refiputramadhan
refiputramadhan
R.Putra
248 posts
"A wandering soul, piecing together the fragments of who I used to be. Lost in echoes of yesterday, yet still searching for the self I’ve yet to become. Healing is not a destination—it’s a quiet rebellion, a whispered defiance against the void. I walk forward, even when my shadow still lingers behind."
Don't wanna be here? Send us removal request.
refiputramadhan · 3 months ago
Text
📌 Surat untuk Diri Sendiri #08
Hai, Refi.
Aku pernah berpikir bahwa setelah cinta yang lalu, hatiku tak lagi bisa merasakan hal yang sama. Seolah-olah semua yang pernah ada telah pergi bersama waktu, meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus. Aku membiarkan diriku hanyut dalam keyakinan itu, sampai akhirnya seseorang datang—mencoba menapaki jalan yang belum tentu bisa kulewati lagi.
Seseorang yang pertama aku temui setelah segalanya runtuh. Dia datang dengan caranya sendiri, membawa kehangatan yang awalnya sulit kucerna. Dia memahami luka-lukaku, tidak memaksaku melupakan, tidak menuntut lebih dari apa yang bisa kuberikan. Tapi justru di situ aku merasa bingung. Apa yang kucari? Apa yang kubutuhkan? Apa aku benar-benar siap? Atau aku hanya takut sendiri?
Perasaan ini ada, perlahan tumbuh, tapi tidak menggebu. Kadang aku merasa nyaman, kadang aku ragu. Ada momen di mana aku ingin melangkah lebih jauh, tapi ada juga saat di mana aku merasa masih terikat pada sesuatu yang tak lagi bisa kugenggam. Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri—apakah aku sedang belajar mencintai lagi, atau aku hanya mencoba meyakinkan diriku bahwa aku mampu?
Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, termasuk diriku sendiri. Tapi yang lebih sulit dari itu adalah mencari jawaban di dalam hati yang masih berantakan. Mungkin aku harus berhenti bertanya dan membiarkan waktu yang menjawab. Atau mungkin, ini bukan tentang jawaban—melainkan tentang bagaimana aku berani menerima perasaan yang ada, tanpa harus memaksanya menjadi sesuatu yang seharusnya.
0 notes
refiputramadhan · 3 months ago
Text
Tumblr media
300 notes · View notes
refiputramadhan · 3 months ago
Text
"Perasaan ini mungkin tidak akan pernah hilang. Aku tidak akan memaksanya lenyap, tapi aku juga tidak akan membiarkannya menahan langkahku. Aku akan menyimpannya—bukan sebagai belenggu, tapi sebagai bagian dari siapa aku sekarang." "Maybe this love will never fade. I won’t force it to disappear, but I also won’t let it hold me back. I will keep it—not as a shackle, but as a part of who I am now."
0 notes
refiputramadhan · 3 months ago
Text
"Dia telah menghapus jejakku dari hidupnya, dan itu menyakitkan. Tapi mungkin ini adalah cara semesta memberitahuku bahwa aku juga harus mulai berjalan tanpa melihat ke belakang." "They have erased my presence from their life, and it hurts. But maybe this is the universe’s way of telling me that I, too, must start walking without looking back."
0 notes
refiputramadhan · 3 months ago
Text
"Penyembuhan bukan tentang melupakan, tapi tentang menerima bahwa luka akan selalu ada—namun aku tidak lagi membiarkannya mendikte jalanku." "Healing is not about forgetting, but about accepting that the wounds will always be there—yet I will no longer let them dictate my path."
0 notes
refiputramadhan · 3 months ago
Text
"Aku pernah jatuh begitu dalam hingga kupikir aku tak akan pernah bangkit lagi. Tapi di dasar kehancuran, aku menyadari satu hal: aku masih bernapas, dan itu berarti aku masih bisa mencoba." "I have fallen so deep that I thought I would never rise again. But in the depths of my ruin, I realized one thing: I am still breathing, and that means I can still try."
0 notes
refiputramadhan · 3 months ago
Text
"Perpisahan bukan sekadar kehilangan seseorang, tapi kehilangan versi diri yang dulu merasa utuh bersamanya. Dan kini, aku harus menemukan kembali diriku." "Goodbye is not just about losing someone, but losing the version of myself that once felt whole with them. Now, I must find myself again."
