Tumgik
#mencaps
beronia-usa · 6 months
Text
Elevate Your Style With Timeless Elegance Unveil The Charm Of Men's Cotton Ascot Caps
Embrace a touch of vintage charm with our Men Cotton Ascot Caps. Crafted from premium cotton, these caps exude classic sophistication, adding a refined flair to your ensemble. Whether for a formal occasion or a casual outing, these ascot caps effortlessly elevate your style.
Tumblr media
0 notes
rockinjohnny · 2 months
Text
0 notes
insidecroydon · 5 months
Text
Strictly Come Walking with Croydon Mencap, every Saturday
Continue reading Strictly Come Walking with Croydon Mencap, every Saturday
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
fabricdragondesigns · 6 months
Text
114 notes · View notes
theroyalsandi · 8 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
British Royal Family - The Duchess of Edinburgh helps in the kitchen with clients of Elmbridge Mencap during her visit to Community Projects at Burwell Hall in Walton-on-Thames, England. (Photo by Mark Cuthbert/UK Press via Getty Images) | January 18, 2024
101 notes · View notes
kibumkim · 6 months
Text
70 notes · View notes
sylveon-and-velveon · 1 month
Text
Random Gravity Falls Sketches I did when I was at MENCAP
MENCAP is a place to help disabled people find work BTW-
Dipper and humanized Bill Cipher {I like to believe he would wear grunge/punk stuff}
Tumblr media
Mabel and Pacifica
Tumblr media
Gideon {I can't draw that canon hairstyle to save my life-} and Wendy
Tumblr media
Grunkle Stan and Grunkle Ford
Tumblr media
Excuse my shit picture quality 😭🙏
22 notes · View notes
blackautmedia · 2 months
Text
Something to add for people who may be new to following the news regarding mask bans and the full implications behind them:
We're still in an ongoing pandemic. Vaccination does not prevent long-term disability brought about by covid. We've known this since we've had vaccines. Subsequent infections, including asymptomatic cases increases this risk.
states like Ohio have already had mask bans and have for some time now. These aren't oncoming threats.
State violence with mask bans doesn't begin and end with cops. Healthcare workers can and do enact many of the same forms of violence and can enact it in unique ways far more normalized that cops can't. They can and do note requests to mask in your chart, which in turn can be used as cause to pathologize you by saying you're anxious or overreacting. Criminalizing behaviors like this has historical precedent.
Int he 1800s, enslaved Black people would be diagnosed with "Drapetomania" or runaway slave disease to pathologize the idea of what is a completely reasonable reaction to being enslaved.
Hysteria was and is assigned to women by healthcare professionals as a way to enact social, economic, and medical violence on them.
Books like The Protest Psychosis: How Schizophrenia Became a Black Disease further detail the link of criminality and ableism used to justify violence toward marginalized people.
There's the continued medical injustices carried out toward intersex people.
This is also why messaging with masking went from:
"Flatten the curve!" to
"Wear a mask if you want. We won't enforce it but nobody has the right to tell you you can't mask" to
"Masking is criminal behavior."
Ableism is something that unites leftists, liberals and conservatives alike. Eugenics is the game plan.
The Biden admin ran on being the "scientific" candidate only to abandon that and urge others to spend that money on increased policing while the admin decided to absolve themselves of responsibility.
Eugenics and medical violence often gets talked about as if it's this archaic thing we've now grown past from, but science has culled at as only pursuit of an objective truth.
So please keep up with "Do not Resuscitate" or DNR orders especially when it comes to mentally disabled people or those labeled as such:
Also keep an eye on MAID and other similar policies where you live:
Please add and consider disability to your view if you haven't already. It's not too late to incorporate, but it is only going to be more and more important in the coming years.
It's also especially important to notice and name eugenic based thinking that also continues to rise, especially in the ways people are talking about brains, brain damage, critical thinking, media literacy, intelligence, and more broadly is a discussion of necropolitics and eugenics.
6 notes · View notes
mamadkhalik · 1 year
Text
Perbaikan Diri
Dr. Majid Irsan Al-Kilani dalam Model Kebangkitan Umat Islam menguraikan perjalanan spiritual Imam Al-Ghazali yang menarik untuk menjadi diskursus aktivis dakwah hari ini.
