lalangwaya

[lalangwaya]

The Red Sponge: Spongebob’s Role in Enforcing an Oppressive, Capitalistic Society

Every millennial who grew up watching “Spongebob Squarepants” has come to the same horrifying conclusion: you have turned into Squidward. No matter how buoyant, how cheerful, how optimistic you were as a child, there comes a point where you begin to identify with Squidward more than any other character in the show.

You could explain this phenomenon with the disillusionment and cynicism of growing up, or the burdens of being a teenager in a post-John Hughes society. There is, however, an even simpler answer. Spongebob is an allegory for Karl Marx’s The Communist Manifesto. The show revolves around Spongebob, the hardworking proletariat, accepting a low-level fry cook job and enduring Mr. Krabs’ exploitation with a grin on his face.

The face of compliance

It’s not hard to draw the parallels between Mr. Krabs and the bourgeoisie. He’s a cheapskate who underpays and overworks his employees for his own personal gain. Mr. Krabs famously ripped off his own arms (claws?) to retrieve a dime that fell down the drain. He took his workers on a boating trip to retrieve his millionth dollar from the jaws of a giant clam. He has zero regard for his employees’ safety and almost routinely puts them in danger for his own benefit.  Mr. Krabs’ daughter, Pearl is an extension of the bourgeoisie archetype. She’s vain, self-centered, and largely unaware of others’ misfortune. She lives in a bubble, obsessed with clothes, makeup, and celebrities — because she has the leisure for such frivolities.

Remember when Pearl gentrified The Krusty Krab

Speaking of living in a bubble, Sandy is not exempt from analysis. Sandy is quite literally shielded away from the rest of the world. She represents the intellectual elite, using her privilege and higher education to jeopardize working class jobs and further the industrial revolution. Her endeavors into space mirror the Cold War-era “Space Race,” capitalism versus communism. Her voyage ends on the moon, just like the U.S.’s did. On top of her scientific record, Sandy is independent and self-sufficient, exemplifying capitalistic ideals of individualism.

If Sandy is the intellectual elite, then Patrick Star is just the opposite. Patrick represents the bourgeois caricature of the working class that capitalists want you to buy into. He is ignorant, undereducated, and lazy. He lives under a rock, likely because he can’t afford anything else — although he doesn’t seem to mind. Patrick appears to deserve his poverty because he does nothing but sleep, yet he also seems at peace with his lot. This idea of the happy, unproductive bum simultaneously vilifies and justifies the proletariat. “See, they’re poor because they just don’t work hard enough! In fact, they like being poor!” Patrick Star is arguably one of the most offensive cartoon depictions of this generation.

Blatant vilification of blue-collar workers

Spongebob, on the other hand, represents the ideal proletariat. Spongebob is hardworking, humble, and endlessly optimistic. He’s a lot like us before we realized the inherent evils of a capitalistic society. Day in and day out, Spongebob gleefully works a minimum-wage job flipping burgers with no hope of promotion. He’s a cog in Mr. Krabs’ greasy machine, but he doesn’t even realize it. He just continues to skip to work every day, chanting “I’m ready!”. Ready for what, Spongebob? Ready for the bourgeoisie Kool-aid he’s been absorbing through his poriferous sponge body.

Spongebob is the ideal worker, and as children, we aspired to be just like him. The very first episode of Spongebob showed him getting his first job as fry cook. According to the show, the very best achievement you could receive is being gainfully employed. Not only employed, but tirelessly productive and efficient to maximize your manager’s profits. Spongebob famously served busloads of anchovies at a never-before-seen pace. It wasn’t enough that Spongebob could perform his job well; he had to go above and beyond his duty in order to seem valuable. These are the principles we instilled in the youth of today. What went wrong?

Back, finally, to Squidward. Squidward isn’t like Spongebob or Patrick. He isn’t satisfied in his low-level employment. What Squidward seeks is artistic satisfaction and world renown. He covets the success of his employer without achieving the work ethic necessary for someone of his class to ascend. Squidward has realized that the cards have been stacked against him at every turn, and resigns himself bitterly to the clutches of capitalism. If Squidward were less jaded, he could be the catalyst to prompt full-scale class warfare, perhaps ending in a communist utopia. Unfortunately, Squidward’s defeatist personality and egoism prevents him from implementing social change.

