Tumgik
#deli hussein
alchenaed · 7 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
magnificent century kosem: favourite characters
66 notes · View notes
Text
Tumblr media
Des médecins généralistes avec une grande expérience, disponibles pour des consultations à domicile (Adulte et Enfant) *24h/7j*. Possibilité de se déplacer aux alentours de la wilaya d’Alger. TEL: 0553 741 810 / 0557 742 720 طبيب يتنقل للمنزل, نوفر للمريض خدمة العلاج في المنزل فنوفر عليه الوقت والجهد فلا داعي لأن يتنقل للعيادة او المستشفى Alger centre , Ain benian , Ain naadja ,Bab el oued ,Bab ezzouar ,Baba hassen ,Bachdjerrah ,Baraki ,Ben aknoun ,Beni messous ,Bir mourad rais ,Birkhadem , Birtouta ,Bologhine ,Bordj el kiffan ,Bouzareah ,Casbah ,Cheraga ,Chevalley ,Dar el beida ,Dely brahim , Douera ,Draria ,El achour ,El biar ,El harrach ,El madania ,El mouradia ,Gue de constantine ,Hammamet ,Hussein dey ,Hydra ,Kouba ,Les eucalyptus ,Mohammadia ,Oued koriche ,Ouled fayet , Rais hamidou , Said hamdine , Saoula , Sidi mhamed , Souidania ,Staoueli , Zeralda 📷
2 066 Personnes touchées 52 Interactions – Score de diffusion Booster la publication
📷 2626 6 partages J’aime Commenter Partager
1 note · View note
bathtimeradio · 5 years
Audio
Ep 4.1 - Personality Types (MBTI)
Playlist:
The Utopia Strong - Brainsurgeons 
[Extraversion] Carl Stone - Baroo
Blanco Brown - The Git Up
Omar Souleyman - Layle
Black Midi - Ded Sheeran
[Introversion] Grouper - Breathing
Blanck Mass - Death Drop
Carl Stetson - Spindrift
Deli Girls - I'd Rather Die
[Sensing] Orbital - Tiny Foldable Cities
Battles - A Loop So Nice...
OOIOO - Grow Sound Tree
Autechre - Clipper
Buckethead - Big Sur Moon
[Intuition] Gong - I’ve bin stone before…
Caravan - In the Land of Grey & Pink
Van Der Graaf Generator - The Plague of Lighthouse Keepers
[Thinking] French Affair - My Heart Goes Boom (La Di Da Da)
La Bouche - Be My Lover
Black Legend - You See The Trouble With Me
Aquagen - Hard to Say I'm Sorry
[Feeling] Inca Ore - Shine On From The Heaven Above
Gil Scott-Heron & Makaya McCraven - I'm New Here
Turnstile - I Wanna Be Blind (ft. Mall Grab)
Tom Smith & Don Fleming - Dizzy
[Judging] Wesley Willis - I Wupped Batman's Ass
Wesley Willis - I Whooped Spiderman's Ass
Wesley Willis - Rocked Saddam Hussein's Ass
Aleksi Perala - UK74R1406080
Aleksi Perala - UK74R1406070
Aleksi Perala - UKMH51900048
[Perceiving] Earl Sweatshirt - Burgundy
Modest Mouse - Out of Gas
Lauryn Hill - Forgive Them Father
1 note · View note
filosofilagu · 5 years
Text
Sejarah singkat musik dangdut indonesia
Sejarah singkat musik dangdut indonesia - - Dangdut mengalami perjalanan yang penuh warna. Dangdut, yang namanya berasal dari suara drum khas, "dang" dan "dut", Dianggap sebagai bentuk rendah dari budaya populer di tahun 1970an, dikomersialisasikan pada tahun 1980an, ditafsirkan lagi sebagai variasi musik pop, nasional dan global pada 1990-an, dan dilokalisasi pada masyarakat etnis di era tahun 2000an.
Musik dangdut indonesia 
Genre/aliran musik dangdut merupakan jenis aliran musik yang berasal dari Indonesia dan musik populer tradisional yang sebagian berasal dari musik Hindustani, Melayu dan Arab. Dangdut ditandai dengan tabuhan gendang dan drum.
Dangdut juga dipengaruhi oleh musik India melalui film Bollywood oleh penyanyi Ellya dengan lagu Indian Dolls, dan yang terakhir lahir pada tahun…
View On WordPress
0 notes
leobellicose · 7 years
Text
Kes terhadap Anwar lemah
Kes terhadap Anwar lemah -
Kes terhadap Anwar lemah tanpa keterangan 2 saksi penting Bede Hong · Diterbitkan pada 30 Nov 2017 11:02PM ·
Peguam mewakili Anwar Ibrahim berkata kes terhadap ketua pembangkang itu berhubung kerugian forex BNM, lemah tanpa keterangan dua saksi penting. – Gambar fail The Malaysian Insight, 30 November, 2017 PUTRAJAYA mempunyai kes yang lemah terhadap Anwar Ibrahim berhubung kerugian urus niaga mata wang asing Bank Negara Malaysia (BNM) kerana dua individu penting tidak memberi keterangan, kata peguam pemimpin pembangkang itu. Saksi berkenaan ialah allahyarham Jaffar Hussein yang meninggal dunia pada 1998 dan bekas ketua audit negara Ishak Tadin, 85, yang tidak sihat untuk memberi keterangan sepanjang pendengaran berlangsung dua bulan dan berakhir 19 September. Suruhanjaya siasatan diraja (RCI) itu ditubuhkan untuk menyiasat kerugian BNM yang diketuai Pengerusi Petronas Mohd Sidek Hassan, menyampaikan keputusannya kepada Yang di-Pertuan Agong pada 13 Oktober. Laporan 500 halaman itu dibentangkan di Parlimen hari ini. “Laporan itu kekurangan bukti jelas yang serius daripada individu utama; akibat yang tidak dapat dielakkan kerana mengadakan inkuiri selepas 25 tahun kejadian berlaku,” kata Gurdial