Tumgik
#dokter internsip
kaktus-tajam · 9 months
Text
List Kegagalanku di Tahun 2023
Di luar arus umumnya, aku ingin berbagi kegagalan apa saja yang ditakdirkan di tahun 2023. Hehe. Panjang.
Januari
Tentunya skenario mengawali tahun baru dengan sakit.. tidak pernah ada dalam bayanganku.
Bukan. Bukan karena harus dirawat inap selama 6 hari dengan 3 dokter spesialis, sampai harus izin ganti jaga IGD karena masih berstatus dokter internsip. Bukan karena diagnosisnya cukup langka jadi ragam tes harus dilakukan. Bukan.
Agaknya aku lebih ingin menggarisbawahi bahwa 6 hari itu mengubah persepsiku tentang 24 tahun hidupku.
Dan kegagalan pertamaku adalah sempat menyalahkan diri, bahkan.. sempat mempertanyakan Allah: kenapa aku?
Sikap kontraproduktif.
Ternyata manusia memang tempatnya mengeluh, tempatnya ketidaktahuan ya.
Siapa sangka, sakitku itu justru membawa banyak keberkahan di kemudian hari. Membuka pintu-pintu unik yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Februari
Kegagalan keduaku adalah gagal mengkomunikasikan dengan baik terkait pekerjaanku sebagai asisten penelitian.
Akhirnya aku memutuskan resign dari pekerjaan sampinganku untuk fokus ke internsip dan pemulihan sakit. Di momen ini aku malu, karena rasanya gagal membina hubungan baik dengan dosen. Gagal pula manajemen diri dan waktu dengan baik. Sampai bertanya-tanya, kok bisa ya saat S1 dan koass kuat? Apa tidak pernah diuji sedemikian fisikku dan mentalku?
Tapi justru di titik ini aku belajar, suatu pelajaran penting. Ingatkah kisah tentang contoh mastatha’tum seorang syaikh, yang berlari sampai pingsan?
Di sini Allah sedang mengingatkan pertanyaanku ke seorang ustadz 2018 silam: bagaimana kita mengetahui batas kita dalam mastatha’tum ustadz?
Maret
Aku gagal menyelesaikan amanahku di komunitas yang kuikuti dengan baik. Adabku nampaknya perlu ditilik kembali.
Aku tidak bisa ikut rihlah dan menyelesaikan tugas akhirku di kelas tersebut. Pasalnya, setelah ke beberapa dokter di Indonesia, akhirnya orang tua membawaku ke Singapura untuk check up. Dan seperti cerita-cerita yang sering viral di sosial media, dokter di sana berbeda pendapat dengan dokter di Indonesia.
Aku dinyatakan berstatus “saat ini Anda sehat, tapi perlu pengawasan.” Suatu diagnosis abu-abu. Tidak dapat tegak, tapi juga tidak dapat dieksklusi. Menarik.
Siapa sangka, sebagai dokter aku justru jadi pelaku health tourism sebagai pasien? Ayah dan ibu berkata: kelak perjalanan ini pasti akan bermanfaat bagi kamu. Aamiin.
Oh ya di sisi lain, aku merasa gagal juga membuat orang tuaku bangga. Jadi sedih karena merepotkan. Terharu karena melihat sedemikian khawatirnya mereka.
April
Ternyata dalam bab ber-Qur’an pun, aku gagal mencapai target. Aku tertinggal jauh.
Kebanyakan alasan. Kebanyakan bermalas-malasan. Jaga lah, capek lah, badan sakit lah.
Tapi Allah kasih rezeki berupa Ramadhan. Dan Allah karuniakan rasa di hati: bagaimana kalau ini Ramadhan terakhirku? Itikaf terakhirku?
Rasa yang membuat bulan mulia itu begitu sulit dilepas. Alhamdulillah. Semoga kita tidak termasuk dari mereka yang mahjura terhadap Al-Qur’an.
Di kegagalan ini aku belajar tentang adab izin ke Allah: bahwa keikhlasan pun perlu diminta, keistiqomahan pun perlu diminta.. dan ternyata Qur’an memang jadi obat terbaik untuk sakitku.
Mungkin memang sebenarnya jiwaku ini yang banyak penyakitnya, ya.
Mei
Laju hidupku berubah ketika internsip periode rumah sakit selesai dan beralih ke puskesmas. Layaknya testimoni teman-teman, periode puskesmas akan lebih luang dan tidak melelahkan (dan membuat naik berat badan).
Tapi aku gagal menaikkan berat badan. Haha (naik sih, tapi turun lagi)
Memang tiga hari setelah pindah stase dari RS aku tidak nafsu makan. Aku hanya banyak menangis dan mencoba alihkan pikiran dengan game kucing. Haha.
Kenapa? Aku merasa gagal manajemen code blue dengan baik, di jaga malam terakhirku. Aku kehilangan seorang pasienku. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. Kepergiannya, kelak menjadi kebaikan bagiku (dan untuk almarhum lah, aku dedikasikan sertifikat ACLS-ku). Terima kasih Pak, semoga Allah lapangkan kuburmu. Al fatihah.
Juni
Lagi-lagi gagal untuk mengelola stress. Haha. Di bulan Juni aku mendaftar tes TOEFL iBT. Setelah memantapkan hati mendaftar LPDP. Tentunya belajarnya H-10 karena mepet. Akhirnya gejala sakit kemarin muncul lagi. Duh, Hab.
Sedih juga, karena gagal mendapat nilai yang kutargetkan, kurang 4 poin.
Tapi alhamdulillah, memenuhi syarat. Walau ujian sambil merasakan macam-macam gejala efek samping obat.
Juli
Gagal mengumpulkan berkas LPDP sebelum deadline.
Terbukti benar kata Ibu, perjalanan sakitku dari Januari membawa hikmah. Itulah yang menjadi kisah latar belakang di esai kontribusi, yang seakan Allah tunjukkan: ini nih my calling.
Tapi aku mengulur waktu, dan akhirnya baru mengumpulkan berkas di beberapa jam sebelum tenggat. Di mobil. Saat aku perjalanan dari Jakarta ke Jogja. Haha. Terbayang betapa tingginya adrenalin malam itu.
Agustus
Gagal juara 1 di lomba yang kuikuti.
Sakitku.. selain menghantarkanku untuk daftar S2 (ketimbang langsung PPDS/ kerja), juga menghantarkanku untuk mencoba banyak hal untuk menambah pengalaman di CV untuk persyaratan S2.
Termasuk ingin ikut berbagai mentorship dan lomba. Aku gagal daftar mentorship dan training Cochrane. Tapi aku akhirnya memberanikan diri mengikuti MIT Hacking Medicine di Bali.
Alhamdulillah, walau gagal juara 1, mendapat juara 3 dan mendapat pengalaman yang jauh lebih berharga dari piala itu sendiri. Oh ya dan mendapat teman-teman internasional juga.
September
Gagal rasanya ketika sempat ditegur konsulen karena scientific poster ku perlu berulang kali revisi.
Pengalaman pertama mengirimkan case report
Lalu kelelahan setelah lomba. Dan akhirnya September penuh dengan bolak-balik check up kembali.
Aku pun gagal manajemen emosi ketika harus sulit mengurus rujukan ke RS dan mengorbankan banyak hal.. lalu ketika di sana.. diperlakukan kurang sesuai ekspektasi oleh dokter.
Ternyata kekecewaan itu menjadi pengingat terbaik: oh ya, kalau jadi dokter, jangan seperti ini ke pasien.
Oktober
Gagal pakai software asli non-bajakan untuk mini project di Puskesmas. Huhu.
Ketika mini project, aku berkali-kali gagal menganalisis data. Bahkan beberapa jam menjelang presentasi, aku baru menyadari kesalahan krusial yang membuatku mengulang seluruh pekerjaanku haha. Panik.
Akhirnya aku refleksi dan istighfar, mungkin ini akibat SPSS bajakan. Jadi tidak berkah. Teringat peristiwa serupa saat skripsi, akhirnya menggunakan free trial (yang legal) baru berhasil.
November
Gagal menulis rutin di Tumblr. Gagal mengajar Quranic Arabic sampai tuntas.
Nampaknya bulan November merupakan bulan yang butuh ruhiyah yang lebih kuat. Segala persiapan S2, perpisahan, pindah kembali ke Jakarta setelah internsip, adaptasi hidup bersama orang tua lagi..
Dan aku rasa futur iman-ku, terbukti dari writer’s block yang cukup lama. Pun semangat mengajar juga redup. Meng-sedihkan diri ini.
Oh ya tapi ternyata tentang kegagalanku di Maret.. Allah masih menurunkan rahmat-Nya dan mengizinkan aku ikut kembali komunitas tersebut kembali. Menebus kesalahanku yang lalu. Ya Allah. Alhamdulillah. Semoga diridhai Allah dan guru-guru kami.
Desember
Dan kurasa kegagalan terbesarku adalah sempat merasa kehilangan arah. Kehilangan diri yang dulu.
Aku ingat ketika pertama kali dengar diagnosisku, duniaku seperti dalam kondisi pause. Aku takut bercita-cita. Aku takut menulis mimpiku lagi. Aku takut membuat rencana.
Di akhir tahun ini, akhirnya aku beranikan diri menulis kembali: cita-cita, rencana, dan mimpi. Dan yang utama, cita-cita bersama Al-Qur’an.
Guru kami berkata: untuk Al-Qur’an, jangan pernah takut bermimpi
Maka aku coba kembali, tertatih-tatih sekali pun. Dan ternyata dengan memberanikan diri merapikan rencana ziyadah, murajaah, tilawah, tadabbur.. menghidupkan kembali semangat diri untuk cita-cita yang lain.
Allahummarhamna bil Qur’an..
..Sepertinya masih banyak. Kegagalan-kegagalanku.
Tapi dengan segala kegagalan, aku bersyukur Ditipkan pelajaran bersamanya.
Dan bukankah itu kesuksesan? Ketika segala tinggi dan rendahmu, menghantar kepada syukur dan sabar ke Allah.
Semoga dimampukan ya, Hab.
Selamat mensyukuri “kegagalan”, semoga Allah takdirkan setelah dosa ada taubat, setelah kegagalan ada pelajaran.
-h.a.
Kalau kamu juga berbagi kegagalanmu, sertakan #perjalanankegagalan ya, siapa tau kita saling menemukan bahwa kita semua memang hanya manusia biasa
83 notes · View notes
tulisanditaputri · 4 months
Text
Sedikit Cerita Diri yang Terjebak di Sini
Tumblr media
Kala masih duduk di bangku sekolah, tak terpikir di dalam benakku untuk menjadi seorang tenaga kesehatan. Mimpiku adalah menjadi fisikawan atau matematikawan. Aku menyukai hitungan, tetapi benci akan hapalan. Aku juga takut akan darah. Alih-alih darah yang berceceran, setetes darah untuk pemeriksaan gula darah saja, mampu membuatku berkeringat dingin hingga jatuh pingsan. Ajaib bukan, jika sekarang aku malah menjadi seorang tenaga kesehatan yang katanya adalah garda terdepan. Inilah yang dinamakan takdir, bukan kebetulan.
Setelah melalui proses perkuliahan selama enam tahun dengan penuh perjuangan, aku akhirnya lulus menjadi dokter umum pada tahun 2015 dengan nilai pas-pasan. Aku mengawali karir sebagai dokter internsip di Kota Banjarbaru, kota kediaman. Selesai internsip 1 tahun, aku pun langsung berpindah ke Tenggarong Kalimantan Timur, untuk mengikuti suami dan mencoba mencari peruntungan. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk lanjut bekerja di salah satu klinik swasta. Jika ada pertanyaan, “Mengapa tidak bekerja di rumah sakit?” maka jawabnya adalah, “Aku tidak suka menangani kasus kegawatdaruratan.” Jika ada pertanyaan lagi, “Mengapa tidak bekerja di puskesmas?” maka jawabnya, “Aku sudah sempat melamar di sana, namun tidak ada panggilan.” Jika masih ada pertanyaan, “Mengapa tidak membuka praktik sendiri?” maka jawabnya, “Aku masih malas-malasan.”
Hampir empat tahun aku bekerja sebagai dokter umum di sebuah klinik dengan sistem jaga shift. Aku hanya menangani pasien saat jam jaga, kemudian pulang tanpa beban, dan mendapatkan gaji di akhir bulan. Rasanya cukup menyenangkan, sama sekali tidak ada tekanan, dan minim kelelahan. Bahkan saat pandemi Covid-19 melanda, pekerjaanku sebagai tenaga kesehatan masih terbilang santai. Maklum, aku bukan relawan, hanya dokter jaga klinik yang bisanya melakukan rujukan. Namun, mudah-mudahan tetap bisa membawa kebermanfaatan.
Cerita dimulai saat akhirnya ada penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) di Kabupaten Kutai Kartanegara. Jujur, diri ini kurang berminat untuk mengikuti. Namun, dikarenakan situasi dan desakan kondisi yang tengah terjadi, akhirnya aku memutuskan mencoba mengikuti tes CPNS tersebut. Aku sempat bimbang menentukan pilihan formasi saat itu, antara rumah sakit yang jaraknya dekat dengan rumah, ataukah puskesmas yang jaraknya cukup jauh. Entah mengapa, hati ini cenderung lebih memilih puskesmas. Akhirnya, kuputuskan untuk memilih formasi di puskesmas. Walaupun jaraknya terbilang jauh, setidaknya, bekerja di puskesmas dapat mengurangi paparan kasus kegawatdaruratan. Singkat cerita, atas kehendak Allah, aku lulus tes, dan mulai mengabdi sebagai dokter di puskesmas. Puskesmas Jonggon Jaya namanya, jauh lokasinya, sekitar 50 km dari rumah, dan perlu waktu tempuh kurang lebih 1 jam untuk sampai ke sana. Untungnya, rekan kerjanya ramah dan baik semua, meskipun bermacam-macam tingkah lakunya.