Mfw I realized I will never dismantle oppressive power structures that infiltrate our economic landscape

That is why we are all Squidward. We’ve uncovered the limits of capitalism and realized that hard work may not always pay off. We’ve begun to notice the oppressive economic and social structure that infiltrates our everyday life. We yearn for something higher, but feel that change is out of our reach. We become bitter, combative, self-deprecative, and cynical. There’s a reason Squidward is the unhappiest character on “Spongebob.” Not only for faults of his own, but for his own rotten luck. The show subliminally punishes Squidward for his views, hoping to prod viewers back towards Spongebob’s blithe, unfounded optimism.

Their efforts were to no avail. Millions of millennials are finding themselves disillusioned, realizing all along that Squidward was the reasonable one. He had a right to protest Mr. Krabs’ vile working conditions, and his sarcasm was merely a coping mechanism for the injustices placed against him. Squidward is the dissatisfied proletariat, and we identify with him more than ever. The difference is, we have the energy and collective power to succeed where he could not. Together, we can rise up and defeat the bourgeoisie, establishing an egalitarian society that does not prey on the lower classes. In the words of Spongebob, “I’m ready.” Are you?

[lalangwaya]

Salah satu resolusi yang tercapai di tahun 2015 ini adalah melepas status lajang ☺️ P.S terima kasih buat desainer muda Indonesia, Khanaan Shamlan, yang telah mendesign baju pernikahan kami :)

[lalangwaya]

Jadilah seperti sang surya, datang ia indah pergi pun tak kalah indah #matahari #sunset #bali #beach #tanahlot #pura

[lalangwaya]

The Beauty of Macau ☺️ | #Macau #china #casino #judi #macautower #gamble

[lalangwaya]

#greatwall #tembokbesar #china #tiongkok (di Great Wall of China)

[lalangwaya]

(de)Konstruksi Kecantikan Muslimah

“Bila kecantikan menjadi mantera abadi, dengan mitos-mitos yang hampa dan tak relevan bagi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini”[1]

Terkadang bahkan sering laki-laki muslim berkumpul memperbincangkan mengenai wanita-wanita muslimah yang kelak akan menjadi  isteri mereka. Ada yang berseloroh,”nanti kalau akan menikah saya akan mencari akhwaat yang cantik”, dan disambut dengan jawaban dari temannya,”cantikkan relatif akhi, kalau jelek mutlak”. Perbincangan-perbincangan seperti itu sering saya temukan saat-saat bersama para teman-teman sebaya. Benarkah ada wanita cantik? Benarkah ada wanita jelek? Jika jawabannya ia, bukankah Tuhan menyukai keindahan? Tampaknya tidak mungkin zat yang menyukai keindahan menciptakan sesuatu yang tidak indah (jelek), benar demikian?.

Dengan memperhatikan beberapa ayat dalam Al-qur’an akan kita ketahui jawaban-jawaban atas pertanyaan di atas, salah satunya adalah,

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ

“Dialah yang membaguskan segala sesuatu yang Dia ciptakan.” (QS. As-Sajdah [32]: 7)

Ayat di atas semakin diperkuat dengan sebuah hadist yang bunyinya,

كُلُّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ

“Segala ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla itu indah.”[2]

Dari kedua ayat ini kita ketahui bahwa cantik dan jelek merupakan produk diversifikasi yang dikonstruksian oleh sebagian manusia dan bukanlah sebuah hasil kodrati yang telah ditetapkan oleh yang maha kuasa sehingga tidak bisa kita dekonstruksi. Manusia-manusia sebelum kitalah yang menetapkan standar cantik atau tidak itu dan celakanya sebagaian besar dari kita memakai standar itu dan hampir tidak pernah melakukan revisi sosial terhadapnya.

Kecantikan dalam beberapa kisah kuno seperti kecantikan Zulaikha, Cleo Patra, Ratu Helena (dalam film troy disebut sebagai le femme fatale” atau si cantik yang mematikan ..^^) standar kecantikannya adalah sama seperti yang digunakan dalam beberapa penilaian kontes kecantikan dewasa ini. Oleh karena itu maka tidak mengherankan jika banyak aktivis feminis berusaha melakukan koreksi terhadap konsep kacantikan itu sendiri, seperti membantah bahwa yang putih lebih cantik ketimbang yang hitam dsbg.