Singh Nijar dan Sivarasa Rasiah yang mewakili Anwar, dalam satu kenyataan. RCI itu mendapati Anwar dan bekas perdana menteri Dr Mahathir Mohamad bersalah atas kerugian itu, di mana suruhanjaya itu mendapati jumlahnya mencecah RM31.5 bilion antara 1992 dan 1994. Suruhanjaya itu kemudian mengesyorkan kedua-duanya disiasat di bawah Seksyen 417 atau 418 Kanun Keseksaan, yang membawa hukuman penjara lima tahun dan denda. Kegagalan membayar denda boleh membawa kepada hukuman penjara lebih lama. Peguam berkenaan yang bertindak sebagai peguam pemerhati bagi pihak Anwar pada pendengaran itu berkata keputusan membeli dan menjual saham dibuat oleh Jaffar. “Beliau memaklumkannya dalam deklarasi awam di Deli. Dan melaksanakannya menerusi pegawainya. “Timbalan pengurus di jabatan bank pada masa itu memberi keterangan bahawa urus niaga forex (membeli dan menjual saham) diputuskan oleh jabatan bank,” kata keterangan itu. Peguam itu berkata Anwar menjelaskan panjang lebar mengapa beliau menyerahkan laporan audit tahunan BNM kepada kabinet dan Parlimen, dan ia sudah ditandatangani oleh ketua audit negara dan gabenor BNM. “Sebelum itu, Anwar dimaklumkan tentang perbalahan antara gabenor dan ketua audit negara tentang bagaimana hendak menjelaskan kerugian itu dalam laporan. Beliau minta pihak berkenaan menyelesaikan perbalahan itu di mana seperti tertera dalam laporan tahunan itu,” kata peguam. Anwar turut memberi keterangan bahawa beliau tidak boleh menggunakan maklumat dalam draf ketua audit negara dan terpaksa menggunakan laporan audit yang sudah diluluskan oleh ketua audit neara. “Paling teruk, penyampaian laporan yang sudah diaudit kepada kabinet menjadi satu penghakiman. Bagaimana ia boleh menjadi penipuan terhadap kabinet hingga membawa kepada tuduhan jenayah kerana menipu? “Tidak ada seorang pun anggota kabinet yang mempersoalkannya. “Tambahan lagi, Parlimen perlu menerima laporan tahunan audit itu. Itulah apa yang Anwar buat. bagaimana ini boleh jadi penipuan kepada Parlimen?” Peguam itu berkata kesimpulan RCI itu yang Anwar menipu kabinet berdasarkan kepada “fakta salah” memandangkan bukan beliau membuat keputusan tentang rawatan akaun keuntungan atau kelulusan. – 30 November, 2017.
Kes terhadap Anwar lemah merupakan Entri ulangsiar. Credit kepada sumber asal di Kes terhadap Anwar lemah via Blogger http://sayupgema.blogspot.com/2017/12/kes-terhadap-anwar-lemah.html
0 notes
nasmayanas-blog · 7 years
Text
MAKHLUQ PELUPA SEJARAH
Oleh: Nasmay L. Anas
JAKARTA, 13 Mei 1998. Itulah tanggal terjadinya sebuah tragedy berdarah. Saat meletusnya “puncak bisul” massa yang sudah muak dengan pemerintahan Orde Baru (Orba) Soeharto.
Pagi itu, matahari bersinar terang. Udara pagi juga terasa nyaman. Tapi dalam tempo singkat, ibukota negara itu terbakar. Tidak hanya terbakar secara fisik, tapi juga terbakar emosi massa. Pasalnya, mereka baru saja mendengar isyu tertembaknya sejumlah mahasiswa demonstran.
Sekitar pukul 10.00 WIB pagi, massa mulai mengamuk. Sejumlah titik api bermunculan di seantero kota. Supermarket-supermarket besar dan pertokoan di berbagai wilayah dilalap api. Api yang tidak hanya membakar swalayan-swalayan mewah itu secara fisik, tapi juga tubuh manusia-manusia tak berdosa. Para karyawan toko-toko swalayan yang terperangkap di dalam kobaran api. Bahkan juga sebagian perusuh yang berniat menjarah. Ratusan nyawa – itu pun yang sempat terhitung beberapa waktu kemudian – melayang sia-sia.
Dalam tempo singkat pula, massa sudah memenuhi sisi-sisi jalan. Bis-bis umum, taxi, angkot, bahkan juga mobil-mobil pribadi yang lewat, disetop. Dibalikkan beramai-ramai. Lalu dibakar. Satuan-satuan polisi menghilang. Sebagian, di antara mereka yang masih berada di tengah massa, dikeroyok. Dipukuli, ditendang, dihajar massa perusuh sampai babak belur. Polisi-polisi malang itu berusaha menyelamatkan diri. Sebagian sambil copot seragam. Tidak mengerti mengapa mereka jadi sasaran amuk massa yang menggila.
Sampai larut malam, amuk massa dan aksi penjarahan tidak berhenti. Sebagian penduduk tercekam ketakutan. Jalanan kota, yang biasanya selalu dipadati kendaraan, jadi lengang. Lampu-lampu penerang jalan ditumbangkan. Tiang-tiangnya bergeletakan di tengah jalan. Kendaraan umum tak satu pun lagi yang berani lewat. Karenanya para buruh dan karyawan yang hendak pulang terpaksa jalan kaki berpuluh kilometer ke rumah masing-masing.
Bahkan dua hari kemudian, huru-hara belum juga berhenti. Tak hanya Jakarta, amuk massa ternyata juga melanda beberapa kota di Indonesia. Tim Adhoc Penyelidikan bentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berkenaan Kerusuhan Mei 1998 mencatat, kerusakan dan kematian mewarnai prahara.
