Surat #2
Yogyakarta, 18 Januari, 2021
10.03 PM
Satu-satunya Jatikalimasada
—
Sudah makan malam, belum? Kemarin aku dengar hari ini harus kerja dari kantor, ya? Kadang-kadang aku pingin iseng menekan nomor orang bagian human capital di kantormu, biar tahu kalau Jakarta sudah bukan panen covid-19, tapi benar-benar menang banyak perkara virus. Masa masih bisa-bisanya ke kantor? Kadang pergi ke utara sana pula. Kalau nyawamu sembilan masih lebih baik, masalahnya nyawamu satu. Belum lagi kalau sakit fragile-nya minta ampun. Sekalipun minum sari daun kelor, dan yadda, yadda, ketemu banyak manusia kan juga mengerikan, ya. Ganti masker medis tiap 4 jam sekali. Jangan lupa bawa tambahan masker juga. Sebelum masuk kamar, semprot-semprot badan dulu. Dan—ya, oke, oke, sudah tidak usah ngomel dan di-iya-iya-aja karena nanti kalau ngga tambah panjang.
Jadi, sudah makan?
Hari ini aku kerja banyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak, dan menelfon satu relasi habis makan siang. Tanya soal kerjaan yang aku antusias buat tahu tetek bengeknya. Senang karena masih bisa dengar cerita soal pekerjaan ini; maksudku, paling ngga aku bisa tahu bahwa--mungkin--masih ada harapan untuk belajar, sekalipun kerja sambilan. Sebelumnya, aku olahraga, jauh lagi sebelumnya aku makan buah naga sisa potongan kapan hari. Selesai olahraga, aku meditasi. Kalau ngga salah empat menit. Pokoknya sampai salah satu lagu original soundtrack Reply 1988 selesai. Setelah itu aku melempar badan ke atas yoga mat warna biru. Lihat langit-langit rumah yang dihias lampu: dari lampu gantung cabang, sampai lampu rantai satuan. Aku lebih tenang ketimbang semalam lepas dengar suaramu.
Omong-omong, aku tidur lebih cepat dan bangun jauh lebih pagi, lho! Aku tidur jam sepuluh malam lewat beberapa menit, dan bangun pukul tujuh lima puluh enam menit. Lihat, ‘kan? Lebih pagi!
Aku jadi ingat wajah anak ayam yang terpaksa waktu aku merajuk meminta namamu muncul di layar telpon. Demi apa, tertekan bukan main. Aku tertawa, anak ayam mendengus sebal. Mungkin batinnya, buat apa ini dua hari semalam mendengar obrolan banyak-banyak--yah, tapi gadis satu itu kan maha pengertian, jadi mungkin juga tidak berpikir begitu, sih--belum ada 2x24 jam sudah minta-minta ditelfonin kakakku. Tapi, karena adikmu itu juga adikku--memang adikku, sih--nurut-nurut saja dia. Layar telepon genggamnya menunjukan detik yang bergulir; satu, dua, lalu suaramu mengudara. Bukan suara yang biasanya menyapa aku dengan: ‘Dor!’ atau ‘haloooooo’ pakai ‘o’ yang panjang, dan ‘Lagi apa?’ yang manis. Sebenarnya, lagi, lagi, aku juga kaget pun ngga waktu suaramu tegas bilang bahwa pulang adalah pilihan bodoh.
Karena ya ini kan Elrepyan Upadio? Kalau bukan karena kepalanya terbentur, atau alasan-alasan urgent macam kangen, mana mungkin juga pulang?
Makanya, sekalipun kerja dari rumah, aku juga yakin--jauh sebelum kau bilang--keputusan untuk tetap di Jakarta, alih-alih pulang ke Yogyakarta, akan jadi pilihanmu. Meski sekalipun kau jelaskan perkara nanti kalau pulang tidak punya ruang kerja yang layak; ada air conditioner, dan sejenisnya, tetap saja aku membatin ya karena di sini kan ada aku, jadi pasti kau tetap pilih Jakarta.
Walaupun kalau dilihat pakai nalar, milikmu 101 lebih logis ketimbang punyaku. Ya, lihat saja waktu telfon kemarin aku mengulang ‘Kalau aku ke Jakarta dan tahu-tahu di depan kos, gimana?’ yang tentu saja ya daripada dapat suara riang, malah dapat omel.
Lucunya.