Al-qur’an sendiri secara explisit telah memberikan alternative definition mengenai kecantikan. Hal ini bisa kita baca pada kisah ratu balqis dan Nabi Sulaiman dalam surat an-nahl beserta tafsirnya. Digambarkan bagaimana kecantikan seorang ratu bilqis dinilai atas Political power nya dalam memimpin negeri bukan karena putihnya kulitnya apatah lagi karena lurusnya rambut. Dengan demikian nyatalah bahwa Islam telah memberikan sebuah mental window bagi manusia untuk menghargai kecantikan dari yang tak terlihat—methaphisic of presence (meminjam istilahnya Derrida^^).

Agama sebagai Pembenaran

Meski Islam secara substansial telah memberikan konsepsi keindahan (baca:cantik) yang berbeda dengan konstruksi kecantikan pada umumnya, namun karena para pentafsir Islam yang hampir seluruhnya adalah laki-laki yang memberikan pentafsiran yang sangat bersifat patriarki. Kuasa lelaki menjadi legitimasi ideologis untuk kehadiran cantik sebagai perilaku dan penampakan.[3] Benang kusut ini Semakin diperparah karena kaum perempuan sendiri menikmatinya dengan mengacu pada argumentasi yang sangat normatif sekali.[4]

Sebagian besar para laki-laki muslim sering mencari-cari dalil agama sebagai pembenaran atas keinginan nafsu mereka dalam mencari pasangan hidup. Biasanya hadist andalannya adalah hadist tentang kesempurnaan empat elemen (seperti avatar aja^^),

تُنْكَحُ المَرْأةُ لأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وجَمَالِهَا ولِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاتِ الدين تَرِبَتْ يَدَاك

“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena martabatnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau mendapat wanita yang baik agamanya agar engkau beruntung dan tidak merugi.” [Riwayat al-Bukhāri.]

Padahal Imam Nawawy mengatakan bahwa hadist ini hanyalah menunjukan realitas yang terjadi di masyarakat pada waktu itu (celakanya berlangsung hingga hari ini) dan kriteria yang di anjurkan dalam agama adalah memilih berdasarkan agamanya[5] (bandingkan dengan konsepsi kecantikan kalangan pos-mo?). Menurut Imam al-Munawi, para salaffushalih tidak menyukai wanita cantik[6] (cantik disini mengacu pada konsepsi kecantikan saat ini yaitu putih, mulus, rambut hitam lurus, suara lembut dll).

Selain itu juga ada beberaa hadits mengenai anjuran memilih berdasarkan kecantikan ternyata setelah saya telusuri bukanlah hadist shohih baik itu hasan, ahad apa lagi mutawatir. Seperti hadist berikut ini,

إِنَّمَا النِّسَاءُ لُعَبٌ فَإِذَا اتَّخَذَ أَحَدُكُمْ لُعْبَةً فَلْيَسْتَحْسِنْهَا

“Para wanita itu ibarat mainan, maka jika salah seorang dari kalian hendak mengambil sebuah mainan maka hendaknya ia memilih mainan yang baik (yang cantik).”[7]

Hadits ini saya temukan dalam kitab kumpulan hadist-hadist doifh nya Syaikh al-AlBani dan ia mengatakan bahwa hadist ini tidak valid sama sekali.[8] Apakah hal seperti ini hanya terjadi dalam dunia islam saja? Tentu saja tidak. Di barat pun banyak kritik yang dikeluarkan oleh para pemikir di sana. Salah satunya adalah Naomi Wolf (2004) yang mengungkapkan bahwa, “Kecantikan di Barat pada abad modern ini menjadi ’agama’ terakhir dan terbaik untuk mengesahkan dominasi lelaki.” Ini menunjukan bagaimana konsepsi kecantikan saat ini sungguh merupakan suatu yang absurd dan sudah tidak bisa dilepaskan dari komoditas perindustrian.

Akhirnya saya tutup tulisan ini dengan sebuah pernyataan “kecantikan itu bukanlah di gambarkan oleh putih dan halusnya kulit, hitam dan lurusnya rambut, mungil dan lentiknya mata, tapi kecantikan itu muncul atas baiknya akhlak dan kepercayaan diri bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai derajat yang sama dengan laki-laki yang membedakannya hanyalah ketakwaannya saja”. 

