prosakata
prosakata
Ketika Manusia Gagal Berbahasa
75 posts
Selain Pekerjaan
Don't wanna be here? Send us removal request.
prosakata · 7 years ago
Text
Mengapa Saya Belajar Programming
Baru delapan bulan saya belajar programming. Saya merasa seharusnya kemampuan saya bertambah setiap hari. Memang bertambah tapi saya masih berkutat pada hal-hal yang itu-itu saja. Sulit ternyata mempelajari hal baru di usia jelang 30 tahun. Saya mulai belajar programming di usia 27 tahun tapi saya menikmatinya. Saya selalu merasa melakukan atau menciptakan sesuatu yang baru setiap kali saya menulis kode program.
Berasal keinginan untuk membuka usaha sendiri. Saya berpikir usaha rintisan dibidang media dan teknologi menjadi pilihan yang cocok untuk saya saat ini. Entah mungkin model bisnis ini akan segera sirna tapi jika saya memiliki kemampuan selain yang saya miliki saat ini saya merasa memiliki kualitas yang lebih baik lagi. Saya merasa terus melaju, saya belajar sesuatu.
Beberapa minggu terakhir saya berusaha kembali menerka mengapa saya belajar programing. Apakah benar untuk membuka bisnis atau menantang diri saya sendiri atau untuk menyuapi ego besar saya. Alasan utama saya memilih programming karena saya tidak pernah keberatan untuk berada di depan komputer berjam-jam.  
Dengan programming saya tidak hanya mengonsumsi tapi saya bisa memproduksi sesuatu di depan komputer. Seharusnya saya sudah menyerah dan merasa bidang ini memang tidak cocok buat saya. Tapi banyak hal yang terus membuat saya belajar programming.
Pertama saya selalu belajar hal baru di programming. Di teknologi Anda harus selalu belajar karena selalu ada yang harus dipelajari. Dengan tahu selalu ada yang bisa pelajari maka persentase kebosanan akan semakin sedikit.
Kedua, komunitasnya luar biasa bersemangat. Semua orang, baik muda, tua, laki-laki, atau perempuan bersemangat untuk terus belajar. Semua orang tahu bidang ini bukan bidang yang mudah tapi semua orang percaya suatu saat nanti mereka akan menguasainya. Dan mereka juga tahu mereka tidak akan pernah benar-benar menjadi ahli di bidang ini. Karena selalu ada sesuatu yang baru di teknologi maka akan selalu ada hal baru yang harus dipelajari.
Alasan yang ketiga, dengan belajar programming saya merasa selalu produktif. Anda akan selalu merasa produktif setiap kali mempelajari sesuatu. Indikator produktivitas sangat jelas dalam proses pembelajaran. Anda akan menghitung apa saja yang sudah Anda pelajari, sejauh mana Anda memahaminya dan seperti apa implementasi pelajaran yang sudah Anda dapatkan.
Keempat, programming menstrukturkan pikiran saya. Seperti puzzle atau catur yang perlu di susun. Sebagai seorang penulis saya harus bisa menyusun ide-ide di kepala saya dengan baik dan benar agar orang lain dapat memahami apa yang saya maksudkan dengan mudah.  Bahasa komputer sangat lugas. Mereka tidak mengunakan metafora, sinonim atau analogi. Anda tidak bisa memberi perintah kepada komputer lewat perumpamaan.
Selama kuliah saya sangat menyukai bahasa yang abstrak, sampai sekarang pun saya lebih menyukai bahasa abstrak untuk menjelaskan ide-ide saya dalam tulisan. Bahasa yang membuat orang merasa cerdas jika memahaminya. Programming merunutkan logika saya. Dengan mempelajari programming saya juga belajar bagaimana menulis dengan bahasa yang sederhana dan lebih mudah dimengerti orang lain.
Alasan terakhir tentu saja perkembangan zaman. Dengan latarbelakang ilmu sosial dan humanitaria dan pengalaman di bidang media saya merasa ada banyak hal yang bisa saya lakukan. Sebelum mengenal programming saya merasa memiliki batasan untuk melakukan sesuatu pada zaman informatika ini.
Namun saya juga tidak mau bergantung pada orang lain. Jika saya bisa melakukannya sendiri untuk apa bergantung pada orang lain. Dan ternyata programming bisa saya pelajari. Bukan sesuatu yang mustahil untuk saya lakukan. Dengan mempelajari programming saya merasa saya menembus sesuatu yang menurut saya sebelumnya sebagai sebuah batasan.
Sejauh ini saya baru mempelajar hal-hal sederhan seperti HTML dan CSS. Saya juga mempelajari kerangka kerja CSS Bootstrap baik tiga maupun empat. Saya baru mempelajari bahasa pemograman pengembangan web PHP dan sedikit Javascript.  Delapan bulan mempelajari programming seharusnya kemampuan saya lebih handal lagi. Tapi saya tidak mau terburu-buru.
Saya harus bisa menikmati setiap detiknya agar proses pembelajaran ini tidak menjadi beban bagi saya. Dan ternyata kita tidak perlu memiliki tujuan tertentu untuk mempelajari sesuatu. Setiap kali kita belajar selalu ada potensi yang terbuka dalam diri kita. Anda bisa mempelajari apa pun yang Anda diinginkan berapa pun umur Anda terutama di era internet saat ini.
Begitu banyak hal yang bisa Anda pelajari lewat internet. Tidak hanya teknologi, tapi juga politik, sejarah, ekonomi, fisika, matematika, bahasa, atau hal-hal yang lebih spesifik seperti pemasaran, stasistik, teknologi kecerdasan buatan, menjahit, memasak atau apa pun yang Anda inginkan. Anda bisa mempelajarinya dengan gratis asalkan memiliki perangkat teknologi dan koneksi internet.
Anda bisa memilah, menseleksi dan memutuskan konten apa yang ingin Anda serap di internet. Intinya Anda bisa belajar dan menyerap berbagai hal positif di internet. Dan berhenti membuang tenaga, waktu, dan pikiran untuk mengkonsumsi atau mendistribukan hal-hal yang tak berguna atau berita bohong.  
Pada akhirnya saya menemukan alasan terpenting mengapa saya belajar programming. Saya belajar programming karena hal ini adalah sesuatu yang positif yang bisa saya lakukan.
0 notes
prosakata · 7 years ago
Text
.Aduh
Kemarin berangkat-pulang hujan-hujanan. Selalu basah mau berangkat atau pulang. Sekarang panas banget. Kenapa gak kemarin aja panasnya. Giliran di rumah malah gak hujan. Alam memang seringkali tidak bersahabat.
0 notes
prosakata · 8 years ago
Text
Table 19
I don’t want to disapointed by anybody but you! and I don’t want disapoint by anybody but you.
Bagaimana jika Anda diundang ke pernikahan adik dari mantan pacar Anda yang memutuskan Anda setelah Anda memberitahunya Anda sedang hamil. Mungkin tidak ada yang lebih buruk dari itu. Tapi hubungan selalu lebih rumit daripada yang seharusnya.  
Memiliki beberapa hubungan di masa lalu membuat saya yakin bahwa hubungan selalu lebih rumit dibandingkan yang terlihat dari luar. Dalam sebuah kondisi di atas Jeffrey Blitz menghidupkan sebuah drama yang menarik.
Saya tidak tahu faktor dan variable apa yang digunakan oleh para kritikus film untuk menilai. Tapi saya seseorang laki-laki dewasa yang berusia 27 tahun dan memiliki berat badan berlebih serta kulit hitam legam sangat menyukai genre drama komedi.
Table 19 membuat saya melihat kembali apa makna sebuah hubungan. Sesuatu yang memang seharusnya dimiliki oleh film drama. Genre ini menurut saya pribadi bertugas untuk membuat penonton menyelusuri kembali hubungan mereka dengan orang-orang yang mereka kasihi atau orang-orang yang pernah mereka sayangi.
Bagaimana mungkin menilai sebuah film dengan berbagai faktor elemen di luar fungsinya. Jika film berhasil mengirimkan pesan instriktik  ke penonton saya kira film tersebut sudah bisa disebut sukses. Tidak perlu plot twits atau set up cerita yang berlebihan untuk membuat film melodramatik dinilai bagus.
Film drama harus dibuat sesederhana mungkin agar penonton bisa mengaitkan cerita di dalam film dengan kehidupan sehari-hari mereka. Untuk laki-laki seumur saya dorongan menikah dari orang-orang sekeliling sangat kuat. Pertanyaan kapan dan siapa calon mempelai akan terus dihanturkan oleh orang-orang di sekeliling saya di setiap kesempatan.
Dalam tiga tahun terakhir undangan pernikahan membanjiri layanan percakapan virtual saya baik secara personal maupun dalam kelompok. Tapi saya tidak pernah datang  ke acara pernikahan siapa pun. Dalam delapan tahun terakhir saya hanya menghadiri dua kali acara pernikahan. Keduanya teman dekat di kampus.
Karena acara pernikahan buat saya sungguh amat membosankan. Saya tidak peduli siapa yang menikah, saya hanya terlalu muak untuk berada di acara resepsi pernikahan. Saya tidak tahu alasannya, sejak ayah saya pensiun saya tidak diharuskan ikut dalam acara pernikahan anak teman ayah saya.
Saya sudah bisa memilih dan pilihan saya tidak datang ke pernikahan siapa pun. Setelah lulus kuliah giliran teman dari teman SMA, kuliah atau kantor satu per satu mulai menikah. Dan saya tetap dalam pilihan saya. Mungkin melanggar aturan norma, nilai dan tradisi tapi ketika diberi pilihan tentu saya akan memilih sesuatu yang membuat saya lebih nyaman. Dan tidak datang ke pernikahan siapa pun adalah pilihan yang lebih nyaman untuk saya.
Table 19 membuat saya kembali memikirkan pernikahan. Tentu bukan pernikahan saya tapi pernikahan dalam arti keseluruhan. Pernikahan dalam kerangka sosial, budaya dan pernikahan dalam arti sesungguhnya.
Table 19 tidak menceritakan dua pasangan yang sedang menikah. Tapi justru menceritakan tentang orang-orang yang hadir dalam acara pesta pernikahan tersebut. Tentang niat dan motif mereka datang. Tentang cerita mereka masing-masing yang tidak ada hubungan dengan pasangan yang sedang menyelenggarakan pesta pernikahan.
Yang menarik semua tamu undangan akan berusaha membuat pesta pernikahan tersebut berjalan lancar. Dengan sekuat tenaga mereka menutup diri mereka sendiri untuk terlihat ‘pantas’ di pesta pernikahan yang mereka hadiri. Berpakaian sopan, tampil menarik, makan secukupnya atau berbasa-basi kecil dengan tamu undangan yang dikenal.
Saya tidak pernah berpikir untuk mengamati tamu-tamu undangan di sebuah pesta pernikahan. Table 19 membuat saya menyelusuri kembali jejak ingatan saya tentang pesta pernikahan yang pernah saya hadiri dari kecil sampai lulus SMA. Format cerita di film ini sudah membuat saya banyak berpikir tentang sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan.
