Jalan TEMU
Part. 1
Masih teringat jelas akan kejadian 8 tahun silam tepatnya tahun 2015. Waktu itu tahun dimana aku lulus SMA, setelah 3 tahun mengikuti kegiatan belajar di SMA dengan kedisiplinan semi militer. Iya karena SMA Ku berkerjasama dengan TNI Angkatan Laut, jadi dari mulai ospek awal, kedisiplinan, pakaian semuanya ala militer TNI AL.
Hari dimana aku mendapatkan amplop yang bertuliskan LULUS. Aku merasa orang yang paling hebat dan Bahagia yang larut bersama teman-teman seperjuanganku. Baju putih kami pun tak luput dari ungkapan kebahagian menjadi berbagai warna cat pilok tak beraturan.
“aku.. aku cat sini” kata temen-temenku. Sembari menuliskan nama dan tanda tangan mereka.
Terasa panas dan perih kulit terkena cairan kimia tapi tak ku gubris lanjutkan hingga semua bajuku tak tersisa wrna putihnya. Hingga tersisa satu tempat yaitu kantong depan yang sengaja ku sisa kan untuk dia kalah itu seorang yang sempat menjadi orang special untuk dia menuliskan nama dan tanda tangannya karena kami tak satu sekolah. Tapi entah kenapa saat itu sulit sekali mencari waktu untuk bisa menuliskan Namanya dan ketika punya kadang aku lupa membawa baju nya hingga kini tempat itu tetap masih belum terisi dan baju itu tetap tersimpan rapi di lemari ku.
Salah satu kegalauan yang mungkin banyak dirasakan oleh teman-teman seangkatan setelah kelulusan adalah kemana selanjutnya. Saat itu semua orang sibuk mencari kampus, termasuk aku dan dia. Beruntungnya saat SMA dulu sebelum pengumuman kelulusan aku sudah keterima di salah satu Universitas cukup ternama di Yogjakarta dengan jurusan yang saat itu sangat aku inginkanyaitu Teknik Elektro jalur undangan, dimana aku mengirimkan berkasnya tanpa sepengtahuan kedua orang tua ku. Dan mendapatkan kabar aku keterima di Jogja dia juga ingin berkuliah disana, padahal saat itu dia sudah keterima di Universitas Bengkulu jalur undangan juga.
Hingga akhirnya aku membantu dia untuk mendaftarkan dan mengirimkan berkas-berkasnya ke tujuan Universitas yang sama dengan jurusan yang berbeda, dan alhamdulilah saat pengumuman dia juga keterima sehingga kami bisa berkuliah di kampus yang sama. Sangat senang tentunya kalah itu.
Hari demi hari dimana berjalan dengan baik, proses registrasi sudah kami lalui. Hingga ku putuskan untuk liburan pulang ke kampung halaman. Aku sangat menikmati liburanku karena sudah lama tak pulang, dan seperti biasanya jika pulang ibu selalu memanjakan ku dengan memasakan makanan yang ingin ku makan hhe.
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa semakin dekat dengan waktu mulai perkulihan. Hingga akhirnya sehabis makan malam, dengan suasana yang tenang di bawah pijaran lampu percakapan itu pun di mulai. Percakapan yang membahas tentang JALAN yang akan ku tempuh kedepannya.
“ luk mane rencane dang kemuke ni, la ade bayangan belum?” tanya bapak kepadaku
“ au lh ade bak” jawabku singkat
“cube, luk mane titu dang?” sahut mamak
“luk ye lh ku kicikah sebelumnye, kan dang lh diterime di jurusan tiknik ilektro di jogja, cak lh udem pule rigistrasi, rencanye dang ndak lanjutkah itu” Jawabku.
“yak.. alangkah jauhe titu ame di jogja dang, ndik tau ame di Bengkulu ni saje?” pinta mamaku
Saat itu aku hanya bisa terdiam.
“ame ade tetape kele ame jauh t sege make ame jauh tuh sege gale, ame ghindu, ame di Bengkulu damping juge pacak nyampai saghi” tambah mamaku
“ jadi luk ini maksud mak tuh dang, cube kaba ikuti pule agi test ye SBMPTN itu di bengkulu ni. Jadi kele ame lulus pacak dipertimbangkan di Bengkulu ini lh kudai S1 ni, ame sekire ndik lulus cak lh keterime di jogja lanjutkan itu. Kalau bak tuh setuju saje dimane saje dang” jelas bapak
“ au luk kate bak tuh, luk mane nurut dang?” tanya mamak
Eehhmm,,, Tarik nafas Panjang dan dengan nada yang sedikit berat ku jawab“au mak bak dang cube pikirka kudai”.
Percakapan malam itu pada akhirnya membuatku berpikir keras antara mengikuti ma uku atau berdamai dan mencoba untuk mengikuti mau nya kedua orang tua ku. Hingga akhirnya membuatku menemukan JALAN TEMU mencoba semua kesempatan dan memilihnya dikemudian.
Esok Harinya, ku bergegas untuk kembali ke Bengkulu dan bersama sahabat dekatku mendaftar SBMPTN di hari terakhir. Dan saat mendaftar pun ku sengaja memilih jurusan Teknik geologi di universitas ternama agar tak keterima, akan tetapi harus ada satu jurusan yang ku pilih di Universitas Bengkulu. Saat itu aku bingung ingin mengambil jurusan apa hingga ku telpon bapakku pesannya jangan mengambil jurusan yang sudah banyak orang ambil. Hingga tanpa disengaja ku pilih saja jurusan AGROEKOTEKNOLOGI tanpa aku tahu ini jurusan apa. Terus ku submit dan bayar.
Hingga tiba hari sebelum ujian aku bersama pacarku kala itu, mencari tempat ujian ku esok hari.
Esoknya aku ikuti ujian dengan santai tanpa beban dan hanya ku jawab sesuai sepengetahuanku saja. Karena memang yang ku inginkan tak lulus, karena aku ingin kuliah bersama pacarku di jogja kala itu.
Malam yang dinanti pun tiba, malam pengumuman. Sangat mendebarkan buatku karena aku sangat berharap untuk tidak lulus, sedangkan kedua orang tuaku sangat berharap aku lulus.
Ku buka laptop ku dan masuk ke dalam akun SBMPTN Ku. Aku sangat berharap bahwa yang muncul ada tulisan merah dengan kata-kata coba lagi, akan tetapi yang muncul justru warna hijau dengan tulisan selamat.
Seketika aku diam tak bisa berkata apapun.
“Luk mane dang? Ndik lulus au? Ndik ngape cak lh udem cube” tanya mamak melihatku yang hanya diam saja.
Bahkan disaat aku sudah berusaha untuk menggagalakn ujianku, Allah tetap memberikan hasil yang di inginkan oleh mamak ku, iya mungkin ini karena doa mak, dimana ridho Allah ada di Dia.
“lulus mak” jawabku singkat
“Alhamdulilah” mak lansung menghampiri dan memelukku.