Kini, sudah berjalan dua tahun aku terjebak di sini, menjadi salah satu tenaga kesehatan di puskesmas pedesaan ini. Berbagai rasa dari sedih, kesal, senang, dan bahagia pernah dialami. Bekerja di puskesmas membuatku sadar jika seorang dokter di puskesmas tugasnya tidak hanya datang pagi, mengobati, kemudian berlalu pergi. Menjadi dokter puskesmas ternyata lebih dari itu. Saat bekerja di klinik, pasien datang dan pergi, lalu aku tidak tahu kabarnya lagi. Lain cerita dengan puskesmas, pasien datang dan akan kembali. Aku pun mulai mengenal beberapa pasien, menyelami karakter, hingga masalah yang mereka hadapi. Rumit, ternyata sakit itu tak sekadar sakit, tak cukup diberi resep dan diobati. Begitu kompleks berbagai permasalahan yang harus dihadapi dan turut andil dalam kesehatan seorang pasien.
Seorang dokter puskesmas tidak bisa bekerja sendiri, harus bahu membahu. Di puskesmas, semua orang memiliki andil yang penting. Tak hanya pegawainya saja, bahkan masyarakat pun harus turun tangan. Mengapa? Karena Puskesmas adalah Pusat Kesehatan Masyarakat, bukan pusat pengobatan masyarakat. Pengobatan hanyalah secuil bagian dari puskesmas. Keberhasilan upaya kesehatan bergantung pada masyarakat. Inilah sedikit cerita tentang diri, awal kisah dari tulisan yang nantinya akan dibagi.
“Tidak ada yang terjebak. Semua telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.”
3 notes · View notes
rahadisiwi · 2 years
Text
Pijak Pijar Pudar
Bagian satu : Kembali ke Hulu
Kereta api Wijayakusuma seakan membelah terik matahari di tengah sawah dan ladang yang begitu luas di sudut kabupaten Jawa Timur. Sebuah kota kecamatan kecil yang menyepi sejak beberapa jam lalu setelah adzan dzuhur dikumandangkan. Panas siang itu begitu membakar kulit, membuat semua orang sejenak berteduh di bale-bale. Namun tak butuh waktu lama untuk membuat mereka kembali turun ke sawah dan ladang, melawan kemalasan, demi mengisi perut mereka dan anak-anak mereka. Sesulit apapun cuaca tidak akan menghentikan langkah mereka karena tersemat sebuah tanggung jawab untuk menghidupi keluarga.
Padma semula termenung menyaksikan pemandangan para petani yang beristirahat di bale-bale tepi sawah. Tangannya menarik turun roller blind jendela, lalu menghempaskan punggungnya ke kursi kereta yang dingin. Sudah beberapa jam matanya enggan terpejam padahal perjalanan masih belasan jam lagi.. Ia gusar. Pikirannya melayang kesana kemari membayangkan apa yang akan terjadi ketika ia menjejakkan kaki di rumah. 
Di dalam ranselnya tersimpan rapi beberapa surat yang membayarkan jerih payahnya selama setahun ke belakang. Surat tanda registrasi, surat tanda selesai internsip, dan banyak lagi lembar-lembar lain yang sudah digandakan menjadi beberapa salinan dan dimasukkan rapi ke dalam amplop coklat. Padma tinggal menuliskan surat lamaran kerja kemanapun tempat kerja yang dia inginkan.
Padma, seperti ratusan dokter baru lulus lainnya, baru saja menyelesaikan kewajibannya untuk melaksanakan program internship. Program mengabdi, menyumbangkan waktu dan tenaga untuk membantu mengurangi carut marut sistem kesehatan di Indonesia. Tapi baginya, program ini bagai wahana yang penuh kemelut dan huru-hara sebuah fase pendewasaan; belajar bekerja.
Pemikiran-pemikiran teoritis dan idealismenya dimentahkan dengan kenyataan pahit yang ia temukan di lapangan. Sehari-hari ia bergelut dengan keluh kesah pasien, dosis obat-obatan, serta istilah medis dalam kata-kata sederhana yang sekuat tenaga ia pelajari sambil menjaga kewarasan. Rasanya sulit sekali bagi Padma untuk meneruskan pekerjaan. Ia tidak membayangkan seumur hidup harus bergelut dengan hal yang sama, dari pagi hingga petang. 
“Sudah nak, pulang dulu saja. Kita bicarakan di rumah ya. Kalo dari telepon ndak enak dengernya. “ Suara lembut ibu yang berusaha menenangkan Padma terngiang di telinganya. Percakapan yang terjadi beberapa minggu lalu sukses membuat Padma terjaga sepanjang perjalanan.
“Mbak, nanti kalo udah selesai ishipnya mbalik ke rumah ya. Bapak udah telepon temen bapak di UGM biar nanti gampang pas kamu ndaftar.”
“Pak, kalo Padma nggak lanjut PPDS gimana?”
“Lho maksudmu piye?”
“Padma mau kerja dulu aja pak.”
“Kerja gimana maksudmu? Wes to, nggak usah pake kerja nggak papa. Nanti kalo lama kerja jadi males sekolah. Mumpung masih muda segera sekolah, cepat lulus, nanti nerusin klinik bapak“ Nada bicara bapak di telepon meninggi begitu mendengar Padma menolak keinginannya. Padma sudah tahu pola keinginan bapak yang menginginkan anak semata wayangnya kembali ke kota T untuk menyiapkan diri dan meneruskan pendidikan spesialis di UGM, almamaternya. Persis seperti dirinya dulu. 
“Tapi pak,Padma masih mau nyari pengalaman dulu.”
“Halah pengalaman opo to. Nggak ada gunanya. Nanti malah susah sekolah kamu, liat aja. Wes pokoke pulang dulu.”
“Nggih pak.”
Padma terdiam. Ia memutar otak mencari cara untuk menghindari amarah bapak jika tahu anaknya tidak ingin lanjut PPDS. Hari hari terakhirnya ia gunakan untuk memikirkan segala kemungkinan yang bisa ia lakukan dan menyiapkan kata-kata untuk menjawab bapaknya.
Tapi hingga kini, isi kepalanya masih kusut masai. Ia belum juga menemukan cara. 
Beberapa jam lagi, kereta WIjayakusuma akan berhenti di stasiun Jogjakarta. Bapak dan ibu sudah menunggu di parkiran mobil, menunggu anak semata wayangnya.
…..
 *ppds : program pendidikan dokter spesialis
Bagian kedua : Wahana Pertama. Selamat bermain!
Tring!
Sebuah notifikasi email masuk ke dalam gawai Padma. Keringat sebesar bulir jagung mengalir dari dahinya ketika ia melihat header undangan interview di sebuah perusahaan asuransi swasta. Entah bagaimana ia meminta izin ke orang tuanya untuk melangkah ke ibukota. Padahal baru beberapa bulan lalu dia kembali ke rumah setelah setengah tahun mencoba menapak karir sebagai asisten penelitian.
Padma teringat waktu yang ia habiskan untuk mendaftar berbagai pekerjaan dan perusahaan yang ia lamar. Beberapa lowongan  grup pencari kerja, aplikasi dan iklan yang tersebar di internet menyesaki daftarnya. beberapa sudah dicoret dari daftar. beberapa digarisbawahi. 
“Lah kamu juga sih, ngapain sih pakai kerja segala. kan enak tinggal ikut ayahmu. Latihan di klinikmu sendiri, tahun depan daftar sekolah. Selesai.” Utari mengomel ketika Padma curhat melalui telepon tentang kebingungannya yang ingin pergi ke Jakarta. 
“Nggak mau aku jadi spesialis. Capek. Liat bapak kerja kayak gitu ga pernah istirahat”
“Nggak ada kerja yang ga capek lah gila. Udah harusnya kamu tuh bersyukur.”
“Aku jadi dokter aja nggak ngikutin kata hati. nyesel aku sekarang ga ada bahagia-bahagianya. Ngikutin kata bapak tok. Capek.”
“Ya Allah bocah. kamu tuh jalannya udah terang, jelas, tinggal ngikut. Dikira gampang apa sekolah spesialis. Orang-orang rebutan mau jadi darah biru nyari koneksi segala macam demi bisa masuk, ini malah nolak. Asli ga waras.” Nada bicara Utari bersungut. Padma tahu betul kesulitan yang dialami sebagai anak orang biasa, muggle. Ia bekerja banting tulang lebih dari 40 jam perminggu untuk menabung pundi bekal pendidikan spesialis, sekaligus mencari rekomendasi.
“Kemarin magang apa kabar tuh? Resign juga kan?”
Enam bulan lalu ia habiskan di bawah bimbingan dr Mawar, dosen spesialis mata di Kota S. Ayahnya mengizinkan pekerjaan pertamanya sebagai asisten penelitian karena dianggap bisa memberikan rekomendasi dan pengalaman ilmiah untuk Padma.
Berhari hari ia terkurung di dalam lab memelototi mikroskop dan data di layar laptop, lalu menyajikannya dalam bentuk kalimat yang enak dibaca. Padma bagai dikejar deadline setiap waktu untuk membaca dan mengedit jurnal serta artikel, yang kemudian dipublikasikan. Dokter Mawar tidak ada ampun. Artikel miliknya harus selalu siap disajikan sebelum akhirnya dicoret dengan berbagai revisi dari beliau. namun Padma hanya bisa bertahan beberapa bulan. Lama kelamaan kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang setiap keluar lab. Ia mulai muak setiap melihat coretan garis garis besar di naskah artikelnya yang harus diperbaiki. Ritme kerja dokter Mawar yang disiplin membuat ia kesulitan untuk istirahat dan mengambil jeda.
“Iya resign. Nggak kuat aku. dokter Mawar demanding banget.”
“Terus sekarang kamu mau kerja kantoran? yakin? Hahahaha.” Tawa sinis Utari terdengar dari seberang telepon.
“Harusnya kamu bantu aku nyari cara gimana ngomong ke bapak.”
“Satu saranku, udah, ikuti aja kata bapakmu.” “Nggak mau. Udah ya kalo nggak bisa ngasih saran. Pokoknya yang penting udah puas aku cerita. Bye.” Padma menutup telepon, menghela nafas panjang, sebelum melangkah ke meja makan.
Di meja makan, ibu sibuk menata piring dan lauk pauknya. Bapak belum sampai ke rumah. nampaknya makan malam akan mundur menjadi jam 8 malam kali ini.
“Bu, aku mau wawancara kerja di jakarta.”
Ibu berhenti menyendokkan nasi ke piring Padma dan menoleh. 
“Buat apa nduk?” Ekspresi kecewa tidak bisa hilang dari wajah ibu. Dia tidak habis pikir mengapa anak semata wayangnya begitu nekat untuk mencoba berbagai pekerjaan yang tidak jelas ujungnya.
“Ya nyoba kerja bu. Nanti Padma di perusahaan asuransi gitu. Kantoran.  Bantu ngomong sama bapak ya bu.”
“Kan ibu sudah bilang, manut bapakmu aja. Kerja itu nggak gampang. Yakin kamu bisa betah kerja di Jakarta?”
“Kan ibu tau sendiri kalo aku nggak mau spesialis.” “Wes bilang sendiri sama bapak. Nanti ibu bantu pas ngobrol.”
Tak lama bapak pulang dari praktik sore dan bergabung dengan Padma di meja makan. Tanpa banyak bicara bapak melahap nasi yang disajikan ibu. Kelihatan sekali bapak begitu lelah dan kelaparan setelah bekerja. Sedangkan Padma sibuk menyusun kata-kata dan mencari momen yang tepat untuk berbicara ke bapak. Ibukota selalu terlihat seram dan menakutkan untuk orang-orang yang tinggal di daerah. Baik persaingannya, lingkungan kerja, ataupun pergaulannya. Ia yakin sekali bapak tidak akan mengijinkan dia untuk melangkah ke Jakarta. 
“Bapak. Kalo aku kerja di Jakarta boleh kah?”
Seketika bapak langsung meletakkan sendok dan garpu, berhenti mengunyah dan menolehkan wajah ke arah padma.
“Nggak. Nggak boleh.”
.....
Bagian ketiga : Melawan
Jakarta memiliki kilau cahaya sore yang berbeda dengan kota-kota lainnya. Entah bagaimana caranya ribuan partikel polusi yang memadati langit membuat warnanya berubah dari hari ke hari.Ribuan manusia seakan tidak beranjak dari kesibukan dan tempatnya masing-masing meskipun langit semakin muram. Usia mereka perlahan disedot oleh kesibukan, macet dan polusi ibukota.
Begitupun dengan Padma. Setelah melihat dari dekat, ibukota yang awalnya berkilau dan menyenangkan perlahan menunjukkan gelap dan suramnya. Antusiasme yang awalnya menyertai setiap langkahnya semakin lama semakin menghilang. Setiap hari selalu ada saja hal baru yang membuat ia mengeluh. Ia tidak tahu apalagi yang bisa membuat ia bertahan.
Padma menghela nafas sambil memberesi ice box berisi beberapa vial vaksin yang sudah kosong. Pasien dan ibunya baru saja mengorder layanan vaksin home care dari startup tempat Padma bekerja sekarang. Sambil menanti gojeknya datang, Padma menghubungi beberapa orang dan mengakses aplikasinya untuk menandai bahwa ia sudah menyelesaikan tugasnya. 
Jadi maumu apa?
