mempertemukan
mempertemukan
mempertemukan
9 posts
a collaboration of words, poems, thoughts and feelings. perpetuate memories.
Don't wanna be here? Send us removal request.
mempertemukan · 9 years ago
Audio
“Hujan,” katamu. Itu aku yang mencoba menabrak kaca jendelamu. Menari berputar bersama angin yang ingin, menyampaikan sebuah pesan yang semoga tak akan terlambat datang. “Tersenyumlah. Berbahagialah.”
- Di Pelataran Tempo Hari, Februari 2014
Jarak adalah sengketa yang kita sengaja, maka darinya kau dan aku akan terus belajar untuk menghargai singkatnya pertemuan. Jarak adalah bukti eksistensi rindu, yang tidak seharusnya kita lawan dengan paksa. Mengalah kepada jarak, maka jarak akan mencukupkan kerinduan yang bergejolak di dada.
Percayalah, kelak akan ada pelukan-pelukan yang dipertemukan, juga tatap mata yang keduanya saling menjabat erat. Lihatlah, langit memang mengguguran hujan yang tak selalu bersamaan untuk kita. Supaya kita ingat untak saling bertukar kabar, supaya kita ingat jika rindu itu ada untuk kita rawat. Abu-abu di langit kotamu, tak selalu menjadi hujan di kotaku.
Pada akhirnya, jarak tidak akan pernah menjadi pemenang, sebab mencintaimu bukan perlombaan. Sebab dari mencintaimu, aku belajar mencintai rindu.
Maret, 2016
@narasibulanmerah & @rintikkecil
71 notes · View notes
mempertemukan · 9 years ago
Audio
Sore tadi sudah mendengar sneak peek dari dramatisasi cerpen “Sikat Gigi” karya Dewi Lestari yang dipost di akun tumblr @rintikkecil kan? Nah sesuai yang dijanjikan. Kami @mempertemukan akan membagikan versi lengkapnya, yang sudah bisa didengarkan di SoundCloud. Selamat Mendengarkan! :) Bagi yang punya instagram bisa juga berkunjung ke akun instagram @mempertemukan dan memberikan likes pada postingan terakhir. Hatur Nuhun! :)
Jangan lupa “Gosok Gigi” sebelum tidur. Jangan lupa juga mendengarkan dramatisasi cerpen “Sikat Gigi” sebelum tidur. Semoga tidur kalian nyenyak dan dipeluk mimpi-mimpi indah! ^^
Salam hangat,
@narasibulanmerah & @rintikkecil
25 notes · View notes
mempertemukan · 9 years ago
Text
Epitaf
Ada yang berhamburan di antara puisi, di antara sepi yang kerap mencacah, di antara kalimat-kalimat gelisah yang tak pernah menjadi kisah. Lalu mimpi dan kabut saling menyahut dalam rayu redup rindu surut.
“Di sudut sini tak ada kau, yang kutemukan hanya ribuan epitaf kosong, yang tak satu pun mengukir namamu.”
Aku datang, tetapi kau malah berlayar dalam kepiluan yang derasnya lebih gaduh dari hujan. Rupanya, angkuhmu mahir menyisir alasan yang semestinya disisihkan. Seperti beberapa ucapan yang mudah berubah, sebab galah lebih dahulu ragu untuk kau-aku gunakan melaju.
“Aku tak ragu, namun menunggu. Bisa kau pahami itu? Tampaknya angin perlu sedikit dijahit, agar menawan seperti jaring nelayan. Tetapi kau malah menghindar, lebih senang mengisahkan aroma kekosongan yang rajin berlarian. Rupanya, ada yang hilang dari waktu; kau dan pelukan itu.”
Barangkali nanti, laju perahu akan berhenti, pada dermaga yang sedang berjuang melawan dahaga. Salah satu dari kita mungkin akan tertambat, salah satu dari kita mungkin hanya mengingat-ingat. Kau akan belajar melupakan atau mungkin aku yang akan dihajar penyesalan.