Seperti disebut dalam dokumen tim Adhoc penyelidik tadi, setidaknya 13 kota dilanda prahara. Kota-kota itu meliputi Jakarta Raya – di dalamnya termasuk sebagian Tangerang dan Depok – lalu Solo, Klaten, Boyolali, Medan, Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Palembang, Surabaya, Lampung, Padang, dan Bandung. Yang paling penting untuk diingat, masing-masing kota punya cerita sendiri-sendiri, dengan korban manusia dan harta benda yang tidak sedikit.
Satu minggu kemudian, tepatnya 21 Mei 1998, kekuasaan Orde Baru Soeharto yang sudah bercokol 32 tahun pun tumbang. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya bahwa tragedi itu akan terjadi. Pagi hari 21 Mei 1998, dengan suara bergetar, orang kuat Orde Baru itu menyatakan pengunduran dirinya sebagai presiden.
Terlalu banyak orang yang terpaksa harus meratap karena kehilangan anak dan sanak saudara dalam tragedi berdarah itu. Sebagian dari mereka bahkan sampai hari ini meratapi nasib anak-anak gadis mereka yang direnggut kehormatannya oleh orang-orang jahat. Orang-orang jahat yang bahkan lebih jahat dari pada hewan dan binatang melata sekalipun.
***
BILA DISIMPULKAN, sejatinya seluruh anak bangsa ini meratap mengenang kejadian seperti itu. Tapi bila kita telusuri lebih jauh perjalanan sejarah kita, anak bangsa yang terkenal santun dan pemaaf ini sebenarnya bisa juga lebih buas dari pada binatang buas. Kejadian-kejadian memilukan terus saja terulang dan terulang. Semua itu membuktikan, kita tidak pernah belajar dari sejarah. Terutama sejarah kita yang kelam.
Ketika republik ini belum berumur setahun jagung – tepatnya 18 September 1948 – kita disibukkan oleh pemberontakan yang lebih dikenal dengan Peristiwa Madiun. Pemberontakan ini dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai kiri lainnya yang tergabung dalam organisasi bernama "Front Demokrasi Rakyat" (FDR).
Kita tahu, kaum pemberontak PKI berencana menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yaitu: Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Meskipun kita tahu, tapi kita tahunya sudah terlambat. Pemberontakan sudah terjadi. Korban berjatuhan dari pihak-pihak yang tidak berdosa, terutama dari kalangan kiyai dan ulama. Mereka diculik, lalu dibantai.
Ketika aksi mereka berhasil ditumpas, giliran rakyat yang marah membantai mereka. Dalam aksi balas dendam itu, mayat-mayat mereka kemudian dilemparkan ke Kali Madiun. Karenanya air kali yang sebelumnya bening dalam waktu singkat berubah warna jadi warna darah.
Pada peristiwa yang lain. Tepatnya 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein mendeklarasikan apa yang dikenal dengan sebutan “Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI). Pada awalnya ini merupakan gerakan penentangan terhadap pemerintah pusat oleh daerah-daerah. Sebagian sejarawan menganggap hal itu dipicu oleh ketidakpuasan daerah terhadap masalah otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Pemerintah pusat menyatakan gerakan ini sebagai pemberontakan. Pemberontakan yang ternyata pada 17 Februari 1958, atau dua hari kemudian, didukung oleh gerakan serupa di Sulawesi. Gerakan ini lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Perjuangan Rakyat Semesta” (Permesta). Proklamasi di Sulawesi dipelopori oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual, yang waktu itu merupakan Panglima Wirabhuana. Karenanya kedua gerakan ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan PRRI/PERMESTA.
Persoalannya, benarkah itu terjadi hanya karena penentangan daerah terhadap pemerintahan pusat disebabkan masalah otonomi daerah, khususnya perimbangan keuangan daerah dan pusat? Menurut beberapa tokoh yang terlibat langsung dalam peristiwa itu, penyebab utama timbulnya penentangan itu adalah karena mereka tidak lagi percaya kepada Presiden Soekarno. Karena Soekarno begitu dekat atau bahkan bisa dikatakan sudah dikendalikan oleh Partai Komuni Indonesia (PKI).
Sebagian dari mereka yang terlibat PRRI – seperti Syafruddin Prawiranegara dan Natsir – mengaku sebelumnya sama sekali tidak tahu rencana pendeklarasian gerakan itu. Tapi mereka terjebak dalam pertentangan pusat dan daerah itu dan tidak bisa lagi menghindar ketika Letkol Ahmad Hussein mendeklarasikan gerakan, sementara mereka pas berada di daerah itu. Menurut mereka, gerakan itu sejatinya merupakan gerakan koreksi terhadap pemerintah pusat.
Untuk menumpas gerakan itu, pemerintah Indonesia melakukan Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Itulah aksi penumpasan pemberontak terbesar dalam sejarah militer Indonesia, sehingga menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit.
Pada 30 September 1965, peristiwa paling memilukan justru terjadi lagi. PKI yang sudah merasa di atas angin melakukan pemberontakan kembali. Para pimpinan militer kita diculik dan dibantai. Mayat mereka dilemparkan begitu saja ke dalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Yang patut dicatat, kita selalu lupa. Kita selalu lupa punya musuh dalam selimut. Yang tega menohok kawan seiring. Yang suka menggunting dalam lipatan. Kita bangga sebagai bangsa yang santun dan pemaaf. Tapi kita selalu lupa betapa banyak darah dan airmata anak bangsa yang terbuang sia-sia.
Sekarang, 19 tahun sudah kita melewati suasana aksi reformasi yang menggelora. Kita begitu bangga dengan demokrasi kita. Kita begitu bangga dengan kebebasan pers kita, kebebasan berserikat kita, kebebasan berbicara kita dan bahkan kebebasan dalam banyak hal. Padahal kita tidak sadar sepenuhnya bahwa kebebasan yang kita peroleh masih semu alias palsu. Kita selalu lupa siapa sejatinya musuh utama dan bersama kita. Kita selalu lupa karena melupakan sejarah kita.
