#jeritan malam
Explore tagged Tumblr posts
Text
Hari ini tanggal 10 November, pukul 00.02. Aku menangis sendirian. Awalnya, air mata ini keluar ketika melihat video tentang ayah. Ada kenangan yang menyeruak, membawa rasa rindu dan haru yang tak terlukiskan. Namun, seperti air bah, video-video lain yang muncul seakan ikut menggali luka-luka lama, memperdalam rasa sedih yang telah mengalir.
Kepalaku terasa begitu bising, dipenuhi suara-suara dari dalam yang tak kunjung hening. Tentang dosa-dosaku yang seolah mengejar tanpa henti, tentang perasaan insecure yang menghantui, dan masalah finansial yang terasa seperti belenggu tak terlihat. Di tengah semua itu, pikiranku kembali ke orangtuaku, yang usianya kian menua, membuat hatiku semakin tersayat. Dan aku, sebagai anak perempuan pertama, merasa memikul beban tanggung jawab yang kadang terasa begitu berat.
Di tengah malam yang sunyi ini, hanya suara tangisku yang memecah keheningan, seolah-olah menjadi jeritan batin yang tak terdengar oleh siapa pun. Aku berharap air mata ini bisa membawa sedikit ketenangan, meski hanya sejenak, dari riuhnya pikiran-pikiran yang tak terucap.
— ovt kalau lagi cape
3 notes
·
View notes
Text
Malam Berbalut Do'a Lirih nan Perih 🌙🥀
Bogor, 21 Desember 2024 dini hari 00.47 WIB.
Hanyut dalam malam yang terlampau larut. Menyeka tangis pedih jua haru sembari terbaring di sudut peraduan 2 x 2 meter kos mungil itu. Garis hidup layaknya bahtera usia telah menarik sauh, jauhi dermaga menuju samudera luas dihantam lautan berombak tinggi dan berbadai ganas. Melipat badan meringkuk agar perut nan lapar jua dahaga tak lagi meraung melilit perih. Membungkam perihnya dengan menekuk tubuh di pembaringan. Bergelut dengan waktu tuk mencari cahaya agar sirnakan hitamnya dosa dan lalai. Berkali-kali bangkit berkali jua terjatuh berdarah-darah. Rasanya tak layak diri ini menuai anugerah Yang Maha Kuasa. Berupa hirup udara pagi penuh asa, terik mentari tengah hari, hujan kelabu nan dingin, lembayung senja yang mempesona, juga malam gulita di naungi rembulan. Hanya tanya, mengapa kulayak dipilih Tuhan tuk tetap bernyawa hingga detik ini? Sedang hari demi hari yang berlalu tak sedikit yang runtuh dipecundangi dosa hingga redup cahaya hati. Oh Tuhan, betapa beratnya menanggung nikmat sehat dan usia ini. Tatkala hidup terus melaju namun mematut diri tuk berdisiplin dan mempercantik batin setengah mati lelah dan penuh beban derita. Sukar sekali mengejar mimpi tuk jadi pria nan gagah dan berdikari jua mandiri. Gali lubang tutup lubang. Kala harta mulai berdatangan, impulsif kau hamburkan. Kala rupiah melampaui titik nol menuju minus terpaksa meminjam tuk menyambung hidup, betapa malu dan hina rasanya. Oh nelangsa jiwa, kala semua ini telah meremukkan raga dan meniup redup cahaya asa. Akankah tiba saatnya jiwaku mampu melesat tinggi tuk memuliakan pribadi nan rapuh ini? Akankah sampai waktunya ragaku mampu menyeka peluh dan keluh agar tegar ia berdiri sekokoh pasak dan batu karang? Oh laranya hati, ketika semua ini telah berlarut-larut hingga malam tak lagi kelam, hingga pagi tak lagi berseri, hingga kerontang padang ilalang dan pecah tanah setapak itu. Akankah harap itu nyata adanya? Bila tuk berpanjang doa saja sulit rasanya. Kelu lidah ini tuk merunut nikmat-Mu, Ya Tuhan. Kaku mulut ini tak mampu katakan yang baik adanya. Oh dinginnya sepi, peluklah daku nan sekarat ini. 300 hari lebih terombang ambing di samudera hayat seorang diri. Tersesat tak kunjung temui arah pulang. Jika sunyi inilah yang terbaik bagiku, maka bimbinglah aku tuk merangkak perlahan hingga berdiri tegak mengeja kata perkata nada-nada semesta cinta-Mu, Ya Tuhan. Bersenyawa dengan diri, sepi, dan sunyi. Maka, sendiri hanyalah ilusi bila di sisi-Mu lah ku mengabdi. Bersama alunan melodi syair risalah hati, yang berputar tanpa henti. Ku mengukir jeritan kalbu ini. Usailah sudah. 🥲
2 notes
·
View notes
Text
Kini bukan lagi berkutat tentang perlombaan, "Saya hebat, harus lebih baik dari A, B, dan C". Apalagi jika ingin menang dalam segala hal, menghalalkan segala cara, layaknya para petinggi yang berpikir, "Pokoknya saya sekeluarga sejahtera, urusan rakyat mah belakangan".
Namun tentang seberapa besar rasa syukur dan empati kita diantara mereka yang mau tak mau hidup sendiri karena kehilangan orang tua, kesulitan ekonomi hingga kebutuhan tak terpenuhi, perjuangan bekerja lintas kota, berangkat subuh pulang malam, hingga mereka yang perlu merantau lintas pulau dan negara.
Berapa banyak contoh yang ada di luaran sana, dan ia tetap memilih untuk tone deaf?! Dimana akal sehatnya? Dimana hati nuraninya?
Biarkan Allah yang membalasnya atas setiap jeritan suara rakyat, rintihan akar rumput, gema para buruh, dan gaung mahasiswa ✊🏻
Hidup Indonesia!
Panjang umur perjuangan!
Tegakkan demokrasi!
Patuhi konstitusi!
Kawal Putusan MK!
2 notes
·
View notes
Text
Bicara Sendiri
Jika kelak hujan deras ini telah menyudah dan kelabu langitku telah kembali membiru
Kan kuceritakan hari itu pada mereka bahwa suatu malam, jiwaku pernah dipenuhi sedih dan amarah
Dahsyatnya memecah gelas-piring kaca di sekeliling, bak gelaran karpet merah yang menyambutku berjalan di atasnya. Meski yang berdarah bukan telapak kakiku, namun bercak-bercak itu mewarnai seluruh wajahku. Semu merah, rona kian menyala.
Di ruangan itu; tak terdengar teriakan yang lebih memekakkan daripada jeritan si rombeng yang kesakitan. Ruam memenuhi rongga yang sudah lama ditinggalkan waktu. Bagaimana tidak?
Ia menabur siluet jala, namun yang dikaisnya ialah jelaga yang terbakar. Ia menimba atar, namun yang ditegaknya ialah panas kemarau yang menyambar. Kupikir senandungku telah membakar pepohonan hingga ke akar-akar.
Aku menatap aneh semua mata yang dipenuhi gelak tawa. Mereka pikir aku sedang bicara dengan siapa? Mungkin saja makhluk bumi. Atau mungkin memang selama ini aku bicara sendiri.
@aqielafadiya
Tepi kawah, 00.15
2 notes
·
View notes
Text
Haaai mahluk-mahluk Bumi, bagaimana bisa aku begitun takut dengan jarum jam yang tak berhenti berputar, dengan warna langit yang berganti dari pagi menuju malam, aku ketakutan.
Aku hanya berharap besok rasa khawatir yang entah dari mana asalnya dan rasa takut yang seakan-akan begitu nyaman berada di pikiranku menghilang lenyap dan tak tercium lagi keberadaannya.
