recordoffleetingthoughts
recordoffleetingthoughts
the way i feel the things i feel
12 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
recordoffleetingthoughts · 7 years ago
Photo
Tumblr media
For three years I have been making a habit of visiting a mosque in every foreign country I travel to. Last year, by Allah’s will, I finally got to visit London. 
Mosques were quite easy to find in the city, so I decided to visit the closest one to where I stayed, which was London Central Mosque. I initially planned to perform the combined Dzuhr and Ashr prayers. However, since I arrived late in the afternoon, I decided to stay for the Maghrib congregational prayer. 
It was a completely humbling experience to hear the imam recited Qur’an verses so beautifully at such a huge mosque in a land where the number of muslim population is way smaller than Indonesia, and to pray together with sisters who spoke English with various accents. It made me realise that the prayer was the tie that bound us together, regardless of our differences in the way we looked like and how we prayed. That time, I could feel a strong bond among us. That time, I felt at home.
1 note · View note
recordoffleetingthoughts · 7 years ago
Text
Tentang Pencarian
Setahun sudah gue, nyokap dan bokap menempati rumah ini. Nggak terbayang kalau akhirnya kami berjodoh dengan rumah ini. Sebenarnya nyokap dan bokap sudah tahu kalau rumah ini akan disewakan, tapi saat itu sedang tahap renovasi. Pemiliknya pun bilang bahwa proses perbaikan masih cukup lama sedangkan kami harus segera pindah dari rumah yang kami tempati saat itu. Mungkin memang Allah sudah menyediakan tempat yang lebih baik, pikir kami dulu.
Bukan perkara mudah untuk mencari rumah yang sesuai kemampuan dan kemauan.. apalagi dalam waktu yang singkat. Karena tidak menemukan yang cocok di permukiman ini, kami melebarkan ruang pencarian ke daerah sekitar sekaligus menurunkan ekspektasi. Seperti yang gue tulis di post sebelumnya, sebenarnya kami sangat suka tinggal di kompleks ini. Hampir semua aspek mendekati ideal, tetapi kalau tidak ada rumah yang sesuai apa mau dikata.
Dari semua alternatif, sebuah rumah baru berlantai dua dengan desain minimalis yang terletak di kluster seberang jalan menjadi kandidat terbaik dalam segala sisi. Secara keseluruhan lumayan, walaupun sejujurnya gue ragu. Entah kenapa. Keraguan itu gue sampaikan kepada bokap dan nyokap dalam kunjungan kedua ke rumah tersebut. 
“Kita masih harus beli ini itu, lho. Terus toiletnya sempit dan nggak ada ventilasi. Serem nggak sih?” komentar gue. Waktu itu sedang ramai pemberitaan tentang keluarga yang disekap di kamar mandi dan kemudian meninggal dunia. Wajar dong, kalau gue jadi agak waswas.
“Mau cari ke mana lagi? Ini sudah yang paling baik, insya Allah. Kamu kan lihat sendiri.” jawab nyokap dengan suara tinggi. Gue paham, dia sudah lelah mencari, walaupun gue juga merasa dia tidak 100% mantap memilih rumah itu.
Gue diam.
“Jadi gimana nih? Aku nggak tahu mau cari ke mana lagi, lho.” sambung nyokap. 
Gue tetap diam karena nggak bisa menjawab pertanyaan nyokap. 
“Kita pulang aja, nanti di rumah kita pikirkan lagi.” sahut bokap memecah keheningan. 
Gue tahu banget bokap juga nggak yakin dengan rumah itu. Kalau boleh memilih, dia ingin tinggal di rumah berkamar empat yang terletak di gang sebelah (yang ternyata rumah teman SD gue). Masalahnya, nyokap sangat tidak setuju karena selain jumlah kamar yang terlalu banyak dan rumahnya terlalu besar, ventilasinya kurang bagus. Ditambah lagi, perasaannya tidak enak ketika mengunjungi rumah itu. Gara-gara rumah ini, bokap dan nyokap sering berdebat. Bokap ngotot mau tinggal di situ karena berarti kami tidak perlu meninggalkan kompleks ini, tapi nyokap tetap pada pendiriannya. Di satu sisi gue juga nggak pengen meninggalkan kompleks ini; di sisi lain gue setuju dengan nyokap.. tapi nggak perlu lah gue menambah runyam keadaan dengan mengemukakan pendapat gue.