Pusat cerita film ini tentang Eloise McGarry yang diperankan Anna Kendrick yang berusaha untuk tegar saat bertemu mantan kekasihnya Teddy yang diperankan Wyatt Russel di pesta pernikahan adik Teddy. Kisah Eloise berakhir indah seperti di film-film drama lainnya.
Bagian yang paling menarik bagi saya dalam film ini adalah ketika Eloise menjelaskan bagaimana Teddy mengakhiri hubungan mereka kepada semua orang yang baru ia kenal di pesta pernikahan tersebut. Bagaimana dua orang yang sebenarnya masih mencintai berpisah karena salah paham.
Teddy :You didn't tell them what you said.
Aloise : What did I say?
T : She said that we'd be ridiculous parents.
A : No, I... Not like that.
T : Yes, you did.
T : You said I'd be a ridiculous father.
A : You asked me if I wanted to keep it. Then I asked you if you would want to keep it and you didn't say anything to that. So then I said we were ridiculous.
T : It was after you called me ridiculous because why would you want to keep our kid if you thought that I was just a... That I was just a joke?
A : It was before. And you were looking for a way out, man! I get that now. Everyone we know says we were wrong together. Your mother wouldn't stop saying that. I was not the kind of girl who ended up with you. And when it was time for you to stand up and say that she's wrong and they' re all wrong and they're idiots and stand by me, then you ask me if I want to keep it. That's your first question.
T : What was I supposed to say, El? I constantly disappoint you. Then you tell me that you think our kid will grow up thinking that I'm just a joke. That I was never good enough for you. And you finally found a way to tell me. And I was so scared of losing you that when you told me you were pregnant, I asked if yo wanted to keep the kid. I'm ridiculous in a million ways. I am. I know that but I can't spend my whole life disappointing you as much as I disappoint myself.
Dan bagaimana mereka berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka.      
“If you’re ready to be like the person who always can forgives me then I want to be the person who always forgives you,” kata Eloise saat ia sadar bahwa ia ingin membesarkan anak dalam kandungannya bersama Teddy.
Klise? Tentu. Ini film drama tentu harus klise. Di satu sisi film ini menunjukan sisi realitas sebenarnya. Hubungan dua orang dewasa memang rumit dan klise. Tidak perlu dihindari dan hanya perlu dihadapi.
0 notes
prosakata · 8 years ago
Text
Hoax Dalam Eco
Hoax atau berita bohong adalah sesuatu yang menjijikan dan menyebalkan untuk setiap orang. Karena memang tidak ada orang yang sukarela dibohongi kecuali untuk tujuan tertentu. Yah seperti warga Amerika yang percaya Donald Trump bisa membuat negara mereka “hebat” lagi.
Di tengah hiruk pikuk perbincangan tentang hoax yang dilakukan pemerintah dan musuh-musuhnya saya kira ada satu bahan yang terlewat oleh banyak orang. The Prague Cementry, novel Umberto Eco yang terbit pada tahun 2010. Di awal novel ini cukup sulit diikuti. Kita akan mengerti cerita keseluruhan novel setelah habis membacanya.
Eco seorang pakar semotika yang cukup bijaksana ia menyelipkan table waktu narasi di halaman terakhir. Ahli sejarah abad pertengahan Itali ini memang jarang mengecewakan pembacaannya. Selain membuat plot yang begitu cerdas ia salah satu penulis yang berbaik hati kepada pembaca yang tidak begitu pintar seperti saya.
Buku ini ditulis jauh sebelum hoax mengemuka di dunia mau pun di negara ini. Lewat novel ini Eco seakan memperingatkan dunia akan bahayanya kebohongan yang disebar dengan sistematis. Tokoh utama novel seorang bajingan tengik dan pengidap kepribadian ganda bernama Simone Simonini yang hidup di abad 19. Simonini keturunan Itali-Prancis yang tumbuh besar di Turin, Itali.
Simonini dibesarkan oleh kakeknya yang sangat membenci Yahudi. Kebencian itu merasukan ke dalam setiap sum-sum tulang Simonini. Tidak ada yang lebih dibencinya dibandingkan orang Yahudi. Walaupun ia juga membenci para Jesuit, orang Prancis, orang Rusia, orang miskin dan bahkan orang Itali sendiri.
Setelah kematian kakeknya Simonini menjadi notaris busuk yang membuat dokumen-dokumen palsu. Keahlian ini akhirnya terendus oleh agen rahasia Pemerintah Peidmont. Ia disuruh untuk memata-matai Guisppe Garibaldi pejuang kemerdekaan di Sisilia. Ia juga disuruh membuat dokumen-dokumen palsu tentang Garibaldi. Namun hasil pekerjaannya tidak memuaskan Pemerintah Peidmont ia pun akhirnya dibuang ke Paris.
Di Paris keahliannya pun dibutuhkan oleh Pemerintah Prancis yang saat itu sedang masa menjelang revolusi yang menentang pemerintahan Napoleon III. Selama tiga puluh lima tahun di Prancis  ia menyusun buku anti-semit yang saat ini dikenal dengan The Protocol of The Elders of Zion.  
Simonini mengambil berbagai bahan dari bukunya Maurice Joly, Marie-Joseph "Eugène" Sue, dan surat kakeknya dikirimkan ke Abbé Augustin Barruel. Dokumen ini akhirnya diterbitkan di Rusia. Tidak hanya menyerang Yahudi alter-egonya Abbe Dalla Picolla juga membuat cerita bohong seputar Palladisme, Freemanson, pemujaan setan dan gereja katolik.
Selama tiga puluh lima tahun ia tidak menemukan pembeli yang cocok dengan dokumen palsu itu. Hingga akhirnya pemerintah Rusia meminta dokumen tersebut. Maka jadilah dokumen yang disebut The Protocols itu. Sebuah dokumen yang menyatakan ambisi ras Yahudi untuk menguasai dunia.
Dalam novel itu Eco menggunakan karakter asli dalam sejarah. Karakter rekaan yang ia buat hanya tokoh utama dan beberapa tokoh minor dalam novel tersebut. Membaca novel ini seperti membaca sejarah tapi bukan sejarah. Eco menggambarkan bagaimana hoax dibuat oleh agen-agen rahasia untuk menutup kesalahan pemerintah.
Dan yang jelas pembuat hoax terbaik adalah para penguasa. Dengan kemampuan, dana dan ambisi yang berlimpah hanya para penguasa yang dapat menciptakan hoax sempurna. Eco menggambarkan pemerintah dapat mereproduksi kebencian demi sepercik keuntungan.
“Kebencian itu menghangatkan hati,” kata salah satu tokoh dalam novel ini. Saya tak akan sebutkan siapa karena ada baiknya Anda membaca novel ini dan menemukan kutipan-kutipan luar biasa di dalamnya.
“Sebagai seorang ilmuwan saya tertarik dengan filsafat bahasa, semotika, atau apa pun itu Anda sebut, dan salah satu fungsi utama bahasa manusia adalah kemungkinan untuk berbohong. Anjing tidak berbohong. Ketika ia mengonggong ada seseorang di luar,” kata Eco dalam wawancaranya dengan Stephen Moss wartawan Guardian tahun 2011.
Dalam wawancara ini Eco mengatakan bukan konspirasi untuk menciptakan hoax yang menjadi ketertarikannya. Tapi hasil dari hoax itu sendiri. Yakni paranoia panjang tak berkesudahan. Seperti kepada Yahudi, kapitalis, komunis dan lain-lain.
“Itulah mengapa diktaktor menggunakan konspirasi universal sebagai senjata, 10 tahun hidup pertama saya, saya belajar di sekolah fasis, dan mereka menggunakan konspirasi universal — seperti Anda orang Inggirs (Stephen Moss berkebangsaan Inggirs), orang Yahudi, dan para kapitalis yang menyerang orang-orang miskin Itali. Hitler juga menggunakan cara yang sama. Dan Berlusconi menghabiskan kampanyenya berbicara tentang konspirasi para hakim  dan komunis. Tidak ada lagi komunis, bahkan ketika Anda mencarinya, tapi untuk Berluconi mereka berusaha untuk mengkudeta,” kata Eco.
Penyebaran kebencian tidak hanya menimpa Yahudi tapi semua orang, semua ras, semua agama, semua suku bangsa. Misalnya seperti hoax Pemerintah Amerika tentang keberadaan senjata nuklir di Irak. Hoax ini menghancurkan sebuah negara yang selama 23 tahun hidup tenang dan pluralis. Dan segenap hoax lainnya yang ditimpakan kepada Arab-Muslim.
Karena memang hoax bisa menimpa siapa saja. Tergantung keinginan penguasa.
0 notes
prosakata · 8 years ago
Text
Tidak Ada Bahagia di Lini-Massa
Entah bagaimana atau mungkin karena pekerjaan saya. Tahun ini sama sekali bukan tahun yang membahagiakan. Begitu banyak hal menyedihkan terjadi di dalam negeri maupun di luar sana. Ada beberapa prestasi yang dicapai umat manusia dan anak bangsa. Tapi sama sekali tidak menutup kesedihan dari banyaknya tragedi politik maupun alam yang terjadi di dalam dan luar negeri.
“Di luar pagar sana kawan ku kehidupan memanggilmu tapi tahun kian kelabu makna gugur satu-satu dari pengetahuanku, dari seluruh pandanganku, pendengaranku, penilaianku, mentari tinggal terik dari barat tanpa janji, kota tumbuh kian asing kian tak peduli dan kita tersisih di dunia yang ngeri dan tak terpahami,” lirik lagu Balada Harian dari musisi asal Surabaya, Silampukau.
Di luar segala keindahan yang diberikan duo musisi ini kepada dunia, saya sepakat dengan lirik-lirik mereka. Dunia semakin mengerikan dan tak terpahami. Kota menjadi asing dan menjauh. Di sisi kiri-kanan saya banyak yang berbisik hal ini karena lini-massa yang kian membusuk sekaligus merapuh.
“Terjebak di lintasan waktu, terbujur aku dan membatu,” lirih suara Danilla dalam Penutupan album Telisik yang ia rilis tahun 2014.
Entahlah mungkin karena semakin tua saya semakin sedih. Semakin melodramatis. Seakan ikut berperan dalam kedangkalan dunia melihat realita. Andaikan saja saya punya energi untuk melimpahkan data dalam ocehan ini mungkin curahan ini bisa lebih bermakna. Tapi apalah arti data jika segalanya hanya kesimpangsiuran belaka.
Terlalu banyak data hari ini, terlalu banyak kebohongan. Kebohongan yang satu dihantam kebohongan yang lain. Melebur menjadi satu, berkelindan, dan saling mencengkram. Nasihat, larangan dan umpatan kini sudah tiada bedanya.
Bekerja di dunia maya membuat saya lupa ada yang nyata di depan mata. Nafsu merendam langkah menuju masa depan. Kegilaan menjadi konstan dan tak berhenti berpijar. Terang benderang di tengah kelangkaan kewarasan.
“Hanya ingatan yang tak hanyut terbawa arus ke muara,” kata Lielani Hermasih atau Frau di lagu Tarian Sari.
