I hate typos. Kindly put comments if you find any. Happy scrolling!
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Pas lg scrolling2, nemu ini dan langsung nangis. Sesek & perih banget di hati. Anak sekecil itu harus jalan 12km, panas2an, ngantri, terus bilang makasih dgn tulus (adab nya 👍). And all that for what? Just to get food scraps. And just to get syahid krn ya.. liat aja deh videonya.
Ngerasa bersalah bgt krn aku bisa makan apapun yg kumau. Kadang kl ada buah/buah layu dikit, udh ngerasa gak layak makan. Beli makanan kebanyakan trs ga diabisin. Astaghfirullah. So guilty. Feel so helpless for them :( Gimana cara bantunya.. Help them Ya Allah.
https://www.instagram.com/reel/DMts_qxyDGw/?igsh=bHp1eGJwajJ0bzE3
instagram
0 notes
Text
Keeping Today
Seperti hari-hari kerja lainnya, hari ini aku sibuk. Belakangan ini aku memang cukup intens bekerja karena sedang periode libur musim panas. Beberapa kolega sedang/akan cuti yg cukup panjang, 3-4 minggu. Jadi aku mendapat “limpahan” kerja mereka. Hari ini aku bekerja di kantor karena ada acara ART (Agile Release Train) alias departemen baru ku. Sayang, dari siang aku sakit telinga, jadi aku izin pulang lebih awal.
Sesampainya di rumah, aku dibikinkan mi goreng dan minum paracetamol, lalu tidur sebentar. Lalu kerja lagi.
Sorenya, Tom masak pasta bolognese. Sudah lama nggak makan menu ini. Hmm sedap nye!
Satu jam setelah makan, aku pergi pilates. Tom juga berangkat lari. Dia memang sedang giat latihan. Tom sudah lari 100km lho bulan ini. Menurutku keren bgt bisa konsisten. Salut!
Selesai pilates, Tom sudah menunggu di depan. Kami memang berencana bertemu setelah olahraga utk jajan gelato di warung gelato favorit. Namanya Piet.

Sore menjelang malam itu rasanya Den Haag cantik sekali. Anginnya sepoi2 cenderung dingin utk musim panas. Langitnya kelabu, tapi entah mengapa terasa indah. Kami makan es krim matcha di centrum sambil berbincang2 ringan. Something between nothing and everything.
“Di kantor tadi ada sesi WVTTK. Itu artinya Wat Ver Ter Tafel Komt alias what else comes at the table alias any other business. Istilah baru untuk ku”
Lalu lupa ngobrol apa dan aku menimpali.. “dat is mogelijk” dan “dat zou wel kunnen” dgn logat jowo. Tom tergelak karena candaan recehku.
—
10 years from now, I guess i won’t remember how busy I’ve been, how messy the house lately, or any other struggles/worries I’m facing.
But I decided to keep today’s memory. A rather ordinary day. Sweet summer time. July 2025.
Ajeng dibikinin mi goreng sama Tom, Tom lari-Ajeng pilates, gelato matcha Piet, sore yg cantik di Den Haag. Kenangan ini akan kusimpan. :)
2 notes
·
View notes
Text
What if(s)
Dua minggu lalu, ada pesan masuk dari Mas Shinatria, seorang arkeolog yg mengenalku dari skripsiku yg dipublikasi di majalah NatGeo. Beliau mengabarkan bahwa ada temuan fosil di Laut Jawa, tepatnya Selat Madura: https://nationalgeographic.grid.id/read/134262723/penemuan-homo-erectus-di-selat-madura-dan-tanah-sundaland-yang-hilang. Wah kaget sekali aku dibuatnya! Pasalnya, beberapa tahun lalu, tugas akhirku adalah tentang pemodelan sungai purba di Laut Jawa.
Aku masih ingat perasaan gembira saat survei di Laut Jawa dan mengerjakan project itu (despite berdarah2 juga sih karena kan harus perfect ya hehe). Aku masih ingat semangat menggebu2 mau melanjutkan studi ini ke jenjang yg lebih tinggi, tentang arkeologi maritim atau GIS untuk arkeologi. Afterall, bidang arkeologi bawah laut belum banyak dieksplorasi, apalagi di Indonesia. Apalagi dulunya memang ketiga pulau terbesar: Jawa, Kalimantan, dan Sumatra; pernah menjadi satu pulau. Apakah manusia purba pernah tinggal di sana? Kalau iya, spesies yg mana? Bagaimana kalau ternyata Atlantis ada di Laut Jawa?! Seharusnya banyak yg bisa dieksplor. Dan ternyata 8 tahun berikutnya.. terbukti kan ya.