Jangan sampai terulang kembali darah dan airmata anak bangsa ini tumpah sia-sia. Hanya karena kita “Makhluq Pelupa Sejarah”!
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Mohammat Natsir dan Kenangan Pasca Masyumi Dibubarkan.
Mohammat Natsir dan Kenangan Pasca Masyumi Dibubarkan.
Harianpublik.com – Mohammat Natsir dilahirkan di Alahan Panjang,  Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908. Ia wafat di Jakarta pada 6 Februari 1993.
Mengenai pemikiran dan jejak perjuangannya,  sudah banyak ditulis oleh pakar dalam maupun luar negeri. Saya mengenal nama Natsir dari ayah saya,  M. Mursjid Nawawi (1930-1989), seorang aktifis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Kabupaten Bekasi.
Dalam oborolan santai dengan ibunda Siti Wardah Fudholi (1935-2011), atau dalam obrolan dengan para koleganya –yang kadang saya curi dengar–ayah saya menyebut nama Natsir dan tokoh-tokoh seperti Prawoto Mangkusasmito, Hamka,  dan Sjafruddin Prawiranegara dengan nada penuh hormat.
Pada suatu hari besar Islam di Masjid Al-Muttaqin, Buni Asih,  Cikarang, panitia mengundang Hamka sebagai penceramah. Saya ingat peristiwa di permulaan tahun 1960-an itu,  karena sebelum ke tempat acara, Hamka lebih dulu singgah di kediaman kakek saya,  KH M. Fudholi.
Saya tidak tahu apa alasannya,  dalam pertemuan di rumah kakek,  ayah mengajak saya. Saya yang masih ingusan dan belum mengerti apa-apa cuma ingat kakek saya dengan Hamka ngobrol dalam bahasa Arab.
Dan sesudah rezim Sukarno tumbang, para tahanan politik dibebaskan oleh penguasa baru,  Jenderal Soeharto. Menandai pembebasan itu,  diadakan tasyakkur di Masjid Agung Al-Azhar,  Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jika tidak salah ingat,  tasyakkur di Al-Azhar itu dilaksanakan pada 1966.,Para pendukung Partai Masyumi berbondong-bondong ke Masjid Al-Azhar, termasuk ayah dan kawan-kawannya dari Cikarang.
Lagi-lagi saya tidak tahu alasan ayah  mengajak saya yang masih bocah menghadiri tasyakkur. Padahal di atas saya ada dua kakak yang tentu sudah lebih mengerti masalah, ketimbang saya. Walaupun yang akan berangkat hanya saya dan ayah,  sehari sebelum berangkat, ibu sibuk mempersiapkan bekal. Beliau membikin lontong isi dalam jumlah yang cukup banyak.
“Sekalian untuk rombongan,” kata ibu. Suasana malam itu mengingatkan saya pada kesibukan menjelang lebaran. Ayah dan ibu,  menyiapkan bekal dengan riang gembira seraya terus bercerita tentang kehebatan Pak Natsir dan Masyumi.
Dengan truk yang ditutupi terpal,  rombongan dari Cikarang berangkat ke Al-Azhar. Di Masjid Agung itu,  jamaah melimpah ruah. Rombongan kami tidak bisa lagi masuk ke dalam masjid. Kami menyimak acara di tangga masjid. Saya tidak ingat,  lebih tepatnya tidak mengerti, apa yang dipidatokan oleh tokoh-tokoh itu.
Yang pasti,  tasyakkur di Al-Azhar makin mematrikan nama Natsir dan Masyumi dalam ingatan saya.
Sesudah tasyakkur di Al-Azhar, ada lagi tasyakkur di Masjid Agung Karawang. Lagi-lagi ayah mengajak saya hadir di acara tersebut. Jika tidak salah ingat,  pada tasyakkur di Karawang itu hadir antara lain Mochtar Lubis dan Buya Hamka. Acara ditutup dengan bersalam-salaman, dan saya berhasil menyalami Buya Hamka!
“Prestasi” itu kelak ditambah oleh keberhasilan saya menyalami Natsir.  Kisahnya, pada suatu hari Pak Hasjim Ahmad yang rumahnya dekat dengan rumah orang tua saya,  menikahkan putrinya. Beberapa hari menjelang acara, beredar kabar bahwa Pak Natsir akan hadir pada acara tersebut untuk memberi nasihat perkawinan.  Masyarakat percaya,  karena Hasjim Ahmad adalah tokoh Masyumi yang pada pemilihan umum 1955 terpilih menjadi anggota, dan kemudian menjadi Ketua DPRD Kabupaten Bekasi.
Mendengar kabar Pak Natsir mau datang,  saya menyiapkan diri.  Nah, pada hari “H”, dengan membolos dari sekolah, saya mengendap-endap ke rumah Pak Hasjim Ahmad. Ketika sebuah mobil berhenti, dan dari pengeras suara terdengar ucapan “Selamat datang Pak Natsir,” saya segera menerobos ke depan untuk menyongsong kedatangan Pak Natsir. Alhamdulillah, “perjuangan” saya tidak sia-sia. Saya berhasil mencium tangan Pak Natsir!
Kisah “heroik” itu saya ceritakan kepada ayah dan ibu.  Keduanya tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Ghirah al Masyumiyah
Sebagai aktifis, ayah saya suka membaca. Koleksi bukunya lumayan banyak. Dari koleksi ayah saya itulah saya mulai membaca karya pikir tokoh-tokoh Masyumi, antara lain Capita Selecta,  Fiqhud Da’wah,  dan Marilah Shalat (M. Natsir),  Merantau ke Deli, Menunggu Bedug Berbunyi, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (Hamka), Documenta Historica (Osman Raliby), Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad (Munawar Chalil), dan Mujahid Da’wah (Isa Anshary).
Sebagai Pembantu Perwakilan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI), ayah secara rutin mendapat kiriman majalah Kiblat. Saya yang sudah hafal jadual kedatangan majalah itu,  kadang-kadang mendahului ayah membacanya. Untuk hal ini, kadang-kadang ayah terkesan kurang suka didahului membaca oleh saya.
