Tumgik
#Penikmat itu Genuine
yaudahgituaja · 4 months
Text
Forum Penikmat Kopi: Hamidi Said, Guardian Coffee 'Aroma Gayo'
Hamidi, Penikmat itu Genuine!!: It’s amazing how the world begins to change through the eyes of a cup of coffee, coffee – it’s the lifeblood that fuels the dreams of champions! Ya Udah Gitu Aja – No matter how beautiful the engraved letters are, can they be meaningful if there are no gaps? Can it be understood if there are no spaces? Aren’t we only able to move if there is distance? And love…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
samjunanto · 10 months
Text
Tumblr media
Selumbari, gw dan sinefil kebanggaan gw, @aduyahud, baru saja membicarakan mengenai apa saja unsur-unsur yang perlu dikembangkan oleh sutradara agar bisa menjadikan sebuah film sebagai sebuah mahakarya. Dan dengan ini, gw mantap memberikan ponten sempurna terhadap Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (JTSDFF).
Genuine dan Genius rasanya adalah dua kata yang tepat untuk merangkum komentar gw akan film ini. Yandy Laurens mampu mengemas film ini hingga dapat memuaskan insting dan hasrat para penikmat film, khususnya gw, secara kognitif dan emosional.
Film ini begitu genuine. Sebagai sebuah rom-com, plot yang disajikan begitu tulus dan apa-adanya, bak seutas benang yang terpilin dengan rapi, hingga mudah untuk “berosmosis” ke dalam sukma para penontonnya karena begitu relevan dengan kehidupan sehari-hari. Gw pribadi, ketika menikmati film romance, akan menilai bagaimana film tersebut menyajikan premis/konsep tentang cinta, relasi dan romansa itu sendiri. Semakin sepaham dengan kita, semakin mudah kita untuk jatuh cinta dengan film tersebut. Hal ini akan gw elaborasi lebih lanjut di belakang.
Genius adalah istilah yang rasanya masih merendahkan kemampuan otak mas Yandy dalam menulis dan men-direct film ini. Kesederhanaan benang tadi berhasil dirajut dengan begitu teliti dan presisi sedemikian sehingga menghasilkan gaun yang begitu megah. Plot-line yang kemudian disulam dengan elok, ke kanan, ke kiri, naik, turun, keluar, ke dalam, berhasil menjadikan film ini menjadi suatu meta-movies berlapis-lapis dengan segala foreshadowing dan Chekhov's gun-nya.
This is how i Imagine what Nolan would’ve done, should he’d made a Romance. (sorry Nolan, Laurens got it first). Kendati demikian, berbeda dengan gaya Nolan yang intens dalam menonjolkan kemahirannya bermain alur, (apalagi Tenet yang rasanya terlalu ambisius dijungkirbalikan hingga jadinya kureng, bikin bingung dan ga nyampe apa yang mau disajikan), film ini diracik dengan tetap mempertahankan kesederhanaannya, hingga pelintiran alur yang ada hanya memperkaya rasa dari cerita yang sudah manis dan hangat. Pas.
Mari kita tilik kembali pembicaraan gw dengan aduy selumbari malam. Ketimbang suatu pembicaraan, sebenarnya lebih banyak peran aduy untuk mengulas apa sih yang penting bagi sebuah film untuk jadi mahakarya, dan gw hanya sekadar memvalidasinya.
Satu hal yang kita bahas, rasanya sebuah film tidak usah terlalu ambisius, memasukan segala isu moral hingga akhirnya film tersebut terlalu bercabang, namun tidak ada yang tuntas dan malah menjadi antiklimaks. Film ini simpel, yang ingin disampaikan hanya satu dan sudah disampaikan di tajuknya: Jatuh Cinta seperti di Film-Film. Tema ini begitu konsisten dan kerap diingatkan ulang dalam tiap sequence-nya. Kritik dan satir mengenai dunia perfilman, yang penuh dengan gimmick, diselipkan dengan rapi tanpa mengkontaminasi keutuhan tema dalam film ini. 