Ada beberapa teman terdekat yg kagum dan bertanya kenapa nggak lanjut aja kuliah master di bidang ini? Sayang lho ga dilanjutin..
Kalau boleh kilas balik ke periode beberapa bulan setelah lulus kuliah, daku masih menjadi pribadi yg idealis. Ajeng di 2017 membayangkan all the what if’s and excitements di bidang GIS & archaeology. I tried to follow that path tho. I really did. I diligently wrote motivation letters, I did my best for IELTS, I applied master studies, and I applied lots of scholarships. I tried them all. None worked for me unfortunately. Nobody wanted to fund my crazy ideas. Utk orang yg nggak pernah gagal di sini, let me tell you one thing. Capek. Capek tau ditolak terus. Ini bukan perkara sekali dua kali. Tapi sudah delapan kali gagal (yg kuingat). It’s mentally exhausting and humiliating at the same time.
Seeing that rough journey, I did the most realistic thing anyone could do: just keep working.
Daku yg sekarang sudah ngga seidealis dulu; sudah terpapar dunia nyata dan melihat apa aja sih yg dunia (at least my world) butuhkan. Daku jadi cenderung pragmatis. Belajar yg pasti kepake aja. Kalau Ajeng yg dulu cuma ingin S2 di luar, sekarang mikirnya lebih jauh. Kuliah apa yg bakal kepake di dunia kerja? Kurikulumnya harus pas, jgn terlalu basic. Pokoknya harus terasa kebermanfaatannya. Beberapa tahun belakangan ini daku cukup rajin sertifikasi. Tiap tahun minimal 1. Karena nyatanya sertifikasi bisa bikin CV dilirik perusahaan2. Pun daku Alhamdulillah bisa keterima kerja di sini juga salah satunya karena punya sertifikasi software. Untuk S2, sampai sekarang masih pending dulu.. Semoga suatu saat bisa. Kalau ditanya masih mau S2 ngga, jawabannya tetap mau dong. Tapi semoga bukan hanya utk pemuas ego, bukan karena semua orang di bubble ku sudah S2, tapi betul-betul berangkat dari rasa ingintahu. Dan programnya juga harus bermanfaat.
Dari lubuk hati terdalam, daku tetap senang ada temuan baru arkeologi tsb. Apalagi skripsi daku dijadikan salah satu landasan teorinya. Untuk sekarang, daku mengagumi dari jauh saja hehe. It’s not for me, but I’m genuinely happy for the researchers. I’m truly happy with the findings. :)
5 notes
·
View notes
Text
Dalam mudik kali ini, alhamdulillah hampir semua menyenangkan. Ketemu keluarga, makan2 enak, jalan2. Alhamdulillah. Tapi ternyata ada saja kejadian yg kurang menyenangkan.
“Jeng kok kamu tambah gemuk pipinya”
“Bayu tambah putih ya kyk bule. Kalo ajeng biasa”
“Kowe sakjane ra pati ayu tapi dapet suami bagus/ganteng. Tapi ini ber-chanda yaa~”
Komentar2 kyk gini menurut daku ga perlu ga sih? Simpen aja sendiri. Apalagi skrg masih suasana lebaran/maap2an. Jd mau maaf2an atau bikin kesel?
So far aku anggap angin lalu (tp ttp kepikiran dikit jd tulis deh di blog :p). Memang fakta sih bahwa aku gendutan dan sayangnya lgsg keliatan di pipi!! Huhu :( Trs emg si Tom putih & aku lbh gelap. Emg trs kenapaa. Apakah ini merugikan bangsa & negara?
Aku anggap org2 ini mainnya kurang jauh. Mungkin seumur hidupnya tinggal di lingkungan homogen. Seperti katak dalam tempurung, wawasannya kurang luas. Blm pernah hidup bersama orang dari macam suku dgn berbagai macam tingkah laku. Daku yg ras & penampilannya serupa aja di-nyinyirin, gmn kalo beda asal usul.