Gue akui kalau gue memang selalu membandingkan semua alternatif rumah dengan rumah yang kami tempati saat itu. Ujung-ujungnya tetap rumah yang kami tempati saat itu yang “menang”.. tapi masalahnya kami nggak bisa bertahan di sana. Mungkin keterpaksaan itu yang membuat gue nggak sreg dengan rumah manapun sehingga gue selalu menemukan kekurangan di ketiga rumah itu. Gue belum bisa menerima keadaan, tapi harus. Gue juga nggak tega melihat bokap dan nyokap yang sepertinya sudah hampir menyerah. Akhirnya gue katakan kalau gue setuju saja. Nyokap kemudian mengontak agen properti rumah kluster tersebut untuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan sekaligus membayar tanda jadi.
Akan tetapi, janji pertemuan yang beberapa kali sudah disepakati tersebut selalu batal. Ada saja alasan si agen yang membuat kami beranggapan dia/pemilik rumah nggak niat menyewakan rumah. Nyokap menyampaikan hal ini pada pemilik rumah yang kami tempati saat itu untuk meminta tambahan waktu, yang untungnya dikabulkan. Walaupun demikian, masalah belum selesai, kami tetap belum dapat rumah. And the clock is ticking.
Gue masih ingat saat injury time itu: Minggu pagi yang gloomy karena hujan dan ketidakpastian. Gue berdiri di teras rumah, bokap duduk di ruang tamu, dan nyokap berada di kamar dengan pintu terbuka.
“Belum ada kabar Pah, dari si agen?” tanya gue.
“Belum. Tau tuh nggak jelas..” jawab bokap.
“Yah nanti di rumah yang sana (kluster) nggak bisa duduk-duduk di teras, deh..” sambung gue.
“Iya, ngga ada. Langsung jalanan.” sahut bokap.
Rupanya nyokap mendengar pembicaraan kami dan menanggapi dengan suara tinggi.
“Kalian ini mau tinggal di mana sih? Kalau di situ (kluster) nggak jelas, di mana coba yang jelas?? Keadaan di sana ya memang begitu, nggak ada terasnya.. tapi cuma itu piihan yang kita punya saat ini!” kata nyokap setengah berteriak.
“Aku kan cuma bilang “nggak bisa duduk-duduk di teras” aja..” jawab gue, mencoba menjelaskan maksud gue sebenarnya. Sungguh gue nggak ada maksud membuat nyokap marah.
“Ya nggak usah banding-bandingin! Papah juga, emang rumah si X (rumah teman SD gue) jelas?? Terserah kalian lah mau tinggal di mana! Aku nggak mau cari lagi! Udah capek!” kata nyokap lagi, suaranya sudah mulai bergetar.
Bokap membalas perkataan nyokap dengan intonasi tinggi. Lagi-lagi mereka beradu argumen yang membuat gue bosan dan sedih (dan gue yakin mereka juga merasakan hal yang sama). Gue masuk kamar, berusaha men-distract diri sendiri supaya nggak mendengar pertengkaran mereka yang terus berlanjut untuk beberapa saat, sampai ada suara telepon, yang ternyata pemilik rumah yang kami tempati saat itu. Greeeeat. Just great. Gue mendengar nyokap menjelaskan keadaan saat itu dan kembali meminta waktu kepada pemilik rumah, walaupun dia sudah beberapa kali memberikan perpanjangan waktu. Pemilik rumah setuju, mungkin karena nggak tega juga. 
Ada keheningan yang luar biasa tidak nyaman setelah nyokap menutup telepon, yang membuat gue berharap punya lebih banyak uang supaya punya lebih banyak pilihan. Supaya drama-drama serupa nggak terjadi lagi. Supaya bokap dan nyokap bisa hidup nyaman. 
Gue mendengar bokap masuk kamar mandi, menyalakan keran dan memunculkan suara air menabrak lantai. Saat itu sekitar jam 10, dia berwudhu untuk shalat Dhuha. Gue mengikuti jejaknya, menutup pintu kamar dan menggelar sajadah. Gue mendengar nyokap juga melakukan hal serupa. Pada tiga tempat berbeda di dalam rumah, dalam waktu yang bersamaan, tiga manusia yang hampir putus asa mencurahkan perasaan pada Yang Maha Kuasa. 