Denting pianonya menyemburkan nostagia akan kebahagiaan masa lalu. Di mana tak ada lini-massa yang kini mengatur dunia.  Ketika kekejaman belum menyebar secepat kilat. Ketika kedengkian hanya milik segelintir orang bukan massa yang mengganas.
Ketika politik hanya milik politisi dekil. Di mana amarah hanya disimpan oleh sekelompok orang yang ingin merenggut kekuasaan dengan kebencian. Kini murka ada di mana-mana. Di setiap detik lini-massa.
Dan ternyata hanya di lini-massa kebusukan meradang. Di setiap jengkal tanah negeri ini masih banyak orang yang ingin bekerja. Dengan cara jujur dan sederhana. Untuk menciptakan kebahagiaan generasi yang akan tiba.
“Tanpa disadari tak ada arti bahasa mu bahasanya lihat kau bicara dengan siapa, lihat kau bicara dengan siapa, makna dalam aksara, makna mana yang kita bela,” senandung kelompok musik Barasuara dalam lagu Bahas Bahasa.
Seharusnya lagu ini menyentuh nalar manusia. Kata salah satu filsuf Prancis bahasa adalah arbitarer. Ia acak dan tak konstan. Manusia yang membuat makna di setiap tutur kata yang ia pilih.  
Manusia sebagai Homo Sapiens yang berarti mahluk yang bijak memilih makna yang mereka percaya. Dan bahasa sebagai jembatan dari setiap pemaknaan manusia. Ketika tidak ada lagi makna tidak ada lagi manusia.
Lini-massa menghilangkan makna-makna dalam bahasa. Sebuah media kebohongan dengan topeng data. Maka hilang pula manusia. Hilangnya manusia maka hilang pula bahagia.
Jangan cari bahagia di lini-massa. Karena kebahagian memang tak ada di sana.
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Jalan Pulang
Suatu ketika saya bermimpi mendapatkan perempuan yang saya cintai. Entah bagaimana saya mencintainya. Saya hanya mencintainya begitu saya. Tapi ia masih bersama orang lain. Seperti perempuan-perempuan yang saya cintai sebelumnya. Masih memiliki hubungan baik dengan orang yang sebelumnya mereka cintai.
Dalam mimpi itu saya merasa tak memiliki apa-apa untuk dapat dicintai perempuan itu. Tapi saya berhasil menarik perhatiannya, mengajaknya berjalan-jalan dan berbincang. Tidak ada satu pun yang bisa saya perbincangkan. Tapi ia tersenyum kepada saya. Saya tidak mengenal perempuan dalam mimpi saya itu. Ia mengenakan gaun berwarna kuning bermotif bunga.
Dalam mimpi itu saya juga bertemu perempuan yang saya cintai selama bertahun-tahun. Entah bagaimana ia bisa berada di sana. Ia melihat saya berjalan-jalan dengan perempuan itu. Tanpa mengatakan apa-apa ia tersenyum. Senyumnya menandakan ia melepaskan saya, mengikhlaskan.
Pada saat itu saya seperti merasa bersalah. Seperti ada beban kasat mata dipundak saya. Walaupun saya tahu ia sudah memiliki orang yang ia cintai. Saya seperti terombang-ambing di suatu tempat yang tidak pernah saya kenal sebelumnya.
Saya berada di gudang pusat pemberlanjaan. Dengan plafon yang tinggi dan barang-barang yang terbungkus kardus  ditumpuk di sana-sini. Saya tidak tahu harus melangkah kemana. Saya hanya berputar-putar di gudang itu.
Saya bangun di pagi yang hampir siang. Sarapan dengan masakan buat ibu saya. Meminum jeruk peras buatannya. Merokok dan merasa kehilangan. Tanpa mengetahui apa yang menghilang dari diri saya. Kenaifan, keluguan atau cinta yang mendalam pada satu perempuan yang sama selama bertahun-tahun.
Berminggu-minggu lewat. Saya melewatkan hari-hari dengan bekerja dan tidak pernah terfikir lagi mimpi itu. Karena terlalu banyak dipakai bekerja kapasitas penyimpanan data di telpon genggam saya penuh. Saat saya memindahkan data-data dari telpon genggam ke komputer jinjing tidak sengaja saya melihat foto-foto lama.
Saya melihat foto lama mantan kekasih saya. Tidak sengaja dan saya melihatnya pun sepintas lalu. Setelah menyesap secangkir teh hangat saya tidur. Dua minggu penuh saya bekerja di luar kota. Sesampainya di rumah tidak ada yang ingin saya lakukan kecuali istirahat.
Pada malam itu saya memimpikan mantan kekasih saya lagi. Ia berada sangat dekat dengan saya. Padahal sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu. Sayangnya saya lupa dengan mimpi itu. Yang saya ingat saya hanya memimpinkan mantan kekasih saya itu.
Beberapa bulan pun berlalu. Saya bermimpi kembali. Tapi tidak lagi memimpikan mantan kekasih saya itu. Saya bermimpi berada di sebuah rumah keci. Bukan rumah idaman hanya ada halaman kecil, ruang tamu, ruang keluarga dan beberapa kamar.
Saya berada di ruang tamu ditemani seorang perempuan cantik dengan kaus berwarna biru. Rambutnya pendek dan berwarna keemasan. Saya tidak pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya, tahu mungkin pernah saya lupa. Mungkin wajahnya tersimpan dalam-dalam di kesadaran saya.
Dalam mimpi saya itu saya tidak tahu mengapa ia bisa menemani saya di ruang tamu yang tidak saya kenal. Ia terus tersenyum pada saya, menggenggam tangan saya. Seakan-akan ia mencintai saya.
Lalu saya pergi ke tempat lain. Tiba-tiba saya berada di tengah-tengah banyak orang seperti sedang mengadakan kamping. Di sana ada satu perempuan lagi rambutnya panjang diikat kebelakang memakai baju garis-garis warna merah muda dan putih. Perempuan berambut panjang ini mengatakan ia menyukai saya dan ia mencium bibir saya.
Saya kembali ke ruang tamu sebelumnya saya berada. Tiba-tiba banyak orang di situ. Tak ada yang saya kenal tapi sepertinya semua orang mengenal saya. Hanya sapa dan tanya yang tak jelas kemana arahnya. Saya pun kembali duduk di sudut ruang tamu itu. Perempuan berambut pendek memeluk saya. Ia tersenyum dan mengatakan ia mencintai saya.
Tiba-tiba ia menunjukan payudaranya, saya senang sekaligus kebingungan. Karena banyak orang ada di situ. Saya memintanya menutup kembali payudaranya ia mematuhi saya. Merasa dicintai dan bersalah karena telah mengkhianati perempuan berambut panjang saya keluar.
Di luar begitu banyak orang mereka menunjukan mobil kepada saya. Mobil sedan berwarna perak. Mereka mengatakan itu mobil saya. Aneh karena saya tidak pernah memiliki mobil dan saya juga tidak bisa menyetir. Tidak hanya mobil orang-orang yang berada di sana juga menunjukan motor berwarna biru. Mereka mengatakan motor itu juga milik saya.
Di dalam mimpi itu saya tiba-tiba merasa sedih. Karena saya fikir dua perempuan yang mengatakan mencintai saya mengira saya memiliki mobil dan motor. Dalam mimpi itu saya merasa dibodohi karena kedua perempuan itu hanya menginginkan kekayaan saya.
Lalu saya pun terbangun. Sudah siang dan saya harus berangkat kerja. Saya pun mandi dengan cepat untuk menghilangkan sisa sedih dan dendam dari mimpi itu. Saat saya berpakaian saya duduk sebentar berfikir apa yang sebenarnya ingin saya lakukan.
Akhirnya saya nunda untuk berangkat kerja. Saya buat secangkir kopi dan membeli rokok. Duduk di meja komputer saya lalu mendengarkan musik balada dari sebuah kelompok musik Jalan Pulang dari Yogyakarta.
Mendengarkan musik mereka sepertinya menyimpan rindu yang tak pernah lelah. Setelah puas mendengarkan balada manis saya pun berangkat kerja. Di tempat saya kerja saya bertemu dengan beberapa perempuan cantik yang tidak sanggup saya sapa. Karena saya memang tidak mengenal mereka.
Saya pun rindu kepada perempuan-perempuan yang berada di mimpi-mimpi saya. Menunggu narasumber datang saya memasang headset di telinga dan kembali mendengarkan senandung-senandung Jalan Pulang.
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Menang-kalah Homoseksualitas Di Publik
Kata menang-kalah menjadi sesuatu yang sangat lumrah dalam demokrasi. Hidup ini diatur dalam kompetisi. Harus ada yang merayakan dan terpuruk. Harus ada yang gembira dan sedih. Harus ada yang berkuasa dan takut.
Demokrasi dihitung berdasarkan jumlah suara. Keputusan apa yang didukung lebih banyak orang itu yang diakui. Tidak ada permusyawaratan untuk menentukan jalan tengah. Hitam atau putihnya dimenangkan pada siapa yang berhasil mendapatkan lebih banyak persetujuan.
Orientasi seksual atau apa pun yang sifatnya seksual sebelumnya bersifat tabu untuk dibicarakan di publik. Ketidakpatasan menjadi alasan utama isu ini ditutupi. Tradisi, agama dan norma seringkali menjadi kambing hitam untuk menutup isu ini.
Karena informasi berkembang lebih cepat daripada penyebaran ilmu pengetahuan, seksualitas tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu. Semua orang berhak untuk berbicara mengenai ini. Karena penyebaran ilmu pengetahuan terlebih pendidikaan tinggi berjalan sangat lamban maka banyak orang mendapatkan informasi tidak lebih dari seperempat total pengetahuan yang seharusnya difahami.
Beberapa bulan lalu isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender marak diperbincangkan di Indonesia. Beberapa bulan isu ini marak di Indonesia, Amerika Serikat memutuskan untuk melegalkan pernikahan sejenis. Di Amerika kelompok LGBT menyatakan kemenangnya atas perjuangan bertahun-tahun untuk proses melegalkan pernikahan sejenis. Saya ingat serial televisi Modern Familiy juga ikut merayakannya. Tapi saya lupa episode berapa.
Pengesahan Undang-undang Pernikahan Sejenis selalu menjadi kontrovesi di Amerika Serikat. Setelah begitu banyak Presiden akhirnya pada zaman Barack Obama undang-undang tersebut disahkan. Kelompok LGBT di Amerika menyatakan diri sebagai pemenang.
Di Indonesia dalam kasus yang sama akhirnya pemerintah dan legislatif berencana membuat undang-undang untuk membatasi pergerakan kelompok LGBT. Dengan alasan trandisi, agama dan moral. Prosesnya juga tidak cepat. Butuh kerja keras dari mereka yang menentang pergerakan kelompok LGBT hidup dipermukaan. Karena takut merusak mental anak-anak dan anak muda.
Perdebatannya pun cukup sengit. Sampai masuk ketaraf menteri dan ketua legislatif. Akhirnya rencana undang-undang membatasi pergerakan LGBT dilakukan. Kelompok anti-LGBT menyatakan diri mereka menang.