Di majalah Kiblat itulah  saya bertemu dengan tulisan tokoh-tokoh Masyumi seperti M Natsir,  dr Abu Hanifah, Mr. Mohamad Roem, M. Yunan Nasution, Anwar Harjono, dan E. Z. Muttaqien. Sementara itu, kakek saya H. Nawawi bin H. Sadih (1910-1987), berlangganan majalah Pandji Masjarakat.
Jika ke rumah kakek, saya membaca Pandji,  dan bertemu dengan Hamka yang rutin menulis di rubrik “Dari Hati ke Hati.” Ayah juga memiliki dua jilid buku karya Bung Karno,  Dibawah Bendera Revolusi (DBR). Dengan membaca DBR dan Capita Selecta,  saya “menikmati” debat Sukarno-Natsir yang luar biasa itu.
Pengenalan terhadap pemikiran para tokoh itu diperkuat dengan ghirah al Masyumiyah di kampung saya yang menyebabkan sering hadirnya tokoh-tokoh Masyumi di dalam berbagai acara keagamaan.
Pada 1968, lantai pertama Masjid Al-Jihad di Cikarang diresmikan pemakaiannya ditandai dengan tabligh akbar pada malam hari dengan muballigh tokoh Masyumi Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Saya masih ingat, rumah orang tua saya menjadi tempat transit Pak Sjaf. Di awal Orde Baru itu,  sebagai bekas tahanan politik rezim Orde Lama Sukarno, nama bekas Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)  Sjafruddin Prawiranegara sangat harum.
Maka, pengamanan terhadap Pak Sjaf,  sangatlah ketat.  Rumah ayah saya pun dijaga ketat. Tidak sembarangan orang bisa mendekat. Siang harinya, untuk pertama kali Masjid Al-Jihad digunakan untuk shalat Jum’at. Khatib dan imam shalat Jum’at itu ialah KH  Taufiqurrahman, mantan Sekjen Masyumi.
Maka, asyarakat Cikarang heboh,  apalagi keesokan harinya ceramah Sjafruddin dan kegiatan di Masjid Al-Jihad dimuat sebagai berita utama di koran milik Masyumi,  Abadi.
Rumput Keringpun Ada Manfaatnya
Pada 1984, Pak Natsir dan Ummi Nurnahar ditemani Sekretaris Pribadi Ramlan Mardjoned, berkunjung ke Yogyakarta.
Berbeda dengan sejumlah tokoh yang jika ke Yogya bermalam di hotel atau penginapan,  selama beberapa hari di Yogya,  Pak Natsir dan Ummi bermalam di rumah Dr Ahmad Watik Pratiknya di kawasan Warungboto.  Dr Watik dan istrinya, Yu Nung, sangat berbahagia rumahnya diinapi oleh Pak Natsir dan Ummi.
Malam menjelang Pak Natsir kembali ke Jakarta, diselenggarakan silaturrahmi di rumah Dr Watik. Tokoh-tokoh cendekiawan Yogya yang hadir antara lain Saifullah Mahyuddin,  A Syafii Maarif, M.Amien Rais, Chairil Anwar, Said Tuhuleley, dan Zulkifli Halim.
Dalam dialog, saya –yang saat itu tinggal di Yogyakarta dan hadir pada pertemuan–memberi tahu bahwa sebentar lagi Nurcholish Madjid yang sudah selesai studinya di Universitas Chicago, akan segera kembali ke tanah air. Mengingat Cak Nur pernah membikin heboh dengan pemikiran pembaruannya,  saya bertanya kepada Pak Natsir, apa sikap kita?
Pak Natsir yang sedikit banyak kecewa oleh sikap Cak Nur di awal Orde Baru itu, saya duga akan memberi pernyataan yang cukup keras. Namun, di luar dugaan, dengan nada lembut Pak Natsir berkata: “Di dalam perjuangan, rumput keringpun ada manfaatnya. Apalagi seorang Nurcholish Madjid, doktor lulusan Chicago.” Saya melirik Zulkifli dan Tuhuleley. Kedua karib saya itu tersenyum.
Di lain waktu, yakni Menjelang Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1990, Media Dakwah menurunkan laporan utama mengenai Muhammadiyah.
Laporan saya tulis berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai sumber: cendekiawan bebas maupun cendekiawan dan aktifis Muhammadiyah. Salah seorang  narasumber,  aktifis Muhammadiyah dan dosen di sebuah perguruan tinggi negeri,  menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan sudah sangat lamban. Narasumber itu mengibaratkan kelambanan Muhammadiyah seperti “gajah gemuk”.
Setelah laporan utama selesai saya tulis,  teman-teman redaksi Media Dakwah sepakat menjadikan “Muhammadiyah Bagai Gajah Gemuk?” sebagai tema laporan utama dan menjadikannya sebagai banner di sampul depan. Sesudah majalah terbit, saya serahkan beberapa eksemplar ke Pak Natsir.
Membaca tulisan di sampul depan,  Natsir yang lembut,  seketika meledak kemarahannya. “Apa ini?  Apakah tidak ada kalimat lain yang lebih santun?  Mengapa harus menista saudara seiman,” serentetan pertanyaan meluncur dari bibir Pak Natsir. Saya mencoba menjelaskan, tetapi cepat disergah.
“Jangan jelaskan sekarang. Beri penjelasan di dalam rapat Dewan Da’wah, besok.” Esoknya,  dalam rapat lengkap, sebagai penulis laporan utama, saya jelaskan semuanya. Setelah dicecar dengan berbagai pertanyaan oleh Pak Natsir,  Pak Yunan Nasution,  Pak Buchari Tamam,  Pak Anwar Harjono, dan Bang Hussein Umar,  alhamdulillah, penjelasan saya dapat diterima.