Bahkan masa probation di perusahaan asuransi kemarin tidak bisa diselesaikan karena merasa tidak cocok dengan desk job - pekerjaan di balik meja. Padma bisa mati kebosanan jika harus menghabiskan waktu sembilan pagi hingga lima sore untuk bertahan di depan komputer untuk mengecek dan verifikasi segala klaim yang masuk. Perasaan seru dan tertantang hanya muncul di dua minggu pertama probation, sedangkan sisanya harus dia selesaikan dengan susah payah. 
Hidup itu bukan trial and error
Padma tidak bisa terus menerus hidup dalam Trial and error seperti ini
Semua langkah yang Padma ambil setahun belakangan benar-benar muncul dari keinginannya sendiri. Tetapi entah mengapa akhirnya selalu menyedihkan dan tidak sesuai ekspektasinya. Rasanya hidupnya kini benar-benar tidak menentu. Kegagalan yang terjadi di langkah-langkah sebelumnya membuat ia semakin banyak berpikir dan takut melanjutkan karirnya.
Jadi apa sih yang dikejar?
“Dadi bocah kok sak karepe dewe!” Lagi, perkataan bapak terngiang di telinga Padma. Secuil rasa sesal diam diam menyelinap ke dalam hatinya. Jangan-jangan perkataan bapak memang benar. Jadi apakah ia harus mengikuti apa kata bapak? Ia teringat kata-kata ibunya yang susah payah meyakinkan bapak ketika menguping di balik pintu. Ibu adalah satu-satunya orang yang bisa melunakkan keras kepala dan ego bapak hingga akhirnya mau melepas Padma hidup di Jakarta. dengan satu syarat, jika gagal lagi, maka ia harus kembali ke rumah.
Setelah resign dari perusahaan asuransi, Padma bekerja sebagai vaksinator homecare untuk mengisi waktu luang. Beberapa bulan bekerja pun ia mulai merasa bosan dan tidak bisa maju.  Beberapa kali ia berusaha mengambil seminar dan workshop kedokteran untuk memperkaya CV. Ia masih tidak tahu apa yang dia mau. Kepercayaan diri untuk membangun karir sendiri perlahan pupus ketika satu persatu langkahnya menemui kesulitan.
CV yang disusun demikian indah itu dikirimkan Padma ke beberapa perusahaan. Ia melihat beberapa temannya yang sukses menapaki karir sebagai dokter perusahaan. Hanya bermodalkan sertifikat hiperkes, mereka dapat menabung hingga cukup lumayan untuk melanjutkan studi selanjutnya. Kehidupan yang nampak menyenangkan itu menarik hati Padma untuk berjalan di jalur yang sama.
Dua, tiga bulan berlalu, masih belum ada yang memanggilnya untuk interview. List perusahaan yang membuka lowongan dokter mulai berkurang. Surel penolakan mulai menumpuk di kotak surat Padma. Ia mulai bosan dan lelah menunggu kepastian. Nampaknya, ia kembali menapak jalan yang salah.
“Soalnya pengalaman kerjamu jelek.” Lagi-lagi perkataan tajam Utari membuyarkan lamunan Padma.
“Ya siapa juga yang mau punya pegawai yang resign di setiap kerjanya setelah 3-6 bulan. Kutu loncat mah kalo kata anak sekarang.”
“Terus aku harus gimana sekarang?”
“Udahlah ikutin kata bapakmu aja.”
“Iya ya?”
“Udah dibilangin dari dulu kok. Kerasa kan sekarang?”
“Tapi aku nggak mau jadi klinisi.”
“Sak karepmu wes”
Sayangnya kepala Padma begitu keras seperti batu. Keras kepala Padma tidak lain menurun dari bapaknya. Semakin keras bapaknya memintanya untuk kembali, semakin keras pula ia menolak. Padahal terang sekali Padma menemukan kesulitan. Dan Ibunya pun sudah berkali-kali memintanya untuk kembali ke rumah karena tidak tega melihat anak semata wayangnya kesulitan. Meskipun putus asa, pantang buatnya untuk menjilat ludah sendiri.
Ibarat batu bertemu dengan batu, sama sama keras. Tinggal menunggu salah satu pecah duluan. Entah itu Padma, atau bapaknya.
.......
Bagian keempat : Membentuk Batu
Siapa yang tidak kenal dokter Wiguna. Dia adalah spesialis mata satu satunya di kota T. Sudah lebih dari 20 tahun ia menetap di kota T untuk membaktikan seluruh energi dan ilmunya di kota kecil yang diapit pegunungan itu. Pagi harinya dihabiskan untuk menangani semua pasien mata di RSUD setempat. Sore dan malam harinya dibagi di dua tempat, sebuah RS swasta dan klinik di rumah. Sebuah klinik spesialis kecil dibuka di sebelah rumah untuk membantu beberapa orang yang tidak sempat ke RS. Kadang, ia menggratiskan pengobatan untuk orang-orang tidak mampu. Bahkan menerima bayaran dalam bentuk apapun. Hal ini membuatnya dikenal dan dihormati oleh penduduk kota T.
Ia dilahirkan di keluarga petani di kota kecil yang suram. Seperti klise keluarga petani kebanyakan, beranak banyak, miskin, tidak berpendidikan dan menggantungkan hidup pada hasil bumi. Sebagai sulung dari tujuh bersaudara ia terbiasa mengalah untuk adik-adiknya. dari sesepele potongan telur terkecil hingga peralatan sekolah, selalu ia berikan ke adik-adiknya. tetapi kehidupan keras itulah yang menempanya menjadi seorang yang tidak mau menyerah.
Agaknya sifat keras kepala dan tidak mudah menyerah yang membawanya ke nasib baik.Setelah diasuh oleh saudara jauh yang berada, Wiguna dapat bersekolah di salah satu universitas terbaik saat itu, dengan beasiswa pula. Ia lulus tepat waktu dan menjadi tangan kanan seorang spesialis terkenal di universitas itu. Lagi-lagi dengan keberuntungan yang sama, Wiguna berhasil lanjut ke pendidikan spesialis dan melanjutkan bekerja di kota kelahirannya. Ia bertekad untuk membawa nasib yang lebih baik ke keluarga kecilnya dan tidak akan membiarkan mereka menderita.
Sifat keras kepala itu terang saja diturunkan ke anaknya, Padma. Tetapi sesungguhnya Padma kecil bukanlah anak yang pemberontak. Ia manis, penurut dan tidak pernah membantah kata-kata orangtuanya. Tipikal anak impian yang bisa dibanggakan di pertemuan keluarga manapun. Sebagai anak tunggal, Padma selalu berusaha memenuhi apapun keinginan orang tuanya karena tidak ada lagi yang bisa melakukannya.
Untung saja ia dilahirkan dengan otak yang cukup mumpuni. Ia bisa tembus ke berbagai sekolah favorit di kotanya tanpa banyak usaha. Lama-lama, menjadi yang terbaik adalah sebuah keharusan baginya. Segala perintah dan didikan disiplin Wiguna dengan patuh dilakoni oleh Padma. Tetapi tentu saja dengan reward yang pantas di setiap pencapaiannya, Padma tidak pernah berkekurangan. Tidak ada satu alasan pun yang cukup membuat Padma melawan bapaknya.
Kelembutan ibu menjadi satu-satunya penawar lelah Padma. Kata-kata bapak yang selalu tegas dan keras, berhasil diterjemahkan menjadi lebih lembut oleh ibu. Ibulah yang menjadi perantara keras kepala Padma dan Bapak. Ibu selalu ingin Padma menjadi wanita yang lembut dan penurut. Segala watak keras Padma dinetralkan oleh ibu. Sehingga yang muncul di permukaan adalah diri Padma yang begitu penurut.
Manis, penurut, pintar, dan berprestasi ; sebuah citra diri sempurna yang dibentuk Padma di mata bapak, keluarga, dan teman-temannya. Ekspektasi tertinggi orang tuanya selalu bisa ia penuhi.
Padahal tekanan besar itu perlahan membuat retakan di hati dan mental Padma.
.....
Bagian kelima : Langkah awal kebebasan
Ratih mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur di meja nakas. Di sampingnya Wiguna masih menggulir gawainya, membalas beberapa pesan konsul dari RSUD tempatnya bekerja. Ratih menyelipkan diri diantara selimut tebal untuk melawan dinginnya hawa malam kota T. 
“Pak, gimana kabar Padma ya?” Ratih menerawang ke langit-langit kamar.
“Mbuh, salahe dewe ngeyel..” Wiguna tidak mengalihkan pandangannya dari gawainya.
“Terakhir katanya lamaran kerjanya ditolak lagi.”
“Ben. Biar dia belajar kalo kerja itu susah.”
“Masih punya uang buat makan kan dia. Pasti stress banget dia.”
“Kan aku udah bilang Bu, dia bisa kapan aja mbalik ke rumah kok.”
“Uwes to pak. Anak itu nggak usah dipaksa.”
“Orang tua mau yang terbaik buat anaknya lak yo wajar to bu. Kurang opo sih sakjane. Padma tinggal nglakoni aja to?”
“Ya tapi kan anak juga punya keinginannya sendiri to pak.”
“Padahal anaknya dulu manut, nggak pernah ngeyel. Kok bisa sekarang membangkang begitu.”
Pikiran Wiguna melayang ke beberapa tahun lalu ketika Padma meminta ia untuk diijinkan kuliah di kota S. Hari itu adalah pertama kalinya putri semata wayangnya yang cerdas dan penurut itu mengajukan keinginannya untuk kuliah di tempat yang jauh. Jauh, lebih dari 10 jam perjalanan dari rumahnya. 
“Boleh ya pak?” Padma menunduk dan menggigit bibir. Pertama kali dalam hidupnya ia mengajukan permintaan seberat itu. Pikirannya kacau dan ruwet. Ia sibuk mengatur kata-katanya agar tidak membuat bapaknya marah. Sejujurnya kuliah jauh hanyalah muslihat Padma agar lepas dari pengaruh dan pengawasan bapaknya. 
Tentu saja Wiguna akan meminta Padma untuk kuliah kedokteran. Siapa lagi yang akan mewariskan posisi spesialis di RSUD dan klinik pratama kalau bukan dia. Wiguna sudah beberapa kali menolak spesialis-spesialis baru itu untuk memberikan tempat buat anaknya. 
Dalam beberapa tahun ke depan Padma digadang akan menggantikan posisi bapaknya. Tentu dengan kemampuan yang mumpuni, karena Padma begitu cerdas.
“Aku tetap milih kedokteran kok pak.” Ujar Padma singkat untuk menghapus keraguan bapaknya.
Sedikit perasaan kecewa muncul di hati Wiguna karena Padma tidak mau melanjutkan kuliah di almamaternya dulu. Tetapi untungnya universitas di kota S juga memiliki kualitas yang bagus. Mungkin belajar di tempat yang jauh akan melatih kemandirian putrinya. 
“Boleh.” Hanya sepatah kata tegas yang muncul dari Wiguna. Singkat, tapi cukup memberi pengertian ke Padma. Tentu saja ia menyambut keputusan ayahnya dengan gembira.
Artinya mulai besok Padma akan bebas. bebas menentukan jalan sendiri. Kebebasan yang begitu mahal buat Padma.
Kebebasan untuk mengambil langkah.
.....
Bagian keenam : Jatuh
Padma menghempaskan badannya di kasur kos-kosannya yang sempit. Dari jendela, nampak langit Jakarta mulai berubah kemerahan dengan sorot cahaya yang menguning. Ditiliknya lagi surelnya, berharap satu undangan interview muncul agar dia bisa melanjutkan karirnya dan resign dari pekerjaan vaksinator yang memuakkan ini.
Nihil.
Yang muncul malah permintaan vaksin lain dari keluarga yang rumahnya beberapa belas kilometer dari kos-kosan Padma. Dia tahu bekerja itu melelahkan. Tetapi tidak ada jalan keluar yang muncul di hadapannya saat ini.
Hal paling menyebalkan dari proses menjadi dewasa adalah bertanggung jawab. Bertanggung jawab terhadap pilihanmu, maupun terhadap ekspektasi orang lain. Ketika kita tumbuh dewasa, kita selalu dihadapkan oleh berbagai pilihan untuk menjalani hidup. semua orang berharap kita memilih opsi paling baik dan paling sempurna. Ketika kita memilih jalan yang salah dan akhirnya terjatuh, semua orang akan menyalahkan kita. Tetapi ketika kita memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan orang, muncul orang-orang yang akan menyalahkan kita karena menjadi terlalu berbeda dan tidak memenuhi ekspektasi mereka.
Saat ini satu-satunya harapan Padma untuk melanjutkan karir hanyalah interview pekerjaan. Jalan satunya, adalah menempuh jalan milik bapaknya. Sebenarnya jalan yang diberikan oleh bapak adalah tipikal jalan karir anak spesialis kebanyakan. Sama seperti Padma, mereka menanggung ekspektasi yang begitu besar di pundak mereka untuk meneruskan nama dan profesi keluarga. Padma melihat banyak teman senasib dengannya ketika berkuliah. Darah biru, begitu orang orang menyebutnya. Terutama darah keturunan profesor atau staff yang turun temurun mengajar dan memimpin universitas. Anak, menantu, sepupu maupun cucu, semuanya memiliki profesi yang sama. Beberapa teman sekelas Padma benar-benar mewarisi otak encer jenius keluarganya dan menjadi bintang di angkatan. Sedangkan beberapa nampak keberatan dengan segala tekanan yang ada di pundak mereka. Beberapa sering gagal di ujian, bahkan terlambat lulus. 