Sebaliknya, org kita cenderung permisif, abai, dan “pemaaf” terhadap hal2 fundamental. Misalnya lg antri trs diserobot orang, kita pasrah. Kursi kereta deket jendela yg udh pesen jauh hari tiba2 diambil orang, dibiarkan. Ada mobil pejabat pake strobo berisik mau lewat, dipersilahkan. Ada koruptor nilep duit rakyat, hukuman diringankan. Banyak orang dibunuh di Gaza, kita diam. Ada org yg udh dipecat krn menculik sejumlah mahasiswa, malah dijadikan presiden. Lha kok kebolak-balik gini?Hal2 kyk gini nih yg hrs nya bnyk dikomen, dikomplen & diprotes. Bukan body shaming gak penting.
Huft. Yaudala akhir kata met lebaran ya semuanya! Atau met kerja lg yg udh kelar cutinya. Mohon maaf lahir batin 🙏🙏
1 note
·
View note
Text
Tulisan ini dibuat di lebaran hari kedua, 1 April 2025 di Rumah Ninik (nenek) nya Tom di Surabaya.
Menginap di rumah Ninik adalah salah satu tradisi setiap kami pulang ke Indonesia. Ini sudah kali keempat aku berkunjung ke Surabaya setelah menjadi istri. Kebetulan ini adalah kali pertama aku berkunjung di momen lebaran. Kali pertama jg utk Tom berlebaran di Surabaya setelah 8 tahun merantau.
Di keluarga suami, aku nggak pernah kelaparan. Sekeluarga piawai sekali dalam membuat makanan. Beragam dan lezat semua. Jenis masakannya agak berbeda dengan keluargaku yg selalu menyediakan opor ayam dan sambal goreng kentang. Di keluarga Tom, staple foods idul fitri nya adalah soto banjar, ketupat, kue kering lezat bikinan Mama, dan minuman manis temulawak dari Bude Nurul. Disamping itu keluarga ini doyan bgt jajan. Jadi ada cemilan2 lain seperti risol, bebek, pentol, nasgor jawa.
Seperti keluarga besar dari ibuku, di Surabaya kami jg tidur di 1 kamar seperti pepes. Kenapa di 1 kamar? Karena kamar ini ada AC nya. Gak bisa bgt tidur di Sby tanpa AC. Puwanase rek! Tahun ini ada 12 orang yg tidur di 1 kamar. Banyak "suara khas" tiap orang seperti dengkuran, baik yg lembut dan keras; suara nangis bayi; suara ngorok; dan terakhir suara toa masjid yg sudah mulai check sound sejak pukul 2:30 sampai waktu solat ied pukul 6:00. Seru rame2 gini. Maar eerlijk gezegd, kan ik niet slapen hehe 🙈 Tapi kalau boleh jujur sih aku kurang bisa tidur. Hehe. Mungkin ini juga yg Tom rasakan saat di keluargaku.
Di saat seperti ini, pikiranku melayang ke Eyang2ku sendiri. Sudah beberapa tahun mereka nggak ada. Jadi utk keluargaku, tradisi mudik saat lebaran sudah semakin jarang. We hoeven niet tijdens het suikerfeest terug gaan. Geen reden ervoor. Kami jadi jarang mudik saat lebaran karena mereka sudah tiada
Di Jogja, aku punya dua eyang: eyang putri & kakung. Halaman rumah mereka luas. Sebagai cucu, aku ingat kami sebagai cucu2 suka lari2, manjat pohon, dan main di kali cari ikan2 kecil. Dulu eyang putri suka jajanin cucunya es sprite & makanan2 kemasan di warung. Memoriku agak terbatas karena beliau lama sakit dan berpulang. Kalau eyang kakung, namanya Eyang Parjan. Aku ingat Eyang Parjan sebagai orang yg sangat2 sabar mengurus eyang putri. Aku ingat bau tembakau & suaranya yg parau karena rokok. Tangannya kasar dan kulitnya gelap diterpa cuaca. Dulu beliau bekerja sebagai petani di sawah. Eyang Parjan selalu memberi cucu2nya THR besar.. aku dan adik2 sering dinasihati bapak ibu utk mengembalikan THR itu karena sebetulnya mereka Eyang gak punya banyak uang. Dengan segala keterbatasan, Eyang Parjan jg selalu membawakan beras dan makanan2 khas utk kami bawa ke Jakarta. Kadang orangtuaku sampai nangis dibuatnya. Aku mengingat Eyang Parjan sebagai orang yg sederhana, setia, sabar, tulus, pekerja keras, dan baik hati.