Sedangku hanya terdiam kalah itu. Iya sesuai kesepakatan aku bakalan melanjutkan kuliahku di Bengkulu di jurusan yang tak ku tahu.
Esok harinya, aku bertemu dengan widya.
“Gimana hasilnyo bang?” tanya dia padaku
“iyo cak itulah dek, abang keterimo, jadi harus ikut ibu kuliah di sini di Bengkulu” jawabku
“ idak bisa di jogja aja ya? Aku udh regestrasi semuanya bang, yang di unib jugo aku udh aku lepas. Keceknyo ndak di jogja ajo kemarin. Adek dak ndak LDR” jawabnya dengan kesal.
….to be continued..
1 note
·
View note
The Girl Who Doesn’t Reply
Taeyong, Ten, Gaby (oc), NCT 127
words: 5.4k
a/n: at last! i’m back! ini terinspirasi dari mango taeyong melon ten yang gemes banget, rasanya harus banget nulis mereka berdua. kemudian gaby nyaut di tweetku dan aku mendapatkan ide untuk cerita ini. aku sangat menikmati nulis sosok gaby. semoga gaby suka~ i’m sorry if this is too long and boring ;_; (also the ending feels kinda rushed cuz honestly idk anymore)
Jaket putih Taeyong yang agak kebesaran membuatnya terlihat seperti gundukan salju ketika duduk bersila di salah satu sudut lantai satu gedung Michelangelo, terlebih tudungnya diangkat menutupi kepala. Dinding di belakangnya dan sofa yang didudukinya pun berwarna putih. Paha kanannya sudah setengah jam ini dijadikan landasan menulis. Kertas yang ditulisinya sudah setengah terisi. Taeyong masih mau memikirkan beberapa kalimat lagi untuk mengakhiri surat ini dengan perasaan yang menyenangkan. Meskipun pada akhirnya penolakanlah yang akan ia dapat, Taeyong ingin merasa senang telah berani menyampaikan ajakannya.
Jangan sampai teman-temannya tahu. Mereka akan mengejeknya kalau tahu Taeyong masih menggunakan cara klasik seperti ini alih-alih bicara langsung atau mengirim pesan lewat internet. Habis, mau bagaimana lagi. Gadis yang Taeyong ajak bukan termasuk gadis-gadis yang pernah benar-benar berinteraksi dengannya, dan ada kalanya Taeyong enggan memikirkan langkah-langkah praktis mendekati seorang gadis yang tidak begitu ia kenal. Sudah lima tahun ia lulus dari sekolah khusus laki-laki dan gadis-gadis masihlah menjadi makhluk misterius dan tak tertebak baginya. Taeyong tidak begitu suka menghadapi sesuatu yang misterius dan tak tertebak seperti itu, apalagi kalau yang akan ia lakukan nanti hanya bertindak ceroboh dan canggung karena gugup.
Taeyong menatap sekeliling untuk memikirkan kata-kata selanjutnya, lalu menunduk untuk menulis ide yang ia dapat. Dari depan, wajahnya jadi tak terlihat karena tertutupi tudung jaket. Dua orang gadis yang sama-sama mendekap buku berjalan melewatinya.
“Sudah coba ajak Lee Taeyong? Pasti seru banget datang ke festival seni berpasangan dengan Visual King-nya Spring Hills,” kata salah satu gadis itu.
Gadis satunya menanggapi, “Aku nggak yakin, deh. Reputasinya selain sebagai Visual King kan banyak. Temanku yang sejurusan dengannya pernah bilang, dia kaku banget kalau sama cewek.”
“Itu, sih, bisa diurus. Yang penting kan datang sama cowok ganteng dulu.”
“Sialan. Kalau Seungcheol gimana? Aku dengar dia....”
Taeyong memandang gadis-gadis itu berjalan menjauh tanpa benar-benar mengangkat wajahnya. Setelah mereka keluar dari gedung lewat pintu kaca, Taeyong menghela napas dan menyandarkan bagian belakang kepalanya di dinding, wajahnya menengadah, menatap langit-langit yang putih bersih. Untuk kali kesekian ia sadar kalau selama ini tidak semua orang memandangnya sebagai Lee Taeyong yang Lee Taeyong. Orang-orang seperti dua gadis tadi hanya mengenalnya sebagai Lee Taeyong yang dijuluki Visual King-nya Spring Hills University of Arts. Mereka mempertimbangkannya sebagai pasangan ke festival seni bukan sebagai Lee Taeyong yang senang menyamar menjadi gundukan salju dan menulis surat untuk mengajak seseorang pergi berkencan, melainkan si Visual King yang tampan, punya tatapan tajam yang memikat, jagoan fakultas Dance, dan kerap kali dijadikan trofi pemenang oleh para gadis. Popularitas itu justru bisa memudahkannya mendapatkan teman kencan, tapi bukan teman kencan yang akan memandangnya sebagai “Lee Taeyong yang Lee Taeyong”.
Karena itulah, Taeyong menulis surat untuk Gaby.
Dear Gaby,
Halo. Aku tidak yakin kamu mengingatku. Kita hanya pernah bertemu satu kali. Tanggal 13, hari Selasa, di Velvety Candy Shop dekat kampus. Aku datang untuk menghirup aroma manis vanilla dan karamel. Ingat? Dengan canggung aku mencoba mengajakmu bicara, lalu dengan tak kalah canggung kamu bertanya apa yang kulakukan di candy shop itu. Kujawab, “Aku... datang ke sini untuk... menghirup aroma manis vanilla dan karamel.” Itu terdengar bodoh sekali. Aroma manis vanilla dan karamel yang kuat memang memenuhi napasku saat itu, tapi seharusnya aku bilang aku datang untuk membeli cokelat. Aku merasa telah berbohong, dan perasaan bersalah menguntitku ke mana pun aku pergi. Surat ini harus kutulis untuk meluruskan hal ini.
Baiklah, maaf, aku berbohong lagi. Aku tidak menulis surat ini untuk meluruskan apa pun. Aku hanya merasa... ingin mengatakan sesuatu padamu... dan mendengar lebih banyak ceritamu selama menjadi mahasiswa pertukaran pelajar di universitas ini, kalau bisa. Aku sempat menguping pembicaraanmu dengan temanmu di Velvety. Karena ketahuan mengupinglah aku jadi terpaksa mengajakmu bicara dan mengatakan hal bodoh. Maafkan aku. Kalau tidak salah, kamu dari Malaysia, ya? Cerita-ceritamu tentang manisan itu terdengar menarik. Karena berasal dari negara lain, kamu memandang segala sesuatu di sini dengan sudut pandang yang berbeda, dan kamu membawa sudut pandang lain tentang manisan yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kamu bercerita kalau manisan-manisan dari negaramu terbuat dari bahan-bahan alami yang nama-namanya belum pernah kudengar sebelumnya. Kulepon ubi? Golang-galing? Aku tidak tahu bagaimana tulisan yang benar, tapi aku masih ingat beberapa nama yang kausebutkan waktu itu. Aku suka memasak, aku juga suka sekali manisan. Mungkin karena itulah kita bertemu di candy shop. Mungkin karena itu jugalah aku ingin sekali mendengar lebih banyak ceritamu. Aku punya banyak teman yang juga mahasiswa asing, tapi mereka tidak pernah setertarik itu pada manisan. Aku berasumsi kalian telah bertemu di pertemuan rutin ISS Spring Hills. Familier dengan nama-nama ini? Johnny, Ten, Yuta. Kudengar kamu mengikuti mata kuliah-mata kuliah teori seni. Mungkin kamu pernah sekelas dengan Johnny.