Imam Al-Ghazali ditengah kekacauan umat memiliki ikhtiar untuk melakukan islah dan juga pembaharuan, yang dimulai dari mengevaluasi diri sendiri. Melakukan kritik diri sendiri, tidak mencari alasan apapun untuk menjustifikasi umat Islam, serta tidak melemparkan tanggungjawab atas segala keterpurukan kepada musuh yang sebenarnya termotivasi oleh umat Islam yang layak kalah.
"Dan apapun musibah yang menimpa kamu adalah hasil perbuatan tanganmu sendiri." (QS. as-Syura : 30)
sedikit menepi dari keramaian, mengurai masalah yang ada, untuk menguasai detail peristiwa juga sebab akibat yang menyertainya.
Beliau menanggalkan jabatan prestis kesultanan, lalu kemudian mendalami kembali teks-teks lama, berguru kepada para ulama shaleh, berputar dari majelis ilmu ke ilmu, mengoreksi fatwa-fatwa yang muncul karena nafsu serta ashobiyah, dan mencurahkan hatinya untuk membetuk sebuah konsep penyucian jiwa, sampai terbitlah magnum opusnya yang terkenal sampai hari ini, Ihya Ulumuddin.
Tentunya proses itu harus dimulai dengan kesabaran yang dalam, usaha yang tak mudah, dan tentunya bukan untuk kepentingan pribadi namun untuk kepentingan umat.
Apa yang dilakukan Beliau selaras dengan nasihat Ustadz Hilmi dalam poster berikut :
Tumblr media
Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, gesekan dalam harakah, bahkan sesama aktivis dakwah adalah hal yang wajar. Arus informasi yang beragam dengan mudah menjadi perantara untuk syak wasangka, tidak tabayun yang akhirnya membuat aktivis dakwah futur, kecewa, dan bahkan keluar dari jalan dakwah.
Kembali bermuhasabah sebentar, apakah dalam proses selama ini kita tidak melaksanakan hak dan kewajiban kepada sesama ikhwah sampai-sampai saat al akh menghilang kita langsung mencap hal yang tidak-tidak tanpa tabayyun. Begitu pentingnya kita untuk membiasakan istighfar kepada Allah, agar kita terhindari dari sifat seperti itu.
Betapa sejarah mengajarkan bahwa kekalahan umat itu bukan hanya dari musuh yang kuat tapi diri kita yang memilih menjadi lemah.
Umat saat ini sedang menunggu Shalahuddin baru yang dulu mengusir pasukan salib dari bumi Levant atau Saifuddin Qutz jagal mongol yang katanya tak terkalahkan itu.
Mari berbenah, mengevaluasi diri, perbanyak istighfar, selanjutnya menjalin kembali hubungan yang baik antar sesama ikhwah, rangkul kembali dalam kegiatan dakwah, sembari menguatkan rabithohnya.
Perlahan tapi pasti, menyongsong kemenangan yang telah dijanjikan, sekali lagi, bukan saatnya untuk berpangku tangan.
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah (keadaan) yang ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri sendiri" (Q.S. ar-Ra'd : 11)
27 notes · View notes
lesbiantrish · 1 month
Text
why is it mencap and not womencap
4 notes · View notes
rockinjohnny · 2 months
Text
0 notes
ifreakingloveroyals · 4 months
Text
Tumblr media
27 March 2017 | Sophie, Countess of Wessex attends the Mencap charity lunch at Sheraton Park Lane Hotel in London, United Kingdom. (c) Jeff Spicer/Getty Images
4 notes · View notes
royal-hair · 8 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Sophie, Duchess of Edinburgh visitimg Walton Charity Burview Hall and Elmbridge Mencap disability charity in Walton - 18.01.24
17 notes · View notes
theartismi · 6 months
Text
Demokrasi : Gambaran dari Sampah Peradaban
Istilah “demokrasi” saat ini tidak dapat dilepaskan dari wacana politik apapun, baik dalam konteks mendukung, setengah mendukung, atau menentang. Mulai dari skala warung kopi pinggir jalan sampai hotel berbintang lima, demokrasi menjadi obyek yang paling sering dibicarakan, paling tidak di negeri ini. Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totaliter. Jika tidak demokratis, pasti totaliter. Totaliter sendiri memiliki kesan buruk, kejam, bengis, sehingga negara-negara komunis sekalipus tidak ketinggalan ikut memakai istilah demokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai “Demokrasi Sosialis” atau “Demokrasi Kerakyatan”.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, UNESCO pada tahun 1949 menyatakan:
“…mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh…”
Gejala serupa juga melanda dunia Islam. Para intelektual muslim berupaya mencari titik temu antara demokrasi dan ajaran Islam. Partai-partai politik Islam, misalnya di negeri ini, berlomba-lomba mengklaim diri sebagai “paling demokratis” agar tidak terkena serangan panah beracun dari pihak Islamophobia yang mencap Islam sebagai agama totaliter dan dogmatis. Putra-putri Islam dengan susah-payah berupaya “melindungi” nama baik agamanya dengan ungkapan-ungkapan bernada defensif apologetik, walaupun hal itu menyebabkan ajaran Islam menjadi kabur atau malah lenyap.