Di Purworejo, aku punya eyang putri namanya Eyang Siti Choirifah tapi lebih sering dipanggil Eyang Marno. Dulu beliau single mom dan pekerja keras karena keadaan.. Pasalnya, eyang harus menghidupi 5 anak karena suaminya meninggal muda. Di siatu waktu, Eyang Marno pernah menjadi perias manten, penyedia dekor & katering yg paling top di daerahnya. Istilah jaman now nya mah MUA & WO lengkap ya. Di saat bersamaan, Eyang Marno juga buka kursus mengetik & bahasa inggris. Rumah Eyang Marno ada di jalanan besar mepet sawah. Ada ayunan, patung gajah, patung jerapah, patung angsa, dan banyak tanaman di halaman. Ada ruang khusus baju & rias manten juga. Kalau tidur di rumahnya, aku selalu pilih di kasur kelambu. Soalnya aku bisa peluk eyang & kelambu jg berfungsi utk menghalau nyamuk. Aku ingat Eyang Marno rajin sembahyang, termasuk solat jumat lho. Aku ingat sendal batok kayunya utk wudhu. Eyang Marno terampil membuat kue. Beliau pernah mengajariku membuat kue kering bentuk bebek. Mata bebeknya adalah chocochip hihi. Kok bisa ya aku ingat detail ini. Selain itu, tentu Eyang Marno juga selalu membuat kastengel, putri salju, nastar utk dinikmati anak2 & cucu2nya. Di beberapa tahun sebelum Eyang Marno meninggal, beliau sering tinggal di rumahku. Saat aku SMA & bahkan saat sudah kerja, aku sering tidur dgn Eyang Marno. Beliau suka berkata, "Ajeng kowe ojo lali wedakan & beri alis setitik sak durunge pergi". Haha jiwa MUA nya keluar.
Untuk eyang2 (dan juga bude2, pakde2, om2, tante2, serta semua yg sudah berpulang) tersayang, aku rindu. Jadi aku mendoakan agar kuburan eyang2 terang dan lapang. Semoga eyang2 dijauhkan dari siksa kubur dan semoga eyang2 nggak kesepian karena ditemani oleh amal baik & ibadah selama di dunia. Aamiin YRA. You might be physically gone forever. But you live in our hearts & prayers. Al-fatihah.
1 note
·
View note
Text
As my other blogging site gained more popularity, gonna write here temporarily hehe
💁♂️: km populer bgt ya
💁♀️: ajeng you’re so inviting and friendly
👩🦰: true, you have lots of friends
Haha I think those are the nicest compliments I’ve received so far :) Looking back to mini ajeng who was a wallflower and afraid to make friends.. the mini ajeng who was always invisible & awkward.. the teen ajeng whose friends could be counted with 2 hands… the teen ajeng who could not even invite anyone to her birthday party… I’m super happy to hear it.
Or maybe back then there was really no one that “clicked”. All of a sudden, the 29 year old ajeng turned out to be a happy adult hehe.
1 note
·
View note
Text
Money-Money-Money
Beberapa hari ini nonton series Netflix "How To Get Rich". Agak shady sih judul nya, kyk duniawi sekali: bagaimana caranya utk menjadi kaya wkwkwk. Tapi tidak w pungkiri bahwa series nya bagus! Si Ramit sebagai penasihat keuangan ngasi konsultasi ke org2 supaya mereka bisa start living their lives to the fullest, in their own terms. Trs tiap org yg didatengin punya masalah keuangan sendiri2. What is a rich life? They decide themselves. Motto nya, boleh bgt spend/splurge on things you really really love. Dan sebaliknya, harus cut things off mercilessly on things you don't care. Kan nyebelin ya kl financial advisor pd umumnya cuman nyuruh hemat2, gabole ini itu wkwk. Dilarang2 tu ga menyenangkan.
Langkah pertama nya tentu definisiin dulu Rich Life itu apa. Harus spesifik. Setiap orang pasti punya definisi masing2. It can be as simple as having a roof over your head, belanja di pasar ga liat harga, jemput anak sekolah tiap hari, punya waktu utk keluarga, punya tabungan cukup utk "rainy days". Atau.. rich life bisa juga diartikan sebagai lunas KPR di umur 45 tahun, bebas menjalankan hobi, liburan setahun 4x. Beda2 bgt tergantung kondisi personal orang2.