Hal lainnya adalah tentang penokohan. Film yang legenda adalah ketika karakternya begitu kuat dan tergambar jelas. Ga usah bikin karakter yang ngoyo-ngoyo kalau pada akhirnya justru jadi loyo, dan membuat kita gak kenal dengan siapa sih dia. Misal, karakter Rangga dan Cinta di AADC ya jelas akan abadi karena kita tidak akan pernah terasa asing dengan pribadi mereka serta segala character development-nya. Betul, semua hal itu menjadi tanggung jawab besar aktor/aktrisnya, tapi hanya dengan sentuhan sutradara yang baik yang berhasil mengoptimalkan potensi aktor/aktrisnya, yang mampu membuat karakter itu benar-benar terbentuk dan bisa melekat di hati penontonnya. Jadi inget video mas Riri Reza Riza yang ngomong kurang lebih “Ya ini lah akting, akting itu ga pernah bicara tentang teknis, tentang air mata keluar dari kiri atau kanan”. Jleb.
Aduy juga berpetuah. “Unsur musik tu penting banget tahu. Ga bisa film tu terasa kering tanpa suara”. Ini adalah salah satu ceklis dengan nilai rata kanan yang perlu gw tonjolkan. Terima kasih banget teh Yura Yunani Yunita dan suami telah menyuguhkan telinga kita dengan keindahannya suaranya. Selain itu, penempatan scoring yang jitu bener-bener mempertegas nuansa emosi yang ada dalam film ini hingga kita mudah terlarut dalam menyerap serta mengenali segala sentimennya. Sometimes, the silence is even heard louder. Memang lain dengan Zimmer yang intens, tapi tujuannya sama-sama tercapai. Lagi-lagi Yandy Laurens berhasil unjuk gigi bahwa dirinya punya kemampuan setara dengan Nolan, namun dengan karakter yang bertolak belakang.
Celotehan Aduy lainnya, yang ia sampaikan bak lagi nge-high, adalah “to some extend, film itu harus literal, ga bisa segalanya mesti sesuatu yang kita simpulkan terlebih dahulu tapi ga bisa kita rasakan langsung pas nonton. Bayangin nanti pas lagi screening terus semua pertanyaan dijawab sama sutradaranya ‘itu semua kembali ke interpretasi penonton masing-masing ya’, lho dia sendiri mau menyampaikan apa? Bukannya justru itu yang ingin kita diskusiin sama sutradaranya?” Tenang duy, film ini begitu literal, it is even literally verbalized.
Ponten yang sempurna rasanya sudah disematkan di buku rapor JTSDFF. Namun, satu hal yang waktu itu gak kita bahas, yang menurut gw merepresentasikan tingkat kejeniusan tertinggi dari mas Yandy, adalah kemampuan film ini untuk memverbalisasi semua unsur dalam film itu sendiri. Dengan setting yang berhasil dikembangkan oleh script dan direction mas Yandy, segala hal tentang film ini bisa terverbalisasi dengan spontan, luwes tanpa ada kecanggungan sama sekali. Tapi hal ini ga bisa gw elaborasi lebih jauh karena sangat berpotensi tinggi akan spoiler. Yang jelas beberapa kali gw tertawa renyah tatkala menyaksikan berbagai bentuk verbalisasi yang ngebuat gw berpikir “anjir, ini pikiran gw dibaca?”
Terakhir, yang membuat gw merasa bahwa mas Yandy ga hanya sekedar jenius tapi juga bijak adalah ketika pada akhirnya film ini memfasilitasi kita untuk memahami bahwa jatuh cinta yang relevan adalah jatuh cinta yang disampaikan dengan sederhana. Pada akhirnya, segala kemegahan teknik-teknik sinematografi yang telah diverbalisasi oleh mas Yandy itu justru dilunturkan sepenuhnya oleh dirinya sendiri. Seolah-olah dirinya bertutur bahwa “i could do everything perfectly, but eventually it doesn’t matter at all” (beda banget sama gw yang akan tetap berprinsip “I have to do everything perfectly, because that’s the only one matters”). Gw gak akan pernah paham meditasi yang telah mas Yandy lakukan, Nirvana apa yang telah ia capai atau justru tragedi apa yang pernah ia alami hingga bisa sebijak dan sejenius itu menyampaikan premis mengeni jatuh cinta. (dan ini adalah sesuatu yang ingin gw tanyakan ke beliau secara langsung).