Bagaimana hakikat demokrasi yang sebenarnya? Apakah Islam memiliki titik temu dengan demokrasi? Bagaimana realitas demokrasi sesungguhnya? Dan apa peranan negara-negara adidaya dalam pemaksaan ide demokrasi kepada negeri-negeri Islam? Tulisan berikut ini akan menguraikannya.
Kerajaan-kerajaan lokal mulai muncul di Eropa sejak tahun 476 M. Seperti halnya Romawi, gereja turut menjadi penentu dalam sepak-terjang penguasa kerajaan. Para bangsawan dan politikus—yang umumnya dari keluarga kaya—menjadi boneka yang dikendalikan penuh oleh gereja. Tetapi karena ajaran Kristen tidak mengatur urusan kenegaraan, gereja membuat berbagai fatwa menurut kemauan mereka sendiri dan hal itu diklaim sebagai wewenang yang diterimanya dari Tuhan. Tidak heran jika sosok kerajaan-kerajaan Eropa saat itu lebih mirip dengan Imperium Romawi Kuno yang paganistis dan belum mengenal agama.
Gereja memiliki supremasi yang sangat tinggi hampir dalam setiap urusan. Para pemuka gereja diyakini sebagai satu-satunya pihak yang berhak berkomunikasi langsung dengan Tuhan, dan hasil “komunikasi” itu diajukan kepada penguasa kerajaan untuk ditetapkan sebagai keputusan politik. Eropa memiliki sejarah yang cukup berdarah mengenai hal ini : ribuan wanita dibunuh ketika gereja mencap perempuan sebagai tukang sihir, kaum ilmuwan yang tidak setuju dengan pendapat gereja harus rela dipenjara atau bahkan dibunuh (seperti yang menimpa Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus), perampasan tanah milik rakyat untuk dibagi-bagikan kepada penguasa dan pemuka gereja, sampai orang yang hendak matipun tak luput dari pemerasan oleh gereja. Pendapatan terbesar gereja berasal dari penjualan Kunci Surga (Keys to Heaven), yaitu menjual surat pertobatan kepada orang-orang yang hendak meninggal. Dengan membayar sejumlah uang, gereja meyakinkan orang tersebut bahwa dosa-dosanya telah diampuni dan boleh memasuki surga.
Pada tahun 1618 meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa antara pendukung dan penentang supremasi gereja. Perang itu berlangsung selama 30 tahun dan menghabiskan sepertiga penduduk Eropa serta meruntuhkan sebagian besar kerajaan yang bercokol di Eropa. Perang terlama terjadi antara Perancis dan Spanyol sampai tahun 1659. Akibatnya, para pemikir terpecah menjadi 2 kelompok:
1. yang mempelajari filsafat Yunani, disebut Naturalis, dan meyakini bahwa akal manusia mampu menyelesaikan semua persoalan;
2. yang berpihak pada gereja, disebut Realisme, dan meyakini ajaran gereja sebagai kebenaran.