Dadaku sesak, entah karena usiaku yang semakin tua, atau karena aku yang semakin hari semakin tak memiliki tujuan. aku wanita yang menuju angka dewasa ini terlilit dengan perasaan bahwa aku akan dipermalukan oleh ulahku sendiri, aku hanya berharap dan menyelesaikan ini semua lalu menghilang bersama semua perasakan mengerikan ini.
Haaai kamu, mahluk spesial dalam lamunanku, selamat menempati bagian dalam diriku yang gelap tak bercahaya bahkan saat kau berusaha untuk menyinari, selamat menikmati jeritan-jeritan malamku yang terkuliti oleh rindu yang tak kunjung kutemui siapakah pemiliknya. Kamu dan semua hal bodoh ini aku berharap berhenti membuat dadaku terasa begitu sesak dan membuatku kembali dengan Sang Pemilik.
2 notes
·
View notes
Text
Ayame Eirene Soteria Kinomoto

Nama FC : Yoo Jiae
Nama Karakter : Ayame Eirene Soteria Kinomoto
DoB : Athena, 11 Juli 1994
Di Mistery Island sebagai : Servant ㅡ Telepathy
Personality : Gadis yang penurut, namun sangat manja pada orang yang sudah mengenal dekat dirinya, childish kepada orang-orang tertentu, sangat sopan dan santun dalam berperilaku, penyayang, serta mengerti akan situasi dan keadaan disekitarnya.
Background Story :
Namaku Ayame Eirene Soteria Kinomoto. Aku tahu, ini terdengar seperti nama tokoh utama—dan memang begitulah adanya. Tapi yang lebih menarik adalah, setiap orang di dunia ini merasa dirinya adalah pemeran utama dari kisah hidup mereka masing-masing. Jadi mari kita anggap ceritaku ini hanyalah satu di antara banyak kisah yang saling bersilangan.
Aku lahir di Athena, Yunani—kota penuh sejarah, mitologi, dan dewa-dewi yang namanya masih digumamkan hingga kini. Bulan kelahiranku adalah Juli, tepat di tanggal kesebelas, angka favoritku. Aku berdarah Jepang–Yunani, dan namaku adalah cerminan dari dua dunia yang berbeda itu. ‘Ayame’ berarti bunga iris, yang dalam mitologi Jepang dan Yunani sama-sama melambangkan keindahan sekaligus kekuatan. ‘Eirene’ adalah dewi perdamaian, ‘Soteria’ dewi keselamatan dan perlindungan, sedangkan ‘Kinomoto’—nama keluarga ayahku—berarti “berasal dari kayu”, sesuatu yang akar dan batangnya kuat menahan badai.
Mereka yang mengenalku secara kasual memanggilku Sote. Tapi ‘Aya’ atau ‘Ayame’? Itu hanya boleh diucapkan oleh mereka yang benar-benar aku izinkan masuk ke dalam hidupku. Nama itu sakral. Nama itu—aku.
Kehidupan awalku sederhana, hangat, dan... nyaris sempurna. Ayahku pegawai kantor biasa, ibuku seorang ibu rumah tangga yang penuh kasih. Aku tumbuh bersama dua kakakku—Akihiro dan Ayana—yang sangat menyayangiku, terutama Hiro-niichan, kakak laki-lakiku yang paling sering menjagaku.
Namun segalanya runtuh, tepat beberapa hari setelah ulang tahunku yang keenam.
Rumah kami dibakar oleh orang tak dikenal. Dalam kekacauan dan api yang melalap segalanya, kakak-kakakku diculik. Aku masih bisa mendengar jeritan Ayana, masih mengingat tangan Hiro-niichan yang terulur ke arahku sebelum semuanya menjadi hitam. Ayah dan Ibu tak pernah selamat. Dan aku... aku hanya hidup karena bersembunyi dalam lemari. Petugas pemadam kebakaran menemukanku di sana, menggigil dan menangis, dikelilingi oleh abu dan kenangan yang gosong.
Dari situlah hidupku sebagai "servant" dimulai.
Aku dibawa ke panti asuhan. Banyak orang bilang tempat itu akan membentuk kembali diriku—merekonstruksi sebuah pribadi dari puing-puing yang tersisa. Tapi kenyataannya, tempat itu seperti neraka. Anak-anak seperti kami diperlakukan seperti beban, kadang seperti properti. Senior-seniorku mempermainkanku, menyuruhku ini itu, membuat hari-hariku terasa seperti pengulangan dari mimpi buruk.
Aku berdoa—setiap malam, tanpa henti—agar bisa keluar dari tempat itu. Dan doaku terkabul ketika usiaku menginjak delapan.
Sepasang suami istri bangsawan datang, mencari anak perempuan untuk diadopsi atas permintaan putra tunggal mereka. Anak itu—Shina Baratheon—menginginkan seorang adik perempuan yang seumuran. Aku menata rambutku, tersenyum semanis mungkin, dan berharap. Lalu... dia memilihku. Dia menggenggam tanganku, menarikku keluar dari lorong suram panti asuhan, dan membawaku pulang.
Sejak saat itu, aku menjadi milik keluarga Baratheon—secara resmi dan emosional. Aku diperlakukan dengan baik. Ayah angkatku, Shinoru Baratheon, penuh wibawa dan kelembutan. Ibuku, Hiroko Baratheon, memberikan pelukan yang sehangat matahari musim semi. Dan Shina... ah, Shina. Dia adalah segalanya bagiku. Pelindung, sahabat, cinta pertamaku. Kami saling mencintai. Dia adalah satu dari sedikit orang yang boleh memanggilku 'Aya'.
Aku hidup dengan mereka sampai usiaku menginjak 19 tahun—sampai akhirnya aku menemukan kenyataan yang seharusnya tidak pernah aku tahu.
Keluarga Baratheon lah yang membakar rumahku. Mereka yang menghancurkan keluargaku, menculik kakak-kakakku, dan membuatku menjadi yatim piatu. Alasannya? Sampai sekarang masih menjadi kabut yang tak terpecahkan.
Namun aku tidak bisa membenci mereka sepenuhnya. Aku berusaha menyembunyikan rasa getirku, karena aku mencintai Shina, sepenuh hatiku. Bahkan saat dia—dengan senyumnya yang dulu kurindukan—mengirimku ke Mistery Island. Pulau yang selama ini hanya kudengar dalam bisikan mitos dan legenda. Sebuah pengasingan. Sebuah pelarian.
Shina menghapus sebagian ingatanku. Tapi entah bagaimana, kenangan itu kembali—menerjang seperti badai yang merobohkan dinding pertahanan terakhir. Aku menangis, meratap, marah—tapi pada akhirnya aku tetap seorang pelayan. Aku tetap seorang 'servant'.
Kini aku berada di Mistery Island. Mulai dari awal lagi. Membentuk dinding baru, kehidupan baru, dan semoga... takdir yang baru. Di sini, aku kembali bertemu sosok yang terasa seperti malaikat. Hatiku berdoa agar masa lalu yang gelap itu tak lagi mengejarku.
Namaku Ayame Eirene Soteria Kinomoto. Dan ini adalah kisahku yang belum selesai.
Alasan Join ke Mistery Island : takdir yang mempertemukanku dengan agensi ini. tanpa agensi ini aku hanyalah butiran debu /? dan manusia yang dilanda kegalauan /? /lupakan
Pesan untuk Mistery Island : jangan closed down yah. ini rumah pertama untuk aku didunia maya. separuh jiwaku ada disini ='] /?