“Mungkin rindu terlalu payah, mungkin luka sebaiknya kubiarkan nganga. Kisah kita hanyalah musim yang berguguran di antara tahun, dimana waktu akan kering, namun ingatan tetap basah; kau-aku serupa gerimis, yang saling mengais sisa-sisa tangis.”
Solo - Bojonegoro, November 2015
@narasibulanmerah & @rintikkecil​
27 notes · View notes
mempertemukan · 10 years ago
Audio
Hujan di Atas Ciuman - A Tribute To Lan Fang
Lan Fang adalah salah satu penulis perempuan hebat Indonesia yang kami kagumi. Kami mengenal Lan Fang dari tulisan-tulisan dalam buku-bukunya yang kami baca seperti Reinkarnasi, Yang Liu, Laki-laki yang Salah, Lelakon, Kembang Gunung Purei, Imlek Tanpa Gus Dur, Ciuman di Bawah Hujan, Ghirah Gatha dan Sonata Musim Kelima. Kami mencintai Lan Fang seperti mencintai sastra. Perempuan hebat tersebut banyak memberikan inspirasi sekaligus menularkan semangat menulis kepada kami. 
Lan Fang lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 5 Maret 1970. Lan Fang mengidap kanker dan meninggal pada usia 41 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Desember 2011 di Singapura. Lan Fang, ibu dari si kembar tiga (Vajra Yeshie Kusala, Vajra Virya Kusala, Vajra Vidya Kusala) ini dikenal sebagai penulis perempuan yang memiliki semangat pluralisme yang tinggi. Lan Fang, perempuan keturunan Tionghoa ini selalu membagikan ilmunya kepada siapa saja tanpa pernah membedakan ras dan agama, ia bahkan kerap memberikan pelatihan menulis di pesantren.
Semangat menulis dan karya-karya yang ditinggalkan Lan Fang akan selalu hidup di hati kami. Pada 25 Desember 2015 ini, @mempertemukan sangat bersyukur karena dapat diberi kesempatan mempersembahkan "Tribute to Lan Fang" dalam bentuk pembacaan dan dramatisasi salah satu cerpen karya Lan Fang dari buku Sonata Musim Kelima, berjudul "Hujan di Atas Ciuman."
Proses pengerjaannya cukup rumit; menggabungkan beberapa suara, menambahkan sound effect ini itu untuk menciptakan atmosfer dalam cerpen tersebut. Kami menggunakan program open source audacity dalam pengerjaannya, selama kurang lebih dua minggu, dengan beberapa kali revisi pada beberapa bagian. 
Kami menyadari, audio project ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami masih akan terus belajar untuk lebih baik. Dan tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada @pemudabiasa dan David DiMuzio yang sudah membantu dan menyempurnakan audio project ini.
Selamat mendengarkan dan selamat menikmati libur panjang! :)
Salam hangat,
@narasibulanmerah & @rintikkecil
35 notes · View notes
mempertemukan · 10 years ago
Text
Sajak Melankolia
/1/
Malam itu ingin kuhentikan waktu: Aku tak akan menahan jatuh gerimis, kau tahu aku tak mampu. Kubiarkan hujan membasahi melankolia bisu di akhir musim penantian - yang memenjarakan pertemuan, membelokkan sunyi; pada pagutan rindu, juga debar dada - menuju dunia tanpa bahasa; pelukan kita, di sela-sela resah yang menari bersama waktu.
/2/
Malam itu gerimis pecah dari sepuisi rindu yang memar. Lengkingmu, gemetar yang beku. Risaumu, musim yang tak denyar. Lengang yang terlalu jauh untuk direngkuh; ruang paling terang. Pandanganku begitu luput. Wajahmu begitu kabut. Seperti itulah aku kalut, dalam bejana yang menghimpun rahasia; tentang kita dan cinta. Sepiku bertaut haru, terpelanting di hadapan waktu. Mungkin pertemuan; hanyalah pedih yang kita didih.