Amerika dan Indonesia mempunyai tradisi yang total berbeda. Keduanya negara demokratis. Walaupun keduanya pun mengecap demokrasi yang semu. Amandemen pertama Amerika melindungi kebebasan berekspresi. Tradisi di Indonesia pun mendorong musyawarah. Tapi nyata dalam demokrasi selalu ada yang kalah dan menang.
Saya tidak mau membicarakan filosofi panjang demokrasi. Beberapa filsuf setuju, misalnya Habermas bahwa politik ada rangkaian komunikasi panjang untuk mencapai konsensus. Ada yang lebih memahami demokrasi, contohnya Hanna Arendt, yang melihat demokrasi sebagai proses perayaan perbedaan.
Melihat pertentangan yang luar biasa terjadi, menurutnya saya, dibutuhkan suatu proses lain yang menyatukan banyak pihak yang sebelumnya bertikai sengit. Kedua negara Amerika dan Indonesia membutuhkan proses rekonsiliasi. Rekonsialiasi dari sebuah konflik yang berkempanjangan adalah sebuah kebutuhan sejarah. Dendam, amarah, benci dan luka hanya dapat disembuhkan dengan satu kata sederhana “maaf”. Memaafkan bukan berarti menoleransi kejahatan namun berjiwa besar dan memiliki visi kedepan.
Demokrasi hanya dapat dilalui dengan cara tersebut. Bukan berarti demokrasi adalah sebuah masa depan. Demokrasi adalah sebuah proses. Konsep tentang masyarakat yang pluralistik. Masyarakat yang bersuara dengan bebas dan lantang. Pemerintah yang mau mendengarkan. Sebuah konsep dimana jutaan konsep lainnya tetap hidup dan berkembang.
Dalam demokrasi ideologi apa pun dapat disuarakan. Dari ultra-kanan, anarki (sebagai teori politik), fundamentalis religius,  sosialis-komunis, sampai agnostik pluralistis. Semua ideologi dapat tempat. Tidak saling injak dan menjatuhkan. Demokrasi bukan liberalisme. Demokrasi bukan hanya sebuah sistem pemerintahan. Tapi mental sebuah bangsa.
Demokrasi membuat sebuah negara menghargai setiap hak suara, hak berideologi, beragama, hidup layak, dan berpendidikan. Demokrasi mengarah pada perubahan cara pandang dan berkehidupan.
Di negara ini sering kali difahami demokrasi sebagai liberalisme modern Barat atau Eropa. Keduanya bukanlah suatu konsep yang sama. Demokrasi sudah ada sejak zaman Yunani Kuno dan Khalifah Islam.
Demokrasi sudah ada sejak Zaman Dinasti Umayah yang didirikan di atas kafan ‘Ali bin Abi Thalib dengan ibu kota Damaskus. Rezim tersebut bertahan sekitar 90 tahun (661-750) untuk kemudian diluluhlantakkan oleh rezim baru, campuran Arab dan Persi, dinasti ‘Abbasiyah (750-1258), dengan ibu kota Baghdad. Muslim keturunan Persi merasa di-anak-tirikan oleh rezim Umayyah sebagai warga mawâlî (kelas dua) cepat bergabung dengan rezim ‘Abbasiyah yang semula berpusat di Khurasan (Persi).  Salah seorang dari unsur dinasti Umayyah yang bebas dari pengejaran pasukan ‘Abbasiyah, Abd al-Rahman I (al-Dâkhil) lari ke Spanyol untuk kemudian pada tahun 756 membangun kerajaan di sana yang juga demokratis. Dinasti ini menampung masyarakat katolik. Dinasti ini bisa bertahan berabad-abad sampai 1031 disertai perkembangan peradaban yang tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh dinasti ‘Abbasiyah di belahan Timur. 
Karena itu bila ada yang mengatakan demokrasi berasal dari Barat bisa jadi ia salah. Karena liberalisme Barat atau  modern baru muncul pada pertengahan 1890 yang didorong oleh sosilogis Lester Frank Ward dan ekonom Richard T. Ely. Mereka merubah Liberalisme Viktorian dengan menambahkan variabel kebebasan sipil dan hak individu. Dan mungkin Ludwig von Moses sebagai pemikir yang membentuk fondasi dari liberalisme.
“Tantanan sosial yang lahir dari flasafah Pencerahan memberikan kekuasaan kepada rakyat biasa,” tulis Moses dalam bukunya yang berjudul Liberalism.
Tantanan sosial tersebut menurut Moses adalah liberalisme. Menurut Moses liberalisme menciptakan perdagangan bebas di dunia yang damai yang terdiri dari bangsa-bangsa merdeka. Moses yakin liberlisme menciptakan perbaikan tingkat kehidupaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bagi Moses liberalisme akan menciptakan posisi setara setiap pihak yang pertentangan. Hingga tumbuhlah kompetisi sehat diantara pihak yang bertentangan.
Karena itu demokrasi dan liberalisme ada dua hal yang sepenuhnya berbeda. Dan Amerika dan Indonesia tidak menganut keduanya. Dua negara tersebut menganut sistem kapitalisme oligarki. Maka saya lebih sepakat kedua negara membutuhkan demokrasi liberal. Bukannya saya sepakat untuk menjadi liberalisme sebagai sebuah pedoman hidup. Tapi untuk menunjukan pedoman hidup yang benar ke seluruh dunia, kita harus menerima liberalisme terlebih dahulu di dalam demokrasi kita.  
Kita membutuhkan demokrasi yang liberal untuk dapat menimbang dengan adil mana yang harus menjadi norma dan hukum pokok di masyarakat. Pertentangan antara publikasi homoseksualitas dan yang menolaknya dapat ditimbang dengan adil.
Di Amerika kelompok konservatif yang menolak homoseksualitas pun sedang menghimpun kekuatan untuk menggugurkan legalisasi pernikahan sesama jenis. Begitu pula di Indonesia kelompok yang mendukung homoseksulitas sedang berusaha menahan diri dan menghimpun berbagai kekuatan dari dalam dan luar untuk kembali hadir ke khayalak.
Pertarungan ini tiada akhir bila kita tidak menetapkan demokrasi yang liberal. Karena tanpa kebebasan, manusia bukanlah manusia. Dengan liberalisme kita bisa menimbang dengan adil, dengan demokrasi kita bisa memusyawarahkannya dengan baik-baik. Tanpa ada saling dendam, amarah, benci dan luka.
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Restoran Global Di Pinggir Kota
Saat ini saya sedang menyatap makan cepat saji Korea di sebuah mall pinggir Kota Bandung. Karena hujan yang lebat pengujung mall yang hendak pulang meneduh sambil memakan makanan cepat dari negara yang paling berkembang di dunia, Korea Selatan.
Tidak ada satu pun pengujung restoran ini yang peduli dengan Korea Selatan. Tidak dengan perkembangan teknologinya yang sangat pesat (walau pun baru-baru ini gagal mengeluarkan telpon genggam yang katanya paling canggih), melesatnya penyebaran budaya populer Korea Selatan ke penjuru dunia, atau meningkatnya jumlah perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Korea.
Tidak ada yang tahu siapa Lee Soo Man sebagai pengusaha hiburan paling sukses di Korea Selatan. Tidak ada yang mau tahu apa itu Girl Generation, BTS, Black Pink, atau Red Velvet (yang terakhir lebih dikenal sebagai nama cake).
Tidak ada pula yang tahu restoran cepat saji tempat mereka makan adalah anak perusahaan dari merek telpon genggam yang mereka gunakan sehari-hari. Bahkan mungkin mereka tidak tahu restoran cepat saji ini berasal dari negeri ginseng.
Di saat bersamaan beberapa ratus kilometer rakyat sepuluh juta penduduk sedang berperang, saling mengadu domba, mencaci dan mengutuk. Mungkin mereka peduli tapi tidak terikat. Mungkin mereka membacanya di media sosial, situs berita atau mendengarnya dari televisi.
Tapi sudah itu saja. Tidak lebih. Para pengujung restoran ini lebih mengkhawatirkan hujan yang tak kunjung berhenti. Membayangkan betapa macetnya jalan Soekarno-Hatta karena sedang ada perbaikan di Jalan Kiara Condong. Terlebih jika mereka harus lewat Jalan Antapani yang sedang ada pembangunan fly over.
Mereka bertanya-tanya satu sama lain, mengapa Pak Walikota yang murah senyum dan senang bercanda itu memperbaiki dan membangun jalan sekaligus di berbagai sudut kota. Mengapa tidak dilakukan perlahan beberapa bulan lalu. Mengapa semuanya harus dilakukan sekarang.
Interkoneksitas menjadi konsep yang absurd. Di suatu ketika Gubernur Ibukota dituduh menghina agama lalu ribuan orang di luar sana pun ikut campur dan mengutuknya. Setelah itu mereka menghadapi persoalan mereka sendiri.
Di satu sisi setiap warga lebih konsentrasi pada dapurnya sendiri-sendiri. Di sisi lain mereka pun terikat dengan bagian dunia lainnya. Tidak ada ‘desa global’ hari ini. Karena setiap desa punya persoalan, solusi dan pemimpinnya masing-masing.
Interkoneksitas menjadi konsep bohong yang ingin meringkus berbagai perbedaan setiap daerah untuk kepentingan politik. Lalu ditanamkan ke dalam setiap fikiran individu. Lalu lahirlah negara, agama, atau ideologi. Sebagai sebuah hukuman mati bagi kebebasan manusia untuk hidup di dunianya sendiri.
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Nusantara Di Tengah Kosmpolitan Dunia
Nusantara yang kosmopolit menerima berbagai kultur, ideologi dan kapital dari luar. Merengkuh setiap yang partikular menjadi bagian di dalamnya. Sebagai wilayah yang kosmopolit Nusantara tidak pernah berhenti berproses. Setelah tradisi Hindu-Budha yang mewariskan konsep mandala, Islam meninggalkan jejak stuktur sosial egaliter dan Barat dengan sistem Gorventalis, ragam kultur dari luar masih masuk ke dalam wilayah Nusantara. Dengan berbagai pengaruhnya.
Islam konservatif yang datang dari Timur Tengah modern, propaganda anti-komunisme Amerika, ideologi sosialis yang kembali menyerbu paska-reformasi, dan budaya populer yang datang dari Asia Timur terutama dari Jepang dan Korea Selatan. Nusantara dengan lapang dada menerima ideologi dan kultur yang datang dari Timur dekat maupun Barat jauh.
Yang menjadi pertanyaan dimana posisi masyarakat nusantara di tengah riuhnya kosmopolitanisme dunia saat ini. Saat Rusia, Cina dan Korea hampir sama berkuasanya dengan Amerika. Saat dunia berkompetisi dengan kekuatan ‘keras’ (senjata nuklir dan biologi, persangian harga minyak dan gas, pencapaian dalam teknologi dan sains) maupun dengan kekuatan ‘lembut’ (budaya populer, seni, sastra, diplomasi, kerjasama ekonomi).
