi raganya entah di mana. Apa dia sedang disiksa?
Dalam sepersekian detik. Cahaya membutakan visi dan dia kembali dibangkitkan.
“Pisaumu meleset.”
Hal pertama yang dilihatnya adalah seorang pria dengan ikal bergelombang. Anak-anak rambut tumbuh di atas mulut serampangan. Mata bulatnya seolah nyaris menggelinding.
“Hah?”
Sosok berdarah itu bergumam linglung. Namun detik setelahnya ia tampak seperti kesetanan. Mungkin karena perih yang menggigit-gigit. Mungkin juga merasa panik karena tak seharusnya dia masih bertemu manusia.
Dengan tangkas, kembali diayunkan pisau itu ke arah nadi—
Oh, kini pisau itu tergeletak di antara daun-daun kering.
“Tidak, tidak. Jangan mati dulu, aku ingin bercerita sesuatu.”
1 note
·
View note
Text
Purnama
Dia memberi pandangan menikam, mengamati setiap gerak-geriknya sampai yang paling sederhana. Saat ia menyibak setelan formalnya, melemaskan jari-jari dengan anggun, kemudian mengatupkan tangannya dalam mata terpejam. Khusyuk bagai memanjatkan permohonan pada langit.
Nada-nada yang dimainkan begitu familiar. Bahkan untuk awam sekalipun karena melodinya yang serupa lagu pemakaman sering dijadikan musik latar belakang di berbagai pertunjukan.
Memang sudah basi, tapi ia harus mengakui—meski dalam perasaan tak ikhlas—kalau sosoknya memang salah satu yang luar biasa. Salah satu langit di antara banyak lapisan langit.
Ratusan manusia-manusia tanpa nama lenyap. Berdua saja, kaki mereka telah sejajar dalam satu alas. Pilar-pilar megah modern menjelma jadi kayu. Ranting-ranting kokoh terulur darinya dan daun-daun rakus mencakar horizon malam. Sementara serat-serat beludru merah tercemar tetesan zamrud. Laki-laki itu tak lagi menghadiri sebuah pentas. Raganya terkepung hutan, berdiri di tepian padang kecil hijau berangin deras, dan melihat sosoknya yang anggun menarikan jari-jarinya dengan khidmat bermandikan cahaya bulan.
Moonlight Sonata, merasuk ke dalam relung raga dalam titian indah dengan cara yang paling gelap dan muram, seperti malaikat yang frustrasi karena terpisah dari teman jiwa.
0 notes
Text
Simbok
Tubuh tegang itu dilahap tremor. Ranting-ranting ringkih meremat fabrik yang jadi alasnya. Bibir merintih sakit seolah parasit di dalam tubuhnya menggeliat dan mulai aktif menggerogoti setiap sel tubuh. Rintihannya semakin frustrasi di setiap detik alunan doa dirapal dari mulutku.
Sosok itu menggelepar di atas ranjang besi tua yang hobi menjerit-jerit, bagai penyihir dibakar hidup-hidup.
“Lintang..”
Namaku berubah jadi rintih saat terucap dari sela bibirnya. Siasat untuk membuatku berhenti. Aku cuma melirik sekilas lalu tertunduk lagi. Dengan cuek aku menulikan indera dengar. Jempol kakiku bergelung di sendi, sebuah upaya kecil agar pikir tak terdistraksi. Rintihan itu kukalahkan dengan meningkatkan dinamika suara.
Ayat-ayat ini tak boleh berhenti sebelum selesai. Aku pernah mendengarnya dari guru agama.
Simbok pikir aku tidak tahu ya?
Simbok tak sakit betulan. Cuma ketakutan. Dengan lengking azan maghrib di surau seberang desa. Langit yang mulai terberangus meninggalkan garit-garit oranye di sudut barat, dan mulutku yang tak berhenti merapal, Simbok makin mirip orang kesurupan. Senja konon menjadi waktu di mana jin dan setan lepas dari sangkar berberaian.
Ketakutan yang tumbuh dari prasangka buruk.
Mbok, aku bukan mau mendoakanmu cepat mati, batinku.