0 notes
refiputramadhan · 4 months ago
Text
📌 Surat untuk Diri Sendiri #07
Hai, Refi.
Ada satu hal yang akhirnya aku sadari: perasaan ini tidak akan hilang. Aku bisa berpura-pura melupakan, bisa mencoba menepis, tapi jauh di dalam hati, cinta ini tetap ada. Tidak berkurang, hanya berdiam dalam ruang kecil yang tak terjangkau oleh siapa pun, bahkan oleh waktu.
Dulu, aku bertanya-tanya, apakah aku bodoh karena masih mencintainya? Tapi kini aku mengerti, ini bukan tentang kebodohan atau kelemahan. Ini tentang keberanian mengakui bahwa aku pernah mencintai dengan tulus, dan itu bukan sesuatu yang harus kusesali.
Namun, aku harus belajar menyimpan perasaan ini tanpa menjadikannya luka. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya, merindukan sesuatu yang tak akan kembali. Cinta ini mungkin abadi dalam diriku, tapi bukan berarti aku harus berhenti melangkah.
Aku harus belajar memisahkan cinta dari kehilangan. Aku bisa tetap menyayangi tanpa berharap dia kembali. Aku bisa menghargai kenangan tanpa terperangkap di dalamnya. Karena pada akhirnya, dia sudah memilih jalannya, dan aku pun harus memilih jalanku.
Akan ada hari-hari di mana aku masih merindukan suaranya, pelukannya, senyumannya. Tapi aku tidak boleh membiarkan itu menghentikanku. Aku harus menjalani hidup untuk diriku sendiri, bukan untuk bayangan masa lalu.
Mungkin cinta ini seperti bunga abadi—tidak layu, tidak mati, hanya tetap ada di tempatnya. Tidak perlu dihilangkan, cukup dibiarkan mekar di dalam hati. Aku akan menyimpannya, bukan sebagai beban, tetapi sebagai sesuatu yang mengajarkanku tentang ketulusan. Bukan sebagai sesuatu yang mengikatku di masa lalu, tetapi sebagai pengingat bahwa aku pernah mencintai dengan segenap hatiku.
Jadi, aku tidak akan melawan perasaan ini lagi. Aku akan membiarkannya tetap ada, tapi kali ini, bukan sebagai sesuatu yang menyakitkan. Aku akan menyimpannya sebagai bagian dari diriku, sebagai bukti bahwa aku pernah mencintai dengan tulus. Dan dengan itu, aku akan melangkah ke depan, membawa cinta ini bukan sebagai belenggu, tetapi sebagai kebebasan.
1 note · View note
refiputramadhan · 5 months ago
Text
📌 Surat untuk Diri Sendiri #06
Hai, Refi.
Ada satu momen dalam perjalanan ini yang menjadi titik balik, meskipun aku tidak tahu apakah itu benar-benar awal dari kebangkitan atau hanya jeda di antara luka-luka yang masih terbuka. Tapi yang pasti, ada sesuatu yang berubah.
Perasaan itu masih ada, mengalir pelan di antara kenangan dan kenyataan. Tapi yang tersisa kini bukan lagi harapan, bukan lagi mimpi-mimpi tentang kembali bersamanya. Yang tersisa adalah pahitnya kenyataan bahwa dia telah benar-benar menutup semua pintu. Semua media sosial yang pernah menghubungkan kami kini hanya menyisakan kekosongan. Semua akses komunikasi yang pernah ada kini terputus, menghapus jejakku, dan mendorongku sepenuhnya keluar dari hidupnya.
Dulu, aku sering membiarkan diriku berharap, membayangkan bahwa mungkin suatu hari dia akan menoleh ke belakang dan menyadari bahwa aku masih di sini, tetap dengan perasaan yang sama. Tapi kini aku mengerti, dia tidak akan pernah kembali. Dan lebih dari itu, dia tidak ingin aku ada dalam hidupnya lagi.