Sesungguhnya Padma bukan membenci aktivitas sebagai klinisi. Ia hanya tidak ingin menjadi seperti Bapak. Sejak kecil ia memandang bapak sebagai dokter terhormat dan disegani. Tetapi saking sibuknya, waktu yang dihabiskan keluarga menjadi semakin sedikit. Jam makan malam di keluarga mereka harus diundur sampai jam 8 malam demi menunggu bapak selesai praktek. Bahkan terkadang Padma dan ibu harus makan duluan karena bapak baru pulang jam 10 malam. Kesempatan untuk berlibur bersama keluarga harus dibabat habis karena tidak ada dokter yang bisa menggantikan bapak. Waktu istirahat beliau kadang terganggu karena sering sekali menerima telepon konsulan. Tetapi karena dedikasi dan tangan dingin bapak, segala masalah kesehatan mata di kota T menjadi baik. Jarang sekali ada warga kota T sampai harus ke ibukota provinsi untuk berobat. Akibat terburuknya tentu saja keluarga yang dinomorduakan setelah pasien. Padma menjadi tidak dekat dengan bapaknya.
Tiba-tiba gawai Padma bergetar menampilkan kontak ibu di layar
Dari seberang telepon, terdengar isak dan sengal ibu. Bahkan ibu tidak menjawab salam Padma.
“Nak, pulang sekarang ya…”
“Kenapa bu?”
“Bapak terserang stroke.”
Kaki-kaki dan tangan Padma seketika seperti kesemutan. Kepalanya melayang, pandangannya menjadi buram. Kontrol terhadap gerak badan dan tubuhnya hilang.
Rasanya seperti jatuh dari ketinggian.
......
Bagian ketujuh : Ia menyuruhmu kembali
Bus malam yang melaju di tol trans jawa mengembunkan dinginnya AC di kaca jendela. Seluruh penumpang bus yang hanya 6 orang sudah terlelap, kecuali Padma. Matanya seakan menolak untuk terpejam. Dipeluknya ransel hijau kesayangannya untuk menghilangkan dingin yang menusuk pori-pori kulitnya. Segala skenario terburuk sekaan dimainkan berulang kali di kepalanya. 
Bagaimana kondisi bapak? Apakah bapak sudah sadar?
Bagaimana dengan ibu?
Bagaimana kalau bapak meninggal dunia? Apa yang harus aku dilakukan?
Ibu! bagaimana kondisi ibu? Pasti beliau panik.
Bunga mawar merah putih bercampur dengan wangi kenanga yang menusuk ditaburkan di atas tanah merah yang masih basah. Nisan kayu dengan nama dokter Wiguna tertancap di kedua ujungnya. Padma menatap nanar seluruh pelayat yang berpakaian serba gelap. Dilihatnya wajah ibu yang menangis di pinggiran makam. Tidak bergeming dari posisinya sejak setengah jam lalu. saudara-saudara ibu menepuk pundaknya dan membujuknya untuk pulang. Di jalan, Padma melihat berbagai papan karangan bunga dari orang-orang penting memadati jalan pinggir rumah. Sinar matahari yang mulai terik memaksa mata Padma untuk terpicing.
Padma terbangun ketika sinar matahari yang menembus kaca jendela memaksanya untuk membuka mata. 
Ah, mimpi.
Pak Darno, perawat kepercayaan bapak menjemput Padma di terminal. Perjalanan dari terminal menuju rumah sakit hanya membutuhkan waktu sepuluh menit. Di bangsal naratama, dokter Wiguna terbujur di brankar, tertidur pulas. Beberapa alat dan selang infus terpasang di lengannya. Padma melihat ibunya, dengan mata merah dan rambut kusut masai, menggenggam tangan bapak di samping tempat tidur. Beberapa kali ibu mengangkat telepon kerabat dan teman bapak yang mengucapkan keprihatinannya. Para spesialis RSUD kota T menjenguk beberapa kali. Padma, tentu saja termenung di kursi pengunjung, sibuk mencerna apa yang terjadi.
“Dokter Wiguna tiba-tiba pingsan di rumah ketika selesai praktik. Untung bu Ratih segera membawa beliau ke rumah sakit.”
Tengkuk Padma berdesir ketika mendengar cerita Pak Darno di perjalanan menuju rumah sakit.
“Ada pembuluh darah otak yang pecah. Kayaknya karena tensinya tinggi. Kamu tahu kan, pak Wiguna punya darah tinggi?” Tidak. Batin Padma. Ia sama sekali tidak tahu kalau bapaknya sudah lama menderita hipertensi.
“Untung perdarahannya tidak banyak, jadi tidak perlu operasi. Cuma pak Wiguna lumpuh total badan sebelah kanannya.”
“ya Allah…” hanya satu kata yang bisa keluar dari bibir Padma. Ia benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Jadi aku harus bagaimana?
Kalut. Padma bingung. Otak dan perasaan bagai ruwet tak beraturan saling memaksa untuk diperhatikan terlebih dahulu. Pandangannya kosong tetapi otaknya riuh dan gemuruh. Padma tidak sanggup mengucapkan apapun yang ada di kepala. Takut melukai ibu, takut air matanya menetes. Mimpi-mimpi buruknya terputar ulang dalam ingatannya. Sejak awal sebenarnya pikirannya sudah semrawut tentang karir. Ditambah lagi tentang keluarga. Rasanya sungguh melelahkan jika tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal itu.
Tangan hangat ibu memeluk pundak Padma yang masih mematung di ruang tunggu. 
Pelukan memiliki sebuah energi magis yang bisa meredam semua emosi yang meluap-luap sekaligus menghilangkan kekhawatiran. Sebuah gestur sederhana yang bisa memaksa otak untuk mengeluarkan hormon cinta dan melepas stress. Seperti saat ini, segala emosi dan kesedihan ibu langsung tersampaikan ke Padma. Setitik air mata jatuh ke pundaknya.
“Udah nak, di rumah aja ya. Ibu takut kehilangan bapak. Ibu takut kehilangan kamu..”
Tiba-tiba sebuah perasaan berat menghantam dada Padma. Air matanya berderai. Perasaan sakit dan takut ibunya seperti godam yang memaksanya untuk sadar dan membuka mata lebar-lebar. Cita-cita, keinginan, dan egonya yang begitu keras dan kaku dengan mudah rontok menjadi pecahan yang jatuh di kaki-kakinya.
Padma adalah anak tunggal. Di pundaknya tersangga sebuah harapan besar untuk meneruskan keluarga dan membawa nama baiknya, beserta harapan dan kebahagiaan keluarga. Harapan satu-satunya. Cita-cita satu-satunya.
Tapi di lubuk hati paling dalam, Padma takut kehilangan bapaknya.
Bagian Kedelapan : Kusut Masai.
Proses rehabilitasi pasca stroke selalu membutuhkan waktu yang lama. Vonis dokter mengatakan jika dokter Wiguna tidak mungkin lagi mengangkat scalpel. Untuk berdiri, makan dan beraktivitas saja beliau perlu dibantu. Sedangkan operasi mata membutuhkan kelincahan dan kestabilan tangan. Untung saja dia masih bisa berbicara dan mengobrol meskipun pelan-pelan. Padma harus bolak balik rumah sakit untuk mengurus kelengkapan pengobatan bapak. Sedangkan ibu tidak pernah sekalipun meninggalkan sisi bapaknya sambil menenangkan hatinya.
Dalam sekejap karir dokter Wiguna hancur. Pelayanan kesehatan mata di kota T menjadi kacau. Poli mata RSUD yang awalnya ramai oleh pasien mendadak sepi dan pasien harus dialihkan ke kota sebelah untuk berobat. RS swasta pontang-panting mencari pengganti dokter Wiguna untuk mengisi jadwal poli dan melakukan operasi. Klinik di rumah terpaksa ditutup. 
Padma sedang menempelkan sebuah kertas pengumuman di kaca depan klinik di rumah ketika sebuah kendaraan bermotor memasuki halaman klinik. Seorang ibu membonceng anaknya yang menangis kencang di jok belakang sambil memegang matanya yang ditutup sebuah kain.
“Ibu ngapunten prakteknya pak dokter buka?”
“Mboten bu, pak dokter sakit. Sementara klinik tutup dulu sampai dokter Wiguna sembuh. Pripun bu sinten sing sakit?” Padma mengintip kain yang menutupi mata anak 9 tahun tersebut. Anak itu menangis kesakitan dan menepis tangan Padma. Ketika berhasil dibujuk oleh ibunya, perlahan ia melepas penutup matanya.
Sebuah kail pancing tersangkut di permukaan bola matanya. 
Pak Darno yang semula sibuk merapikan dan membersihkan alat-alat di poli ikut melihat dan memeriksa anak itu.
“Ibu ngapunten, pak dokter masih sakit. Sebenarnya darurat dan harus diambil itu kailnya, kalau tidak diambil bisa infeksi. Sepertinya harus operasi. Tapi njenengan harus ke kota sebelah bu.” 
“YaAllah pak, ini nggak papa kan tapi?”
“Ini saya bantu bersihkan sekitar luka sama saya tutup kasa steril bu, tapi njenengan tetap harus ke IGD kota sebelah.”
Sambil menunggu pak Darno mengeluarkan set alat dan membersihkan luka, Padma mencari obat anti nyeri di gudang belakang. Paling tidak, obat itu akan menahan rasa sakit sampai anak itu mendapatkan pertolongan.
“Kalo sama pak Wiguna langsung dikerjakan ini mbak Padma. Kasus seperti ini sering sebenarnya di sini.”  Pak Darno melepas pasien tadi setelah menolak uang yang diberikan oleh ibu pasien. Ia menghela nafas panjang dan membereskan peralatan yang digunakan. Padma menghitung seberapa banyak masyarakat yang akan kehilangan pertolongan ayahnya di situasi sulit seperti ini. 
“Banyak sekali petani yang kesini karena kelilipan damen. Kadang kena kulit kayu. Bukan cuma pasien refraksi dan katarak saja.”
“Mbah-mbah sepuh yang kesini kadang nggak kuat mbayar. Pak dokter menggratiskan bahkan beberapa ada yang dibantu biaya biar bisa dioperasi.”
Di kepala Padma, image bapak yang keras dan disiplin bertabrakan dengan cerita yang disampaikan oleh pak Darno. Meskipun keras, banyak sekali pasien yang tertolong dan mendapat kebaikan dokter Wiguna. Seperti dua sisi koin, Padma sejak kecil hanya melihat ayahnya yang keras, disiplin dan sibuk sampai tidak punya waktu untuk keluarga. Di sisi lainnya, bapak adalah seorang dokter yang lembut, ikhlas menolong dan mau membantu yang tidak mampu.
“Mbak Padma tahu alasan kenapa pak Wiguna jadi spesialis mata dan menetap di sini?”
“Mboten pak.” 
“Memang mata itu organ yang kecil, jauh dari nyawa. Tetapi begitu hilang, kualitas hidup orang bisa begitu menurun. Orang desa kadang nggak punya akses ke rumah sakit dan pasrah ketika sakit mata. Pak Wiguna mau membuat mereka bisa melihat lagi, lancar bekerja, dan bisa beribadah dengan baik. Senang sekali lho mendengar mbah-mbah sepuh bisa kembali membaca Al Quran. Padahal awalnya tidak bisa melihat sama sekali.”
Padma membayangkan begitu banyak pahala dan doa yang mengalir dari setiap pasien yang bisa kembali melihat dan beribadah dengan baik. Sebuah perasaan aneh mengaliri sekujur tubuh Padma. Ia merinding mendengar tujuan mulia bapaknya. Sekarang terang sekali alasan mengapa bapak memintanya untuk meneruskan cita-cita bapak. 
Seperti mendapat cahaya penerang, Padma yang awalnya begitu galau dan bingung tentang kelanjutan karirnya kini sudah mengerti. Kebingungannya sirna.
Ia tahu apa yang harus dilakukan
Bagian ke 9 : Jalan tengah
Sisi cantik dari kota T yang selalu dirindukan oleh Padma adalah kualitas udaranya. Tidak perlu perjalanan jauh dan liburan ke kota lain untuk mendapatkan hawa segar dan sejuk. Cukup membuka jendela lebar-lebar di pagi dan sore hari. Pemandangan pegunungan dan sawah hijau di kaki-kakinya menjadi pelengkap satu scene indah yang menentramkan jiwa.
Padma menutup laptopnya dan membereskan print out tugas kuliah. Esok jumat ia harus melanjutkan perjalanan kembali ke rumah setelah menghabiskan hari-hari kerja di kota Y untuk menyelesaikan thesis S2nya. Tidak lupa sebuah pesan singkat dikirimkan ke ibu, mengabarkan kepulangannya. Tak sabar rasanya menghirup segar udara rumah yang mendinginkan pikiran dan hatinya.
Dokter Wiguna sudah mulai pulih. Meskipun tidak bekerja di rumah sakit lagi, beliau masih mengisi praktek di klinik bersama beberapa dokter spesialis yang lain. Klinik sederhana di depan rumahnya berubah menjadi rumah sakit kecil dengan jumlah pasien yang jauh lebih banyak. Ia menghabiskan masa tuanya tanpa perlu khawatir tentang nasib putrinya. 
….
“Bapak ibu, Padma mau bicara.” Sore itu ibu dan bapak sibuk bercengkrama di teras rumah sambil menikmati teh hangat. 
“Ya nak?” 
“Padma mau kuliah S2 saja. Manajemen RS pak. Nanti biar Padma yang urus klinik bapak. Bisa sambil kerja di RS sini juga.”
“Remeh memang pak, tidak sehebat menjadi spesialis. Padma tidak mau jadi klinisi kalau harus mengorbankan waktu Padma bersama keluarga.”
Dokter Wiguna tidak bergeming. Sejak terserang stroke, ia tidak lagi mengharapkan banyak hal. Ia hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarganya di masa senjanya. Tidak lagi memaksa Padma untuk mengambil alih jalannya yang membuat Padma makin menjauh. Ia sadar, jarak antara dirinya dengan putrinya sudah begitu jauh karena kesibukannya. 