Nusantara hanya mengafirmasi mereka yang datang dengan bekal senjata maupun film. Mereka yang berambisi menaklukan, menciptakan persahabatan atau permusuhan. Seperti banyak peradaban non-Eropa lainnya, Nusantara hanya sebuah pinggiran dari kosmopolitan dunia. Dalam sejarah dunia Barat menjadi poros sejarah. Namun ketika Barat pun tergopoh-gopoh membawa diri melewati rintangan sejarah yang terjal mereka yang dulu hanya di luar mulai menujukan jalan alternatif.
Ketika negara-negara Eropa Barat (Jerman, Prancis, dan Inggirs) kehabisan daya karena ledakan penduduk dan ketimpangan sosial-ekonomi karena imigrasi yang disebabkan perang yang diciptakan oleh Amerika, negara Skadavia (Norwegia, Swedia dan Finladia) menutup pintu mereka untuk imigran. Negara Skandavia dengan sadar tidak mau menjadi korban sebab perang yang diciptakan Amerika.
Dalam peradaban modern negara-negara Skandavia memilik nasib yang sama dengan peradaban non-Eropa. Hanya sebuah catatan kaki dalam sejarah dunia. Namun saat ini para keturunan Viking itu membuat negara mereka menjadi paling sejahtera dan stabil di seluruh dunia. Mereka menjadi paling unggul dalam segi pendidikan dan tunjangan kesehatan.
Begitu pula Rusia yang kini memiliki kontrol wilayah politik dan militer yang setara dengan Amerika di Timur Tengah, Eropa dan Asia. Pengusaan Rusia dalam teknologi militer dan nuklir menjadi momok yang paling ditakuti Amerika. Cina dengan kerja keras dan cerdas menjadi wilayah investasi paling menguntungkan di seluruh dunia. Jepang dan Korea Selatan dengan visi misi kreatif melaju, menciptakan pengaruh ke berbagai sudut semesta.  
Nusantara dengan kebijaksanaan yang terus dipelihara menerima segala sesuatu dari luar. Impliksinya benturan-benturan di dalam tidak dapat dielakan lagi. Dengung liberalisme tumbuh subur, radikalisme menjamur, dan sosialisme membuat struktur. Nusantara menjadi  kurusetra tapi tidak hanya dualisme antar Pandawa dan Kurawa namun ratusan mungkin ribuan jenis kultur dan ideologi yang diresap dalam waktu bersamaan.
Apa yang dilihat dunia dari Nusantara selain tempat berlibur dan sumber daya alam. Setelah ratusan mungkin ribuan tahun Nusantara menjadi tempat kunjungan dan persinggahan berbagai bangsa, budaya dan peradaban pada saat inilah Nusantara dituntut untuk memiliki posisi tersendiri. Tidak hanya oleh masyarakat yang hidup di dalamnya tapi juga oleh dunia luar.  Posisi Nusantara yang moderat dan non-blok kembali diminta kehadirannya.
Posisi yang sudah menjadi tradisi, posisi yang juga digunakan para Pendiri Bangsa untuk membangun negara kesatuan. Sebagai yang moderat, menantang yang liberal, menghancurkan yang radikal.
Kapitalisme dan liberalisasi pasar seakan-akan menjadi satu-satunya solusi pembangunan. Melihat manis kapitalisme Amerika banyak negara yang akhirnya berubah haluan. Rusia dan Cina sebagai negara yang sebelumnya anti-kapitalisme pun sudah mengubah kebijakan ekonomi mereka.  
Saat ini Cina pemilik uang terbanyak di seluruh dunia. Cadangan devisanya hampir sebesar $2,5 triliyun lebih banyak dua kali lipat dari Jepang dan tiga kali lipat dari seluruh negara di Eropa. Saat ini rasio perdagangan terhadap PDB Cina mencapai 70% yang membuat negeri itu sebagai negara yang paling terbuka di dunia. Ekspornya ke Amerika tumbuh 260% sejak sepuluh tahun belakangan.
Sejak tahun 1980-an Cina menjadi pabrik dunia. Sampai saat ini mayoritas benda elektronik dirakit dan dibuat di Cina. Seperti Iphone milik Amerika. Jika dulu total 70% keuntungan di ambil oleh Amerika selaku pemilik merek, sekarang Cina memiliki mereknya sendiri. Telpon genggam Cina mulai merambah ke seluruh dunia. Cina sangat cepat menyerap, menggunakan dan berinovasi dalam teknologi. Merek telpon genggam Cina seperti Xiomi, Infinix dan lain-lain mulai menarik pasar terutama di Asia Tenggara. Karena memiliki spesifikasi sama dengan dibuat oleh Jepang, Amerika dan Korea tapi dengan harga yang jauh lebih murah.
Taruhlah Cina masih kalah dalam bidang militer dengan Amerika atau Inggirs. Ada satu negara yang mampu menyaingi kemajuan riset dan teknologi di bidang militer dari Amerika, yakni Rusia.  Rusia mampu menciptakan robot yang jauh lebih murah daripada Amerika dengan spesifikasi yang sama. Riset dibidang nanoteknologi dan ekplorasi ruang angkasa pun tidak pernah ditinggalkan Rusia selama beberapa dekade. Kerja sama Rusia dan Cina pun berkembang sangat pesat. Dua negara yang pernah mempunyai keterikatan ideologi tersebut berkerja sama membangun kapitalisme terbesar dalam sejarah umat manusia. Sebuah provinsi di Cina yakni Guangzhou tidak segan memesan seratus buah robot Rusia untuk menarik perhatian turis asing dan domestik.
Ditinggalkan dari sisi ekonomi dan teknologi oleh dua negara yang paling terpuruk pada dekade 80-90an radikalisme dari Timur Tengah justru merasuk lewat berbagai celah di Nusantara. Berbagai perguruan tinggi dan lembaga pendidikan dirasuki oleh faham anti-toleransi dan demokrasi. Kegagalan bersikap kritis sudah menjadi penyakit kronis di mahasiswa dan pelajar saat ini. Seakan-akan hidup dibelah menjadi dua untuk akhirat atau dunia. Jika memilih dunia maka harus ikut deras arus kapitalisme, jika akhirat maka bunuh orang yang memiliki agama lain.
Tentu dua hal tersebut tidak bisa terjadi di Nusantara. Sudah terbukti kapitalisme menyebabkan kemandekan diberbagai bidang karena korupsi masih menjadi hal yang wajar. Radikalisme pun sesuatu yang paling menjijikkan bagi negara multikultural seperti Indonesia. Sosialime pun mempunyai sejarah kelam di Nusantara. Ideologi ini pun terbukti gagal karena ingin meruntuhkan tradisi yang sudah ada.
Tidak ada ideologi yang impor dari negara asing terbukti dapat menyelesaikan permasalahan bangsa ini. Satu-satu cara ialah memperkuat dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan. Terdengar klise, karena ribuan atau ratusan ribu orang sudah mengatakan hal yang sama. 
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Kritik Untuk Pembaca Berita
Kerja media tidak terlepas dari kritik. Sudah menjadi kodrat media untuk mengkritik pemerintah, korporat, dan masyarakat. Di satu sisi media juga tidak pernah lepas dari kritik. Dari keadilan, pendalaman atau posisi dalam pemberitaan. Saya tidak pernah menyangkal kesalahan-kesalahan selalu terjadi dalam pemberitaan media setiap hari. Ada banyak kritik yang diarahkan ke media terlebih pada zaman digital hari ini.
Dangkalnya berita yang disajikan menjadi kritik yang terus-menerus mendera media hari ini. Terlebih untuk media-media siber. Media-media siber sering dituduh menyajikan berita-berita yang tak bermutu dan dangkal. Berpihak pada satu kepentingan, entah kepentingan pemodal atau pengiklan. Tak jarang media diserang dengan tuduhan berpihak pada salah satu pejabat pemerintah atau pengusaha tertentu. Hal itu memang tak salah.
Setiap media memiliki kepentingan, ideologi dan keberpihakan yang berbeda. Perusahaan media yang menguasai pasar hari ini adalah perusahaan mandiri yang tidak didonor oleh lembaga tertentu. Setiap perusahaan media harus menciptakan profitnya sendiri. Bahkan harus menguntungkan untuk pemodal. Maka sensasi untuk mencari pembaca agar kurva pengiklan dapat terus menanjak otomatis dilakukan.
Yang menjadi pertanyaan kenapa berita, artikel atau ficer yang bermutu sepi pembaca. Sedangkan berita atau artikel yang cenderung tidak bermutu selalu memiliki pembaca yang berlimpah. Media tidak ada bedanya dengan perusahaan lainnya. Media membaca pasar. Komoditas yang paling laku dijual itu yang akan paling banyak diproduksi.
Hal ini akan paling banyak terlihat di media dengan medium televisi dan digital. Karena dua medium itu yang paling banyak dikonsumsi hari ini. Dan dua jenis media ini yang paling independen dibandingkan jenis media lainnya yang terkadang masih mendapatkan subsidi silang dari perusahaan lain pemilik modal.
Jadi informasi atau berita yang disebarkan tidak serta-merta legitimasi perusahaan media. Pembaca juga dapat memutuskan informasi apa yang paling banyak tersebar. Sayangnya di negara ini informasi masih hanya sebuah hiburan, bukan bahan yang dapat dijadikan modal untuk mengembangkan produktivitas dan kreativitas. Jika pembaca ingin mendapatkan informasi atau berita yang dapat dijadikan modal untuk mengembangkan diri maka seharusnya informasi dan berita yang bermutu menjadi informasi yang paling banyak dikonsumsi dan sebarkan. Bukan informasi atau berita yang tak bermutu.
Selain itu yang menjadi masalah adalah menyamaratakan semua kerja media. Pembaca media siber hari ini bukan pembaca koran. Sebelumnya pembaca media siber hari ini mendapat informasi dari televisi. Penyamaratakan kerja media siber dengan media koran jelas sesuatu yang salah. Karena walaupun mungkin kerja dilapangannya terlihat sama namun dalam proses masuk ke kantong redaksi akan dibungkus dengan cara yang berbeda.
Waktu saya baru menjadi wartawan saya belajar dari banyak orang. Ada seorang senior wartawan yang mendapat pelatihan di kantornya. Selama beberapa hari ia menghilang dari lapangan. Saat ia kembali saya berbincang-bincang dengannya.
Saat itu kami sedang makan nasi goreng di depan kantor polisi di selatan Jakarta. Ia menjelaskan pelajaran yang ia dapat saat pelatihan.  Ia menerangkan kepada saya ada empat kategori untuk setiap informasi yang disajikan media.
Kategori emosional, intelektual, hiburan dan spritual. Ia menjelaskan informasi emosional biasanya untuk mengungah emosi pembaca seperti berita bencana alam, perang, kemiskinan atau rusaknya lingkungan hidup. Informasi intelektual biasanya informasi tentang sains, penemuan, kebudayaan, kesenian, dan ekonomi seperti informasi tentang pergerakan pasar modal dan investasi.