Pedih. Seakan ada bagian dari diriku yang menghilang untuk kedua kalinya, meninggalkan ruang kosong yang sulit diisi. Tapi anehnya, di antara kepedihan itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang perlahan muncul di sela-sela luka yang menganga. Mungkin ini adalah kesadaran bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya. Bahwa aku tidak bisa terus menunggu seseorang yang telah dengan sadar memilih untuk pergi. Bahwa aku harus mulai melihat ke depan, entah bagaimana caranya.
Aku masih terjatuh. Aku masih sering merasa hancur. Tapi kali ini, aku mulai berpikir bahwa aku bisa bangkit. Bukan untuk membuktikan apa pun kepadanya, bukan untuk menunggu penyesalan darinya, tetapi untuk diriku sendiri—untuk menemukan kembali siapa aku tanpa bayangannya. Karena kalau aku terus seperti ini, aku hanya akan menjadi bayangan dari diriku yang dulu.
Jadi mungkin ini bukan tentang melupakan, karena aku tahu aku tidak akan pernah bisa benar-benar melupakan. Tapi ini tentang menerima. Menerima bahwa dia telah memilih jalannya sendiri, dan aku harus menemukan jalanku juga.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya sejak perpisahan itu, aku ingin benar-benar mencoba melangkah ke depan.
0 notes
refiputramadhan · 5 months ago
Text
📌 Surat untuk Diri Sendiri #05
Hai, Refi.
Aku ingin menceritakan sesuatu yang mungkin menjadi bagian paling gelap dari perjalanan ini. Sebuah babak yang tidak pernah aku bayangkan akan aku lalui, tapi nyatanya, aku ada di sana. Terjebak dalam kegelapan, berjuang untuk sekadar bertahan.
Setelah perpisahan itu, aku merasa seperti dunia runtuh. Tidak ada lagi pegangan, tidak ada lagi tempat untuk berpijak. Aku jatuh, lebih dalam dari yang pernah aku bayangkan. Rasa sakitnya bukan hanya di hati, tapi juga di tubuh. Aku mulai sering sakit, tubuhku melemah, seolah-olah ia ikut menanggung luka yang ada di dalam diriku.
Hingga akhirnya, aku dirawat di rumah sakit. Aku ingat bagaimana rasanya berbaring di sana, tubuhku lemah, pikiranku kacau. Rasanya seperti kehilangan kendali atas segalanya. Aku mencoba bertahan, tapi semakin hari, rasa sakitnya tidak mereda. Malah semakin menghancurkan dari dalam.
Aku mencari bantuan. Aku pergi ke psikiater, berharap ada jawaban, ada sesuatu yang bisa memperbaiki semua ini. Diagnosa yang aku terima seakan menegaskan bahwa aku memang tidak baik-baik saja. PTSD akibat betrayal trauma, depresi, kecemasan yang berlebihan. Semua itu nyata. Aku bukan hanya 'sedih' atau 'patah hati'. Luka ini lebih dalam dari itu.
Pada titik tertentu, aku bahkan sampai ke rumah sakit jiwa. Aku duduk di sana, dikelilingi oleh orang-orang yang juga berjuang melawan kegelapan mereka sendiri. Aku berpikir, bagaimana aku bisa sampai di sini? Bagaimana seseorang yang dulu penuh cinta dan harapan, kini hanya menjadi bayangan dari dirinya sendiri?
Ada saat-saat di mana aku merasa tidak ada gunanya lagi. Aku pernah berdiri di ambang, bertanya-tanya apakah dunia ini masih membutuhkan aku. Apakah ada gunanya bertahan, jika setiap hari yang aku jalani hanya dipenuhi dengan rasa sakit? Aku ingin menghilang. Aku ingin berhenti.
Aku kehilangan jati diri. Aku tidak tahu siapa aku tanpa dia. Aku merasa tidak berharga. Seolah-olah aku hanya sepotong pecahan kaca yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Tapi, entah bagaimana, aku masih di sini. Aku masih menulis ini. Aku masih bernapas.
Mungkin, ada sesuatu di luar sana yang masih menunggu untuk aku temukan. Mungkin, meskipun aku tidak tahu bagaimana, aku masih punya alasan untuk tetap berjalan. Aku tidak akan mengatakan bahwa aku sudah sembuh. Aku belum. Tapi setidaknya, aku masih di sini. Dan mungkin itu cukup untuk saat ini.