Terus ada topik lain yg di mention ttg keputusan finansial besar seperti buying vs renting. Kebiasaan utk selalu membuat keputusan keuangan yg baik itu penting bgt. Ga boleh gegabah, apalagi ikut2an org lain. Hrs bikin itung2an sendiri, setelah itu baru deh putusin sesuatu. Jgn pake emosi tapi wkwk. Ini kan yg susah.
Terkait dgn series ini, 2 tahun lalu w baca buku "Psychology of Money" dari Morgan Housel. Buku ini menjabarkan bahwa keuangan tuh berkaitan erat dgn kebiasaan/behavior. Senada sm si Ramit, keputusan keuangan itu seringkali melibatkan perasaan, bukan berdasarkan data & fakta di spreadsheet.
Kebetulan w sandwich generation, middle class, pernah ngerasain naek turun keuangan keluarga. Sering jalan2 ke LN pernah, beli ini-itu tinggal minta pernah, kelilit utang sampe jual2in aset pernah juga. Roller coaster lah istilahnya. Jd w sendiri cenderung pingin punya buffer tabungan yg cukup sebagai "safety net". Dan jadi pribadi yg suka main aman, ga suka ambil risiko. Tapi ini bisa jadi 180° berkebalikan utk org lain yg kondisi keuangan keluarga nya selalu stabil.
Ada quote dr si Morgan yg w suka nih:
“Savings can be created by spending less. You can spend less if you desire less. And you will desire less if you care less about what others think of you.”
Masalah terbesar w sebetulnya adalah vakansi & jajan haha. W jarang peduli the way I look / how fashionable I am. Nah tp kl urusan jalan2 sm perut kok msh agak susah ya. Semoga kita semua (termasuk w) diberi hati yg selalu merasa cukup & bersyukur. Afterall, uang itu fana lho. Gabisa di-convert ke currency yg jauuuh lebih penting utk misalnya.. dibawa ke afterlife. Kecuali uang nya dipake utk sedekah ya. Tapi gapunya uang / punya uang terlalu sedikit jg repot, serba terbatas, apalagi kalo hrs pinjem keluarga/temen. Ngga enak bgt.
All in all menurut w nih.. pelajaran keuangan tuh harus bgt masuk kurikulum sekolah. Soalnya penting bgt bgt bgt. I mean how come nobody ever told us things abt money in school??
5 notes
·
View notes
Text
Di repost aja meski saya kurang cakep
Di Kaki Gunung Hochkönig
Pertama kali ngeliat Pegunungan Alpen itu tahun 2019, waktu itu trip berdua sama Reza ke banyak banget kota-kota dan gunung-gunung di Swiss - Perancis - Italia. Pegunungan Alpen memang sangat memukau—ditutupi permadani rerumputan hijau, ada juga bagian putih yang tertutup salju, ada pula bebatuan yang menjulang tinggi. Sejak saat itu jadi terobsesi dengan pegunungan ini. Ingin ngajak Mama, Papa, Ajeng buat kesini juga.
Musim panas 2021, aku kembali ke Pegunungan Alpen. Dengan settingan yang berbeda: kali ini Pegunungan Alpen di Austria, bersama Ajeng! Menurutku yang menyenangkan dari Pegunungan Alpen adalah, jalur mendakinya yang terawat dengan baik. Jalurnya jelas, penunjuk arahnya banyak, jadi tidak ada rasa takut kesasar. Bagi kami yang pemula, tentu ini sangat membantu karena semua jadi terasa lebih terjangkau. Bermodalkan hasil riset di internet, kami akhirnya menemukan jalur hiking yang ramah untuk pemula: Salzburgen Almenweg. Lebih tepatnya, Salzburger Almenweg Stage 2, karena kami hanya mengambil 11 km bagian dari jalur pendakian yang panjang aslinyanya 350 km itu.
Perjalanan ini merupakan perjalanan paling indah yang pernah aku dan Ajeng lalui. Kami mulai dengan naik kereta dari Salzburg, kota tempat kami menginap, ke Bischofshofen, sebuah kota kecil di dekat kaki gunung Hochkönig, tempat kami mendaki. Lalu, kami lanjut naik bis ke Arthurhaus—sebuah hotel kecil yang menjadi titik awal pendakian kami.