Air mata ibu menetes. Di hadapannya, dua orang dengan ego yang sama sama tinggi malah berlomba menurunkan dan memecah ego masing-masing. Ibu sadar betapa banyak keinginan Padma yang harus dikalahkan demi menemani orangtuanya.
Padma menunduk dalam-dalam. Segala rencana yang dia siapkan untuk melanjutkan karir di rumah siap dimuntahkan ke depan orangtuanya. Ia bertekad untuk membangun klinik menjadi lebih besar lagi dan menggandeng beberapa spesialis lain. Tujuan mulia dokter Wiguna tidak boleh berhenti begitu saja ketika dia terserang stroke. Harus ada yang memikulnya dan membawanya ke tempat lebih tinggi. 
Selain karir ada satu hal lagi yang menjadi pembelajaran besar buat Padma. Ia adalah tumpuan keluarga. Masa depan dan cita-cita keluarga. Kebanggan. Keluarganya adalah satu-satunya tempat ia pulang. Bapak ibunya adalah rumah. Sejauh mana dan setinggi apa dia terbang, akhirnya adalah rumah. Padma lah yang menjadi satu-satunya penerus yang wajib merawat rumahnya. Merawat bapak dan ibunya di masa tuanya tanpa harus mengabaikan mimpi-mimpinya. 
Di jalan tengah itu Padma tidak harus memilih antara keluarga atau karirnya. Keduanya berpijar terang, memandu Padma untuk berjalan tanpa harus takut dan tersesat. Ujung jalannya nampak begitu jelas dan indah. Jalan berliku yang gelap sudah ia lewati dengan penuh air mata. Ketakutannya pudar.
Dan kini, kakinya mantap melangkah.
3 notes · View notes
hydrangeaungu · 1 year
Text
Halo, orang baik.
Sudah bulan Oktober. Oktober ke 2 tanpa kamu.
Kenapa ya sekarang bulan Oktober jadi bulan tersedih. Rasanya masih sama, rasa yang paling aku benci. Kamu pernah ngerasain gak ya? Perasaan deg deg an akan ditinggal seseorang selamanya. Seperti kita sudah tahu bahwa ini gak akan selamat tapi kita masih berharap ada keajaiban. Kadang kalau teringat itu aku merasa bodoh.
Emang bener ya, dokter gak akan bisa mengobati keluarganya atau orang terdekatnya kalau lagi sekarat. Gak objektif. Hilang akal sehat.
Oh iya, aku mau cerita. Mungkin dari alam sana kamu pun bisa lihat kali ya. Atau mungkin gak tahu. Aku gak tahu kan kondisi di alam sana hehehe. Jadi, kamu sudah punya cucu hahaha. Ponaan kamu sudah melahirkan bayi laki-laki yang lucu kemarin. Bulan oktober juga.
seperti malaikat kecil yang dikirim Allah untuk menggantikan kamu di keluargamu
Sebentar lagi, 14 Oktober. Aku sudah berusaha melupakan tanggal itu, agar hidupku baik baik saja. Tapi ternyata tidak bisa. Belum bisa.
Maaf, aku masih kalah. Aku masih menangis, meski tidak lagi tersedu. Aku menangis karena rindu, aku tidak akan memintamu kembali lagi. Aku sudah tidak meminta kepada universe bahwa ini hanya prank. Engga.
Dan aku hampir menyelesaikan internsip ku. Kamu pasti sangat bangga.
Aku sangat rindu.
Aku rindu dimarahin sekaligus dikuatin dalam waktu yang sama.
Aku rindu. Sungguh.
1 note · View note
juundiii · 1 year
Text
#SesiCurhat 1
Bukannya gapunya tempat untuk curhat, tapi kayaknya bakal asik curhat di sini, karena yakin gabakal ada yang baca sih, jadi yok mulai!
Ngga kerasa udah 6 bulan internsip berjalan, rotasi puskesmas udah lewat dan sekarang mulai jalan di rotasi rumah sakit. Beda. Banget. Rasanya. Asli deh, rotasi puskesmas dan rumah sakit tuh betul-betul kerasa banget bedanya, dari mulai pola pikir kita sebagai dokter, obat-obatannya, keluhan medis pasien-pasiennya, tujuan terapinya, dan yang paling penting intensitas kerja dan tekanan kerjanya.
Sebelumnya Alhamdulillah dulu, ternyata 6 bulan di puskesmas bisa berjalan dengan baik tanpa masalah sama sekali, bisa survive dengan baik, bahkan tiap ketemu orang puskesmas selalu dapet pujian deh kelompokku, "kelompok yang sekarang mah beda dok dari sebelumnya, terdebest", padahal mah apa atuh kita juga bener-bener santai terus selama ngejalaninnya. Tapi ya, jangan terlalu keras sama diri sendiri sih, yuk apresiasi udah berhasil lewat 6 bulan pertama internsip ini. Yuhu!
Nah, sekarang masuk ke paruh kedua internsip, rotasi rumah sakit, yang lebih berat, lebih kompleks, lebih capek daripada rotasi puskesmas. Kembali ke settingan awal deh, rasa deg-degan, takut salah, takut gabisa, takut ini, takut itu, ya namanya juga momen 'pertama kali', pasti selalu ada aja rasa-rasa yang familiar kayak begitu. Bisa ga ya? Bakal survive ga ya? Bakal ngelakuin kekonyolan-kekonyolan dan kebodohan-kebodohan ga ya? Duh jadi takut deh. Tapi itu semua manusiawi, serius deh jun. Hajar aja udah, jalanin, tuntasin! Pasti lewat, dan pasti dapet banyak hal kok, percaya deh!
Ngga ada di pikiran awalnya, bakal nyampe di titik ini, soalnya dulu aja waktu ukmppd rasanya kayak menang lotre gitu loh, belajar ukmppd pas-pasan banget, engga jor-joran kayak temen-temen lain. Habis hari-h ujian pasrah aja deh, udh mikirnya "ah ga bakal lulus ini mah... tapi pengen lulus ya Allah :(", ya gitu deh, pengen yang terbaik tapi rasanya engga juga ngelakuin yang terbaik. Tau-tau tanggal pengumuman ukmppd, deg2an banget. Ngga ada tuh kepikiran bakal liat kata "lulus" di list nama peserta. Udah setengah hati aja liat pengumumannya. Ya tapi tetep, pas mau buka pengumuman, bolak-balik buka filenya, exit lagi, buka lagi, exit lagi, alias takut banget huhuhu. Tapi akhirnya memberanikan diri, dan ternyata hal yang ngga disangka-sangka tulisannya "LULUS". KAGET PAKE BANGET. Awalnya speechless, terus baca ulang, terus tiba-tiba udh ngalir aja tuh air mata. Rasanya campur aduk banget. Isi pikiran cuma, "ya Allah, ini beneran lulus? Emang aku pantes buat lulus ya? Usahanya aja setengah-setengah tapi kok lulus sih ya Allah? Tapi Alhamdulillah banget sih ya Allah, tapi aku harus ngerasa gimana ini ya Allah? Bingung rasanya campur aduk banget :(".
Ya gitu deh. Dan ternyata ke sini-sininya bener aja, kita akan menuai hasil sesuai apa yang udah ditanam di awal. Kalau usahanya setengah-setengah, ya sekarang saatnya ngerasain dampaknya. Ngerasa tertinggal sama yang lain walaupun sama-sama udah lulus ukmppd. Perasaan-perasaan seperti "kok aku kayaknya belum belajar itu ya? Kok yang lain tau tapi aku engga ya?". Yah aku sendiri pasti udah tau jawabannya sih. Paling tau jawabannya. Harusnya sih kompetensinya sama, tapi ya gitu, salah sendiri. Tapi sekarang saatnya, yuk bisa yuk! Selama di rotasi rumah sakit waktunya belajar banyak. Jangan males! Jangan dinanti-nanti belajarnya! Maksimalin mumpung banyak yang ngajarin!
SE-MA-NGAT !!!!!!
0 notes
mediaban · 1 year
Link
Kemenkes minta jaminan kepala daerah di Lampung atas keselamatan dokter magang usai 2 orang dianiaya oleh pasien di Puskesmas Pajar Bulan.
0 notes
vailifia · 2 years
Text
Aku baru nonton sumpah dokter FKKMK UGM ya ihh kerennn bangett mereka. Aku tau nyampe dititik sampe dokter itu engga gampang dimana koas+ internsip aja 2 tahun lebih plus kuliah 3.5 tahun. Makannya engga jarang yg kuliah FK itu anak pure blood atau emang darah orkay. Eitsss tapi aku tadi lihat ada sekitar 5-8 orang yang dari darah orang biasa bukan dari orangtua berhaji/berpangkat/bergelar. Ada beberapa juga berpakaian yg sederhana kebaya biasa,ada yg udah yatim, dsb. Walau sedikit populasi seperti mereka tapi justru itu yg membuat berbeda dari fakta umumnya. Orang biasa aja bisa kamu juga harusnya bisa! Orang itu klo mau berusaha keras pasti bisa entah hasilnya cepat atau lambat tapi usaha itu pasti benar akan memberi hasil (jangan menilai hasil itu dari waktu dan manisnya saja!)
....
Kalau boleh berharap dan meminta kepada sang Ya Ilmi aku meminta untuk bisa menjadi salah satu seperti mereka, yang berusaha keras engga minder walaupun bukan dari keluarga yg berkecukupan. Mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat agar ilmu itu agar bisa disampaikan lagi kepada orang" yg membutuhkan dan berguna untuk sekitar.dan menjadi syafaat di akhirat kelak.
0 notes
beritanews · 2 years
Text
Bengkulu Terpilih sebagai Lokus Pengabdian 43 Dokter Baru, Gubernur Rohidin Pesankan Ini
Bengkulu Terpilih sebagai Lokus Pengabdian 43 Dokter Baru, Gubernur Rohidin Pesankan Ini
BERITA.NEWS, Luwu – Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melalui Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI) telah memilih Bengkulu sebagai lokus pengabdian bagi 43 dokter baru. Nantinya 43 dokter ini akan bertugas di wahana kesehatan seperti Rumah Sakit dan Puskesmas di 4 kabupaten. Yaitu di Kabupaten Seluma, Bengkulu…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
deepreliefjournal · 7 years
Text
Udah Satu Tahun Aja.
Hi! Welcome back to my channel! (lah? youtuber?)
Hahaha. Kebanyakan nonton youtube jadi gini nih.
Sebelumnya mohon maaf (seperti biasa) atas lenyapnya aku dari dunia tumblr ini dalam jangka waktu yang lumayan lama. Karena ketidak-konsisten-an ku untuk menulis. Dan karena banyaknya kewajiban lain selain menulis. Mungkin moment-moment lain tidak cukup menarik atau tidak cukup memorable untuk aku tulis, atau tidak cukup waktu? atau moment nya dirahasiakan? atau ditunda tunda terus nulisnya, atau gimana? Ah sudahlah banyak alasan. Ya pokoknya intinya gak konsisten. Titik.
Kepanjangan ya openingnya... *krik*
Kedatanganku kali ini dengan sebuah cerita yang bisa membuat aku segera menulis di tumblr. Berarti cerita nya memorable banget dong? Iya lah. Tentu. Kalo nggak bisa taun depan kali baru nulis lagi. Hehe
Dulu aku pernah nulis tentang cerita internsip ku kan? Tapi seingetku itu udah awal tahun, jaman nya masih jaga IGD, 4 bulan pertama internsip. Sekarang? Sekarang wes rampung mba’e... Tadinya niatnya mau nulis di setiap stase selama internsip. Stase rawat inap setelah IGD, lalu puskesmas. Tapi apa daya, wacana tinggal lah wacana. 
Kemarin abis acara perpisahan di Rumah Sakit, hari terakhir sebagai Dokter Internsip di RSUD Bangkinang. Nggak usah ditanya perasaannya. Campur aduk. Sedih, seneng, lega, takut dll dsb. Tapi bisa dipastikan perasaan terbesar adalah sedih. Either sedih karena bakal meninggalkan temen-temen, suasana rumah sakit, atau sedih karena abis ini pengangguran. Hehe
Gimana nih La, kesan nya selama 1 tahun internsip di Bangkinang?
Ini pertanyaan kayak pertanyaan di video yang aku buat kemarin buat ditampilin di acara perpisahan. Di video aku gak bisa ngomong panjang lebar. Tapi aku ingin menulis panjang lebar disini! *evil laugh*
Setahun aku menjalani internsip di Bangkinang, mungkin nggak sama rasanya sama temen temen lain yang merantau jauh dari rumah selama internsip. Bangkinang cuma 1,5 jam dari rumahku. Jadi wajar menurutku banyakan suka nya ketimbang duka nya, karena deket rumah, mengurangi setengah beban selama internsip. Beda sama temen-temen yang jauh dari rumah.
Emang bener kata orang-orang terdahulu (terdahulu internsipnya maksudnya), internsip itu enak nggak nya bukan ditentuin dari wahana nya, tapi dari orang-orang kelompoknya. Yaa, wahana jelas tetap memberi pengaruh. Tapi kalo temen temennya enak, ya bakal enak aja ngejalaninnya. Temen-temen yang enak bukan berarti temen temen yang tanpa cekcok, tanpa perbedaan pendapat, tanpa perang dunia, tanpa ke-julid-an. Ini perkara otak 21 anak manusia, 21 latar belakang berbeda yang harus dijadikan satu, lho! Beda pendapat pasti. Tapi satu hal. “you’ll never know how much something means to you, until they’re gone”. And i just realized it. Di akhir perjalanan selama 1 tahun ini, rasanya semakin berat. Bahkan mereka belum gone, but i know i will definitely missing them.