Tahu, ngga? Setelah beberapa hari yang lalu tanya-tanya itu, dan memutuskan menutup akses--karena mau gimana lagi? Karena toh aku diminta pilih sendiri. Kalau aku terus buka jalur, pasti aku tetap di sini pakai harapan besar sekali. Belum lagi nanti ada lagu-lagu sendu yang bikin tangis mengucur. Makanya, aku pikir baiknya ditutup aksesnya. Tanpa bermaksud drama, karena apa yang mau didramain? Bersama dengan perasaan yaudah, yaudah, dan selesai baca jurnal yang lalu-lalu: entah waktu meluncur ke kolam warna-warni, atau lihat langit gelap dengan hujan dan petir melambai, aku tahu bahwa ngga ada untungnya buat aku punya harap-harap lihat Elrepyan duduk di sofa ruang depan, berhadapan sama ibuku. Aku ngga boleh terus-terusan berharap demikian. Jadi, aku mencoba memberanikan diri gitu aja buka kotak pesan ke anak ayam. Beruntung sempat papasan waktu anak ayam parkir ingak-ingik di salah satu supermarket dekat Ring Road, terus aku lihat. Jadi punya bahan pembicaraan. Ya ampun, mau memulai obrolan pakai cari-cari cara, masih kena untung aku dikasih jalan sama Yang Punya Jagad Raya! Lalu, aku kirim pesan intinya tanya tadi yang aku temui di jalan beneran Marchy, bukan? Kan bakal lebih syok lagi kalau anak ayam bilang: “Bukan Mba, tadi yang bawa mobil Mas Refi.”
Ya, ngga mungkin juga. Mon maap.
Dari situ aku coba... Mungkin, aku bisa mulai untuk pamit ke orang terdekatmu: anak ayam, ibumu--Tante. Aku rasa--wow, perasaanku benar!--buka topik ini cuman sejam, dua jam, mana bisa. Orang hubungan ini saja tiga tahun, belum naik-turunnya, belum ada orang A-Z yang turut memeriahkan hubungan. Ya, mana bisa, coba? COBA?! Jadi, aku izin untuk tidur di rumahmu, sehari, untuk pertama kalinya.
Sebelum ke rumahmu, sesiangan kepalaku penuh; nanti kalau ternyata omonganku malah berlabuh ke petaka, aku kehilangan orang-orang yang aku sayang. Aku harus gimana. Dan banyak sekali suara di kepalaku. Penuh luar biasa. Maka, waktu ibuku tanya-tanya--karena kami sedang melaju ke rumah yang entah bulan apa akan aku tempati--suaraku jadi melengking tinggi sekali. Ibuku mengernyitkan dahi. Sudah paham karena putri semata wayangnya pasti penuh pikirannya. Jadi, wanita yang pakai gamis warna hitam dan penutup kepala warna merah itu hanya berdecak sambil geleng kepala, lalu nyanyi ‘Gelas-Gelas Kaca’ bagian reff. Kembali lagi karena ini Bella Antika, sampai di bangunan aku jadi pikir-pikir lagi... Kepingin ngajak ngobrol empat mata, tapi ibuku diajak ke mobil malah melipir nanya spirit yang kapan hari muncul ke Mas Aziz, tukang yang lembur--gila, kan, 2021 tukang bangunan lembur. Kamu pasti baru tahu!--aku jadi serba salah. Lalu,aku bilang gini ke ibuku: "Ma.. Aku lagi pusing kerjaan, mau peluk.” Padahal ya emang pusing kerjaan, juga pusing karena kok jadi gini ya hubunganku tolong. Syukur karena ibuku cepat tanggap dan tahu kalau isi kepala dan hatinya Bella Antika ngga beres. Jadi, aku pamit kalau mau tidur di rumahmu, bilang ke ibuku kalau aku mau pamit... Ibuku cuman tepuk-tepuk bahuku. Ya, dia bilang satu, dua kali soal Elrepyan, kaya yang sudah-sudah. Tambahannya paling bagian ini: “Semangat.” yang bikin aku senyum getir.
Mana ada orang patah hati bisa semangat?
Sebelum ke rumahmu, aku mampir ke cucian mobil di kiri jalan. Aku pikir itu langgananmu, tapi ternyata bukan. Aku lihat mobil, motor, sepeda, sesekali bapak/mas-mas jualan bakwan kawi lalu-lalang, sambil kepalaku dipenuhi pertimbangan jadi menginap, atau bertamu aja, ya? Bawa mobil sendiri, bawa buah tangan kaya yang dulu-dulu tiap ke rumah. Ngga perlu pakai menginap.
Ada kan perasaan ingin membatalkan semua-semuanya di detik-detik terakhir?
Lalu aku lihat bayangku di kaca samar tempat cucian; aku bisa lihat wajahku yang ketutupan masker, setelan cokelat atasan-bawahan, sandal putih yang aku beli di teman kerjaku, tas hitam kesukaanku, dan yang paling aku bisa lihat adalah sepasang mataku yang lihat bayanganku. ‘Kalau bukan hari ini, mungkin ngga ada hari-hari lain.’ kayanya, kurang lebih aku membatin demikian. Selesai cuci mobil, aku tancap gas cepat-cepat--karena anak ayam bilang sudah lepas landas menuju Dirgantara--ternyata sampai depan rumah, belum juga sampai. Aku ketawa pelan, ingat kalau gadis satu itu kan baru lanyah bawa mobil berapa bulan, masa iya kecepatannya sama kaya kalau kau bawa mobil.
Aku bawa piyama garis-garis, skincare, udah. Ngga ada pikiran bawa baju ganti pergi karena... Ya, kan aku ke rumah untuk pamit, buat apa bawa baju ganti pergi? Paling habis bangun tidur, sarapan, mandi, terus pulang. Itu juga aku pikir paling siang aku pulang sampai rumah jam satu siang.