Sekularisme benar-benar menggembirakan hati para filosof dan politikus. Tidak ada lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berpikir mereka. Politik dan segala urusan duniawi telah menjadi sangat bebas nilai. Tidak ada satupun yang membatasi. Tidak nilai agama. Tidak pula nilai moral. Salahsatu lambang betapa liarnya dunia politik sekuler adalah buku karya Niccolo Machiavelli yang berjudul The Discourses on the First Ten Books of Livy dan The Prince. Salahsatu pilar pemikiran politiknya adalah: “….politik adalah sesuatu yang sekuler. Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari kekuasaan. Semua orang pada dasarnya sama, brutal, dan egoisme politik harus mengikuti aturan universal yang sama untuk semua orang. Penguasa yang sukses harus belajar dari sejarah, harus mengamati para pesaingnya, dan mampu memanfaatkan kelemahan mereka.”
Sekularisme tetap dianut hingga masa kini. Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright, pada tanggal 23 Oktober 1997 di depan sivitas akademika Columbus School of Law, The Catholic University, Washington D.C. menyatakan: “Di AS, kita meyakini pemisahan gereja dan negara. Konstitusi kita merefleksikan ketakutan atas penggunaan agama sebagai alat penyiksaan, yang pada abad ke-17 dan 18 menyebabkan banyak orang melarikan diri ke daratan Amerika…”
Sekularisme merupakan akar demokrasi. Dalam sistem politik yang sekularistik, dimana agama hanya menjadi “inspirasi moral dan alat penyembuhan” , kehendak akal manusia menjadi penentu semua keputusan. Dan inilah ciri yang utama dari demokrasi, yaitu menyerahkan keputusan politik kepada kehendak masyarakat (the will of the people), sesuai dengan pertimbangan akal manusia.
Ditinjau dari akar kelahirannya, Islam jelas berbeda dengan demokrasi. Sistem Islam tidak lahir dari akal-akalan manusia, tetapi merupakan wahyu Allah swt. Tetapi memang ada sementara pihak yang mencoba menyebut Islam sebagai Mohammedanism untuk menimbulkan kesan sebagai agama buatan Muhammad, seperti yang dinyatakan oleh H.A.R. Gibb.  Dalam hal ini Allah swt berfirman:
Kedaulatan (as siyadah) didefinisikan sebagai “menangani dan menjalankan suatu kehendak atau aspirasi tertentu” . Dalam sistem demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini berarti rakyat sebagai sumber aspirasi (hukum) dan berhak menangani serta menjalankan aspirasi tersebut.
Dalam sistem demokrasi, rakyat berfungsi sebagai sumber hukum. Semua produk hukum diambil atas persetujuan mayoritas rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen (demokrasi perwakilan). Inilah cacat terbesar dari sistem demokrasi. Manusia dengan segala kelemahannya dipaksa untuk menetapkan hukum atas dirinya sendiri. Pikiran manusia akan sangat dipengaruhi lingkungan dan pengalaman pribadinya. Pikiran manusia juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Atas pengaruh-pengaruh itulah maka manusia bisa memandang neraka sebagai surga, dan surga sebagai neraka.
Dalam sistem demokrasi, jika mayoritas rakyat menghendaki dihalalkannya perzinaan, maka negara harus mengikuti pendapat tersebut. Budaya sebagian suku di Sumatera Utara yang terbiasa meminum tuak, dapat memaksa penguasa setempat untuk mengizinkan peredaran minuman keras. Mayoritas rakyat Iran pada Revolusi Islam 1979 menginginkan diterapkannya sistem pemerintahan Wilayatul Faqih, tetapi sekarang muncul gugatan terhadap sistem tersebut, maka penguasa harus memperhatikan kehendak tersebut. Walaupun dalam konsep Syi’ah, sistem Wilayatul Faqih adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar.
Dalam sistem demokrasi, masyarakat kehilangan standar nilai baik-buruk. Siapapun berhak mengklaim baik-buruk terhadap sesuatu. Masyarakat bersikap “apapun boleh”. Di San Fransisco, para eksekutif makan siang di restoran yang dilayani oleh pelayan wanita yang bertelanjang dada. Tetapi di New York (masih di AS), seorang wanita telah ditangkap karena memainkan musik dalam suatu konser tanpa pakaian penutup dada. Newsweek menyatakan: “…kita adalah suatu masyarakat yang telah kehilangan kesepakatan….suatu masyarakat yang tidak dapat bersepakat dalam menentukan standar tingkah laku, bahasa, dan sopan santun, tentang apa yang patut dilihat dan didengar.”