Mas Yandi pada akhirnya berhasil untuk mengingatkan kembali kepada kita bagaimana untuk jatuh cinta, atau mengekspreksikan berbagai emosi lainnya, dengan cara yang sepatutnya: TIDAK seperti di film-film. Untuk selanjutnya, mungkin akan sangat spoiler jadi ya kalau belum tonton, tonton segera sebelum membaca. [SPOILER ALERT]
Satu hal yang paling bikin gw tertegun adalah karena keunikan film ini untuk memverbalisasi segala hal dengan luwes. Cuma film begini rasanya yang bisa melakukannya se-luwes ini. Contoh yang paling nyata betul gw rasain adalah pada scene ketika bertengkar di rumah makan padang. Di sesi pertama: ketika Bagus dan Hana masih diperankan Ringgo dan Nirzub. Gw ngerasa pertengkarannya begitu unik, dengan close up bolak balik yang bikin pertengkarannya terasa intens. Eh terus langsung dilanjutin suara produser sampahnya: 'nah ini unik pertengkarannya gus' Belum sampai di situ. Lanjut lagi scene ini direka ulang ketika Hana dan Bagus dilakoni sama Julie Estelle dan Dion. Scene yang kedua dilakoni Julie Estelle dengan lebih lempeng dan ga dibuat close up bolak balik. Sedangkan isinya ya si Bagus versi Asli (tapi ga asli) ngeliatin si Hana di layar director-nya secara menyeluruh. Di scene itu ga ada Bagusnya sama sekali. pure Hana. Gw mikir 'oh ini si Bagusnya lagi beneran mau coba peka kali ya, bener2 berpusat pada Hana aja tanpa ada Bagusnya. Gak kayak scene pertama pas Bagus masih egois. eh tapi... sebenernya emang lebih jujur kayak gini, tapi jujur lebih keren (secara sinematografi) scene yang awal, yang close up bolak balik'. Pas lagi mikir gitu tiba-tiba nanti ada si Produser Kreatif yang ngomong 'eh bakal keren ni kalau banyak shoot close up nya, nanti bakal close up satu-satu set set set'. LHA GUE JUGA BARU MIKIR GITU BU. ini film bisa baca pikiran gue ya? banyak banget bentuk verbalisasinya. Misal 'ini Bagus sok2an baek tapi sebenernya jahat juga ya, dia masih berduka cuk'. Nanti itu diomongin sama Julie dan Dion. Atau misalnya, 'ini bukannya Bagus keknya' yang punya kognitif eror. Nanti diverbalkan dengan gamblang "bukan kamu yang punya false belief, Na. Gw". Bahkan bentuk verbalisasi yang nunjukin suatu scene itu merupakan titik terendah dengan cara yang super gamblang nulis 'breaking point'. Cuma bisa ketawa deh ngeliatin proses segara verbalisasi ini. Satu bentuk momen "anjir pikiran gw dibaca deh" lainnya adalah ketika scene pertengkaran antara Bagus dan Hana pas scriptnya ketahuan. Gw mikir, ini oke, bagus, intens tapi seperti ada yang off. Kayaknya kok si Hana agak kurang pas ya tiba2 cara berantemnya kayak gini. Agak sedikit Out of Character. SAMPAI PADA AKHIRNYA PAS SEQUENCE TERAKHIR: "Ya gue marah, tapi marah emangnya mesti ngamuk-ngamuk kayak gini?" "Marah kalau di film tu gini, ya ngamuk-ngamuk terus ngeluarin kata-kata yang bagus kayak gitu tu@
Lha pantesan gw ngerasa Hana itu Out of Character. Itu tertanya penghayatannya Bagus terhadap Hana bila Hana dihadapkan sama situasi itu. Keren banget deh sumpah. Foreshadowing di film ini luar biasa. Ada istilah namanya Chekhov's gun, yang analoginya. Kalau di film itu ada scene seseorang ngegantungin pistol, ya pistolnya harus beneran dipake. Scene itu ga boleh kebuang aja. harus ada tujuannya. Itu tu film ini banget. Misal, pas banyak adegan ngambil mie instan berkali-kali, yang salah satu metafor karena di scene itu si Bagus mesti nyelesaiin secara instan filmnya, dan nunjukin kalau orang makan mi instan mulu tu berarti si orang itu bener2 lagi diburu2 deadline banget. Eh terus berikutnya langsung ada scene Bagus masuk rumah sakit karena makan mie instan (ceritanya). Jadi berhubungan banget sama scene sebelumnya. Ga misal ujug2 sakit karena apa gitu. Dan si Chekhov's gun diulang berulang-ulang