Anak ayam datang, cengar-cengir. Pintu dibuka dan... wow, here we go again aroma laut yang tahun lalu aku tertawakan dan bikin kernyit di dahi dan ranummu mengerucut saking aku mengulang-ulang bilang bahwa aromanya asing bukan main dan... aneh baunya. Tapi, hari itu aku tertawa; entah karena ingat Elrepyan, atau ingat obrolan kita soal pengharum mobil satu itu. Kalau bukan karena Elfira di sebelahku, tangisku mungkin sudah di pelupuk mata lagi. Untung, tidak.
Kami beli jajan kesukaanku. Betul! Taigeroarsprung! Mereka punya ceker yang enak betul, besok kalau pulang wajib coba. Ada wotie juga, isinya ayam cacah dan entah apa, lalu beli hakau isi udang, bapao telur asin--yang kata anak ayam mirip selai apa ya lupa. Srikaya? Eh, apa, ya? Aku lupa. Pokoknya punya tekstur--dan cakwe udang--yang ya sekali lagi--gosong. Untungnya, Tante, dan anak ayam makan lahap-lahap saja.
Ternyata ya, aku kangen juga dengan suasana rumah yang penuh dengan tanaman entah di taman belakang, depan, atau lorong bagian tempat jemur. Aku kangen suara heboh Tante waktu buka tudung makan dan... beneran, ada banyak banget makanan! Tante masak rawon, ada telur asin yang udah masak dan dipotong jadi dua, ayam-ayam fillet tepung, tempe goreng, sayur jipang enak, kolak--yang aku kira isinya bakal ada duriannya. ‘Kan, lumayan ngga ada Elrepyan jadi aku bisa makan durian yang banyak--dan ini dia andalan Ibu Hadijah: jahe rebusan pakai empon-empon satu hektar, jangan lupa madu--untung punyaku diisi madu anak ayam--atau gula batu, dalam kondisi panas. Anti covid, kata ibumu.
Kami makan bertiga sambil ngobrol ini-itu. Lanjut ibadah, kali ini satu jajar, karena biasanya kan yang di depan kau. Selesai itu, aku tanya ke anak ayam kalau bagian lantai dua--yang adalah kamarmu--sering dibersihkan atau keluputan? Tentu saja itu akal-akalanku, karena aku juga rindu lihat-lihat lantai dua. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku lihat lama-lama. Jadi kami, aku, anak ayam, dan ngga berapa lama disusul Tante, lihat-lihat kamarmu. Lagakku persis pengunjung pameran seni; badan membungkuk ke depan, coba buka kotak penuh debu bekas menaruh hadiah tiga tahun yang lalu--instalasi seni kan ada yang boleh dipegang atau dibuka-buka, jadi anggap saja demikian--tapi ternyata isinya cuman satu box hitam. Mataku melesat ke bagian atas rak, dan--YES! Aku dapat satu harta karun yang dibalas senyam-senyum anak ayam. Yah, pokoknya adalah aku dapat satu harta karun di kamarmu yang bisa aku genggam sampai turun ke lantai bawah, aku tutup tisu, lalu aku masukan kantong tasku. Untung, Tante ngga lihat.
Kalau ketahuan, malu juga. Walaupun tetap akan aku bawa pulang juga.
Setelah sesi cemal-cemil ronde satu, Tante pamit ke kamar karena katanya kerjaannya segunung. Di dapur, aku update hidup sama anak ayam sampai lewat jam sebelas lebih; soal tempat makan sushi langganan kita yang dikudeta, temanku si S, temanku yang baru punya pacar dan pacarnya ajaib minta ampun, soal banyak sekali. Sampai akhirnya kami pindah kamar habis selesai makan malam--Tante ngga ikut soalnya udah dalam mode curl up into a maguro mentai roll, alias tidur bergelung pakai selimut di atas kasur--ganti baju tidur, pakai skincare--masa aku pakai ampoule anak ayam jerawatku langsung pada kalem. Whoa! Should I buy?--terus lanjut cerita-cerita soal update kehidupan Elfira. Ternyata, ya, bahkan gadis yang selalu aku kira ketawanya paling renyah dan polos ini, punya juga ketakutan-ketakutan. Aku bersyukur dibagian Elfira punya teman-teman yang baik; jadi dia ngga merasa sendirian. Bisa melalui pelan-pelan ketakutannya bareng orang-orang yang dia sayang. Bagian itu, aku benar-benar bersyukur.