0 notes
Text
“Kalau Aku Tak Ada Nanti”
Kalau aku tak ada nanti,
jangan cari aku di tempat yang riuh,
aku tak pernah pandai tinggal di bising dunia,
aku cuma tahu duduk diam di sudut paling sunyi,
menyimpan seribu jeritan yang tak pernah ada nama.
Kalau aku tak ada nanti,
mungkin dunia masih seperti biasa,
langit masih biru, burung masih terbang,
tapi dalam diam, aku harap ada satu hati yang tiba-tiba terasa kosong,
seolah-olah ada seseorang yang hilang,
yang tak sempat kau peluk, tak sempat kau tanya,
“kau okay ke hari ni?”
Aku pernah cuba,
Tuhan tahu betapa aku pernah cuba,
untuk bangun walau tangan dah tak kuat,
untuk senyum walau hati koyak seribu,
untuk nampak tabah walau jiwa dah karam entah ke mana.
Tapi aku manusia, bukan batu.
Ada hari aku menangis diam-diam,
di bilik gelap yang tak pernah bertanya kenapa.
Ada malam aku pandang siling kosong,
tanya diri, “esok kalau aku hilang, ada siapa perasan?”
Aku penat.
Penat jadi kuat untuk semua orang.
Penat berpura-pura gembira bila hati menjerit minta tolong.
Dan setiap kali aku cuba bercakap,
dunia seolah-olah tutup telinga,
buat aku rasa, mungkin aku memang tak penting pun.
Kalau aku tak ada nanti,
jangan ingat aku sebagai seseorang yang menyerah,
ingat aku sebagai seseorang yang bertahan terlalu lama
sampai dia terlupa macam mana nak hidup untuk diri sendiri.
Aku cuma nak diam,
nak tenang…
sebab dalam hidup, aku tak pernah jumpa tempat yang betul-betul selamat.
Dan kalau kau baca ini satu hari nanti,
aku harap kau jaga diri lebih baik dari aku jaga diri aku.
Peluk orang yang kau sayang, dengar bila mereka diam.
Sebab kadang, diam itu lebih kuat dari jeritan.
Dan kadang… diam itu jeritan paling perit
0 notes
Text
"Untuk Para Suami, Dengarlah Jeritan yang Tak Pernah Terdengar Itu"
Ia pernah jadi gadis kecil yang paling bahagia di rumahnya.
Ayahnya memanggilnya "putri kecilku"...
Ibunya memeluknya setiap malam, membacakan doa agar kelak ia jatuh ke tangan lelaki yang tahu cara mencintai dengan cara Allah.
Lalu ia tumbuh…
dan suatu hari, ia memilihmu.
Menyerahkan tangannya dalam akad.
Meninggalkan rumah yang selama ini membuatnya merasa utuh.
Karena ia yakin, kau akan menggantikan sosok ayahnya…
bukan hanya dalam tanggung jawab,
tapi dalam kehangatan.
Tapi lihatlah sekarang…
Ia tidur setiap malam dengan dada penuh sesak.
Ia berbicara, tapi kau hanya mengangguk.
Ia menangis, tapi kau menyuruhnya diam.
Ia rindu… tapi tak tahu harus merindukan siapa,
karena yang di sebelahnya hanya tubuhmu…
tanpa hatimu.
Ia tidak ingin jadi janda.
Tapi hatinya telah dijandakan oleh sikapmu.
Kau hadir, tapi tak memeluk.
Kau menafkahi, tapi tak menyentuh jiwanya.
Kau marah saat ia lelah,
tapi lupa bahwa lelahnya adalah bukti ia masih bertahan dalam luka yang kau buat.
Wahai suami…
Kalau kau tak sanggup jadi tempat pulangnya,
jangan heran bila hatinya mulai pulang hanya kepada Tuhan.
Ia tetap setia,
tapi sepi telah menjadikannya asing bahkan di dalam rumahnya sendiri.
Jangan biarkan istrimu menjadi janda dalam batin,
sementara kau masih menyebut dirimu imam.
Bangun…
Peluk dia seperti pertama kali kau minta dia dalam doa.
Karena jika hari itu tiba, saat ia benar-benar pergi tanpa suara…
kau akan sadar:
kau pernah memiliki surga…
dan membiarkannya hancur karena ego dan lalainya cinta.
0 notes
Text
Day I,
Time and Space Collisions
Dia tidak tahu kenapa hari itu terasa berat sejak pagi.
Langit Jakarta seperti digantung lebih rendah, abu-abu dan murung. Asmara hanya mengira dirinya terlalu lelah, seperti biasa. Ujian mendekat, laporan belum selesai, dan kantuk yang tak kunjung tuntas meski kopi kedua sudah diteguk saat matahari masih malas bersinar.
Stasiun Manggarai. Sore. Riuhnya nyaris menyentuh batas toleransi. Untungnya kereta yang ia tunggu segera datang. Sayangnya, penuh sesak seperti biasa. Ia naik, berdiri dekat pintu. Sudah hafal titik nyamannya.
Sampai semuanya berhenti.
Layar berkedip. Simbol-simbol asing. Lalu disusul dentuman keras. Jeritan para penumpang tumpang tindih. Anak-anak kecil mulai menangis. Saat ini juga kereta berhenti, tapi bukan di stasiun.
Dan kemudian munculnya—layar biru itu. Mengambang di udara, terlalu nyata untuk dianggap halusinasi.
Asmara membeku. Kata ‘eliminasi’ menusuk seperti layaknya es yang dingin. Ia mencubit pipi—berharap ini hanya mimpi. Tapi tubuhnya membeku, lebih paham dari siapapun bahwa ini nyata.
Lalu suara itu datang. Dalam kepala. Tidak berasal dari telinga. Makhluk itu—apa pun itu—datang seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyaan. Ia tertawa dan berbicara dengan bahasa aneh. Memberitahu mereka bahwa dunia tak lagi milik manusia. Skenario ini punya aturan sendiri.
Asmara ingin berteriak. Tapi tenggorokannya terkunci. Jari-jarinya menggigil. Ia hanya bisa mematung, terperangkap antara absurditas dan teror. Ia tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana—dua menit? Lima? Tapi layar biru menunjukkan waktu terus bergerak. Dan dengan itu, rasa takutnya berubah menjadi gemuruh tak terkendali.
Ia harus keluar. Ia harus bergerak. Ia harus—bertahan hidup?
Pikirannya menolak menerima. Tapi tubuhnya bergerak sendiri. Ia ikut arus manusia yang mulai memaksa pintu terbuka, sebagian melompat keluar, sebagian menyeret kaki sambil menangis.
Jakarta di luar…bukan Jakarta yang ia kenal.
Langit seperti layar robek. Bangunan berkilau lalu menghilang. Beberapa jalan memanjang lebih dari seharusnya. Lampu-lampu berubah warna sesuka hati. Bayangan tak memiliki pemilik. Waktu mengejar dirinya lebih cepat dari biasanya.
Asmara gemetar. Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia tidak tahu apa yang ia cari. Ia hanya tahu satu hal: jika ia diam, ia tidak akan selamat.
Ia berlari sampai napasnya terasa sesak. Tapi ia tidak bisa berhenti, ia tau bahwa terus berjalan bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Muka-muka asing melintas, beberapa panik, beberapa membisu seperti sudah menyerah. Waktu di layar menunjukkan: 02:18:42
Asmara hampir pingsan ketika melihat pantulan wajahnya di kaca mobil parkir—pucat, rambut berantakan, mata memerah. Tapi ia tetap berjalan. Tidak tahu ke mana. Tidak punya rencana.
Hingga langkah kakinya membawanya… ke The Park Pejaten.