0 notes
Text
Anomali
Tempat itu terasa familiar. Sangat familiar namun di waktu yang sama sangatlah asing. Di dalam mimpiku, semua terasa seperti perkampuangan biasa. Sudut-sudut geografis yang kukenal baik. Perkampungan yang kutinggali dengan dua tempat ibadah beda kepercayaan juga kedai-kedai rumahan super sederhana. Dan juga jalan tunggal membelah pemukiman.
Namun, hari ini, seolah ada hal magis yang membuat langkahku melangkah janggal. Perlahan, setengah mengendap, bagai seekor mangsa yang ingin diterkam.
Setelah banyak langkah kujejak, di antara desir angin canggung, tempat itu semakin terasa asing. Seolah ada ruang baru transparan yang terkuak dan membocorkan selubung tensi. Sudut yang tak mendapatkan atensi manusia. Tak sekalipun mereka memutar leher untuk melewatinya.
Ada apa di sana?
Dirundung tanya, seekor anjing menyalak menghampiriku. Suara yang terlalu mengagetkan; mengejutkan sampai ada dua detik terenggut situasi dan membuat pikir utama terdistraksi.
Bulunya legam dengan keping mungil yang nyaris tak kelihatan. Tubuh gempalnya terlonjak-lonjak di atas aspal. Gonggongan antara penasaran dan ketakutan.
Baiklah, ia berhasil memenangkan perhatianku.
Kakiku bergerak tanpa intensi.
Kulihat hewan kecil itu mengintip dari celah pagar kayu, mencakar pagar sampai kulitnya ternodai garit-garit kasar. Suaranya membuat telingaku tak tahan, tapi aku ikut penasaran. Tubuhku melengkung setengah. Pupil kuciutkan untuk mempertajam fokus. Tanganku bertumpu pada pagar.
Taman bermain?
Oh, bukan satu yang biasa. Bukan taman bermain penuh anak kecil bergelimun tawa. Ada banyak wahana namun tak ada satu pun manusia yang tertangkap retinaku. Banyak sumber cahaya dan selimut kelam di waktu yang sama. Bianglala itu tak bergerak. Sebaliknya, komidi putar itu berlari terlampau gesit. Sampai kuda-kudanya terasa lari betulan. Lampu-lampu mungil bergantung di atas lokelt berkedip terlalu cepat. Terlalu cepat sampai warna-warni membaur dan bertumpang tindih satu sama lain.
Rasanya bola mata ikut berputar kacau melihatnya.
Penasaran menguasai. Kini satu lututku menyentuh tanah. Aku melirik ke sisiku dan mendapati anjing itu terduduk patuh. Terlihat antusias seolah memberi tanda setuju.
Kudekatkan wajah. Dan satu senti dari lubang itu, waktu terasa berhenti.
Telingaku dibekap. Senyap menyumpal inderaku bagai orang tuli.
Atensiku tersedot total.
Tiba-tiba, papan di dekat hidungku dipukul kasar. Raga terlonjak otomatis dan aku jatuh terduduk. Sebaliknya, anjing itu makin antusias. Tapak kakinya yang mungil mengetuk-ngetuk pagar penuh semangat.
Tiga hantaman susulan dan aku bergeming melihat bagaimana papan itu bergetar.
“A-apa?”
Gonggongan anjing dan dobrakan susul menyusul. Bertarung dalam pikir, terbagi antara kabur dan ingin tahu, aku memandang pagar dan si anjing berganti-ganti.
Kini hewan itu menghampiriku dan mulai menggigiti sepatuku.
Mungkin aku memang dipertemukan dengan anjing ini dengan alasan, batinku.
Tak ada di dunia ini yang kebetulan.
Aku bersumpah ada yang berkedip di sana.
0 notes
Text
Pantai.
"Kakimu kotor."
Ia bersuara di antara semarak ombak menghantam karang. Gulungan air tak cukup tinggi, namun cukup gagah menghasilkan suara debur kencang. Jadi eufoni berpadu dengan percik air dan deras angin merabas.
"Biar," sahutmu singkat.
Netra memejam lamat. Kurva senyum terlukis di wajah. Tanpa sadar, seseorang di sisimu memandang dengan ekspresi heran. Kata ibumu, kau sempat ingin mempertemukan pisau dengan nadi. Tapi, air mukamu tertampil tegas sebuah negasi.
Ia memandang; berganti dari parasmu ke tepi langit berhias mega. Tepi tak kasat mata, tak berujung, memaksa makhluk rentan tetap merengkuh asa.