Sedangkan informasi hiburan paling banyak dibaca. Bahkan informasi politik dan hukum menjadi barang hiburan di negara ini. Pejabat yang tersangkut masalah korupsi, perpecahan di partai politik atau skandal perusahaan besar menjadi hiburan kelas menangah yang hidupnya sangat membosankan dan depresif.
Informasi spritual tidak hanya melulu informasi tentang agama. Tapi justru biasanya dikemas dalam bentuk kisah-kisah sukses dan inspiratif. Informasi ini juga memiliki banyak konsumen.
Senior saya tersebut menjelaskan perbedaan pembaca di negara maju dan negara berkembang.  Pembaca di negara maju lebih tertarik dengan informasi yang bersifat emosional dan intelektual. Untuk mengetahui siapa dan daerah mana yang memerlukan bantuan. Dan informasi yang dapat dijadikan modal untuk mengembangkan diri atau institusi.
Sedangkan di negara berkembang seperti di negara ini pembaca cenderung memilih informasi hiburan. Berita politik dan hukum hanya untuk menjadi bahan pembicaraan di kantin kantor, gosip di group sosial media atau caci maki di dunia maya.
Informasi ini juga paling banyak digunakan organisasi entah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mendapatkan donor atau ormas untuk memeras pejabat negara. Tidak banyak yang dapat dilakukan dari informasi politik dan hukum yang sebenarnya memiliki pengaruh paling besar untuk masyarakat banyak.
Dari perilaku pembaca yang hanya tertarik pada unsur hiburan, tidak banyak yang dapat dilakukan media untuk mengedukasi masyarakat. Walaupun produk eduaktif tidak pernah berhenti disebarkan. Bahkan dimedia hiburan sekali pun.
Bukannya mengelak karena hanya dapat menyajikan berita-berita kacangan. Tapi mengajurkan ada baik pembaca mengintropeksi diri, seberapa banyak membaca artikel dan berita edukatif setiap hari. Karena kita semua tahu saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan persoalan.
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Kota Ini, Nona
Apa kabar? Aku sedang berada di sebuah kota dimana radikalisme merasuk ke sudut-sudut mushola, transaksi narkoba di depan mata, pembunuhan hal yang biasa, sindir dan nyinyir berdengung setiap saat di telinga. Sudah puluhan tahun kota ini tercabik, diperkosa, diracun. Aku selalu menjadi orang asing di kota ini. Melihat manusia-manusia yang menampakan diri dengan ragam topeng sampai tak ada jati diri yang tersisa.
Kota ini tidak lagi mengenal metafora. Ia kehilangan ironi. Di sebuah sudut kantin kampus terkemuka kawanku mengatakan kota ini sudah menjadi contoh tahapan kapitalisme lanjut. Dengan teori-teori ia jelaskan kota ini memiliki ragam wajah. Gedung-gedung tinggi dan megah. Secuil cercah berhasilnya pembangunan negara. Di satu sisi kota ini juga menyimpan gubuk-gubuk reyot yang siap setiap saat dihempaskan kebijakan penguasa.
Tak adalagi tangis di kota ini, Nona, tak adalagi. Amarah, dengki, dan amuk bercampur menjadi satu. Depresi, frustasi, obsesif tak adalagi obatnya. Dan kau sangat faham tentang itu semua Cantik, karena sudah lama kau mengalaminya. Deru suara mobil ambulan atau pemadam kebakaran sulit dibedakan. Karena keduanya berdenging setiap saat.
Nona, aku ingin menceritakan tentang keajaiban lain dari kota ini. Di pasar, kedai kopi, bar, diskotik atau klub striptis yang biasa aku kunjungi aku mendengar kota ini akan memiliki dua realita. Realita pertama adalah realita sesungguhnya, dimana tubuh indahmu dapat dilihat dengan mata telanjang. Realita kedua kota ini akan menciptakan realita maya.
Kota ini membangun peradapan lain di luar sana, Nona. Kau tahu kota ini membuat sebuah sistem komunikasi antar warga dengan pemerintahnya. Setiap orang dapat melapor menggunakan telpon genggam. Mereka bisa melaporkan apa saja, saluran air yang sumbat, sampah yang menggunung, atau jalanan rusak.
Warganya dapat melihat sudut-sudut kota dengan kamera yang ditanam dimana-mana. Warganya juga bisa mengawasi jalannya anggaran pemerintah kota dengan satu sentuh dilayar telpon genggam pintar mereka. Realitas nyata dibawa ke realita maya, Nona. Kota ini sungguh sangat menakjubkan, Nona.
Tapi bagaimana, Nona, untuk mereka yang tak memiliki telpon genggam pintar. Atau mereka yang tak tahu menahu tentang dunia maya. Dan semua yang aktif di dunia maya di kota ini Nona belum mewakili semua kepentingan warganya. Tidak semua yang dikatakan atau diinginkan warga di dunia maya adalah sesuatu yang benar Nona. Karena sudah beberapa lama semua permasalahan di kota ini dibawa ke dunia maya Nona. Mereka yang aktif didalamnya hanya bisa mencaci atau berbagi berita bohong.
Manisku, aku tahu kenapa kau pergi dari kota ini. Firasatmu tajam seakan dapat meramalkan masa depan. Aku hanya berharap kau baik-baik saja dimana pun kau berada. Banyak tempat lainnya untuk dapat melaju ke masa depan yang kau inginkan. Kota ini hanya sebuah medan pertempuran. Dan aku tahu kau sangat membenci peperangan. Dan kau juga sangat muak dengan kebencian.
Kota ini, Sayang, hanya berisi tumpukan kebencian yang tak berkesudahan.
1 note · View note
prosakata · 9 years ago
Text
Sebuah Laporan Tentang Keabdian
Seorang peneliti dari University of Arizona Wolfgank Flink mengatakan keabadian bukan sesuatu yang mustahil bagi manusia. Melihat terobosan biologi saat ini Wolfgank yakin suatu hari nanti manusia dapat abdi.
“Jika Anda berhasil entah bagaimana mencegah terjadinya kematian sel atau jika Anda berhasil memperpanjang masa hidup sel di luar alam rentang hidup mereka,”kata Wolfgank seperti yang dilansir dari Dailymail pertengahan Juli 2015 lalu.
Ia mengatakan saat ini progresnya memang masih kecil, melalui tahap demi tahap tapi ia optimistis akan ada lompatan besar untuk menembus rintangan yang selama ini menghadang.
Pada awal tahun lalu Yuval Nuh Harari, seorang profesor di Universitas Ibrani Yerusalem meramalkan bahwa orang kaya akan menjadi cyborg seperti Tuhan dalam 200 tahun ke depan. Menggunakan bioteknologi dan rekayasa genetika, Profesor Harari mengatakan orang kaya akan berubah menjadi tuhan tipe baru, yaitu manusia abdi dengan kekuatan penuh atas hidup dan mati.
Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat menahan godaan untuk “upgrade diri mereka,” kata Yuval di Telegraph.
Hal ini juga dikatakan oleh Proffesor Hariri "kita diprogram untuk tidak puas," katanya dalam pidato yang ia berikan baru-baru ini di festival sastra Hay di Wales.
Yuval mengatakan manusia tidak dapat puas bahkan ketika sudah mendapatkan kesenangan dan prestasi yang luar biasa.
“Mereka ingin lebih dan lebih,” kata Yova "saya pikir ada kemungkinan dalam 200 tahun ke depan atau lebih homo sapiens akan meng-upgrade diri menjadi beberapa gagasan tentang makhluk ilahi.”
Professor Harari mengatakan biar bagaimanapun hal ini akan dibatasi hanya untuk orang yang sangat kaya. Sampai sekarang, ia mengatakan masyarakat bersama-bersama telah menciptakan 'fiksi', seperti agama, uang dan gagasan hak asasi manusia.
Yoval mengatakan selama manusia masih berpegangan dan mengedalikan ‘fiksi-fiksi’ tersebut manusia akan terkendali.
"Tapi apa yang kita lihat dalam beberapa abad terakhir ini manusia menjadi lebih kuat dan mereka tidak lagi membutuhkan para Dewa atau Tuhan,” tambahnya.
Dia menambahkan bahwa tempat yang paling menarik di dunia dari perspektif agama bukanlah Timur Tengah, tetapi Silicon Valley.
“Sekarang kita mengatakan kita tidak membutuhkan Tuhan, hanya teknologi, "
Progresifitas yang menakutkan juga terjadi dalam perkembangan teknologi kecerdasan artifisial. Astronom teoritis Inggirs Sir Martin Reeves percaya umat manusia akan menghadapi era anorganik yaitu pada tahapan paska manusia, ketika manusia tidak lagi diartikan sebagai mahluk biologis. Ia mengatakan suatu saat nanti manusia tidak lagi berbentuk organik biologis tapi akan menyatu dengan teknologi.
Menurut astronom terkemuka dunia ini hal tersebut akan terjadi 25 tahun mendatang. Ketika tingkat kecerdasan buatan atau robot setara dengan manusia, bahkan mungkin menyainginya. Ia menambahkan selama 45 juta tahun bumi ada, abad saat inilah yang paling istimewa.
Dia mengatakan daya fikir dalam arti jumlah dan intensitas yang dilakukan oleh manusia jenis otak organik suatu saat nanti akan tergerus oleh kecerdasan buatan.
"Ada batas kimia dan metabolisme untuk ukuran dan kekuatan pemrosesan otak organik," tulis Sir Rees, dalam sebuah opini untuk Telegraph, ”mungkin manusia sudah mendekati batas-batas ini . Tapi tidak ada kendala seperti ini pada komputer berbasis silikon,” katanya.
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Asia Timur dan Indonesia: Antara Individu dan Masyarakat
Perbedaan yang mungkin tersirat tapi paling terasa pada sinema Asia Timur dengan Indonesia ada pada posisi karakter dalam cerita. Ya, selain teknologi dan budget juga sangat mempengaruhi tapi kemungkinan faktor yang dapat dibahas tanpa sangkut paut permasalah teknis adalah pengembangan karakter dalam cerita.
Karakter dalam film-film Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan berkembang pada persoalan individu. Karakter berkembang secara perlahan dengan mengedepankan pandangan-pandangan individunya. Walau tidak berarti benar-benar terlepas dari kondisi kultural masyarakat namun dalam film-film dua negara tersebut karakter dapat melampui struktur masyarakat.
Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia membahas film Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, dan Ketika Cinta Bertasbih. Ariel membicarakan bagaimana post-Islamisme masuk kedalam budaya layar di Indonesia. Menjadi alat pertarungan ideologis antar budaya Islam dengan modernitas barat. Menurut saya film-film tersebut menunjukan lebih dari itu.
Ketiga film tersebut menjadi penegas bahwa film yang disukai masyarakat Indonesia adalah film tentang budaya dan sosial. Dan pembuat film di Indonesia memang lebih suka film-film yang bertema sosial. Selain film religi ada film yang bertema sosial kultural seperti Laskar Pelangi dan Cahaya dari Timur. Walaupun bukan film benturan dua budaya yang  biasa ditemukan dalam film Indonesia kedua film ini menuturkan skema sosial dan budaya di Indonesia yang jarang terjamah.