Tanpa sadar ia melangkahkan kakinya untuk belok ke situ. Mungkin insting. Mungkin kenangan samar—tempat itu pernah membuatnya merasa nyaman, aman. Saat hujan, ia ingat pernah berlama-lama di foodcourt-nya. Pernah duduk lama menatap langit palsu di atrium. Tempat yang biasa, yang sekarang terasa seperti satu-satunya tempat aman yang tersisa di dunia yang kacau luar biasa ini.
Pintu geser terbuka.
Dan untuk pertama kalinya, layar biru itu berubah:
[Zona Aman – Terdeteksi] Status: Terlindungi selama 00:37:12
Asmara menjatuhkan dirinya di lantai marmer, punggung bersandar pada dinding dingin. Ia tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis.
Ia tidak memilih tempat ini untuk selamat. Tempat ini yang memilihnya.
Napasnya masih sesak. Pikirannya kacau. Tapi ia masih hidup. Dan untuk sementara waktu—hanya untuk sementara—dunia memberinya celah untuk bernapas.
Seseorang pernah bertanya padanya, "Apa yang membuatmu tetap bertahan?" Dulu, ia tak punya jawabannya. Tapi malam ini, di tengah Jakarta yang berubah jadi panggung mimpi buruk, ia tahu:
Ia bertahan karena seseorang mungkin sedang menunggu di ujung layar lain. Karena seseorang pernah bertanya, “Apa rencanamu hari ini?” Karena ia ingin menjawab itu—esok.
Jika esok masih ada.
0 notes
Text
Malam ini langit kembali menyapaku dengan jeritan tangisnya, dengan rintih dan lirih yang sulit kupahami, kendati Aku peduli, namun tetap saja jemariku tak mampu menenangkan tangisnya.
Aku bertanya pada diri, "Kapan tangisnya akan mereda?" Sebab Aku tak bisa mendengarnya berlama-lama, seolah ikut merasa, seolah ikut terluka. Kuusap benakku lalu kutemukan sakit serupa, "Apakah kita akan menangis bersama?"
Langit dan Aku seolah menjadi satu, menemukan muram dipenghujung pilu.
"Melankoli sekali Aku malam ini" pikirku sendu. Tak ada yang melukai, hanya sekumpulan ekpektasi yang terpatahkan lagi, namun itu tadi siang, saat semua orang tak ada satupun yang menyadari.
"Oh ya Tuhan! malam selalu mengerikan bagi hati yang melankoli, luka yang susah payah kusimpan tak bisa disembunyikan lagi"
—
Hujan, 6 April 2025 🌧️ 22.26 WIB
1 note
·
View note
Video
youtube
Searching for the Truth of the Self: The Scream of Parkinson's and the L...
Menghadapi penyakit Parkinson, HambaAllah menemukan kekuatan dan harapan melalui Al-Quran. Isterinya setia mendampingi, membawa mushaf lama yang menjadi simbol harapan dan panggilan Allah. Dalam setiap getaran dan goncangan yang dialami, Surah Yasin dengan struktur matematik mendalam membawa ketenangan dan pengertian tentang kekuasaan Allah. Bersama, mereka membaca mushaf di pantai, merasakan cahaya Surah Ar-Rahman yang menerangi kegelapan mereka. Saksikan perjalanan emosional ini yang menunjukkan cinta, keimanan, dan ketabahan di tengah ujian berat.
Jangan lupa untuk like, dan share video ini untuk menyebarkan inspirasi.
#Parkinson #KekuatanIman #AlQuran #Harapan #Inspirasi #KasihSayang #SurahYasin #SurahArRahman #CintaSejati
OUTLINE:
00:00:00 The Call in Vibrations 00:03:17 Jeritan Parkinson 00:07:22 Malam Badai 00:08:49 Tangga Tiga Puluh Juz 00:12:41 Benteng Al-Quran yang Terukur 00:14:42 The Numerical System of the Quran 00:18:30 The Mathematical Harmony in Surah Yasin 00:22:42 The Essence of Self in Vibrations 00:26:14 The Numerical Patterns of Surah Al-Fatihah 00:31:18 Bisikan di Tengah Gemuruh 00:32:43 Lorong Sunyi, Langkah Berat 00:33:33 Angka-Angka Kehidupan 00:34:31 Pengalaman Spiritual Parkinson 00:37:44 Cahaya di Balik Angka 114 00:39:40 Istriku, Bidadari Dunia 00:40:11 Ketukan di Pintu Langit 00:40:52 Menarilah bersama Takdir 00:41:27 Senja yang Indah 00:42:23 Cahaya dalam Getaran 00:43:37 Refleksi Terakhir 00:45:19 The Eternal Dance 00:48:22 Hakikat Diri HambaAllah (Diperluas dengan Surah Lain)
0 notes
Text
Sang kesatria
Inspired by
Di sebuah tepi danau, di bawah langit malam yang sunyi, sang ksatria duduk diam, tubuhnya berbalut armor yang kini ternoda oleh waktu dan pertempuran. Pedang besarnya—yang pernah menjadi lambang keberanian dan kehormatan—tertanam dalam tanah disampingnya, menopang tubuhnya yang kian terasa lebih berat dari biasanya. Semilir angin malam membawa bisikan dingin yang lembut, seolah menyanyikan elegi untuk jiwa yang lelah.
Dia menunduk, menatap bayangannya sendiri di air yang bergetar pelan. Ingatan tentang pertempuran terakhir masih membekas—bukan pada luka di tubuhnya, tetapi pada hatinya. Mereka yang telah ia lindungi kini hanyalah nama-nama di balik ingatan, dan mereka yang telah ia lawan hanyalah hantu yang masih berbisik di sudut pikirannya.
Air mata itu jatuh pelan, membasahi wajah yang penuh luka dan debu, sebelum menghilang ke dalam genangan air di bawahnya. Setetes menjadi dua, lalu tiga, hingga tak terbendung lagi. Sang ksatria menggenggam pedangnya dengan erat, jemarinya memutih, seolah mencoba mengalihkan rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Namun akhirnya, semua itu pecah. Tangisnya meledak seperti banjir yang tak tertahankan. Tubuhnya yang kokoh, yang selama ini menahan beban dunia, kini runtuh. Suara tangisnya menggema di malam yang sunyi, merobek keheningan seperti raungan jiwa yang terluka. Ia menangis dengan cara yang tak pernah ia izinkan sebelumnya—histeris, kacau, dan tanpa kendali.
Helaan napasnya berat, tersendat oleh jeritan yang keluar dari dadanya. Bahunya terguncang hebat, dan air mata terus mengalir, menyatu dengan air di bawahnya, seolah bumi itu sendiri ikut menangis bersamanya. Dalam tangisan itu, ada rasa kehilangan, penyesalan, kemarahan, dan kesendirian yang begitu dalam.
Pedang yang selama ini menjadi simbol kekuatannya hampir terlepas dari genggaman, seakan ia telah kehilangan alasan untuk terus memegangnya. Tetapi, di tengah kekacauan emosinya, ada sesuatu yang muncul dari kedalaman hatinya—mungkin harapan, mungkin ketabahan, atau mungkin hanya sekadar kesadaran bahwa meskipun ia runtuh malam ini, fajar tetap akan datang. Tapi untuk saat ini, ia membiarkan dirinya hancur. Hanya malam dan bintang yang menjadi saksi dari kejatuhannya.