[1] . Kathy Davis, “My Body is My Art: Cosmetic Surgery as Feminist Utopia”, The European Journal of Women’s Studies No 4: pp 23-37 (1997)

[2] . Riwayat Ahmad dan ath-Thabrāni, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni

[3] . Bandung Mawardi, “Cantik, Mitos Pembebasan?”, Suara Merdeka, 14 April 2010, 53.

[4] . Ibid

[5] . Lihat al-Minhāj Syarh Shahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, vol. X, hal. 51-52.Selain itu juga pendapat seperti ini juga di ungkapkan secara tersirat  oleh Imam asy-Syaukani dalam an-Nail vol. IX, hal. 234.

[6] . Faidhu’l Qadīr vol. III, hal. 271.

[7] . jalur hadits ini adalah dari Abū Bakr Ibn Muhammad Ibn `Amr Ibn Hazm dari Rasulullah. Saya membaca hadist ini dari sebuah buku tentang pernikahan kalau saya tidak salah ingat pada Bab “Nazhar”, namun setelah saya cari tahu lebih mendalam hadist ini ada di kitab al-mughni nya ibnu qudamah—yang pernah baca KCB pasti tahu kitab ini—(lihat al-Mughnī vol. VII, hal. 82.)

[8] . Syaikh al-Albānidalam adh-Dha’īfah no. 462.

<photo id="1" />

[lalangwaya]

One of my fav #food #getuklindri #khasindonesia, dikasih sepiring pasti habis 😀 (di NOVOTEL Hotels Tangerang City Mall)

[lalangwaya]

Before journey to west #budha #temple #shaolin #wisata

[lalangwaya]

Maybe I’m not that important enough for your schedule, and maybe I shouldn’t consider you important either

(coretan keluh tertanggal 17 November 2012, pulang ke Lampung yang sia-sia)

“Maybe I’m not that important enough for your schedule, and maybe I shouldn’t consider you important either” (coretan keluh tertanggal 17 November 2012, pulang ke Lampung yang sia-sia)

[lalangwaya]

Habis 3 jam itung2 olahraga, nyuci-vacum-waxing-potocop *lap keringet* :ngakak

[lalangwaya]

suka dengan apartemen nya Leonard dan Sheldon, pas banget buat pasangan muda :)))

big bang theory apartments

[lalangwaya]

RIP Mario Bross si tukang pipa ledeng, penginspirasi slah satu game yang menyenangkan masa anak-anak generasi 90-an :(

[lalangwaya]

Madridista Forever

Mungkin banyak teman2 madridista di sini yang belum pernah sekalipun nonton Real Madrid main di Final Liga Champion, mengingat terakhir madrid main di final tahun 2002. Gw wktu itu masih kelas 6 SD. Di tahun ini juga untuk pertama kalinya gw nonton Liga Champion (pertandingan liverpool melawan siapa gitu, udah lupa, bikin gw ngefans juga ama liverpool, love at first sight :p), maklum sebelum dikhitan gw gak kuat begadang :D.

Pas minggu final bela2in ke Pasar Kota Agung cuma buat beli tabloid bola yg khusus membahas final champion (ada gambar Michael Ballack), Real Madrid vs Bayer Leverkusen di skotlandia. Setelah baca tabloid bola akhirnya memutuskan jadi fans Real Madrid. jam 1.30 pagi gw dibangunin bapak. Pertandingan cukup seru smpe akhirnya zidane bikin gol kemenangan. Besoknya beli kaos madrid murahan di pasar pangkul, harga 5 ribu, di kasih nama Raul pake spidol. Setelah 12 tahun jadi madridista, diejek2 sbgai tim kaya-bertabur bintang-yang gak pernah juara. Dan akhirnya bisa lagi nonton madrid main di final, tetap satu kata, Hala Madrid Vamos El Real, Siempre Madridsita Hasta La Muerte :D

[lalangwaya]

:))))))

[lalangwaya]

This mom realized that there were no Barbies that looked like her daughter - so she made some. Awe......some!!!!!!! karena setiap insan itu punya kecantikannya masing-masing :)

[lalangwaya]

Surat Buat Kartini

Dear….