Dari rapat hari itu, sampai sekarang masih melekat dalam ingatan saya pesan Pak Natsir tentang etika berpolemik. “Dalam berpolemik, silahkan gunakan kalimat-kalimat yang tajam untuk melemahkan argumen lawan polemik, tapi jangan gunakan kalimat-kalimat yang kasar,” pesan Natsir sambil meminta seluruh redaktur Media Dakwah untuk membaca kembali polemik Sukarno dengan Natsir.
“Saudara-saudara bisa merasakan betapa tajamnya polemik kami,  tapi baik Bung Karno maupun saya,  tidak pernah menulis sesuatu yang kasar. Karena itu,  baik saya maupun Bung Karno tidak pernah merasa sakit hati dengan polemik yang tajam itu,” katanya.
Ya itulah M Natsir, salah satu bapak bangsa, mantan perdana menteri pertama RI, Pemimpin Partai Masyumi yang ironisnya pada awal 1960-an partainya dibubarkan Sukarno tanpa pengadilan. Pada 17 Juli lalu Natsir yang menjadi penggagas terbentuknya NKRI berulang tahun. Di masa dia menjabat sebagai Perdana Menteri, pada saat itulah untuk pertama kalinya bendera Merah Putih berkibar di Markas Besar PBB di New York.
Allahumaghfirlahu warhamhu.
*Lukman Hakiem, peminat sejarah , mantan staf M Natsir dan Wapres Jusuf Kalla
-kabarviral/rol Sumber : Source link
0 notes
graciedroweuk · 8 years
Text
Afro Deli expands into downtown St. Paul
The most popular immigrant-possessed Afro Deli and Catering in Minneapolis’ Plank-Riverside community is extending its muscle to create its tag on West Seventh Devote downtown St. Paul.
On Thursday, the 4- year-old Afro Deli that is may have a brand new sibling helping Med African and National food within Minnesota’s capital’s center.
“It is just a dream proprietor of Deli, Kahin, stated of the brand new area. “I have always desired to duplicate our excellent support and distinctive flavor of food in most town and city within the state.”
The concept to determine a series of the cafe started 2 yrs before after Kahin recognized his company —’s growth even while several companies within the community shut along.
Afro Deli proceeds to prosper and develop, Kahin stated, due to the distinctive meals, which attract varied clients — most of them pupils and team in the School of Minnesota and Augsburg School, workers in the regional hospitals and centers, and citizens in the community.
Doesn’t that is “Food have edges,” the soft spoken Kahin is fast to express. “We assist everybody who eats.”
Relationship between Afro Deli and ADC
Before Deli, Kahin went a manufacturing company within the early-2000s, producing quick movies and saving occasions, events and marriage ceremonies for the immigrants in Minnesota.
Kahin chose to depart his manufacturing company behind to start a cafe and developed a pursuit within the food-industry. At that time, he explained, there immigrant- restaurants that was held — and also the several that endured on helping their towns focused.
“I had a perspective to produce a conventional restaurant he explained. He desired to display his good efforts that were community’s through cultural meals.
Kahin’s eyesight was satisfied this year when Afro Deli and Catering exposed its doorways, cheers simply towards the expense of the African Development Heart (ADC).
For ADC to prosper, the overdue exec manager of the business, Hussein Samatar, stated at that time in a movie meeting, it’d be better to produce its revenue — and never depend on contributions only.
Therefore ADC committed to Deli, with — today operates and handles with ADC.
‘I wish to show them wrong’
While Kahin wanted loans to fund the Deli that was brand new in St. Paul, his demand rejected, informing him that it wouldn’t prosper within the — and suggesting a community is found by him having a larger population.
Kahin told lenders that his cafe might work in St. Paul and that almost all of his clients are nonimmigrants. But lenders are persuaded by this debate didn’t.
“Just since Plank was situated in by Afro Deli – they believe all my clients are immigrants Kahin said. I had been dissatisfied to listen to that. However it just required me 20 units to express, ‘I wish to show them wrong.’”
Sunday that was last morning, ratings of individuals kept arriving towards the cafe that was fresh simply to encounter Kahin. Get that selection and return on Wednesday. Appreciate you.”
An area actor, Colbert, was the type of who ceased from the cafe. Colbert was raised within the Plank-Riverside region and it is a client of Deli.
“I’m happy to see Deli branching ” he explained. “In my expertise within the one all kinds of people, on Method adore the meals, arriving constantly — college people, company people, community people. That’s a really neighborhood place that is wonderful. I really hope that this location could be like this, too.”
5 WATTS, Afro area. Seventh Location, officially located Mexican style Tacos, Nachos cafe, which went after significantly less than an out of company year.
Ibrahim Hirsi could be attained at . Follow him on Facebook at .
The post Afro Deli expands into downtown St. Paul appeared first on dylans down town.
from network 4 http://dylansdowntown.com/afro-deli-expands-into-downtown-st-paul/
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Natsir dan Kenangan Pasca Masyumi Dibubarkan
Natsir dan Kenangan Pasca Masyumi Dibubarkan
Natsir dan Kenangan Pasca Masyumi Dibubarkan
Harianpublik.com – Mohammat Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908. Ia wafat di Jakarta pada 6 Februari 1993.
Mengenai pemikiran dan jejak perjuangannya, sudah banyak ditulis oleh pakar dalam maupun luar negeri. Saya mengenal nama Natsir dari ayah saya, M. Mursjid Nawawi (1930-1989), seorang aktifis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Kabupaten Bekasi.
Dalam oborolan santai dengan ibunda Siti Wardah Fudholi (1935-2011), atau dalam obrolan dengan para koleganya –yang kadang saya curi dengar–ayah saya menyebut nama Natsir dan tokoh-tokoh seperti Prawoto Mangkusasmito, Hamka, dan Sjafruddin Prawiranegara dengan nada penuh hormat.