Pagi itu, sang ksatria terbangun dengan tubuh yang remuk oleh kelelahan. Matahari yang memantul di permukaan danau menciptakan kilauan keemasan yang menyilaukan, namun bagi dirinya, pemandangan itu tidak memberikan ketenangan, hanya keheningan yang terasa asing setelah malam penuh tangis. Kicauan burung terdengar di kejauhan, namun suara itu seperti jauh, nyaris tidak menyentuh relung hatinya yang masih dirundung beban.
Dengan gerakan lambat, dia duduk, merasakan dingin embun pagi menyelinap melalui celah-celah armornya yang lembap. Satu demi satu, dia mulai melepaskan pelindungnya. Logam yang dulu melindunginya dari dunia kini terasa menekan tubuhnya, seakan menjadi belenggu dari semua luka yang dia bawa. Ketika akhirnya helm terakhir dilepas, wajah pria paruh baya itu terungkap—kusut, dengan rambut panjang yang kusut dan jenggot lebat yang tidak terurus. Matanya masih sembap, menyimpan jejak dari malam yang berat.
Dia memandang armornya yang tergeletak di atas tanah, dingin dan tanpa jiwa, seperti refleksi dirinya sendiri. Dengan berat hati, dia mengumpulkan semua bagiannya, mengangkatnya dengan tenaga yang tersisa, dan berjalan menuju tanah lembut di tepi danau. Setiap langkah terasa seperti menapaki kenangan yang ingin ia lupakan, namun tak bisa sepenuhnya ia tinggalkan.
Dia mulai menggali. Tangan-tangannya yang lelah mengayunkan gumpalan tanah satu per satu, suara gemerisik tanah menjadi satu-satunya saksi dari penguburan ini. Dia tidak tergesa, tidak pula melambat—hanya melakukannya, karena tidak ada pilihan lain. Ketika lubang itu cukup dalam, dia meletakkan armornya di dalamnya, menatapnya sejenak tanpa kata-kata.
Menimbun tanah kembali terasa seperti menutup bagian dirinya yang sudah lama mati. Namun, bukannya kelegaan, hanya keheningan yang menyambutnya. Gundukan tanah itu kini menjadi sebuah penanda, bukan untuk melupakan, tetapi untuk menerima bahwa sebagian dari dirinya telah terkubur di sana.
Dia berdiri mematung, membiarkan angin menyentuh kulit wajahnya yang kasar. Tidak ada kebahagiaan, tidak pula rasa lega. Yang ada hanya kesadaran bahwa ini harus dilakukan, meski setiap detiknya terasa berat. Dengan langkah yang lamban, dia meninggalkan tempat itu. Bebannya belum sepenuhnya hilang, tetapi ada sesuatu yang kecil, samar, di dalam dirinya—seperti secercah harapan yang belum ia kenal, namun cukup untuk membuatnya terus melangkah, meski terasa terpaksa.
Di tengah perjalanan yang sunyi, sang pria berjalan dengan langkah berat, mengarungi jalur tanah yang membentang di antara pepohonan rindang. Keheningan hanya dipecah oleh suara ranting yang patah di bawah kakinya dan desiran angin yang menyusup di sela-sela dedaunan. Saat itulah ia melihat sosok wanita di kejauhan, berdiri di bawah naungan pohon, memetik buah-buahan dari keranjang sederhana.
Wanita itu menoleh sebentar, mata mereka bertemu. Tidak ada rasa takut di wajahnya, hanya rasa ingin tahu yang tenang. Sang pria, dengan pakaian lusuh dan tubuh tanpa perlindungan armor, tidak lagi membawa aura seorang ksatria. Ia hanyalah seorang pria paruh baya yang terlihat letih, dengan tatapan kosong yang berat untuk dijelaskan.
Wanita itu tidak berkata apa-apa. Dengan gerakan lembut, dia mengambil beberapa buah dan segumpal roti dari keranjang kecilnya, lalu mendekat perlahan. Pria itu tetap diam, tidak bergerak, hanya berdiri di tempat seperti pohon yang mati. Saat makanan dan minuman disodorkan kepadanya, ia menerimanya dengan tangan yang kaku, mengangguk singkat sebagai ungkapan terima kasih yang tertahan. Tidak ada senyuman, tidak ada kehangatan, hanya tindakan sederhana yang terasa seperti rutinitas.
Setelah itu, wanita itu tidak kembali ke pekerjaannya. Dia hanya berdiri, mengamati pria yang kini duduk di tanah memakan buah-buahan dengan lambat, seolah tubuhnya dipaksa menerima sesuatu yang selama ini ditolak. Tanpa banyak isyarat, wanita itu berbalik perlahan, berjalan menyusuri jalan kecil yang mengarah ke arah yang berbeda.
Sang pria menatap punggungnya yang menjauh, lalu, tanpa alasan yang jelas, dia bangkit. Wanita itu berhenti, menoleh sejenak, dan mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat yang jelas tanpa satu pun kata terucap. Ia ingin dia mengikutinya.
Pria itu tidak bertanya, tidak memprotes. Dia hanya mengangguk pelan, seperti seseorang yang sudah kehilangan kehendaknya sendiri. Langkah-langkah mereka mulai bergerak bersamaan, menyusuri jalan setapak yang tertutup bayangan pohon. Mereka tidak berbicara, tidak ada pertanyaan tentang siapa atau mengapa. Namun dalam kebisuan itu, ada sesuatu yang samar—bukan harapan, melainkan jeda singkat dari rasa hilang yang tak berujung.
Jauh di depan, di antara pohon-pohon yang semakin jarang, terlihat desa kecil yang tersembunyi. Asap tipis mengepul dari cerobong-cerobong kayu, pertanda kehidupan yang sederhana namun nyata. Sang pria mengikutinya, tanpa tahu ke mana langkah ini akan membawanya, atau apa yang menantinya di desa itu. Tapi untuk saat ini, dia melangkah. Itu saja yang mampu dia lakukan.
1 note
·
View note
Text
TW: blood, murder, sadistic behaviour, profanities, suicide.
Hujan kini turun membasahi daerah Forks, Amerika Serikat. Ya, mungkin sebagian dari kalian familiar dengan tempat ini karena menonton film karya Stephenie Meyer dan berpikir apakah tempat itu nyata?
Tempat ini sungguhlah ada di Amerika Serikat.
Semua yang disebutkan di film itu sungguhlah nyata seperti Pantai La Push, Treaty Line, sampai Forks High School namun yang tidak nyata adalah Edward Cullen dan Jacob Black.
Siapa juga yang mempercayai makhluk fiktif itu nyata?
Selain dikenal dengan julukan kota Twillight, sejatinya kota ini mempunyai tempat khusus bagi pecinta ikan karena salmon dan trout pelangi dapat dijumpai disini.
Namun kedatanganku kemari bukanlah untuk mengenang Twillight maupun memancing, aku kemari untuk menghabisi targetku yang sedang berada disini.
Pak Anderson namanya, seorang dokter yang memiliki reputasi cukup baik di Amerika.
Aku mendapat misi untuk menghabisi Pak Anderson yang sedang berlibur di Forks. Jika ditanya alasan mengapa Beliau harus dihabisi pun aku akan menjawab tidak tahu, lebih tepatnya aku tidak peduli.
️Dan disinilah aku, mengemudi melewati tempat singgah Pak Anderson dan melihat dirinya bersama dengan dua anak yang kuyakini sebagai cucunya.
Kasihan sekali, dalam liburan kali ini mereka kehilangan sesosok kakek.
Aku segera menjalankan kembali mobilku, tak ingin menimbulkan kecurigaan apalagi di dunia berteknologi ini semua bisa direkam jadi aku tidak bisa tak terlihat.
Setidaknya aku harus menjadi orang yang tidak diingat.