Depok, 25 november 2010

Tabik Bunda Kartini,

Satu minggu terakhir ini hampir seluruh waktu setiap sholat shubuh saya habiskan untuk membaca sebuah buku lama, yang berjudul “Kartini: kumpulan surat-surat untuk nyonya abendanon”. Iya, betul sekai, judul buku itu adalah nama mu karena isinya adalah kumpula surat-surat mu yang diterbitkan oleh sahabat pena mu, ”nyonya abendanon”. Sekiranya engkau belum berterima kasih padanya, maka secepatnya berterima kasihlah padanya, temui ia sekarang juga. Jika bukan karena dirinya tentu gagasan dan cita-cita mu itu hanya menjadi tinta hitam yang usang ditelan masa yang tak pernah punya belas kasihan. Dan juga sampaikan salam hangat ku untuknya, doakan agar kelak ada juga seorang di sekitar ku yang bijak seperti dirinya.  

Sebelum kita beranjak lebih jauh, izinkanlah saya mengenalkan diri ini, agar surat ini menjadi jelas siapa tuannya. Nama saya Zufrial, saya mahasiswa mata kuliah Perempuan dan politik di departemen ilmu politik. kaget!! Saya yakin bunda pasti kaget mengetahui bahwa ada mata kuliah perempuan dan politik. Dan saran saya, bunda tak perlu kaget, karena semua ini adalah berkat jerih payah perjuangan bunda semasa hidup. Bunda seharusnya berbangga hati karena generasi jauh setelah bunda bisa mewujudkan cita-cita besar bunda meskipun belum tercapai seratus persen.

 Kumpulan surat-surat mu telah saya baca, saya begitu terkagum-kagum membacanya. Tiada pernah sebelumnya terlintas dalam pikiran  saya—yang kebetulan terlahir sebagai laki-laki ini— ada visualisasi seorang “perempuan” yang mempunyai konstruksi pemikiran sehebat pemikiran mu. Pikiran mu jauh melampaui zaman mu. Seakan-akan engkau adalah cyborg yang dikirim dari masa depan.

Walau bagaimana pun juga saya adalah seorang laki-laki yang tumbuh besar di lingkungan keluarga yang masih menerapkan budaya patriarki. Dalam pandangan saya (yang tentu saja secara sadar saya sendiri tidak pernah mengharapkannya) seorang perempuan adalah makhluk komplementer atas kehadiran seorang laki-laki di dunia ini tidak lebih bahkan mungkin saja kurang. Namun, surat-surat mu memberikan perasaan baru di hati ini. Yang jelas perasaan ini membuat saya gelisah dan bersalah. Saya gelisah karena jangan-jangan saya pernah berlaku bias gender. Dan saya merasa bersalah karena saya adalah anak turunan kaum yang telah menyengsarakan kaum mu selama berabad-abad lamanya bahkan tak dapat dipungkiri sampai saat ini.

Baiklah bunda, mari kita mulai diskusi kita, anggaplah saat ini kita sedang duduk di bangku taman dekat pendopo keraton jepara, kita bicara santai saja sambil menikmati secangkir Adon-adon Coro dan Horok-horok. Namun, perlu bunda ingat, saya orang nya paling tidak suka “apologia”, apologia lah yang menyebabkan bangsa kita tidak pernah dewasa, setiap ada kekeliruan yang dikedepankan bukan pengakuan atas kesalahan tapi apologia, apologia yang telah menina bobo kan bangsa kita dalam masa yang lama. Jika tidak dimulai perubahan ini, lantas kapan bunda?

    Merubah tidak mesti Terkucilkan

Dalam salah satu surat bunda kepada nyonya Abendanon, kalau saya tidak keliru (semoga saja tidak) tertanggal 4 september 1901. Bunda memaparkan ide-ide “gila” bunda yang menentang  pandangan bahwa seorang perempuan harus kawin secara “radikal”. Saya sepakat, bahwa tidak seharusnya ada pemaksaan seperti itu, ada bentuk yang salah memang dalam masyarakat kita yang menanggap sebuah aib jika perempuan tidak kawin ketika umurnya telah sampai, sedangkan lain halnya jika laki-laki yang tidak kawin, masyarakat akan bilang, pasti laki-laki itu seorang yang perfeksionis dan mengutamakan karir dan bisnis nya. Coba kita bandingkan hal ini? konyol bukan? Di zaman ku saat ini yang katanya telah mengalami moderenisasi budaya dan pemikiran, hal-hal semacam ini masih juga berkeliaran dalam tempurung kepala masyarakat. Entahlah, meskipun sudah banyak kaum ku (kaum pria) yang belajar tinggi-tinggi namun tetap saja mereka tidak bisa berlaku adil dalam menempatkan status gender seseorang. Apakah sistem pendidikan mereka salah? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Sejauh ini kita berada dalam kubu yang sama bunda.