0 notes
refiputramadhan · 5 months ago
Text
📌 Surat untuk Diri Sendiri #04
Hai, Refi.
Waktu terus berjalan, dan dunia tidak berhenti hanya karena aku masih terjebak di titik yang sama. Aku tahu itu. Aku sadar itu. Tapi ada sesuatu yang begitu berat setiap kali aku melihat kenyataan bahwa dia terus berjalan maju, seolah aku hanya bagian kecil yang pernah ada di hidupnya.
Aku melihatnya, bukan secara langsung, tapi dari kejauhan. Dari potongan-potongan yang tersisa, dari cerita yang terdengar, dari jejak digital yang tanpa sengaja kutemukan. Dia ada di sana, dengan hidup yang terus bergerak, dengan tawa yang tetap ada, dengan langkah yang tidak lagi bersisian denganku. Dan aku di sini, masih meraba-raba bagaimana caranya berdiri tanpa merasakan kehilangan yang terus menghantui.
Ada rasa sakit yang sulit dijelaskan. Bukan karena dia bahagia, tapi karena kebahagiaannya tidak lagi berkaitan denganku. Aku melihatnya bertumbuh, melangkah, mungkin menemukan hal-hal baru yang lebih baik, dan aku bertanya-tanya—apakah aku benar-benar hanya bagian kecil dalam kisahnya? Apakah aku seberharga itu untuk dilupakan?
Aku ingin percaya bahwa semua ini adalah bagian dari perjalanan. Bahwa aku juga punya kesempatan untuk maju, meski rasanya setiap langkah terasa berat. Aku ingin percaya bahwa di suatu titik, aku bisa melihatnya tanpa merasa kosong. Bahwa suatu hari nanti, aku bisa menyadari bahwa tidak masalah jika dia bahagia tanpa aku—karena aku juga bisa menemukan kebahagiaanku sendiri.
Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa menerima bahwa sakit ini masih ada. Dan mungkin itu tidak apa-apa.
0 notes
refiputramadhan · 6 months ago
Text
📌 Surat untuk Diri Sendiri #03
Hai, Refi.
Aku pikir aku sudah melewati titik terendah. Aku pikir setelah menulis dan berbicara pada diriku sendiri, aku bisa sedikit lebih baik. Tapi aku salah.
Malam itu, aku terjebak dalam rindu yang begitu besar. Berhari-hari aku bermimpi tentang dia. Bayangannya tak pernah benar-benar pergi, dan itu membuatku semakin tersiksa. Aku merasa kehilangan kendali, kehilangan arah. Aku tidak bisa menahannya lagi, aku butuh mendengar suaranya.
Aku menghubunginya.
Awalnya, dia menolak. Mungkin dia sudah tahu ke mana arah percakapan ini akan berujung. Tapi aku memohon—aku memohon seolah-olah hanya itu yang bisa menyelamatkanku dari jurang yang semakin dalam. Dan akhirnya, dia mengangkat teleponnya.
Suara yang dulu begitu menenangkan kini terasa jauh. Aku menangis, memohon, merendahkan harga diriku sendiri untuk meminta kesempatan kedua. Aku berkata padanya bahwa aku tidak baik-baik saja, bahwa aku tidak tahu bagaimana caranya melanjutkan hidup tanpa dia. Aku berharap, mungkin, kalau dia tahu betapa hancurnya aku, dia akan berubah pikiran.
Tapi tidak. Dia tetap teguh pada keputusannya. Dia tidak akan kembali.
Dan saat dia berkata bahwa kepergiannya adalah keputusan terbaik, bahwa hidupnya ternyata lebih baik tanpa aku, sesuatu dalam diriku benar-benar runtuh. Aku merasa kecil, tak berarti. Aku yang selama ini berpikir bahwa kehadiranku adalah bagian dari kebahagiaannya, ternyata hanyalah sesuatu yang lebih baik ia lepaskan.
Aku menutup telepon dengan hati yang lebih hancur dari sebelumnya. Aku berpikir, jika aku sudah memberikan seluruh diriku, mencintai dengan begitu dalam, lalu akhirnya hanya dianggap sebagai kesalahan… apa yang tersisa dari aku sekarang?