They’re unique on their own way. Mungkin itu yang akan bikin kangen. 
Kak Winda yang keibuan, yang selalu dijalan yang benar, yang banyak skip kalo ada acara karena alasan suami dan anak, partner jagaku sebulan pertama, izin per dua jam buat pumping, terniat dan tertotal orangnya.
Mas Feb. Nah ini. Di awal awal kenal diem banget blasss! Apa aja juga iya, ga bisa nolak, pemalu, gak enakan. Tapi di akhir-akhir, wah julid juga ternyata. Diem, tapi sekalinya ngomong, ngakak juga.
Tara. Yang paling banyak diidolakan kaum pria. Selo aja tapi selalu yang terdepan beres nya kalo ada tugas-tugas.
Ega. Ya ini ga usah dijelasin lah ya. Hidup aku sama dia terus. Di cerita manapun ada dia.
Nanda. Cem-cemannya Mas Feb, malu malu tapi mau kalo udah dicengin. Orang ini tiap bulan ada aja acaranya. Ke jakarta, ke medan, ke aceh. Sampe hari terakhir aja masih bayar hutang jaga.
Repi. Temen sekelas SMP yang lama menghilang, ketemu lagi di isip. Anak ini yang mulutnya paling blas kalo ngomong, cuek, di akhir-akhir suka sibuk ngurusin nikahan.
Rian. Si ketua kelompok besar, asli orang ocu. Ini yang kerjaannya ngomel mulu, marah-marah mulu di grup, sama kerjaannya tebar umpan. Eh saking banyaknya nebar umpan, jadi terciduk kan yan? Makanya satu satu aja.
Kak Ica. Kecil ukurannya, banyak makannya, melengking suaranya. Ini dia!
Itang. NAH! Satu-satunya saudara se-per-trisakti-an. Tercemas, terpanik, terngocol, terbebas, terngartis, termusisi, dan dirindukan semua orang. Pas masuk rawat inap, yang ditanya perawat haikal. Masuk puskesmas, yang ditanya haikal lagi.
Yusni. Penunggu IGD. Pagi siang malam pagi lagi siang lagi, malam lagi, di IGD terus. Terbetah di IGD. Terseksi juga. Sendirinya nggak kerudungan. Kalo datang ke IGD selalu paling on. Rambut warna, lipstik cerah, blush on menyala, eyeliner on fleek. Terdandan.
Kiki. Ter-bebas dan ter-selo kalo ini. Apa aja oke, apa aja iya, apa aja mau, apa aja ngikut. Ter-tanpa konflik mungkin saking bebasnya. Ikut angin aja ya ki?
Reyhan. Udahlah ya yang ini juga gak usah dijelasin. 4 bulan pertama jaga ketemu nya dia lagi dia lagi. Jaga, makan, nongkrong, gosip. Salah satu orang yang bisa mengerti maksud aku tanpa harus aku jelaskan.
Kak Dila. Sosok misterius di awal kehidupan internsip nih. Di grup diam, jarang ketemu di RS. Tapi di akhir, ternyata julid. Hebring. Terdepan kalo udah urusan joget jogetan.
Mumu. Si arab yang kalo orang nggak kenal pasti ngiranya songong. Padahal aslinya nggak. Mungkin tegas.
Irwin. Dokter Line Today. Siapa yang nggak kenal Irwin? Urusan muka gak usah ragu lah. Ter-obgyn kalo irwin. Ter-selebgram juga. “La, bilang ya kalo mau instastory, harus cool soalnya.” ucapan yang paling aku ingat.
Ika. Si tunggal yang galak, cuek, tapi hatinya hello kitty. Yang ga disangka malah nangis pas kemarin perpisahan. Sempet melewati masa diet ketat tapi akhirnya sirna diujung internsip. Sama sepertiku. WKWK.
Kak Wika. Kita jarang ketemu ya kak, jadwalnya gak pernah bareng. Jarang ikut acara acara juga karena bolak balik pku-bangkinang setiap hari.
Kak Zenny. Yang paling diem versi cewek. Yang pusing duluan kalo udah mulai rencanain pake baju warna samaan.
Bang Rahmat. Dulu di awal serem sama bg rahmat soalnya suka marah marah di grup. Tapi di satu kesempatan nebeng pulang ke pku sama bg rahmat ternyata bg rahmat tidak semenegangkan itu. Justru fun! Tapi memang punya jiwa pemimpin dan calon legislatif yang besar didalam dirinya. wkwk
Bang Jul. Maskot internsip angkatan 5. Semua yang berasal dari bang jul lucu. Sekian.
Nah, selain mereka-mereka ini, isi rumah sakit dan suasana nya juga bakal bikin kangen. Orang-orang IGD terutama. Kakak kakak, abang-abang yang udah kayak sobi sendiri. Dan tentunya, makan-makannya! Selama aku 8 bulan di Rumah Sakit, IGD lah yang paling sering makan makan. Kangen BHD juga, kangen insenda, kangen uang jaga malam. Wkwk.
Guys. Terima kasih sudah menjadi orang asing yang pada akhirnya menjadi orang-orang terdekatku selama 1 tahun ini. Meski selama setahun ini banyak yang terjadi, mungkin kita pernah berbeda, mungkin kita pernah tak seirama, tapi kalau kata dokter Ica, itu romantika nya. Toh di akhir semua berakhir bahagia, semua saling lupakan cela, semua menjadi tak ingin cepat berpisah. Mungkin akan beda cerita kalau internsip ini 2 tahun, 3 tahun atau seterusnya. Tapi, 1 tahun ini cukup membuat aku akan rindukan kalian. Dari yang pada jaim sampe gak tau malu. Terima kasih untuk sharing ilmunya, lece-lece nya, jalan-jalan nya, jokes recehnya yang meskipun receh tapi tetep ketawa, dan semua yang udah kita jalani bersama.  
Once Pooh said, “How lucky I am to have you that makes saying goodbye so hard”. 
Then, I’m the lucky one!
See you on top, guys! Lancar-lancar semua rencana kalian kedepan. Semoga pengalaman kita 1 tahun ini cukup menjadi bekal buat perjalanan panjang kita didepan sana. Semoga komunikasi tetap terjaga ya!
*EH! BAYAR UANG KAS JANGAN LUPAAA! (trust me, kalian akan merindukan teriakan ini di grup nanti.)
Tumblr media
^bersama Pak Direktur RSUD Bangkinang & istri, serta dokter Pembimbing
Tumblr media
^Angkatan 5
Tidak. Jangan salah sangka. Kami bukan pegawai rumah makan S*derhana.
Btw,  klik link ini buat nonton video yang aku bikin buat ditampilin pas acara perpisahan kemarin. Tapi failed karena sound nya jelek. Tapi semoga ini bisa jadi kenang-kenangan buat kalian dari aku ya! Semoga berkesan! ;) 
Tambahan :
sedih tadi pagi nggak bisa ikut main main dan pamit terakhir kali di RS. Di grup line pada ngirimin foto foto terakhir. Ini nih yang bikin kangen. Kelakuannya. Suka alay. :’)
Tumblr media
2 notes · View notes
mhsnax · 7 years
Text
Keputusan
Beres kuliah mau ngapain?
Mungkin itu pertanyaan yang ada di pikiran setiap orang yang baru selesai kuliah, termasuk saya. Setelah hampir 6 tahun kuliah (3,5 tahun S1 ditambah 2 tahun kepaniteraan klinik, dan beberapa bulan persiapan UKMPPD), akhirnya saya bisa mendapatkan tambahan dua huruf konsonan di depan nama saya. Butuh perjuangan yang tidak mudah untuk menyelesaikan kuliah saya ini, jadwal yang padat, materi yang berat, ujian yang sulit dan banyak konflik internal yang dialami sepanjang perjalanan hampir membuat saya ingin berhenti dan tidak melanjutkan kuliah. Tapi berkat dukungan orang tua dan teman-teman, niatan untuk berhenti itu urung dilakukan. 
Kembali ke pertanyaan tadi, mau ngapain? Bagi teman-teman yang kuliah di jurusan lain mungkin sebagian besar jawabannya langsung cari kerja. tapi tidak bagi lulusan kedokteran. Langsung berpraktek sebagai dokter setelah selesai kuliah itu hanya angan-angan saja. Sebelum bisa membuka praktek mandiri, seorang dokter yang baru lulus harus mengikuti program internsip terlebih dahulu. Program Internsip Dokter Indonesia adalah program pemerintah yang mewajibkan dokter-dokter yang baru lulus untuk “magang” di RS dan puksesmas di seluruh daerah di Indonesia selama 1 tahun. Ya, internsip tanpa H seperti layaknya internship. Disini kita sebagai dokter diperkenalkan dengan dunia kerja dokter yang sesungguhnya, dengan tanggung jawab penuh sebagai seorang dokter. 
Nah, untuk mengikuti program internsip ini juga tidak semudah atau secepat yang dibayangkan. Setelah dinyatakan lulus UKMPPD, masih harus menunggu sekitar 6 bulan lagi untuk bisa mulai mengikuti internsip. Kok lama ya? Tentu lama karena untuk mengikuti internsip harus memiliki beberapa berkas, seperti ijazah, sertifikat kompetensi, dan surat tanda registrasi (STR), yang memang proses pengurusannya membutuhkan waktu yang cukup lama dan dilakukan secara bertahap. Setelah itu, kita harus mendaftar dan memilih wahana internsip secara online. Disini kita bebas memilih tempat internsip yang kita inginkan, tentu harus bersaing dengan lulusan dokter-dokter baru dari universitas lain se-Indonesia.
Dan muncul lah pertanyaan lain:
Mau internsip dimana?
Selama menunggu pengumuman kelulusan UKMPPD, saya pun mulai mencari informasi mengenai wahana-wahana internsip yang bisa saya pilih. Karena saya ikut UKMPPD periode Agustus 2017, berarti saya baru bisa ikut internsip periode Februari 2018, lumayan ya 6 bulan jadi beban negara alias pengangguran. Awalnya saya berencana untuk memilih wahana internsip di Garut, selain karena disuruh orang tua, juga karena dekat rumah dan tidak usah bingung memikirkan biaya hidup karena masih tinggal serumah dengan orang tua. Pilihan lainnya jatuh pada wahana lain di Jawa Barat seperti Sumedang, Bogor, atau Sukabumi dengan pertimbangan masih dekat jika ingin pulang ke Garut atau Bandung. Selama beberapa waktu saya mantap dengan pilihan saya tersebut, Namun entah bagaimana ceritanya tiba-tiba terbesit di pikiran saya untuk memilih wahana di luar Jawa barat atau bahakan di luar Pulau Jawa. 
Saya pun mencari-cari informasi mengenai wahana internsip di luar Jawa Barat. Pilihan pertama yang muncul di pikiran adalah Yogyakarta. Entah kenapa saya saya suka sekali suasana Yogyakarta yang menurut saya menenangkan hati, sama seperti Bandung. Namun sayangnya, hanya ada 2 wahana yang dibuka di Yogyakarta untuk internsip periode Februari dan dengan review yang kurang baik untuk kedua wahana tersebut, akhirnya saya batal memilih Yogyakarta sebagai kota yang akan saya tinggali selama setahun kedepan.
Saya mulai berpikir untuk mencari wahana di pulau Sumatera, entah itu Padang atau Batam. Namun karena berbeda regional dengan lokasi universitas saya, maka saya letakkan pilihan wahana Padang dan Batam di urutan terakhir karena kesempatan saya untuk mendapatkan wahana disana sangat kecil. Sebagai informasi, pemilihan wahana internsip dibagi menjadi 3 term, pada term pertama kita bisa memilih wahana yang berada di satu provinsi yang sama dengan lokasi universitas kita dengan kuota sebanyak 60%, term kedua kita dapat memilih wahana yang satu regional dengan universitas (tahun ini dibagi 2 regional, Regional Sumatera dan Regional Jawa-Kalimantan-Bali-Nusa Tenggara-Sulawesi-Maluku-Papua) dengan kuota 20%, sedangkan di term ketiga kita bisa memilih wahana dimana pun di seluruh Indonesia tanpa memperhatikan asal universitas.
Dari review yang saya baca dan berbagai macam pertimbangan, akhirnya saya memutuskan untuk memilih wahana di Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Bali. Untuk wahana internsip di Nusa Tenggara Timur, ada beberapa wahana yang menjadi pertimbangan seperti Maumere, Soe, Betun, dan Waingapu. Untungnya saya punya teman yang sedang internsip di Maumere, jadi bisa bertanya mengenai kehidupan internsip disana. Karena informasi mengenai wahana lain terbatas, saya hanya memfokuskan pada satu wahana saja, Maumere. Secara umum, intersip di Maumere menyenangkan, begitu katanya. Diiming-imingi insentif dan uang tambahan serta berbagai objek wisata yang bisa kita kunjungi selama setahun tinggal di Maumere berhasil memantapkan saya untuk memilih wahana disana.
Rencana saya untuk tinggal setahun di sebuah daerah yang sangat jauh dari rumah, tidak berani saya ungkapkan ke orang tua, karena pasti kemungkinan besar tidak akan diizinkan. Walaupun dari SMA saya sudah tinggal sendiri jauh dari rumah, tapi tidak pernah sejauh ini (bagi yang belum tau Maumere ada dimana, bisa lihat peta di bawah). Akhirnya saya baru membicarakan pilihan saya ini dengan orang tua menjelang pemilihan wahana. Awalnya sempat berat hati memberikan izin anaknya untuk pergi jauh, tapi karena saya bandel ya mau tidak mau dikasih lampu hijau juga. Jadilah mantap pilihan saya untuk merantau ke Maumere, meninggalkan Bandung dan rumah dengan segala kenangan di dalamnya.