Pendakian pun dimulai dari situ. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi oleh pemandangan alam yang sungguh memanjakan mata. Mulai dari peternakan-peternakan kecil, kumpulan pohon pinus, gunung bebatuan raksasa... Sepanjang perjalanan, mata kami berdua seperti di emoji ini 😍


Hal menyenangkan lainnya dari mendaki di Pegunungan Alpen adalah, kami bisa berhenti di beberapa Mountain Huts yang tersedia di atas gunung. Disana kami beristirahat, ke toilet, lalu pesan makanan. Ajeng pesan Bauerkrapfen, yang aku sebut odading pake selai. Kalau aku pesan Kaspressknödelsuppe, pangsit (dumpling?) vegetarian khas Austria, berisi keju yang dimakan dengan sup. Keduanya enak, terlebih karena kami makan sambil disuguhi pemandangan yang cantik nian.



Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Semakin kesini, hamparan Pegunungan Alpen yang tadinya samar-samar menjadi semakin jelas. Kami bisa melihat salah satu puncak gunung yang diselimuti salju. Ada juga bagian dimana kami bisa melihat desa di kaki gunung—yang bersatu dengan alam dengan begitu harmonis. Kami juga menemukan sebuah bangku yang kami sebut bangku spesial. Spesial, karena bangku ini seorang diri, di ujung bukit, menghadap ke sebuah sisi dimana hamparan Pegunungan Alpen terlihat begitu masif, indah dan perkasa. Foto yang kami tangkap pun rasanya tidak bisa mendeskripsikan kedamaian yang kami rasakan.


Perjalanan hampir berakhir ketika kami melalui tanjakan yang mengantar kami ke Erichhütte, sebuah mountain hut lagi yang menjadi titik akhir pendakian kami. Dari situ, kami berjalanan menuruni gunung hingga mencapai sebuah halte bis. Kami pun kembali ke Salzburg.
Kami terobsesi!

4 notes
·
View notes
Text
Just wanna put the photos here bcs why not
Di sini ice skating & hockey udh jd olahraga nasional. Bbrp hari terakhir tiap keluar bnr2 seee-rame itu seluncuran di atas kanal beku. Anak2 kecil juga ikutan. Cantik bgttt ya salju. I truly am excited! 😍




I wish I was not that #medit to buy the shoes huhu. Skrg es nya udh mulai mencair dan taun2 dpn blm tentu bakal kyk gini :"
1 note
·
View note
Text
Soul
We only have a short time on this planet. You want to become the person that you were born to be. Don’t waste your time on all the junk of life. Spend your precious hours doing what will bring out the real you. The brilliant passionate you, that’s ready to contribute to something meaningful into this world. –Joe
So what do you want to be remembered for? –Joe
I’m just afraid that if I died today my life would have amounted to nothing. –Joe
What a movie to end 2020. A self-help content encapsulated in a funny cartoon movie. Easy to digest. Deep content. Big question mark. Awesome as always, Pixar!
1 note
·
View note
Text
My time for being a wife started on the 16th of Oct when I arrived in the NL. Prior to that, we had a long distance marriage (LDM) for ~3 months, so it didn't count. For the last 2 weeks, I've been juggling in my new role as a wife in the new country (more on this later).
Being a 24/7 housewife now, I enjoy the little things. I love it when... the floors are swept n mopped, when garbages r out, when there is no laundry n no dirty dishes, when kitchen is dry & clean, and when the house is neat somewhat presentable. I didn't realize it before, but I find it very satisfying when it comes to clean the house #adulting. I feel so content n refreshed (n ofc tired lol) afterwards. Fyi me also manage to cook lho, mostly 3x a day - yippie!
It's Friday night and we just finished our pesto pasta while watching Somebody Feed Phil. I also got fresh roses from yesterday's market - yippie again!
So by now, alles is goed. Alhamdulillah.




1 note
·
View note
Text
Sobbing sambil ditemani lagu Membasuh nya Hindia 🤧🤧
The Things We Do for Love
After several months living the so-called (long distance) married life, this week is one of those moments that we (me and Ajeng) have been longing for. By the time this piece is posted, Ajeng is already on board the GA88 flight, bound for Amsterdam. She is coming to live with me in the Netherlands.