/3/
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, bisik suaramu bertamu di telingaku. Sambil tergelak, mataku merampas wajah itu. Isak dan teriak, fasih memukul dinding kamar, menyelusup ke pori-pori udara; menciptakan kamu. Mataku, menyisakan bayanganmu. Ia tak lagi ada di kepala, tubuhmu terhempas di depanku; memelukku, namun tertahan di bingkai kaca; menghabisi waras yang kusisakan sedikit di awal sajak ini. Di luar jendela kamar, kulihat seeokor burung hantu berbicara kepada ranting pohon jambu.
/4/
Ada yang telah dicuri bulan, ranting-ranting kenangan dalam bingkaimu, pilu yang berulangkali memanggil aku. Di sebelah redup yang menyapukan harum rindu. "Apakah ada yang lebih nanar dari mata yang terus bermimpi?" Aku ingin sekujur terang datang sebelum pagi. Sebab angan bertambah bebal, menghimpun rasa yang kian nganga mengurai lara kita; yang terserak, yang berjarak. Sementara di ambang sajakmu, aku berdiri. Mengamati larik-larik sapa yang menyulurkan cahaya. Aku ada, akan dan selalu semi di antara kata. "Bisa kau rasa?"
narasibulanmerah & rintikkecil
Mei – Juli, 2015
71 notes · View notes
mempertemukan · 10 years ago
Audio
pembacaan puisi “Baca Aku”
kolaborasi narasibulanmerah & rintikkecil
8 notes · View notes
mempertemukan · 10 years ago
Photo
Tumblr media
Malam itu, lewat pukul sembilan. Jalanan ini masih riuh oleh ingatan musim-musim penantian yang dingin. Dari kejauhan, sayup-sayup kudengar sepasang langkah kaki bersahutan mesra. Mereka menyapaku lagi, mereka masih mengenaliku. Kuizinkan sajak ini merapal gelisah rinduku; yang bersemayam pada rona malu-malu di wajah cantikmu, juga teriakan yang meronta dari degup jantung lelaki di sebelahmu. Jangan pernah menyerah kepada jarak, sebab aku akan mempertemukan lagi pelukan-pelukan kalian di sini; titik nol Jogjakarta. - narasibulanmerah (Akhir Maret, 2015)
8 notes · View notes
mempertemukan · 10 years ago
Photo
Tumblr media
Kaki ini pernah berkali-kali jatuh, pernah menyulam luka, pernah memetakan jejak-jejak yang mengaspal kusam, yang menyisakan serpih yang perih. Tetapi langkah tak harus berhenti, hanya karena dikerubungi sepi. Tersebab sepi hanyalah ilusi. Semenjak bersamamu, aku ingin terus kembali, memanen mimpi-mimpi yang pernah kutanam rapi di hari paling puisi. Maret 2015, @rintikkecil
14 notes · View notes
mempertemukan · 10 years ago
Text
Baca Aku
: waktu
/1/ Ingin kurengkuh jarak ke memoar paling sarau Ke rerumpun lara yang tak mampu di tawan mata Ke rerimbun tanya yang seringai di antara derai Lalu di antara rindu kita yang gamang, “Maukah kau memaafkan jarak yang tak mampu kulipat?”
/2/ Aku ingin berlayar di langit ingatan Menata kembali rasi-rasi bintang yang berserakan Yang lama redup di antara kabut tebal di antara puisi yang mengering sebelum senja, Ada awan hitam yang menyembunyikan namamu di belantara hujan.
/3/ “Seperti apakah rasanya menari dalam hujan dan dingin malam?” Tetiba, kurasakan gigil hujan itu merayapi wajah musim. Ah, aku jadi ingin menjadi seperti rumput-rumput teki yang kilau karena rinai Atau seperti sekumpulan perdu yang merdu menjenguk rindu Menyapa resah yang kian lekat di tubuh waktu, yang menyelimuti ayalmu.
/4/ Ingin kukirimkan harum-harum hujan itu ke kotamu Agar tak ada lagi rahasia yang meruang di jendela Agar tak ada lagi yang mengembun di pelupuk mata Maka, biarlah! Labuhlah bertumpuk-tumpuk resah, pada penantian paling tabah.
narasibulanmerah & rintikkecil - Maret, 2015
13 notes · View notes