Seperti kau.
"Kau pernah dengar satu pariwara di televisi? Kalau tak salah, itu iklan sabun cuci."
Suara tenormu jadi pemecah hening. Fokus bercokol pada jempol kaki yang digerakkan berulang kali. "Katanya berani kotor itu baik."
"Putih tak akan disebut putih jika tak ada hitam. Baik tak akan disebut baik jika tak ada buruk."
Rentetan kalimatmu masih berlanjut setelah berjeda singkat. Proyeksi fragmen demi fragmen singgah di kepala. Senyap masih jadi milik pemuda di sisimu.
Tiba-tiba, ia bersuara.
"Kau ingat tanaman teratai di kolam belakang rumah?" Anggukan ringan kau hadiahkan. Tatap minat kau sertakan pada sorot teduh telaga cokelatmu.
Ia tersenyum.
"Kalau tak salah, kita hobi menonton film laga pada zaman kecil dahulu. Ada tokoh dewa-dewi kahyangan bersinggasana teratai di sana."
Ia menghela napas, membuat jeda dan mengisi dengan senyum tipis. Ia tak pernah tahu, jika diam-diam kau merasa napasmu tercuri sesaat. Debar jantungmu terhenti satu detik.
"Teratai adalah simbol suci dan kebaikan, tapi mereka tumbuh indah di atas kolam berlumpur dan kotor."
"Kau sedang berfilosofi?"
Kau bertanya dengan nada geli, melahirkan tawa semarak di sisimu.
"Aku hanya ingin bilang.. Bahwa para suci sekalipun menghargai sesuatu yang buruk. Dewa-dewi bersinggasana teratai. Asal mula teratai mereka abai--"
Kau tercenung di pasirmu, jadi pemerhati bagaimana setiap silabel yang lolos meneduhkan hati.
"---tak ada yang tak berguna di semesta. Sementara buruk bahkan bisa melahirkan sesuatu yang indah, mengapa harus meratap saat kau lelah?"
Yogyakarta, 21117.
0 notes
Text
Eksesif.
Tanpa tedeng aling-aling.
Iringan agresif dengan gebukan drum masif, serta lengkingan serak gitar melodi pusat atensi menusuk ke gendang telinga. Jari-jari sangat terampil menggaruk senar, melahirkan melodi rumit sebagai ajang pamer kemampuan sang solois gitar. Helaian rambut ikut terlonjak seirama hentak kepala, berjatuhan selaras nada-nada.
Ia menekuk lutut, kepala tengadah, dan mata terpejam merasai klimaks. Leher gitar diangkatnya tinggi-tinggi. Tatanan rambut goyah ke belakang. Tangan menjamah sensual deretan senar seperti seorang berengsek. Instrumen masih menjerit-jerit erotis. Garis rahangnya tajam. Dahinya bekerut serius meraba nada. Jari-jari tampak berlarian di atas fret. Bibir bawah digigitnya seduktif.
Sementara si penonton, mereguk ludah eksesif melewati epiglotis.
Tegangan urat di lengan kurusnya bahkan tampak seksi ketika mengatur pelatuk logam sampai menuju vibrato yang dibutuhkan, menghasilkan bunyian mirip lolongan gajah. Wajahnya serupa orang ejakulasi. Agaknya otak si penonton sedikit berdebu. Atau, bisa saja hal ini memang reaksi yang disebut-sebut manusia milenial sebagai eargasm.
Lebih condong pilihan kedua karena terdengar lebih bijaksana dan penuh tata krama.
Napas dihembus masif. Bahu lebarnya rileks setelah permainan sang solois berakhir. Ia mereguk napas satu-satu setelah menahan napas terlalu lama. Alunan Dry County masih menempel lekat di kepala.
.
.
.
Yogyakarta, 100717
0 notes
Text
Il mare.
Sudah lewat dua tahun; namun bangunan itu masih kokoh. Menjulang di antara lompatan riak dan deburan ombak, menghadap cakrawala, dan berdinding kaca. Manifestasi keangkuhan dan keindahan yang bersisian.
Angkuh adalah dirinya. Indah adalah manusia yang terkurung di dalamnya.
1 note
·
View note
Text
Malam.