Ah, sudah sepanjang ini, tapi aku belum memperkenalkan diri. Namaku Lee Taeyong [Taeyong menulisnya dengan hangeul], atau Taeyong Lee [Taeyong menulisnya dengan alfabet Latin] dalam bahasa Inggris. Kita beda fakultas. Aku dari fakultas Dance, jurusan Choreography. Dari pembicaraanmu dengan temanmu di candy shop, aku menebak kamu dari fakultas Korean Traditional Arts, tapi aku tidak tahu konsentrasi jurusanmu. Kudengar mahasiswa asing dari program pertukaran pelajar lebih banyak terdaftar dalam fakultas itu daripada fakultas lain di kampus ini. Kamu beruntung sekali, bergabung dengan kami di musim gugur ketika pepohonan Spring Hills akan meledakkan warna-warni emas, cokelat, dan merah. Dua minggu setelah daun-daun mulai berubah warna, festival seni tahunan kami diadakan. Akan ada penampilan-penampilan hebat dari setiap jurusan, juga hiburan-hiburan dari klub dan bintang tamu. Kabarnya, tahun ini kami mengundang Crush dan Akmu. Kamu harus datang.
Dan aku sedang bertanya-tanya... apa aku bisa datang bersamamu?
Terungkap sudah tujuan utamaku menulis surat ini. Maaf, aku tidak bisa melakukannya seperti kebanyakan orang. Aku harus menulis surat, karena... kurasa... aku tidak hanya ingin mengajakmu? Aku juga ingin... menyampaikan sesuatu... supaya aku tidak terlihat seperti orang aneh. Tapi kurasa menulis surat justru membuatku terlihat seperti orang aneh? Maafkan aku. Ini sangat canggung. Tapi sejujurnya, cara ini lebih mudah bagiku.
Kurasa kamu tidak perlu membalasnya. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu bersedia. Kamu bisa menitipkannya pada Kim Doyoung, barista Decressendo Coffee Shop (dia teman baikku, dan kau pasti tahu kafe ini kan? Tidak ada mahasiswa Spring Hills yang tidak tahu Decressendo). Kuharap aku mendapat jawaban yang baik.
Lee Taeyong
P.S.
Rambutmu indah sekali. Awalnya kukira warnanya hitam legam, tapi cahaya lampu Velvety mengungkapkan nuansa cokelat yang berkilauan. Itu juga yang membuatku memperhatikanmu di candy shop. Aku juga jadi menguping pembicaraanmu karena memperhatikan rambutmu. Maaf, aku aneh sekali. Kau mungkin tidak akan mau pergi ke festival seni dengan orang aneh sepertiku.
Taeyong tidak yakin tentang ide berkencan dengan Gaby. Maksudnya, berkencan yang seperti... sepasang kekasih. Ia belum memikirkannya sejauh itu. Yang ia tahu, kalau ia harus menghabiskan waktu di festival seni bersama seseorang, ia lebih memilih melakukannya bersama seseorang yang memandangnya sebagai “orang aneh di toko permen” alih-alih sebagai si Visual King Spring Hills. Lebih baik menikmati acara itu dengan diselingi pembicaraan-pembicaraan bermakna tentang manisan dan kisah-kisah dari negeri yang jauh (tempat Gaby berasal) ketimbang hanya digandeng, dipeluk, dan dipamerkan sebagai trofi. Taeyong harap Gaby orang yang tepat untuk itu.
Setelah surat itu selesai ditulis, Taeyong mencangklong tasnya dan meninggalkan gedung Michelangelo. Masih menutupi wajahnya dengan tudung jaket, Taeyong menyusup ke gedung administrasi tempat kantor International Student Service (ISS) berada dan menitipkan surat itu pada seorang staf wanita yang menyambutnya dengan wajah mengantuk. “Permisi, seseorang menjatuhkan surat ini di depan pintu,” katanya.
Staf wanita berusia tiga puluhan yang terlihat seperti baru bangun tidur itu memperhatikan nama yang tertulis di surat, lalu mengangguk-angguk dan berkata, “Ah, ini mungkin milik salah satu mahasiswa pertukaran pelajar. Kami akan menyampaikannya padanya nanti.”
Taeyong berterima kasih dengan sopan, berusaha keras menyembunyikan senyumnya. Sekeluarnya dari kantor, senyum itu mengembang lebar secerah langit musim gugur hari ini. Ia harap Gaby benar-benar memberinya jawaban yang baik.
Langkah Ten lebar dan cepat melintasi halaman-halaman kampus. Ia baru dari gedung fakultasnya. Kelas terakhir baru saja selesai. Kemeja hijau pinusnya yang terbuka berkibar-kibar, memperlihatkan kaus hitam lengan panjang yang dirangkapinya. Tas selempangnya terguncang-guncang terkena gerakan kakinya. Pandangan Ten lurus ke depan, dan di situ ada api berkobar-kobar.
Ten sampai di Decressendo Coffee Shop di mana Johnny sudah menunggunya di lantai dua. Ia berderap menuju tangga tanpa menghiraukan Doyoung yang sedang membersihkan meja dari gelas kotor dan tampak heran melihat Ten mengabaikannya. Sesampainya di lantai dua, satu-satunya pelanggan yang terlihat hanyalah Johnny yang menempati tempat duduk di dekat pintu balkon. Laptop dan buku-buku teks analisis seputar literatur Inggris abad 18 memenuhi meja kayu berwarna cokelat gelap dan membuatnya terlihat sempit. Cangkir americano-nya sampai harus diletakkan di meja sebelah. Ten menghampirinya dan menggebrak meja itu.
Johnny sama terperanjatnya dengan cangkir kopi yang kemudian menumpahkan sedikit isinya di permukaan meja. Sedikit, karena Johnny buru-buru memperbaiki posisinya kembali seperti semula.
“Hey, what the—” Tas selempang Ten melayang di depan wajah Johnny dan mendarat dengan bunyi bruk di kursi kosong di sebelah Johnny. Untung Johnny refleks memundurkan kepala. Selanjutnya, pemuda itu menatap Ten dan menyadari kalau Ten sedang emosi.