terutama untuk menyajikan humor yang cerdas. Contohnya: "baju saya udah keujanan lagi deh", terus nanti ada si Dion "eh baju yang dijemur belum kering ya". Ngomongin Film adaptasi "Terlahir Kembali, Reborn" (yup namanya aja udah jenaka. yang bentuknya trilogi. Nanti diliatin di berbagai adegan kalau si Bagus pakai Baju Terlahir Kembali, Reborn beserta dengan berbagai versi sequelnya. Yang nanti si sequel ini jadi epiphany-nya si Bagus. Perfect. Jokes tentang sutradara baru yang tiba2 pergi ga ada alasan jadi foreshadow untuk tingkah Bagus yang serupa. Bahkan jokes tentang Asisten sutradara yang pusing pingin kopi, Ditawarin sama crew teh apa kopi, padahal airnya ga ada. IYA KITA TAHU AIRNYA GA ADA KARENA SI AGUS BAWA BELASAN GALON KALIAN. ini menurut gw humornya jadi lebih bikin ngakak lagi. Kalau ga ada adegan motor galon yang kita tahu bakal dibawa, ya udah jokes itu cuma bakal jadi sekadar jokes. Di sini semua line itu bener2 penting. keren banget deh. Tapi poin terakhirnya tu beneran tamparan sih. Untuk mengungkapkan emosi apa adanya. Scene ketika Bagus di kehidupan nyata (yang paling nyata) ngungkapin perasaan aslinya itu bener2 ga ada teknik sinematografi apapun. FLAT. ga ada romantisasi seperti di film-film. Ya Close up shot lah, ya scoring yang mendadak berubah-ubah, ga ada kata-kata bak pujangga dari bagusnya. bener-bener flat di ruangan yang berantakan. Gw lagi mikir, "eh ya gini ya harusnya jatuh cinta, ga usah pakai banyak gimmick". DAN LAGI-LAGI langsung diverbalisasikan oleh nirzub di dialognya. Udah deh nyerah, bener2 ditelanjangi pikiran gw. Ga cuma jatuh cinta. berduka yang dramatis tapi sebenernya ga natural. Marah yang bagus tapi out of character. Itu semua diomongin di akhir. Bukan gitu cara lo berekspresi di dunia nyata, ga kayak di film yang cuma ada di pikiran sempit seorang pembuat film. Tampak familiar? Ya bener... itu adalah salah satu dialognya Hana pas lagi berantem. Kombinasi antara verbalisasi dan Chekhov's gun. Tapi yang menariknya adalah ga semua yang diverbalkan itu jadi nyata. Misalnya diverbalisasikan kalau scene hitam putih itu karena Hana lagi berduka. Tapi menurut gw pribadi, hitam putih itu menunjukan kondisi di dunia film. yang walau sinematografinya megah, tapi ga ada emosinya, dan cenderung ngelihat sesuatu hitam dan putih. Tapi scene berwarna adalah scene real life, yang meski sederhana tapi itulah emosi yang sesungguhnya dapat terlihat. Sungguh pingin menjaga film ini jangan sampai dimuseumkan ke British Museum. Bener-bener harta karun negara! Genius sekaligus Genuine.
0 notes
bayuindraa · 7 years
Text
Connecting With Customers : Starbucks Experience
Tumblr media
Starbucks History
Pada tahun 1971, berdiri sebuah kedai kopi yang namanya terinspirasi oleh novel karangan Herman Melville, Starbuck. Perusahaan yang berbasis di Seatle, Amerika ini berkembang secara pesat hingga saat ini, tercatat perusahaan ini telah membuka sebanyak 24.000 outlet yang tersebar di 70 negara. Perusahaan yang melayani 60 juta pelanggan setiap minggu ini berhasil meraup keuntungan lebih dari 10 juta dollar selama lebih dari 45 tahun. Perjalanan menjadi  business leader tidaklah mudah bagi Starbuck, pada medio februari 2008 mereka menutup semua toko penjualannya di seluruh Amerika . Namun ada hal lain yang membuat Starbuck masih bisa bertahan hingga saat ini, yaitu cara mereka menciptakan koneksi dengan konsumennya, “ada sesuatu yang lain dibelakang brand Starbuck yang membuat mereka sukses, mereka menciptakan pengalaman tersendiri di setiap tokonya, menumbuhkan loyalitas pelanggan, merangsang pertumbuhan bisnis, menghasilkan keuntungan dan memberi energi kepada karyawannya di saat yang sama” tulis Joseph Michelli dalam buku The Starbucks Experience.