Boleh jadi karena paras. Boleh jadi karena buah pikir yang kritis.
Tawa mengalun ritmis setelah kau reguk cairan manis di dalam botol, tandas setengah. Timbre berwarna sedang; merdu di dengar berakibat debar, terlalu kasar menghantam tulang rusuk.
Alir udara menyelip di antara helai sekelam arang. Dua sabit terbit di wajah. Sirna sudah tegas di paras. Tanpa sengaja bertemu, tiga purnama sudah berlalu. Kita bergilir saling kunjung. Melewati malam-malam jenuh dengan cerita ambisi.
Perdebatan tanpa henti soal bintang-bintang dalam konstelasi.
"Mereka ada karena gerak alam, perbedaan gravitasi, dan kontraksi. Tak perlu Tuhan untuk menjadikan alam semesta. Tak perlu Dia untuk mengatur semuanya."
Aku menoleh. Hadiah senyum kudapat. Hal-hal yang tak pernah kudapat saat kuceritakan pada para kolega.
Mereka sebut aku gila, sementara kau menerima. Kau seorang religius, aku tak punya Tuhan.
Aneh, kita bisa jadi teman.
"Orang-orang sepertimu akan langsung mempercayai keberadaan Tuhan, menutup dengan sukarela semua kemungkinan. Tapi, aku heran kau bisa jadi ilmuwan---"
“---Tuhan bukan pencapaian sains.”
Kau memotong, mengejek dengan dengus kecil. Pertanda lelah dengan tudinganku. Tapi, sekalipun kau tak pernah terganggu. Pun, aku tak pernah marah saat kau ajak pergi ke gereja.
Aku tau kau serius, meski aku selalu menganggapmu bercanda.
“Memang, karena tak ada Tuhan dalam sains,” sahutku.
Kau memandang satu bintang paling cerah di sudut utara. Hening, kemudian tawamu mengudara. Malam semakin semarak. Bahumu bergetar riuh.
Bibirku mengembang tipis, tak sampai simetris. Rasa getir dan sinis menggerogoti kesadaran. Pribadi berharap bunyi-bunyi riuh di dada tak sampai keluar.
"Penciptaan bukan sesuatu yang berlangsung 13 miliar tahun lalu. Tuhan sudah ada di alam sebelum ruang dan waktu ada. Tak bisa kau katakan "sebelum" sebab Tuhan berada di luar ruang dan waktu.”
Kau mengambil jeda, menoleh padaku dengan senyum secerah purnama. Waktu berhenti. Aku sibuk tercenung. Kini, aku tahu bagaimana perdebatan kami tak pernah berujung. Hanya berulang setiap malam. Kau tak tahu, tak memperhatikan.
Baritonmu kembali mengalun rendah serupa bisikan.
“Aku punya sesuatu yang disebut orang-orang sebagai iman---tapi, aku tak harus membuat lompatan teologi untuk mencari kebenaran."
Yogyakarta, 010117
0 notes
Text
Bertemu.
Kau berdiri di sana.
Tepat di tengah bidang hijau beratap horizon bergradasi biru. Gulungan udara menghantam sampai helai madu milikmu berkibar, semakin keemasan digempur bias-bias surya.
Aku memandangmu.
Kau mengurvakan senyum.
Masih sama. Cerlang yang disimpan di kedua netra masih mewakili isi langit. Noktah-noktah kilau tersusun jadi jaring konstelasi, masih sanggup kupandangi meski harus kuhabiskan waktu di bumi.
Pertemuan kita tak terduga. Tempat yang sama di mana kita berdua pernah merasa digdaya akan sebuah rasa, saling genggam bak pemilik dunia. Di tengah bidang hijau berisi ilalang mengangguk disapa angin, menjabarkan fragmen demi fragmen cerita kita di mana kita duduk saling sisi. Sama-sama memejam lamat menikmati bagaimana senyap mengisi sekat.
Bahagia tak pernah lesap.
Kau milikku.
Aku ingat..
Masih segar di ingatan bagaimana rangkaian abjad itu tersusun jadi silabel merdu lolos dari bibirmu. Bulan sabit terbit di wajahmu. Tanpa kau tahu, diam-diam aku berbisik tanya dalam hati, seberapa banyak kau simpan dari jutaan titik-titik refleksi langit; di matamu.
0 notes