Namun bunda, mengubah paradigma ini secara radikal adalah kekeliruan, paradigma yang sudah tertanam tanpa sadar dalam masyarakat kita adalah ibarat “per” semakin kuat engkau memukulnya maka semakin besar pula reaksinya teradap mu, namun ‘per’ akan dapat dikendalikan jika kita mampu menguasai ritme pegas ‘per’ itu.  Bukankah bunda sendiri mengutip perkataan nyonya Baron, “memamerkan intelektual mu pada kaum perempuan lain akan menghilangkan simpati masyarakat baik pria atau pun wanita, sedangkan simpati ini jauh lebih berarti dari pada yang lain itu”. Merubah paradigma yang keliru adalah kewajiban, namun kewajiban menjadi tak bermakna jika membuat kita terkucilkan.

Generasi perempuan yang lahir setelah bunda telah menyadari kekeliruan bunda ini. dan hasilnya? FANTASTIS bunda. Terobosan-terobosan yang dilakukan secara bijak dan perlahan telah merubah paradigm lama yang patriarkis. Bunda ingin bukti? Surat ini adalah salah satu buktinya. Sekiranya bukan karena penetrasi yang dilakukan oleh beberapa kalangan perempuan dalam sistem pemerintah dan pendidikan tentulah saya tidak akan pernah bisa belajar “perempuan, politik dan negara”. sekarang bunda percaya kan? Kalau pun tidak, itu bukan masalah, perbedaan itu indah, sepakat bunda?

Perjuangan ini bukan hanya milik perempuan

Bunda yang saya kagumi,

Satu hal yang sangat menarik saat saya membaca surat-surat bunda adalah penggambaran (bahkan tidak jarang bunda memuji mereka) mengenai beberapa orang laki-laki yang pernah hidup di zaman bunda, dan mereka adalah orang-orang yang mempubunda simpati atas cita-cita bunda, sebut saja Tuan Abendanon misalnya.

Saya mempunyai pikiran yang kurang lebih sama dengan bunda, dalam hemat saya, perjuangan melawan patriarki ini haruslah melibatkan laki-laki juga, karena bagaimana pun laki-laki adalah orang yang tahu bagaimana bentuk dan isi patriarki itu sendiri. Karena leluhur kamilah yang menciptakannya dan sedihnya leluhur bunda yang menjadi korbannya. Jadi, setidaknya kami faham kelebihan dan kekurangan budaya ini. kami pun tahu bagaimana meruntuhkan dan mempertahankannya. Sebesar apapun emansipasi perempuan tapi jika tidak didukung perubahan cara berpikir laki-laki maka hasilnya tidak akan memuaskan.

Salah satu contoh perjuangan yang tidak melibatkan laki-laki, di zaman saya adalah lahirnya institusi yang bernama “Darma wanita dan Gerakan Ibu-ibu PKK”. Gerakan ini saya tidak tahu apa fungsi dan manfaatnya dalam perjuangan kaum perempuan. Ketika saya duduk di bangku SMP, saya sering ikut kegiatan ibu-ibu darma wanita di kota saya sebagai perwakilan dari pelajar. Dan hampir setiap kegiatan itu tak satu pun yang saya anggap pro-terhadap perjuangan melawan budaya patriarki. Bahkan malah semakin mengokohkan status quo patriarki itu sendiri. Ibu-ibu PKK mengidentikan diri mereka dengan kebaya dan sanggul. Bagaimana reaksi kaum saya bunda? Mereka tertawa melihat hal ini. Bahkan bunda, pada tanggal 21 April saat kami memperingati hari kartini, mereka malah sibuk melakukan kontes bersanggul dan kebaya. Menggelikan, mereka tidak ubahnya muslim yang meniru cara berpakaian nabi tapi melupakan akhlaknya.

Cukup sekian dulu bunda, semoga ini bukan akhir “persahabatan” kita, balasan dari mu sangat ku nanti, tapi sekiranya surat ini mengganggu istirahat mu, maka cukuplah untuk menjadi ‘bunga’ istirahat panjang mu….Tabik….

  P.S ini oleh-oleh untuk bunda

[lalangwaya]