Dalam Islam, penetapan hukum adalah wewenang Allah swt. Penetapan hukum tidak bermakna teknis, tetapi bermakna penentuan status baik-buruk, halal-haram, terhadap sesuatu hal. Allah swt berfirman:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS al-An’aam : 57)
“Kemudian jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya).” (QS an-Nisaa : 59)
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam menempatkan kedaulatan di tangan Allah sebagai Musyarri’ (Pembuat Hukum), sebagai pihak yang paling berhak menentukan status baik-buruk terhadap suatu masalah. Segala produk hukum dalam sistem Islam harus merujuk kepada keempat sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas (ijtihad).
2. Kekuasaan
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat dan mereka “mengontrak” seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak rakyat. Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena penguasa tersebut merupakan “buruh” yang digaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan Kontrak Sosial.
Dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat. Dan atas dasar itu rakyat dapat memilih seorang penguasa (Khalifah) untuk memimpin negara. Pengangkatan seorang Khalifah harus didahului dengan suatu pemilihan dan dilandasi perasaan sukarela tanpa paksaan (ridha wal ikhtiar). Tetapi berbeda dengan sistem demokrasi, Khalifah dipilih oleh rakyat bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat, tetapi untuk melaksanakan dan menjaga hukum Islam. Maka seorang Khalifah tidak dapat dipecat hanya karena rakyat sudah tidak suka lagi kepadanya, tetapi dapat dipecat jika tidak lagi melaksanakan hukum Islam walaupun baru sehari menjabat. Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit:
“Kami membaiat Rasulullah saw (sebagai kepala negara) untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah.”
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Mutthalib, dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim, lalu ia menyuruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat munkar, lalu penguasa itu membunuhnya (karena marah).”
3. Kebebasan
Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan kehendaknya—apapun bentuknya—secara terbuka dan tanpa batasan atau tekanan.
Masyarakat demokratis bebas memeluk agama apapun, berpindah-pindah agama, bahkan tidak beragama sekalipun. Juga bebas mengeluarkan pendapat, walaupun pendapat itu bertentangan dengan batasan-batasan agama. Bebas pula memiliki segala sesuatu yang ada di muka bumi, termasuk sungai, pulau, laut, bahkan bulan dan planet jika sanggup. Harta dapat diperoleh dari segala sumber, baik dengan berdagang ataupun dengan berjudi dan korupsi. Dalam sistem demokrasi, masyarakat juga bebas bertingkah laku tanpa peduli dengan mengabaikan tata susila dan kesopanan.
Islam tidak mengenal kebebasan mutlak. Islam telah merinci dengan jelas apa saja yang menjadi hak dan kewajiban manusia. Islam bukan hanya berorientasi kepada kewajiban, tetapi juga hak sebagai warganegara dan individu.
Ummu Athiyah dari Abu Said ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa yang zalim.”
Islam melarang seseorang untuk memiliki benda-benda yang tidak berhak dimilikinya, baik secara pribadi maupun kelompok. Islam telah merinci beberapa cara pemilikan yang terlarang, misalnya pencurian, perampasan, suap (riswah), korupsi, judi, dan sebaliknya menghalalkan beberapa sebab pemilikan, yaitu bekerja, waris, mengambil harta orang lain dalam keadaan terdesak yang mengancam jiwanya, serta harta yang diperoleh tanpa pengorbanan semisal hadiah, hibah, sedekah, atau zakat.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah orang lain, sampai kamu mendapatkan izin, dan kamu mengucapkan salam kepada penghuninya.” (QS an-Nuur : 27)
Syura = Demokrasi ?
Adanya prinsip syura dalam sistem Islam dan musyawarah dalam sistem demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk menyamakan Islam dengan demokrasi. Becak memiliki roda, demikian pula dengan mobil. Tetapi bukankah becak jauh berbeda dengan mobil?
Tidak semua masalah dapat dimusyawarahkan dalam Islam. Hal inilah yang membedakannya dengan sistem demokrasi yang mengharuskan setiap keputusan diambil dengan suara terbanyak, tidak peduli apakah hasil keputusan itu melanggar batasan-batasan agama yang sudah mereka singkirkan jauh-jauh dari panggung kehidupan dunia. Islam membatasi musyawarah hanya untuk masalah-masalah yang mubah. Adapun masalah-masalah yang telah jelas halal-haramnya, tidak dapat dimusyawarahkan untuk dicabut atau sekedar mencari jalan tengah.