Pada suatu hari besar Islam di Masjid Al-Muttaqin, Buni Asih, Cikarang, panitia mengundang Hamka sebagai penceramah. Saya ingat peristiwa di permulaan tahun 1960-an itu, karena sebelum ke tempat acara, Hamka lebih dulu singgah di kediaman kakek saya, KH M. Fudholi.
Saya tidak tahu apa alasannya, dalam pertemuan di rumah kakek, ayah mengajak saya. Saya yang masih ingusan dan belum mengerti apa-apa cuma ingat kakek saya dengan Hamka ngobrol dalam bahasa Arab.
Dan sesudah rezim Sukarno tumbang, para tahanan politik dibebaskan oleh penguasa baru, Jenderal Soeharto. Menandai pembebasan itu, diadakan tasyakkur di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jika tidak salah ingat, tasyakkur di Al-Azhar itu dilaksanakan pada 1966.,Para pendukung Partai Masyumi berbondong-bondong ke Masjid Al-Azhar, termasuk ayah dan kawan-kawannya dari Cikarang.
Lagi-lagi saya tidak tahu alasan ayah mengajak saya yang masih bocah menghadiri tasyakkur. Padahal di atas saya ada dua kakak yang tentu sudah lebih mengerti masalah, ketimbang saya. Walaupun yang akan berangkat hanya saya dan ayah, sehari sebelum berangkat, ibu sibuk mempersiapkan bekal. Beliau membikin lontong isi dalam jumlah yang cukup banyak.
“Sekalian untuk rombongan,” kata ibu. Suasana malam itu mengingatkan saya pada kesibukan menjelang lebaran. Ayah dan ibu, menyiapkan bekal dengan riang gembira seraya terus bercerita tentang kehebatan Pak Natsir dan Masyumi.
Dengan truk yang ditutupi terpal, rombongan dari Cikarang berangkat ke Al-Azhar. Di Masjid Agung itu, jamaah melimpah ruah. Rombongan kami tidak bisa lagi masuk ke dalam masjid. Kami menyimak acara di tangga masjid. Saya tidak ingat, lebih tepatnya tidak mengerti, apa yang dipidatokan oleh tokoh-tokoh itu.
Yang pasti, tasyakkur di Al-Azhar makin mematrikan nama Natsir dan Masyumi dalam ingatan saya.
Sesudah tasyakkur di Al-Azhar, ada lagi tasyakkur di Masjid Agung Karawang. Lagi-lagi ayah mengajak saya hadir di acara tersebut. Jika tidak salah ingat, pada tasyakkur di Karawang itu hadir antara lain Mochtar Lubis dan Buya Hamka. Acara ditutup dengan bersalam-salaman, dan saya berhasil menyalami Buya Hamka!
“Prestasi” itu kelak ditambah oleh keberhasilan saya menyalami Natsir. Kisahnya, pada suatu hari Pak Hasjim Ahmad yang rumahnya dekat dengan rumah orang tua saya, menikahkan putrinya. Beberapa hari menjelang acara, beredar kabar bahwa Pak Natsir akan hadir pada acara tersebut untuk memberi nasihat perkawinan. Masyarakat percaya, karena Hasjim Ahmad adalah tokoh Masyumi yang pada pemilihan umum 1955 terpilih menjadi anggota, dan kemudian menjadi Ketua DPRD Kabupaten Bekasi.
Mendengar kabar Pak Natsir mau datang, saya menyiapkan diri. Nah, pada hari “H”, dengan membolos dari sekolah, saya mengendap-endap ke rumah Pak Hasjim Ahmad. Ketika sebuah mobil berhenti, dan dari pengeras suara terdengar ucapan “Selamat datang Pak Natsir,” saya segera menerobos ke depan untuk menyongsong kedatangan Pak Natsir.
Alhamdulillah, “perjuangan” saya tidak sia-sia. Saya berhasil mencium tangan Pak Natsir!
Kisah “heroik” itu saya ceritakan kepada ayah dan ibu. Keduanya tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Ghirah al Masyumiyah Sebagai aktifis, ayah saya suka membaca. Koleksi bukunya lumayan banyak. Dari koleksi ayah saya itulah saya mulai membaca karya pikir tokoh-tokoh Masyumi, antara lain Capita Selecta, Fiqhud Da’wah, dan Marilah Shalat (M. Natsir), Merantau ke Deli, Menunggu Bedug Berbunyi, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (Hamka), Documenta Historica (Osman Raliby), Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad (Munawar Chalil), dan Mujahid Da’wah (Isa Anshary).
Sebagai Pembantu Perwakilan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI), ayah secara rutin mendapat kiriman majalah Kiblat. Saya yang sudah hafal jadual kedatangan majalah itu, kadang-kadang mendahului ayah membacanya. Untuk hal ini, kadang-kadang ayah terkesan kurang suka didahului membaca oleh saya.
Di majalah Kiblat itulah saya bertemu dengan tulisan tokoh-tokoh Masyumi seperti M Natsir, dr Abu Hanifah, Mr. Mohamad Roem, M. Yunan Nasution, Anwar Harjono, dan E. Z. Muttaqien. Sementara itu, kakek saya H. Nawawi bin H. Sadih (1910-1987), berlangganan majalah Pandji Masjarakat.
Jika ke rumah kakek, saya membaca Pandji, dan bertemu dengan Hamka yang rutin menulis di rubrik “Dari Hati ke Hati.”
Ayah juga memiliki dua jilid buku karya Bung Karno, Dibawah Bendera Revolusi (DBR). Dengan membaca DBR dan Capita Selecta, saya “menikmati” debat Sukarno-Natsir yang luar biasa itu.
Pengenalan terhadap pemikiran para tokoh itu diperkuat dengan ghirah al Masyumiyah di kampung saya yang menyebabkan sering hadirnya tokoh-tokoh Masyumi di dalam berbagai acara keagamaan.