Tumblr media
Sampai hari pemilihan wahana, setiap ditanya mau internsip dimana, saya selalu jawab “Maumere”. Entah, merasa tidak punya pilihan lain selain Maumere. Banyak yang kaget dan mengira saya hanya bercanda. Tapi setelah mereka percaya kalau saya benar-benar memilih Maumere, mereka malah tambah kaget, emang yakin mau tinggal di tempat yang jauh dari “kota”? begitu lah kebanyakan komentar teman-teman yang bertanya. Ya, walaupun Maumere jauh dari apa yang mereka sebut “kota”, lingkungan dan budaya yang benar-benar baru bagi saya, saya tetap yakin memilih Maumere. Semoga pilihan saya ini tepat.
p.s.: sebenarnya tulisan ini rencananya akan dipost sebelum pemilihan wahana, namun karena kemalasan yang luar biasa, akhirnya baru bisa dipost sekarang.
3 notes · View notes
hafiffas · 3 years
Text
Generalis x Spesialis
Melengkapi perseteruan duniawi tentang hal di atas, ada beberapa sudut pandang menarik yang saya ambil dari diskusi dengan rekan sejawat.
Semua ini berawal dari pertanyaan:
"Sebenernya kamu ingin sekolah spesialis tujuannya apa? Ingin lebih bermanfaat? Gengsi? atau merasa lebih Prestige daripada 'sekedar' dokter umum?"
Pertanyaan tsb seraya menghujam jantung, berputar-putar di pikiranku, pagi siang malam, bangun, tidur, bangun lagi.
Sementara itu, saat preklinik dan klinik, pikiran kita hampir semua terfokus pada satu tujuan, hidup mati harus spesialis, harus, dan seakan lingkungan sangat mendukung untuk terwujudnya mimpi tersebut.
Semasa internsip mulailah muncul jalan-jalan lain pengabdian diri, disini pikiranku 'dipaksa' untuk terbuka lebar-lebar.
Ada yang tetap idealis memilih jalan spesialis, ada yang memilih jalan lain. Beberapa teman melanjutkan S2 hukum kesehatan, manajemen rumah sakit, dan masih banyak lagi.
Ada juga yang memilih jenjang dokter polisi dan militer, yang sebelumnya bahkan tak pernah sekalipun ada opsi tersebut di pikiran mereka sebelumnya.
Ada yang memilih menjadi dokter klinik, RS, CPNS, Nusantara Sehat, rumah khitan pribadi, bahkan ada rekan sejawat yang dengan gagah membuka praktek pribadi di atas kakinya sendiri.
Mengutip pendapat sahabatku:
"Dari awal lulus, sudah aku putuskan jadi dokter umum selamanya. Aku buka praktek pribadi, melayani pasien di pelosok-pelosok desa yang terbatas fasilitas kesehatannya. Yang penting tujuan kita membantu, uang akan mengikuti"
"Yaaa planning jangka panjang mau diperluas jadi klinik, membuka lapangan pekerjaan untuk orang, sekaligus memperluas kebermanfaatan dalam bidang-bidang lain."
"Sampai kapan tubuh kita mampu bekerja sebagai pekerja? Kalau kamu punya klinik, kamu bisa menebar kebermanfaatan lebih dengan adanya poli multiprofesi daripada spesialis yang hanya ada di bidangnya. Ada keluarga karyawan yang terbantu secara finansial untuk tetap bisa menyambung hidup."
Usaha yang dirintisnya 2 tahun sudah menjangkau 100 pasien/hari, dengan salary hampir 10x lipat dokter jaga IGD RS di kota ini.
Namun bukan hanya tentang sebuah salary, tapi juga kebermanfaatan yang lebih luas, dan waktu bersama keluarga yang lebih leluasa.
-Sebuah Sudut Pandang
4 notes · View notes
aaequanimitas · 4 years
Text
Fam (2)
Kemarin sudah nyeritain soal papa dan bagaimana aku mengagumi sifat es batunya itu. Sekarang saatnya, kisah tentang peleleh es batu itu. Yash, Mama.
Aku tuh, mama versi kedua haha. Kuakuin, sifatku banyak menurun dari Mama. Mama tuh, kebalikan 180 derajat banget dari papa. yeah, mama sangat talkative alias cerewet banget, tiada hari tanpa berbicara banyak dan cepat, tiada hari tanpa bersosialisasi, tiada hari tanpa telpon sana sini hanya untuk ngobrol dengan saudaranya atau teman temannya. Mama adalah kebalikan Papa. Kalau papa sedingin es, mama se hangat air panas (?) Entahlah haha.
Mama, sangat perhatian dengan anggota keluarganya. Mungkin, saking ‘perhatian’nya, kadang kalo lagi bete, terkesan ribet. Yeah. Bulan ini, aku harus pergi ke kota lain untuk internsip. Umur 24 tahun, sudah lulus dokter, mau pindahan aja masih ditelponin kosan kesana kemari, ember masih dibawain dan dicariin di sini, masih dianterin rame rame dan dipastikan di kota lain tidak terdampar, masih dikhawatirin gimana nanti aku makan, cari laundry, belanja bulanan dll. Well, ngga ada bedanya dengan aku yang berumur 17 tahun, 7 tahun yang lalu, yang lagi pertama kali merantau di semester 1. Well, anak akan tetap menjadi anak dimata seorang Ibu bukan? Dan omong omong soal merantau, setiap aku pulang, pasti mama akan nyuruh aku untuk ngelist pengen dimasakin apa aja. Dan sebanyak apapun aku nge list, pasti dimasakin!! (Tapi kemarin ketika calon mantu kesayangannya yang pulang, list ku tergeser dengan listnya sisi sebelah :( Oh God!! Anak lanang at its finest!)
Mama itu lucu. Kadang aneh, dan itu nurun ke aku. Mama bilang, suka orang dingin, karena misterius, ingin menantang diri buat ‘gimana caranya bikin orang pendiem, dingin, cuek jadi bisa banyak ngomong dan perhatian?’. Mama ngga suka cowo cerewet, karena bakal nyaingin ngomong. Aku juga wkwk. Mama suka nyetir, aku juga. Mama suka makan, apalagi aku. Ya, banyak yang nurun emang. Gen mama dominan bung!!
Mama itu tipikal cewek cewek dominan, ngga suka gabut. Apa yang dia mau, harus kejadian. Apa yang dia bilang, harus iya. Tapi aku salut, mama bisa meredam egonya untuk sekolah lagi dikarenakan merawat adekku yang qadrarullah berkebutuhan khusus. Setelah adekku sudah gede kayak sekarang dan kondisinya membaik, mama pun ngga mau gabut. Doi cari kegiatan. Dari lari pagi di stadion, mencari teman baru, masak untuk keluarga (ya, meski dirumah ada ART, namun mama selalu masak untuk makan kami. dan masakannya, beehh enak bray) lalu merawat bunga bunga di sore hari dan menjadikan halaman rumah penuh dengan bunga.
Yang paling kuingat dari mama adalah, mama paling ngga suka anaknya disakiti, oleh siapapun. literally oleh siapapun, bahkan papa. Mama dengan slogannya “Anakku, aku yang ngerawat, ngga ada yang boleh marahin!!”. Lucu emang. Jadi, ceritanya, papa itu kadang kalo ngomong nyelekit. kebayang kan, manusia jarang ngomong, tiba tiba ngomong tapi bete. Beh, tajem bro kata katanya. Kalau udah gitu, mama bakal belain anaknya, dan akhirnya papapun ngga jadi marah marah. Tapi, habis itu, mama ngomel ngomel :) Pernah waktu itu, aku bertengkar hebat sama papa. Papa udah mau marah sama aku, tapi mama langsung maju dong. Mama marah balik ke papa, akhirnya, ngga jadi deh dimarahin papa. tapi habis itu disidang mama haha
Mama tuh keras, galak, cerewet, tapi disatu sisi juga bisa jadi teman yang menyenangkan. Mama ngga akan ngajarin anaknya ini dengan alus. No, tidak halus sama sekali. Disaat ibu ibu lain mungkin ngajarin anaknya nyupir pelan pelan, hati hati, mama ngajarinnya dengan tegas. Baru bisa di jalan, beberapa saat kemudian, disuruh nyupir pantura.
Mama kalo ngomel lama, panjang, tapi lucu. kalimatnya suka diulang ulang. biasanya kuledekin kalo kalimatnya udah diulang ulang. kalo moodnya lagi bagus, jadi ketawa. kalo moodnya jelek, makin marah. tapi habis ngomel, kita jalan jalan bareng sambil bungkus nasi padang haha
Mama tuh, ekstrovert sejati. Papa ngebebasin mama berteman dengan siapapun. namun disatu sisi akupun liat, mama bisa menjaga batas, terutama dengan lawan jenis. Mama sering galak kalo ada temen lawan jenis yang udah keliatan melewati batas (melewati batas ala mama adalah : ngajak ngobrol panjang lebar dan bertanya tanya soal mama).
Well yeah, plus minusnya mama. Tapi, kuakui, mama emang pahlawan hidupku (dan adekku) banget haha. Jadi inget, dulu waktu SD sering lomba kesana kemari, les kesana kemari. Mama yang antar jemput sendiri, nemenin lomba dari pagi sampai siang dll. Dulu adekku harus terapi di salah satu kota besar di Jawa Tengah. Mama sama papa secara rutin seminggu sekali membawa adekku untuk terapi. Berangkat pagi pagi, pulang sore. Nyetir gantian, jadi biar gantian tidur di jalan. Alhamdulillah sekarang adekku sudah sangat membaik kondisinya.
Dan satu posisi penting mama dirumah ini adalah : menjembatani aku dan papa. Kami sama sama manusia kaku, susah berkomunikasi satu sama lain. Entah mengapa, tapi memang kayak gitu. Jadi kalo ada apa apa, kami bilangnya ke mama, sampai mama sebel dijadiin penghantar pesan!!
Nah, kalau ke papa, mereka tuh so sweet banget. Mama tuh ngopeni banget ke papa. setiap pulang disambut, ditemenin makan, diambilin nasi, pagi dan sore disediain minuman anget, baju ditatain, dsb. meski lagi bete betean satu sama lain, tapi hal ini selalu dilakukan mama tanpa berhenti. Hal lucu dari hubungan mereka berdua adalah saling kasihan satu sama lain. pernah suatu ketika, Papa mengizinkan mama dan aku dan adekku buat menghabiskan liburan sekolah di rumah nenek. Kata papa “Kasian mama, biar liburan lama”. Kukira kami bakal lama disana. Ternyata, baru 3 hari, mama ngajakin pulang, dengan alasan “Kasian papa sendirian dirumah, pasti makannya ngga bener. Papa kan ngga pernah ke warung buat beli makan”. Dan bener aja, Papa selama ditinggal, cuman makan nasi dari kantor habis rapat, terus malemnya bikin mi dan tak mencoba beli di warung sekalipun!
Banyak wejangan yang dikasih mama, terutama tentang bagaimana memperlakukan suami dan anak. Bagaimana menghargai suami dll. Mama sayang banget sama calon mantunya, sampai pernah aku diomelin gara gara ketauan calon mantunya satu itu bawain sebuah kresek hasil belanjaanku!! Cuman sebuah, astagaa, dan ngga berat!!. OH MAN!!! posisiku tergusur!!
5 notes · View notes
nurilmalogi · 4 years
Text
16 Juli 2018
Tepat 2 tahun lalu, sebuah peristiwa yang membuatku percaya tak percaya namun telah terjadi, tak bisa lagi kembali. Berita kehilangan orang tersayang. Waktu pun terasa berhenti sejenak. Bagi orang lain waktu terasa cepat, bagiku waktu berjalan begitu berat.
16 Juli 2018
Film kenangan hari itu tidak akan dilupa. Bahkan terus berputar di dalam kepala. Bagaimana kejadian awal hari hingga akhir hari itu. Kepergian yang begitu cepat, tanpa diduga sedikitpun. Mama berteriak, ‘Papa sesak’. Aku yang mendengar dari kamar atas seketika langsung berpikir, ‘Ada yang tidak beres’ karena sepengetahuanku Papa tidak pernah mengalami sesak sebelumnya. Aku turun dengan berlari. Setibanya di sisi Papa, aku mendengar dengan sangat jelas suara nafas yang tidak lagi normal bahkan tanpa stetoskop, dan mulut yang tak sanggup lagi berucap jelas. Kala itu yang ku perintahkan adalah ‘Bawa papa ke rumah sakit, Papa butuh oksigen’. Lalu seakan semua teori kedokteran hilang dari kepala, yang ku lakukan adalah, berucap di telinga kanan papa dengan kata ‘Allah’. Satu kata Maha Agung yang ku harap Papa bisa menyebutnya. Aku panik, tak tahu apa yang harus dilakukan pada saat itu, juga kosong.
Setibanya di IGD, Papa langsung dilakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru). Rekam EKGnya pun sudah menunjukkan gelombang yang terbentuk karena pengaruh pijatan jantung. Aku paham apa yang sedang terjadi. Tapi tidak dengan Mama. Di luar tirai, Mama masih berharap Papa selamat.
Dokter pun dengan pelan menjelaskan setelah melakukan yang terbaik. Mama terdiam, menangis, lalu bertanya ‘Benarkah Dok? Udah gitu aja perginya, Dok?’ Dokter tak menjawab banyak, ‘Kami turut berduka cita, ya Bu’. Mama memelukku, sembari menangis yang ditahannya agar tak histeris. Aku? Tak bisa mengeluarkan air mata sedikit pun. Aku masuk ke balik tirai, dan berdiri di samping Papa. ‘Pa, Ima sayang sama Papa.’ Ku mencium kening Papa, memegang tangan Papa yang masih hangat, dan ku paksa untuk menangis. Ya, ku paksa. Karena aku masih belum percaya.