Untuk masalah-masalah teknis dan menyangkut keterampilan tertentu, Rasulullah saw menyerahkan keputusannya kepada para pakar dalam bidang tersebut. Ketika meletus perang Badar Kubra, Rasulullah saw menempatkan pasukannya jauh di belakang sebuah sumur (sumber air). Melihat hal ini, Hubbab bin al-Mundzir bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah ini wahyu atau sekedar pendapatmu?” Lantas dijawab oleh beliau: “Ini hanyalah pendapatku.” Hubbab al-Mundzir kemudian mengusulkan kepada beliau untuk menempatkan pasukannya di depan sumur, sehingga mereka dapat menguasai sumur tersebut dan menimbunnya jika pasukan Quraisy menyerang sehingga musuh tidak dapat mengambil air dari sumur itu. Rasulullah saw lantas mengubah pendapatnya dengan pendapat Hubbab tersebut.
Untuk masalah-masalah yang sifatnya mubah (boleh), Rasulullah saw meminta pendapat kaum muslimin. Ketika Perang Uhud, beliau dan sebagian Shahabat yang terlibat dalam Perang Badar memilih menyambut musuh dari dalam benteng kota Madinah. Tetapi mayoritas penduduk Madinah dan sebagian Shahabat yang tidak ikut Perang Badar memilih untuk menyongsong musuh di lur benteng. Melihat semangat yang begitu membara, ditambah ucapan Hamzah bin Abdul-Mutthalib yang ketika Perang Badar tidak turun ke medan laga, akhirnya Rasulullah saw memutuskan untuk menyambut musuh di luar benteng.  Dalam hal ini, beliau hanya meminta pendapat mengenai lokasi penyambutan musuh. Adapun kewajiban jihad tidak beliau musyawarahkan karena jihad merupakan kewajiban yang tidak berhenti hingga hari kiamat. Allah swt berfirman:
Dan memang pada kenyataannya, menyerahkan setiap keputusan politik kepada seluruh warganegara adalah sesuatu yang mustahil dan justru dapat mengkhianati kebenaran. Sistem polis di Yunani Kuno yang digembar-gemborkan telah menerapkan demokrasi langsung (direct democracy), ternyata melakukan diskriminasi rasial dengan memberikan hak bersuara hanya kepada golongan penduduk kaya dan menengah. Adapun golongan pedagang asing dan budak (yang merupakan mayoritas penduduk) tidak memiliki hak suara samasekali.
Dalam lapangan peradilan, sistem juri seperti yang dipakai di AS dan Inggris telah mengundang kritik yang sangat keras. Para juri dipilih mewakili setiap komunitas di suatu kota/distrik tanpa melihat kemampuan masing-masing sedangkan hakim hanya bertugas mengatur persidangan agar sesuai dengan hukum acara. Vonis terhadap terdakwa dijatuhkan berdasarkan kesepakatan atau suara mayoritas anggota juri. Dengan sistem seperti ini, diharapkan akan lahir keputusan pengadilan yang “demokratis”.
Tetapi layakkah nasib seorang terdakwa (apalagi terdakwa hukuman mati) diserahkan kepada 10-12 orang yang samasekali buta hukum? Mereka (para juri) bisa jadi buta huruf, tidak menguasai asas-asas hukum pidana, atau bahkan pernah melakukan kejahatan yang sama dengan si terdakwa. Atau termakan oleh kepandaian bersilat lidah dari para pengacara sehingga vonis yang dijatuhkan tidak lagi didasarkan pada bukti-bukti materiil yang memang hanya dapat dipahami oleh para ahli hukum. Sistem juri adalah pengadilan primitif, sisa-sisa peradilan hukum rimba, yang tidak menjunjung kebenaran hukum, tetapi mengambil suara mayoritas (siapapun orangnya) sebagai kebenaran.