Aku kembali jatuh. Lebih dalam dari sebelumnya. Aku merasa seperti tidak ada lagi yang bisa diselamatkan dari diriku yang dulu. Seakan-akan semua perjuangan ini sia-sia. Aku tidak tahu apakah aku akan pernah bisa merasa utuh lagi.
Mungkin, suatu hari nanti, aku akan memahami alasan dari semua ini. Mungkin aku akan melihat kembali momen ini dan merasa bahwa rasa sakit ini memang harus ada. Tapi untuk sekarang? Aku hanya merasa kehilangan. Aku hanya merasa hampa.
Aku ingin percaya bahwa aku akan bangkit lagi. Tapi kali ini, aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya.
0 notes
refiputramadhan · 7 months ago
Text
📌 Surat untuk Diri Sendiri #02
Beberapa waktu lalu, aku menulis surat untuk diri sendiri. Aku pikir itu adalah langkah pertama untuk menerima luka ini, untuk berdamai dengan kehilangan yang menyakitkan. Tapi nyatanya, proses ini tidak sesederhana menuliskan kata-kata lalu menganggap semuanya selesai. Luka ini masih ada. Masih terasa. Masih meninggalkan jejak di setiap langkah yang aku coba ambil.
Hai, Refi.
Hari itu, aku mengirim email. Sebuah pesan terakhir yang mungkin lebih banyak berbicara pada diriku sendiri dibandingkan kepadanya. Aku ingin dia tahu, aku masih di sini, masih berusaha memahami segalanya. Aku ingin dia tahu bahwa semua yang terjadi bukan sekadar perpisahan, tapi kehancuran yang nyata bagi seseorang yang mencintai dengan seluruh dirinya.
Aku membaca balasannya. Ada bagian dari diriku yang ingin menemukan jawaban di sana, sesuatu yang bisa membuat hatiku lebih ringan. Tapi yang kudapatkan justru adalah kenyataan—yang pahit, tapi nyata.
Dia tidak melupakan. Tapi dia juga tidak kembali.
Aku terdiam lama setelah membaca kata-katanya. Dia mengakui bahwa hubungan ini membuat kami berdua hancur. Aku pernah berpikir bahwa akulah satu-satunya yang kehilangan, bahwa akulah satu-satunya yang merasakan kehancuran ini. Tapi ternyata tidak. Aku bukan satu-satunya yang terluka.
Mungkin itu membuatku sadar satu hal: ini bukan hanya tentang aku. Ini tentang kami yang pernah ada, dan kini harus menemukan jalan masing-masing.
Aku ingin marah, aku ingin bertanya kenapa semuanya harus berakhir begini. Tapi aku tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Aku tahu, aku harus berjalan maju. Aku tahu, aku harus menemukan cara untuk membangun diriku kembali, bukan untuk dia, bukan untuk membuktikan sesuatu, tapi untuk diriku sendiri.
Jadi, ini bukan tentang merelakan dalam semalam. Ini bukan tentang melupakan dengan paksa. Ini tentang menerima bahwa rasa sakit ini ada, dan akan tetap ada untuk sementara waktu. Tapi aku akan berjalan. Pelan-pelan. Satu langkah kecil dalam satu waktu.
Dan mungkin, suatu hari nanti, aku bisa melihat ke belakang tanpa merasa sakit lagi. Mungkin...
0 notes
refiputramadhan · 7 months ago
Text
📌 Surat untuk Diri Sendiri #01
Sudah lama aku nggak menulis. Sudah lama aku meninggalkan tempat ini. Dulu, ini adalah ruang di mana aku bisa bercerita dengan jujur, menumpahkan segala isi hati tanpa takut dihakimi. Dan sekarang, aku kembali. Bukan untuk mencari jawaban, bukan untuk memutar ulang kenangan, tapi untuk mendengar suaraku sendiri lagi.
Aku menulis ini karena aku butuh tempat untuk berbicara—tempat di mana aku bisa mengakui bahwa aku masih terluka, bahwa aku masih mencintainya, bahwa aku masih berusaha mencari cara untuk melepaskan. Aku tidak tahu apakah ini akan membantu, tapi aku ingin mencoba. Karena selama ini, aku hanya menyimpan semuanya sendirian, berharap rasa sakit ini akan hilang dengan sendirinya. Tapi nyatanya, waktu saja tidak cukup untuk menyembuhkan...