Tiba di rumah pun, rasa percaya atas kehilangan Papa juga belum ada. Ramai sudah tetangga berdatangan, padahal jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Mereka membantu membereskan semua peralatan rumah. Bahkan tetangga yang jarang sekali terlihat, karena kesibukan masing-masing, pun ikut membantu. Aku masih sanggup tersenyum, rasanya seperti malam-malam biasanya, saat acara selamatan yang sering kami adakan di rumah, tapi tanpa Papa yang menyambut para tamunya. Ku bacakan yasin di samping Papa, baru sedikit air mata yang bisa keluar, dan itu pun tanpa terlihat orang lain.
Tubuh Papa sudah mulai dingin, dadanya tak ada gerakan (saat itu aku masih berharap ada). Ku pandangi jasad Papa yang telah berpisah dengan ruhnya untuk terakhir kalinya. Keesokan paginya tamu masih berdatangan, tak berhenti dari subuh hingga ke pemakaman. Saudara dan sahabat-sahabat Papa berdatangan, dari teman kampus, teman main tennis, teman kajian, teman sekolah, bahkan dari jauh pun datang, entah bagaimana berita itu sampai dan sangat cepat mereka tiba di Pontianak.
Anehnya lagi, aku masih tak bisa menangis di hadapan banyak orang. Tamu yang berdatangan yang menangis, aku yang tersenyum kepada mereka. Mahasiswa-mahasiswa Papa menangis sesenggukan, aku yang seolah menghibur mereka. Sampai aku bertanya dalam hati, ‘Anaknya Papa tuh yang mana?’ Terlihat seolah aku ikhlas padahal sebenarnya aku pun masih belum percaya dan belum membayangkan bagaimana aku tanpa Papa. Namun, MasyaAllah, banyak kerabat atau kenalan Papa yang bercerita bagaimana Papa selama masa hidupnya. Bahkan aku, sebagai anak kandungnya, banyak hal yang belum ku ketahui bagaimana sikap beliau. Dari cerita para tamu itulah, perlahan aku belajar ikhlas melepas. Bagaimana tidak, yang diceritakan adalah kebaikan, akupun tenang. Banyak banget yang sayang sama Papa.
Namun suatu waktu, ada kalimat yang sampai di telingaku, ‘Kok bisa meninggal? Kan anaknya dokter.’ Kalimat yang menikam ketenanganku, menjadikan pikiranku tak menentu. Aku menyalahkan diriku sendiri. Aku membodohi diriku sendiri, kenapa aku tidak bisa menyelamatkan Papa? Bagaimana bisa aku disebut sebagai anak, sudah disekolahkan kedokteran tapi tidak mampu menyelamatkan Papa? Apa aku salah kasih obat? Apa aku salah tidak memperhatikan kondisi Papa? Cukup lama kalimat itu membunuh mentalku, hingga ingin menyerah menjadi dokter.
Sedikit semangatku kembali hadir setelah mendapat mimpi yang begitu jelas. Papa sedang menyetir mobil, aku duduk di kursi belakang, dan Mama di kursi penumpang depan. Papa menoleh ke belakang dan mengatakan, “Tenang, Papa ndak kemana-mana, kok. Papa disini aja.” Bahagia banget. Aku meyakini, Papa kembali menyemangatiku sama halnya yang Papa lakuin semasa hidupnya, selama aku berjuang dalam kerasnya dunia pendidikan dan dunia perantauan. Meskipun begitu, tak jarang aku masih menyalahkan diriku sendiri dan menyesal karena tak banyak yang ku perbuat untuk Papa.
Kemudian, Internsip pun ku jalani dengan rasa kewajiban. Wajib untuk melanjutkan hidup. Ketika jaga IGD, disitulah kembali mentalku teruji. Cukup banyak pasien yang kuterima dengan kondisi harus dilakukan RJP. Saat itu tak banyak yang bisa kupikirkan. Semua kejadian malam 16 Juli 2018 terus berputar. Tapi posisiku adalah yang menyampaikan bela sungkawa. Apa yang terjadi setelahnya? Tak hanya keluarga pasien yang menangis, aku juga tak mampu menahan air mataku, menangis dibalik meja, dan tangan gemeteran. Hebatnya, tanpa sepengetahuan orang di sekitarku. Pada akhirnya, aku tak lagi meyakini diri ini sanggup bertahan di IGD. Meski begitu, aku bisa menyelesaikan masa itu karena berada bersama sejawat internsipku yang banyak menghibur.
16 Juli 2018
Dari pagi hari hingga 2 jam sebelum Papa sesak, Papa banyak tersenyum, dan iseng mengganggu Mama dan aku. 2 jam sebelum detik itu, Papa tersenyum lepas banget. Masih ingat banget bagaimana beliau membuatku bingung dan beliau juga yang menertawakan kebingunganku. Sorenya, Papa minta putar lagu Opick. Pagi harinya dengan lugas tanpa pikir panjang, Papa minta nasi kuning. Sekitar 3 hari sebelumnya Papa kontrol ke dokter saraf. Saat menunggu antrian, Papa meminta aku duduk di sampingnya. Papa pun memegang tanganku. Momen jarang, karena kami berdua itu ‘awkward’, bukan tipe yang bisa saling ucap sayang dan perhatian. Alhamdulillah, Papa hari itu juga dapat “suntikan” semangat karena dokternya baik dan mau bercanda dengan Papa. Obat yang diminum pun berefek baik, karena nyeri di lututnya berkurang banyak. Sekitar seminggu lebih sebelumnya, Papa berobat juga ke cara tradisional, disana pun Papa minta aku duduk di sampingnya. Di hari lain, Papa pun sempat melihat aku belajar driving mobil walaupun tidak langsung dari dalam mobil. Aku ingin sekali mengajak Papa jalan-jalan dan aku driver-nya, tapi belum sempat, tak apa, hiburku. Ah, banyak kenangan baik bersama Papa, yang ingin sekali ku tulis karena bisa memutar kembali semua kenangan. Tadinya banyak yang ingin kutulis ketika tidak di depan laptop. Pas udah di depan laptop lupa karena banyak. Nantilah kapan-kapan ku lanjutkan tulisan ini.
 Al-Fatihah dan Yasiin buat Papa. :) #inh #nurilhqq
6 notes · View notes
afdhalaa-blog · 4 years
Text
Kenapa mau jadi dokter?
Sekolah nya mahal banget, susah bgt ngikutin materi, mau santai tapi nanti ga maksimal, mau jadi pinter dan keren tapi nanti ga nafas.
Belum lagi, di masyarakat sangat dipandang, dipandang salah nya maksudnya-
"Masa bu dokter ini gini" "eh tau ga si pak dokter gitu" "ih kok bisa ya, padahal dokter" "lho katanya dokter kok gitu"
Kalo kerjanya bener, ga ada yg rame muji
Kalo ada salah dikit, ngumpul aja tu orang2 pada
"Gausah ke dokter, cuma buat bikin mereka kaya, tapi gak bikin sembuh" "jangan percaya omongan dokter, cuma akal2an doang"
Kuliah 3,5 tahun, koas 2 tahun, internsip 1 tahun, belom kalo ambil spesialis juga, dikira gampang? Sekuat2nya orang pasti pernah down kuliah di kedokteran tuh, belom lagi pas jadi dokter, atau jadi residen, wah mental breakdown tiap hari pasti
Kalo ga yakin mau jadi dokter, kalo ga tau kenapa pengen jadi dokter, kalo sekalipun mikir "TAKUT" jadi dokter, sudahi saja skrg. Sebelum jauh
Jadi, kenapa mau jadi dokter?
3 notes · View notes
luklukaul · 4 years
Text
Beneran udah yakin?
Sebenernya bapak pengennya aku isipnya di jogja aja, "yang deket" kata beliau. Lalu kupikir-pikir, periode 3 itu paling banyak meluluskan dokter, lagipula jogja ada 4 univ yg ada FK nya: UGM, UII, UMY, UKDW. Sementara itu, wahana yg buka di jogja cuma 5, wah pasti rebutan banget tuh.
Aku, yg lulusan UNS, wilayah lokalnya jawa tengah, jdnya prosentase buat isip di jogja semakin kecil.
Agak pening sebenernya, tp akhirnya setelah istikharah beberapa kali, mantep nyoba ngeklik di kesempatan lokal (jawa tengah), dan yang paling deket adalah klaten. Dengan catatan, kalo emang ngga dapet klaten, berarti emang disuruh berjuang buat dapetin jogja di kesempatan ngeklik regional.
Usaha itu menjemput takdir, gitulah kira-kira pedoman yg aku pegang. Jadi ya usaha dulu, kalo Allah tidak berkehendak, pasti akan diarahkan ke yg lebih baik, menurut Allah. Ternyata kok ya dipermudah banget, dari mulai tempat ngekliknya udah di urus semua sama temenku, pas ngekliknya tanpa drama, dan Alhamdulillah langsung dapet klaten di kesempatan ngeklik yang pertama. MasyaAllah MasyaAllah Allah baiikk kali.
Setelah ngeklik, beberapa temen malah ada yg bilang "sabar ya luk, katanya reviewnya ngga enak" wkwkw bahkan aku engga baca reviewnya.
Alhamdulillah, udah di penghujung isip dan aku akan tetep bilang isip disini enak. Kalo ada yang tanya enaknya apa, karna bahkan aku gatau ngga enaknya disini apa.
-Premature Pemulangan Internsip-
1 note · View note
vioultraword · 4 years
Text
Si Ambisius Yang Kebingungan
Ambisius, mungkin cocok bagi sosok diri ini dulu kala. Saat-saat dimana apapun dilakukan dengan menggebu-gebu tanpa mendengar kanan kiri, hanya ada optimis dalam diri, dan tak kenal lelah.
Kemana sosok itu sekarang?
Gue mulai sering menemukan jiwa pemimpi dalam diri. Nggak ada yang salah dengan jadi pemimpi, tapi akan jadi salah jika hanya berdiam. Mimpi tanpa ada ambisi menurut gue adalah kesalahan, karna kita akan tumbuh bersama mimpi yang hanya berjalan di tempat. Rindu sekali perasaan itu, lama sekali rasanya hingga hampir lupa.
Mungkin ada yang berpikiran bahwa ambisi adalah negatif hehe. Enggak kok selama dalam porsi yang pas. Ambisi sendiri menurut KBBI artinya “keinginan keras untuk mencapai sesuatu (harapan, cita-cita). Tapi emang kadang, ambisi yang tidak terkontrol dengan baik jatuhnya jadi bikin diri sendiri egois karna fokusnya cuma buat ngedapetin apa yang dia tuju. Katanya orang ambisius juga gampang depresi dan kadang suka ambil keputusan dengan gegabah, yeah terbukti di gue sih kadang haha.
Jadi tuh gini, di usia gue sekarang yang udah 25 tahun 3 bulan ini, banyak banget yang ganggu pikiran gue setiap hari. Semua semakin parah sejak gue kelar internsip (semacam program kerja wajib bagi dokter baru selama 1 tahun) sekitar 7 bulan lalu. Keinginan buat bisa lanjut sekolah PPDS, terbentur masalah biaya (klasik sih, tapi faktanya gitu), kesiapan gue sendiri yng masih jauh dari kata cukup, dan kebimbangan diri sendiri buat milih program studi apa yang sebenernya gue pengen. Padahal jelas sejak tahun 2016 gue mendeklarasikan gue pengen lanjut sekolah spesialis bedah. Tapi nyatanya si yang dulu ambisius ini kebigungan sama mimpi masa lalunya. Banyak sekali bingung akan langkah kedepan akan seperti apa, bingung bikin rencana jangka panjang, bingung soal kemandirian diri, bingung mikir beban orang tua, bingung soal jodoh, bingung soal kerja, dan banyak bingung-bingung lain, Ya Allah.... banyak ngeluh sekali hamba-Mu ini, maaf :’(
Pas gue nulis ini pun, gue masih belum nemu jawaban atas semua pertanyaan membingungkan yang jawabannya tetap akan jadi rahasia sampai waktu dan takdir menjawabnya :). Tapi yang gue tahu pagi ini, gue berani ngomong lagi ke diri gue bahwa gue bukan si lemah. Gue adalah si ambisius itu! Yang dulu pernah matahin semua pandangan miring orang kalo Vio mana bisa masuk FK dan kenyataanya gue satu-satunya yang lolos masuk FK waktu itu. Yang matahin ekspektasinya sendiri bahwa dia bisa lulus tepat waktu, bahkan tanpa perlu les persiapan UKMPPD, bukan sombong tapi gue nggak ikut les karna nggak ada duit buat ikut begituan, bangga tapi sedih aslinya. Gue yang dulu udah kelas XII kekeuh maksa buat ikut seleksi Paskibra dan lolos setelah gagal di tahun sebelumnya. Gue yang dulu dribble bola basket aja kagok, toh karna ambisi juga bisa jadi salah satu center andalan, walaupun nggak jago banget, at least gue selalu jadi 5 pemain pembuka. Ambisi bikin band biar bisa tampil di pensi pun juga udah terwujud. Kayaknya banyak banget mimpi-mipi gue terwujud karna bantuan ambisi yang baik itu.
Okay now, i say welcome back the spirit of me!
Gue siap bangun, bikin mimpi lagi, siapin amunisi, numbuhin lagi ambisi dalam diri, terus berjuang, nggak putus berharap - berdoa, dan biarkan Tuhan menjawab semua di waktu yang tepat. Lalu membiarkan kata menyerah untuk tidak pernah jadi pilihan sampai Tuhan bilang berhenti.
Cilandak, 21 April 2020 08.36 
2 notes · View notes