Hampir semua sinema elektronik atau sinetron di Indonesia bertema keluarga dan hubungan antar tetangga. Ambil dua contoh Tukang Bubur Naik Haji sebagai sinetron terpajang dalam sejarah yakni 1746 episode dan Tetangga Masa Gitu sebuah situasi komedi yang luar biasa populer saat ini di Indonesia. Keduanya mengambil tema sosial. Hubungan antar tetangga, dengan segala bumbu konflik, romantik dan dramatik di dalamnya. Film Tanda Tanya yang disutradarai oleh Hanung Bramtyo pada tahun 2011 sebagai salah satu film modern Indonesia terbaik bertema pluralisme agama.
Budaya layar di Indonesia tidak melepaskan diri dari struktur masyarakat yang mengikatnya. Tidak mencoba meraih kebebasan individu. Membuat penonton semakin percaya tidak ada manusia yang dapat bebas seutuhnya dari budaya dan struktur sosial.  
Berbeda dengan sinema Indonesia. Film-film yang diproduksi di Asia Timur cenderung mempertanyakan norma, moral, nilai dan struktur sosial di dalam masyarakat. Karena manusia tidak hanya satu bagian dari sebuah perkumpulan yang dinamakan masyarakat. Manusia sebagai individu juga punya permasalahan yang kompleks dan semakin kompleks karena adanya batasan dan tekanan dari masyarakat.
Ambil tiga contoh dari Korea Selatan yakni Beauty Inside (2015), Man In Love (2014), dan Steel Cool Winter (2013). Dalam ketiga film tersebut karakter berkembang. Dengan tikungan plot yang tidak terduga membuat perkembangan karakter menjadi mengejutkan.
Para sineas Korea Selatan menciptakan alur cerita yang tidak didasari realita sosial, bukan pula ilusi yang mengambang dangkal. Tapi mendorong suralisme kedalam bobot yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Sineas Korea Selatan mempertanyakan hal-hal absurd namun dapat terjadi di dunia nyata. Bagaimana seseorang memiliki wajah yang berbeda setiap bangun tidur dalam Beauty Inside. Bagaimana preman yang sedang jatuh cinta terserang kanker otak tiba-tiba dalam Man In Love. Dan bagaimana seorang remaja dengan gangguan psikotik menjadi pembunuh berdarah dingin karena gosip dan rumor dalam Steel Cool Winter.
Begitu pula dengan Jepang. Film-film dari negara sakura ini selalu menyuguhkan filsafat dasar. Tentang apa arti kemanusian? Apa yang disebut moral? Kenapa norma begitu penting? Namun disajikan dengan bentuk fantastis sehingga tidak terlalu berat dan menjadi membosankan. Film-film Jepang menuturkan kisah-kisah absurd namun tidak membingungkan.  Selayaknya kisah fantastis, kisah yang muncul dari sebuah pertanyaan.
Seperti bagaimana seorang siswa SMP jenius tega membunuh anak gurunya dalam Confession (2010), bagaimana siswi SMA yang terkenal ramah menjadi teror bagi teman dan masyarakat dalam The World of Kanako (2014). Bagaimana siswa SMA sederhana tiba-tiba ikut permainan mematikan yang entah diciptakan oleh siapa  dalam As The Gods Will (2014).
Dalam drama televisi Korea Selatan yang saat ini tengah digemari di seluruh dunia juga tidak sedangkal sinetron Indonesia. Tema kedokteran yang menjadi salah satu tema favorit drama Korea Selatan. Doctor Stranger (2014), Medical Top Team (2013), dan Emergency Couple (2014). Ketiganya adalah drama romantik dengan latar belakang rumah sakit. Karakter dalam drama-drama tersebut berkembang sejalan dengan konflik percintaan dan karir mereka.
Budaya layar menjadi salah satu pendorong kemajuan sebuah bangsa. Film-film Jepang dan Korea Selatan mendorong penontonnya untuk berfikir sebagai individu. Individu yang menentukan baik atau buruk, benar atau salah. Segala keputusan diserahkan kepada individu, bukan masyarakat. Tidak terikat oleh polisi moral yang dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam film-film Jepan dan Korea Selatan masyarakat dengan struktur yang ketat, masyarakat yang menjadi polisi moral, masyarakat yang menuntut begitu banyak akan menciptakan kegilaan dan depresi kepada individu-individu yang berbeda. Mereka yang memiliki kondisi, situasi dan cara hidup yang berbeda dari orang-orang disekitarnya.
Dari sana sinema-sinema Asia Timur dapat diterima oleh penonton dunia. Karena mereka tidak membicara diri mereka sendiri melulu. Para sineas Asia Timur membicarakan kemanusiaan, tema-tema yang lebih universal. Dan segalanya berangkat dari individu.
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Jakarta, Terorisme dan Sastra
Jakarta sering menjadi latar dalam sastra Indonesia. Seperti puisi Yang Terampas dan Yang Putus karya Chairil Anwar. Bicara tentang daerah Karet di Jakarta Pusat. Saya juga sering membaca cerpen-cerpen yang berlatar Jakarta seperti cerpen-cerpennya Seno Gumira Ajidarma atau Eka Kurniawan belakangan ini.
Ayu Utami juga sering menjadikan Jakarta sebagai latar dalam novel-novelnya. Sebenarnya tidak jelas menyebut Jakarta. Tapi saat membaca karya-karya sastra itu saya sering membayang peristiwa dalam cerpen atau puisi itu terjadi di Jakarta. Saya asosiasikan kata-kata gedung-gedung bertingkat, kemacetan yang luar biasa atau sesak penuh manusia dengan Jakarta.
Dari karya-karya sastra tersebut terlihat Jakarta juga bagus menjadi latar dalam karya sastra. Tahun lalu saya membaca Lampuki karya Arafat Nur yang berlatar Aceh dan Cerita Dari Tulehu karya Zen RS yang berlatar Maluku. Menurut saya dua novel menyuguh cerita tentang Indonesia dari sudut yang sebelumnya jarang diangkat. Dua daerah konflik yang hampir dilupakan sejarah.
Sayangnya dua novel tersebut tidak terlalu berhasil di pasaran. Padahal ceritanya cukup kompleks, gaya tuturnya pun sangat lincah, plotnya juga kental dan karakter-karakter dalam dua karya tersebut sangat hidup. Jadi harusnya mendapat apresasi lebih dari kritikus.
Arafat Nur dan Zen R.S menulis dua daerah yang masyarakatnya sangat tertekan karena konflik. Dari yang saya tangkap selama ini karya-karya bagus itu berasal dari masyarakat yang tertindas. Seperti misalnya karya-karya dari penulis Amerika Latin yang ditindas kolonial. Penulis Amerika Latin menggambarkan kondisi masyarakat dengan surealisme dan realisme sekaligus seperti Gabriel Garcia Marquez, Mario Vargas Llosa, Isabel Allande, Jorge Amado dan beberapa penulis besar lainnya.  
Penulis terbesar Indonesia Pramoedya Ananta Toer juga menulis tentralogi Pulau Buru saat dalam penjara dan diasingkan oleh Orde Baru. Yang dapat saya petik dari penulis-penulis tersebut penindas dan tekanan adalah inspirasi yang paling berharga bagi penulis. Jakarta sudah babak belur dihajar moderintas, korupsi, urbanisasi, kriminalitas dan terorisme.
Sudah beberapakali aksi terorisme menghantam Jakarta. Kemarin Jakarta kembali diteror oleh serangkain bom dan penembakan. Teror dilakukan di pusat jantung Ibukota. Pusatnya-pusat dari segala pusat Jakarta. Pukulan terorisme di wajah Jakarta membuat warganya semakin jengah dengan kelompok-kelompok radikal. Mereka yang selalu merasa benar sendiri. Kelompok yang membunuh tanpa rasa berdosa.
Tiga hari sebelum serangan pun Indonesia dikejutkan dengan kelompok yang telah menghilangkan beberapa orang. Kelompok-kelompok radikal ini sudah sejak lama memperkosa kebebasan bicara dan merampas nyawa orang-orang yang tak berdosa. Sejak lima belas tahun lalu pada Bom Bali I kelompok teroris telah menghancurkan kententraman dan kenyamanan masyarakat Indonesia. Dari sudut pandangan saya ini sudah sebuah penindasan dan penjajahan. Takut bicara dan berkreasi adalah sebuah penghinaan besar bagi demokrasi.
Saya harap dengan tekanan dari para teroris banyak penulis yang terinpirasi dari kekejian ini. Karya yang ditunjukan untuk melawan. Untuk membuka cakrawala dunia, untuk tidak terseret tetek-bengek kepongahan media. Untuk membicarakan kekejaman dengan cara kreatif. Harus ada yang bicara tentang Jakarta yang terpenjara oleh terorisme. Karena Jakarta punya persoalannya sendiri dan terorisme bahaya eksternal yang seharusnya tidak terjadi. Dan sastra harus menyadarkan semua orang bahwa terorisme adalah virus yang harus dibasmi.
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Let's say you chase your dream and make whatever choices you want. If you can take responsibility for these choices until the very end, then it is the right decision to make. Yesterday is gone and tomorrow hasn't come yet. Every moment of your today maybe the last day to change your future.
0 notes
prosakata · 9 years ago
Text
Lorong Besi
Lorong-lorong gelap yang terbuat dari besi, deru suara kendaraan di bawah telapak kaki, cahaya lampu terang benderang dari gedung dan papan iklan. Perasaan penat dan gelisah serta badan yang penuh peluh dan debu. Pikiran yang terus waspada, tangan menggengam erat tas dan semua barang berharga di dalamnya, mata liar kesegala penjuru. Langkah pun disentak cepat, gegas dan beringas. Menabrak semua yang datang melintas.
Itu yang tergambar dalam fikiran saya ketika mendengar “Jakarta”. Dalam benak saya Jakarta adalah kota yang rapuh dan gemuruh. Setiap saya mendengar Jakarta, saya selalu terhempas dalam kenangan ketika saya berjalan di lorong besi shelter Transjakarta pada malam hari sepulang kerja. Jembatan besi Transjakarta pada malam hari adalah sebuah tempat dan momen, setidaknya menurut saya, yang menjadi bagian paling penting dari Jakarta.
Pada saat itulah Jakarta menjadi manis sekaligus bengis. Tempat dan momen pejuang kelas menengah Jakarta termanifestasikan. Posisi dan status mereka terlihat jelas. Tidak ada satu pun hal yang menghalangi, tidak ada ilusi sosial media, tidak ada manipulasi barang palsu, tidak ada satu pun hal yang dapat meluruhkan status mereka saat itu.
Dari perjalanan hidup dan semua yang sudah saya baca tidak ada tempat seperti lorong besi Transjakarta. Saya tinggal selama satu tahun setengah di Jawa Timur. Baru sekali saya berjalan di jembatan penyebrangan. Di Surabaya, jembatan penyebrangan terminal Bungurasih. Itu pun jembatan beton dan suasanannya sangat berbeda dengan lorong besi Transjakarta. Suasananya sepi dan gelap tidak ada riuh rendah seperti di lorong besi Transjakarta.