Starbucks Experience
“Marketer yang sukses adalah mereka yang menjaga kepuasan dan kesetiaan pelanggannya” (Kotler: 2016). Seperti yang di kemukakan oleh Kotler, keberhasilan marketer diukur oleh seberapa mampu entitas bisnis tersebut untuk mengelola relasi dengan kostumer mereka secara jangka panjang. Beberapa perusahaan bahkan menempatkan kostumer pada piramida paling atas dalam bisnis model mereka. Hal tersebut disadari dan diterapkan pada perusahaan Starbucks, dengan menciptakan Starbucks Experience.
Dengan konsep Starbucks experience, perusahaan berhasil menciptakan “emotional connection” antara kostumer, komunitas dan staff starbuck itu sendiri. Starbucks  berhasil menciptakan competitive advantage dengan mengolah feedback untuk menghasilkan strategi dan langkah yang terbaik bagi perusahaan.
Dengan kata lain, dengan sinergi tersebut starbucks berhasil mengidentifikasi dan menciptakan sesuatu yang diinginkan oleh konsumen mereka.  Kotler menyebutkan bahwa ada 2 aspek mendasar dalam memahami CPV (costumer perceived Value) yaitu TCB (total consumer benefit) yang memiliki 3 aspek, yakni aspek nilai dari produk tersebut, fungsi serta nilai psikologi yang konsumen rasakan  dan TCC (total consumer cost) yang meliputi biaya moneter, waktu, energi dan biaya psikologi. Senada dengan apa yang Kotler sampaikan, Starbucks berhasil memahami apa yang konsumennya harapakan ketika mereka berada di outlet starbucks seperti dilayani dengan ramah dan bersahabat sebagai nilai psikologi yang konsumen rasakan, selain nilai dan fungsi dari produk. Sesuai dengan salah satu perinsip Starbucks yaitu “everything matters”, dalam penerapan prinsip tersebut Starbucks berusaha menciptakan desain yang menyeimbangkan aspek kehangatan (warm) dan bersahabat dalam atmosfir/suasana tokonya.
Prinsip selanjutnya yang starbucks terapkan adalah “Make it your own” yang mengedepankan “Starbucks five ways of being”. Dalam konsep tersebut, dijelaskan hal hal yang starbucks terapkan pada setiap pelanggan agar merasakan pengalaman yang berbeda, seperti be welcoming, be genuine, be considerate, be knowledge, be involved yang bertujuan agar setiap orang yang masuk ke sana memiliki pengalaman dan kesan yang mendalam. Dalam membuat pelanggannya merasa special secara personal, setiap barista dan staff lainnya menanyakan nama pelanggannya satu persatu, menuliskan nama mereka, hingga berbincang bincang tentang apa saja. Dari hal tersebut terciptalah “emotional connection” antara pelanggan dan staff starbucks itu sendiri. Hal tersebut menghadirkan bukan saja hubungan antara pembeli dan penjual, namun lebih jauh lagi yaitu relasi pertemanan antara barista dan penikmat kopinya. Dalam menerapkan nilai dan budaya tersebut diseluruh jaringan penjualannya, perusahaan menciptakan sebuah buku panduan yang diberi nama Green Apron Book, sebuah buku yang berfokus pada bagaimana menciptakan hubungan personal yang baik dan menjalin koneksi dengan kostumer.
Dalam perusahaan tersebut juga dikenal istilah “Starbucks service-minded culture” yang berkaitan dengan proses transformasi nilai Starbucks kepada seluruh sumber daya manusia didalamnya, dimana setiap staffnya termasuk barista dipahamkan tentang bagaimana merespon kostumer, dan pemahaman akan langkah langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam perusahaan tersebut terkait kejadiaan yang tidak terduga. Prinsip ini dikenal dengan nama “Surprise and Delight”. Prinsip ini berfokus pada respon proaktif dari baristanya dan tidak kaku dalam menghadapi berbagai kemungkinan. hal ini kemudian yang menjadikan para baristanya sebagai marketer perusahaan secara tidak langsung. Berikut adalah apa yang Duane, salah satu penggunjung Starbucks sampaikan tentang pengalaman pertamanya
“I was at music-listening bar at a local stabucks. I had never seen one before. A barista took the time to show me how I could listen to all this music for free. I got to hear whole songs from artist I’d never run into. I totally lost track of time. I was in there for three hours drinking coffee and listening to music, and all the music listening was free. Unbelievable!” (Michelli:2007).