In Indonesian culture, the common understanding of marriage is that when a woman marry a man, the man is now responsible for the woman. The responsibility towards the woman is transferred from the her father–Bapak, to me, her partner, her husband. It got me thinking of that moment 4 months ago: how me and Bapak grab each other’s hand, saying our sincere vow of me marrying Ajeng. Bapak’s voice was really shaky at that time. He was about to burst out. He was about to cry. I can really understand that. Imagine, having raising a little girl from being a baby, to becoming a toddler, to becoming a full-grown woman, with everything you got in life: and then comes this somebody –maybe you can even call a stranger so to say– taking the responsibility of your dearest daughter. Marriage happens everyday, but if you really think about it, it’s more than just an everyday thing. It’s sacred.
I’ve been longing to this moment since weeks ago. I am really really excited that Ajeng is coming to the Netherlands to live with me. But yet when I woke up yesterday, the day of Ajeng’s departure, there is this bittersweet feeling. I kept thinking about that moment 4 months ago, the moment when Bapak and Ibuk ‘had to let her daughter go’.. And while that does not seem enough, they had to let her daughter depart for a place 12000 km away. It must be difficult for a parents to experience that. In a way, I felt.. Weird.. And guilty. Will Ajeng be happy here? Will I be able to provide for her? Would I be able to really become a responsible husband?
But as the day went, and Ajeng finally get on her plane, this is what I realize:
Bapak and Ibuk, I share your sorrow. It must be difficult to have someone you raised from the beginning of her life depart to live with someone else.. Depart for a country thousands of kilometers away. I still clearly remember the feeling when I had to leave Indonesia 3 years ago. Me myself, I hugged my parents for I don’t know how long in front of that gate in the airport. I felt like I don’t want to let that hug loose. Even after I arrive in the Netherlands, with all of its joy, I still cried sometimes. The feeling of having to live spatially separated from your loved ones is not pleasant. Ask my mom and dad. They know that feeling well.
However, please know, Bapak, Ibu and also Mama, Papa: I am not trying to snatch your daughter away. This whole thing.. This is the thing that we do for love. Me and Ajeng, we love each other, therefore we will both follow our significant other wherever he/she wishes to go. If in the future Ajeng needs to settle in other place, I would do the same. I would follow her wherever she goes. Like what she does to me right now. For now, that place is a country called the Netherlands. We don’t know what awaits us in the future.. But certainly: we love each other. That is why we do this. I will be a responsible husband. Me, together with Ajeng, we will build a happy family. Because we love each other.
We also love you all. We will do countless minutes of video calls. We will share thousands of photos of us doing silly things. We will visit you often. You all will come to the Netherlands to visit us often too, together with Mayang and Gendis. And all of the family members. And of course, one day, we will settle back home.
For now, we are truly starting a new chapter in our life.
Together.

Geschreven in de Intercity richting Lelystad Centrum. In enkele ogenbliken: Schiphol Airport.
12 notes
·
View notes
Text
Note Before Sabbatical
Hari ini salah satu kolega kerja saya resign. Pasalnya, dia akan berkarya dan mengembangkan diri di tempat lain. Walau kami nggak terlalu dekat, tapi saya benar-benar respect dgn ybs. Teman saya yg satu ini selalu bersemangat dan maksimal dalam mengerjakan sesuatu. Kayaknya motivasinya segunung, alias tinggi banget… entah kenapa. Gak kayak saya yg dikit-dikit misuh-misuh haha! Bisa dibilang anak ini outstanding karena ilmu, pengalaman, dan kontribusinya sudah sangat banyak. Padahal baru 1,5 tahun di kantor. Saat dia masuk hanya tau 1 bahasa pemrograman, tapi saat keluar bisa 3. Beda banget dari saya yg ngerasa stuck di situ-situ aja padahal sudah bekerja lebih lama. Dan nggak hanya skill dan ilmu, secara attitude, teman saya ini sama sekali nggak pelit. Kalau membantu betul-betul totalitas alias nyebur langsung, nggak hanya ngasih link aja. Tetapi poinnya adalah, kolega-kolega seperti ini banyak ditemui di tempat kerja saya sekarang, nggak hanya satu atau dua oknum. Banyak yg bisa menjadi panutan. Saya ingin menjadi mereka.