Di Jakarta ada ribuan jembatan besi. Dan setiap melaluinya saya selalu merasakan romantika yang sama. Romantika kejamnya Ibukota. Tapi lorong besi Transjakarta menyuguhkan aura yang berbeda. Bau keringat yang bercampur dengan parfum segala merek, laki-laki maupun perempuan yang berpakaian rapi. Dengan kemeja atau blus. Tas-tas pendaki gunung yang berisi laptop, botol minuman, berkas kerjaan dan bekal makan siang. Semuanya bercampur menjadi satu. Mata-mata yang tidak terlepas dari telpon pintar, jari-jari yang terus memencet layar, postur tubuh defensif. Wajah-wajah yang tertutup masker. Melindungi pemiliknya dari bakteri dan bau yang mencekam.
Sebuah pemandangan yang mengharu biru. Lorong besi Transjakarta cerminan kota metropolitan yang selalu dimanja. Tidak ada yang tempat yang paling depresif seperti ini di negara yang memiliki 17.000 pulau. Kota-kota lain di Indonesia terasa nyaman dan tentram. Saya mengikuti jejak teman-teman yang ditempatkan di daerah lain. Di Medan, Padang, Lombok, Bali, Bandung, Surabaya, dan saya sendiri di Malang selalu merasakan hal yang sama. Kenyamanan dalam melakukan semua kegiatan.
Semua kota mengalami hal yang serupa yaitu macet di pagi dan sore hari. Tapi tidak ada tempat yang menguras energi seperti di lorong besi Transjakarta. Jakarta adalah pusat Indonesia, segala yang memungkin dapat terjadi. Dan lorong besi Transjakarta pada malam hari menjadi representasinya. Kelelahan, kecurigaan, keacuhan, kesombongan, dan kemarahan ada di sana.
0 notes
prosakata · 10 years ago
Text
Keluarga Di Dalam Film
Suatu kali saya pernah mendengar dogma radikalis yang menyatakan untuk meninggalkan dan memusuhi keluarga, orang tua, kerabat dan sahabat bila tidak mau mengikuti ajaran mereka. Hal ini yang membuat saya membenci radikalisme dalam bentuk apa pun. Karena memusuhi orang tua adalah sebuah perbuatan gila.
Dulu waktu masih kuliah saya membuat sebuah kurikulum sendiri. Bukan kurikulum pelajaran tapi menonton film. Saya memilih untuk film bertemakan keluarga. Karena menurut saya, keluarga adalah bagian terintim dari manusia. Inilah tulisan saya tiga tahun yang lalu:
Keluarga adalah hal yang paling akrab, intim, dan romantik dalam hidup manusia. Secara pribadi saya sangat akrab dengan keluarga saya. Saat saya memiliki banyak kesibukan maupun tidak, saya selalu menyempatkan waktu untuk keluarga saya. Saya selalu berfikir “Apa pun yang saya lakukan toh untuk mereka”.
Menurut saya keluarga adalah awal dan tujuan hidup manusia. Lahir dan mati, pergi dan pulang, menangis dan tersenyum, jatuh dan bangun, semuanya, segala-galanya untuk keluarga. Tapi entah mengapa saya tidak ingat kapan saya pernah mempelajari keluarga. Saya belajar ilmu sosial yang mempelajari tentang manusia dan budayanya namun pelajaran tentang keluarga tidak banyak saya sentuh, mungkin saya lupa atau saya kurang memperhatikan di dalam kelas atau saya lebih tertarik membahas hal yang lain tapi saya benar-benar tak ingat pernah belajar tentang keluarga.
Saya belajar sistem kekerabatan. Tapi sistem kekerabatan dan  keluarga adalah dua hal yang berbeda. Keluarga bukan hanya tentang genealogi, bukan hanya tentang posisi, bukan hanya tentang orientasi nilai, keluarga bukan hanya tentang struktur. Keluarga jauh lebih intim daripada itu semua. Di Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Dasar seorang anak selalu diajarkan tentang posisi orang tua dan anak, tentang menghormati orang tua, tentang orang tua yang mengasihi dan menyangi anak-anak, perilaku akur dengan saudara.
Sebuah konsepsi abstrak yang ditafsirkan dan disimpulkan (inferensi) lalu dimanifestasikan lewat perilaku; membantu ibu merapikan tempat tidur, ibu membantu mengerjakan PR, ayah menjemput ke sekolah dan sebagainya. Hal-hal yang semuanya bersifat ideal. Saya fikir seseorang tak perlu memiliki keluarga yang ideal untuk dapat merasakan cinta-kasih, rasa saling memiliki, menghargai, dan keakraban dalam keluarga.
Ada empat film yang bertemakan keluarga saya tonton di awal tahun ini,; Parental Guidence, We’re The Millers, Lining Silver Playbook, dan The Odd Life of Timothy Green. Empat film drama Hollywood ini bukan film-film yang benar-benar istimewa tapi dapat merekonstruksi kembali arti keluarga yang selama ini dibekukan oleh institusi-institutisi pendidikan. Dari keempat film ini saya mendapatkan sebuah kesimpulan sederhana bahwa keluarga adalah fondasi seseorang untuk berbuat kesalahan, memperbaikinya kembali, jatuh lalu bangkit kembali, sadar, dan berubah.
Film pertama yang saya tonton adalah Parental Guidence. Film ini bercerita tentang kakek-nenek yang mengasuh cucu-cucu mereka selama sepekan selagi anak mereka ke luar kota. Sepasang kakek-nenek itu mendapatkan beberapa kesulitan. Pola pengasuhan yang dilakukan anak mereka kepada cucu-cucu mereka pola pengasuhan modern.  Akhirnya mereka dapat berteman baik dengan cucu-cucu mereka. Mereka mendapat cinta dan kasih dari cucu-cucu mereka.
Film kedua We’re Millers. Film ini bercerita tentang seorang pengedar narkoba yang membuat keluarga palsu untuk menyelundupkan ganja dari Mesiko ke Amerika Serikat. Si pengendar narkoba meminta seorang penari striptese menjadi istrinya¸ menjadikan tetangganya yang lugu menjadi anak laki-lakinya dan membuat seorang anak perempuan beradalan menjadi anak perempuannya. Mereka melakukan petualang yang akhirnya membuat mereka seakan-akan keluarga sungguhan.
Mereka harus berurusan dengan pengendar narkoba yang berusaha membunuh mereka. dikejar-kejar polisi, ada penghianatan dan kesetiaan yang membuat keluarga palsu ini menjadi keluarga sungguhan.
Film ketiga Lining Silver Playbook. Bercerita tentang seorang laki-laki pengidap bipolar. laki-laki itu mengalami depresi setelah memergoki istrinya selingkuh ia juga hampir membunuh selingkuhan istrinya. Setelah lama dirawat di rumah sakit jiwa ia pulang ke rumah orang tuanya. Suatu ketika ia bertemu dengan seorang perempuan yang juga mengalami depresi. Seorang perempuan yang kehilangan suaminya yang seorang polisi. Saya mencatat film ini membicarakan bagaimana orangtua mengasuh anak mereka yang sudah dewasa dalam keadaan depresi dan sakit jiwa. Bagaimana keluarganya membantunya untuk sembuh. Untuk kembali mandiri.
Yang terakhir The Odd Life of Timothy Green.  Bercerita tentang pasangan muda yang divonis tidak dapat memiliki anak. Akhirnya mereka menuliskan karakter seorang anak dilembaran-lembaran kertas lalu mereka menanam lembar-lembar tersebut dipekarangan rumah mereka. Tiba-tiba lembaran-lembaran tersebut berubah menjadi seorang anak laki-laki. Anak tersebut memiliki karakter yang luar biasa, ia selalu dapat melihat sisi baik dari berbagai hal.
Pasangan tersebut pun menjadi orang tua yang luar biasa. Anak tersebut memiliki daun-daun dikakinya yang gugur beriringan saat ia menujukan karakter terbaiknya kepada orangtuanya. Setiap orang pasti melakukan kesalahan tak terkecuali orangtua. Tapi cinta yang tulus membuat seseorang terus belajar dari kesalahan-kesalahannya. Orangtua tidak mencintai anak mereka karena karakter anaknya, cinta orangtualah yang membentuk karakter anaknya.
Empat film di atas memiliki narasi yang sama. Sedangkan naratif yang saya maksud mengacu kepada Bordwell dan Thomson.
A narrative begins with the one situation; a series of changes accours according to patterns of causes and effects; finally, a new situation aries which brings about the end of narrative/ a narrative is a not natural object; its a event do not in the same real world in which we exist. Instead, a narrative is a human artifact construct.
Setiap film di atas memiliki bentuk narasi yang sama. Film sebagai media gagasan berusaha membentuk perpektif penonton. Menciptakan sebuah memobrelia, titik tolak dan imajinasi. Dalam masyarakat ide tentang keluarga berasal dari budaya. Keluarga yang baik akan menghasilkan anggota keluarga yang sukses dan mandiri. Film-film di atas berusaha mendekonstruksi perpektif penonton tentang keluarga yang bahagia.
Keluarga bahagia bukanlah keluarga yang memiliki materi yang berlebihan, mempunyai pendidikan tinggi, ketat dalam aturan dan norma. Tapi keluarga yang bahagia adalah keluarga yang mampu memaafkan sebesar apa pun kesalahan anggota keluarganya. Menjadi tempat pulang. Menjadi tempat untuk belajar. Tak mencela bila melakukan kegagalan. Tempat seseorang tumbuh.
Dari sudut pandang psikoanalisis keempat film di atas mampu menyadarkan penonton tentang makna keluarga yang selama ini dimiliki. Kesadaran tersebut tidak serta-merta meleburkan ide tentang keluarga yang sudah ada sejak lama dibenak seorang penonton. Kesadaran tersebut terbangun berdasarkan pengalaman dan kenangan tentang keluarga yang dimiliki penonton. Hal ini dijelaskan oleh E.H. Gombirch dalam art & Illusion: A study in the psychology of pictorial representation.
The experinence of likeness is a kind of perceptual fusion based on recogintion, and here as always past experience will colour the way we see a face. It is on this fusion of unlike configurations that the experience of physiognomic recognition rest.
(Pengalaman akan kemiripan adalah semacam peleburan perseptual berdasarkan pengenalan, dan di sini pengalaman masa lalu akan mewarnai kita melihat suatu wajah. Adalah pada peleburan bentuk-bentuk tidak mirip inilah bersandar penagalaman dari pengenalan fisionomik)
Penonton diajak untuk mengenang kembali keluarga yang mereka miliki, makna apa yang mereka letakkan, dan konsepsi apa yang mereka bentuk tentang keluarga yang ideal. Keempat film ini di atas menyadarkan penontonnya, setidaknya saya, bahwa hanya keluarga yang mampu memaafkan kesalahan sebesar apa pun itu. Keluarga adalah tempat tumbuh dan belajar. Tempat untuk jatuh, gagal dan bangkit lagi.  
0 notes