“Brengsek!” Ten mondar-mandir di depan meja Johnny. “Nggak ada yang mau pergi denganku ke festival seni! Padahal aku menuliskan namaku di white board bersama Jun dan yang lain. Tapi nggak ada yang mau memilihku! Ada apa dengan orang-orang?! Aku kira mereka semua menyukaiku! Bukankah aku tampan? Bukankah aku juga berbakat? Aku juga lucu! Mereka semua nggak akan pernah tertawa di kelas teori Profesor Park kalau bukan karena lelucon-leluconku! Dan melucu di kelas teori Profesor Park itu nggak mudah! Bisa-bisanya mereka mendiskreditkanku seperti ini, hah?! Memperlakukanku seakan-akan aku anak tercupu dan terjelek di dunia, yang tidak pantas diajak berkencan! Membuatku marah!”
Johnny menghela napas keras-keras dan kembali menatap layar laptopnya. “Ya Tuhan. Aku kira kenapa.”
Ten menarik kursi dengan kasar dan duduk di hadapan Johnny. “Cewek yang namanya Jennie itu, dia menatapku dengan cara yang sama dengan seseorang menatap tong sampah di samping gedung Leonardo da Vinci! Memangnya apanya yang seperti tong sampah dari diriku ini?? Aku kan tampan, berbakat, dan pintar melucu!”
“Kapan terakhir kali kau bergaul dengan Yuta? Dia sudah banyak mempengaruhimu.”
“Memangnya dia pikir dia siapa, sih? Ratu Spring Hills?” Ten melanjutkan seakan-akan Johnny tidak pernah berkomentar. “Dia bukan anak jurusanku, tapi ikut dua kelas yang sama denganku, dan itu semua mata kuliah wajib! Aku nggak peduli apa jurusannya sampai harus ikut dua kelas wajib itu, yang jelas aku nggak suka melihatnya! What an eyesore! Aku harap nggak akan ada yang mau mengajaknya pergi kencan ke mana pun!”
Ten bersedekap menghadap ke balkon. Ngambek seperti balita.
Johnny memperhatikannya sebentar, lalu terkekeh-kekeh.
Ten menoleh secepat kilat. Tawa Johnny serta-merta berhenti, tapi tidak sepenuhnya hilang. Hanya berubah jadi tak bersuara karena dikulum dan ditahan. Johnny tampak berkonsentrasi pada draf esai yang sedang dikerjakannya, tapi wajah mengulum senyum itu jelas-jelas menunjukkan kalau dia hanya berpura-pura. Ten menendang kakinya di bawah meja.
Tawa yang dikulum Johnny keluar sebagai erangan. “What the hell, man! You’re injuring my calf,” bisiknya kesakitan sambil membungkuk dan mengelus-elus betisnya. “Ahh...,” keluhnya saat melihat tapak sepatu Ten membekas di jins hitamnya. “Dude, this pants just came out of the laundry this morning!”
“Makanya jangan menertawakan orang yang sedang menderita.”
“Siapa yang kakinya baru saja ditendang dan celananya jadi kotor? Akulah yang sedang menderita.”
“Siapa yang sudah mencalonkan diri untuk diajak pergi ke festival seni tapi nggak ada seorang pun yang memilih? Aku. Penderitaanku ini lebih emosional dan tidak bagus untuk kesehatan mentalku.”
“Siapa yang tadi mukul meja sampai kopiku tumpah dan mejanya jadi kotor? Kamu.”
“Iya, aku,” sahut Ten dengan nada menantang, dagunya diangkat. “Memangnya kenapa?”
“Dalam lima detik, kamu akan diomeli Doyoung.”
Ten menoleh ke arah tangga, bertepatan dengan munculnya Doyoung yang berjalan ke arah mereka masih mengenakan apron seragam karyawan kafe ini. Doyoung yang seangkatan dengan Ten dan sudah satu semester bekerja paruh waktu di Decressendo biasa memanfaatkan waktu luang yang dia punya di saat kafe sedang sepi untuk mengobrol dengan teman-temannya yang datang. Ten menyambar salah satu buku Johnny, berusaha menggunakannya untuk menutupi tumpahan kopi di meja. Tapi Johnny memegangi tangan Ten dan berusaha merebut buku itu sebelum ada lembarannya yang ternodai cairan kopi.
“Johnny hyung yang melakukannya! Johnny hyung yang melakukannya!” kata Ten berulang-ulang, yang malah membuat Doyoung sadar kalau ini adalah perbuatan Ten.
“Apa-apaan,” gumam Doyoung seketika saat melihat tumpahan kopi itu. Johnny berhasil merebut bukunya karena Ten lengah. Doyoung berkacak pinggang. “Sial. Aku ke sini untuk bergabung dengan kalian, bukan malah mendapat pekerjaan tambahan. Bagaimana kopi ini bisa tumpah?”
“Jangan berkacak pinggang begitu. Kamu jadi kayak ibu-ibu.”
“Menyusahkan saja. Seharusnya kalian bilang dari tadi supaya nodanya cepat dibersihkan. Jangan dibiarkan begini. Atau setidaknya lap dulu dengan tisu.”
“Iya, iya. Harus cepat dibersihkan kan? Kenapa nggak segera dibersihkan sekarang, mumpung kamu di sini?”
Doyoung menatap Ten sebal, lalu bertanya pada Johnny, “Anak ini kenapa? Dia tadi berjalan melewatiku seperti orang kesurupan setan.”
“Dia ditolak Jennie,” jawab Johnny ringan sambil kembali mengerjakan sesuatu di laptop.
Ten menyambar buku Johnny lagi dan hampir melemparnya ke wajah laki-laki yang seangkatan lebih tua darinya itu. “Woy! Siapa!”
“Ten?? Ditolak Jennie??”
“Aku nggak suka Jennie! Enak saja!” Ten mau menendang kaki Johnny lagi, tapi ternyata Johnny sudah mengamankan kakinya dengan menggeser duduknya ke samping saat Ten tidak memperhatikan. Johnny terkekeh-kekeh lagi, membuat Ten semakin kesal. “Kurang ajar! Jangan menyebar fitnah!”
“Wow, ini berita baru,” kata Doyoung terhibur sambil mengelap tumpahan kopi dengan kain lap yang selalu tersedia di kantong apron. “Kau menyatakan perasaan sungguhan atau hanya mengajak Jennie ke festival seni? Kenapa harus si Ratu Spring Hills itu di antara sekian banyak wanita di kampus ini?”
“Dia bukan Ratu Spring Hills!”
“Hyung, mau kuambilkan kopi lagi?”
“Ah, jangan. Ini sudah kopi ketigaku hari ini. Air putih saja, tolong ya.”
“Baiklah. Kau mau pesan nggak?” Doyoung bertanya pada Ten. “Orang-orang yang baru saja ditolak biasanya memesan minuman-minuman manis non-kopi di sini.”
“Aku nggak ditolak siapa-siapa, demi Tuhan. Johnny hyung itu bohong.”
“Aku nggak bohong. Ten memang baru saja ditolak semua cewek di kelasnya.”