Pada 1968, lantai pertama Masjid Al-Jihad di Cikarang diresmikan pemakaiannya ditandai dengan tabligh akbar pada malam hari dengan muballigh tokoh Masyumi Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Saya masih ingat, rumah orang tua saya menjadi tempat transit Pak Sjaf. Di awal Orde Baru itu, sebagai bekas tahanan politik rezim Orde Lama Sukarno, nama bekas Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sjafruddin Prawiranegara sangat harum.
Maka, pengamanan terhadap Pak Sjaf, sangatlah ketat. Rumah ayah saya pun dijaga ketat. Tidak sembarangan orang bisa mendekat. Siang harinya, untuk pertama kali Masjid Al-Jihad digunakan untuk shalat Jum’at. Khatib dan imam shalat Jum’at itu ialah KH Taufiqurrahman, mantan Sekjen Masyumi.
Maka, asyarakat Cikarang heboh, apalagi keesokan harinya ceramah Sjafruddin dan kegiatan di Masjid Al-Jihad dimuat sebagai berita utama di koran milik Masyumi, Abadi.
Rumput Keringpun Ada Manfaatnya
Pada 1984, Pak Natsir dan Ummi Nurnahar ditemani Sekretaris Pribadi Ramlan Mardjoned, berkunjung ke Yogyakarta.
Berbeda dengan sejumlah tokoh yang jika ke Yogya bermalam di hotel atau penginapan, selama beberapa hari di Yogya, Pak Natsir dan Ummi bermalam di rumah Dr Ahmad Watik Pratiknya di kawasan Warungboto. Dr Watik dan istrinya, Yu Nung, sangat berbahagia rumahnya diinapi oleh Pak Natsir dan Ummi. Malam menjelang Pak Natsir kembali ke Jakarta, diselenggarakan silaturrahmi di rumah Dr Watik.
Tokoh-tokoh cendekiawan Yogya yang hadir antara lain Saifullah Mahyuddin, A Syafii Maarif, M.Amien Rais, Chairil Anwar, Said Tuhuleley, dan Zulkifli Halim.
Dalam dialog, saya –yang saat itu tinggal di Yogyakarta dan hadir pada pertemuan–memberi tahu bahwa sebentar lagi Nurcholish Madjid yang sudah selesai studinya di Universitas Chicago, akan segera kembali ke tanah air. Mengingat Cak Nur pernah membikin heboh dengan pemikiran pembaruannya, saya bertanya kepada Pak Natsir, apa sikap kita?
Pak Natsir yang sedikit banyak kecewa oleh sikap Cak Nur di awal Orde Baru itu, saya duga akan memberi pernyataan yang cukup keras. Namun, di luar dugaan, dengan nada lembut Pak Natsir berkata: “Di dalam perjuangan, rumput keringpun ada manfaatnya. Apalagi seorang Nurcholish Madjid, doktor lulusan Chicago.” Saya melirik Zulkifli dan Tuhuleley. Kedua karib saya itu tersenyum.
Di lain waktu, yakni Menjelang Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1990, Media Dakwah menurunkan laporan utama mengenai Muhammadiyah.
Laporan saya tulis berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai sumber: cendekiawan bebas maupun cendekiawan dan aktifis Muhammadiyah. Salah seorang narasumber, aktifis Muhammadiyah dan dosen di sebuah perguruan tinggi negeri, menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan sudah sangat lamban. Narasumber itu mengibaratkan kelambanan Muhammadiyah seperti “gajah gemuk”.
Setelah laporan utama selesai saya tulis, teman-teman redaksi Media Dakwah sepakat menjadikan “Muhammadiyah Bagai Gajah Gemuk?” sebagai tema laporan utama dan menjadikannya sebagai banner di sampul depan. Sesudah majalah terbit, saya serahkan beberapa eksemplar ke Pak Natsir.
Membaca tulisan di sampul depan, Natsir yang lembut, seketika meledak kemarahannya. “Apa ini? Apakah tidak ada kalimat lain yang lebih santun? Mengapa harus menista saudara seiman,” serentetan pertanyaan meluncur dari bibir Pak Natsir. Saya mencoba menjelaskan, tetapi cepat disergah.
“Jangan jelaskan sekarang. Beri penjelasan di dalam rapat Dewan Da’wah, besok.”
Esoknya, dalam rapat lengkap, sebagai penulis laporan utama, saya jelaskan semuanya. Setelah dicecar dengan berbagai pertanyaan oleh Pak Natsir, Pak Yunan Nasution, Pak Buchari Tamam, Pak Anwar Harjono, dan Bang Hussein Umar, alhamdulillah, penjelasan saya dapat diterima.
Dari rapat hari itu, sampai sekarang masih melekat dalam ingatan saya pesan Pak Natsir tentang etika berpolemik. “Dalam berpolemik, silahkan gunakan kalimat-kalimat yang tajam untuk melemahkan argumen lawan polemik, tapi jangan gunakan kalimat-kalimat yang kasar,” pesan Natsir sambil meminta seluruh redaktur Media Dakwah untuk membaca kembali polemik Sukarno dengan Natsir.
“Saudara-saudara bisa merasakan betapa tajamnya polemik kami, tapi baik Bung Karno maupun saya, tidak pernah menulis sesuatu yang kasar. Karena itu, baik saya maupun Bung Karno tidak pernah merasa sakit hati dengan polemik yang tajam itu,” katanya.
Ya itulah M Natsir, salah satu bapak bangsa, mantan perdana menteri pertama RI, Pemimpin Partai Masyumi yang ironisnya pada awal 1960-an partainya dibubarkan Sukarno tanpa pengadilan. Pada 17 Juli lalu Natsir yang menjadi penggagas terbentuknya NKRI berulang tahun. Di masa dia menjabat sebagai Perdana Menteri, pada saat itulah untuk pertama kalinya bendera Merah Putih berkibar di Markas Besar PBB di New York.
Allahumaghfirlahu warhamhu.
*Lukman Hakiem, peminat sejarah , mantan staf M Natsir dan Wapres Jusuf Kalla
Oleh: Lukman Hakiem* []
Sumber : Source link
0 notes