Titik dimana aku mencoba memberanikan diri buat bicara perkara Elrepyan dan Bella Antika--yang rasanya selalu didengar Elfira--kali ini rasanya... sedikit berbeda; aku ngga tersenyum kaya yang lalu-lalu kalau kita bertengkar soal ini-itu. Aku sibuk komat-kamit bilang terima kasih ke anak ayam; gadis SMA yang sekarang udah besar dan punya tanggungan tugas akhir. Padahal perasaan baru kemarin aku check website buat make sure kalau bungsu Pak Dosen ini lolos masuk jalur mandiri (...bentar, aku pikir kali ini aku ngga bakalan nangis, tapi bagian ini bikin aku mulai berkaca-kaca), tapi ternyata udah sebesar ini. Bolak-balik dengar hubungan kita; dari di depan es pisang ijo Mandala, di tempat ibadah rumahmu, sampai sekarang di kamarnya. Aku pikir juga, karena tangisku berulang kali bercucuran beberapa hari terakhir, malam itu suaraku bakal konstan, bisa menyampaikan apapun dengan tenang, ternyata tetap bergetar dibanyak bagian. Aku pikir anak ayam juga akan baik-baik saja, ternyata tangis kami saling susul. Elrepyan benar-benar punya adik yang baik, dan pengertian. Pun, bisa menyikapi banyak hal dengan tenang. Dia ini ya sudah macam jembatan penghubung kemauanmu dan ibumu, tahu. Coba sekali-kali ditanya juga bungsu ini mau disayang pakai apa.
Jam tiga lewat lampu kamarnya baru dimatikan, tapi aku susah tidur, jadi aku lihat pintu kaca yang tembus ke kamar mandi, lalu mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar. Usai adzan subuh mataku terpejam, kalau tidak salah. Padahal aku bertekad bulat untuk bangun subuh, jadi bisa bicara banyak sama Tante.
Jujur, bangun-bangun aku kaget karena kamar anak ayam dingin minta ampun. Buru-buru cek handphone ternyata jam sembilan pagi. Lalu cepat-cepat cuci muka, sikat gigi, dan jinjit keluar kamar anak ayam--anaknya tidur tanpa berubah posisi untungnya. Aku kira Tante masih tidur, soalnya jam satu pagi Tante bangun dan katanya mau bikin tugas segunung setelah tidur dua jam. Tapi, ternyata ngga ada di kamar. Ternyata di taman belakang lagi asik duduk sambil potong bonsai. Waktu aku susul duduk, tanganku malah digandeng masuk. Katanya, di luar dingin, nanti kalau aku masuk angin bisa diomelin dari Jakarta. Aku ketawa, padahal mencelos juga hatiku.
Tante bikin pisang goreng--kemarin pisangnya juga ada di kolak. Manis banget pisangnya omg--katanya beli di mall sebelah alias depan stadion. Sekarang daerah situ isinya orang jualan. Kayanya comeback Sunmor UGM bakalan kalah mengingat tenant di sekitar Stadion lebih banyak. Kata Tante, harga pisang kepoknya dua puluh ribu aja, padahal biasanya beli pisang di pasar tani harganya tiga puluh ribu. Mau nyari apa aja sekarang enak, tinggal ke mall sebelah. Bahkan, katanya ada tenant Nevada Gardena jualan di situ. Aku udah ngga tahu mau amazed atau kasihan sama tim pemasarannya Nevada.
Kangen Eyang Putri, ngga? Tante cerita kalau pingin banget bawa Eyang ke sini lagi aja. Solo dan segudang hal bikin Eyang jadi kesulitan untuk senang-senang, gitu kata Tante. Aku jadi ikut kepikiran. Apalagi, hari Kamisnya aku sempat mimpi Om. Kami duduk di ruang tunggu rumah sakit, persis waktu pertama antar Om. Sebelum ada tie dye ramai-ramai, Om udah pakai itu duluan; biru-putih. Kami duduk sebelahan, di depan dan di belakang ada orang duduk juga. Harusnya aku ngerasa canggung kaya waktu nemenin Om ke Rumah Sakit pertama--siapa yang ngga canggung dan grogi pergi sama ayah pacarnya?--tapi di mimpi itu, aku malah nangis. Kepalaku nunduk, dan mataku lihat ubin kotak-kotak putih yang bersih dihujani air mata. Aku ingat betul, aku bilang maaf berulang ke sosok di sebelah kiriku, Konteksnya tentu saja sulung kebanggaan bapak umur lima puluhan di sebelah kiri. Padahal, aku sama sekali ngga sebut nama kamu.
Kalau dipikir-pikir, scene aslinya memang demikian, tapi obrolannya jelas beda bukan main. Mana ada aku nangis, ada juga aku ketawa-ketawa kikuk, dan Om cerita soal Jatikalimasada yang keras kepala, susah bicara, tapi punya prestasi serenteng. Belum lagi tanya Om soal: “Refi mungkin kelihatannya dingin, mungkin salah saya didik Refi, tapi Refi orang baik... Bella sudah sama Refi ya berarti?” yang selalu bikin aku ketawa, bahkan sekarang, kalau ingat momen itu. Mungkin, ada satu, dua, atau beberapa hal yang bikin hati kepunyaanmu masih biru-biru karena memar soal rumah atau satu dari dua orang ini; entah Tante, atau Om, tapi yang harus Elrepyan tahu, sependengaranku, dan penglihatanku, laki-laki yang selalu bawa duo El melipir ke Texas waktu selesai belanja itu sayangnya minta ampun. Ingat ngga waktu sebelum berangkat ke Thailand? Aku sempat ketemu Om juga sore-sore. Om duduk di kursi yang tembusnya ke garasi, sedang aku duduk di sofa panjang. Aku sepersekian detik iri sama Elrepyan. Iri sekali. Om cerita sambil ketawa lirih, tapi matanya berkaca-kaca. Upadio satu itu nakalnya bukan main pernah kabur les dan pergi main game online. Bapak dua anak itu juga bilang, putranya suka gambar. Waktu kuliah mendadak suka fotografi. Lalu, aku ditanya pernah difoto putranya ngga? Aku cuman ketawa, tapi mataku berkaca-kaca. Belum lagi, aku lancang tepuk-tepuk punggung tangan Om karena kita ketawa tapi matanya banjir air mata.
Besok kalau aku ke sarean Om, aku mau bilang hasil foto Elrepyan selalu kabur, atau aku ngga siap. Sekalinya bagus, Elrepyan ngga bakalan kasih lihat ke aku cepat-cepat, lebih sibuk teasing sampai aku sebal sendiri.
Kadang, aku masih suka tanya sama diri sendiri, apa iya ada orang yang kecil dan besar terus-terusan disuapi edukasi, target, dan hal-hal yang menurutku cuman ada di ftv, atau telenovela. Ternyata, memang betulan ada; Elrepyan, Elfira. Dari obrolan sama Om di ruang tamu, aku jadi tahu bahwa kalau Jatikalimasada satu ini mendadak diam, kemungkinannya dia kesulitan bilang apa maunya, atau marahnya kepalang batas.
Aku pikir aku khatam, sama khatamnya ibuku kalau suaraku melengking, ternyata aku masih remidi juga soal yang satu itu.
Pun, kalau kau dingin tetiba soal hidup orang di sekitar, aku juga masih remidi.
Omong-omong, menu sarapanku cukup ekstrim, lho. Bukan karena capcay, atau pisang goreng. Bukan juga fillet ayam goreng, atau jahe hangat di pagi hari; Tante masak ikan nila besar-besar empat ekor. Aku makan nasi dan ambil rawon yang diangetin, pakai fillet, tempe, dan capcay. Kayanya kalau aku ngga buru-buru bilang “Tante, ikannya ronde dua aja!” aku yakin ikannya mendarat epik di atas piringku. Padahal, selama ini makan ikan modal tangannya punyamu, aku tinggal bilang ‘aaaa’ panjang sambil senyam-senyum.
Kami cerita banyak hal. Beberapa kesempatan Tante sempat bilang: “Ngga mau pikiran, nanti jadi sakit atau stress.” karena bahas soal beberapa kejadian di kantornya. Hari itu aku baru tahu, kalau Mama kamu itu pintar bukan main, lho. Terus aku jadi ingat pernah baca jurnal kalau ibu itu pasti akan menurunkan kecerdasan dan banyak hal ke anaknya. Aku jadi ngga heran kalau Elrepyan dan Elfira bisa keep up sesuai dengan mimpi orang-orang: SD, SMP, SMA, kuliah bagus semua. Ada momen dimana aku suka tanya ke ibuku kenapa aku dari kecil ngga dibikinin timeline biar bisa masuk ke sekolah yang negeri. Sebagai satu-satunya manusia yang suaranya paling besar di rumah, ayahku bilang kalau aku ngga harus pintar akademi, aku boleh pintar dimana saja, jadi nanti aku bisa punya banyak ‘keluarga’, dan malah buka les-lesan biar bisa gantian ngajarin orang yang ngga bisa ngobrol ke orang di sekitarnya. Aku kira ayahku cuci tangan, ternyata yang begituan beneran ada. Lihat Elrepyan yang lingkaran pertemanannya bisa dihitung jari, atau cara Elrepyan lihat langit mendung, aku jadi paham bahwa ngga semua orang hidup di lingkungan yang sama kaya aku.
Kalau dipikir, aku juga belajar banyak selama kenal Elrepyan...
Jujur, aku jadi pikir-pikir lagi mau bilang ke Tante buat pamit sebagai salah satu lakon dihubungan putus, nyambung, putus, nyambung, putus lagi... Karena rasanya Tante lagi berapi-api cerita soal si A yang ini dan itu, belum lagi berulang bilang kangen minta ampun sama anak lanangnya yang jauh. Maunya disuruh pulang, tapi yang disuruh pulang iya-iya aja. Ada satu momen Tante kangen dikali seratus pangkat tiga, kali dua belas. Pokoknya banyak! Telpon berulang ke nomormu, ngga juga kunjung diangkat. Akhirnya nangis kejer di kamar dan nelfon anak ayam. Kebetulan, anak ayam kebanggaanku ini kan VP di salah satu kegiatan kampus, jadi waktu dia lagi mau presentasi di forum besar, dan pencet layar, suara ibunya menggelegar ke seantero ruangan; nangis sesenggukan. Waktu dengar, aku ketawa dan mataku berkaca. Ya ampun, ternyata memang jagonya ya kamu ini buat bikin dua orang wanita nangis salah paham sama maksudmu? Hhhhh, sebal.
Aku ketawa, lalu mataku berkaca, Tante bolak-balik ambil tisu. Tante ketawa, lalu aku ditanya pernah ngerasa gitu juga, ngga? Kepalaku ngangguk-ngangguk, persis burung pelatuk. Kita ketawa, hampir berbarengan. Tanganku mendarat di jemari tangan ibumu. Aku rasa, itu suara paling lirih yang pernah mengudara dari katupku. Pelan-pelan aku bilang terima kasih ke wanita yang sekarang sudah jago untuk mengatasi banyak masalah di hidupnya; dari bisa bawa motor, sampai paham bagian mana di rumah yang bocor. Dua ribu sembilan belas cukup buat aku belajar mendorong jauh semua orang yang ada di sekitar kamu; Tante, anak ayam, teman-temanmu, termasuk Elrepyan. Aku dan pikiran-pikiran di kepalaku yang semu, atau perasaan sedih kalau lihat anak ayam muncul di story atau teman-teman terdekat kamu. Aku ngga mau melihat mereka sebagai bagian dari Elrepyan dan bikin aku menerka-nerka, makanya aku memutuskan buat pamit. Jadi, ketika aku lihat Tante, aku lihat Tante sebagai Bu Hadidjah. Pun, demikian ketika lihat anak ayam, atau teman-teman kamu.
Satu sampai sepuluh, aku berupaya ngga nangis di angka 17. Tapi, yah, ternyata Tante nangis, aku jadi nangis. Semua orang nangis. Kami baik-baik aja habis itu, malah cerita soal kamu yang kabur dari anjing naik sepeda, padahal anak ayam di belakang kamu lari-larian minta dibonceng. Tante berspekulasi, mungkin putranya lagi gila kerja, dan masuk level satu stress kerjaan. Gimana kalau sekarang atur strategi biar sulungnya bisa di rumah. Aku ketawa, benar-benar ketawa. Lalu obrolan berlanjut ke soal penutup kepala... Aku pikir sebenarnya obrolan ini ngga perlu, tapi ibumu itu kan ceplas-ceplos. Jadi dia cerita, sambil ambil tisu kalau ngga pernah bermaksud melukai aku. Aku jadi nangis lagi. Rasanya kaya kalau ngobrol sama Bu Mira, ringan.
Satu lagi. Ingat perkara bulan Agustus-September yang jawabannya ngga ada dan berujung kita kuat-kuatan diam? Tahu apa jawabannya? Ternyata, ibumu itu ngga mau kalau putranya jadi manusia yang ditinggalkan karena kalah cepat. Mengingat ibumu punya pacar enam tahun, tapi kalah cepat waktu datang bawa lamaran. Aku sesenggukan waktu dengar itu, Tante hela nafas panjang.
Kadang-kadang, Elrepyan, ada hal-hal yang perlu dibicarakan dengan suara pelan setelah diam... Bukannya iya iya iya atau terserah terserah terserah.
Waktu mau pulan buat jadi ‘dosen tamu’ alias guru les setir anak ayam dimedan baru, Tante peluk aku erat banget. Ngga bilang apa-apa. Terus, kaya selesai biasa kita ibadah, pipi kanan-kiri, dan keningku dicium Tante.
Detik setelah menulis paragraf di atas, aku merasa... kenapa ya ngga dari kemarin aku kaya gini? Kenapa ya, aku ngga ke rumah kamu dari Agustus lalu. Kenapa, ya, kamu ngga mau coba buat tanya ke aku soal pengikat apalah yang ternyata bagian dari trauma Tante--meski ngga disebutin gamblang--ke aku? Kenapa, ya? Kenapa.
Lalu beriringan muncul kata: kalau aja, kalau aja, kalau aja.
Tetap saja, aku bersyukur berhasil melakukan ini semua; hatiku lega. Pun, aku punya bonus tambahan dengar suaramu--walaupun habis itu aku ngga berupaya telpon pakai ponselku sendiri. Tahu telponnya ngga dimatikan waktu suaraku gantian muncul aja, harus banyak bersykur--mengutip kata Tante. Rasanya... Aku kaya selangkah lebih maju. Mungkin belum benar-benar beranjak, ya... Paling ngga tangisnya bukan badai, cuman satu-dua tetes, lalu sudah baikan.
Pipip tadi juga tanya--setelah aku sempat bilang kalau seharusnya daridulu aku ngelakuin ini ya; kalau kenapa-napa sama partnerku, aku tanya ke keluarga dan teman-teman terdekatnya. Jadi ngga perlu ada perasaan orang-orang di sekitar kami ikut sedih, marah, atau patah hati. Karena.., ya, kalau cerita ke orang terdekat, pasti ambil posisinya ke teman sendiri atau putra/putri sendiri. Coba kalau dari awal ceritanya ke ibunya, adiknya, sahabatnya--sekarang gimana perasaanku? Aku bilang, lebih baik, tapi tetap kehilangan. Kami lanjut ngobrol banyak hal setelah itu. Banyak. Januari akhir ini Pipip berangkat ke kaki Tawangmangu sana. Sebelum tutup telpon, aku dengar suaranya bilang maaf. Maaf karena waktu aku dan Elrepyan ngga baik-baik aja, malah membuat aku merasa kaya harus memilih antara teman-temanku atau Elrepyan, dan bukan di sampingku. Tentu saja kelanjutan dari obrolan itu berbuah aku senyum tipis, dan meleleh juga air mataku.
Setelah sekian lama, aku sadar bahwa patah hati karena pasangan kamu punya orang lain di hidupnya, lebih mudah buat di-cut off dari hidup, ketimbang masalah-masalah begini; kamu sayang orang ini, tapi kamu tahu bahwa satu sama lain ngga juga bisa bareng.
Aku harap, entah kapan, pelan-pelan Elrepyan bisa ‘sembuh’. Kaya Elrepyan belajar pelan-pelan dekat sama Elfira...
Change, like healing, it takes time.
__
Antika
1 note
·
View note
Aku, Richsan, Ahong, dan Jawa Tengah (4).
“Ke Solo yuk, gue ingin nyoba nginep di Ayom.”
Cuma dari keinginan sederhana itu, di sinilah kami... dalam perjalanan ke Yogyakarta.
Loh, katanya mau ke Solo?
Jadi, sebelum ke Solo, kami transit dulu di Yogyakarta hanya untuk makan Gudeg Sagan. Tentu saja itu keinginan Richsan, siapa lagi? Yah, saya adalah orang kedua yang paling mungkin untuk menginginkan hal-hal impulsif konyol seperti itu. Hanya saja, karena keuangan kita selama di sini disokong oleh dia... jadi, pokoknya semuanya terserah Richsan.
Selain makan gudeg, kami juga berencana untuk mencari batik di Yogya. Richsan suka sekali dengan batik yang dijahit sendiri dan bahkan sudah memiliki lusinan batik dengan berbagai corak dan warna. “Biar kayak pejabat dong,” begitu katanya. Dia bahkan pernah nggak mau keluar kemana-mana seharian hanya karena batik pesanannya belum sampai dikirim dari Jakarta ke Semarang. Katanya, dia nggak kelihatan prima kalau bukan pakai batik yang itu. Jadi dia batalkan semua meeting dia hari itu.
Richsan dan sejuta lagaknya.
Aku pun memilihkan tempat pembuatan batik yang cukup legendaris di Yogyakarta. Batik Winotosastro. Sudah berdiri sejak tahun 1940, tempat ini menyediakan batik-batik kelas tinggi yang harganya bahkan bisa mencapai 30 juta untuk satu kain batik tulis. Biasanya dipesan oleh turis-turis dengan kombinasi motif dan corak pilihan masing-masing, sehingga batik motif tersebut hanya ada satu-satunya di dunia. Pembuatannya bahkan bisa mencapai 1 - 2 tahun.
Richsan hampir memesan batik itu.
Tapi, nggak jadi. Katanya, nanti kalau kelasnya sudah naik sampai dia layak memakai batik 30 juta itu. Akhirnya dia membeli sehelai kain batik berwarna merah marun yang akan dijadikan batik-entah-keberapanya.
Matahari semakin bergulir ke barat, karena Winotosastro tutup pada pukul 5, kami pun berangkat untuk mencari Gudeg Sagan.
Biasanya, yang terkenal adalah Gudeg Yu Djum, kan? Pendapat pribadi, sebenarnya saya kurang suka gudeg. Dia terlalu manis untuk makanan yang dicampur dengan nasi, menurut saya. Namun, setelah mencoba Gudeg Sagan... persepsi saya tentang gudeg langsung berubah 180 derajat.
Saya pesan paket komplit yang isinya nasi, opor ayam, telur bakar, dan paket gudeg berisi gudeg, sambal, dan krecek. Gudegnya nggak terlalu manis dan dipadukan dengan kuah opor yang gurih. Kombinasi makanan berbasis santan yang sangat surgawi. Enak banget, asli. Seenak itu.
Sepulang dari sana, kami pun berangkat ke Solo. Demi menginap di Ayom Java Village. Katanya, sekali-sekali kita coba menginap di tempat yang agak besar.
Sesampainya di sana, jujur, ini adalah tempat termewah menurut aku dari semua tempat yang kita tinggali selama perjalanan ini. Bukan mewah yang modern, tapi mewah yang nusantara. Saya sampai punya impian untuk punya bagian dari rumah yang mirip dengan bagian dari Ayom ini.
Jadi begini konsepnya. Tiap kamar adalah rumah sendiri, sehingga Ayom ini seperti sebuah kompleks dengan rumah-rumah mungil. Dari lobi utama, kami berjalan menyusuri lorong-lorong terbuka yang tidak beratap dengan dinding-dinding bata merah. Persis seperti perkampungan kecil di Bali. Setiap kamar memiliki pintu kayu besar yang seperti pagar dan bukan langsung masuk ke kamar, melainkan ke pekarangan dengan sebuah kolam renang dan gazebo yang berfungsi sebagai pantry.
Ini penampakan pintunya.
Ini ‘halaman depannya’.
Kamarnya merupakan rumah kayu mungil dengan fasilitas lengkap seperti kamar hotel tentunya--kasur ukuran king bed, televisi, kulkas, meja bekerja, sofa-sofa, dan sebuah kamar mandi memanjang yang sangat besar. Terdapat shower, wastafel, kloset duduk, dan... bath tub. Sabun-sabunnya juga sangat wangi, bahkan ada garam untuk bath tub. Secinta itu aku dengan tempat kami menginap malam ini. Meskipun Ahong dan Richsan benci dengan fakta bahwa mereka dilarang merokok--yang akhirnya Ahong berhasil mencari celah untuk bisa merokok. Jadi, sebenarnya sih sama saja.
Luas banget, kan?!! Itu masih ada bagian shower di belakang aku.
Kalau tahu di sini ada kolam renang, aku akan membawa legging sehingga bisa digunakan untuk berenang. SAYANGNYA, KETINGGALAN DI HOTEL DI SEMARANG. Jadi, aku harus berpuas diri hanya dengan berendam di bath tub subuh-subuh. Kenapa subuh? Tentu saja agar yang lain masih tidur hahahaha. Percayalah, meskipun kita bertiga sudah dekat seperti saudara kandung, tapi tingkat jail mereka terlalu tinggi untuk membuat rasa aman saya agak turun terkait hal-hal seperti ini.
Setelahnya kami sarapan. Pilihan untuk menu sarapan adalah western atau nusantara. Kalau western, kamu akan disuguhkan dengan menu full-set English Breakfast. Baked beans, kentang, telur mata sapi, smoked beef, smoked tomato, dan sosis. Selain itu, ada juga croissant dan roti yang dilengkapi bungkusan butter dan selai. Bahkan ada mangkuk oatmeal dengan buah naga juga. Untuk menu nusantara, kamu disuguhkan dengan sepiring nasi goreng lengkap, surabi yang dibungkus dan pisang, dan juga piring berisi buah-buahan. Untuk minumnya, kita mendapatkan jus jeruk (yang sejujurnya menurut kami semua rasanya sangat hambar hahaha, maksudnya, jeruknya juga nggak kerasa!). Sejujurnya, bahkan untuk rasa main course sarapannya juga biasa saja.
Ohya, di sini juga kamu bisa memilih untuk sarapan terapung, loh. Jadi, nanti sarapannya ditaruh di atas nampan dan diapungkan di kolam renang. Lucu banget ya? Tapi, kami memilih sarapan normal saja.
Kami checkout dari Ayom kurang lebih pukul 11 siang. Setelahnya, kami pergi untuk mencari Surabi Solo karena Ahong ngidam. Saya sebagai orang yang senang wisata kuliner tentu sangat senang juga dengan pilihan ini. Kami diarahkan oleh Nabila untuk membeli Surabi Notosuman Ny. Handayani di salah satu sudut pertokoan Kota Solo.
Oh, iya, dalam perjalanan di Solo kali ini kami ditemani oleh Nabila. Teman Ahong dan Richsan yang berkuliah di Solo.
Meskipun di Bandung ada, tapi aku belum pernah mencoba Surabi Notosuman. Sedih ya, haha. Tapi, satu hal tentang surabi yang di Solo ini (aku nggak tahu rasanya sama atau beda dengan yang di Bandung), rasanya... enak banget. Dia bisa dimasak setengah matang, di mana cokelat dan adonan surabinya lumer. Kalau dimakan hangat-hangat enakkk sekali rasanya. Selain dimasak setengah matang, bisa juga pesan yang sudah digulung. Aku pribadi lebih suka yang tidak digulung.
Setelah puas makan surabi (bahkan tidak habis dan kami bungkus sebagian), kami pergi untuk mencari batik (lagi). Kali ini kami pergi ke Toko Batik Danar Hadi, yang pasti kamu semua tahu. Yah, tidak ada cerita menarik selain aku jadi tahu bahwa Richsan kalau belanja batik itu lama.... sekali. Udah seperti menemani ibu-ibu belanja.
Hari beranjak semakin siang dan panas, kami pun memutuskan untuk mencari tempat nongkrong dengan makanan yang cocok di hari panas. Es krim!
Kami pergi ke tempat bernama La Moda Del Gelato. Dipikir-pikir, nama tempatnya Gelato, tapi kata Nabila es krim di sini itu Sorbet. Jadi, karena dia bukan milk-based seperti Gelato, rasanya juga agak berbeda. Aku pribadi sih lebih suka Gelato.
Di sini kami cuma makan sambil ngobrol, sebelum akhirnya beranjak pulang ke Semarang. Karena di Semarang sudah ada tambahan personel--Rendi dan Atikah menyusul ke sini. Jadi, agar mereka tidak menunggu terlalu lama, kami pun berpisah dengan Nabila dan pulang ke Semarang.
Tentu saja, karena personel sudah bertambah, waktu liburan (bekerja) juga bertambah. Hari pulang tidak nampak dekat, tapi aku memang sudah sangat menikmati perjalanan ini.
Ke mana lagi kita setelah ini?
0 notes