Aku memarkirkan mobilku di tempat yang masih bisa dijangkau dari target. Aku melihatnya dari kaca spion tengah bagaimana dirinya sedang bermain dengan cucu-cucunya.
Berlarian kesana-kemari sambil tertawa. Tak pernah kubayangkan akulah perenggut tawa bahagia mereka kelak.
Yah tapi begitulah kehidupan, ibarat rantai makanan. Jika tidak ingin diterkam maka engkau harus menerkam.
Sepertinya bahkan sekarang manusia menerapkan konsep hidup hewan untuk bertahan hidup.
Selama seharian ini, aku memantau target dari dalam mobil. Kegiatannya dari pagi siang sampai malam juga sudah kuketahui.
Sekarang tinggal memilih waktu yang bagus untuk melancarkan aksi.
Keesokan harinya, dari kaca spion aku melihat kedua cucu target pergi sehingga hanya menyisakan dirinya saja di tempat.
Bagus, tidak ada kesempatan lain selain saat ini.
Aku berjalan masuk ke dalam, melihat Pak Anderson yang tengah menyiapkan perlengkapan memancing.
Beliau amat tenang, mungkin tidak menyadari keberadaanku sebelum akhirnya ia berbalik dan melihatku berdiri di belakangnya.
Dengan senapan berlaras pendek yang cocok digunakan untuk penembakan jarak dekat, aku menembak target di bagian dada.
Tidak sampai mengenai bagian vital namun apabila tidak segera ditangani maka korban dapat dinyatakan meninggal dunia.
Tubuh korban langsung jatuh dan darah mengalir begitu cepat membasahi permukaan lantai.
Dengan perhitunganku dilihat dari umur korban, hanya perlu waktu beberapa menit sebelum korban menemui ajal.
Aku tak menaruh banyak perhatian kepada korban, toh untuk apa? Aku bergerak mengacak-acak seluruh rumah dan mengambil harta benda milik korban.
Sehingga dengan ini bisa disimpulkan bahwa Pak Anderson adalah korban rampok dimana perampok tersebut tidak ahli dalam menggunakan senapan. Sayang sekali, korban tidak bisa diselamatkan bahkan saat paramedis datang.
Aku pergi lewat pintu belakang dan memasuki mobilku. Disana aku melihat cucu dari target masuk ke dalam rumah dan menjerit.
Aku hanya bisa menancapkan gas dan pergi dari lokasi.
Dalam perjalananku pergi, aku memikirkan jeritan dari sang cucu tersebut. Betul, akulah yang menimbulkan trauma pada anak sekecil itu.
Aku adalah seorang pembunuh juga bibit trauma yang kutanam pada orang terdekat korban. Akulah juga air yang menyirami bibit itu.
Namun mau tidak mau, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa mengembalikan keadaan seperti sedia kala dan akupun tetap mengendarai mobilku untuk pergi ke tempat selanjutnya.
Aku berhenti di sebuah tempat pencucian mobil, jujur saja ini bukanlah mobil milikku namun aku menyewanya atas nama Howard, identitas palsuku yang lain. Ini adalah hal wajar bagi kriminal sepertiku untuk memiliki banyak identitas.
Mobil itu kucuci bersih dan setelahnya aku lanjut mandi untuk membersihkan badan. Beberapa pakaian yang kupakai termasuk sarung tangan kubuang di tempat sampah yang ada.
Selanjutnya, aku pergi menuju New York.
New York, dikenal sebagai kota yang tidak pernah tidur karena kota ini adalah pusat perdagangan dan bisnisnya Amerika Serikat.
Dari pagi hingga malam seakan manusia yang berada disini tak pernah lelah kesana-kemari bahkan di bandara sekalipun.
️️"Tuan Alexander." Seorang staff bandara memanggil namaku (yang lain). Aku berjalan mendekat sembari menerima paspor milikku dari sang petugas.
Aku menunduk sebagai tanda terima kasih lalu berjalan pergi. Lagian di kota sibuk ini tak ada yang peduli entah kau berbicara atau tidak kepada petugas yang berjaga.
Aku segera berjalan menuju sebuah tempat untuk melakukan panggilan telepon.
️"Klien sangat senang dengan pekerjaanmu di Forks, semoga kau bisa melakukan kinerja yang sama di New York. Semua yang diperlukan sudah kukirim padamu."
Begitulah telepon itu berakhir sebelum aku berjalan ke toilet yang sepi lalu menghancurkan ponselku dan membuangnya.
Aku memutuskan untuk menginap selama sehari di sebuah hotel yang ada di dekat bandara karena seorang pembunuh pun jugalah seorang manusia yang perlu beristirahat.
Aku juga memesan layanan kamar yang membawa makanan lengkap dengan tudung saji dan trolinya.
Setelah mempersilakan staff hotel masuk dan menaruh troli makanan di tempat yang kuminta, pintu kamar segera kututup. Kuambil tudung saji itu dan kutaruh dibawah pintu, lebih tepatnya dekat sela-sela bawah pintu dan gelas kosong kutaruh di lubang kunci pintu.
Aku duduk dan membaca berkas mengenai target selanjutnya, keluarga Briggs. Mereka adalah keluarga yang berperan di dunia pendidikan. Keluarga kaya raya dimana anggota keluarganya meraih banyak penghargaan dan menulis banyak jurnal.
Sampai sekarang jurnal keluarga Briggs masih dipakai di banyak universitas. Namun dibalik kesuksesan keluarga mereka itu, ternyata mereka adalah keluarga yang cukup tertutup.
Tak ada yang tahu banyak soal masing-masing dari keempat anggota yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak itu.
Setelah selesai membaca, aku segera membakar dokumen itu dan membuang abunya kedalam tong sampah.
Karena hari sudah malam, aku mengisi perutku dengan makanan yang tadi dibawakan oleh sang petugas sebelum akhirnya aku tertidur di kursi yang kududuki sedari tadi.
Tentunya dengan pisau makan disampingku.
️"Terima kasih banyak, Tuan Harry. Terima kasih telah memilih penginapan kami dan sampai jumpa di lain waktu."
Orang yang bernama Harry itu tersenyum dan lagi-lagi itu aku.
Setelah pergi dari hotel, aku memutuskan untuk mengendarai mobil menuju kediaman Briggs.
Ternyata kediaman mereka cukuplah besar, aku tidak boleh sembarangan mengeksekusi rencanaku.
Akupun bergegas menuju sebuah gudang penyimpanan yang ada disana. Sebetulnya aku sangat menyukai adanya persewaan gudang seperti ini di Amerika Serikat karena cukup praktis untuk menyimpan beberapa barangku.
Aku sendiri memiliki enam gudang di Amerika.
Menurut kalian, apa gunanya gudang penyimpanan? Pastinya untuk menyimpan barang, bukan?
Namun, beberapa orang menggunakan fasilitas ini untuk menyimpan kejahatan mereka. Sama halnya dengan topeng yang menyembunyikan muka manusia sesungguhnya.
Aku hanya mengambil beberapa barang yang diperlukan, salah satunya adalah teropong sebelum aku beranjak dan pergi ke apartemen yang "khusus" disewa untuk pekerjaanku.
Sesampainya disana, aku mengambil teropong dan mengamati rumah tersebut.
Dari sekian rumah yang pernah kukunjungi, hanya rumah ini saja yang tiap hari tertutup oleh tirai.
Aku hanya bisa mengamati penjaga keamanan yang berada di posnya dekat pintu masuk atau seorang pelayan yang kesana-kemari mengerjakan pekerjaannya.
Jujur saja aku cukup bersyukur tugas kali ini tidak dilakukan dengan senjata seperti sniper.