Cuplikan percakapan yang Duane sampaikan diatas mengambarkan bagaimana prinsip “Surprise and Delight” sebagai salah satu pondasi dari “Starbucks Experience” bekerja, bisa terlihat dari hal hal kecil yang barista tersebut lakukan seperti menanyakan nama, berbincang dengan kostumer, hingga membantu menyetel musik pelanggan adalah point of difference dari Starbucks. Mereka memberikan hal lain selain produk kopi maupun makanan yang disajikan namun bertindak lebih jauh dengan membantu pelanggannya untuk menikmati keramahan dan kehangatan dari pelayanan mereka seperti apa yang Duane alami. Kotler menyebut bahwa dalam membangun loyalitas pelanggan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu mengembangkan program loyalitas pelanggan, menciptakan ikatan institusional, dan berinteraksi lebih dekat dengan kostumer. Lebih lanjut, Kotler menekankan bahwa ikatan yang di bangun tersebut akan memberikan dampak positif bagi kostumer maupun pegawainya, seperti menimbulkan empati dalam benak konsumen dan karyawan merasa diapresiasi atas respon yang konsumen berikan kepada karyawannya.
BRAND COMMUNITY : My Starbucks Idea
Selain menawarkan pengalaman, Starbucks juga mendesain program marketing guna menjaga konsumennya agar tetap loyal. Program yang diberi nama My Starbucks Idea ini memanfaatkan internet sebagai media penyambungnya komunikasi antara Starbucks dengan Brand Community-nya. Selain untuk mengkomunikasikan produk baru yang mereka miliki, Starbucks juga memanfaatkan program tersebut untuk mendengarkan tanggapan, saran atau ide baru dari pelanggannya yang kelak ide tersebut digunakan untuk mengembangkan produk yang sudah ada atau menciptakan produk baru. Dikutip dari barnraisersllc.com, Vice President Brand, Content and Online Starbucks, Chris Bruzzo mengatakan “we used to launch a new product and it cost millions of dollars. Now, when we launch a new product, we already have millions of fans”.  Sesuai dengan tagline mereka “Revolutionary or simple - we want to hear it ” starbucks mengajak para penikmat produknya untuk mengemukakan saran bagi Starbucks tidak hanya dari aspek produk saja, tetapi juga dari berbagai aspek seperti aspek pelayanan, komunitas, teknologi dan lain sebagainya. Dengan adanya platform semacam ini dapat membantu Starbucks menurunkan marketing costnya dari segi waktu, dan biaya pengembangan produk karena mereka dengan cepat dapat menganalisis apa yang konsumen inginkan/butuhkan dari perusahaan dan menghasilkan program marketing yang tepat sasaran dan berbiaya rendah.
  LAMPIRAN & DAFTAR ACUAN :
Schultz, Howard & Gordon, Joanne. 2011. Onward : How Starbucks Fought for Its Life Without Losing Its Soul. Rodale Books.
Michelli, A. Joseph. 2006. The Starbucks Experience : 5 Priciples For Turning Ordinary Into Extraordinary. Us : McGraw-Hill.
Kotler, Philip & Keller, Kevin Lane. 2016. Marketing Management Fifth Edition. Us : Pearson.
Photo by Ben White on Unsplash
0 notes
yaudahgituaja · 4 months
Text
Forum Penikmat Kopi: Hamidi, Penikmat itu Genuine!!
coffee lovers are genuine, so never waste your felling on people who don’t value your emotions.. go a head.. make our dream powerfull.. Ya Udah Gitu Aja – Hanya Penikmat Kopi yang Faham bagaimana Kopi memberikan Inspirasi dan Semangat. It’s amazing how the world begins to change through the eyes of a cup of coffee, coffee – it’s the lifeblood that fuels the dreams of champions! Bersahabatlah…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes