Tumgik
#Setia OC
goronska · 10 months
Text
Eodum x Setia agaaaaain >:3
I am so damn thrilled, because I received a finished comm today from the one and only @emmettverse (previously @emmettnet) with my fav pairing of Eotia <3 My little blorbos, so perfect yet again. I love the expressions, the coloring, the love shining through this work and I literally hugged the screen with my cheek when I saw it. My pwetty boiz... *holds gently*
Tumblr media
This has been commissioned as an illustration of a very pivot moment in the RP Eodum and Setia originally come from and thrive. The scene in question under the cut: TW: slightly NSFW (nakedness mentioned), intimate whump, gore ideation, manipulation.
Tumblr media
15 notes · View notes
Text
Tumblr media
The Lovers
Setia (left) and Polaris (right) are two OCs that I would die for. They're from the book I'm writing and really don't serve a purpose, but you'd have to pry them from my cold, dead hands
1 note · View note
lebahabel · 2 years
Text
Nameless Fic?
// Andoain x OC
Anginnya dingin.
Ia merapatkan jubahnya, tatapannya melesat jauh ke depan. Jatuh di horizon pembatas antara laut dengan langit. Iris matanya yang berpendar lembut tidak berkedip sejak ia pertama kali menjatuhkan pandangannya ke ujung penglihatannya tersebut.
Mulutnya menggumam beberapa kata dalam bahasa yang tidak banyak orang ketahui, kecuali Yang Ia Tunggu di balik birunya air dalam lautan tersebut.
Oh, tapi naas, apakah yang telah tenggelam bisa menepi lagi ke pesisir?
Mengingat kemungkinan yang kecil tersebut, dengan berat hati ia meninggalkan pesisir dan kembali bersama orang-orangnya.
2 tahun lebih 5 bulan dan 25 hari. Setiap detail waktu yang terlewat ia catat dengan teliti. Setiap matahari terbenam, ia menghimpun informasi apapun yang bisa dapatkan tentang apa yang terjadi di balik ombak tenang dua tahun terakhir.
Laut di sini tidak semestinya setenang itu dan ia ingin tahu apakah tenangnya laut ada hubungannya dengan Yang Ia Tunggu selama ini. Apakah Yang Ia Tunggu merupakan sosok yang sama yang menenangkan amarah Laut? Apakah Yang Ia Tunggu mengorbankan dirinya agar Laut puas dan tidak mengamuk lagi?
Ia tidak tahu. Ditutupnya jurnal bersampul kulit yang sudah mengering tua tersebut dan meninggalkan tempatnya. Ada orang-orang yang membutuhkan dia.
Terkadang, ia berharap agar ia bisa menjadi seseorang yang dimiliki. Dimiliki oleh Sosok Itu; Yang Ia Tunggu.
Namun, ia tidak boleh egois. Hidup di dunia ini adalah misi untuk menerangi sudut-sudut tidak terjamah dengan lentera miliknya. Hidupnya diabadikan untuk ini.
Suara lembut dari perempuan berambut merah muda memintanya bergegas untuk pergi.
Sudut kota ini tidak jauh lebih baik.
Dua belas mayat yang sedikit demi sedikit mulai termakan oleh angin dan debur ombak telah ia kuburkan. Pengikutnya menghadiri pemakaman tanpa nama itu; begitu khusyuk mendengarkan ucapan-ucapan suci yang ia tuturkan dengan perlahan. Begitu ia menutup kitab suci, pengikutnya yang lain menutup makam-makam tanpa nama tersebut.
Malam ini, ia meminta izin kepada pengikutnya untuk berburu di sekitar pesisir. "Laut sudah tenang," begitu katanya menenangkan perempuan beranbut merah muda yang menatapnya khawatir.
Setelah beradu mulut sengit, ia mengalah dan membawa pengikutnya yang berambut hitam legam untuk menjaganya. Pengikutnya yang paling setia, sekaligus yang paling keras kepala.
Seorang Sankta tanpa senjatanya tak ada ubahnya dengan burung tanpa sayap, nyaris tidak ada gunanya. Itu mengapa pengikutnya yang berambut hitam legam keras memaksa untuk menemaninya.
Maka, kini, kedua orang itu melintasi pesisir. Ombak menyapu ujung-ujung sepatu mereka. Mata miliknya mengedar, mencari-cari sesuatu di tengah langit yang menggelap, yang hanya meninggalkan berkas keunguan sebelum akhirnya hitam tanpa bintang.
Ia tidak sadar matanya basah. Entah karena ia terlalu lama tidak mengedip atau perasaannya yang rapuh terus menerus digerus seperti bebatuan di pesisir ini. Ia terdiam sejenak, pandangannya dikembalikan ke horizon.
Lama sekali ia berdiri.
Lama sekali ia menangis.
Pengikutnya diam cukup jauh di belakangnya. Ia tahu tujuan utama orang yang ia hormati itu bukanlah untuk berburu, tetapi untuk mencari. Sosok yang selalu terlihat kuat itu sebenarnya hanya berjarak satu sentuhan lagi sebelum hancur berkeping-keping.
Mata pengikutnya memejam, menahan rasa sakit yang ia ikut rasakan begitu tubuh pria tersebut perlahan jatuh dan basah, entah karena riak ombak yang menderu dirinya atau karena air matanya yang tidak kunjung kering.
2 tahun lebih 5 bulan dan 26 hari. Ia masih menunggu. Ia masih berharap. Keyakinannya buta, di dalam hati ia terus berharap agar Yang Ia Tunggu tidak pernah tenggelam dan akan berenang kembali ke permukaan.
Namun, 2 tahun lebih 5 bulan dan 26 hari adalah waktu yang terlalu lama.
Ia terisak. Tangannya menarik rambut pucatnya dengan kasar. Ia membenamkan kepalanya dalam-dalam agar tidak ada yang mendengar isakannya.
Selama ini ia tahu bahwa ia sangat kecil dibandingkan alam semesta, tetapi kali ini ia merasa jauh lebih kecil; jauh lebih insignifikan dan jauh lebih lemah. Tidak peduli seberapa banyak ia berdoa, Tuhan tampaknya tidak ingin doanya terkabul.
Pikirannya melayang.
Mungkin ini karena dosa-dosanya. Ia berpikir. Dosa dan ketidakacuhannya. Dosa dan kekejiannya. Dosa dan kemunafikannya.
Mungkin, semua ini adalah salahnya. Mungkin, seharusnya ia tidak boleh jatuh hati kepada Sosok Itu. Mungkin, seharusnya ia tidak pernah menginjak tanah Laterano. Mungkin, seharusnya... seharusnya...
Mungkin, seharusnya dia mati bersama dengan hancurnya Rocamarea.
Rasanya seperti pisau yang selama ini menusuknya, ditekan hingga menembus tubuh belakangnya.
Ia terbatuk. Bibirnya berdarah; ia tampaknya tidak sadar telah menggigit bibirnya terlalu dalam.
Ia menyeka darah di bibirnya dengan kasar. Nodanya meninggalkan warna merah ganjil di pipi pucatnya.
Kemudian, ia memaksa berdiri kembali, meskipun ia tahu kakinya tidak akan kuat.
Sebelum ia jatuh, sepasang tangan menahan berat tubuhnya. Insting membuatnya menggenggam tangan itu kuat-kuat.
Ia tersadar, ini bukan tangan pengikutnya yang menemani langkahnya.
Ia tersadar, tangan yang lebih besar darinya ini milik seseorang yang sangat familiar.
Hatinya mencelus; ia takut kecewa. Ia takut bahwa Sosok Ini bukanlah yang ia harapkan.
Tangan tersebut, dilapisi oleh sarung tangan kulit hitam, berpindah dari lengannya ke dagunya. Tangan tersebut, kemudian membawa kepalanya agar menatap pemilik tangan tersebut.
Iris mata yang tipis berwarna merah pucat menatapnya balik.
Tidak ada yang berubah.
Jemarinya yang ia gunakan secara kasar kepada tubuhnya, menyelati rambut milik Sosok Itu dengan lembut.
Tidak ada yang berubah.
Senyum yang terukir di wajah Sosok Itu lembut dan hangat dan matanya tidak lepas dari senyum itu.
Tidak ada yang berubah...
"Hei, sudah lama sekali, bukan?"
"Aku kembali. Maaf, aku butuh waktu cukup lama"
Iris mata. Rambutnya yang panjang berwarna langit malam. Senyumnya. Tidak ada yang berubah.
Ciuman yang Sosok Itu berikan di puncak kepalanya, juga, tidak berubah.
"Tidak berubah..."
"Tentu begitu," sosok itu tersenyum lembut, matanya bahkan tampak ikut tersenyum. "Supaya kamu tetap bisa mengenaliku."
0 notes
asamlambung · 6 years
Photo
Tumblr media
“you’re just confused, kid.”
no, she’s far from it.
31 notes · View notes
tooquirkytolose · 6 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
an outing in the woods  🐸
I wanted to give some old characters a touch up :)
66 notes · View notes
witherednotes2 · 2 years
Text
Apollo
pairing: Lee Jihoon (Woozi) x OC genre: fluff, college!au word count: 3k words
Tumblr media
A son of Apollo. Ada yang pernah bertanya pada Nara untuk menyebutkan satu kalimat yang bisa menggambarkan lelaki itu. Dan dia jawab tanpa ragu, “The son of Apollo.”
Entah sudah berapa kali dirinya pernah melihat lelaki itu, tapi tak ada satupun waktu dia berhenti kagum. Semenjak hari itu, hari di mana dirinya harus berjalan lebih cepat karena bodoh dirinya untuk terlelap terlalu lama karena tidur yang bahkan bisa orang bilang hanya sekedip. Saat dirinya tepat sekali sampai lift dengan tangan yang penuh dengan maket dan gambar ketika pintu hampir saja tertutup.
“Tunggu! Tahan liftnya, please!”
Dari situ, seakan keberuntungan sedang ada di sisinya.
“Lantai 4 juga kan ya?” Tanya satu-satunya orang selain dirinya yang berdiri di dalam ruang sempit itu.
“Oh, iya. Kok tau, kak?” Sang puan baru saja melihat ke arah lelaki yang berdiri di sebelahnya itu.
Lelaki itu melihat lurus ke depan seakan menunggu pintu lift terbuka. Tangan kirinya hinggap di kantung celana, menahan tali tas gitar yang hanya ia gantungkan satu pada pundak untuk tidak merosot jatuh melukai anak kesayangan di dalamnya. Tangan kanannya memegang map bening dengan kertas yang berisi banyak garis dan titik; tinta hitam yang tentunya Nara tidak mengerti artinya apa.
“Lo anak arsi, kan?” Lelaki itu mengarahkan pandangannya ke semua barang bawaan Nara yang sudah cukup jelas menandakan jurusan yang dia ambil. “Lantai kita sama.”
Belum sempat dirinya melanjutkan dialognya, pintu lift sudah terbuka perlahan. Tepat di depannya sudah ada beberapa teman Nara yang terlihat riweh melanjutkan gambar dan maket-maket mereka.
“Woy, Nara! Pak Yoon udah mau dateng itu!” Mingyu terlihat panik melihat temannya baru saja datang ketika waktu sebelum pengumpulan hanya tersisa sekian menit.
“Hati-hati, bagian atas maketnya agak goyang itu.” Ucap lelaki yang masih ada di dalam lift itu seraya merentangkan tangannya pada tombol buka. “Silahkan, gue tahanin.”
“Makasih banyak ya, kak.” Nara membungkukkan badannya sedikit sambil tetap jalan keluar. Dirinya melihat lelaki itu sekali lagi untuk mendapatkan dirinya tersenyum manis seakan mengucapkan ‘semangat’ tanpa suara.
Entah ini hanya dirinya yang merasakan atau satu dunia pun bisa, tapi hari Nara terasa lebih cerah untuk dirinya.
———
“Min, gue nunggu di studio gue aja, deh.” Nara berjalan mengikuti teman di depannya melalui lorong yang dihiasi pintu kedap suara.
“Lah, kan lo yang bilang sendiri mau nugas di tempat baru.” Seokmin masih dengan semangat berjalan di depan sang puan bak mengenalkan tempat di mana dia selalu menghabiskan waktunya sehari-hari.
“Ya, tapi ga di ruang musik juga kali.” Nara melihat sekelilingnya, takut dirinya akan dicap penyusup oleh mereka yang benar-benar memiliki keperluan di ruang-ruang kecil ini.
“Sumpah, santai aja. Kapan lagi lo nugas sambil dengerin live music, kan?” Sang sahabat hanya tertawa pelan seraya memindai kartu pengenalnya ke kotak hitam di sebelah pintu untuk membuka salah satu ruangan. “Lagian bang Wonwoo, kating lo itu, juga beberapa kali suka ke sini, kok.”
Nara masih berdiri di depan pintu saat Seokmin sudah melangkah masuk dan menyalakan lampu. Dirinya melihat setiap gerak temannya itu seraya berfikir apa lebih baik dia keluar dari lorong itu untuk kembali ke studionya.
“Lo kalo mau keluar dari lorong juga harus pake kartu,” Ucap Seokmin yang masih setia menahan pintu seakan dirinya bisa membaca pikiran Nara. “Jadi, antara lo masuk sekarang, atau gue tutup nih pintu biar lo ngeper aja di lorong.”
“Ah, lo mainnya ngancam.” Nara akhirnya melangkah masuk ke dalam ruangan kecil itu. Matanya memindai tembok yang dilapisi busa untuk memaksimalkan suara di dalamnya. Terdapat satu meja kecil serta piano yang duduk dimasing-masing sisi ruangan dilengkapi dengan tempat duduknya.
“Lo duduk di situ aja, buka laptop.” Seokmin meletakkan barang bawaannya di samping piano sebelum duduk di depannya. Tangannya sibuk meletakan lembaran yang berisi not musik di hadapannya seraya dirinya menunjuk untuk Nara bisa melakukan yang sama dengan tugas-tugasnya.
“Tapi lo beneran gapapa, kan, gue ganggu gini?” Nara sudah mulai membuka laptopnya walaupun masih sungkan.
“Gapapa banget. Gue malah seneng ada yang nemenin.” Tangan Seokmin sudah siap berdansa di atas tutsnya. “Yang ada lo yang gue tanyain. Lo bisa fokus kalo gue mencet-mencet ini?”
Nara tertawa mendengar suara campur aduk ketika Seokmin menekan asal pianonya. “Udah, main aja yang bener. Gue juga butuh backsound buat nugas.”
Dan itu yang mereka lakukan dalam sore itu. Seokmin melatih tangannya di saat Nara sibuk dengan model 3Dnya. Sesekali mereka berbincang atau mungkin mengeluarkan suara erangan karena rasa pegal dipunggung mereka.
Setelah sekian lama mereka berdiam melakukan urusannya masing-masing di ruangan itu, ada suara asing yang seketika memberhentikan alunan piano yang dimainkan Seokmin. Suara pindaian kartu yang diikuti oleh pintu yang terbuka membuat dua insan di dalam ruangan itu menengok.
“Eh— Sorry, gue ganggu ya?” Suara familiar ikut mengisi ruang tersebut.
“Ngga, kok, Bang Jihoon.” Seokmin mengangkat tangannya untuk menghadap ke lelaki itu.
Lelaki itu.
“Lo book ruangan, ya? Gue ga liat ada nama soalnya, jadi tadi gue tulis nama gue buat lanjut sampe close.”
“Ngga, ngga. Gue ga book, kok. Justru gue liat nama lo terus pengen numpang duduk, males pulang,” Ucap Jihoon yang masih setia berdiri di ambang pintu. “Gue gatau kalo lo bawa temen makanya asal masuk. Sorry ya, gue cari tempat lain aj—”
“Kak, kalo mau di sini gapapa, aku aja yang pindah.” Seokmin tertawa kecil mendengar suara Nara yang terdengar panik. “Aku juga ga seharusnya di sini kan.”
“Eh, jangan dong. Masa jadi kayak gue usir.” Jihoon pun ikut panik melihat Nara yang sudah ingin berdiri dan beranjak dari tempatnya.
“Bang, sini aja bareng gue. Kita bikin live music buat Nara.” Seokmin menggeser sedikit badannya sebelum menepuk tempat kosong di sampingnya.
Tidak menjawab Seokmin langsung, Jihoon justru menatap Nara. “Gue gapapa ikut ganggu?”
“Gapapa, kak. Aku suka dengerinnya kok.” Nara tersenyum, meyakinkan sang tuan dan dibalas dengan anggukan.
Dan Nara rasa dirinya baru saja memilih pilihan yang tepat.
Entah apa karena dirinya sudah bosan mendengar segala suara yang Seokmin pernah mainkan di hadapannya semenjak SMP atau memang telinganya saja yang pilih kasih, tapi menurutnya suara yang dihasilkan Jihoon terdengar lebih merdu. Baik suara dari ujung jarinya maupun suara dari mulutnya, semua seakan membuat Nara terbang ke langit ke tujuh. Jari Nara yang sebelumnya lincah membuat garis dan bidang di laptopnya seketika menjadi gagap seraya dirinya mendengar dua lelaki di belakangnya bercanda tawa sambil memainkan lagu dengan tempo cepat.
Dan Seokmin yang bisa dibilang sangat sensitif dengan suara pun menoleh karena hilangnya suara ketikan pelan dari Nara.
“Nara, terlalu berisik ya?” Tanya Seokmin membuyarkan pikiran Nara.
“Hah? Ngga, kok.” Nara ikut membalikan badan dan menatap mereka.
“Terus kok lo berhenti? Bikin ga fokus, ya?”
“Ngga, Min. Beneran deh.” Nara tertawa melihat mereka yang seketika diam. “Keren aja dengerin kalian main. Rasanya mau bisa juga.”
Jihoon yang mendengar ikut tertawa malu sebab pujian kecil yang diberikan untuknya. Seokmin, di sisi lain, mengerutkan keningnya bingung.
“Lo ga pernah sekali pun muji gue. Kesambet apaan lo?” Badan Seokmin sudah sepenuhnya menghadap ke Nara.
“Ih? Sering ya!”
Jihoon tertawa melihat kedua sahabat itu, “Kalian udah temenan dari lama ya?”
“Lumayan, kak. Sampe udah bosen juga aku sama dia.” Tawa lebih keras kembali terdengar dari bibir Jihoon membuat senyum Nara sedikit melebar. “Aku juga mau nanya dong, kak. Aku kira kak Jihoon mainnya gitar. Ternyata bisa piano juga?”
Lagi-lagi, Seokmin mengerutkan dahinya ketika pertanyaan itu keluar dari mulut Nara. Jihoon bukan lah orang yang terbuka atau sering nongkrong dan berbincang dengan grup besar. Dan dengan fakta bahwa Nara yang Seokmin yakin belum pernah berkenalan dengan seniornya itu sebelumnya namun tau bahwa dirinya bisa memainkan alat musik petik itu, wah Seokmin berasa dirinya terlewat satu bagian penting dalam cerita pertemuan mereka.
“Ketemu minggu lalu di lift. Muka lo ga usah kaget gitu.” Jihoon mendorong sedikit badan Seokmin yang membuat si lebih muda memiringkan badannya.
“Tapi kok Nara bisa inget? Kan lo pikun, Nar.”
Sumpah, kalau saja Jihoon tidak ada di sebelah Seokmin, sepatu Nara sudah akan terbang mengenai kepala sang lelaki. “Inget lah! Kalo kak Jihoon ga bilang maket gue goyang, udah dibakar hidup-hidup gue sama Pak Yoon gara-gara maket gue roboh.”
Jihoon masih saja tertawa melihat kedua sahabat itu sampai Seokmin kembali membuka suara, “Terus, kok lo tau bang Jihoon main gitar?”
“Gue bawa gitar waktu itu, Min. Santai aja, kenapa.” Jihoon menjawab seraya tersenyum ke arah Nara yang menjulurkan lidahnya ke Seokmin, seakan dirinya bangga telah dibantu oleh orang yang baru saja ia kenal sejam yang lalu.
“Bang Jihoon udah kayak dewa. Kayaknya setiap alat musik yang dia pegang, dia langsung bisa mainin deh.” Ucap Seokmin yang menghasilkan dorongan canda lagi dari Jihoon. “Anak kesayangan semua dosen, nih. The standard for all of the new kids, gue aja sampe kewalahan. Iya ga bang?”
“Gausah lebay, bisa?” Jihoon berusaha menutupi merah pada wajahnya agar tidak terlihat di bawah lampu remang ruang latihan itu.
“Emang bisa apa aja, kak?”
Jujur, Jihoon sedikit menyesal telah melihat mata Nara. Bola matanya seakan menampung bintang, sudah siap mendengar dirinya membesar-besarkan bakatnya. Jihoon bukanlah orang yang bisa menerima banyak pujian, apalagi berbicara tentang talentanya dalam musik untuk dapat dipandang kagum oleh orang sekitarnya.
Tapi kali ini, hanya untuk saat ini, dia ingin membuat dirinya sendiri terlihat besar demi perempuan di depannya.
Dan mungkin, hanya mungkin, Nara baru saja jatuh padanya.
———
“Ra, lo yakin bisa nugas di sini?” Jihoon berjalan ragu menginjak pasir di pinggir pantai itu sementara sang puan di depannya berjalan dengan antusias melihat ruang terbuka di hadapannya.
“Kenapa ga bisa?” Senyum lebar ditawarkan oleh Nara, “Kan, kak Jihoon butuh ngambil sample suara alam buat project kakak. Sekalian cari udara segar, kak. Apa ga mumet diem mulu di studio?”
“Gue emang butuh, ra. Tapi, kan, lo bisa nunggu di cafe atau cari tempat yang lebih nyaman. Gue bisa, kok, nyusul lo nanti abis gue selse ambil sample.” Suara Jihoon jelas terdengar khawatir, takut dirinya menganggu yang lebih muda dan menghalangi dirinya untuk melakukan kewajibannya sebagai mahasiswi.
Nara berhenti berjalan membuat sang tuan ikut menghentikan langkahnya. “Kita duduk di sini aja, kali ya?”
“Nara,” Jihoon menghela nafas saat Nara sudah melepas alas kakinya, meletakkan keduanya berdekatan dan menjadikannya alas duduk. “Gue kalo ambil sample harus jalan, Ra.”
“Yaudah, aku tunggu sini.” Nara mengambil buku gambarnya sebelum melihat ke arah Jihoon dengan binar mata yang tak pernah gagal membuat Jihoon luluh. Nara tersenyum ketika melihat sang tuan yang sepertinya masih ragu meninggalkan dirinya di ruang terbuka itu. “Aku juga butuh ada di sini, kak. Tugasku harus bikin vila, aku mau bikin vila di sebelah pantai. Jadi aku mau sketsa ide, kok, di sini. Aku janji ga akan bosen nunggu kakak!”
Jihoon tak kuat menahan senyum dari wajahnya. Dirinya mengangguk pasrah, meletakkan ransel hitam yang berisi alat rekam di sebelah Nara seraya sang puan sudah mulai menyisir kaki langit yang bersentuhan dengan ombak. Jihoon mengeluarkan peralatannya, menyiapkan mereka sambil sesekali melihat ke arah Nara yang sudah lenyap dalam pikirannya. Sang tuan kembali berdiri sambil membawa peralatan di tangannya.
Dan sebelum dia pergi meninggalkan yang lebih muda untuk sementara, tangannya mengacak cepat rambut Nara sambil berkata, “Gue ga lama. Tunggu, ya.”
Hanya dengan itu, dengan satu sentuhan itu, kepala Nara yang sebelumnya sudah siap berasap karena sudah mulai ia putar seketika mendingin. Nara melihat ke atas untuk menatap Jihoon hanya untuk disambut oleh punggungnya yang sudah mulai berjalan menjauh, mengenakan headphone serta memegang alat perekam suara di tangannya.
Jujur, interaksi ini tidak sekali pun muncul dipikiran diri mereka beberapa bulan yang lalu. Mereka yang sebelumnya hanya berpapasan dengan mata saling bertemu seketika meluangkan satu hari disetiap minggunya untuk pergi bersama, baik untuk menenggelamkan hidung mereka dalam laptop maupun berbincang ditemani dua gelas kopi — atau lebih, tergantung apa yang akan dilalui pada minggu mereka. Dari Seokmin yang bercerita bagaimana Jihoon dapat menjadi sehangat matahari ketika sudah terbuka dengan seseorang, dan Nara menjadi salah satu orang yang beruntung karena Jihoon sudah mau ikut menghiasi harinya dalam waktu yang singkat.
Dan Nara benar merasa bahwa dirinya beruntung.
Entah apa perasaan ini hanya sekedar gambaran sempurna di kepalanya yang dia proyeksikan kepada Jihoon seorang, namun dirinya benar merasa ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Tidak terhitung sudah berapa kali dirinya diam ditemani alunan lagu yang dimainkan Jihoon, tapi setiap kali dirinya mendengar musik yang dihasilkan oleh sang tuan rasanya Nara bisa tenggelam sementara tanpa harus melawan suara di kepalanya. Seakan setiap nada yang dibuat oleh Jihoon bagaikan satu percikan cahaya hingga satu lagu — atau bahkan hanya setengah — dapat menerangi gelap yang Nara alami. Bahkan pada hari ulang tahun Nara, tepat saat jam menyentuh tengah malam, satu file dikirimkan oleh Jihoon. Tertulis “Buat lo nih ra.m4a” pada file yang berisi rekaman suara singkat dirinya bermain piano lagu Selamat Ulang Tahun. Hanya satu file itu yang menjadi kado dari seorang Jihoon di hari spesial untuk Nara. Orang lain mungkin akan bilang bahwa Jihoon tidak modal. Tapi untuk Nara, rekaman itu yang membuat hari spesialnya jauh lebih indah.
Tidak sadar, sudah cukup lama Nara berkutik dengan penanya dan masih terlihat hanyut dalam pikirannya saat Jihoon berjalan balik ke arah sang puan. Hingga saat ini, Jihoon masih bertanya pada dirinya sendiri tentang apa yang sebenarnya ada pada wanita itu yang membuat dirinya sangat tertarik dari hari Jihoon melihatnya dengan kaos hitam yang masih kusut sana sini seraya membawa maket ditangannya. Jihoon masih bertanya bagaimana cara dirinya bisa dengan mudah terbuka dengan perempuan yang dia temui di ruang kedap suara itu bersama adik tingkatnya. Jihoon ingin bertanya kenapa sang puan terlihat sangat indah dihiasi oleh ombak yang melipat dibelakangnya, membuat satu pemandangan lengkap yang dapat dimasukkan dalam bingkai.
Jihoon pun akhirnya melangkah lebih dekat pada Nara, ikut duduk di sebelahnya membuat sang puan menengok dan kembali memberi senyuman pada Jihoon. "Kak Jihoon udah selesai?"
Jihoon mengangguk seraya merapihkan barang-barangnya ke dalam tas. "Lo masih mau di sini, kan?"
"Iya, kak. Gapapa, kan? Atau kak Jihoon udah mau balik?"
"Gapapa, kok. Kalo mau kita nunggu sampe sunset aja. Nanggung." Jihoon akhirnya mengeluarkan notebook dan pensilnya. "Gue juga sekalian nulis buat project lain."
Dan lagi, mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing hingga matahari hampir tenggelam. Tangan mereka sama-sama sibuk membuat goresan hitam di atas putih. Sampai saat Nara meletakkan bukunya di atas pangkuan dan merenggangkan punggung, baru dirinya membuka suara lagi kepada Jihoon.
"Nulis tentang apa, kak?" Nara memundurkan badannya, menumpukan dirinya pada kedua tangan yang terbentang ke belakang sambil menatap lelaki di sebelahnya.
Dan yang ditatap pun tidak memindahkan fokus dari bukunya. Dia hanya tersenyum sambil menjawab, "Ada, lah. Nanti kalo udah jadi satu line lagi, gue kasih unjuk."
Untuk sebentar, Jihoon masih sibuk merogoh isi kepalanya mencari kumpulan kata-kata yang dapat dia tuangkan pada lembar putih di tangannya. Untuk sebentar dirinya masih berhasil menuang kalimat sampai dia sadar bahwa pandangan Nara masih lekat pada belakang kepalanya.
"Lo ga lanjut, ra?" Tanya Jihoon sambil menengok ke belakang.
"Udah selse kayaknya. Nanti tinggal gue cari cara buat masukkin ke software."
Jihoon mengangguk mengerti namun masih lanjut bertanya, "Terus kenapa liatin gue?"
Ah, ternyata dia sadar. "Bagus, kak, pemandangannya. Aku suka."
Jihoon terkekeh mendengar balasan yang lebih muda, "Should I say thank you?"
Nara ikut tertawa mendengar balasan dari Jihoon. Dirinya kembali menegakkan punggungnya dan menatap garis antara laut dan langit yang membentang di hadapannya. "Mataharinya udah mau tenggelam ya, kak?"
Jihoon mengikuti pandangannya dengan Nara. Mereka melihat bagaimana langit sudah mulai berubah warna menjadi oranye kala mereka masih duduk di atas sepatunya masing-masing.
"Aku takut, kak sama gelap." Nara berkata dengan senyum tipis yang terlukis di wajahnya. "Aku juga takut sama sunyi."
Jihoon hanya menjawab dengan diam, menatap Nara dengan raut wajah yang bingung atas perkataan sang puan.
"Tapi kalo aku sama kakak," Jemari Nara pindah untuk bermain di atas pasir seakan mencari distraksi agar pipinya yang mulai memerah tidak terlalu terlihat. "Kalo sama kak Jihoon rasanya selalu ada suara merdu yang nemenin aku, selalu ada cahaya yang bantu aku."
Dan entah sejak kapan, merah pada pipi Nara ikut menular pada pipi Jihoon.
"Kakak ngaku, deh." Raut wajah Jihoon kembali menunjukkan bingung saat ditatap kembali oleh Nara. "Ngaku kalo kak Jihoon sebenernya the Son of Apollo."
Jihoon yang mendengar tertawa lepas, "Ada-ada aja, sih. Kenapa tiba-tiba bilang gitu, coba?"
"Apollo itu Dewa musik, Dewa cahaya dan matahari, the God of healing. Terus kak Jihoon punya semua dan aku di sini kayak jadi orang yang bisa ngerasain langsung semua karunia itu."
Sang tuan hanya bisa menggelengkan kepala mendengarnya. Hatinya seakan jatuh ke tanah setelah mendapatkan semua pujian dari Nara membuat dirinya bingung harus merespon apa. Mulut Jihoon tidak dapat dengan mudah mengeluarkan kata-kata manis yang dapat melelehkan hati orang lain, namun ada cara lain untuk dirinya bisa ikut membalas sang puan dengan isi hatinya.
Buku tulis Jihoon berpindah dari tangannya ke atas pangkuan Nara, tepat di atas sketsa kasar milik sang gadis. Nara mengangkat alisnya yang hanya dibalas dengan gestur kepala Jihoon yang menandakan bahwa dirinya boleh membaca isi dari lembar itu.
I want to know more about your day with me Oh my love, you are deeply positioned in my heart You are the brightest light
In the many grains of sand I can only find you I want you protect you who’s sleeping next to me in this night
Dreaming the same dream and feeling the same way You see we are spending the same night together
Even if I give you everything in the world I will never change Promise me eternity If you feel the same way as I do
Nara tersenyum kala membaca tiap bait tulisan Jihoon. “Jadi, tentang apa, kak?”
“Tentang hari ini. Tentang malam nanti yang gue bayangin.” Jihoon terdiam sejenak seraya melihat ujung dari matahari yang sudah tenggelam dalam bumi meninggalkan langit jingga yang siap ditutup oleh hitam dan bintang. “Dan bayangan itu semua ditambah lo di tengah-tengahnya.”
“Tuh, kan. Pasti bener.” Lagi-lagi Nara tersenyum lebar, “Apollo, God of Poetry. Yang kakak tulis terlalu indah, kak.”
Dan lagi-lagi juga, Jihoon membalasnya dengan tawa. “Gue belom sampai tahap itu, Nara.”
“But you’re good enough.”
Jihoon menghela nafas pasrah seraya bangkit dari duduknya. Sepatu kembali dia kenakan sebelum mengulurkan tangannya kepada Nara. “Yuk, balik. Sebelum beneran gelap.”
Nara meraih tangan Jihoon sambil bercanda, “Kan, ada kak Jihoon yang jadi cahaya—“
“Udah gombalnya.” Jihoon memotong perkataan Nara sambil memejamkan mata malu. “I’m not good at taking compliments, udah. Cukup kok.”
Nara tertawa dan menarik tangan Jihoon untuk kembali ke mobil yang lebih tua untuk balik dan istirahat. Tapi satu hal yang pasti, mereka akan terus jalan maju dari titik itu.
Menjadi terang kala yang satu merasa gelap dan mengisi hening kala yang satu merasa pedih.
6 notes · View notes
lolihantaa · 5 years
Text
Drabble!Motoyasu x Ieyasu
Senjyushi ― OC x Ieyasu
Peringatan:
Drabble singkat yang terlahir karena kehaluan Mbek saat melihat fanart Ieyasu x Ieyasu
Incest berkedok selfcest /YHA
Motoyasu adalah original character yang dibuat untuk menjadi kembaran Ieyasu dan memenuhi fantasi mbek mengenai selfcest Ieyasu x Ieyasu /HEH
Selamat membaca!
***
Hal yang paling melelahkan dari memiliki saudara kembar adalah jika saudara kembarmu jelas bisa melakukan sesuatu secara 'lebih' dari yang bisa kau lakukan.
Dan hal 'lebih' itu mencakup apapun. Benar, ayo ulangi bersama. A-P-A-P-U-N.
Entah olahraga, nilai, bahkan... wajah.
Padahal kalian kembar dan bisa-bisa orang lain mengatakan bahwa saudara kembarmu lebih tampan?! Maksudnya adalah bagaimana penilaian itu bisa tercipta padahal wajah kalian sama persis?!
Ah, lelah....
Tapi sungguh, meskipun sudah seperti itu dirinya sama sekali tidak bisa membenci saudara kembarnya sendiri.
Sebab mereka sudah saling menjaga sejak belum berada di dunia... bahkan hingga saat ini, ketika mereka telah beranjak SMA.
***
"Ieyasu? Maaf ya menunggu lama." Suara yang memanggil lembut itu tanpa sadar menyadarkan lamunannya. Tanpa menoleh pun, ia tahu pasti siapa yang baru saja memanggilnya. Itu kakaknya, kakak kembar lebih tepatnya.
"Piketnya sudah selesai?"
"Sudah. Mereka menyuruhku langsung pulang setelah buang sampah. Aku beruntung kan?" Tawa ringan yang terdengar itu cuma bisa disambutnya dengan hela nafas panjang. Bukan hal aneh sih kalau sang kakak selalu selesai piket lebih cepat.
Keuntungan jadi anak populer, bisa dibilang. Selalu ada para fans yang dengan setia membiarkanmu tidak menyelesaikan tanggung jawab. Enak bukan?
"Jangan iri dong. Lain kali akan kuminta mereka membiarkanmu selesai piket lebih cepat deh!"
"Aku. Nggak. Iri." Gerutuan itu terlontar cepat sementara ia melemparkan tatapan sengit pada kakak kembarnya. Salahkan ide konyol yang barusan terlontar itu. "Dan jangan coba-coba melakukannya. Awas saja kalau kau sungguhan meminta mereka membiarkanku selesai cepat!"
"Jadi aku harus menunggu? Kalau menunggu lama kan membosankan...."
"Kalau begitu, silakan pulang sendiri."
"Pfft― bercanda kok! Jangan galak begitu dong. Aku akan tunggu sampai piketmu selesai. Oke?"
"Aku heran kenapa kau mau buang-buang waktu untuk menungguku? Toh juga pada akhirnya kita akan bertemu di rumah." Gerutuan itu tanpa sadar diucapkannya begitu melihat cengiran lebar sang kakak. Bukan hal yang salah juga kan ia menanyakan itu? Malah seharusnya heran adalah sesuatu yang wajar dalam situasi seperti ini.
"Aku menunggumu karena aku ingin bergandengan tangan denganmu."
"Karena aku sangat suka saat kita bergandengan tangan...."
Dan sore itu, dengan tangan sang kakak yang terasa hangat dalam genggamannya, wajah Ieyasu sukses memerah sepanjang perjalanan pulang ke rumah.
***
"Bagaimana menurutmu yang ini, Hall?"
Coat cokelat yang sedang diperlihatkan Motoyasu pada sang pemuda bersurai merah jambu itu tampak manis. Kainnya tebal dan ia yakin akan terasa hangat saat dipakai nanti. Memikirkan hal itu saja tanpa sadar langsung mengundang senyuman lebar di bibirnya.
Dan Hall, pemuda yang baru saja ditanyai, hanya bisa mengerutkan kening dalam saat melihat coat itu. Hei, mereka sudah berteman sejak awal masuk SMA. Hall jelas sudah menghafal gaya berpakaian pemuda bersurai hitam di hadapannya itu saking seringnya mereka bersama.
Dan jelas, coat bukan 'gaya-berpakaian-biasa-milik-Motoyasu'.
"Itu bagus." Jawab Hall pendek pada akhirnya seraya mengangguk kecil. "Tapi sejak kapan kau ganti gaya berpakaian?"
"Siapa yang bilang ini untukku?" Tawa ringan langsung terlontar dari bibir Motoyasu sementara ia memasukkan coat cokelat tersebut ke dalam keranjang belajaan. Senandung riang kemudian terdengar sementara pemuda itu kembali sibuk memilih baju lagi.
"Ah... Ieyasu?"
"Benar. Ieyasu pasti suka. Lagipula coat ini manis, pasti akan cocok untuknya."
Dan begitulah cara sang kakak menghabiskan waktu senggangnya. Mencari sesuatu yang cocok untuk sang adik tercinta.
***
"Mau pergi kemana?"
Pertanyaan itu langsung saja diucapkan Motoyasu begitu melihat sang adik kembar tampak begitu rapi di minggu siang yang cerah ini. Oh, bahkan adiknya menyempatkan diri menggunakan coat pemberiannya.
Seperti dugaannya, coatnya amat cocok untuk Ieyasu!
"Pergi."
"Kemana?" Meski jelas-jelas Ieyasu tampak berusaha menghindari menjawab pertanyaanya, Motoyasu tetap gigih untuk mengejar. Pemuda bersurai hitam tersebut lantas meraih satu tangan Ieyasu yang bebas untuk mendapatkan perhatian pemuda itu.
Ia harus tahu sang adik akan pergi kemana. Harus. Kalau dirinya tidak tahu, biasa-biasa ia tidak tenang seharian ini.
"Pergi nonton dengan Hidetada dan Yukimura." Pada akhirnya Ieyasu mengalah. Memberitahukan tujuannya meski dengan berat hati. Kalau tidak mengatakan dengan segera, entah apa yang akan diperbuat sang kakak untuk mencegahnya pergi.
"Oh! Kalau begitu aku ik―"
"Nggak. Nggak boleh. Kau di rumah."
Dan begitulah penolakan sang adik hari ini pada sang kakak.
(END, untuk saat ini)
2 notes · View notes
ahinta · 2 years
Text
Singel terbaru dari Elsa Pitaloka Dan Thomas Arya,,Kau Tak Setia..Lirik.
Video lainnya request aja disini guys...oc..?
1 note · View note
goronska · 1 year
Text
Tumblr media
Long time no see, huh? Today I come to you to showcase a comission @mmaurysiek created for me. Mau-chan has been really vibing well with my blorbos, so I asked if they could paint my fav pairing - Eotia (Eodum x Setia). The brainstorming was extremely fun, picking the color palette and commenting on each stage of the project - ridiculously smooth. The result is simply stunning, I cried a little (/gen). After a few references which I normally create in picrew / by AI / through rather Anime-like or cartoon style comissions, this feels like it has real life substance, between a monochromatic photo and a statue. Those two came from different worlds and backgrounds, have different attachment styles and only circumstances and desperation put them together, binding them forever. Eodum has never experienced love before, Setia never allowed himself to love fully. Yet this impending disaster hold them in check mate and hold them very well. They are in balance, back to back against the rest of the world. Once again, thank you @mmaurysiek for putting so much care into doing justice to those two, with love and care for their proud parent (That's me! Me!). Mau-chan still has their comissions opened, so grab the slots while you can!
4 notes · View notes
clarineswrites · 7 years
Text
UNEXPECTEDLY BEAUTIFUL (Episode 2 | Chapter 1)
Minjoo, Park & Aaron, Lee: But, First, MYTHIC PHOENIX!
Characters: Park Minjoo (OC), Aaron Lee (OC) & MYTHIC PHOENIX Jae, MYTHIC PHOENIX fans, 3 Anti-fans, 4 Security Guards (NPC)
Series: Episode 2 | Chapter 1 
Genre: Comedy & Romance
Words Count: 2,271
Writer: clarineswrites
Friday December 29th, 2017 COEX Mall [MYTHIC PHOENIX’s Busking Event] 06:15 PM KST
Aaron’s POV
Setelah sekian lama tidak berkumpul, hari ini, tepatnya dua hari sebelum tahun berganti, Aaron yang adalah gitaris sebuah grup band ternamaㅡkarena kebiasaan melakukan busking di banyak area; di Seoulㅡdapat kembali memperlihatkan kepiawaiannya bermain gitar akustik. MYTHIC PHOENIX, itu adalah nama beken dari grup band yang beranggotakan lima pemuda tampan yang digilai oleh banyak kaum hawa remaja. Aaron sudah muak dengan beberapa buku bisnis yang tak habis ia baca. Sekitar dua bulan menghabiskan waktu di ruangan belajar, hanya memerhatikan untaian kata yang terucap dari bibir seorang guru home-schooling, dan tak ada waktu bermain game serta berkumpul dengan teman-teman band membuat adam kelahiran Singapura itu sangat tertekan. Ia menyesal telah mengindahkan keinginan ayahanda yang menyuruhnya untuk belajar. Rasa bosan membunuh seorang Aaron, sehingga di sinilah ia berada, yaitu di COEX Mall. Ia sedang bersiap-siap untuk melaksanakan acara busking dengan keempat teman sebayanya. Bermodalkan tekad yang kuat untuk bermusik, Aaron yang lari dari jangkauan sang ayahㅡkabur dari lingkup ayahnyaㅡmemutuskan untuk bersembunyi di COEX Mall. Sambil menyelam, minum air. Hari ini tidak usah belajar karena sudah muak, lalu mengisi hari dengan ngeband bersama MYTHIC PHOENIX. Pilihan yang tepat, Aaron. Kau hebat.
Minjoo’s POV
Kembali, untuk kesekian kalinya, Park Minjoo harus mengatakan bahwa ia sangat lelah menjalani hidup. Sejak dirinya lulus dari Universitas Nasional Seoul dan menyandang gelar sarjana, ia belum mendapatkan pekerjaan. Ia pun belum dapat dengan bangga mengatakan kepada dunia bahwa ia sudah benar-benar menjadi seorang pengacara.
Seperti hari-hari kemarin, Minjoo mengunjungi empat firma hukum yang belum sempat ia datangi kemarin. Namun, hasilnya nihil. Banyak alasan yang diberikan kepadanya kala kedua tangan dengan rendah hati menyerahkan beberapa berkas berupa data diri, transkrip nilai, sampai kepada banyak acara kampus dalam berbagai bidang yang dulu pernah ia bantu kesuksesannya. Ia tahu, sangat mengerti nilai-nilainya selama mengemban pendidikan di perguruan tinggi tak dapat diacungi jempol, tetapi setidaknya mereka yang menerima berkas-berkas Minjoo tak sepantasnya mengusir sang dara dengan begitu kejam. Satu hal yang tidak ingin diakui seorang Park Minjoo ketika realita begitu membuatnya ingin menitikkan air mata, yaitu latar belakang keluarga yang tak dapat diubah. Menyakitkan, hari ini perasaannya lebih buruk dari kemarin. Jika kemarin ia merasa kesal, hari ini ia murka. Oleh karena itu, sahabat karibnya yang sama-sama berasal dari panti asuhan yang sama memberikan selembar tiket kepada sang puan untuk menikmati sebuah konser. MYTHIC PHOENIX. Sebuah grup band yang namanya sudah dikenal oleh banyak kalangan karena keaktifan grup tersebut dalam menarik perhatian para kaum hawa, terutama para remaja. Minjoo menjadi salah satu penggemar, karena dulu saat masih duduk di bangku semester dua perguruan tinggi, dirinya sempat mendengar salah satu lagu ciptaan mereka, dan pada saat itu juga, ia memutuskan untuk menjadi penggemar MYTHIC PHOENIX.
Menurut seorang Park Minjoo, nama grup mereka sungguh keren, dan begitu juga dengan para anggota band tersebutㅡketampanan mereka dapat diacungi jempol. Ini preferensi, tetapi banyak penggemar meyakini hal yang sama.
Antrean masuk area COEX Mall yang akan menjadi tempat berlangsungnya acara busking sudah dipadati para penggemar dengan segala atribut pendukung untuk menyoraki idola tambatan hati. Minjoo tidak membawa apa pun; hanya sebuah tiket dipegang tangan kanan, dan tas kerja digenggam tangan kiri. Melihat antusiasme yang tinggi dari para penggemar di sekeliling membuat Minjoo menjadi tak sabar untuk menikmati acara busking. Pasti akan menyenangkan. Semoga saja perasaan ingin murkanya dapat berubah menjadi perasaan penuh semangat, usai menonton MYTHIC PHOENIX busking nanti.
Aaron’s POV
“Aaron,” bariton seseorang terdengar, dan yang dipangil mencari dari mana asal suara tersebut.
“Shin!” Aaron mendongak, menyambut panggilan lelaki berperawakan tinggi dengan beberapa anting menggantung pada daun telinga.
Adam pemilik nama kehormatan Lee itu menyeringai. Ia menghampiri Shin yang sudah siap naik ke atas panggung dengan gitar bass telah berada dalam genggaman. Kemudian, Aaron membuka sarung gitar dan mengambil alat musik kesayangannya itu untuk segera dimainkan.
“Sekarang di mana Jae?” tanya Shin sambil mengedarkan pandang ke sekeliling; mencari keberadaan lelaki yang dipanggil dengan nama Jae.
Melirik arloji, sepertinya waktu untuk tampil sudah semakin dekat; Aaron pun harus ikut mencari. “Biar aku cari di luar.”
Dengan gegabah, Aaron keluar dari ruangan belakang panggung dan mengaktifkan indra penglihat semaksimal mungkin. Dalam hati ia berdoa; semoga tak ada sesuatu yang terjadi pada kawan satu bandnya itu. Pasalnya, Jae adalah seseorang yang mudah tersulut emosi, dan paling sering membuat masalah. Jangan sampai performa kali ini harus berakhir batal seperti empat bulan lalu. Untung saja para penggemar tidak melemparkan banyak cacian kepada MYTHIC PHOENIX karena hal itu. Untungnya lagi, banyak penggemar yang masih setia dengan band tersebut dan datang ke acara busking hari ini.
“Aduh, di mana sih Jae?!” Aaron mulai menggerutu karena keberadaan Jae belum juga ditemukan, meski kedua kaki sudah berlari kecil mengitari hampir seluruh bagian area lokasi acara busking.
“Ya!”
“Jangan banyak bicara kau!”
“Cepat minta maaf sebelum wajahmu babak belur!”
“Kau kira aku takut? Dasar anak jalanan!”
Awalnya, Aaron enggan untuk mencari tahu apa yang terjadi dan siapa-siapa saja pemilik suara yang didengarnya. Namun, kalimat terakhir yang ia dengar membuat rasa ingin tahunya memuncak, sampai akhirnya ia pun sampai di tempat terjadinya sebuah perkelahian. Jae ada di sana. Sosok adam berperawakan tinggi dengan rambut yang dicat pirang terlihat sudah siap untuk meninju lelaki lainnya di sana. Kedua mata sipit milik Aaron membulat sempurna.
Panik? Tentu saja.
“YA! YOONJAE!” Aaron cepat-cepat melerai Jae yang tampak tidak suka keinginan untuk meninju seseorang diganggu kawan satu bandnya sendiri. “Apa yang sedang kau lakukan?! Kau seharusnya berada di belakang panggung sedari tadi!”
Ekspresi Jae berapi-api, geram akan suatu hal. Namun, Aaron tetap berusaha menenangkan kawannya itu. “Brengsek!” Jae mengumpat di sela napas yang menggebu-gebu.
Kalimat pembawa sial memang. Tepat setelah Jae mengatakan sebuah kata tersebut, adu jotos terjadi di antara tiga pemuda yang tak dikenal dengan dua anggota grup band, dan Aaron ikut serta di dalamnya. Beberapa penggemar yang melihat kejadian memalukan itu berteriak dengan heboh sampai dua orang petugas keamanan datang untuk melerai para anak muda yang kehilangan akal sehat itu. Aaron lah yang paling sial di antara mereka, sebab adam itu tidak tahu sama sekali apa alasan di balik adu jotos terjadi dengan dirinya sebagai salah satu pelaku, bukan korban. Oh, sungguh sial.
Namun, meskipun sudah ada petugas keamanan pusat perbelanjaan yang menghadang, Jae masih saja berniat untuk adu jotos dengan ketiga pemuda tak dikenalnya itu. Jadi, Aaron pun kembali ikut terlibat di dalamnya dengan mencoba melerai perkelahian, tetapi berakhir tampak seperti pelaku.
Apakah akan begitu terus sampai hari semakin malam, dan MYTHIC PHOENIX berakhir mengulang kejadian empat bulan lalu; performa batal dan penggemar pulang dengan kecewa?
Minjoo’s POV
Kerap kali disebut seseorang yang tidak memedulikan keadaan sekitar, atau sangat pasif ketika sedang tidak dalam suasana hati yang baik membuat Park Minjoo sudah terbiasa untuk bersikap acuh tak acuh ketika berada di tengah keramaian. Seperti buktinya; sekarang ini ia tak memedulikan ratusan penggemar yang menjerit dengan heboh ketika melihat beberapa pemuda yang wajahnya cukup tampan sedang adu jotos di dekat antrean masuk lokasi acara busking. Hanya melirik, tidak berniat melerai walau sudah tahu ia pasti tak akan bisa melakukan hal itu, sebab bukan pemegang sabuk hitam taekwondo.
Minjoo ikut bergeser ketika beberapa gadis yang sepertinya berada di usia lebih muda beberapa tahun darinya memberikan jalan bagi dua orang petugas keamanan untuk mendekati para pemuda sok keren yang masih berusaha adu jotos.
Ada apa dengan pemuda-pemuda itu? Minjoo heran. Kenapa kehilangan akal sehat sampai membabi buta seperti itu? Memuakkan.
Decakan diperdengarkan entah kepada siapa sambil sekilas menggelengkan kepala. Ia menunjukkan bahwa diri tak suka akan apa yang tertangkap pandang. Niat awal Minjoo memang tak ingin ikut campur, tetapi sepertinya Tuhan meminta sang puan untuk menjadi penengah kejadian adu jotos yang dilakukan oleh para pemuda bertemperamen buruk itu di kantor polisi. Beberapa penggemar yang mengetahui dua orang dari mereka yang berkelahi adalah anggota band MYTHIC PHOENIX saling melakukan aksi dorong-mendorong sampai akhirnya Minjoo tenggelam dalam lautan penggemar.
Kedua petugas keamanan berperawakan kekar serta berparas mengerikan yang sedari tadi berusaha melerai perkelahian terpaksa meninggikan suara.
Percobaan pertama. Salah dari dari petugas keamanan itu berteriak dengan nyaring, “HEY! KALIAN BERHENTI!”
Tak ada yang berniat untuk berhenti adu kemampuan tinju.
“ㅡSebelum kalian semua berakhir di kantor polisi!” lanjut seorang petugas lainnya yang siap menarik kerah baju seluruh pembuat onar di pusat perbelanjaan itu.
Minjoo paling tidak suka keramaian, dan Tuhan mengabulkan doanya sedari tadi yang meminta dikeluarkan dari lautan penggemar. Namun, mengapa rasanya begitu memalukan?
Aksi dorong-mendorong berlangsung cepat, dan karena hanya Minjoo yang berniat kabur dari sana, ia terdorong keluar dengan kencang dari kumpulan penggemar MYTHIC PHOENIX. Ia berakhir terlempar masuk ke dalam area perkelahian dan tersungkur tepat di tengah perbatasan antara dua anggota band dan tiga pemuda tak dikenal sehingga perkelahian sempat mendingin untuk beberapa saat.
Malu.
Memalukan.
Wajahnya mau ditaruh di mana? Minjoo yang tersungkur, tak berniat untuk mendongak dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja karena ia tak mau puluhan pasang mata mengingat wajahnya. Jadi, lebih baik berpura-pura pingsan dan mengaku korban saja, bukan?
Aaron’s POV
Aaron tidak pernah menyangka pilihannya untuk kabur dari kejaran orang tua karena sudah bosan belajar bisnis akan berakhir belajar mengendalikan emosi karena adu jotos berlangsung cukup lama. Terlebih, di depan umum; di saat MYTHIC PHOENIX akan melaksanakan acara busking. Bahkan, kini dua orang petugas keamanan pusat perbelanjaan sudah berada di dekat mereka, berusaha untuk melerai perkelahian para anak muda yang sibuk memamerkan kekuatan tinju. Aaron menjadi salah satunya dengan tidak sengaja. Sangat sial, adam itu menggerutu.
BUKK!!!
Seorang perempuan tersungkur tepat di tengah area perkelahian. Kaget, puluhan pasang mata terbelalak karena melihat seseorang berusaha dengan begitu keras untuk melerai perkelahian sampai-sampai terjatuh.
Dalam hati, Aaron bersyukur. Ya, karena gadis yang masih tersungkur di atas lantai itu sudah membuat adu jotos berhenti untuk beberapa saat, dan dua petugas keamanan dapat memberhentikan kegiatan adu jotos mereka sebelum mereka kembali berusaha tinju-tinjuan lagi. Tetapi, satu hal. Kenapa dara itu tidak bangun-bangun setelah tersungkur? Pingsan? Atau, mati?
Aaron yang merasa emosinya paling normal di sana langsung berjongkok, dan membantu gadis yang tersungkur untuk segera berdiri.
“Hey, kau tak apa-apa?” tanya Aaron, memperdengarkan nada kekhawatiran di sana. Ia berbisik pelan.
Minjoo’s POV
Jika boleh meminta untuk dibiarkan benaran pingsan, rasanya Park Minjoo ingin dibuat benar-benar kehilangan kesadaran dengan pingsan, bagaimanapun caranya.
Banyak pertimbangan terjadi di dalam pikiran Minjoo kala ketenangan menghampiri ketika dirinya tersungkur di lantai. Apakah ia harus mendongak dan berkata bahwa ia baik-baik saja karena sudah terlanjur malu? Atau, apakah ia harus menambah dosa dengan berpura-pura pingsan karena terlalu malu?
Bariton seorang laki-laki membuyarkan lamunan hening Park Minjoo yang masih dalam posisi tersungkur sejak beberapa menit lalu. “Hey, kau tak apa-apa?” begitu pertanyaan seorang lelaki yang wajahnya tak sama sekali ingin dilihatnya, meski dari suara sungguh dapat dibayangkan paras lelaki itu (mungkin) tampan. Lelaki itu berbisik.
Sebuah ide gila terbersit dalam kepala Minjoo. Ia menjawab dengan berbisik juga.
“Bantu aku. Ini memalukan, tetapi bisakah kau menamparku? Aku harus benar-benar pingsan untuk keluar dari situasi seperti ini,” tutur Minjoo dalam desibel rendah; memohon.
Aaron’s POV
Perempatan imajiner terbentuk pada dahi Aaron ketika seorang gadis berambut pirang terang yang tersungkur memintanya untuk mendaratkan tangan pada pipi sang dara.
‘Apa? Dia memintaku untuk menamparnya? Hah? Sudah gila rupanya.’ Aaron membatin.
Si bungsu Keluarga Lee itu menggelengkan kepala. “Apa-apaan?! Untuk apa aku menamparmu?” Aaron menambahkan setelah terdiam sejenak, “Cepatlah berdiri! Meskipun memang memalukan bagimu untuk memamerkan wajah pada puluhan pasang mata yang memandang di sini.”
Kekanakan, Aaron tetap berniat menertawakan apa yang terjadi pada dara yang tersungkur. Ia menyeringai sebelum bangkit berdiri.
Minjoo’s POV
Jadi, keinginan Minjoo untuk memperdaya seseorang untuk menghapus urat malunya tidak berjalan dengan baik. Akhirnya, sebelum sang adam yang belum dikenalnya itu bangkit dari posisi berjongkok, Minjoo menarik tangan lelaki itu dan ia meninju pipinya dengan menggunakan tangan lelaki yang akan menjadi tersangka atas pingsannya Minjoo. Tetapi, meski tinjuan cukup keras, Minjoo tak juga pingsan. Alhasil, ia memutuskan untuk bangun dari posisi tersungkur sambil memegang sebelah pipinya yang memerah dan sepertinya memar.
“YA!!!” teriak Minjoo secara mendadak, dan dipaksakan. Ia meringis sekilas sebelum menatap adam di hadapannya dengan kedua mata melotot; melakoni sebuah peran, yaitu marah. “Apa-apaan kau?! Mentang-mentang laki-laki, sombong sekali memamerkan tinjumu pada perempuan?!”
Sepasang mata Minjoo diedarkan ke sekeliling; melihat situasi yang terjadi setelah dirinya berteriak heboh. Mendapat puluhan pasang mata mengarah kepadanya, Minjoo mulai semakin heboh. Ia berkata, “Aku butuh keadilan!” dan selang beberapa sekon, dua petugas keamanan lainnya datang lalu masuk ke dalam area perkelahian yang sekarang benar-benar terlihat seperti area adu tinju antara adam yang kebingungan karena berpikir menjadi korban; padahal realita mengatakannya sebagai tersangka, dengan dara yang berlagak seperti korban; padahal adalah tersangka.
Aaron’s POV
Aaron Lee terperanjat dibuat gadis yang belum dikenalnya. Gadis yang telah membuat seluruh mata yang tertuju kepadanya menatap dengan sinis dan penuh tanya. Melihat keadaan yang tadi mulai mendingin, tetapi seketika menghangat lagi akibat perbuataan Si Pirang, Aaron menghela napas dan mengusak rambutnya. Ia terjebak dalam sebuah serangan yang menjadikannya seorang tersangka atas sebuah kejadian.
“YA!!!” teriak Aaron tak mau kalah usai Si Pirang nyaris mendapatkan hampir seluruh hati penggemar yang telah berubah menjadi penonton setia sebuah drama. “Apa maksudmu kau butuh keadilan?!” Aaron mendorong pelan bahu gadis yang sudah menyulut api di dalam raganya dengan kedua kata yang juga ikut melotot.
Namun, belum sempat Aaron menyelesaikan permasalahan dengan gadis itu, keempat petugas keamanan yang ada di tempat kejadian membawa kelima lelaki yang tadi sempat adu jotos dan seorang gadis berperawakan tinggi ke kantor polisi karena telah mengganggu aktivitas di dalam pusat perbelanjaan. Bukan dibawa ke ruangan keamanan, malah langsung diseret ke kantor polisi. Aaron semakin menyesal karena sudah berusaha melerai salah satu anggota bandnya, Jaeㅡkarena ia tahu sebentar lagi kesialan akan menghampirinya ... bertubi-tubi.
To be continued: Chapter 2
0 notes
tooquirkytolose · 3 years
Note
can you tell me about your ocs? who's the first one you drew? are they the same as the first one you wrote? do you have a favorite to write/draw? anything else you want to share about them, i'd love to hear!!
Oh i have SO MANY OC's!!!! So!!! Many!!!
Tumblr media Tumblr media
This is Tansy Obress!! And a fancy family portrait of her best friend, Lylanohnn Laurent! they both go to a select seminary for young witches :)
Tumblr media
This is Alé,Trish, Kimmy, Bash,Pollux and Castor :) A bunch of cool 20 somethings
Tumblr media
This is Princess Peony, Lord Milovahny, Drist and her deerhound Filos, Princess Mara and Lady Setia! I hope to one day bring you all their story!
64 notes · View notes
unnotantei · 7 years
Text
30+ new jobs in Jawa Timur
IndeedJobAlert_email PT. Nayati Indonesia, PT Lekong, and OTO Group have opportunities for you! 30+ new jobs in Jawa Timur Admin Staff Sidoarjo PT. Arisma data Setia - Sidoarjo Memiliki motivasi kerja. Persyaratan Memiliki kemampuan komunikas dan interpersonal yang baik. Diploma Maximum Age:.... Easily apply 26 Jan Staff Administrasi A&A Indonesia - Surabaya *Job Summary* * Melakukan input data * Melakukan pembukuan setiap bulan * Mengatur jadwal lapangan * Melakukan kegiatan Administrasi Job Type: Full... Easily apply 24 Jan Program Account Officer (PAO) - Malang Bank Central Asia - BCA - Malang Usia maksimal 24 tahun. Belum dan tidak menikah selama 1 (satu) tahun pendidikan. Oleh karena itu, BCA mempersiapkan program pelatihan yang intensif selama 1... 23 Jan Staff Admin Surabaya PT. Global Cool - Surabaya SMA/SMK Maximum Age: 35 Years Score: 3 Mininum Experience: 1 Year(s) Lebih diutamakan dari jurusan Komputer Akuntansi. Bisa komputer (Ms. Word). Teliti, Jujur... Easily apply 23 Jan Staff Administrasi Surabaya PT. Nayati Indonesia - Surabaya Menguasai Microsoft Office (Word, Excel, Power Point). Memiliki pengalaman sebagai Admin Staff.... Easily apply 24 Jan Administration Monitoring & Control Officer OTO Group - Sidoarjo Pendidikan min. D3 semua jurusan dengan IPK min. 2.75*. Mampu mengoperasikan MS. Pria/Wanita, Usia maks. Teliti dan mampu menyelesaikan pekerjaan dengan tenggat... 23 Jan Program Relationship Officer (PRO) - Malang Bank Central Asia - BCA - Malang Usia maksimal 24 tahun. Belum dan tidak menikah selama 1 (satu) tahun pendidikan. BCA mempersiapkan calon Relationship Officer melalui program pelatihan dengan... 23 Jan Telemarketing Sidoarjo PT. Arisma data Setia - Sidoarjo 1 Year(s) Deskripsi Pekerjaan Mengidentifikasi prospek dengan mencari tahu dari berbagai sumber. Persyaratan Lebih diutamakan pernah menjadi Telesales... Easily apply 26 Jan Kurir Logistik PT BANK AMAR INDONESIA - Surabaya Usia Maksimal 35 Tahun. Pendidikan minimal SMU atau sederajat. Membuat jadwal pertemuan dengan nasabah. Melindungi & menjaga kerahasiaan dokumen yang diantar.... Easily apply 23 Jan Walk In Interview OUTLET CREW (OC) Richeese Factory - Surabaya Bawa berkas lamaran (PasFoto 3×4, FC KTP, FC Kartu Keluarga, FC Ijazah SMA/K Sederajat, Lamaran, dan Riwayat Hidup) pada :.... Easily apply 22 Jan Education Consultant - Malang PT. VIC Indonesia - Malang *Ringkasan Pekerjaan* *Job Summary* PT. VIC Indonesia is one stop education company that provides Overseas Study Consultation (Vista Education Services),... Easily apply 25 Jan Walk In Interview FLOOR MANAGER (FM) Richeese Factory - Surabaya Bawa berkas lamaran (Pas Foto 3×4, Foto Copy KTP, Foto Copy Kartu Keluarga, Foto Copy Ijazah pendidikan terakhir, Lamaran, dan Riwayat Hidup) pada :.... Easily apply 22 Jan STAFF GUDANG SURABAYA JAWA TIMUR PT LARIS MANIS UTAMA - Surabaya Kriteria Pria Umur Maks 30 tahun Pendidikan Min SMA sederajat Mempunyai Pengalaman di posisi Gudang atau QC lebih disukai Disiplin dan pekerja keras Mampu... Easily apply 23 Jan SALES AREA SURABAYA Wahana Prestasi Logistik - Surabaya Mampu Mengoperasikan Excel dan Microsof Office. 1 Tahun Pengalaman di bidang sales*. Mampu Berkerja Dengan Target.... Easily apply 24 Jan Recruitment Officer PT. Karya Mas Makmur - Surabaya Usia maksimal 28 tahun. Mencari dan menjalin kerja sama kepada beberapa sumber lowongan (job portal, bursa kerja, disnaker, dll).... Easily apply 25 Jan Program Account Officer - Surabaya PT Bank Central Asia Tbk 3 reviews - Surabaya Usia maksimal 24 tahun. Oleh karena itu, BCA mempersiapkan program pelatihan yang intensif selama 1 tahun agar para account officer yang ada dapat menjalankan... 25 Jan Officer Accounting Bimasakti Multi Sinergi - East Java Atau kirimkan lamaran Anda beserta CV dan pas foto terbaru ke:. Maximum age 30 years.... Easily apply 21 Jan Management Trainee - PT One Star Land PT. One Star Land Property - Malang Usia maksimal 28 tahun. Bagi anda yang memenuhi kualifikasi sebagai berikut:. Tidak dalam masa pendidikan. SMU atau sederajat.... Easily apply 21 Jan Staff Direct Officer ( Kartu Kredit & Mesin EDC ) Surabaya PT DIKA ( Danamas Insan Kreasi Andalan ) - Surabaya Pendidikan yang dibutuhkan:. SMU atau sederajat. _Dapat berkomunikasi dengan baik_. _*Staff Direct Officer*_.... Easily apply 24 Jan Karyawan Gudang PT Rajapet ( Distributor & Importir ) - Surabaya Usia Maks.35 tahun. Pengalaman min.1 tahun di posisi yang sama. Pendidikan yang dibutuhkan:. SMU atau sederajat.... Easily apply 22 Jan Collection Officer PT. Valdo Sumber Daya Mandiri - Malang Usia maksimal 28 tahun. Pendidikan min. SMA/ SMK Sederajat. Melakukan penagihan kepada nasabah yang mempunyai keterlambatan pembayaran.... Easily apply 23 Jan receptionist PT. Indo Asia Tirta Manunggal - Surabaya Usia 18 ~ 25 Tahun. Ijazah SMK sederajat / Diploma semua Jurusan. Berkomunikasi dengan baik. Ramah, rapi, dan jujur.... Easily apply 22 Jan Mechanic (For Factory Maintenance) PT Lekong - Pasuruan * Maintains equipment, parts, and supplies inventories by checking stock to determine inventory level; anticipating needed equipment, parts, and supplies;... Easily apply 24 Jan Kepala Depo Madiun PT Citra Usaha Lamindo - Madiun Descriptions To coordinate all depot operational activities. Ensure sales targets are achieved and the entire collection of accounts receivable in accordance... Easily apply 26 Jan Sales Mesin EDC Bank BUMN Cabang Kediri PT.Enlig Mandiri Sejahtera - Kediri Usia maksimal 35 tahun. Pendidikan min.SMA Pengalaman marketing EDC 1 tahun. Berpengalaman minimal 1 tahun mengelola & membina hubungan/relationship di merchant... Easily apply 22 Jan QC/QA STAFF Dirahasiakan - Sidoarjo 25 - 40 Tahun. Pria dan Wanita. Diutamakan yang berpengalaman di Perusahaan Feedmill.... Easily apply 22 Jan Operator forklift, Reach Truck, Pallet Mover PT. LABORA DUTA ANUGRAH - Sidoarjo Pria, Usia Maks.35 tahun. Memiliki pengalaman min. 1 tahun. Pendidikan yang dibutuhkan:. Memahami konsep keselamatan dan kesehatan kerja.... Easily apply 23 Jan ACCOUNTING STAFF MPM Motor - Sidoarjo ~ manages general accounting and treasury functions. ~ perform and review account reconciliations. ~ coordinate the issuance of monthly reports and financial... 23 Jan Staff Dapur Lemon Lime Kitchen - East Java Usia 28-35 tahun. Memiliki passion dan niat kerja yang tinggi. Mampu bekerja sama dengan chec /asst chef dalam mensukseskan target Tim Dapur.... 22 Jan Staff Management Property PT One Star Land Property - East Java Usia maksimal 28 tahun. Tidak dalam masa pendidikan. Tidak sedang terikat kontrak dengan perusahaan lain. Kualifikasi yang dibutuhkan untuk lowongan ini:.... 22 Jan 225 new jobs found View All Jobs View jobs: since yesterday - for last 7 days Get job updates from these companies PT Bank Central Asia Tbk Follow PT​. Nayati Indonesia Follow MPM MOTOR Follow © 2018 Indeed Ireland Operations, Ltd. 124 St. Stephen's Green, Dublin 2, Ireland PRIVACY POLICY | TERMS | HELP CENTER | UNSUBSCRIBE Silahkan Hubgungi Jika Anda Berminat Dengan Lowongan Ini Lowongan Kerja SMA Terbaru
0 notes
Text
Sepotong Hujan
Disclaimer: Shinhwa’s Shin Hyesung belongs to his respective companies, the OC, plot, and the poem is entirely mine.
Based on poem “Teruntuk Hujan: Sepotong Puisi Atas Nama Cinta dan Cita” by Linnika Sora/Nadia Karima Izzaty.
Also posted on shinhwafanfiction@wordpress
Buat setiap tetes air yang mendenting kaca jendela…
Ucapkan rindu.
Salam teruntuk rindu nan mendalam, yang meluruh bersama duka
Menyamar nestapa di balik sendu.
Lagi-lagi hujan.
Pria bertubuh tinggi langsing itu meraih payungnya yang berwarna keperakan. Sudah satu minggu berturut-turut hujan turun, berebutan mencumbu bumi Seoul. Bukan hal yang buruk, sih, mengingat betapa panasnya musim panas yang lalu. Sudah masuk musim gugur, angin September yang dingin mulai berhembus. Dedaunan mulai berguguran, seolah bersuka cita akan datangnya angin musim gugur.
Pria itu tidak pernah membenci hujan, omong-omong.
Hanya saja, siapapun akan membenci hujan apabila harus ke suatu tempat dalam keadaan mobil pribadinya masih berada di bengkel untuk perbaikan.
Terpaksa mengambil kendaraan umum, Hyesung berjalan cepat keluar dari apartemennya. Ia sengaja mengenakan hoodie warna putih yang tidak mencolok, celana jins butut dan sneakers putih yang sama bututnya. Sekaligus menyandang ransel warna biru, berisi pakaiannya yang lebih—ah, pantas, untuk dikenakan. Mana mungkin dia menemui atasannya di Liveworks Entertainment dengan pakaian seperti itu? Kostumnya sekarang hanyalah kamuflase demi membaur di tengah publik.
Buat setiap kilas yang membayang selaik hantu
Samar, namun jelas jua
‘Kan menjelang haturan selama tinggal padamu
Senaas petang nan kelabu yang melukis mega.
Bagi sebagian orang, dongeng hanyalah isapan jempol belaka, yang mudah terlupa, papa diseka waktu.
Bagi Shin Hyesung, putri hujan dan ksatrianya bukan sekedar dongeng.
Tersebutlah Han Yoomin, putrinya yang mencinta akan hujan. Duduk di tepian jendela setiap kali hujan datang menyapa, seolah melepas rindu akan serbuan butir-butir elemen air yang tak kalah merindunya akan bumi pertiwi.
Takkah kau menghirupnya, ujar perempuan itu, takkah kau merasa akannya?
Harum hujan merasuk sukmaku.
Berbagai majas, gaya bahasa dan setiap tutur perempuan itu berbobot, seakan tiada satupun kata yang lahir dari lisannya yang terucap sempurna percuma. Semua sarat akan makna, tersirat dan tersurat.
Sebagai ksatria yang telah bersumpah untuk menjaga putri itu, bagaimanapun caranya, tentu ia hanya mampu mengulas senyum. Berusaha memahami hati putrinya yang terlampau cantik untuk ia pahami. Nampak dari indah tuturnya, santun lisannya, kerlip di kedua bola matanya yang sewarna obsidian.
Adalah tugas seorang ksatria untuk menjaga putrinya. Bukan jatuh cinta kepadanya.
Buat getir yang terdera perih
Kan abai diriku,
Bahkan bila mampu hujan meluruh pedih
Biar waktu saja yang hapus liku luka batin, semu.
Hujan semakin deras. Hyesung membuka payungnya yang berwarna keperakan. Segera sosoknya menyelip, timbul-tenggelam di antara lautan manusia Seoul yang menyebrang jalan untuk sampai di halte bus. Rupa-rupanya orang-orang sedang sibuk-sibuknya beraktivitas. Hingga lupa menatap wajah satu sama lain, mengamati sekilas atau sekedar menganggukkan kepala tanda sopan. Buktinya Hyesung sama sekali tidak dikenali, meskipun ia memang sedang sedikit menyamar.
Separuh berlari, kakinya menjejak bumi tegas. Sepatunya kini sudah kuyup terbasuh air hujan. Tapi peduli apa. Ia ingin berlari, terus berlari.
Berlari dari luka yang mendadak menginvasi otaknya.
Buat luruh hujan yang menderas bumi,
Yang hanyutkan bermacam labirin luka
Bisakah kau pinta waktu demi hapuskan luka ini?
Biar hati menetap untuk menatap, tegar di balik sandiwara.
Aku pergi, ujar putri itu. Kau bisa menjagaku hingga aku kembali?
Bayangkan betapa sakit hati ksatria itu, macam disayat sembilu saja pilunya. Bagai disambar halilintar, Hyesung terkesiap. Terlebih ketika sang putri hanya diam tanpa kalam ketika Hyesung bertanya perihal alasan fundamentalnya pergi. Pergi kemana? Berapa lama? Mengapa? Kapan kembali?
Semua dijawab Yoomin dengan bisu.
Emosi mendera. Seluruh sel tubuh Hyesung menjeritkan penyesalan akan ledakan emosi yang melandanya. Sebuah bentakan yang tak terkendali melayang darinya.
MENGAPA? KAU MEMBENCIKUKAH? SEPERLU ITUKAH KAU PERGI?
Kau tidak mau menantiku? Justru pertanyaan polos itu balasan atasnya. Ksatria itu memutuskan untuk diam, pergi meninggalkan Yoomin yang tergugu dalam sunyi. Sedih.
Aku jatuh cinta kepadamu, Hyesung menjerit dalam hati. Namun lisannya terkunci. Aku jatuh cinta kepadamu, hingga rasanya sakit sekali hanya melihat eksistensimu saja.
Aku jatuh cinta kepadamu.
Sebuah pengakuan melayang dari bibir Hyesung, dibalas bisu seribu kalam oleh Yoomin. Pengakuan tanpa balas. Hyesung sakit hati. Seolah gadis itu tidak mau menjawab, entah marah atau tersanjung. Atau tersinggung. Atau kecewa. Berbagai pikiran dan sugesti akan probabilitas tanggapan Yoomin akan pengakuannya berkecamuk, membuatnya nyaris berteriak. Gila.
Yoomin hanya tersenyum, kecil tanpa makna. Langkahnya kecil, perlahan menjauh. Seolah tidak rela meninggalkan sesuatu yang ia hargai. Tatapan matanya sendu, tak lagi nampak binarnya. Binar yang biasa hadir di balik sepasang mata kumbang pohon itu ketika menatapi hujan, bercengkrama dengan alam. Binar yang biasa menghuni kedua bola matanya ketika mereka duduk berdua, takzim menyaksikan panorama senja yang menorehkan lini jingga di horizon barat. Seolah Hyesung telah merenggut binar itu dan mematikannya. Sehingga hanya senyum itu yang menghiasi paras ayunya.
Han Yoomin, kau cantik sekali dengan senyummu yang sedih…
Buat hujanku, yang mewarna senja
Merona layu, bagai sedih nian
Bila temu sua selanjutnya ‘lah akan lama membilang masa
Kenankan aku menunggu hingga jadi waktu dibangun.
Halte bus itu penuh sesak akan orang-orang yang hendak naik bus. Semua orang berdesak-desakan, hingga tak ayal Hyesung pun turut terdesak. Berdecak kesal, pria itu mengatupkan kembali payung keperakannya. Sudah basah kuyup, tubuhnya terdesak-desak kerumunan calon penumpang, mobilnya masih di bengkel, ia nyaris terlambat, belum lagi sepatunya basah. Jelas hari sialnya.
Sebuah bus berlalu begitu saja, mengangkut sebagian besar dari calon penumpang yang berdesakan di halte tersebut. Kini hanya tinggal beberapa orang saja, setia menunggu bus yang akan ditumpangi. Hyesung masih asyik dengan lamunannya sendiri ketika sehelai kertas mampir ke wajahnya, tertiup angin dingin.
“Ah, maaf, itu kertasku.”
Suara feminin itu membuat Hyesung segera menoleh. Tak salah lagi, sosok semampai yang kini sedang menatapinya itu. Dia. Tangan perempuan itu, yang semula hendak mengambil kertas yang mampir ke wajah Hyesung, terhenti di udara. Nampak parasnya yang ayu juga tak kalah terkejutnya dengan Hyesung.
Di bawah melodi rinai hujan, putri dan ksatrianya menemukan satu sama lain.
Demikian, hingga telah tuntas masa membilang dirinya,
Dua anak manusia menemukan sepotong jiwanya dalam satu sama lain
Di belantara deru angin yang mereguk rindu keduanya,
Bahkan anak-anak hujan turut bersuka cita atasnya.
0 notes
literaryclubiiti · 7 years
Text
Growling Shriek(s)
DISCLAIMER: This is an admittedly light-hearted conversation about the trends of our most beloved IIT Indore between two not entirely happy-go-lucky stalwarts about to graduate. Following the tradition, this can be considered as a whole-hearted, but nonetheless well-intentioned rant. Reader discretion is highly advised.
By Amey Ambade and Ashish Bharatwal
(SCENE 1: SILVER MESS)
(It’s about noon on a Saturday in March. Amey is sitting on the wildly recognizable red chair, steel plate on the beige table, as ‘Tip Tip Barsa Pani’ plays loudly on the TV, almost in sync with the water dripping off the water filter behind him. He dons a grin as Ashish joins him, visibly frustrated.)
Amey: Dude, what’s up with your mess refund?
Ashish: Motherfuckers. They should be drowned in their own broth.
(Murderous glances from judgemental postgrads across the table)
Amey (unconcerned) : Hard luck, eh? What did you expect, though? Four years on, they’d understand why you dislike them? Didn’t you get to fill a pointless form to get something out of it?
Ashish: It’s not the first time I am getting the short end of the stick in IITI.
Amey: Not the first time you’ve said that.
Ashish (smiling) : Not the first time you’ve said that. You tend to be able to predict each other’s moves after this long a swim in the shitpool as comrades.
(Random Mess Guy comes up: ‘Bhiyaa, mess fees pay kar di na?’ They look at him disapprovingly, and taking the hint, he promptly disappears.)
Amey (doubtfully breaking a piece off a roti with bare hands) : Amen to that, brother. Chal, aaj khane mein kaunsi insect species ki discovery hogi dekhte hain. Talking of insect species, what’s up with E-Blockers suddenly hitting the gym?
Ashish: Well, whaddya know? Trying their best to feel good about themselves before leaving; what were they even doing the last four years, haha!
Amey: Ah well. You know and I know. Now that everyone else is in Simrol, I don’t know what eyeballs you speak of. I give the fad a month to drop off. We clearly couldn’t give two shits.
Ashish (chuckling with disgust) : Especially now.BTW, speaking of shits, look at this - Lauki Ke Kofte. BC’s trademarked turd-sized dumplings® are turning out to be a favorite of those who haunt the Jain food counter. Tatti khaaye par pyaaz na khaaye.  
Amey (proud to not have made the unfortunate sabzi choice) : Chuck that, chal Fresco chalte hain, Snickers pe fir se PayTM cashback aaya hai.
Ashish: Yeah, I have to get a couple of photocopies too. These B-schools! Why do they even have CAT if that is just meant to be a ‘Fuck you!’ to mediocrity?
(They leave the mess, their untouched food-laden plates still on the table. The freshness outside is liberating, it’s like getting out of a green fart convention.)
Amey (finally inhaling air) : Perceived mediocrity… Thodi toh political correctness chahiye, bhai. But yes, I agree. I’ve been swamped with my MS applications lately, and they are equally exhausting. Thinking about our lives after graduation is perhaps more frustrating than trying to maintain a straight face when Batra talks. Add to that the lifelong terror that we will take away from boarding harmfully yellow buses, and lo, you have the recipe for a migraine.
(They reach Fresco, and scan through the hastily placed products. Amey discreetly picks up a Zandu Balm)
Ashish: Remember when as freshmen we were singing at the top of our lungs the lewd version of ‘Chahun Main Ya Na’ and didn’t give two shits when we noticed a furious Batra peering over us ominously from the half-open door? Ah, I miss those careless times.
Amey: And the countless number of times we partied with complete disregard for the neighbors or Digant? It helped that we had no immediate neighbors, aur guards to apne jigri thhey. But with no authorities to piss off now that everyone except us is thankfully in Simrol, it’s like, hum kiske dimag ko shot de ab?
(They’ve collectively picked up stuff worth 150 bucks but will pay only a hundred because subsidy.)
Ashish (showing his phone screen) : Hey, look at this article in ToI: Fluxus event winners haven’t received their prize money. This one guy says IITI owes him fucking 10k. Much ado about Fluxus every year. The only ones happy are the OCs, until last year, right? From what goes around in the campus, they reported earnings of 3000 from Sunidhi’s concert, and an attendance of 3000 in the media. What an absolute load of crap?! 70 lakh mein toh teen decent Fluxus ho jaayenge BC.
(They’re walking, surrounded by the white buildings with eerily jail-like black railings that have defined their time in Silver Springs. Now that Silver isn’t infested with overexcited juniors, final years are loitering in the quaint streets.)
Tumblr media
Amey: I still stand by my idea to only have an e-Fluxus to save the money and the Kejru-level shaming.
Ashish: Haha, if only you knew e-Fluxus actually happened this year. We had a middling singer Shirley Setia adorning the terrains of Simrol. I also heard Aditi Agrawal was their second choice, now that she has her own YouTube channel. Way to go!
(They get to the lift, sharing it with the classically unconcerned 4th floor wali aunty as they hear the dulcet voice on loop, touting “Please. Close. The Door. Krupaya. Darwaza. Band. Karein.” Somewhere, Hodor’s soul is shedding a single heavenly tear.)
Amey: The terrains of Simrol! There’s some places in our new campus that look like scenes from True Grit, Blazing Saddles and Mad Max were filmed there. I could swear the dust twisters could effectively upend an unsuspecting Simmi and Avnish holding three Cormens each. Avnish will probably be ecstatic about that, too.
Ashish: It’s miraculous how so few cases of asthma have popped up given the dust bowl Simrol is and the number of students cooped up in there. We are a resilient lot, I must say.  
(They get out of the lift on the famous 3rd floor and enter D-314.)
(SCENE 2: ROOM)
Amey: We’re wasting an entire sunny afternoon for my bloody transcripts. ( He pauses to check a news notification on the antics of a certain orange unhinged toddler-psychopath.) You have to agree, though, with all the negatives aside, isn’t it actually pretty convenient to navigate around the half-built pods in pyjamas?
(They change in a minute, time is important here, and Amey reaches for his shoes. There’s no way he’s going into the arid Wild West in flip-flops. Ashish checks the bus schedule on his phone. They have bus schedules, for fuck’s sake, doesn’t that say a lot by itself?)
Ashish: Yes, but that doesn’t outweigh having no good food, good booze and good company in a ten-kilometer radius, does it? Taste Butts? Screw you, Rohan Rathore.
Amey (disapprovingly) : No cash, only college Smart Cards accepted. And you have to try the infamous Chicken Fried Rice. Nothing screams appetizing as half-cooked rice with boiled chicken bits and spring onions sprinkled on top to emphasize the near non-existent efforts that went into serving it. Maybe if our batch was shifted to the forsaken place too, we wouldn’t have had such a pessimistic opinion. Maybe angoor khatte hain.
(Both take a minute to check if they haven’t forgotten their ID cards and proceed to exit the building. ID cards hold more importance in the Simrol campus than platinum credit cards.)
Ashish: But then I wouldn’t have been able to go to TIME for classes twice a day at ungainly hours. (Phone pings) Iss Utkarsh Kumar Singh ko chayn nahin hai. And then there’s the IIT Indore Discussions and Complaints and Grievances and Suggestions and Repercussions and Discombobulations and Fornications page. People have no chill, this Gymkhana has no chill. Which is a good thing, actually. This one tried its best to make things right. The Constitution was a pretty good move.
Amey: Yeah, they tried to right some wrongs. Avadhesh is hands-down the most proactive Gymkhana President I have seen, especially in regard to being responsive. Can’t say the same about the vigilants-in-their-own-right juniors who were more concerned about lengthening the mail threads with their bull than making their contribution count. The juniors really get on my nerves sometimes.
Ashish: Sometimes? Hah. What have the Quiz and Literary Clubs been up to? I count one… two… three… Three events in the last year, both our clubs combined - no aggressive, only passive, these runts. I’m pretty sure we left the clubs on high notes, but the future for these exclusive groups of students seemingly aspiring just for PoRs is obscure at best. The clubs are almost decrepit now, but the enthusiasm to forward mails from other institutes’ fests has not dwindled a bit.
Amey: Our work defined these clubs, but I agree, lately, confusion seems to have taken them to a standstill.
(They board the dangerously yellow bus after a 10-mile walk)
(SCENE 3: FREAKISHLY YELLOW BUS)
(Amey proceeds to sit on the right side of the bus. Arey naive child.)
Ashish: Bhai, uss taraf dhoop aayegi.  
(They sit on the double-seat and share a headphone. Ashish bangs ‘Another Day of Sun’)
Ashish: I can listen to the ‘La La Land’ soundtrack on end. This and Abusive Aunty Mix and Chodu Singham...  Did you know they caught a third guy for downloading umpteen gigs of porn @36MBps in Simrol?
Amey: Kya?! Yeh kaise hua bhai? That poor pervert.
Ashish: The IT guys can obviously track you in the new hostels. The surprising thing here is, they cared enough. They ALWAYS care when it comes to the quotidian aspects of student life gone slightly haywire. Khaane mein keede se koi problem nahin hai, par Frooti ka payment overdue hai toh expulsion.
Amey: Well, if one guy hogs the whole network, others have to come jumping like it’s The Dawn of The Rise of The Dusk of The War for the Planet of The Apes. I remember how we used to go bat-shit crazy when someone was downloading the latest episode of Game of Thrones from our gareeb 80GB limited Airtel networks when we already had it. Some people were so goddamn serious about the bandwidth they’d become whinier than a Goth kid trying to find his eyeliner.
(The bus hasn’t started yet. CultSec boards. Bus revvs.)
Ashish: Here comes our poor sacrificial lamb. He should wear a tee that says, ‘I am Kalash and I am not a terrorist’.
Amey: Sir, I have known him since my first day at IIT Indore even though that is technically impossible, but impossible is just a word at IIT Indore and apparently everyone had such a good rapport with him so they decided to keep him 22 km away. <insert GRE words image here>
Tumblr media
(Both chuckle and greet Kalash, who proceeds to sit behind them.)
Amey (checking phone) : Naya email. Best BTP submissions ke liye. Alag hi! BTP awards are farcical. No interdisciplinary uniformity in grading or evaluation. Two submissions from Mech and both got some prize or the other at the Symposium because of their presentation.
Ashish: Or just plain luck. Still, man. Our BTPs saw some real effort. Our many advisors deservedly became Associate Professors. It was high time, wasn’t it?
Amey: My faith in the IITI academic system is still maintained thanks to these hardworking guys. You remember how hard they had to fight to get us great courses for a Minor degree?
Ashish: The Minor program was unarguably the best decision that defined the academic policies for our batch. And the future batches too.
Amey: Personally, I’d love to see a core subject Minor for the new batches. And Abhishek Sir is the best DoSA we have had since Granny’s left Silver Springs. He’s doing a commendable job, especially given all the student shenanigans.  
Ashish: I think you discount the students’ role tad too much. Our batch has some of the best coders in the country. Utkarsh and the Shah bros are going to the ACM-ICPC World Finals, hopefully turning it into an institute tradition. Then we have prodigies like Tripathi. These guys have done a lot to promote the coding culture at IITI, if only by setting examples. Look at the placements and internship trends you and I noticed this year at the PO: we are near the top of the ladder in India as far as CS is concerned. But more focus on other branches would not do harm, would it *rant intensifies*? 
...Look at the abysmal performance by Electrical and Mechanical; for a decent salary we non-CS guys either have to learn programming and leave our core studies for the night before the exams, or go into research, or take GATE or CAT or IES or IAS or KLPDS and what-not! While we as students need to grow balls and learn how to not get swayed away by first CTCs, some push from the institute would be great.  
(Amey isn’t listening. Notwithstanding the growls and *shaking* of the bus, Amey is cozily napping.)
(The bus stops at the campus main gate after what seems like the whole length of ‘Jodha Akbar’ and ‘What’s Your Rashee?’ combined.)
Entry Gate Security Guard: Sir, ID card. (Ashish has been pretending to sleep too because guard overlook karne ki probability 80% hai and as accent-torn Deepika Padukone in xXx quotably says: he likes his odds.)
(These adamant seniors are not giving up)
Entry Gate Security Guard: ( unable to cut the bullshit, nudges Ashish) Ser! (shudder) ID.
(reluctantly pulling out his ID, Ashish mumbles under his breath.)
(The insidious dust has broken Amey’s sweet nap. He coughs as the scarily yellow bus proceeds into the vastness of the campus.)
Amey: Look, kids with donation boxes for used clothes. AVANA has consistently been on a roll. Although the sight of someone silently looming over you as you sleep, whispering ‘Thatty Rupes’ is almost as scary as the time we watched The Descent and shit ourselves simultaneously crying and laughing.
Ashish: ( in an impressive Marathi accent) Nepali Vachli bhau. Nepali Vachli. (Both share an inside joke as the bus comes to a halt. Destination reached.)
(SCENE 4: SIMROL)
Amey: ( getting down) In the end, that’s what matters. Although persisting regionalism is a good talking point for students, with all its pros and cons.
Ashish: Closely-knit antelope herds are not easy to penetrate.
Amey: Is that the first time you’ve said that? (another chuckle shared, this is getting cheesy) I don’t even remember why we came here. Oh yes. Transcripts.
(A friendly junior smiles and greets them. In contrast to the shade thrown in Simrol, cordiality is still burgeoning here.)
Amey: There are perhaps no stronger polar opposites than AVANA and SESC. I might be horribly wrong, but from what we’ve noticed, it seems like SESC has become redundant and unproductive. The startups they have been promoting either sold stationery or just took the MHRD grant for pizzas, getting bundled up in a matter of months.
(They approach the Physics Pod complete with cinderblocks to cranes and the evergreen sounds of metal hammering. )
Tumblr media
Ashish: Yeh bik gayi hai SESC. Ab is SESC mein kuch nahin hai. Yeh saare milke humko pagal bana rahe hain m--
(Ashish stops abruptly as Professor Vishvakarma passes by, greeting them briefly.)
Amey: This guy is THE man. Our Placement Office and the IAC would never be as well-established without him. What’s up with IAC this year?
Ashish: Santosh Sir worked selflessly for both Placements and the Conclaves. Never will the student members be as happy and well-fed as we were under his rule. Haan, this year’s IAC is going to be a mish-mash effort by Rajveer - all hot air and no real content. Ah, who cares? It is anyway under a different professor now.
Amey: But you must admit, PKU sir has been a worthy successor to SKV. The Placement Office is working as a well-oiled machine thanks to him. Won’t you miss our Placement Office perks?
Ashish: Do you mean the divine morning coffees, occasional mayo sandwiches and sour-ass lemon teas or the long hours of highly productive meetings and equally unproductive bakchodi? We’ll definitely miss both.
(They get to the new Academic Office. Ashish listens to the incoherent dialogue between Amey and Rinki Ma’am, and watches her give Amey his precious transcripts.)
Amey (whispering) : Tapesh sir and Rinki ma’am have really grown on us fourth-years, haven’t they?
Ashish (whispering back) : Yeah. I used to get a cold shoulder earlier. Last time I was offered tea. I guess they understand how being seniors is difficult and that our problems begin to get more genuine as we grow through the college. Familiarity here bred sympathy, instead of contempt.
(Cut to: One hour later they leave from SS in an Uber to the city as the dangerously catchy
Swachh Bharat jingle is being heard everywhere. Pity the driver of those poor garbage trucks, people. You can only listen to so much of Kailash Kher and the Chorus Kids. Hey, Kailash Kher and the Chorus Kids sounds like a decent band name.)
(SCENE 5: INDORE CITY)
Ashish: Yahaan Johnny ke paas rok dena, bhaiya.
(They get out of the Nano and pay using PayTM because demonetization. The driver is conveniently named Ramesh. He frowns over not having received cash. Bitches.)
Amey: Where our fuckbois at?
Ashish: Dugar and Bapat are at Sam’s (free) Momos, they tell me. Diggi, Govil, Dhaivat and Avnish are having Fire Paan. Prajwal is at Nafees for biryani. Damn! His attraction to biryani is borderline sexual!  
Amey: Can you blame him? It is magnificent. Though not as magnificent as the one we had at the notorious Love Palace party. Our juniors will never experience the thrill of gatecrashing a wealthy Punjabi’s lavish food fiestas.
Ashish: That was quite a fiasco! The Curious Case of Love Palace! The slaps, the drunken brawls, the humiliation, and, in the midst of it all, the most delicious meal we have ever had, owing in large part to its absolutely undeserving our shorts, slippers and hoodies.
(For our unwitting readers, on 24th February 2014, allstudent received a mail inviting us to the housewarming celebrations of an ostentatiously built residence, the Love Palace that falls on our way to the Axis Bank ATM in Silver Springs. We turned up in full strength, especially the first years who were early to arrive and plunder and leave. Our super-seniors flocked to the open bar, exhausting it of its offerings within an hour. As it turns out, the mail was a hoax perpetrated by *insert_mysterious_name_here* and we were actually not invited. The hosts were gonna have none of that shit. What followed was some lit slapping and thrashing game from our truly Punjabi hosts, which effectively ceased all the faggotry in mere minutes. Amey and Ashish obviously escaped unscathed because they were dressed decently, which was a camouflage. The Bhatias, in the week that followed, saw the wrath of the slap-ees in the form of broken car windows and some dope graffiti. Some of the first-years got their long-overdue slaps well in advance, though.
This event was perhaps one of the most happening ones at IITI, even more than a few Fluxuses. Or is it Fluxii?)
(As they gobble up a hotdog each, they see their homies approaching and a shitstorm of banter follows)
If you’ve manage to read all of the rant above, you can flatten as you go up. The writers want you to know that despite all its flaws, IIT Indore is actually a pretty good place to be, and they cherish their years here. Ashish (rather suspiciously) knows the roll numbers and names of all the people here, and Amey knows how to ignore them. The best hostels in any IIT system, the united outcry that we so often witness (*cough* mess *cough*), a filial feeling that comes with the perk of having a small student population, and the shared respect for friends, professors, and everyone else around, definitely make our IIT Indore journey memorable.
(BONUS)
[email protected]  : Wish you all a great life ahead, Batch of 2013–17!
0 notes
goronska · 11 months
Text
Tumblr media
I love, when playing Dreamlight Valley, create avatars inspired somehow by my OCs. So this one is inspired by Merah.
Tumblr media
This one by Setia.
Tumblr media
This one was inspired by James Rudkowski (OC of RudaSosna)
Tumblr media
This is basically my Opal travelling to teach kids.
Tumblr media
And this by my cute little whumper Eodum. The update roadmap for DV after Early Access shows the ability of online multiplaying. Hope to see you there.
1 note · View note