Hai, Refi.
Aku tahu ini berat. Aku tahu luka ini masih ada. Tapi aku juga tahu, kamu masih di sini, masih bernafas, masih berjuang. Dan itu berarti kamu kuat.
Aku masih mencintainya. Aku nggak akan bohong soal itu. Aku masih menyimpan semua kenangan kami, semua kata-kata manis yang dulu membuatku merasa cukup, semua janji yang dulu aku pegang erat. Aku masih ingat tawa yang pernah ada, perhatian kecil yang membuatku merasa dicintai, dan semua hal yang dulu membuat aku yakin bahwa dia adalah RUMAH.
Tapi nyatanya, dia memilih pergi. Dan aku? Aku tertinggal di sini, sendirian, bertanya-tanya apakah semua itu benar-benar nyata, atau hanya ilusiku sendiri.
Dia bilang dia masih muda, masih ingin mengejar banyak hal, dan bahwa memiliki pasangan hanya akan menjadi penghalang. Dia bilang dia ingin berubah, ingin menjadi lebih baik, ingin menemukan jalan yang lebih benar. Dia bilang pada akhirnya dia ingin menikah dengan seseorang yang seharusnya. Kata-katanya berulang kali aku coba pahami, tapi semakin aku coba mengerti, semakin aku merasakan hancur.
Ada hari-hari dimana aku merasa baik-baik saja, seolah semuanya hanya mimpi buruk yang sudah berlalu. Tapi ada juga hari-hari dimana rasanya seperti kembali ke titik awal—seperti ditinggalkan kemarin, seperti kehilangan yang baru saja terjadi.
Tapi ada satu hal yang jarang aku akui.
Aku tidak hanya merasa sedih. Aku juga marah.
Aku marah karena aku tidak pernah memilih untuk ditinggalkan, tapi dia memilih untuk pergi.
Aku marah karena dia membuatku merasa spesial, hanya untuk akhirnya membuatku merasa tak diinginkan.
Aku marah karena semua janji-janji yang dulu berarti segalanya bagiku, ternyata diabaikan begitu saja olehnya.
Aku marah karena aku masih mencintainya.
Tapi dibalik kemarahan itu, ada rasa kecewa.
Aku kecewa karena aku percaya sepenuhnya, tapi akhirnya hanya aku yang tertinggal dengan semua perasan ini.
Aku kecewa karena aku pikir kita akan selalu ada untuk satu sama lain, tapi ternyata aku hanya seseorang yang ia tinggalkan untuk "hidupnya yang lebih baik".
Aku kecewa karena aku mengira aku cukup, tapi nyatanya aku bukan pilihan yang dia inginkan.
Dan yang paling menakutkan dari semuanya...
Aku takut.
Aku takut bahwa semua ini akan terulang lagi.
Aku takut bahwa aku tidak akan bisa mempercayai cinta lagi.
Aku takut bahwa aku aakan selalu merasa tidak cukup untuk orang yang aku cintai.
Aku takut bahwa pada akhirnya, aku hanya akan berakhir sendirian, dengan hati yang tidak sepenuhnya pulih.
Tapi mungkin, aku tidak harus selalu mencari jawaban. Mungkin, yang harus aku lakukan sekarang bukan lagi menegerti kenapa dia pergi, tapi mengerti bagaimana aku bisa tetap berjalan ke depan. Bukan lagi menunggu seseorang kembali, tapi menemukan kembali diriku yang sempat hilang.
Aku tahu aku tidak bisa lupa begitu saja. Aku tahu aku tidak bisa berhenti mencintainya dalam semalam. Tapi aku juga tahu aku tidak bisa terus seperti ini selamanya.
Akan ada malam-malam dimana aku ingin menghubunginya, menanyakan kabarnya, atau hanya ingin mendengar suaranya sekali lagi. Akan ada momen-momen dimana aku bertanya-tanya: Apakah dia masih memikirkan aku? Apakah dia pernah menyesal? atau aku hanya menjadi bagian kecil dari kisah hidupnya yang sudah selesai?