Doyoung mendengus geli. “Itu malah lebih lucu lagi. Benarkah? Kau mengajak semua cewek di kelasmu untuk datang ke festival seni?”
“Dia mencalonkan diri di white board bersama Jun dan yang lain. Nggak ada seorang pun yang memilihnya.”
“Menyedihkan sekali. Padahal kukira kau sangat populer.”
“Aku kira aku sangat populer...,” ulang Ten pelan, lalu tiba-tiba pemuda berambut hitam itu terdiam dan memainkan-mainkan ujung buku Johnny dengan jari telunjuk dan ekspresi wajah yang sangat nelangsa. Kekesalannya—reaksi pertamanya setelah menyadari semua gadis di kelasnya sudah tidak mau menambahkan suara di papan tulis dan membiarkan bagian di sebelah namanya tetap bersih—sudah berkurang, dan sekarang perasaan lain mulai muncul.
Melihat Ten yang malah bersedih, Doyoung berkata, “Baiklah... Sepertinya kau memang membutuhkan sesuatu yang manis... Aku akan membuatkanmu cinnamon hot chocolate. Baru kemarin aku belajar resepnya.”
Ten tidak mengatakan apa pun. Doyoung pun berlalu dengan perasaan antusias karena akhirnya bisa mempraktikkan resep barunya (belum ada yang memesan cinnamon hot chocolate seharian ini). Johnny terlalu larut mengetik esainya selama beberapa saat sampai keheningan di lantai dua kafe itu menyadarkannya kalau seharusnya ada seseorang yang marah-marah dan terus mengoceh tentang penolakan yang dia dapat dari gadis-gadis sekelas. Ia melihat ke arah Ten yang sedang bertopang dagu dan mengetuk-ngetuk layar ponsel dengan wajah muram. Rupanya temannya itu sedang melihat-lihat konten Instagram story unggahan anak-anak kampus. Banyak yang berupa foto dan video pendek tentang orang-orang yang akan datang bersama mereka ke festival seni.
“Siapa, sih, yang membuat tradisi bodoh seperti ini,” gumam Ten dengan suara pelan.
Johnny menyesap sisa kopinya yang sebenarnya sudah terlalu dingin untuk diminum. “Kau tahu aku tidak akan menolak kalau kau mengajakku kan,” katanya.
Ten mendengus. “Aku bosan pergi denganmu terus,” tolaknya. “Jangan-jangan cewek-cewek itu nggak ada yang mau pergi denganku karena mengira aku berpacaran denganmu?”
Johnny tertawa sumbang. “Very funny,” gumamnya. “No, I mean, you don’t have to go with a date. Banyak, kok, yang datang bersama teman, atau bahkan sendirian. Aku yakin cewek-cewek itu tidak serius menolakmu. Mereka mempermainkanmu karena berpikir itu akan lucu, mengingat kamu juga sering melucu.”
“A very typical misfortune to happen to a class clown.”
“You’re not a class clown. You’re a happy virus.”
“Aww, that’s sweet,” Ten mencibir. Johnny mengangkat bahu acuh tak acuh.
Ten menggulir-gulir beranda Instagramnya dengan lesu. “Mereka nggak sadar kalau apa yang mereka lakukan itu benar-benar tidak sehat untuk kesehatan mentalku. Maksudku, it’s making me questioning my self-worth and all that. Why didn’t anyone choose me? Why did everyone reject me? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu lebih mengganggu daripada pilek dan sama menyusahkannya dengan sakit gigi. Mungkin memang aku lebih sering ngelawak daripada mengatakan sesuatu yang berfaedah, tapi bukan berarti mereka bisa meremehkan perasaanku kan? Merasa tertolak tanpa alasan yang jelas itu lebih menyakitkan daripada ditolak dengan alasan yang jelas.”
Johnny diam sebentar, lalu menghela napas. “Ya sudah. Pergi denganku saja. Aku tidak akan pernah membuatmu merasa tertolak.”
“Dude, you’re so gay.”
“Aren’t we all?”
Tepat setelah Ten berkata “Tapi aku sedang ingin pergi dengan orang lain” dengan nada merengek, terdengar suara ramai sekelompok orang yang naik ke lantai dua dalam waktu yang bersamaan. Doyoung muncul lagi membawakan cinnamon hot chocolate untuk Ten dan segelas air putih untuk Johnny. Pemuda bermata cemerlang itu mengobrol singkat dengan tiga orang gadis yang berjalan di belakangnya sebelum mempersilakan mereka duduk dan menghampiri meja Johnny dan Ten untuk mengantarkan minuman mereka.
“Bukankah kalian mengenal mereka? Mahasiswa-mahasiswa asing yang ikut pertukaran pelajar di sini semester ini,” kata Doyoung sembari meletakkan gelas panjang berisi cinnamon hot chocolate buatannya di meja. Mahasiswa-mahasiswa asing di Spring Hills cenderung saling mengenal atau setidaknya tahu satu sama lain berkat aneka acara eksklusif yang diselenggarakan ISS. ISS mengirimkan undangan elektronik ke alamat surel semua mahasiswa asing yang tersimpan di data mereka dan menyambut siapa pun yang bersedia hadir. Mereka juga membantu mempromosikan acara-acara yang diadakan atau hendak diikuti para mahasiswa asing, mulai dari undangan menonton pertunjukan sampai pesta pribadi. Johnny dan Ten biasanya ikut menghadiri pesta-pesta pribadi. Johnny malah termasuk kerap menjadi penyelenggara.
“Ah, mereka sekelas denganku,” kata Johnny, lalu melambaikan tangan pada tiga gadis itu. “Hi, guys!” sapanya lantang. Gadis-gadis itu baru saja duduk di tempat yang berseberangan dengan tempat Johnny, Ten, dan Doyoung. Mereka balas melambaikan tangan sambil terkikik-kikik. “I’m Johnny from Contemporary Korean Art class. Remember me?”
“Mereka bisa bahasa Korea kan? Kami tadi berbicara dengan bahasa Korea,” kata Doyoung pelan, terdengar terkejut.
Ten tidak menjawab karena ia sedang memperhatikan gadis-gadis itu. Bukankah mereka pernah bertemu di pesta penyambutan mahasiswa pertukaran pelajar? Sebagian besar peserta pertukaran pelajar semester ini berasal dari Asia Tenggara. Ten diundang karena meskipun berdarah Tiongkok, ia berasal dari Thailand. Gadis-gadis itu termasuk yang berasal dari Asia Tenggara. Mana saja, ya, persisnya? Singapura, Filipina, dan... Malaysia? Indonesia? Ten lupa-lupa ingat. Tapi ia ingat wajah-wajah itu. Ia ingat salah satu dari mereka bernama Gaby, nama termudah yang ia dengar dan bisa dihafalkan seketika dibanding nama-nama peserta lainnya. Di pesta penyambutan, Gaby mengenakan gaun selutut warna cokelat bercorak khas, berpadu selendang hitam polos dan sepatu bots semata kaki warna hitam. Rambut panjangnya yang digerai tampak lebih bervolume dibandingkan hari ini dan dihiasi jepitan bunga berwarna keemasan. Ten masih mengingatnya dengan baik karena ialah yang membantu gadis itu ketika ujung roknya tersangkut di pintu balkon, dan jepitan bunga itu terus berkerlap-kerlip terkena cahaya lampu. Ten juga ingat Gaby tertawa-tawa canggung sementara ia berusaha membebaskan ujung roknya. Setelah itu Gaby berterima kasih dengan senyum malu, dan Ten memuji bahasa Koreanya yang sangat bagus karena ia tidak tahu harus menjawab apa (dalam hati ia membatin “Damn, she’s cute” tapi itu tidak mungkin dikatakan keras-keras kan?). Lalu mereka berpisah dan tidak bertemu lagi... sampai hari ini.