Saya sadar, bahwa mereka-mereka yg berprestasi luar biasa ini pasti ‘sudah selesai’ dengan diri mereka sendiri. Emosinya stabil, nggak terombang-ambing seperti diriku wkwkwk. Saya pernah menyaksikan suatu acara di Ted Talk tentang motivasi (lupa judul tepatnya apa). Jadi kalau menurut narasumbernya, ada dua jenis motivasi yang menggerakkan orang-orang dalam berkarya yaitu eksternal dan internal:
Kalau motivasi eksternal, konsepnya adalah sesuatu yang mempengaruhi dari luar. Di sini, ada yg bekerja agar mendapat reward seperti bonus. Ada juga yang bekerja secukupnya agar tidak mendapat punishment seperti dimarahi bos / klien. Tapi ya... gak outstanding2 banget. “Pokoknya asal ga dimarahin bos. Dah”. Dengan motivasi jenis ini, biasanya orang-orang bekerja di tengah-tengah dan menjadi average guy saja.
Sedangkan motivasi internal, motivasinya datang dari dalam diri sendiri. Orang-orang melakukan sesuatu karena menikmati prosesnya.
Menurut riset, orang-orang yang memiliki motivasi internal akan bekerja jauh lebih baik daripada yang ekstrinsik yang menggunakan konsep carrot & stick.
Kemudian setelah mengikuti macam-macam Ted Talk, saya berkenalan dengan konsep sabbatical leave / gap year. Mungkin sabbatical masih asing, tapi kalau gap year pasti pernah dengar ya. Biasanya bule-bule mengambil gap year setelah lulus SMA. Untuk mengisi waktunya, mereka bisa traveling, bekerja, menekuni hobi, atau melakukan hal-hal random. Sejatinya, keduanya sama, untuk self exploration. Saya pun akan melakukan hal yang sama, kemungkinan 1-3 bulan ke depan. Semoga nggak lebih lama dari itu.
Nantinya, di akhir sabbatical, saya ingin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini: “Apa sih yg betul-betul saya sukai? Kenapa sih saya selalu merasa ada yg kurang? Saya memang bukan si X yg serba bisa, tetapi apakah saya bisa menerima diri saya sendiri? Kalau ga puas dgn diri yg sekarang, lantas apa yg mau diubah / ditekuni?”.
Or or or is it just a phaseee? Emang daku masih 25 tahun sich, jadi mungkin banget #quarterlifecrisis. Doakan ya semoga setelah ini saya berubah dari couch potato yg doyan komplen menjadi intrinsically motivated person yg lebih bermanfaat di masyarakat! #apasik. Ganbatte deh!! Wkwk.
0 notes
Text
Loveliest People On Earth
It’s getting real and I’m getting teary here. Me luvvv them so so so much. Will miss them lots. Mummy, Bapake, duo rusuh Yaristas, Bibi, Mas Nawir, Address (Oncle, Tante, Kin, Kea). And as for the parents in laws (aka mertua), I consider them as my own parents.. or even friends. I can tell anything to Mama, she is just like my own mummy. Papa & Mama r kind, open minded, and easygoing. And I really thank God to have them. Sometimes I feel they love me more than they love their son :b (gak deng canda cyin). They love me and Tom equally. Okbye.




4 notes
·
View notes
Text
Apasih aku. Mimpi belum ngumpulin LKS PLKJ & PPKN sendiri. Bangun2 panik :(

2 notes
·
View notes
Text
Garut Trip, August 2020
"My social box is empty. I have no intention to come to any social gatherings, to participate in small talks, and whatnot."
"Just go. You're going to miss it when you're here."
"It's not them. It's me. Just not in the mood to talk to ppl."
"I understand. But it will be fun, trust me!"
Andddd yup, le hubby was right. It was a nice trip lol. We tried so many foods and went to places. In case of tired, I could just sleep, enjoy d greenery view, or just listen to silly convo along d way lol. No talk is needed.
P.S: the wedding was beautiful! Widi was (and still is) oh-so-gorgeous! I was in tears :"










3 notes
·
View notes
Text


Never felt so beautiful 😍 Not everyone knows numerous storms we've been through to have those smiles on that day.
2 notes
·
View notes