Lagi-lagi, pertolongan Allah datang di saat makhluknya terdesak. Sesaat  setelah kami selesai shalat Dhuha, tiba-tiba gue mendengar nyokap mengontak pemilik rumah ini. Out of the blue. Ternyata saat itu renovasi rumah ini sudah hampir selesai, hanya butuh sekitar 3 - 4 hari sampai rumah ini siap dihuni kembali. Pada hari yang sama, pemilik rumah mengundang kami untuk datang ke rumah ini.
“Pah, Pah, ayo kita ke rumah Pak Y. Rumahnya sudah jadi!” kata nyokap setelah selesai berbicara di telepon. Suaranya bindeng tanda dia habis menangis (saat itu dia nggak pilek). 
“Rumahnya sudah jadi?” tanya bokap seakan tidak percaya.
“Iya! Ayo cepet!” kata nyokap. 
Gue mendengar langkah nyokap mendekat ke kamar gue. 
“Aku sama Papah mau ke rumah Pak Y (pemilik rumah ini). Katanya sudah jadi. Kamu mau ikut?” tanya nyokap setelah membuka pintu kamar, dengan nada bersemangat.
“Nggak, malas pakai kerudung.” jawab gue sekenanya, padahal gue deg-degan. 
“Oke. Aku ke sana dulu ya, sama Papah.” kata nyokap. Gue mendengar harapan pada suaranya, yang juga ada dalam hati gue saat itu. Please let this be the answer, God.. please.
Gue ingat saat awal pencarian rumah, beberapa kali nyokap dan bokap bercerita tentang betapa mereka menyukai rumah ini. Gue, walaupun baru sekali melihat penampakan rumah ini dari luar, percaya bahwa pilihan nyokap hampir selalu benar (termasuk pilihannya untuk teman hidup). Apalagi itu berarti kami tidak perlu pindah ke kompleks lain. Jadi, tidak ada keraguan sedikitpun untuk memilih rumah ini. Sayangnya, karena alasan renovasi seperti yang gue jelaskan di atas, rumah ini kami coret dari daftar pilihan dan buang jauh-jauh dari pikiran, regardless how much we like it. It was like love at the first sight, but the person I love was not available.
Handphone gue berbunyi sekitar setengah jam setelah mereka pergi. Tulisan “Papa” muncul di layar. 
“Halo, kamu mau ke sini nggak? Rumahnya bagus banget! Mamah juga suka.” kata bokap dengan nada ceria.
“Harganya gimana?” tanya gue.
Bokap menyebutkan angka sama seperti yang pernah pemilik rumah bilang beberapa waktu lalu, which perfectly met our budget.
“Alhamdulillah! Oke, mau bayar sekarang? Minta nomor rekeningnya, Pah.” jawab gue, yang nggak bisa menyembunyikan kegembiraan. 
“Nggak, kata dia nanti aja kalau rumahnya sudah siap 100%. Kamu setuju ya kita ambil rumah ini?”
“Setuju banget insya Allah!”
Mata gue basah. Apa yang kita anggap tidak mungkin ternyata begitu mudah menjadi mungkin dengan izin Allah. Ternyata kami memang berjodoh dengan rumah ini. Ternyata inilah alasan kenapa kami selalu gagal bertemu dengan agen/pemilik rumah kluster di seberang jalan… because here is where we are supposed to be.
And here we are, one year later.. still amazed by how The Turner of the Hearts manages our affairs.
0 notes
recordoffleetingthoughts · 8 years ago
Text
A Year of Change
“Life is funny isn’t it? Just when you think you’ve got it all figured out, just when you finally begin to plan something, get excited about something, and feel like you know what direction you’re heading in, the paths change, the signs change, the wind blows the other way, north is suddenly south, and east is west, and you’re lost. It is so easy to lose your way, to lose direction.”
Sejak akhir tahun lalu, gue sudah mengira 2017 akan jadi tahun penuh perubahan. Semakin mendekati waktunya, gue merasa semakin grogi. Tidak pernah merasa siap, tetapi harus siap.
Pertama, pindah rumah. Lagi. Ketika masuk rumah ini untuk pertama kalinya pada dua tahun lalu, gue berharap akan tinggal di sini bertahun-tahun, kalau bisa lebih lama dari durasi tinggal di rumah sebelumnya (11 tahun). Dari semua aspek, rumah ini sangat mendekati ideal buat gue, bokap dan nyokap. Bahkan gue membayangkan dilamar di rumah ini. Namun apa daya, pemilik rumah tiba-tiba berubah pikiran.. padahal yang melamar aja belum kelihatan jambangnya. To add salt to injury, waktu yang dikasih ke bokap, nyokap, dan gue untuk pindah juga relatif singkat. Andaikan si Ibu tau cari rumah yang sesuai dengan kemampuan dan keinginan itu sesusah nyari Uber ketika hujan di jam pulang kantor tanpa surge price..
plus I friggin’ hate moving. It takes a lot of effort to pack and unpack. It’s also painful to say goodbye.