Gadis yang bernama Gaby itu duduk di pinggir kanan, hanya tertawa dan tersenyum ekspresif di saat kedua temannya antusias menanggapi Johnny. Ten jadi memperhatikan matanya yang berkilauan dan rambut hitamnya yang tersembunyi sebagian di balik lilitan syal. Penampilannya yang kasual mengingatkan Ten pada teman-teman adik perempuannya yang sering main ke rumahnya di Thailand. Tiba-tiba, gadis itu melihat ke arah Ten, menatap Ten dengan sorot mengenali yang membuat Ten terbelalak dan mau tak mau tersenyum serta melambaikan tangan sok ceria. Gaby balas melambaikan tangan dengan senyum malu yang sama dengan waktu itu, membuat Ten memalingkan muka dengan wajah menghangat.
“Kurasa kamu lebih baik mengajak seseorang daripada menawarkan diri seperti orang yang menyedihkan ke orang-orang yang hanya memandangmu sebagai teman sekelas,” kata Doyoung yang rupanya sangat perseptif. Ten menyeruput cinnamon hot chocolate-nya, pura-pura tak mendengar. Tetapi, kulit wajahnya yang jelas merona malah membuat Doyoung berkata, “Aku akan membuatkan pesanan mereka. Mau titip pesan? Untuk cewek bersyal itu.”
“Nggak usah. Bekerjalah saja dengan benar.” Ten mendorong Doyoung. Doyoung tertawa mengejek sebelum turun ke lantai satu.
Diam-diam, Ten membenarkan apa yang dikatakan Doyoung. Mungkin yang perlu ia lakukan adalah mengajak seseorang, bukan malah meratap karena ditolak ketika menawarkan diri pada orang lain. Dan sepertinya... Ten sudah tahu siapa yang akan ia ajak. Ia kesulitan berhenti mencuri-curi pandang ke arah gadis bersyal itu. Ia sampai pindah duduk di sebelah Johnny dengan alasan “ingin mengintip esai yang membuatmu bisa semudah itu menganggap enteng festival seni dan mengacaukannya kalau bisa” dan mengganggu Johnny dengan berusaha memencet-mencet keyboard laptop supaya tidak terlihat mencurigakan. Ia baru menghentikan kenakalan itu saat Johnny memitingnya.
Ten tidak bilang apa-apa pada temannya itu tentang keinginannya mengajak Gaby.
Taeyong menunggu-nunggu balasan suratnya. Ia sudah sering datang ke Decressendo untuk nongkrong bersama teman-temannya, tetapi ia jadi dua kali lipat lebih sering datang setelah “mengirim” surat untuk Gaby. Gaby tidak banyak terlihat di area fakultas Taeyong, jadi Taeyong tidak bisa mendapatkan pertemuan-pertemuan tak terduga yang membuatnya mau tak mau bertanya langsung tentang balasan dari surat itu. Taeyong hanya bisa mengharapkan ada titipan untuknya di Decressendo.
Hari ini, Taeyong datang lagi ke Decressendo. Ini sudah kedatangannya yang ketiga dalam kurun waktu tujuh jam. Taeyong lebih kurang sabar dibanding biasanya karena festival seni itu hanya tinggal besok. Ia mulai berpikir Gaby mungkin menolaknya, atau surat itu tidak pernah tersampaikan sama sekali, tetapi di saat yang sama ia juga semakin gila berharap kalau akan ada surat balasan yang bisa ia jemput di setiap kedatangannya ke Decressendo. Dalam pertemuannya dengan teman-temannya yang juga menjadi kedatangannya yang ketiga dalam sehari ini, Doyoung mulai menunjukkan gelagat simpatik padanya. Hanya Doyoung yang Taeyong beri tahu tentang ajakan lewat surat ini walau Taeyong tetap menyimpan nama orang yang diajaknya untuk dirinya sendiri. Doyoung langsung bersedia merahasiakan hal ini tanpa perlu diminta.
Taeyong duduk di bar sementara teman-temannya menempati meja-kursi di dekat pintu masuk kafe, sedang ramai menyemangati Taeil dan Winwin yang akan tampil di festival seni sebagai duo. Ia memandang pintu kafe itu, dengan bodoh berharap Gaby akan lewat di depan kafe atau bahkan masuk melalui pintu kaca itu dan menemuinya secara langsung. Kafe selalu ramai di akhir minggu, jadi suasana di lantai satu jauh lebih berisik dari biasanya. Taeyong mensyukurinya karena itu berarti orang-orang sedang sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri dan teman mereka masing-masing. Tidak ada yang memperhatikannya.
Kecuali mungkin Doyoung yang menemaninya sambil bekerja di belakang meja bar.
“Hyung benar-benar masih menunggu gadis itu?” tanya Doyoung sambil meracik kopi pesanan pelanggan yang duduk di lantai dua.
“Nggak. Nggak terlalu,” jawab Taeyong dengan kukis lemon dipegang depan mulut, berusaha tidak terlihat canggung. Suaranya rendah dan hampir-hampir terdengar datar karena keramaian kafe menenggelamkan suara intonasinya. “Nggak apa-apa kalau dia nggak mau. Aku nggak keberatan pergi sendirian.”
“Kita akan pergi bersama yang lain. Tapi mungkin aku agak telat karena ada yang harus kukerjakan dulu,” ujar Doyoung. “Tidak usah terlalu serius. Festival seni nggak akan berkurang serunya hanya karena kita nggak bawa teman kencan.”
“Aku tahu. Aku juga heran kenapa aku tiba-tiba pengin pergi sama cewek.” Biasanya kalau bukan sendirian, Taeyong selalu bersama dengan teman-temannya yang kesemuanya laki-laki.
“Cewek itu gila kalau menolakmu, Hyung. Aku yakin dia hanya sedang grogi memutuskan bagaimana caranya membalas suratmu.”
Taeyong tersenyum. Ia senang mendengar kalimat terakhir itu. “Terima kasih, Doyoung-ah,” ucapnya. Ia menggigit kukisnya dan mulai bermain-main dengan ide plan B untuk berjaga-jaga seandainya Gaby benar-benar tidak membalas suratnya.