Bayangkan betapa lelahnya aku harus menggunakan sniper di tempatku sekarang untuk membunuh empat anggota keluarga di kediaman yang besar dengan posisi yang berbeda-beda.
Mungkin sekarang aku hanya perlu memantau, layaknya seekor predator yang memantau mangsanya.
Satu hari, dua hari dan tiga hari. Sepertinya memang rumah ini tidak berpenghuni.
Tidak mungkin informasi yang diberikan padaku salah.
Karena frustasi, aku memutuskan untuk pergi keluar dan memantau dari jarak dekat.
Selama berjalan keluar, aku selalu menggunakan topi karena aku tidak boleh diingat. Aku membuka ponselku dan menelepon.
"Seharusnya mereka sudah berada di tempat antara besok atau lusa. Tunggulah sedikit lagi."
Telepon dimatikan begitu saja dan aku menoleh untuk melihat apakah kondisi sudah aman barulah aku menjatuhkan ponselku dan menginjaknya serta kubuang ke saluran pembuangan.
Aku berjalan ke sebuah gerai makanan cepat saji. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Amerika menyukai jenis makanan ini.
Menurut survei di Amerika, orang yang banyak memakan makanan cepat saji lebih mudah terkena obesitas.
Saat melihat antriannya yang panjang, kupikir memang masyarakat disini tidak menyayangi diri mereka sendiri.
Namun lihatlah aku, memesan sebuah hamburger dan cola.
Sambil duduk di sebuah kursi dan melihat kediaman Briggs dari kejauhan, aku berpikir sembari memakan makananku.
Jika mereka semua sudah sampai, bagaimana caranya mengeksekusi keempat orang tersebut?
Tak kusangka dengan lamanya aku berpikir, makananku sudah habis. Kini sudah saatnya aku menyeruput colaku dan beristirahat.
Menjadi seorang pembunuh harus memiliki waktu istirahat yang cukup dan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Namun disisi lain, waktu adalah emas.
Saat beristirahat diatas kasur, aku selalu menyalakan alarm setiap 30 menit agar membuatku tetap tersadar dan memantau situasi agar tidak kehilangan kesempatan.
Pagi haripun datang bersamaan dengan alarm jamku, aku terbangun dan tak lama kemudian sebuah mobil memasuki kawasan rumah keluarga Briggs.
Apakah ini kesempatanku?
Aku mengamati menggunakan teropongku dan melihat masing-masing anggota keluarga memasuki rumah.
Namun entah mengapa, aku merasakan hawa tidak enak. Seperti macan yang ditipu oleh kancil.
Di sore hari, aku berusaha menyelinap ke dalam rumah untuk lebih memperhatikan kegiatan keempat anggota tersebut dan disinilah aku akan memberitahu kalian mengenai prinsipku dalam bekerja.
Jangan pernah meninggalkan bukti, seorang pembunuh serta pembersih handal tidak akan meninggalkan bukti sehelai rambut pun.
Aku mengenakan sarung tanganku dan topi serta membawa pisau serta pistol untuk berjaga-jaga.
Setelah persiapan sudah selesai, aku perlahan menyusup dari halaman belakang namun belum sampai ke pintu aku sudah mendengar banyak teriakan.
Sepertinya penghuni rumah sedang beradu argumen dengan satu sama lain.
Prinsip kedua adalah tetap dalam rencana. Ingat, tidak boleh teralihkan.
Aku perlahan masuk kedalam dan menutup pintu. Setelahnya bersembunyi di dapur.
️"Sudah kubilang berapa kali? Masa begini saja nggak bisa." Suara tamparan yang cukup keras mengisi ruangan yang hening itu.
Aku mendengar suara tangisan, sisi lain aku mendengar seseorang bersumpah serapah.
"Bajingan sialan, aku membesarkanmu bukan untuk ini."
Suara kaca pecah pun terdengar sebelum seseorang menyahut balik.
"Bajingan? Bukannya ayah yang harusnya dibilang bajingan? Bajingan yang memanipulasi jurnal dan mempublikasikannya atas namanya sendiri."
Setelahnya terdengar suara tinju yang keras.
️"Ayah!" Suara seorang perempuan yang terdengar sedih menggantikan suara amukan kedua pria itu.
Untuk sesaat semua tenang sebelum tiba-tiba aku mendengar suara sesuatu yang dipukulkan dengan kasar.
️"Kak! Hentikan kak!" Suara sang saudara perempuan terdengar seiringan dengan suara pukulan itu.
"Ah berisik." Kudengar suara benturan yang cukup keras dan suara sang saudara perempuan tidak terdengar lagi.
Aku kaget dengan apa yang kudengar, nyatanya ada predator lain dirumah ini.
Tidak biasanya aku bertemu dengan sesama iblis seperti ini.
Sang ayah sudah tidak bersuara dan kudengar suara seseorang menggeret sesuatu naik keatas.
Samar-samar kudengar suara permintaan tolong dari sesuatu yang diseret yang ternyata adalah sang saudara perempuan.
Ingat dengan prinsip selanjutnya, jangan percaya siapapun.
Mempercayai seseorang adalah kelemahan terutama di keadaan seperti ini. Bisa-bisa dirimulah yang diterkam selanjutnya.
Jadi ada prinsip yang berhubungan dengan prinsipku ini yaitu harus berantisipasi, tidak boleh berimprovisasi.
Untuk melihat keadaan, kulangkahkan kakiku kedalam dan melihat sang ayah sudah tewas dengan darah yang bercucuran dari kepalanya.
Sepertinya sang anak lelaki memukul kearah wajah sang ayah karena lihatlah, wajahnya kini pun tidak bisa dikenali.
Pukulannya pasti sangat keras karena tengkoraknya sampai terlihat dan bola matanya hampir keluar. Akupun bisa melihat otaknya menyundul keluar.
Perlahan aku berjalan ke lantai atas. Kulihat kamar orang tua terbuka dan tangisan terdengar dari kamar mandi di dalamnya.
Suaranya berbeda dengan suara yang kudengar dibawah. Apakah mungkin ini sang ibu?
Aku memutuskan untuk masuk dan bersembunyi di bilik pakaian tepat di depan kamar mandi. Untungnya pintu kamar mandi tertutup sehingga yang di dalam tidak mengetahui keberadaanku.
Tak lama setelah aku bersembunyi, sang predator datang dan membuka paksa pintu kamar mandi, memperlihatkan sang ibu yang meringkuk ketakutan.
Sedangkan predator lainnya yaitu aku, memantau kejadian yang terjadi di depan mataku.
Prinsip terakhir adalah hanya melawan dalam pertarungan yang memang pantas dipertaruhkan.
Layaknya macan yang mengintai mangsanya, aku melihat sang ibu yang berkali-kali dihabisi oleh buah hatinya.
️"Hentikan, nak. Maafkan ibu." Sang ibu terus-menerus mengucapkan kata maaf kepada anaknya.
Jika kalian bertanya ada apa di kediaman ini? Akupun juga tak tahu karena ini semua diluar kuasaku. Mana kutahu kan jika sang anak mempermudah pekerjaanku?
Yang kupikir saat itu adalah pasti mereka ada masalah entah sebelum maupun saat perjalanan pulang kerumah yang berkaitan dengan reputasi mereka karena sang ayah ketahuan menjiplak dan kuyakin masih banyak kebusukan lain yang menunggu untuk dibuka.
Jika aku berbicara lebih banyak mengenai kebusukan keluarga Briggs maka sang ibu yang sebelumnya menjadi pusat perhatian sudah tidak berbentuk lagi.
Mari kita fokus kepadanya dulu sebelum dirinya menjadi tinggal nama saja.