Demokrasi sebagai Alat Penjajahan
Benarkah Amerika Serikat—sebagai kampiun demokrasi di dunia—telah memberi contoh terbaik tentang demokrasi? Ralph Nader pada tahun 1972 menerbitkan buku Who Really Runs Congress?, yang menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres. Diperkuat oleh The Powergame (1986) karya Hedrick Smith yang menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika adalah: (1) uang, (2) duit, dan (3) fulus. Sehingga benarlah apa yang diteriakkan Huey Newton, pemimpin Black Panther pada tahun 1960-an: “Power to the people, for those who can afford it.” (kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu membayar untuk itu).
Sejak terbentuknya negara federasi pada tahun 1776, Amerika memerlukan waktu 11 tahun untuk menyusun konstitusi, 89 tahun untuk menghapus perbudakan, 144 tahun untuk memberi hak pilih pada kaum wanita, dan 188 tahun untuk menyusun draf konstitusi yang “melindungi” seluruh warganegara. Dengan masa lalu yang demikian kelam dan masa kini yang demikian jorok, Amerika dengan arogan mencoba memberi kuliah tentang demokrasi kepada negara-negara berkembang yang mayoritas negeri-negeri Islam.
Negara adidaya tersebut mempunyai kepentingan untuk membuka pasar global seluas-luasnya sehingga perusahaan Amerika dapat masuk dan menguasai pasar di negara setempat. Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan suatu rezim yang lemah, yang dapat ditekan oleh para pemilik modal atau badan-badan keuangan internasional. Rezim yang lemah ini diharapkan dapat bekerjasama secara lebih kooperatif dengan para investor Amerika dalam sektor perdagangan, dan tentunya mudah tunduk pada tekanan politik Amerika dalam sektor diplomatik.
4 notes · View notes
nadthink · 4 months
Text
Bersyukur
Rasanya berbicara syukur tidak pernah terhenti. Rasanya diingatkan untuk bersyukur tidak boleh terlewat. Bersyukur seperti sebuah maklumat yang mesti selalu kita genggam. Kemanapun arahnya, bersyukur sentiasa jadi selimutnya. Agar tenang, agar tak terluka, agar tak mudah kecewa, agar paham bahwa yang tak kita miliki adalah yang tidak ditakdirkan untuk kita, pun agar kita lapang menerimanya.
Barangkali rasanya seperti gagal ya? Jika apa yang kita tuju tak juga kita dapat? Merasa gagal, ya? Padahal gagal atau tidaknya sesuatu ga selalu tentang 'dihargai', 'disukai', 'diprioritaskan', bukan, itu semua bukan tujuan dari perjalananmu, kan? Apa itu tujuanmu? Apa sesederhana itu tujuanmu? Agar hanya manusia menyukaimu? Sederhana sekali. Sedangkan manusia penuh kurang dan cacatnya. Sederhana sekali tujuanmu.
Tidak. Jangan.
Kita mesti meluruskan lagi apa yang mesti kita capai. Kita mesti memberikan sabar yang lebih lapang.
Setiap orang berhak melakukan apa yang mereka suka, tapi jika mereka melakukan sesuatu yang mereka suka tapi itu mengganggumu, bukan berarti kegagalan menjadi milikmu. Kamu hanya mesti menerima semuanya dengan lapang, tanpa menghakimi, tanpa merasa tersakiti, tanpa merasa diabaikan. Tidak. Terlalu lemah jika tujuannya lagi dan lagi manusia.
Pun, mari bersyukur dengan tidak membandingkan dengan yang lebih buruk dari kita. Tidak. Tapi bersyukurlah, karena ini takdir baiknya dr Allah. Gak apa apa deh kalo kamu mau mencap dirimu gagal, gak apa apa. Tapi pastikan kamu juga yakin, bahwa gagalmu juga takdirnya Allah yang mesti kita terima dan kita yakini kebaikan di balik takdir yang kurang menyenangkan. It's okay. Fokus saja dengan apa yang sudah Allah berikan, menjadi seseorang yang sebaik mungkin, sebermanfaat mungkin dan semenyenangkan mungkin. Bukan untuk orang lain, bukan agar orang orang suka. Tapi untuk Allah, supaya Allah suka.
2 notes · View notes
Link
“It was brilliant to see so many talented actors with learning disabilities taking centre stage...
“It was important to see people with a learning disability living full lives because it showed what we can achieve. It was also good to see that they were not shy to talk about adult themes like relationships and independent living.”
20 notes · View notes