“Hyung!”
Tiba-tiba kedua pundak Taeyong dicengkeram dari belakang. Taeyong terperanjat; kukisnya meluncur jatuh dari tangannya. Ten muncul di sebelahnya sambil tertawa. Anak itu duduk di kursi bar sementara Taeyong menggumamkan serangkaian omelan sambil mengambil kukisnya yang terkapar di lantai.
“Masa begitu saja marah. Aku bisa membelikanmu kukis-kukis lain yang lebih enak dan mahal, Hyung.”
“Jadi menurutmu kukis di sini tidak begitu enak dan murahan,” celetuk Doyoung, pura-pura tersinggung.
Ten tertawa lagi. “Bukan begitu, Doyoung-ah.”
“Jangan sok akrab denganku.”
“Bukankah kita memang akrab?”
“Enak saja,” bantah Doyoung penuh penekanan. Ten malah tertawa semakin lebar. Menggoda Doyoung memang selalu menyenangkan.
“Doyoung-ah, aku pesan kukis lagi. Kukis cokelat,” kata Taeyong. Kukis lemonnya yang remuk sudah ditaruh kembali di piring dan ia terlihat benar-benar devastated. Ten jadi merasa bersalah.
“Sebentar ya, Hyung. Aku antar pesanan ini dulu. Oh, pesan sama dia saja. Akhirnya kembali juga setelah seabad.”
Tak lama setelah Doyoung keluar dari belakang meja bar, karyawan lain masuk dari pintu kafe membawa sapu—seorang pemuda dari fakultas Visual Arts. Baik Taeyong maupun Ten sama-sama tidak terlalu mengenal rekan kerja Doyoung itu, jadi mereka tidak banyak mengobrol dengannya. Taeyong hanya memesan kukis cokelat, lalu tidak ada pembicaraan lainnya.
“Hyung sudah tahu mau pergi dengan siapa ke festival seni?” tanya Ten. “Aku sudah mengajak seseorang, tapi kurasa caraku salah. Seharusnya aku bicara langsung dengannya.”
“Memangnya kau pakai cara apa?”
“KaTalk. Aku dapat ID-nya dari temanku. Tapi sampai sekarang dia tidak membalas pesanku.”
Taeyong terkekeh. “Senasib, dong, kita.” Ternyata dengan pesan elektronik atau pesan klasik, keduanya sama saja selama orang yang dituju tidak membalas.
Ten menghela napas dramatis. “Guess I’ll end up with Johnny all over again.”
“Tidak mau coba tanya langsung dulu?”
“Dia tidak membalas pesanku. Mungkin dia sudah punya teman kencan lain.”
Taeyong mengerjap, lalu mengangguk-angguk. “Oh... Iya, ya... Benar juga.”
“Apa boleh buat. Yuta hyung bilang, kalau kita semua pergi dengan teman kencan masing-masing, siapa yang akan meramaikan penampilan Taeil hyung dan Winwin nanti?”
“Ah, iya. Aku tadi dengar dia bilang ‘Kesuksesan penampilan duo ini tergantung dari seberapa banyak pria lajang yang mendukungnya’. Aku ingin teriak ‘Cerewet!’ tapi percuma kalau tidak terdengar.”
Ten tersenyum. “Jadi sepertinya, di antara kita semua, hanya Jaehyun yang bawa cewek.”
“Jaehyun? Benarkah? Dia dengan siapa?”
Ten mengangkat bahu. “Mana kutahu. Aku tidak ingin dengar kisah romantis Pangeran Jung. Pasti terlalu menyakitkan untuk hati pria lajangku yang rapuh,” katanya sambil manyun. “Dia juga tidak menceritakan detailnya. Kurasa kita baru akan tahu saat hari H besok.”
“Aku penasaran siapa gadis beruntung itu.”
“Aku lebih penasaran dengan siapa cewek yang kuajak pergi sampai-sampai pesanku nggak dibalas. Tapi kurasa aku juga akan baru tahu saat hari H besok.”
Taeyong merangkul Ten dan menepuk-nepuk pundaknya simpatik. “Tidak apa-apa. We’re in this together.”
Dia tidak membalas pesanku. Mungkin dia sudah punya teman kencan lain, Taeyong mengulang-ulang perkataan Ten. Lama-lama, perkataan itu menyatu dengan pikirannya sendiri.
Pada akhirnya, Taeyong benar-benar pergi ke festival seni bersama teman-temannya. Ia sudah memutuskan untuk merelakan surat itu. Taeyong kecewa, tetapi juga senang karena sudah berusaha. Mungkin ia akan bertemu dengan Gaby malam ini, dan ternyata Gaby tidak pergi dengan siapa-siapa sehingga ada kesempatan dan ending yang lebih bagus untuknya. Mungkin juga Gaby datang bersama teman kencan sendiri—kemungkinan besar sesama mahasiswa pertukaran pelajar. Atau mungkin malah Gaby tidak datang sama sekali. Taeyong dan squad-nya (Doyoung, Ten, Johnny, Yuta, Jaehyun, dan Hansol) ramai-ramai bersorak, melambai-lambaikan ponsel yang flash-nya dinyalakan, dan bertepuk tangan untuk menyemangati Taeil dan Winwin (anggota-anggota squad mereka juga) yang tampil malam ini. Taeil menyanyikan Crush-nya 10cm diiringi permainan gitar akustik Winwin yang sangat terlatih. Suasana yang sebelumnya semarak berubah jadi sendu.
Taeyong memperhatikan dekorasi di sekitarnya. Kain-kain polos terjulur sangat panjang dari berbagai penjuru dan menyatu di beberapa titik, mengelilingi area penonton yang berbentuk setengah lingkaran di depan panggung. Cahaya lampu warna-warni dari panggung mengenai kain-kain itu, juga menyorot balon-balon yang melayang di semua sudut. Di luar setengah lingkaran ini adalah jajaran aneka booth. Ada yang hanya membuka jasa informasi klub tertentu, ada juga yang menjual makanan seperti crêpes. Taeyong berencana akan ke sana setelah pertunjukan Taeil dan Winwin selesai.
Tiba-tiba, pandangan Taeyong berhenti di wajah seseorang yang sedang menatapnya.
Pencahayaan yang redup tidak menghambatnya untuk mengenali wajah itu sebagai milik gadis yang tidak membalas suratnya.
Taeyong mengerjap. “Kau...?”
“Selamat malam,” Gaby membungkuk sopan—dan canggung. “Bisakah kita bicara sebentar?”
Taeyong mundur dari kerumunan dan mengikuti Gaby keluar dari area penonton.
Di tempat yang lebih sepi, Gaby meminta maaf dan menjelaskan alasannya. “Saya tidak tahu bagaimana harus membalas surat itu karena saya sudah mengajak orang lain, tetapi di saat yang sama juga takut membuat Sunbae kecewa. Maaf karena tidak menyampaikannya lebih cepat. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalasnya.”