Hantaman demi hantaman diarahkan kepada ibunya sebelum sang ibu akhirnya tersungkur tanpa tanda kehidupan, namun layaknya predator buas yang belum puas, ia segera pergi ke tempat saudara perempuannya itu.
Aku diam-diam mengikutinya dari belakang.
Sang predator langsung menampar mangsanya sampai tak sadarkan diri lalu memukulnya dengan benda keras bertubi-tubi.
Berhentinya nafas sang saudara perempuan membuat si pelaku menjadi waras kembali.
Dirabanya saku miliknya lalu ia mengambil sebuah kepingan kaca yang sedari tadi dirinya simpan.
"Maafkan aku, namun kebusukan keluarga kita harus dipendam jauh dari masyarakat. Sungguh, aku meminta maaf."
Sang predator kini terlihat seperti macan yang lemas. Payah.
Dipotongnya urat nadi di pergelangan kirinya itu dan darah mulai mengalir seiring dengan terjatuhnya badan miliknya itu ke lantai.
Dan disitu, aku, sang predator yang sesungguhnya datang dan berjalan menatapnya yang sedang sakaratul maut.
Orang tersebut terbelalak melihatku, mungkin tidak menyangka bahwa selama ini ada seseorang yang melihat semua aksinya namun apa daya kini dia tidak bisa berbuat apa-apa dan kulihat luka di pergelangan kirinya itu.
"️Bukan begitu caranya, jika ingin mati dengan cepat maka begini yang betul." Layaknya guru yang mengajari muridnya, aku menuntun tangannya yang masih memegang serpihan kaca itu dan menggores lukanya makin dalam, seolah mengajarinya cara menemui kematian dengan cepat.
Aku menemaninya disamping, secara tak sadar kulanggar prinsipku sebab aku ingin pekerjaanku berakhir dan tak lama kemudian, tidak ada tanda kehidupan di dalam dirinya.
Lantas, aku pun berjalan pergi seolah tak terjadi apa-apa.
Dari cerita yang kujalani ini aku ingin menyampaikan bahwasannya manusia yang dicap iblis sekalipun bisa menemukan sesama iblis walau menggunakan topeng sekalipun dan begitulah dengan kemanusiaan yang sudah berantakan ini.
Menurutmu, apakah engkau sendiri adalah manusia?
Engkau yakin dengan kemanusiaan yang berdiam diri di dalam dirimu?
Mungkin saja 'kemanusiaan' yang engkau maksud akan meledak dan engkau juga berubah menjadi iblis seperti aku dan mereka.
Kisah ini sudah selesai ditulis.
Tertanda,
𝓔𝓭𝓮𝓷.
0 notes
Text
NEVER SAY 'NEVER'.
Seolah mengerti jeritan masyarakat, hari ini langit pun mengamuk meluapkan dukanya. Petang di mana kita hanya melihat kegelapan, di sekeliling kita maupun ke arah masa depan.
Oktober 1928, jiwa-jiwa bergelora yang menghadiri kongres sumpah pemuda pun tidak tahu kapan dan bagaimana Belanda akan pulang. Cita-cita untuk berjalan tegap dengan wajah terangkat, menyandang status bangsa yang merdeka, sangat jauh rasanya.
Oktober 2024, para tahanan yang sudah kering dan kelaparan di penjara Saydyana, tidak tahu bahwa dua bulan setelahnya Assad sang diktator akan terbirit-birit dari Suriah.
Tidak ada yang tidak mungkin. Hari ini tikus-tikus berdasi itu menggerogoti negara. Merasa di atas angin, lupa pada Yang Maha Kuasa membolak-balikkan situasi. Yang menenggelamkan Fir'aun dengan keangkuhannya. Yang meluluhlantakkan negeri kaum Tsamud dalam satu malam.
Jangan pernah bilang, "tidak akan". Dunia ini fana. Bahagiamu fana. Dukamu juga fana. Raja Jawa pun hanya manusia.
Kendati begitu, kemerdekaan yang diproklamasikan tahun 1945, runtuhnya rezim Assad setelah puluhan tahun lamanya, bukan sesuatu yang bisa diraih dengan berpangku tangan. Harganya mahal. Waktu. Harta. Jiwa. Raga. Darah. Nyawa. Puluhan tahun. Perjalanan yang panjang.
Yang semestinya dimulai sejak hari ini.
Yang semestinya dimulai oleh kita, penerus generasi.
Cukup main-mainnya. Ayo belajar, bersuara, berdoa. Lakukan apapun yang kita mampu agar tidak terulang lagi Desember kelabu kelak.
Jadilah generasi terbaik. Menolak curang meskipun pada perkara kecil. Kepada sesama berempati. Takut Tuhan. Belajar yang giat. Menebar manfaat dan kebaikan.
Mungkin kita sudah renta ketika Indonesia merdeka untuk yang kedua kalinya. Mungkin kita sudah tiada. Mungkin kitalah harga yang harus dibayarkan. Kawanku, tidak ada yang sia-sia. Allah tidak lupa hari ini posisimu di mana.
1 note
·
View note
Text
youtube
00:00 Malam Ini - Julia Jasmin 02:52 Jangan Berulang Lagi - Julia Jasmin 06:02 Jeritan Hatiku - Julia Jasmin 08:27 Jangan Sedih - Julia Jasmin 11:00 Cinta Abadi - Julia Jasmin 13:14 Bunga Di Tepi Jalan - Julia Jasmin 16:06 Doa Suci Ku - Julia Jasmin 19:01 Kau Mencuri Hatiku - Julia Jasmin 21:14 Rasa Sedih Tiada Arti - Julia Jasmin 23:17 Andaikan Kau Datang - Julia Jasmin 26:31 Termenung Lesu - Julia Jasmin
0 notes
Text
Yang tidak dapat disadari
pada waktu yang terus berjalan maju, pada keadaan yang terus saja membelenggu diri, pada usia yang memaksa menua, pada raga yang tidak mampu memaksa jiwa waras untuk terus bersama, pada diri yang dipukul mundur oleh semua jeritan-jeritan tak kasat mata ini .. Semakin hari keadaan semakin tidak dapat dikendalikan .. Tuntutan demi tuntutan datang mengingatkan perihal hidup tidak hanya sekedar senang dan tenang .. Namun tuntutan ini menghasilkan suara baru didalam kepala, suara yang seolah memunculkan jiwa kecil yang tidak mampu bangkit dari semua cobaan atau keterpurukan yang terus-terusan meminta perhatian lebih .. Kata mereka jangan khawatir, semuanya berada pada poros yang sudah diatur semesta dengan persetujuan sang Tuhan, haruskah pasrah menjadi pilihan? Tidak bisakah usaha dan doa pengantar mampu merubah keadaan? Permintaan yang terdengungkanpun bukan perihal merubah dunia, tetapi sekedar menghadirkan setitik suka dalam duka yang diam-diam menguasai pergerakan kehidupan .. Bukan tidak mempercayai takdir yang sudah ditetapkan, hanya berusaha agar semuanya menjadi lebih baih .. Seperti bermonolog pada diri sendiri, apakah kamu hanya bisa sampai dibaris ini? tidak bisakah kamu melangkah lebih jauh lagi? tidak bisakah kamu berusah lebih keras lagi? Lalu yah menyalahkan diri menjadi pilihan lagi, dititik terakhir itu diri menjadi samsak empuk untuk semua kemalangan yang terjadi didalam kehidupan .. Pada semua kekalahan, kesalahan dan kemalangan, diri akan menyalahkan diri sendiri dengan penguatan atau tanpa penguatan ..
curhatan minggu malam 18 agustus 2024
0 notes