Aku tidak bisa mengontrol bagaimana dia mengingatku. Aku tidak bisa memaksa dia untuk tetap ada, atau berharap bahwa dia akan kembali seperti dulu. Tapi aku bisa mengontrol bagaimana aku memilih untuk berjalan setelah ini. Aku bisa memilih untuk tetap tenggelam dalam kenangan, atau perlahan membiarkan diri ini bangkit dan melangkah kedepan.
Aku ingin menemukan kedamaian, meskipun tanpa dia.
Aku ingin menemukan kebahagiaan, meskipun bukan bersamanya.
Aku ingin menemukan diriku sendiri lagi, meskipun itu berarti aku harus melepaskannya.
Jadi, untuk pertama kalinya setelah sekian lama.. aku akan mencoba.
Aku akan mencoba...
0 notes
refiputramadhan · 10 years ago
Photo
Tumblr media
Dunia nggak ada diisi oleh warna hitam dan putih. Di antara kedua warna itu, ada abu-abu. Di luar ketiga warna itu, ada warna lainnya. Perselingkuhan nggak selalu salah, tapi juga nggak semua bisa dibenarkan.
Ada kasus menarik. Seorang teman dipaksa menikah oleh orangtuanya, dan dirinya nggak punya pilihan lain selain menikahi perempuan idaman orangtua. Dia bukan Siti Nurbaya, bukan perempuan, dan nggak hidup puluhan tahun yang lalu. Dia laki-laki, masih muda, hijrah ke Metropolitan, dan saat ini kalender menunjukkan angka tahun 2015.
Teman ini (mungkin) sebentar lagi terpaksa harus menikah. Orangtuanya lalu berlega hati. Tapi lalu apa? Bagaimana jika setelah menikah nanti dia jatuh cinta dengan perempuan lain? Salahkah jika kemudian dia berselingkuh?
Seharusnya sih nggak. Toh dia sudah menuruti kemauan orangtuanya. Baktinya, saya rasa, sudah cukup. Setelahnya, dia berhak mencari bahagianya sendiri.
Lalu bagaimana dengan perempuan yang (akan) dinikahinya? Saya perempuan, dan saya nggak merasa kasihan kalau nanti dia menjadi “korban” perselingkuhan. Kenapa memaksa si laki-laki untuk menikahinya, padahal dekat pun mereka nggak? Ya, memang perempuan ini yang awalnya jatuh cinta dengan putra sahabat orangtuanya. Cinta kan nggak bisa dipaksakan. Menikah seharusnya hak nurani sendiri, bukan karena tekanan dari siapa pun.
Perselingkuhan karena sebab semacam ini sangat bisa dimaklumi. Juga perselingkuhan karena pasangan lebih dulu berselingkuh, atau karena terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Bukan untuk balas dendam, tapi manusia butuh rumah untuk hatinya, bukan cuma untuk tubuhnya. Butuh didengarkan, bukan hanya melayani. Butuh rasa nyaman dan aman, bukan hanya status. Butuh orang yang punya waktu, bukan hanya yang taat menyetor gaji bulanan atau rajin memasak di dapur.
Intinya, berselingkuhlah kalau perceraian nggak memungkinkan, kalau memang sudah (sejak awal) nggak ada cinta lagi yang tersisa, jika pasangan lebih dulu berselingkuh.
Di luar itu, apa alasan untuk selingkuh yang bisa dibenarkan sih? Uang? Syahwat?
Gawat kalau begitu. Yang dinikahi itu manusia, bukan ATM atau sex toy, lho. – View on Path.
14 notes · View notes
refiputramadhan · 10 years ago
Quote
Ini hidupmu. Kamu punya kendali penuh untuk mengemudikannya. Jangan sampai karena komentar mereka, kau yang asalnya tinggi malah jadi ikut turun di level mereka.
(via mbeeer)
180 notes · View notes
refiputramadhan · 10 years ago
Quote
Ada beberapa orang yang pantas untuk dijadikan sebuah puisi. Beberapa contohnya adalah dia yang tidak memilih yang lain ketika ia mampu untuk memilih.
(via mbeeer)
love this qoute..
220 notes · View notes