Kedua, pindah kantor. Lebih tepatnya ganti majikan. Majikan menjual salah dua asetnya berikut karyawan yang menjadi bagian aset-aset tersebut, salah satunya yours truly. Dibanding yang baru, si calon mantan ini unggul jauh dalam hampir semua hal, tapi harus bertekuk lutut karena *drumroll* uang. Ibarat David and Goliath. David mungkin lebih jago dari segi pendanaan, tapi banyak kabar tentangnya yang bikin waswas. Belum lagi dinamika masa transisi yang bikin sakit kepala walaupun di saat yang sama memberi banyak banget pelajaran buat gue. Kalau kata almarhum Sutan Bhatoegana, ngeri-ngeri sedap. Perubahan ini akan efektif 1 April mendatang. Sampai sekarang, jauh di lubuk hati gue masih ada setitik harapan kalau ini cuma lelucon April Mop walaupun harapan itu sudah hampir 100% palsu *tabok2 muka sendiri*. Lagi-lagi, awalnya gue berencana ikut si juragan karena doi terlihat, terasa dan terbukti paling oke dibanding agan-agan sebelumnya. Ternyata belum sampai 3 tahun kebersamaan kami, dia udah minta putus. Mungkin ini yang dimaksud dengan “what goes around comes around”, dulu-dulu selalu gue yang kabur dari majikan.. eh sekarang keadaannya terbalik. Kalau perusahaan ini bisa ngomong, mungkin dia akan bilang, “It’s not you, it’s me." Mamam.
Home and work, the only things in my life that I thought were right, have become the things that make me stay awake at night. Dear self, hang tight.
Bismillah.
0 notes
recordoffleetingthoughts · 8 years ago
Photo
Tumblr media
I flew thousands of miles to see you. And it was worth it.
0 notes
recordoffleetingthoughts · 9 years ago
Text
When Too Cheap is Too Cheap
Sampai 2 bulan lalu, gue selalu naik ojek pangkalan setelah turun bus di “terminal” Jatibening untuk pulang ke rumah karena: 1) Memang di sana pangkalan ojek, 2) Kasihan sama para tukang ojek konvensional yang pendapatannya mungkin berkurang sejak ada ojek berbasis aplikasi. Dengan kata lain, bagi-bagi rejeki.
Sejak makin banyak tukang ojek tengil di sana yang suka seenaknya menaikkan tarif, gue beralih ke Go-Jek. Apalagi sebagai customer Go-Pay, tarif yang harus gue bayar semakin murah. Walaupun harus jalan sedikit lebih jauh untuk ketemu tukang Go-Jek (di terminal Jatibening ada spanduk gede tentang larangan ojek online mangkal/ambil penumpang di situ), gue rela. Demi tarif yang jelas dan pelayanan yang lebih baik.
Tarif normal ojek pangkalan dari terminal Jatibening ke rumah gue adalah Rp10.000. Sejak pakai Go-Jek, biaya yang harus gue keluarkan bervariasi, tentu saja lebih murah. Lucunya, tarif tergantung gue pesan di titik mana, dan bisa berubah hanya dengan beberapa langkah (it sounds stupid but it is true). Nominal yang harus gue bayar berkisar di angka Rp4.000 - Rp8.000. Tapi rekor pecah hari ini, cuma Rp2.000! Yes you read it right, DUA RIBU RUPIAH.
Gue belum paham tentang cara Go-Jek menetapkan tarif untuk kasus ini. Memang aneh banget kalau jumlah yang harus gue bayar berubah cukup signifikan cuma gara-gara gue jalan lima langkah ke depan. Menurut gue dua ribu perak untuk naik ojek dengan jarak sekitar 1,5 kilometer itu sungguh nggak masuk akal. Sebagai pengguna jasa gue seharusnya senang karena tarifnya luar biasa murah dan bisa berhemat, tapi entah kenapa ini bikin gue miris.