“Ah... Aku juga minta maaf. Surat itu pasti konyol sekali kan? Seharusnya aku berbicara langsung denganmu,” kata Taeyong, entah mengapa merasa lebih lega karena setidaknya Gaby tidak benar-benar mengabaikannya. Taeyong juga secara otomatis memperhatikan penampilan gadis itu, dandanannya yang kasual dan riasan wajahnya yang natural, dan merasa agak senang karena kelihatannya Gaby menikmati festival seni ini. Hanya agak senang, sebab bukan ia yang menemaninya menikmati malam ini.
“Tidak... Saya suka surat itu.” Gaby tersenyum lebar. “Saya benar-benar suka. Saya akan menyimpannya sampai pulang ke Indonesia.”
“Ah, Indonesia? Maaf, aku kira Malaysia,” Taeyong tertawa paksa dan mulai merasa bodoh.
“Sunbae banyak sekali meminta maaf.”
“Iya, sepertinya begitu. Aku canggung sekali.”
“Tidak apa-apa. Surat itu sangat berarti. Belum pernah ada yang menulis surat seperti itu untuk saya. Saya sangat menghargainya. Terima kasih banyak,” ucap Gaby. “Mungkin kita tidak bisa mengobrol banyak malam ini, tapi kita masih bisa bertemu lagi di Velvety. Sunbae sepertinya sudah sering ke sana.”
“Lumayan. Ah, sebagai ganti balasan surat itu, kurasa kau harus menemaniku membeli crêpes.”
Gaby tampak terkejut mendengar ajakan tiba-tiba itu, tetapi detik berikutnya gadis itu tertawa. “Baiklah, baiklah. Sunbae suka yang rasa apa?”
Mereka kembali ke keramaian, berjalan berdampingan menuju ke booth crêpes. Walau tidak benar-benar menjadi teman kencannya, Gaby memperlakukannya tepat seperti yang Taeyong harapkan. Taeyong tidak memperhatikan hal lain selain langkah kaki mereka dan Gaby yang berjalan di sampingnya, yang berbicara padanya dengan penuh perhatian dan menanggapi perkataannya dengan senyum ramah yang hangat. Dia bahkan bilang kalau Taeyong bukan orang aneh (menyangkal apa yang Taeyong tulis di surat). Taeyong masih membayangkan betapa menyenangkannya kalau mereka bisa bersama lebih lama malam ini, tapi di saat yang sama ia juga sadar kalau interaksi kecil seperti ini saja sudah cukup. Setidaknya ia kini tahu kalau suratnya itu terkirim untuk orang yang tepat.
“Oh, itu Taeyong hyung.”
Rupanya sudah ada Doyoung, Ten, dan Johnny di depan booth crêpes. Yang barusan bicara adalah Doyoung. Taeyong dan Gaby berhenti berjalan di dekat mereka. Taeyong baru akan menanyakan keberadaan teman-teman mereka yang lain, tetapi Ten mendahuluinya dengan bertanya, “Gaby...? Kau... teman kencan Taeyong hyung?”
Hening. Semua orang tampak kebingungan dan berusaha memproses pertanyaan itu, sampai akhirnya Gaby membungkukkan sedikit badannya dan berkata, “Maaf, Ten, aku tidak tahu bagaimana harus membalas pesanmu.”
Hening lagi sebentar.
Kali ini Taeyong yang bicara duluan. “Jadi... Kau juga mengajak Gaby, Ten?”
Ten tampak tak percaya. “Hyung juga?”
“Tapi Gaby juga menolak ajakanmu?”
“Apa maksudnya ‘juga’? Gaby tidak pergi dengan Taeyong hyung?”
“Dia menemuiku untuk meminta maaf,” kata Taeyong.
Ten bertanya pada Gaby. “Lalu Gaby pergi dengan siapa?”
“Gaby!” Tiba-tiba seseorang memanggil. Semua orang menoleh ke arah suara itu dan melihat Jaehyun sedang berlari kecil dengan riang ke arah mereka. “Oh, ternyata kalian berkumpul di sini. Yuta hyung dan Hansol hyung masih di backstage bersama Taeil hyung dan Winwin. Dan... kalian juga sudah bertemu dengan teman kencanku.”
Taeyong menatap Jaehyun tak berkedip, sementara Ten melongo.
“Sebentar, sebentar,” sela Doyoung yang memahami situasi dengan cepat. “Jadi ini maksudnya... Taeyong hyung dan Ten mengajak Gaby sebagai teman kencan, tapi Gaby menolak kalian dan pergi dengan Jaehyun...?”
Takut-takut, Gaby bergeser ke arah Jaehyun dan memeluk tangan pemuda itu. “Maaf,” ucapnya lagi dengan suara kecil.
Tawa Johnny serta-merta menyembur. Dia tertawa sampai memegangi perut. Doyoung membalikkan badan dan berusaha tidak menimbulkan suara, tapi bahunya yang berguncang-guncang jelas menunjukkan kalau dia juga tertawa. Jaehyun meringis pada Taeyong dan Ten, dan mengaku kalau ia tidak tahu apa-apa tentang ajakan mereka karena Gaby tidak pernah menceritakannya. Tetapi alih-alih menyalahkan Gaby, Taeyong dan Ten malah menyerbu Jaehyun dengan tendangan-tendangan kesal dan rentetan sumpah serapah. Terlebih, Jaehyun malah berkata “Hei, hei, bukan salahku kalau Gaby mengajakku pergi kan? Aku memang lebih keren daripada kalian.” Menghindari amukan massa, Jaehyun kabur ke area penonton. Ten mengejarnya.
“Sudahlah. Kita makan crêpes saja,” kata Taeyong, memutuskan untuk mengendalikan emosinya. Ia memelototi Doyoung dan Johnny. “Kalian bisa diam tidak?”
“Hyung, kami sudah pesan tiga,” kata Doyoung di sela-sela tawanya. “Kalau Hyung mau pesan lagi, satukan saja pesanannya.”
Johnny menghampiri Gaby dan menjabat tangannya dengan mantap. “Gaby, kau sangat hebat, bisa memancing tiga ikan sekaligus di kolam kami. Aku sangat salut.”
“A-Aku jadi merasa nggak enak....”
“Nggak apa-apa. Sudah biasa seperti ini. Nasib mereka memang selalu sial soal perempuan,” timpal Doyoung, yang kemudian mendapat tatapan membunuh dari Taeyong.
Ten dan Jaehyun kembali tak lama kemudian. Walau sempat terjadi kericuhan, pada akhirnya mereka semua duduk bersama di bawah sebuah pohon yang menyala karena dipasangi lampu fairy lights, menyantap crêpes masing-masing sambil mengobrol. Baik Taeyong maupun Ten sama-sama menikmati festival seni ini karena mereka tak hanya bersama dengan teman-teman mereka, tetapi juga dengan Gaby, gadis yang tidak membalas pesan-pesan mereka.
1 note
·
View note