Gue tau penumpang selalu bisa kasih tip, dan mungkin gue yang terlalu berlebihan, atau terbawa perasaan, but it just does not feel right…
0 notes
recordoffleetingthoughts · 10 years ago
Photo
Tumblr media
These people give you a huge wake-up call you deserve. And you are reminded again of your dream…
0 notes
recordoffleetingthoughts · 10 years ago
Text
Praying Wholeheartedly
“When was the last time you pray wholeheartedly, and not distracted by worldly thoughts?”
“Why can’t you enjoy praying for 5 minutes like you enjoy watching TV series for hours?”
“How can you finish that bestselling book in a day but can’t manage to complete reading the Quran in a month?”
These are some of the questions I often hear in my mind. As a muslim, the struggle is real. I have been striving to strengthen my faith and focusing on my happiness in the afterlife (akhirah). Worldly distractions are so powerful that sometimes they are able to lower my enthusiasm toward doing quality prayer (salah), reading Quran, and attending Islamic class/seminar in mosques.
During today’s Dzuhur prayer, I felt so emotional without reasons and started crying all of a sudden, yet at peace. Especially when I placed my forehead on the floor (sujood). Although I cried like a baby, I felt like nothing seemed to matter anymore. I felt really close to Allah. That is such a luxury, which I always want to experience all over again.
I realize that I may not be able to reach this state every time in my prayer. I fully acknowledge the fact that many times I pray just to fulfill my obligation, which is kind of sad. I often find myself think about work and other things I should not be thinking during prayer, and this most likely happens because of my weak faith. I fall into evil’s traps because I still love dunya more than akhirah, although it was said in Quran Surah Al Hadid (57:20) that this world is only a deceiving enjoyment. I may have failed many times, but I know Allah knows how bad I want to change.
Despite me frequently losing the battles, my wish remains the same: to pray properly and meaningfully. I want to be able to enjoy every second of praying and feeling connected to Allah; not only give the bare minimum and do it in a hurry. I know it is going to be challenging, but Allah guides whom He wills, and with Allah’s guidance, it will be easier for any of us to keep increasing and renewing our faith. May He always soften our hearts, detach us from worldly desires, and lead us to the right path.
“Oh Allah, we ask you with the greatness of your names and attributes that you renew the iman in our hearts and you make it dear to our hearts and make us hate sins and disobedience and make us among those who are wise and have sound iman.” – beautiful prayer from http://dailyduaa.com/iman-faith/
0 notes
recordoffleetingthoughts · 10 years ago
Photo
Tumblr media
This is heartbreakingly beautiful, and sums up terrible things happen in the world these days. Nevertheless, I hope we will keep spreading love and being kind to each other.
[taken from someone’s Facebook account]
1 note · View note
recordoffleetingthoughts · 10 years ago
Photo
Tumblr media
“Fall has always been my favorite season. The time when everything bursts with its last beauty, as if nature had been saving up all year for the grand finale.” -- Lauren DeStefano
0 notes
recordoffleetingthoughts · 10 years ago
Photo
Tumblr media
Tokyo is so good at being charming.
0 notes
recordoffleetingthoughts · 10 years ago
Text
If Tokyo were a guy...
he would be like that guy from work. You knew he existed, but did not know him much. He actually looked nice, but somehow you thought he was just not your type. You occasionally bumped into him, smiled out of courtesy, and that was it.
Suddenly everyone talked about him. You frequently heard how awesome he was and saw pictures of your colleagues going on trips with him. It looked like they had fun. One of them said, “You should join us next time. We really had a blast. He is a great guy!” You just smiled and said, “Maybe later.”
It turned out some of your good friends and your cousins knew him too. They spoke so highly of him and suggested you going out with him. You wondered what was so special about him. Then you googled him only to find more good things about him. You constantly brought him up in the conversation with your colleagues/good friends/cousins. You began to see him everywhere and started to get intrigued by him. 
Finally you decided to spend some time with him, to get to know him better. You got really excited, but also anxious. It was such a pleasant feeling you have not felt for quite a long time. He met you at a busy train station and both of you took a long walk on that autumn night. It was cold but you felt all warm inside. You have never expected him to be that amazing, that polite, and that friendly. You also felt safe with him. The next thing you knew, you have been completely charmed by him. 
0 notes
recordoffleetingthoughts · 10 years ago
Text
Starting Over
Hello. Turns out I lost access to my old Tumblr account (http://thejuillet29.tumblr.com).
So here I am... ready to start over. 
0 notes